Selaksa Rasa Bab 13 - 15

1
1
Deskripsi

Dengan tubuh yang terasa  lemas Sisil melanjutkan langkah menuju kursi yang tadi ditempatinya. Tamu-tamu mulai berdatangan, sekelilingnya mulai ramai, suara orang terbahak, obrolan yang nampak seru, ada juga orang yang tengah bercakap-cakap dengan ekspresi serius.  Tempat yang asing, wajah-wajah asing, suasana asing, untuk sesaat Sisil merasa berada di dunia yang lain, terlebih mengingat yang dilakukan Pak Arga tadi.  

Detik dan menit berlalu, Sisil masih termangu di kursinya, kebingungan. Apakah...

Bab 13 I feel you

Mama menelpon, mengabarkan jika akan menjemput Sisil di stasiun Jurang Mangu.

“Sisil naik ojek online aja Mah, biar nggak repot.”

“Kita sekalian mau besuk  Bang Zidan di rumah sakit.”

Seketika Sisil panik,“Bang Zidan sakit apa Ma?” 

“Tipus.”

“Sejak kapan? Kok Sisil nggak tahu.  Bang Zidan nggak ngasih tahu Sisil.”

“Baru masuk rumah sakit tadi pagi. Udah dulu ya De, Mama mau jalan.”

Sisil duduk dengan gelisah menunggu kedatangan Mama. Ia tidak habis pikir bagaimana sampai tidak tahu Bang  Zidan sakit, bagaimana sampai Bang Zidan tidak mengabari kalau dirinya sakit. Sisil merasa menyayangi Bang Zidan seperti menyayangi Ka Sophie dan Ka Shifa malah mungkin lebih karena Bang Zidan nggak pernah membuatnya kesal atau marah.

Ditulisnya pesan,

Bang Zidan kata Mama sakit ya

Kok nggak bilang-bilang

Sejak kapan

         Iya Sil

        Sakit biasa kok

Tapi Bang Zidan kok nggak bilang ke Sisil kalau sakit

        Kita kan sekarang jarang ketemu 

Iya akhir-akhri ini Sisil jarang bertemu, Bang Zidan jarang ngajak pulang bareng,  Sisil juga kadang pulang kerja dianter Pak Arga dan hari Sabtu atau Minggu Pak Arga ke rumah. Kalau berangkat kerja, Sisil suka bareng Papa sampai stasiun.

Tapi kan bisa kirim wa

        Iya maaf 

       Sil,  udah dulu ya ada visit dokter

Iya Bang

Sisil mau ke sana sama Mama jenguk Abang

 “Sil!,” terdengar panggilan Mama diiringi suara klakson. 

“Kok bawa mobil Ma?” tanya Sisil begitu masuk ke dalam kendaraan. Menurut Sisil menjemput menggunakan mobil ke stasiun tidak praktis, jalanan padat, perjalanan jadi lebih lama padahal jarak antara rumah sakit dan stasiun tidak terlalu jauh, dari rumah Sisil juga tidak jauh, tempat tinggal Sisil semacam kota mandiri, ke fasilitas umum dekat.  
“Mama bawa makanan buat Bang Zidan, kalau naik motor susah bawanya.”

“Mama kok baru bilang Bang Zidan sakit.” Kendaraan membelah jalan yang mulai padat.

“Kirain Mama, Ade tahu.” 

“Bang Zidan nggak ngabarin.” Sisil  berdecak, ia dongkol karena baru tahu Bang Zidan sakit setelah dirawat di rumah sakit. Sisil tak sabar ingin segera sampai di rumah sakit dan melihat Bang Zidan.

Bang Zidan tengah terbaring begitu Mama dan Sisil datang, tangan kirinya dipasang infus, wajahnya nampak pucat. Menurut penglihatan Sisil  jadi sedikit kurus, matanya cekung dan sayu, rambutnya kusut, terlihat lemas. Sisil merasakan matanya panas, dia ingin menangis tapi malu. Tapi air matanya tidak bisa ditahan, buru-buru ia usap dengan punggung tangan.

“Abang nggak apa-apa Sil, cuma perlu istirahat,” ujar Bang Zidan  dengan mengulas senyum tipis.

“Bang Zidan kok nggak ngasih tahu kalau sakit?”

“Ehm.”

“Bang Zidan kecapean ya, jarang sarapan ya?”

 “Sil!” Panggil Mama dengan nada tidak suka.

“Nggak apa-apa Tante.” 

“Gimana Dan, udah mendingan?” tanya Mama, berdiri di samping bed, Sisil di sebelahnya, menatap Bang Zidan dengan sedih. Iya Sisil suka sedih kalau Bang Zidan sakit karena kasian nggak ada yang rawat, Mamanya kerja. Waktu kecil kalau Bang Zidan atau Ka Rania sakit, Mama Sisil yang nengokin ke rumah, pastiin udah makan dan minum obat, walaupun ada mba yang rawat Bang Zidan dan Ka Rania.

“Mendingan Tante, udah enakan. Jadi ngerepotin ya.”

“Nggaklah. Tante bawain puding buah, tapi sengaja Tante bikin nggak terlalu manis.”

“Makasih Tante.”

Mama melihat keseliling. “Bunda tadi ke sini ya Bang,” tanya Mama. Bunda adalah sebutan Bang Zidan untuk Mamanya.

“Iya, dari siang, baru pulang.”

Mama berbalik,  dia meletakkan bawaannya di meja, membereskan plastik bekas yang tercecer di lantai dekat sofa. Mama membuang botol air mineral kosong di meja. Begitulah Mama Sisil, tipikal ibu rumah tangga yang resik, paling nggak betah lihat yang berantakan, dimanapun suka inisiatif beres-beres.

Sisil menghela nafas. “Sisil nggak suka aja kalau Abang sakit. Abang udah makan?”

“Udah.”

Cukup lama Sisil menatap Bang Zidan, ia merasa sedih dan ingin sekali memeluk Bang Zidan tapi tidak boleh. Dulu saat kecil, Sisil pernah memeluk Bang Zidan sambil nangis karena jatuh dari sepeda dan lututnya berdarah. Mama memisahkan pelukannya, lalu membawa Sisil dan Bang Zidan ke dalam rumah. Mama mengobati luka Bang Zidan sambil menasehati, kalau Sisil dan Bang Zidan nggak boleh pelukan walaupun sayang karena mereka bukan saudara satu Ayah dan Ibu, katanya  Mama, mereka  bukan muhrim. Jadi sesayang apapun Sisil nggak boleh meluk Bang Zidan begitu juga sebaliknya. Seiring bertambahnya usia Sisil paham maksud bukan muhrim yang disebut Mama, ia dan Bang Zidan bisa jadi muhrim jika menikah. 

Kenapa Sisil nggak menikah sama Bang Zidan aja ya seperti kata Ka Sophie, mungkin dua atau tiga tahun lagi. Tapi apa Bang Zidan mau menikahi Sisil…Tapi bagaimana dengan Pak Arga?

“Sil, Abang nggak apa-apa kok,” ucap Bang Zidan. 

Sisil mengerjap-ngerjapkan matanya,”Abang cepet sembuh ya.”

“Makasih ya Sil.”

                                                                                          ***

Hari ini, sepulang kerja, Sisil berencana menjenguk Bang Zidan lagi, jadi mau pulang tepat waktu, jam 5 langsung kabur.

“Buru-buru amat sih Sil, mau kemana?” tanya Mirza ketika dilihatnya tepat jam 5 Sisil sudah mencangklong tasnya dan bersiap pergi.

“Ada perlu.”

“Janjian sama Pak Arga ya?”

“Nggak. Yuk Za duluan,” Dengan langkah bergegas, setengah berlari, Sisil melintasi ruangan kantornya sampai sebuah suara menghentikan langkahnya.

“Sil, mau pulang?” Pak Arga baru keluar dari ruangannya tangannya memegang sebuah berkas.

“Iya, Pak.” 

“Buru-buru ya, mau kemana?” Pak Arga menatap Sisil penuh rasa ingin tahu.

,“Mau jenguk Bang Zidan  di rumah sakit.” 

“Abang tetangga Sisil itu?”

“Iya.”

“Oh, rumah sakit mana?” 

“Deket rumah, di Bintaro.  Pak Arga pulang malam ya?”

“Nggak sih paling habis magrib. Tadinya pengen sekalian anter Sisil.”

“Besok?”

“Besok saya ketemu klien, bisa sampai sore, mungkin nggak mampir ke kantor lagi.” Pak Arga menghela nafas, menggigit bibirnya, keningnya sedikit berkerut seperti sedang mengingat-ngingat sesuatu, lalu katanya.”Saya usahakan lusa pulang cepat. Hati-hati ya Sil, semoga Bang Zidan lekas sembuh.”

“Terima kasih Pak.” Sisil tersenyum dengan luapan bahagia. 

Perjalanan pulang terasa lama karena hati Sisil gelisah ingin segera sampai di rumah sakit. Ingin memastikan Bang Zidan baik-baik saja. 

Sisil sudah mengabari Bang Zidan jika ia akan menjenguk, jadi setelah mengetuk pintu ruangan tempat Bang Zidan di rawat, ia membuka pintunya. Bang Zidan dirawat di ruang VIP jadi bisa dijenguk jam berapa saja.

Sisil sedikit tersentak kaget mendapati seorang perempuan dengan jilbab krem duduk di sofa, dia  menoleh melihat kedatangannya. Seingat Sisil baru pertama kalinya ia melihat perempuan ini, karena Bang Zidan tidak pernah terlihat dengan teman perempuan. Setahu Sisil Bang Zidan belum punya pacar, pernah punya pacar saat kuliah karena pernah datang ke rumahnya tapi sudah lama putus bahkan sebelum Bang Zidan lulus.

Perempuan itu tersenyum,”Temannya Abang ya? Sebentar ya,  Abangnya lagi di kamar mandi. Saya Amira.” Perempuan itu menjulurkan tangannya, mengajak bersalaman. Entah kenapa Sisil tak suka ada perempuan  lain memanggil Bang Zidan dengan sebutan Abang. Perempuan itu cantik, terlihat anggun, dewasa, senyumnya ramah, gesturenya sopan, tapi entah kenapa Sisil tidak suka. Sisil sadar itu salah, bagaimana bisa tidak menyukai seseorang yang tidak menjahatinya, tidak bersalah, tapi sukar sekali menghilangkan rasa tidak suka itu.

Sisil duduk dengan canggung di sofa, antusiasme untuk bertemu Bang Zidan menguap, ada campuran rasa marah dan perih Bang Zidan dekat dengan perempuan lain selain Sisil dan Ka Rania,  tubuhnya tiba-tiba terasa capek dan  lemas. 

Tak lama Bang Zidan keluar dari kamar mandi, Amira menghampiri dan membantu memegang hanger infusan. Sekarang Sisil bukan hanya ingin menangis, tapi marah, entah marah pada siapa.

“Hai, Sil, dari kantor?”

“Iya.”

“Udah kenalan?” Bang Zidan menatap Sisil dan Amira bergantian.

Sisil mengangguk.”Teman kantor Abang?” 

“Kita nggak sekantor Sil, Amira teman dekat Abang.”

Teman dekat artinya pacarkan? Jadi Amira calon istri Bang Zidan kan, karena Bang Zidan selalu bilang nggak cari pacar tapi calon suami? Ingatan yang membuat Sisil ingin menangis.

Sil, jangan nangis malu…

“Makasih ya Sil, jenguk Abang.”

“Iya. Kapan diperbolehkan pulang?” tanya Sisil.

“Belum tahu, Sil, nunggu hasil tes darah.”

Sisil kehilangan kata-kata untuk ngobrol,  kehadiran Amira dan perasaannya terhadap Bang Zidan yang berubah membuatnya canggung selain ia khawatir air matanya jatuh karena intensitas  rasa pedih yang terus bertambah hingga uluhatinya terasa sakit. Akhirnya Sisil memutuskan pulang.

“Semoga Abang cepat sembuh. Sisil pulang dulu.”

“Buru-buru amat Sil, kan baru sampai?”

“Sisil ada janji sama Mama. Sisil pamit ya.”

Begitu pintu ruang rawat tertutup, air mata Sisil jatuh, buru-buru ia lap dengan tisu. 

Sil, mereka baru teman dekat, jadi mungkin baru pendekatan seperti Sisil sama Pak Arga, jadi Amira belum tentu jadi pacar Bang Zidan. Sisil mencoba menghibur diri.

Getaran ponsel di tasnya membuat Sisil menghentikan langkah. Telepon dari Pak Arga.

“Sil, masih di rumah sakit?”

“Iya tapi ini mau pulang.”

“Bang Zidan sakit apa?”

“Tipus.”

“Oh, kalau sudah sampai rumah kabari ya Sil, saya mau telpon.”

 

Bab 14 Has he ever kissed you?

Perasaan Sisil tidak enak setiap kali mengingat pertemuannya dengan Amira, Mencoba tidak mengingatnya pun tidak mudah karena suka tiba-tiba teringat, seperti pagi ini, ketika tiba di kantor, terlintas wajah Amira dan Bang Zidan. 

Sekarang Sisil paham penyebab Bang Zidan jarang mengajaknya pergi atau pulang kerja bareng, naik KRL ataupun mobil, mungkin untuk menjaga jarak. Rasanya aneh, seperti ada yang hilang, kadang rasanya sedih apalagi kalau pulang lembur, udah lapar, capek, kehujanan,   kedinginan dan tidak ada teman.Tapi Sisil harus mulai membiasakan, karena harus lebih mandiri. Sisil menghela nafas, menguatkan hatinya. Sisil rindu Bang Zidan yang dulu. Harusnya Sisil senang Bang Zidan sudah punya calon istri, bukankah ia sering mendorong Bang Zidan untuk memilki calon istri? 

Pikiran Sisil tentang Bang Zidan membuatnya tidak fokus kerja, hari ini sudah dua kali ngeprint dokumen yang salah, untung hanya dua lembar. 

 “Sil gimana progress hubungan lo sama Pak Arga,” tanya Mirza tiba-tiba.

“Ih kepo.” Sisil mencibir tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop. Ia sedang membuat schedule pertemuan associate dengan klien. Beberapa hari ini pikiran Sisil dipenuhi Bang Zidan dan Amira bukan Pak Arga.

Mirza tertawa,”Bukan kepo cuma gue penasaran dengan  gaya  hubungan lo sama Pak Arga, yang terlihat dewasa, nggak saling caper atau mesra-mesraan di kantor, bisa tetap cool gitu. Padahal lo kan manja-manja gitu.”

“Emang Sisil manja ya?” Sisil suka kesal dibilang manja karena dia merasa tidak manja, memang tidak seberani atau semandiri Ka Sophie, tapi nggak manja.

“Gimana ya, lo tuh bawaannya manis-manis manja gitu,” Mirza terkekeh.  Sisil menoleh, mengerutkan kening tak mengerti.

“Manis-manis manja gimana?” tanya Sisil bingung.

“Ya ekspresi lo tuh manis manja gitu. Kayaknya itu yang bikin Pak Arga suka sama lo.” Mirza menutup mulut dengan tangannya untuk meredam tawa.

Sisil mencubit lengan  Mirza. Ia  nyaman dengan cara Pak Arga menjaga interaksi dengan dirinya di kantor, perhatian tapi tidak berlebihan. Sisil juga suka cara bersikap Pak Arga terhadap karyawan perempuan lain, menjaga jarak, tidak banyak basa-basi, mengobrol hanya soal pekerjaan. 

“Udah resmi jadian Sil?”

“Kepo banget sih.” Tuh kan Mirza nggak bisa mulutnya nggak ngomong beberapa jam, sesibuk apapun pasti disambi ngobrol walaupun bisik-bisik biar nggak kena tegur Bu Farah.

“Emang gue kepo. He says I love you, Sil?”

“Memang harus ya, say I love you.”

“Sebenarnya itu penegasan Sil. Akh, lo belum pernah pacaran sih.” 

Perkataan Mirza membuat Sisil termenung, selama ini memang Pak Arga tidak pernah mengucapkan kata itu, hubungan dimulai ketika Pak Arga meminta ijin untuk lebih jauh mengenalnya, lalu berjalan seperti sekarang. Kadang makan siang bareng, kadang pulang bareng, kadang Pak Arga hari Sabtu atau Minggu ke rumah Sisil  mengajak jalan tapi tidak setiap akhir pekan, tergantung Pak Arga. Sisil tidak pernah meminta dikunjungi setiap akhir pekan. 

Tidak ada kata-kata mesra dalam percakapan selain kata ‘ingin bertemu’.

“Atau mungkin Sil, karena Pak Arga dewasa, dia akan langsung nembak lo dengan pertanyaan, will you be marry me?”

Mengajak menikah? Tidak, tidak, Sisil belum siap. 

Has he ever kissed you?” Mirza mengedipkan sebelah matanya dengan ekspresi jail. 
“Nggak boleh ciuman sebelum nikah, belum halal.” Pesan yang sering dikatakan Mama pada Sisil. 

“Iya sih, tapi itu godaannya Sil.” Mirza terkekeh.

Sisil tahu itu, tanpa sadar ia menjilat bibirnya.

 “Lo lagi ngebayangin dicium Pak Arga ya Sil?” 

“Mirza!” Sisil kembali mencubit lengan Mirza. 

                                                                                  ***

Sejak Mirza membicarakan soal kalimat penegasan dalam sebuah hubungan, Sisil resah setiap berduaan dengan Pak Arga karena  mulai bingung dengan perasaannya sendiri.. Rasanya perih setiap mengingat Bang Zidan bersama Amira, kenyataan yang menyadarkan, Bang Zidan akan pergi dari kesehariannya. 

Sisil bingung tak tahu harus bagaimana menata perasaannya agar kembali seperti dulu. Tidak ada rasa perih ketika  mengingat Bang Zidan, bahagia jika bertemu Bang Zidan, tidak seperti sekarang, ingin bertemu Bang Zidan tapi saat ketemu, walaupun sekedar melihatnya dari jauh – saat Bang Zidan melintas depan rumahnya - ada rasa nelangsa.

“Ngelamunin apa Sisil?”  Pak Arga menatap Sisil dari balik cangkir kopi yang tengah disesapnya, mengulas senyum tipis dengan tatapannya yang Sisil suka tapi hari ini tatapan itu tidak ia sukai karena membayangkan Bang Zidan ada di sini.

Sisil meringis. Mereka sedang duduk di teras rumah Sisil. 

“Jangan sungkan Sil kalau mau cerita. Saya mau jadi tempat Sisil cerita-cerita.” 

Masalahnya, Sisil belum bisa bicara pada Pak Arga selepas bicara ke Bang Zidan. Ke Bang Zidan, Sisil nggak pernah malu-malu cerita apapun, nggak takut diledek walaupun cerita hal remeh temah atau ngeluh ini itu. Akh, apa kabarnya Bang Zidan sekarang? Sudah jarang terlihat walaupun rumah mereka bersebelahan, mulai jarang main tenis, kata Papa. Sepertinya saat weekend Bang Zidan apel ke rumah Amira. Sisil menarik nafas, bertekad berbesar hati merelakan Bang Zidan pergi dari kesehariannya. Sisil sayang Bang Zidan jadi harusnya senang melihatnya berbahagia dengan Amira.

“Sil.”

“Ya,” Sisil geragapan sebelum akhirnya bertanya,”Pak Arga punya kaka atau adik?” tanya Sisil hati-hati. 

Pak Arga menghela nafas,“Saya anak tunggal. Orang tua sudah berpisah sejak kecil, saya tinggal dengan Oma, nenek dari pihak Ayah.”

“Oh.” Sisil menatap Pak Arga penuh simpati.  Sisil jadi sedih membayangkan masa kecil Pak Arga. Tidak terbayangkan ‘tidak punya’ Mama yang selalu ada disampingnya, ternyata masa kecil Pak Arga lebih menyedihkan dari Bang Zidan.

“Nanti Sisil saya kenalkan sama Oma. Pasti dia suka Sisil.” 

“Bagaimana Pak Arga tahu Oma  suka sama Sisil, kan belum pernah ketemu.” Sisil masih memanggil Pak Arga dengan kata sapaan Pak walaupun diminta mengganti dengan kata sapaan lain atau menyebut tanpa kata sapaan karena Sisil masih bingung. Mengganti dengan kata sapaan Bang sepertinya tidak mungkin karena Abang hanya buat Bang Zidan, pakai kata sapaan Mas, kurang cocok karena Pak Arga atau Sisil bukan orang jawa. Langsung memanggil nama, rasanya tidak sopan karena usia Pak Arga di atas Sisil.”Panggil Om aja Sil,” ledek Mirza beberapa waktu lalu. Idih, kesannya Pak Arga om-om hidung belang.

“Karena saya tahu orang seperti apa yang disukai Oma. Oh ya Sil, saya dapat undangan tahun baruan, Sisil bisa ikut kan?”

“Sisil nggak bisa begadang.”  Dan tidak mau begadang karena esok harinya kepalanya sakit jika begadang. Sisil tidak pernah ikut keramaian khusus malam tahun baruan, kecuali yang diisi acara barbeque di rumah teman saat  jaman sekolah dan kuliah. Sisil tidak pernah ikut acara sampai selesai, jam 10 biasanya akan dijemput Papa atau Bang Zidan. Selain itu Sisil memang tidak bisa menahan ngantuk, kalaupun ditahan, terus kepalanya nyender, udah langsung tidur pulas, kata Ka Sophie, Sisil pelor, kalau nempel langsung molor.

“Kita nggak sampai selesai, jam 10 pulang. Saya tidak terlalu suka acara seperti itu sebenarnya, datang hanya untuk menemui beberapa orang dan pengundang untuk menjalin pertemanan dan relasi. Nanti saya minta ijin sama Papa Sisil.” Kadang Sisil merasa aneh sendiri, cara bicara Pak Arga padanya resmi seperti di kantor tapi ia suka. Seperti ia menyukai suara Pak Arga yang dalam dan tenang. 

 

Bab 15 New year party 

Acara tahun baruan teman  Pak Arga diadakan di sebuah rumah di kawasan Kemang. Undangannya tidak  banyak jadi tidak  terlalu ramai, cerita Pak Arga  pada Sisil saat diperjalanan tadi. “Tamunya juga tidak  semua saya kenal Sil. Kita langsung pulang setelah  ketemu beberapa orang yang saya kenal.”

Sisil paham,  mungkin yang mengudang klien,  mantan klien atau orang penting lainnya jadi Pak Arga harus hadir demi menjalin relasi.

Sejak diperjalanan jantung Sisil berdebar-debar karena ini pertama kalinya ikut acara tahun baruan seperti ini, mungkin  semacam party,  kata Ka Sophie karena dia  pernah ikut  pesta  tahun baruan bareng teman-temannya.

“Jangan minum alkohol De. Kalau ditawari minum juga jangan  mau. Bukan nakut-nakutin tapi kita kan nggak tahu Arga seperti apa, gimana latar belakangnya, kamu juga belum ketemu orang tuanya kan.  Yang Kakak takutkan bukan kamu mabuk De tapi…,” Sophie memberi jeda sebelum melanjutkan,”Tahu kan istilah ONS, one night stand? Biasanya terjadi karena orang mabuk.”

Sisil mengangguk.

“Ngeri kan kalau sampai terjadi. Bukan menakut-nakuti, hanya harus hati-hati. Kalau ada apa-apa telepon Papa atau Bang Zidan.”

Ka Sophie benar, ia belum mengenal Pak Arga dengan baik, selain pekerjaannya.

Furniture dalam rumah  nampak  mewah dan modern, pada satu dindingnya dilapisi cermin sehingga memberi kesan luas, sofa besar yang terlihat sangat empuk jika diduduki, dilengkapi meja kaca yang mencilak. Sebuah lukisan  bergaya kubisme dengan warna dasar merah  bergambar seorang perempuan tergantung di salah satu sisi dinding. Pada ujung ruangan terdapat mini bar, di sebelahnya terdapat pintu geser dari kaca, sehingga Sisil bisa melihat ada kolam renang di luar sana. 

“Kok masih sepi?” Sisil melihat sekeliling setelah dipersilahkan masuk seorang pelayan, nampak beberapa gelintir orang termasuk bartender.

“Acaranya mulai ramai jam 10 ke atas Sil,  kita datang cepat karena mau pulang cepat kan.”

“Arga!” Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit menghampiri dan menyalami Pak Arga. “Sibuk terus ya sekarang, mantap. Gue dengar lo nanganin kasus kelas kakap itu ya.“

Off the record.” Pak Arga mengedipkan sebelah matanya. Lelaki itu tergelak lalu melihat ke arah Sisil, mengangguk dan tersenyum.
“Ini Sisil,” Pak Arga memperkenalkan Sisil.

“Andreas,” ujar lelaki itu. 

Ketiganya berjalan ke luar, di mana nampak kolam renang yang sekelilingnya terdapat kursi dan meja, sepertinya memang disiapkan untuk acara malam ini. Pada mejanya terdampat gelas-gelas dan botol minuman. Mereka duduk di sana. 

Sisil tidak begitu paham dengan pembicaraan Pak Arga dan Andreas juga tidak dilibatkan. Jadi ia mengisi waktu dengan memandang berkeliling. Suara musik mengalun, lampu-lampu kristal berputar dengan nyala redup. Di satu sisi nampak perlengkapan  barbeque dan food stall yang tengah disiapkan.

Seiring berjalannya waktu tamu mulai berdatangan,  Andreas undur diri. Beberapa orang datang menyapa atau disapa Pak Arga. Sisil mulai tidak nyaman, merasa salah kostum karena tamu-tamu perempuan datang yang terlihat glamor dan seksi, Sisil hanya mengenakan celana panjang dan blus lengan pendek, atas saran  Ka Sophie. Katanya, ini agak cocok buat pesta walaupun tidak seksi karena blus berbahan satin ini memberikan sedikit efek mewah. Pak Arga tidak komplain soal pakaiannya, tapi kalaupun Pak Arga menyarankan berpakaian seksi pasti tidak lakukan karena Papa pasti tidak mengijinkan. Sisil mengulas senyum setiap dikenalkan Pak Arga pada temannya, berusaha menampakkan percaya diri. 

“Sebentar lagi ya Sil, nggak lama kok,” ujar Pak Arga seperti tahu kegelisahan Sisil.

“Iya Sisil nggak buru-buru kok.”

”Kenapa ya tiap ngeliat Sisil, saya suka takut sakit gigi.” Pak Arga menatap Sisil sambil menopang dagu dengan kening berkerut.

“Kok bisa?”

“Soalnya Sisil manis.”

“Idih Pak Arga, gombal.” Sisil merona. Pak Arga terkekeh. 

“Hai Ga! Sisil!” Sebuah suara membuat keduanya menoleh, nampak Astrdi berjalan ke arah mereka. Sisil tidak mengira  akan bertemu Mba Astrid di sini.  Dia menarik kursi, duduk di samping Sisil.

“Baru datang Trid?” tanya Pak Arga.

“Iya. Udah ketemu Rafael?” 

“Belum.”

“Ada tuh di bar, baru datang.” Dengan dagunya Astrid menunjuk ke dalam ruangan.

“Sil, tunggu sebentar ya, jangan kemana-mana.” Pak Arga mengusap kepala Sisil.

“Tenang Ga, Sisil nggak akan kemana-mana.” Astrid tertawa. Pak Arga berlalu dari samping Sisil.

“Sepertinya hubungan kalian serius ya.” Astrid menatap Sisil dengan penuh rasa ingin tahu, dia menuang minuman di botol ke dalam gelas.

Sisil menanggapi dengan senyum canggung sambil membetulkan letak kaca matanya. Entahlah, Sisil masih bingung dengan perasaannya sendiri pada  Pak Arga.  Pak Arga juga belum mengatakan kata penegasan seperti yang dikatakan Mirza.  Sisil hanya mencoba menjalaninya dulu.

“Arga orangnya baik sih Sil, cuma…..” ucapan Astrid terpotongan kedatangan seorang perempuan yang menghampiri dan menepuk bahunya. 

 “Eh, hai Raya,” Astrid menoleh. “Kirain nggak  datang. Kenalin nih, teman kantorku, Sisil.”

Perempuan itu menjulurkan tangannya,”Raya.”  Dia duduk di samping Astrid.

“Sisil.”

“Kenal Arga juga donk,” kata perempuan itu. 

“Iyalah orang sekantor.”

Diam-diam Sisil memperhatikan Raya. Cantik, penampilannya glamor, tubuhnya tinggi semampai, dengan tungkai panjang, kulitnya putih mulus tanpa cela, dia mengenakan terusan tanpa lengan dengan panjang selutut. Rambut sebahunya bergelombang berwarna kecoklatan.  Sisil tidak heran jika profesi Raya adalah model atau artis.

“Arga datang, mana?” perempuan itu mengedarkan pandangannya. 

“Di dalam  sama Rafael.”

Sisil merasa tak enak hati melihat bagaimana Raya menanyakan dan mencari Pak Arga. Ia menduga mereka kenal dekat. 

Raya melongokkan kepalanya ke dalam ruangan.“Trid, gue ke dalam ya. Yuk Sil.”

Tak lama Astrid pun pamit meninggalkan Sisil.  

Sisil  melonggok ke dalam, terlihat Pak Arga  sedang duduk di bar dengan beberapa teman lelakinya, Raya dan Astrid.  Sisil memutuskan berkeliling area kolam renang, melihat-lihat, mumpung masih sepi. Pramusaji  food stall kambing guling menawari Sisil mencicipi masakannya.

“Memang udah boleh icip-icip?” Sisil merasa tak enak hati karena sepertinya acara belum mulai.

“Boleh, kita suka membawa porsi lebih Mba, untuk icip – icip dan promo.”

Sisil menerima piring kertas berisi potongan kambing guling, lemaknya berkilat, aromanya membuat Sisil tak tahan untuk segera mencicipinya. Begitu ia gigit,dagingnya terasa lembut, gurih, manis, pedasnya pas.

“Gimana mba? Jangan sungkan kalau ada kritik atau saran.”

“Enak, dagingnya lembut, pakai lada  hitam ya?”

“Iya, biar rasa pedasnya strong Mba. Tapi kita bisa menyesuaikan dengan permintaan pelanggan, jadi kalau misal Mba ada acara keluarga dan pesan kambing guling dari kami, bisa request bumbu. Ini kartu nama kami, siapa tahu kapan-kapan mau ngadain acara dengan menu kambing guling.” Sisil mengagumi cara marketingnya.

“Memang bisa di kota mana saja?”

“Area jabodetabek bisa Mba, nanti paling harga menyesuaikan.”

Sisil mengangguk, memasukkan kartu nama itu ke dalam tasnya. 

“Terima kasih ya.” Sisil pamit. Ia kembali ke mejanya namun belum sampai sana, dari dinding kaca yang menjadi pembatas area outdoor kolam renang dan ruangan, Sisil melihat Raya tengah melingkarkan tangannya ke leher Pak Arga, mereka terlihat tengah bicara, Raya mendekatkan wajahnya,    Pak Arga memalingkan muka lalu  Raya mencium bibir Pak Arga. Sisil buru-buru membuang muka, mengusap dada, jantungnya berdebar-debar cepat, samar-samar ia bisa mendengar suara Raya tertawa. Situasi yang membuat Sisil asing. Bagaimana bisa Pak Arga mengaku ingin kenal dekat Sisil, mengajaknya kemari tapi dia malah  bermesraan dengan perempuan lain. Mungkinkah Pak Arga penganut pergaulan bebas? Dan mengira Sisil juga seperti itu?

Dengan tubuh yang terasa lemas Sisil melanjutkan langkah menuju kursi yang tadi ditempatinya. Tamu-tamu mulai berdatangan, sekelilingnya mulai ramai, suara orang terbahak, obrolan yang nampak seru, ada juga orang yang tengah bercakap-cakap dengan ekspresi serius.  Tempat yang asing, wajah-wajah asing, suasana asing, untuk sesaat Sisil merasa berada di dunia yang lain, terlebih mengingat yang dilakukan Pak Arga tadi.  

Detik dan menit berlalu, Sisil masih termangu di kursinya, kebingungan. Apakah ia harus meminta Papa menjemputnya atau naik taksi online? Meminta Bang Zidan menjemput sungkan setelah ada Amira. “Sil, Arga mabuk. Kamu bisa nyetir kan?” tanpa Sisil sadari, Astrid sudah ada di depannya.

Sisil mengangguk, bersamaan dengan  tubuhnya yang terasa menegang, ia menelan ludah dengan susah payah, mulai dilanda  panik dan takut. Sungguh, Sisil tidak pernah membayangkan akan ada di situasi ini. Seperti halnya ia tidak pernah membayangkan Pak Arga mabuk. 

Kasian sekali Sisil, ternyata kamu benar-benar tidak mengenal Pak Arga.”De, lelaki itu hanya ada dua jenis, lelaki baik dan lelaki brengsek. Lelaki brengsek bisa menyamar jadi lelaki baik.”

Sisil berjalan bersisian dengan  Astrid menuju meja bar.

“Drop ke apartemennya aja Sil,” lanjut Astrid.

Apartemen? Bukannya Pak Arga tinggal di BSD, di rumah Omanya seperti yang dia ceritakan. Seingat Sisil Pak Arga belum pernah menyebutkan tinggal di apartemen. 

“Ada alamat apartemennya Mba?”

“Hah?” Astrid menatap Sisil mulut setengah terbuka. “Kamu belum pernah ke apartemennya?”

Sisil menggeleng. Astrid menyebutkan nama dan nomor unit apartemen Arga.

Sampai di dekat meja  bar terlihat Pak Arga  duduk dengan bersandar pada Raya  yang  melingkarkan tangannya pada bahunya. Terdengar tawa sumbang Pak Arga, tangannya mengacungkan gelas yang kemudian gelas itu diambil oleh Andreas lalu dia menepuk pundak Pak Arga dan menunjuk Sisil.  

Pak Arga terlihat terkejut melihat Sisil. Saat bersamaan Sisil merasakan kepalanya berdenyut, tubuhnya lemas bukan karena lelah tapi efek campuran rasa yang berkecamuk di hatinya. Ia merasa sangat membutuhkan Papa, Mama atau Bang Zidan, tapi ia tahu tidak bisa melibatkan mereka. Sisil malu jika mereka tahu situasinya kini. 

Sisil yang malang, ketahuilah, kisah cinta itu tidak selalu berakhir manis.

Dengan langkah goyah Pak Arga menghampiri Sisil, dibelakangnya Raya menyusul tapi Astrid menahannya. 

“Sil.”

Sisil berusaha tenang dan bersikap dewasa walaupun yang ingin dilakukannya saat ini adalah, berlari meninggalkan Pak Arga.

“Pak Arga mabuk, kita pulang.”

“Dre, ada orang yang bisa bantu bawa Arga ke lobi?” Astrid menoleh ke arah Andreas.

“Nggak usah, Trid, saya bisa jalan sendiri.” Pak Arga mengibaskan lengan.”Sil, saya ke toilet dulu sebentar.” Pak Arga berbalik arah, berjalan dengan langkah sedikit limbung menuju toilet.

“Duduk dulu Sil,” Andreas menyapa ramah sambil menunjuk sofa. Setelah mengucapkan terima kasih Sisil duduk di sana. Sisil merasakan matanya perih, ia mengerjap-ngerjapkan mata berulang kali agar air matanya tidak jatuh.

Tak lama Pak Arga datang, wajahnya lembab sepertinya habis mencuci muka. Dia terlihat berusaha keras untuk berjalan dengan tegak dan memfokuskan matanya. Pak Arga mabuk tapi sepertinya tidak terlalu parah, dia masih sadar.

“Yuk Sil,” ajaknya setelah pamit pada teman-temannya.

Sisil berjalan bersisian dengan Pak Arga dengan pikiran gamang, uluhatinya terasa diremas, sakit. Jadi selama ini Pak Arga tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kantor bukan di BSD? Dan siapa Raya? Entah kebohongan apalagi yang Pak Arga sembunyikan darinya. Sepanjang perjalanan ke parkiran keduanya sama-sama diam. 

“Biar Sisil yang nyetir,” ujar Sisil ketika mereka sampai di sisi kendaraan.”Pak Arga mabuk.”

Arga menyerahkan kunci kendaraan pada Sisil tanpa protes.

Untuk beberapa saat, Sisil diam di balik kemudi, tangannya gemetar karena emosi yang ia tahan, dadanya sesak.

Sisil jangan cengeng, katanya nggak manja. Sisil menarik nafas.

“Maaf ya Sil.” Pak Arga menjulurkan tangan hendak mengusap kepala Sisil tapi Sisil mengelak.

Jalanan mulai macet, banyak orang keluar rumah untuk merayakan tahun baru. Jarak tempuh yang harusnya hanya 20 menit menjadi satu jam lebih. 

“Sil,” Pak Arga memegang  pergelangan tangan Sisil ketika tengah membuka akses apartemen, tubuhnya bersandar di dinding. Sisil menepisnya. “Sil, saya minta maaf.” Sisil mendorong pintu hingga terbuka lebar.

“Sisil pulang.” Sisil menyerahkan kunci kendaraan dan akses apartemen.

Tanpa diduga Pak Arga mencengkram tangannya, menarik masuk dan menutup pintu. Sisil tersentak kaget, bayangan buruk berkelebat di benaknya. Rasa takut membuat  teriaknya tertahan di tenggorokan, teringat wajah Papa dan Mama, tak lama bahunya terguncang pelan, Sisil terisak. 

“Saya nggak akan  menyakiti Sisil.” Jemari  Pak Arga mengusap air mata Sisil. Bahu Sisil berguncang lebih keras, isakannya berubah menjadi tangisan. Tangis untuk rasa takut, marah dan kecewa.   

”Kenapa Pak Arga bohongin Sisil? Kenapa?” ujar Sisil disela isak tangis, rasa kecewa yang membuat hatinya perih, padahal ia sempat berharap Pak Arga menjadi pengganti Bang Zidan. 

“Saya minta maaf Sil…”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Selaksa Rasa 16 - 18
1
1
Dengan langkah lemas Sisil melanjutkan langkah menuju kursi yang tadi ditempatinya. Tamu-tamu mulai berdatangan, sekelilingnya mulai ramai, suara orang terbahak, obrolan yang nampak seru, ada juga orang yang tengah bercakap-cakap dengan ekspresi serius.  Tempat yang asing, wajah-wajah asing, suasana asing, untuk sesaat Sisil merasa berada di dunia yang lain, terlebih mengingat yang dilakukan Pak Arga tadi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan