Complicated Boss I 19-21

0
0
Deskripsi

Cerita dengan genre chicklit, komedi romantis

Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan.....

Karena sebuah kecelakaan Aryo  terpaksa  meninggalkan karirnya di Jakarta, kembali ke kampung halaman dan meneruskan usaha keluarganya.

Berawal dari rasa simpati dan kagum, Ayu jatuh hati pada Aryo tanpa Aryo ketahui. Saat bersamaan  Aryo akan dijodohkan dengan perempuan lain.

Bab 19 Ke Jakarta 

Yang aku harapkan selama ini akhirnya terjadi, aku mendapat panggilan interview ke Jakarta setelah melalui beberapa kali test secara online dan satu kali  wawancara online. Menurut HRD yang menghubungiku, aku satu dari 3 kandidat yang akan diinterview oleh user alias atasan langsung. 

Aku akan  mengabari Angga begitu sudah sampai di Jakarta, agar menjadi kejutan. Melalui  grup wa teman seangkatan saat kuliah, aku mencari informasi tempat menginap dan transportasi ke tempat interview di kawasan Sudirman Jakarta. Seorang teman menawarkan menginap di rumahnya. Temanku bernama Arini ini memang asli orang Bogor.

Ini jadi pengalaman pertamaku naik KRL yang super padat. Saking padatnya aku tidak perlu berdiri memegang sesuatu agar seimbang saat kereta melaju. Cukup berdiri karena di kanan kiri depan belakangku ada orang yang berdiri menghimpit. Ini yang akan aku alami setiap hari jika bekerja di Jakarta dan tinggal di pinggiran kota. Menurut Arini, jika aku keterima kerja di Jakarta bisa mencari kost an di daerah Jakarta tapi harganya mahal. Dan jika kelak aku menikah dan memutuskan menetap di Jakarta pilihan membeli rumah dengan harga terjangkau di pinggir kota Jakarta seperti Bogor, Bekasi, Tangerang dan Tangerang Selatan.

“Kecuali jodoh kamu pemilik perusahaan, bisalah kamu membeli rumah di Jakarta,” ucap Arini sambil tertawa.

“Kalau pun kamu jadi bos, misalnya  senior manager  dengan gaji kisaran 30 juta, masih berat untuk membeli rumah di kota Jakarta.” Mungkin ini maksud Angga saat berkata hidup di Jakarta berat.

Aku melihat perempuan yang tengah hamil  duduk di kursi prioritas, di depannya berdiri seorang lelaki sambil menggenggam tangannya. Usia mereka terlihat sebaya, masih muda, sepertinya mereka pasangan baru menikah. Keduanya mengalungi nama tag nama perusahaan yang berbeda. Tak jauh dariku  seorang perempuan berdiri, bahunya direngkuh seorang lelaki, mereka tengah mempercakapkan sebuah nama yang kuduga anak mereka.  Mungkin kelak aku dan 

Angga akan seperti mereka. Bayangan itu membuat hatiku menghangat. Hai kids ini Mama dan Papamu berjuang naik krl agar kehidupanmu kelak jauh lebih baik. 

“Yu, turun di sini, nanti lanjut gojek. Kalau ada apa-apa wa aja ya.” Suara Arini membuyarkan lamunanku.

“Oh iya Rin, terima kasih ya,” Aku berjalan menerobos himpitan orang menuju pintu kereta yang terbuka.  Ratusan orang memadati stasiun, berjalan dengan bergegas. Orang-orang muda yang seusianya kebanyakan terlihat gesit, sumringah dan ekspresif. Orang dengan usia setengah baya nampak berwajah lelah dan bosan. Beberapa orang nampak termangu atau sibuk dengan ponselnya.

Gojek yang kutumpangi melintasi deretan gedung-gedung tinggi pencakar langit yang membuatku terpukau bersamaan dengan pertanyaan yang memenuhi benakku. Gedung sebanyak ini apa semua terisi? Perusahaan apa saja yang berkantor di sana? Gajinya berapa? 

Suara klakson saling bersahutan begitu lampu hijau menyala, kendaraan roda dua bergerak gesit, mencari celah agar tetap bergerak di tengah kemacetan kendaraan roda empat. Udara terasa panas dan pengap padahal hari masih pagi. Ini yang akan aku lalui setiap hari jika bekerja di Jakarta. Sanggupkah? Tapi bukankah ini salah satu cara agar aku dan Angga bisa bersama. Tetap LDR setelah menikah bukan pilihanku.

Tak lama aku sampai di gedung tempatku interview. Salah satu gedung pencakar langit, aku di interview di lantai 16. Aku melirik jam tangan, masih pukul 8.00 sementara interviewku jam 9.00. Aku memang sengaja datang lebih awal untuk berjaga-jaga jika bertemu situasi yang tidak terduga, macet misalnya.

Aku memutuskan duduk di tembok pembatas antara lobi gedung dan taman gedung, menyibukkan diri dengan ponsel, namun ujung mataku memperhatikan orang yang berlalu lalang  masuk ke dalam gedung. Perempuan berpakaian dengan  beragam style, ada yang mengenakan blazer, baju terusan, blouse yang dipadu rok atau celana, sementara lelaki rata-rata mengenakan kemeja lengan pendek atau panjang. Beberapa kulihat mengenakan jas lengkap dengan  dasi. Ehm mungkin mereka ini para bos besar, pikirku. Aku membayangkan satu bulan ke depan, aku ada diantara mereka. Terbersit rasa excited sekaligus was-was. Begini rasanya akan menaklukan pusat ekonomi Indonesia. Aku berpengalaman menghadapi bos galak dan perfeksionis seperti Pak Aryo jadi sepertinya aku tidak akan kaget menghadapi bos atau rekan kerja model Pak Aryo.  Aku membayangkan rasa puas  jika nanti pengajukan resign pada Pak Aryo. Aku akan dengan bangga menyebutkan nama perusahaan yang menerimaku, sebuah perusahaan multinasional yang bonafid.

***

Sehabis magrib,  aku janji bertemu dengan Angga di sebuah coffee shop yang tidak jauh dari stasiun  Tebet. Ini tidak seperti pertemuan yang aku bayangkan. Tidak kutemukan tatapan kerinduan pada mata Angga. Tidak kutemukan juga senyum yang biasanya membuat hatiku hangat. Angga terlihat salah tingkah. Apa waktu 7 bulan membuat aku terlihat asing? Seharusnya tidak. Seharusnya kami saling tertawa dan menggenggam tangan untuk melepas rasa rindu. 

Aku mencoba mencairkan suasana dengan menceritakan perjalananku ke Jakarta, menginap di rumah Arini dan naik KRL. 

“Ya seperti inilah Jakarta Yu. Dan kamu harus menjalaninya setiap hari jika bekerja di sini. Transportasi termurah dan terintegrasi memang KRL.” Angga mengaduk-ngaduk minuman yang dipesannya dengan sedotan sebelum menyedotnya.

Aku mengecap kopi pesananku. Gestur tubuh  Angga yang nampak kurang bersemangat membuat aku mengurungkan niat menceritakan pengalaman interview tadi pagi. 

“Kamu yakin mau meninggalkan Yogya jika keterima bekerja di sini? Sebaiknya pikirkan dengan matang jangan sampai nanti menyesal. Di Yogya kamu nyaman, tidak perlu tergesa-gesa seperti di sini. Di sini kamu sudah capek dan stres sebelum bekerja.”

“Iya tapikan biar kita bersama Mas.”

Angga menatapku tapi entah bagaimana aku yakin dia tidak benar-benar tengah melihatku. Terdengar helaan nafasnya sebelum bicara,”Jakarta terlalu keras untukmu Yu.”

Aku menatapnya dengan kening berkerut, terlalu keras? Hidupku cukup keras, aku bukan berasal dari keluarga yang biasa memanjakanku dengan kenyamanan. Sekedar berdesak-desakan di KRL setiap hari tentu saja aku mampu. Aku terbiasa kemana-mana jalan kaki saat kuliah karena tidak memiliki motor. Aku anak daerah dengan ekonomi terbatas yang terbiasa dengan ketidakmudahan dan ketidaknyamanan. Angga tahu semua itu karena kami sudah saling mengenal sejak masa kuliah.

Dan lima  bulan ini Pak Aryo berhasil mendidikku menjadi pekerja yang tangguh, ya maksudnya bisa bekerja di bawah tekanan,  sanggup belajar hal baru walaupun dengan cara penuh drama. Jadi aku merasa siap menghadapi kerasnya Jakarta.

“Hubungan jarak jauh ini tidak mudah Yu dan aku tidak tega kamu bekerja di Jakarta.”

Apa hanya aku yang merasa perkataan Angga berbelit-belit. Ia hubungan LDR tidak mudah jadi untuk memudahkan salah satu dari kami harus mengalah agar bisa bersama. Aku yang mengalah meninggalkan kenyamanan  dengan pindah ke Jakarta. Begitukan logikanya?

“Iya karena LDR tidak mudah aku bersedia pindah ke Jakarta Mas.” 

“Ya tapi…..”Angga menggantungkan kalimatnya. 

Aku menunggu kelanjutannya, satu detik, dua detik, tiga detik…Kulihat Angga melempar pandangannya ke luar jendela.

“Tapi apa Mas?” 

“Maaf Yu, aku sudah mengkhianati hubungan kita. Kupikir Jakarta terlalu keras untukmu.”

Ya Tuhan kenapa harus menyalahkan Jakart? Alih-alih merasa sedih aku malah merasa ingin marah. 

“Tidak usah menyalahkan Jakarta, akui saja kalau Mas Angga jatuh hati pada perempuan lain.” 

Kami saling menatap tapi bukan dengan rasa penuh rindu seperti pertemuan sebelumnya. Aku menatapnya dengan penuh amarah dan kecewa. 

Hening. Keheningan yang panjang. Aku menahan diri untuk tidak menitikkan air mata walaupun mataku terasa panas. Aku tidak mau terlihat cengeng dan kalah. Tidak, cinta tidak akan membuatku meratap. Apalagi meratapi seorang pembohong. 

 

Bab 20 Patah hati

 

Aku memang tidak menangis di hadapan Angga, tapi setelahnya aku menangis.  Mendadak aku mengharapkan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta memakan waktu lebih lama, misalnya karena macet, sayangnya perjalanan dengan kereta tidak mengenal kata macet.   Perjalanan    terasa singkat karena air mataku belum kering, rasa sesak di dadaku belum berkurang, kemarahanku belum mereda. Begini rasanya patah hati, ternyata lebih sakit dari yang aku bayangkan. Aku melap hidung yang mendadak beringus dengan tisu, entah untuk keberapa kalinya. Pandangan mataku kabur karena air mata. Sekuat tenaga menahan agar air mata itu tidak jatuh, akhirnya jatuh juga. Aku benci menyadari kenyataan ternyata aku secengeng ini. Menangisi sebuah cinta. Ya Tuhan, perempuan macam apa aku, kalah dengan cinta? 

Arini berbaik hati meminjami aku kacamata hitamnya, begitu dia tahu sepulang dari bertemu Angga aku menangis hampir sepanjang malam. “Mata kamu bengkak, Yu, keliatan orang-orang di jalan di kereta malu. Pakai kaca mataku aja, nanti kembalikan pake paket.”

Angga cinta pertamaku dan aku terlalu naïf dengan menganggap perjalanan kisah asmara kami baik-baik saja dan akan berlanjut ke jenjang pernikahan padahal kalau diingat-ingat Angga tidak pernah membicarakan hubungan ini ke jenjang serius, contoh sederhana, dia tidak pernah mau membahas solusi untuk LDR kami. Ya, harusnya aku bisa menduga jika Angga jatuh hati pada perempuan lain, pertama, dia tidak pernah berencana pulang agar kami bertemu, dia juga tidak pernah mendukungku setiap aku berniat mencari pekerjaan di Jakarta. Angga juga tidak pernah berkata-kata mesra atau mengungkap rasa rindunya. Ternyata aku kurang peka. Terlalu ge-er. Aku membayangkan Angga menertawaiku di sana.  Aku menangisi hatiku yang patah dan kebodohanku.

Mataku memang bengkak, sudah dikompres pake es batu juga tidak berpengaruh banyak, karena tangisku belum berhenti total. Setelah jeda beberapa jam tidak nangis, aku kembali menangis. Parah, ternyata sesakit ini patah hati.

“Nanti juga rasa patah hatinya hilang Yu, kalau jatuh cinta lagi sama orang lain.” Kata Arini 

Masalahnya kapan aku bertemu orang yang bisa membuatku jatuh cinta dan dia jatuh cinta padaku. Yang sulitkan itu, menemukan yang saling jatuh cinta. Tapi walaupun sakit hati aku masih waras kok, tidak berpikir menyakiti diri sendiri apalagi bunuh diri. Aku ingat ada orang lebih menyayangiku dengan tulus, siapa lagi kalau bukan keluarga. Mencintai tanpa pamrih tanpa menuntut balas. Iya bayangan Ibu dan Muti yang menguatkanku.

Ibu dan Muti pasti bisa menduga apa yang terjadi jika melihat mataku sembab separah ini. Tidak mungkin kan aku menangis hingga sembab gara-gara tidak diterima bekerja di perusahaan di Jakarta.

Aku sampai di stasiun  Yogyakarta  jam setengah dua siang, Muti menjemputku, dia tertawa begitu melihatku,“Mba, kayak wisatawan aja pake kacamata.”

Aku tak menanggapi, menyerahkan satu tas ke Muti dan menjejari langkahnya menuju parkiran motor. Dengan ujung mata kulihat beberapa kali Muti melirik ke arahku. Sepertinya dia mulai menduga sebab aku mengenakan kaca mata hitam. Sepanjang perjalanan kami tidak bercakap-cakap padahal biasanya mulut Muti usil.

“Aku mandi dulu Bu, gerah,” setelah bersalaman pada Ibu dan meletakkan tas di kamar, aku ke kamar mandi. Ibu dan Muti sudah melihat mataku yang sembab dan sepertinya bisa menduga penyebabnya tapi mereka sungkan untuk bertanya. Selesai mandi aku memutuskan rebahan di tempat tidur.

“Mba, mau dipijitin?” Muti duduk di bibir ranjang.

Hah sejak kapan Muti berbaik hati dengan menawarkan diri memijat. “Ya boleh deh.”

“Mau pake minyak kayu putih nggak?”

“Iya pake.”

Aku memposisikan diri tengkurep jadi Muti mengolesi punggungku dengan minyak kayu putih dan mulai memijiti. Mijitannya kurang bertenaga tapi ya lumayan.

“Kenapa mba?” tanyanya.

“Nggak kenapa-napa, capek aja.”

“Ada masalah sama mas Angga ya?”

Aku tidak menjawab pertanyaan Muti. Ehm, nawarin mijitin ternyata modus, intinya Muti kepo.

“Yang sabar ya Mba, kalau jodoh nggak kemana, kalau bukan jodoh dikejarpun nggak akan dapat.”

Entah kenapa perkataan Muti malah membuat aku emosi, alih-alih merasa terhibur.

Aku membalikkan badan,”Mut, udah dipijitannya, mba mau tidur capek.” Aku menarik satu bantal  dan menutupkannya ke muka.

***

Kantung mataku masih bengkak gara-gara semalam aku menangis lagi setelah melihat status wa Angga dengan pacar barunya, hanya menampakkan tangan tapi tetap saja bikin baper. Aku benar-benar menyesal telah iseng mengintip statusnya. Untuk menjaga kewarasan akhirnya aku memblokir nomor Angga. Aku juga menangisi kenyataan, besok harus bekerja lagi bertemu Pak Aryo yang menyebalkan, yang selalu membuat aku merasa bodoh dan tidak bisa apa-apa. Selalu mengerutkan kening ketika aku melaporkan hasil pekerjaanku, seolah-olah selalu ada kesalahan.  Bayangan mengajukan surat resign dengan senyum puas menguap karena aku tidak punya nyali bekerja di Jakarta tanpa Angga, tanpa orang dekat yang bisa membantuku beradaptasi. Ya, aku malah berharap tidak diterima di perusahaan yang kemarin meng interview ku.

Begitu bangun tidur buru-buru aku mengompres mata dengan air es tapi bengkaknya hanya berkurang sedikit. Tidak mungkin ke kantor mengenakan kaca mata hitam untuk menyembunyikan mataku yang sembab. Ijin tidak masuk kantor tidak mungkin juga karena sudah cuti 2 hari . Mungkin aku akan menjawab sakit mata jika ada yang bertanya kenapa mataku bengkak.

Hari ini aku datang ke kantor jauh lebih pagi, agar tidak berpas-pasaan dengan banyak orang, terutama saat membuat minuman  di pantri.  Kulihat dispenser masih dalam keadaan mati, entah Pak Diman, OB kantor lupa menyalakan atau karena aku datang terlalu pagi jadi belum dinyalakan. Sambil menunggu air panas, aku membuka pesan di wa yang belum kubuka sejak semalam.

Ada pesan dari Rara. 

Yu gimana interviewnya, lancar?

Asik ni yee melepas kangen sama Angga.

        Aku putus Ra

Hah

Kok bisa

     Nanti deh aku cerita

Aku menutup ponsel, menitik mataku yang terasa panas dengan tisu. Ternyata hatiku masih selemah ini jika menyinggung soal Angga, aku meruntuki kecengenganku dalam hati.

“Kenapa nangis Yu? Dimarain Pak Aryo ya?” Dengan terkejut aku menoleh, kulihat Pak  Andre berdiri di depan dispenser mengisi gelasnya. 

Ya ampun saking seriusnya meratapi diri  sampai tidak mendengar ada orang masuk pantri.

“Hah! Nggaklah saya baru datang.”

“Oh kirain,” Pak Andre tersenyum jahil. “Patah hati ya?” Pak Andre duduk di depanku dengan cangkir kopi yang mengepulkan uap panas.

“Ya gitu deh.” Aku mencoba tertawa, tepatnya menertawai diri sendiri.  

“Ada meeting ya Pak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Diskusi  aja sih sama Pak Aryo.”

“Oh,” aku beranjak mengisi cangkirku dengan air panas lalu pamit meninggalkan pantrisebelum Pak Andre mengajak ngobrol. 

Bab 21 Makan siang dengan Aryo

Aku berhasil menghindari berinteraksi dengan rekan kantor sejak pagi, jika biasanya berbasi-basi say hello saat di pantri atau berpas-pasan, hari ini aku melewati jam sepuluh pagi tanpa membuat minuman di pantri. Jika Andini mengajak ngobrol-menanyakan ini itu, aku menjawabnya dengan menoleh sekilas, sok sibuk. Aku juga berencana titip beli makan siang sama Andini, tidak bergabung makan siang di luar. Semua dilakukan untuk menyembunyikan mata sembabku. Tapi nasib baik tidak berpihak sepenuhnya padaku, Pak Aryo menelpon meminta ke ruangannya.

“Siang Pak,” sapaku begitu masuk ke ruangannya tanpa senyum. Catat ya aku sudah tidak lagi memberikan senyum pada Pak Aryo.

“Siang,” Pak Aryo mengangkat wajahnya sebentar lalu kembali ke laptopnya.

Aku menarik kursi di depannya.”Proposalnya masih saya kerjakan Pak,” kataku sambil menunduk, menatap jemariku sendiri, menghindari Pak Aryo melihat mataku yang sembab.

“Saya nggak bertanya itu kok.”

Jadi mau apa Bapak memanggil saya? Pertanyaan itu hanya berani kuungkap dalam hati. Jadi aku diam, menunggu.

“Bagaimana interviewnya kemarin?”

“Kok Bapak tahu?” Spontan aku mengangkat wajah.  Aku mengajukan cuti dua hari kemarin dengan alasan ada urusan keluarga dan tidak ada satupun di kantor ini yang tahu aku interview ke Jakarta.

“Oh jadi benar ya tebakan saya.” Pak Aryo mengangkat wajahnya, tersenyum.

Aku menghembuskan nafas, lemas, tak menjawab.

“Mata kamu kenapa?” 

Pertanyaan yang seketika membuatku tersadar jika sejak tadi  aku tidak lagi menunduk. Aku buru-buru mengucek mata,“Sakit mata Pak.”

“Bukannya habis nangis?” tanya Pak Aryo dengan suara tawa tertahan.

Emosiku sedikit naik. Kalaupun habis nangis memang kenapa? Kan bukan urusannya. Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu. Teringat konfrontasi yang pernah kulakukan dulu dan kusesali. Ingat Yu,  Pak Aryo itu bosmu. 

“Saya ada perlu ke Klaten, Pak Rahman ke bank nganter Bu Mita, kamu bisa kan setirin saya, sekalian kamu cek persiapan Indra untuk pameran bulan depan.”

“Iya Pak bisa.”

Kulihat Pak Aryo melirik jam tangannya sebelum berkata,”Kita berangkat sekarang.”

Spontan mataku melihat ke arah jam dinding yang ada di ruangan ini. Jam setengah dua belas. Duh padahal perutku sudah lapar. Perjalanan ke Klaten dua jam, berarti aku harus menahan lapar selama dua jam. 

Saat mengiakan permintaan Pak Aryo tadi aku lupa jika kendaraan yang aku gunakan adalah mobil Alphard Pak Aryo. Beberapa tombolnya masih aku hapal tapi menyetirnya masih membuatku gugup. 

“Tenang aja Yu nyetirnya, santai, jangan panik,” kata Pak Aryo seperti bisa membaca kekhawatiranku, ketika aku mulai menyalakan kendaraan.

“Iya Pak.” Aku melirik Pak Aryo lewat kaca spion, kulihat juga bayangan diriku dengan mata sembab. Nampak menyedihkan sekaligus memalukan tak heran jika Pak Aryo menertawaiku tadi.

“Oh iya Yu, nanti kita mampir makan siang dulu.” Aku menarik nafas lega. Selain lapar aku merasa perlu makan untuk menyalurkan kesedihanku. Sejak semalam aku membayangkan semangkuk bakso yang pedas, asam dan gurih. Bakso dengan isian daging cincang dan cabe rawit tak lupa kerupuk putih. Masalahnya apa Pak Aryo mau mampir ke  warung bakso? Air liurku rasanya menetes setiap melewati warung bakso di pinggir jalan. 

Seperti dugaanku, Pak Aryo memilih restoran untuk kami makan siang, bukan warung bakso. Restoran yang tidak jauh dari candi Prambanan dengan konsep semi out door. Restoran yang kerap aku lewati jika akan ke Klaten dan pernah terbersit rencana mengajak  Rara kulineran ke sini. Karena bukan hari libur, suasana restoran cenderung sepi. Hanya beberapa  kendaraan yang terparkir.

“Bisa tolong bantu dorong kursi roda saya kan Yu?”

“Bisa Pak,” Aku mengangguk. Dengan konsep restorannya semi out door, jalanannya tidak mulus, jadi memang aku perlu mendorong kursi roda Pak Aryo. Mendorong kursi roda Pak Aryo tidak seberat dugaanku mungkin karena kursi rodanya canggih dan elektrik. 

Kami memilih meja yang terletak di pendopo, meja yang bersisian langsung dengan jendela tanpa kaca dengan view candi Prambanan yang menawan, berdiri gagah mempertahankan wibawanya selama ribuan tahun.

Candi yang konon di bangun atas nama cinta oleh Pangeran Bandung Bondowoso untuk seorang Putri bernama Roro Jonggrang dalam satu malam. Candi Prambanan hanya satu dari sekian legenda yang berhubungan dengan kisah cinta bagaimana seorang lelaki menunjukkan rasa cintanya dengan melakukan hal luar biasa.

Suara deheman Pak Aryo membuat aku menoleh.

“Pesan makanannya  Yu?” Pak Aryo menunjuk buku menu di meja.

“Eh iya Pak.” Karena tidak ada menu bakso kau memesan sop iga dan es campur. Tak lama seorang pramusaji menghampiri menuliskan pesanan kami.

“Jaman dulu bangsa kita sudah bisa membangun bangunan sehebat itu.” Pak Aryo mengarahkan pandangannya ke arah Candi Prambanan. “Butuh seorang arsitektur dan teknik sipil yang jenius.”

Aku mengikuti pandangan Pak Aryo. Jika aku fokus dengan kisah cintanya Pak Aryo dengan teknik membangunnya, dalam hati aku tertawa karena perbedaan isi pikiran kami.

“Candi itu hanya salah satu bukti jika bangsa ini, kita,  memilli DNA jenius jadi harusnya bisa mengelola kekayaan alam secara berdikari, sayangnya sistem feodal jaman dulu yang kemudian dilanjutkan dengan kolonialisme ratusan tahun, membuat mental budak jadi membudaya-melekat kuat, akhirnya melahirkan dan mengembangkan corak perbudakan baru pada  sistem pemerintahan, ekonomi dan  politik saat ini.

“Pemikiran Tan Malaka dalam Madilognya masih relevan ya Pak.”

“Kok kamu tahu?”

“Saya anak ips, pernah ikut diskusi buku seperti itu.” Sebenarnya karena diajak Angga aku ikut nongkrong diskusi buku-buku sejenis itu waktu di kampus dulu. Angga seorang aktivis kampus yang digandrungi banyak perempuan termasuk dirinya, Angga sempat menjadi ketua BEM kampusnya. Aku selalu terkesima ketika melihat Angga orasi. Walaupun anak teknik yang identik dengan logika matematis tapi pengetahuan soal buku, Angga jauh lebih banyak daripada aku yang notabene anak sosial. Alasan lain aku mengaguminya saat itu. Sudah Yu, sudah, nggak perlu diingat-ingat lagi soal Angga, bisik hatiku yang lain. Aku memfokuskan diri pada Pak Aryo.

“Akh iya ya.” Pak Aryo tertawa. 

Aku melihat ekspresi Pak Aryo yang tidak biasa, nampak lepas dengan   mata berbinar, mengingatkanku pada foto wisuda Pak Aryo yang kulihat di rumahnya.

Garis wajah Pak Aryo terlihat rileks, tanpa kerut di kening atau garis bibir yang tertarik ke bawah. Aku pikir ini karena efek tempat di mana kami berada. Tempat yang untuk sesaat bisa melupakan persoalan rumit. Angin semilir yang berembus ditingkahi suara pelan gamelan, wangi kopi, wedang jahe, aroma merica, margarine, yang membuat pengunjung berpikir satu hal, pesan makan apa ya?

“Sepertinya kita bisa jadi teman ngobrol hal-hal di luar pekerjaan Yu.”

Aku hanya tersenyum. Semoga tidak, membicarakan isi buku seperti itu berat dan hanya mengingatkanku pada Angga.

“Oh ya, kemarin interview di perusahaan apa?”
Aku menyebutkan salah satu perusahaan multinasional.

Setelah hubunganku dengan Angga putus, aku malah berharap tidak diterima kerja di Jakarta. Angga yang membuatku ingin bekerja di Jakarta, sekarang tidak ada lagi yang kukejar.

“Wah perusahaan  bagus itu. Melamar sebagai staf apa?”

“Staf general officer  Pak.”

Pak Aryo mengangguk-angguk. “Ya kalau keterima di Jakarta pertimbangan salary nya, karena biaya hidup di sana lebih mahal apalagi kalau plus ngekost.”

“Iya Pak.”

Obrolan terputus saat pramusaji yang datang membawa pesanan kami. Tidak salah aku memilih sop iga, setelah kukucuri jeruk dan sambal, rasanya cukup menggantikan sensasi segarnya kuah bakso.

Kulihat Pak Aryo memesan steak. Kami makan tanpa berkata-kata. Sesekali aku memperhatikan cara Pak Aryo memotong steak.  Aku agak trauma makan steak di restoran karena pernah suatu kali saat memotong steak malah steaknya jatuh, mungkin karena aku salah  memegang pisau dan garpunya ditambah canggung. Kerugiannya tidak seberapa tapi rasa malunya terasa sampai sekarang. 

“Kerja kamu bagus Yu.” Komentar Pak Aryo setelah piring kami sama-sama kosong. “Tapi kamu kurang inisiatif. Bekerja itu kan enaknya dua arah, ada masukan, ide, kritik. Ada saatnya relasi antara atasan dan bawahan ada saatnya relasi seperti teman diskusi terutama terkait mengambil keputusan pekerjaan. Jadi kamu tidak usah takut memberikan ide atau saran pada saya, Pak Hendri atau Bu Mita.

Aku hanya menangguk sementara dalam hati membela diri. Ya bagaimana saya berani memberikan masukan kritik dan saran, jika sikap Bapak selama ini kesannya menuntut, tidak menampakkan membuka ruang diskusi. Pak Aryo  yang bersikap satu arah, tidak pernah mengomentari hasil kerjaku selain yang perlu direvisi, saat meeting bahkan seperti mengabaikan keberadaanku. 

“Nggak usah takut salah saya tidak akan memecat kamu.”

Aku diam. Masalahnya ekspresi Bapak membuat saya insecure. Hampir tidak pernah menampakkan wajah welcome. Baru kali ini sikap dan nada bicara Pak Aryo normal. Apa Pak Aryo memiliki kepribadian ganda?

“Dan satu lagi Yu, jangan suka merenggut begitu.” 

Buru-buru aku menarik bibir membentuk senyum. Tentu saja hatiku tidak benar-benar tersenyum. Inikan salah Pak Aryo. Setiap aku tersenyum Pak Aryo tidak pernah membalas senyumku sampai aku berpikir, mungkin Pak Aryo menilaiku genit. Aku mengangkat wajah dan menatap matanya, memastikan apa yang dibicarakan Pak  Aryo memang bener keluar dari hati dan pikirannya, mata itu jendela hati, tidak bisa berbohong.

Aku menelan ludah ketika Pak Aryo membalas tatapanku dengan intens dan entah kenapa tatapan itu terasa menyihirku sehingga tetap di sana. Aku bisa melihat matanya yang jernih, garis bibirnya yang melengkung ke atas yang memberi kesan ramah, rahangnya yang persegi dan…

“Pesanan kopinya, Pak.” Suara pramusaji diikuti dengan tangannya yang meletakkan secangkir kopi di meja membuat aku tersentak gugup. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan. Mukaku terasa panas karena malu. Memalukan, sangat memalukan…Aku meruntuki diri sendiri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Complicated Boss I Bab 22-24
0
0
Cerita dengan genre chicklit, komedi romantisWaktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan.....Karena sebuah kecelakaan Aryo  terpaksa  meninggalkan karirnya di Jakarta, kembali ke kampung halaman dan meneruskan usaha keluarganya.Berawal dari rasa simpati dan kagum, Ayu jatuh hati pada Aryo tanpa Aryo ketahui. Saat bersamaan  Aryo akan dijodohkan dengan perempuan lain.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan