Selaksa Rasa Bab 19 - 21

1
1
Deskripsi

Bagi Sisil, masih mengerikan membayangkan menjalin hubungan serius dengan Pak Arga setelah apa yang dilihatnya di malam tahun baru itu. Memang, Pak Arga sudah menjelaskan tapi  tidak lantas membuat Sisil percaya 100% apalagi ia tidak kenal latar belakang Pak Arga secara detail kecuali perjalanan pendidikan dan karirnya karena Sisil pernah dengan sengaja mencarinya di akun LinkedIn. 

Bab 19 

Bagi Sisil, masih mengerikan membayangkan menjalin hubungan serius dengan Pak Arga setelah apa yang dilihatnya di malam tahun baru itu. Memang, Pak Arga sudah menjelaskan tapi  tidak lantas membuat Sisil percaya 100% apalagi ia tidak kenal latar belakang Pak Arga secara detail kecuali perjalanan pendidikan dan karirnya karena Sisil pernah dengan sengaja mencarinya di akun LinkedIn. 

“Sil,” Pak Arga menatap Sisil lekat, nada bicara dan raut wajahnya tenang. “Saya kan sudah menjelaskan semuanya kalau nggak percaya boleh tanya Astrid.” 

Astrid teman akrab Pak Arga jadi bisa saja kan dia membela Pak Arga, mengatakan hal-hal yang bagusnya saja.

“Kenapa Pak Arga suka sama Sisil? Sisil kan biasa-biasa saja. Sisil nggak gaul dan modis lho, apa Pak Arga nggak malu?” Ya bagaimana bisa Pak Arga memilih Sisil yang bagai bumi dan langit dengan mantannya, Raya yang seperti model atau dengan temannya Astrid, dengan penampilan yang mencirikan perempuan eksekutif metropolitan, setelan blazer atau kemeja kerja bermerk kelas atas, begitu juga tas dan sepatunya, lengkap dengan  sapuan make up yang sempurna. Sedangkan penampilan Sisil seperti kebanyakan perempuan pekerja kelas menengah ibu kota, yang tiap harinya berhimpitan di KRL, MRT, bus transjakarta atau naik ojol.

Pak Arga terkekeh,”Biasa bagaimana? Sisil cantik, pintar, lucu, sopan…ehm, apa lagi ya?”

Pujian Pak Arga tidak membuat sikap Sisil melunak, ia tetap memasang wajah ketus.

Gaya berpakaian Sisil sebenarnya modis tapi jauh dari kata glamor, untuk pilihan makeup look memilih natural atau flawless, tidak mencolok, sesuai kepribadian Sisil yang tidak terlalu suka jadi pusat perhatian orang banyak. Kenyataannya memang Pak Arga tidak pernah terlihat malu berjalan dengan Sisil, malah kerap menggoda agar Sisil melingkarkan tangan di lengannya. 

“Saya nggak pernah malu jalan berdua Sisil. Dan saya memilih Sisil karena sayang dan mau menjalani hubungan yang serius.”

Sisil berdecak, menggeleng-gelengkan kepala,“Pak Arga ngaku sayang tapi mabuk dan membiarkan Sisil pulang sendiri naik ojek dari Jakarta ke Bintaro di malam hari?”

Pak Arga mengusap wajahnya dengan raut frustasi, “Waktu itu saya khilaf, Sil.”

“Maaf Pak Arga, tapi Sisil mau kuliah lagi dan sedang apply beasiswa ke Jepang.” Sebelumnya, Sisil tidak banyak berharap dengan pengajuan beasiswanya itu tapi setelah Pak Arga membohongi di acara tahun baru itu dan Bang Zidan memilih Amira, Sisil memikirkan ulang rencana hidupnya. Sisil mulai bisa melihat nasehat Ka Sophie dan Ka Shifa dalam perspektif berbeda, mereka menginginkan Sisil menjadi versi terbaik walaupun cara mereka menasehati lebih sering pedas. Sisil anak Mama yang manis dan penurut tapi juga cengeng dan penakut padahal Sisil bisa menjadi anak mama yang manis, berani dan mandiri.

Mungkin akan mudah jika Sisil dan Pak Arga tidak satu kantor, hubungan bisa diputuskan secara sepihak karena mereka tidak akan sering bertemu, bisa menghindari bertemu, tapi ini satu kantor, tidak mungkin setiap hari kucing-kucingan menghindari Pak Arga karena ujung-ujungnya akan bertemu di meeting, bertemu di pantri, bertemu di lift, di kantin... 

Jadi Sisil memiliki dua pilihan untuk menghindari Pak Arga, kuliah lagi atau pindah kerja. Dan Sisil memilih opsi mencari beasiswa untuk kuliah lagi, jadi kemarin Sisil apply beasiswa LPDP untuk pilihan universitas di dalam negeri sebagai cadangan jika Monbusho tidak lolos. Sisil juga sudah diskusi dengan Papa dan dia sangat mendukung jika Sisil kuliah lagi.”Kalau beasiswa nggak lolos, Papa yang akan ngasih beasiswa buat Sisil tapi sekolahnya di dalam negeri ya Sil. Mumpung Papa mampu, ”begitu kata Papa. 

“O... Kapan applynya?” tanya Pak Arga tanpa menyembunyikan rasa kagetnya. 

“Sisil apply November sebelum kenal dekat Pak Arga, kalau kepilih diseleksi berkas,  wawancara bukan Maret April, jika lolos, perkuliahan dimulai bulan September.”

“Kalau Sisil kuliah di Jepang, mungkin kita bertunangan dulu.”

“Hah?! LDR sejauh itu, nggaklah, Sisil nggak percaya sama Pak Arga.” Sisil menggedik. “Sisil depan mata aja Pak Arga mau dicium perempuan lain apalagi jauh.” Sisil menepuk jidatnya sendiri, heran dengan tingkat kepercayaan diri Pak Arga, dikira ia bisa percaya begitu saja.

“Saya  paham kalau Sisil ragu,  akan saya  buktikan jika bersungguh-sungguh  sambil menjalani hubungan ini. Kita akan menjalaninya dengan tidak terburu-buru.”

Kalau mau, Pak Arga nunggu Sisil sampai selesai kuliah tapi kalau selama menunggu, salah satu dari kita jatuh hati pada orang lain, hubungan ini berakhir.” 

“Saya nggak seperti itu Sil.” Terdengar helaan nafas berat Pak Arga. 

“Tapi Sisil nggak bisa janji nggak jatuh cinta selama kuliah nanti. Sisil juga apply beasiswa LPDP bulan ini tapi pilihannya universitas dalam negeri,” potong Sisil cepat.”Untuk cadangan kalau nggak keterima yang ke Jepang.”

“Jadi Sisil bukan  orang yang tepat untuk Pak Arga karena mau fokus sekolah lagi, bukan menjalin hubungan serius.”

Tatapan Pak Arga menyiratkan rasa kecewa, Sisil hampir saja luruh andai tidak teringat kejadian tahun baru itu. Keputusan Sisil sudah mantap, memutuskan hubungannya dengan Pak Arga, dalam hati melantunkan doa agar beasiswanya lolos, dan ada keajaiban yang membuatnya menikah dengan Bang Zidan.

***

Menyudahi hubungannya dengan Pak Arga tidak membuat Sisil sakit hati tapi tetap saja membuat rasa yang berbeda ketika menginjak kantor, rasa canggung ketika berhadapan dengan Pak Arga. Beginilah tidak enaknya memiliki mantan teman sekantor. Sisil berdiri di depan lift, di lihat dari panel penunjuk lantai, terlihat lift sedang bergerak turun. Hari masih pagi, suasana gedung di mana kantor Sisil berada masih lenggang. Hari ini Sisil datang pagi karena nebeng mobil Papa yang kebetulan akan ke Jakarta, mengisi seminar mengenai penelitian di sebuah hotel.

“Pagi Sil,” tanpa menoleh Sisil sudah hapal siapa pemilik suara itu, intonasi yang dalam dan tenang, Sisil menoleh,”Pagi.” Pak Arga tersenyum ke arahnya. 

Tidak bisa dipungkiri senyum Pak Arga itu mempesona, memberi kesan ramah dan tulus, tapi mungkin itu caranya menjerat perempuan muda macam Sisil. Ingatan yang membuat Sisil kembali memasang tampang serius setelah membalas senyum Pak Arga, alih-alih memulai percakapan basa-basi. Hening, itulah yang Sisil rasakan ketika mereka sama-sama masuk ke dalam lift hingga lift bergerak, sampai di lantai 16. Sisil tahu harusnya bersikap  biasa, beramah tamah basa-basi, layaknya seorang teman atau staf pada atasan tapi rasanya sukar, mungkin karena masih ada sedikit rasa kecewa atas sikap Pak Arga di malam tahun baru itu. 

Begitu mereka keluar dari lift, Pak Arga berhenti sejenak,”Sil, saya hargai keputusan Sisil, tapi kita masih bisa berteman kan?”

“Iya, Pak.” Tentu saja mereka tetap berteman di kantor tapi Sisil butuh waktu untuk mengatasi kecanggungan ini.

“Terima kasih.” Tanpa bicara keduanya melanjutkan langkah hingga berpisah, Pak Arga menuju ruangannya dan Sisil ke pantri.

“Hai  Mir,” sapa Sisil ketika dilihatnya Mira tengah duduk setengah melamun di pantri dan tidak menyadari kedatangan Sisil. Mira mengangkat kepalanya dan  Sisil melihat  mata Mira agak merah seperti habis menangis. Mira memang selalu datang paling pagi ke kantor, berkendara naik motor dari Tangerang dengan jarak tempuh 45 menit, untuk menghindari macet, karena jika macet jarak tempuh lebih lama dan lebih capek, begitu katanya.

“Kenapa Mir?”

“Nggak ada apa-apa,” jawab Mira sambil tertawa, dia terlihat berusaha keras menampakkan wajah riang.

Sisil duduk di samping Mira setelah mengisi gelas dengan air mineral,”Bener nggak ada apa-apa?”

Dari obrolannya selama ini, Sisil membaca Mira adalah generasi sandwich, Ayahnya sudah meninggal, dua adiknya masih sekolah, Mira adalah tulang punggung keluarga, menanggung biaya sekolah kedua adiknya, Ibunya bekerja di laundry.  Statusnya Mira di sini sebagai paralegal magang di bawah seorang junior associate. Mira pernah cerita berusaha menabung untuk bisa ikut  pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), Mira memang anak lulusan hukum.

Selama  ini Mira selalu menampakkan diri  baik-baik saja, tidak pernah terlihat sedih walaupun dalam obrolan tersirat kalau dia kadang lelah dengan kondisi keuangannya. Jadi kalau sampai menangis pasti masalahnya berat.

Mira menghela nafas lalu memaksakan tawa, “Sebenarnya masalahnya sepele Sil, cuma karena lagi pms jadi bawaannya lebih mellow, lebih pake perasaan.”

“Masalah apa Mir?”

“Ya, aku kesel aja setiap udah nabung buat keperluan sendiri pasti aja ada kebutuhan tak terduga. Tahun lalu aku mau PKPA batal karena uangnya dipake Ibu berobat. Tahun ini, adikku kan mau kuliah, minta bimbel karena mengejar PTN.”

Sisil merengkuh bahu Mira, “Sabar ya Mir. Kalau mau Mira bisa pinjam uang Sisil.”

“Nggak usah Sil, maksudnya cerita biar plong aja.”

“Sisil tahu, tapi daripada ketunda terus, karir Mira juga jadi ketunda. Bayarnya bisa dicicil terserah Mira.”

“Sisil nggak butuh duit ya?” tanya Mira dengan nada bercanda.

“Bukan nggak butuh Mir, tapi lagi ada. Jangan sungkan Mir, kalau karir Mira naik, kan penghasilan ikut naik.” 

“Iya sih. Nanti aku pikir-pikir lagi ya Sil. Makasih sebelumnya. Oh ya Sil, Pak Arga sama Mba Astrid itu memang teman deket ya,” tanya Mira setengah berbisik.

“Iya. Mereka temenan sejak kuliah.”

“Oh Sisil tahu, kirain nggak tahu. Bukan maksud ngadu-ngadu lho Sil, hanya…”Mira melanjutkan kalimatnya dengan mengangkat bahu.

“Iya, Mir, Sisil paham.”

Sebenarnya Sisil tidak paham sedekat apa Pak Arga dan Astrid, dulu ia pikir hanya di kantor karena satu profesi, setelah bertemu di acara tahun baru kemarin, Sisil merasa makin banyak yang tidak ia ketahui tentang Pak Arga. Dulu, saat ia dan Pak Arga memiliki hubungan, kadang terbersit rasa cemburu jika melihat Pak Arga dan Astrid mengobrol karena terlihat sangat akrab dan bagaimana Astrid bisa membuat Pak Arga tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka obrolkan tapi Sisil pernah melihatnya.

“Eh Sil, aku duluan ya. Makasih ya tawarannya.”

Sepeninggal Mira, Sisil termenung, masalah hidupnya nggak seberat Mira. Mira tidak hanya menanggung masalah hidup pribadi juga keluarganya, jadi harusnya Sisil bisa mengatasi persoalan hatinya.

 

Bab 20

Setiap tahun kantor Sisil mengadakan acara Team Building untuk semua karyawannya, acaranya biasanya diadakan dua hari, Sabtu dan Minggu di luar kota. Salah satu acara yang ditunggu-tunggu karyawan karena jadi ajang refresing sekaligus  wisata. 

Tahun lalu diadakan di Sukabumi, tahun ini di Bandung. Kantor akan menyewa EO untuk mengatur acara, panitia dari pihak kantor biasanya hanya mengurusi sewa bus, menentukan tempat dan pembagian kelompok.

Persiapan acara tema building sudah terasa di hari Jumat karena hari itu  perlengkapan acara seperti kaos, topi, name tag, dibagikan begitu pula pengumuman kelompok dan bus yang akan ditumpangi.

”Udah ada email pembagian kelompok  dan bus nih,” kata Mirza, suaranya terdengar seperti gumanan. Sisil yang mendengar jadi ikut membuka email.

“Sil, lo kelompok sama Pak Arga, satu bus juga.” Mirza tertawa.”Konspirasi nih, gue nggak heran kalau Pak Arga yang request secara dia kan bucin sama lo.” 

Sisil tidak memberitahu Mirza, Dini, Rosi dan Mira jika hubungannya dengan Pak Arga selesai, agar tidak jadi bahan pembicaraan,  dan mereka pun sepertinya tidak curiga karena sebelum putuspun  Sisil dan Pak Arga tidak pernah menampakkan kemesraan di kantor. Minggu lalu tak sengaja Sisil makan siang di pantri dengan Pak Arga dan kepergok Dini, jadi mereka menyangka hubungannya baik-baik saja. Sikap Pak Arga pada Sisil juga tidak berubah, tetap menyapa dengan ramah dan berbasa-basi, sikap yang tidak pernah Pak Arga tunjukkan pada karyawan perempuan lain. Jadi sepertinya Pak Arga pun menjaga agar putusnya hubungan mereka tidak jadi  bahan gosip.

“Ini siapa sih yang biasanya nentuin kelompok?”

“Orang HR, coba tanya Dini,” kata Mirza.

Sisil membuka room chat grup di ponselnya.

Sisil : Din, bisa tukeran kelompok gak?

Dini : Tukeran gimana? Lo udah gue istimewain Sil, sengaja gue kelompokin  sama Pak Arga

Mira : Uhuy

Sisil : Hadeuh….

Rosi : Sayangnya nggak bisa sekamar ya

Mirza : Kata Mama belum halal

Dini : Gue baik kan Sil

Sisil : Please tukeran, Sisil nggak mau sekelompok sama Pak Arga

Mirza : Nikmati aja Sil, biar cepet dihalalin

Mira : Aamiin

Sisil menatap dengan putus asa room chat  di ponselnya. Ternyata serba salah, niat tidak mengumumkan putusnya dengan Pak Arga agar tidak jadi bahan gosip   malah jadi begini.

Antusiasme Sisil mengikuti acara team building berkurang gara-gara sekelompok sama Pak Arga. Kalau satu bus tidak masalah karena mudah dihindari, Sisil bisa duduk sebelahan dengan  siapa saja. Ia lebih suka menghindari Pak Arga kalau urusannya tidak penting-penting banget atau bukan urusan pekerjaan. Sisil  tidak mau jatuh karena pesona Pak Arga, bagaimana tidak terpesona, selain good looking, sikapnya masih sikapnya masih seperti dulu, baik dan perhatian.

“Sil, hati-hati ya,” Mama memeluk dan mencium pipi Sisil. Hari ini Sisil diantar Mama karena harus sampai kantor jam 6 pagi untuk berangkat ke Bandung.

“Iya. Mama hati-hati nyetirnya.” Sisil melambaikan tangan meninggalkan Mama. 

Tiga bus sudah nampak di parkiran gedung, terlihat setiap koordinator bus berdiri di samping pintunya, mengabsen peserta yang sudah masuk.

“Sisil!” sebuah panggilan yang membuat  Sisil menoleh, Pak Arga setengah berlari menghampirinya. “Kita satu bus ya Sil.” 

“Iya.” Sisil dan Pak Arga berjalan bersisian menuju bus. Sisil sudah janjian sama Mira akan duduk bersebelahan. Dari pesan yang dikirim Mira, dia sudah ada di dalam bus dan menyisakan satu kursi di sampingnya untuk Sisil.

“Sil, di sini saja,” Pak Arga menarik tangan Sisil, dengan dagunya menunjuk dua kursi kosong di samping. Sejenak Sisil ragu tapi menolaknya sama saja dengan mengumumkan jika mereka sedang ada masalah, karena beberapa rekan kantornya yang sudah duduk di dekat situ melihat ke arahnya.

Pak Arga mempersilahkan Sisil duduk lebih dulu hingga Sisil mendapat kursi dekat jendela. Buru-buru Sisil mengirim pesan pada Mira, mengabarkan jika dia duduk dengan Pak Arga.

“Sudah sarapan Sil?” 

“Sudah. Pak Arga sudah sarapan?” Sisil balik bertanya semata agar suasana tidak kaku

“Baru mau nih, tadi beli nasi uduk.” Pak Arga menunduk membuka resleting tasnya dan mengeluarkan kotak makanan dari plastik. Saat dia membukanya menguar wangi bawang goreng, daun salam dan santan.

“Mau nyicipin Sil?”

“Nggak. Terima kasih.” 

Ponsel Sisil bergetar, tertera nama Mama di sana.

“Assalamualaikum, De, jaket tebelnya ketinggalan ini di mobil.”

“Waalaikumsalam, waduh. Mama di mana?” Sisil sudah beberapa kali liburan ke Lembang Bandung, tahu sedingin apa jika malam hari dan kini ia ketinggalan jaket, rasanya kesal sendiri. Jaket itu tebal jadi tidak bisa dimasukkan ke dalam tas, tadi Sisil meletakkan di sandaran kursi dan lupa diambil saat turun.

“Udah masuk tol.”

“Ya udah nggak apa-apa Ma, Sisil ada sweater.” Akhirnya Sisil pasrah. 

“Tapi itukan tipis Sil.”

“Nggak apa-apa, Busnya udah mau berangkat ini.”

“Atau Mama anterin aja ya, sekalian Mama sama Papa liburan ke Bandung.”

“Nggak usah. Udah dulu ya Ma, nanti Sisil telepon lagi.”

Begitu telepon ditutup Sisil mengirim pesan pada Mama

Sisil : Ma, kalau mau liburan ke Bandung sama Papa, nggak apa-apa, tapi jangan nganterin jaket Sisil. Malu.

Iyalah malu, kebayang ledekan Mirza jika Mama dan Papa nganterin jaket ke tempat acara. Sudah cukuplah gelar yang Sisil dapat dari Mirza,  Sisil si anak Mama yang manis dan penurut, jangan ditambah julukan negatif.

Mama : Iya. Gosend nggak bisa sampai Bandung ya Sil?

Sisil : Nggak. Mama nggak usah khawatir, ada selimut di penginapan. Mama lagi nyetir jangan hp an.

Mama : Mama lagi  di rest area Bintaro kok.

Sisil menutup ponsel, memutuskan tidak membaca balasan Mama karena chat bisa jadi panjang, Mama dengan sederet kekhawatirannya. Tapi tidak sampai 5 menit ponsel kembali bergetar, Mama telepon.

“De, kalau alergi dinginnya kambuh gimana?”

“Ma, Sisil udah sembuh.” Waktu kecil Sisil suka bersin-bersin dan pilek  jika kedinginan, tapi seiring usia, kekebalan tubuhnya meningkat, alergi itu sangat jarang kambuh, tapi Mama tetap saja suka khawatir. 

“Inhaler dibawa kan?”

“Ehm.” Sekilas Sisil menoleh, memastikan Pak Arga tidak memperhatikan pembicaraannya dengan Mama.

“Dibawa nggak?”

“Dibawa Ma.” Sisil punya asma tapi sudah sangat jarang kambuh sejak menginjak usia SMA tapi Mama selalu tetap memastikan ia membawa inhaler jika ke luar kota. Kata Mama, waktu kecil Sisil sering sakit sampai pernah diopname lama, tapi Sisil tidak ingat, yang ia ingat, suka pilek karena dingin,  sakit asma,  suka dikurung di rumah karena sakit, dan  Bang Zidan datang menemani membaca buku karena kedua Kakaknya dan Ka Rania tidak betah main di dalam rumah.

“Ma, udah dulu ya.”

“Iya.”

Sisil menarik nafas lega, menghadapi kekhawatiran Mama yang berlebihan bukan perkara gampang. Baru saja, Sisil akan memasukkan ponselnya ke dalam tas, muncul pesan pop up dari Mama.

Mama : De, kalau jaketnya dikirim pake paxel, gimana? Katanya bisa sehari sampai.

Astaga, Mama…

Sisil : Teman Sisil mau pinjemin jaket, dia bawa dua.

Terpaksa Sisil berbohong.

Mama : Syukurlah. Jangan lupa minum vitamin 

Mama : Kasih tahu Arga kalau Sisil punya alergi dingin dan lupa bawa jaket

Mama :  Jadi Mama  tenang, kalau ada apa-apa ada Arga.

Sisil : Iya

Sisil memutuskan mematikan ponselnya, Mama benar-benar menguji kesabarannya. Ia memang belum memberitahu Mama jika hubungannya dengan Pak Arga putus karena belum siap dengan reaksi Mama, kekepoan dan kekhawatirannya yang berlebihan. Ujung-ujungnya, seperti yang pernah beberapa kali Mama ucapkan sebelum Sisil dekat dengan Pak Arga, minta Papa mencarikan anak temannya atau saudara jauh yang mau dijodohkan sama Sisil, membayangkannya saja membuat tergidik.

Kalau Mama menanyakan kenapa Pak Arga tidak datang ke rumah, Sisil jawab karena sibuk, lagipula setiap hari mereka bertemu di kantor. Atau beralasan sibuk ada deadline terjemahan jadi Sisil menolak kedatangan Pak Arga. Mama nampak tidak percaya terlihat dari ekspresi wajahnya, tapi Sisil pura-pura tidak tahu. Mama pernah menduga, Pak Arga dan Sisil lagi berantem,”Berantem karena beda pendapat Itu proses saling kenal dan memahami Sil.” Sisil hanya menjawab, iya.

“Ada yang ketinggalan Sil?” tanya Pak Arga yang sepertinya menguping percakapan itu.

“Iya. Tapi nggak penting kok.”

“Sarung tangan, syal sama kaos kaki bawa kan Sil?”

“Bawa.” Sisil menjawab tanpa membalas tatapan Pak Arga. Pak Arga itu sangat menarik secara fisik dan perhatian, jadi Sisil khawatir pesonanya meluluhkan hatinya. 

Pak Arga mengangguk-ngangguk.  

“Kita satu kelompok juga ya Sil?”

 “Iya Pak.”

Sebelumnya Sisil membayangkan perjalanan ini akan menyenangkan karena diisi dengan ngobrol dengan Mira, diselingi ngobrol di grup wa bukan duduk di samping Pak Arga. 

Dan begitulah perjalanan Jakarta Bandung terasa panjang buat Sisil. Pak Arga berusaha mencairkan suasana dengan mengajak ngobrol tapi Sisil masih merasa kaku dan dipaksakan. Sisil menarik nafas lega ketika Pak Arga mengeluarkan ponselnya lalu sibuk membalas chat.

Sisil melakukan hal yang sama, menyalakan ponsel, dilihatnya chat di grup sudah puluhan, ia tidak melanjutkan menscroll chat setelah membaca bagian paling bawahnya.

Mirza : Enak nih yang bisa nyender di  bahu Ayang

Dini : Pengertian banget kan gue

Mira : Doain guys, gue cepet dapat Ayang

Rosi : Aamiin. Doain gue juga

Mirza : Aamiin.

Dini : Aamiin

Mira : Aamiin

Mirza : Sisil mana suaranya

Dini : Tidur kayaknya, di bahu Ayang

Sisil menutup room chat, kesal sekaligus ingin tertawa karena jadi bahan gibahan di grup. 

Bab 21

Tempat acara sekaligus penginapan terletak di tengah hutan pinus. Begitu keluar dari bus, Sisil merasakan udara dingin mengusap wajah dan langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Sisil melipat tangandi depan dada, dalam hati melantunkan doa agar alerginya tidak kambuh. Ya, walaupun sudah lama tidak kambuh ada rasa khawatir kambuh karena tidak mengenakan  jaket yang memadai.

Sisil merasakan hidungnya gatal tak lama kemudian bersin-bersin. Ya, Tuhan please jangan sekarang, belum juga acara dimulai, pinta Sisil dalam hati. Break and snack time menyelematkan Sisil, minum teh hangat, ngemil dan bergerak kesana-kemari membuat tubuhnya hangat, bersin-bersinnya hilang. Sisil juga mengisi tumbler dengan air panas untuk cadangan minum, melapis  sweater dengan kemeja flannel, tak lupa mengenakan syal.

Setelah  break dan snack time acara team building langsung dimulai, Pak Arga ditunjuk menjadi ketua kelompok. Setiap kelompok mengumpulkan point pada setiap sesi acara team building, karena ada 3 hadiah berupa voucher belanja  untuk 3 kelompok terbaik. Kalau tanpa embel-embel hadiah biasanya kurang termotivasi untuk semua anggota ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Pak Arga menargetkan kelompoknya jadi juara satu jadi meminta semua tim bekerja sama dan berpartisipasi.

Acara team building dibuka dengan ice breaking berupa kegiatan membuat yel-yel  kelompok dan  permainan tebak siapa dia. Semua anggota kelompok berpastisipasi dengan antusias dan semangat termasuk Sisil, keadaan yang memaksa lebih akrab dengan Pak Arga, saling melempar senyum ketika berhasil memenangkan setiap permainan, Pak Arga memberi masukan pada Sisil atau sebaliknya.

Acara penutup team building hari itu adalah permainan paintball. Salah satu game outdoor yang paling disukai.  Pak Arga menjelaskan strategi permainan yang harus dilakukan setiap orang agar kelompoknya menang. Strategi bertahan dan menyerang, memanfaatkan rintangan di area permainan sebagai perisai,  mengukur perkiraan jarak tembak agar mengenai sasaran dan sebagainya. Jujur saja, Sisil kagum dengan semangat Pak Arga dan serius memikirkannya walaupun hanya permainan, tapi tetap disampaikan dengan gaya santai, tidak ngebossy, membuka masukan dari peserta kelompok. Semua peserta kelompok jadi terbawa semangat untuk menang.

Dan Sisil merasa baru kali ini main paintball secara serius, biasanya, ya cuma tembak lari sembunyi aja seseruan, mikir menang belakangan, malah pasrah, nggak menang juga nggak apa-apa yang penting happy. 

“Selamat ya Sil, kelompok lo menang lagi,” ujar Mirza sambil menepuk pundak Sisil. Permainan paintball baru saja usai dan dimenangkan kelompok Sisil.  Ya, ini kemenangan kelompok Sisil yang kedua, setelah di game ice breaking juara.

“Thank’s,” Jawab Sisil sambil melepaskan google full face dari wajahnya. 

“Pak Arga keliatan semangat banget ya, pasti gara-gara sekelompok sama Ayang,” ledek Mirza dengan suara setengah berbisik. 

“Apaan sih Mirza.”Sisil menyikut lengan Mirza. Sisil akui, Pak Arga memang terlihat antusias di setiap sesi acara, tapi kan dia orangnya memang begitu, di kantorpun selalu terlihat semangat dan gesit, jadi bukan karena sekelompok sama Sisil. 

“Dia memang cocok buat cewek manis manja kayak lo, Sil,” bisik Mirza dengan cengiran jail saat bersamaan Arga melangkah ke arah mereka.

“Hai Mirza,” sapa Arga.

“Iya Pak, ini Sisil katanya capek.”

“Mirza! Siapa yang capek?” Sisil menggapai lengan Mirza untuk mencubitnya tapi dia berhasil mengelak dan berlari.

***

Malam setelah isoma adalah acara santai, panitia menyediakan api unggun, minuman hangat dan aneka camilan untuk semua peserta. Sebagian orang duduk berkelompok-kelompok tak jauh dari api unggun dengan mengobrol, sebagian menyanyi diiringi gitar, ada juga yang memilih masuk pondokan untuk istirahat.

Sisil, Dini, Rosi  dan Mira duduk bersila, tak jauh dari api unggun, masing-masing memegang cangkir kopi.

Suara cempreng Mirza diiringi permainan gitar Farhan, karyawan  IT di kantor Sisil, cukup mendominasi malam itu, melantunkan lagu milik Wali.

Tapi sayang, masihkah kau ‘ku panggil sayang?’

Aku tak mau bicara sebelum kau cerita semua 

Apa maumu? Siapa dirimu?

Tak betah bila ada yang lain.

“Sil, lo nggak dingin pake sweater doank?” tanya Rosi.

“Lumayan, tadi jaket ketinggalan di mobil kebawa balik lagi sama Mama. Makanya abis ngopi mau langsung masuk kamar, selimutan.” Sebelah tangan Sisil memeluk tubuhnya, sebelah lagi memegang cangkir berisi kopi panas, matanya menatap api unggun, rasa hangatnya terasa mengusap wajah. Sebelumnya Sisil membayangkan akan menikmati malam depan api unggun sampai selesai. Kapan lagi bisa duduk menatap langit cerah berbintang dengan suasana alam. Tapi sepertinya tidak bisa karena sejak magrib, mulai bersin-bersin, jadi memutuskan tidur setelah kopinya habis.

“Kita nggak ada yang bawa jaket dua sih ya,” ujar Rosi.

“Iya, kalau tahu Sisil nggak bawa, gue bawain,  tapi amanlah kalau pake kaos kaki, sarung tangan, kupluk, sama syal,” ujar Dini.

“Pinjem jaket Ayang donk, Sil,” seloroh Mira.

“Duh jangan ngomong ayang melulu, malu kalau kedengar orang, gara-gara Mirza nih.” 

 “Panjang umur Sil, tuh Ayang ke sini,” dengan dagunya Dini menunjuk Pak Arga yang berjalan mendekat.

Sisil mengikuti pandangan mata Dini, Pak Arga tersenyum ke arahnya dan memanggil,”Sisil.”

“Ayang kayaknya bawa jaket Sil,” bisik Mira dengan tawa terkikik. 

Sisil juga melihat tangan Pak Arga memegang jaket.

“Lo ke sana Sil, kalau dia ke sini, nggak enak kita jadi nyamuk,”dorong Rosi ketika dilihatnya Sisil masih duduk diam. Akhirnya Sisil berdiri dan menghampiri Pak Arga.

“Ini Sil, jaketnya pake aja, jaket Sisil ketinggalan kan?” Arga menjulurkan jaket tebal begitu mereka berhadapan.

“Iya, tapi nggak usah, Sisil nggak dingin banget kok.”

“Nggak dingin banget tapi giginya gemeretuk,” Arga terkekeh.

Sisil meringis, udara memang terasa dingin sampai wajahnya terasa kebas.

“Tapi Pak Arga bagaimana? Memang nggak kedinginan?”

“Ini saya pake jaket,” tunjuknya pada jaket yang dikenakannya, bukan jaket tebal seperti yang akan dipinjamkan pada Sisil tapi jauh lebih tebal dibanding sweater yang Sisil kenakan. Sedangkan jaket yang dipinjamkannya lebih tebal dan besar, mirip jaket khusus musim dingin.

“Sini saya pegang cangkirnya, Sisil pake jaket.” Tanpa meminta persetujuan, Arga mengambil cangkir dari tangan Sisil dan menyerahkan jaket.

“Tapi Pak Arga….”

“Nggak apa-apa Sil atau mau saya pakaikan?” goda Arga.

“Nggaklah,”Sisil merenggut lalu mengenakan jaketnya.”Makasih ya.”

Arga mengangguk, mengembalikan cangkir kopi Sisil.

“Ponsel Sisil mati ya?”

“Nggak, hpnya di penginapan, lupa dibawa, emangnya kenapa?”

“Barusan Mama Sisil telepon, katanya teleponnya nggak diangkat jadi telepon saya, minta tolong cek Sisil, apa alerginya kambuh.”

Aduh, Mama…

“Mama juga ya yang bilang Sisil ketinggalan jaket?” tanya Sisil tanpa menyembunyikan rasa tidak enak hatinya.

“Walaupun Mama Sisil nggak bilang, saya tahu kalau jaket Sisil ketinggalan.”

“Alergi Sisil nggak kambuh kok,” jawab Sisil tapi kemudian bersin-bersin dan hidungnya terasa beringus. Sisil melap hidungnya dengan tisu.“Pak Arga jangan bilang alergi Sisil kambuh ya, nanti sembuh sendiri kok kalau anget.” 

“Iya Sil,” Arga tertawa.

Arga mengajak Sisil duduk di undukan batu, tidak jauh dari api unggun sehingga kehangatannya terasa memapar tubuh. Sisil sebenarnya ingin menolak tapi tidak enak hati, ia tidak suka berduaan seperti ini, semua orang kantor melihatnya.

“Yang mau gabung nyanyi jangan malu-malu ya, boleh juga request,”  terdengar suara Mirza.  

Salah satu yang Sisil kagumi dari Mirza adalah tingkat kepercayaan dirinya, dia juga punya skill intertain yang lumayan, punya inisiatif mencairkan suasana dan jika ada cara kantor biasanya dia yang ditunjuk jadi MC.

Lagu berikutnya, spesial buat seorang teman yang sedang jatuh cinta,” lanjut suara Mirza.

Sisil merasakan kupingnya panas karena menduga yang dimaksud adalah dirinya terlebih Mirza  menatapnya sekilas dengan cengiran jail.

“Mirza kayaknya senang banget ya ledekin Sisil,” Arga terkekeh, sepertinya menduga yang dimaksud Mirza adalah Sisil.

“Iya, nggak tahu kenapa,” jawab Sisil merenggut, dalam hati bertekad akan mencubit Mirza besok. “Padahal Sisil nggak sedang jatuh cinta.”

“Patah hati ya Sil?”

“Udah nggak,” jawab Sisil sambil mengangkat bahu, sebenarnya masih sedih kalau mengingat Bang Zidan dan Amira. “Sisil nggak mau mikirin soal cinta-cinta sekarang, mau fokus persiapan sekolah lagi.”

“Pengumuman beasiswanya sudah keluar Sil?”

“Belum tapi kalaupun  nggak lolos beasiswa, Papa yang akan ngasih beasiswa.”

Arga mengangguk-ngangguk. 

***

Sisil bersyukur Pak Arga meminjaminya jaket walaupun ada rasa malu, karena gara-gara aduan Mama. Ia bisa tidur nyenyak, pagi ini bangun tanpa bersin-bersin dan hidungnya nggak meler. Agenda team building pagi ini, hiking, tracknya pendek karena sekedar pemanasan sebelum sarapan dan acara selanjutnya.

Sebelum hiking disediakan coffee break pagi, berupa minuman hangat dan camilan berupa jajanan pasar, Sisil tengah mengantri kopi dan sudah mengambil satu bolu kukus dan kue lumpur.

“Gimana tidurnya semalam Sil, pake jaket Ayang pasti serasa dipeluk Ayang,” ujar Mirza dengan suara tertahan dan tawa jail, dia berdiri di belakang Sisil, berhalang Mira.

“Mirza!” Sisil berkata dengan nada gemas, malu jika ocehan Mirza didengar orang lain.  

“Mirza, lo hobi banget ledekin Sisil,” kata Mira.

“Gue seneng aja liat Sisil marah, lucu.”

“Aduin sama Ayang aja Sil,” saran Rosi yang berdiri di depan Sisil.

“Iya, Sisil aduin nih sama Ayang,” ujar Sisil tanpa menoleh,  ia tengah  menuang kopi ke dalam cup.

“Aduh, ampun Sil,” Mirza tergelak.

“Jangan suka ledekin Ayangnya saya,  Mirza.”

Suara yang membuat pipi Sisil terasa panas, ia mengurungkan niat menambahkan gula pada kopinya, memilih buru-buru angkat kaki dan tidak menoleh. Samar-samar terdengar suara Mirza,“Eh, Pak Arga, maaf ya, cuma becanda.” Juga cekikikan Mira dan Rosi.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Selaksa Rasa Bab 22 - 24
1
1
Sisil tidak bisa berhenti memikirkan tentang pertunangan Bang Zidan, membuatnya resah, gelisah, sekaligus kesal. Bagaimana tidak kesal, Bang Zidan tidak mengabarkan langsung  padahal mereka bertemu dan ngobrol lama. Dan jawaban Bang Zidan waktu Sisil kirim pesan kenapa tidak memberitahu langsung, dia hanya mengatakan lupa. Lupa!? Sisil merasa diabaikan sebagai orang dekat atau mungkin kehadiran Amira membuat Bang Zidan melupakannya. Ingatan yang membuat hati Sisil panas, puluhan tahun berteman, bahkan Sisil menganggapnya sebagai Kakak, kini dilupakan. Bang Zidan memang meminta maaf tapi tidak membuat rasa kesalnya reda.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan