Janji yang Hilang

1
0
Deskripsi

Tulisan pertamaku di Karya Karsa. Setelah sepuluh tahun berhenti menulis, aku memutuskan untuk kembali lagi di bidang ini dengan sebuah cerpen. Kubilang cerpen, tapi sejujurnya, ini terasa seperti curahan hatiku sendiri. Ahaha. 

Untuk ke depannya, mungkin aku akan kembali upload cerita-cerita lamaku yang pernah kutulis di sebuah akun fanfiction (dengan username Mayumi Koyuki dulu) di sini, namun kurubah menjadi sebuah cerita orisinal. Setidaknya, itu rencana ke depan. Dukung aku ya, mudah-mudahan...

Janji yang Hilang

Klik. Kusentuh tombol 'kembali' di layar ponselku. Tak lama, pemandangan di layar kaca berbentuk persegi panjang itu berubah dan menampilkan sebuah beranda dari salah satu situs yang saat ini sedang banyak diminati sebagai alternatif hiburan generasi modern, yakni sebuah situs video bernama YouTube. Film, animasi, dan video lucu serta menghibur lainnya telah banyak kutonton hingga ratusan... ah tidak, mungkin ribuan kali, tanpa aku sadari tentunya. 

Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa kukerjakan karena sudah update semua informasi terbaru di dunia maya, kuletakkan ponselku di atas tempat tidur. Kupandang langit-langit kamarku yang berwarna putih polos itu.

Bosan.

Mungkin selama ini tidak aku sadari, bahwa aku terlalu banyak bermain di alam yang belum tentu nyata dan melupakan semua aktivitas yang seharusnya bisa kukerjakan dalam kurun waktu dua jam terakhir ini. Sepertinya ini yang mereka katakan dengan titik jenuh. Di mana kaumerasa telah bosan dengan semua kegiatan yang itu-itu saja.

Kuputar otakku, kucoba mencari cara lain untuk menghilangkan rasa bosan ini. Perlahan kualihkan pandanganku pada tablet dan pena yang tersimpan di atas meja belajar. Aku pun beranjak dari tempat tidur dan kunyalakan tablet gambarku itu. Biasanya aku selalu menggambar digital di sini dan mengunggahnya ke media sosial. Untuk apa? Jelas, untuk mencari pendapatan tambahan dari jasa gambar dan tentunya menyalurkan hobi yang mulai kugemari sejak empat tahun silam.

Namun hari ini, entah kenapa aku sedang tak berniat melukiskan apapun di atas canvasku. Dipikir lagi, gambarku juga rasanya tidak pernah berkembang. Meski teman-temanku berkata gambarku bagus dan sudah jauh lebih baik daripada di awal saat aku baru mulai terjun di dunia seni rupa ini, aku tak pernah merasa puas. Bukan, mungkin bukan rasa puas yang kucari. Karena jika dikatakan tidak puas, aku tidak akan menampik bahagia yang kurasakan ketika aku menerima upah dari pelanggan gambarku. 

Ada yang berbeda. Ketika aku menggambar, aku tidak merasa... senang.

Rasanya aku menggambar hanya karena tuntutan ekonomi, agar aku bisa makan nasi sehari-hari dan tetap melanjutkan hidup. Tanpa kusadari, aku bukan lagi menggambar apa yang aku mau, melainkan apa yang orang lain mau. Aku mulai mengikuti tuntutan pasar. Hingga akhirnya, mungkin hal tersebut yang membawaku ke titik ini. Tak ada gairah. 

Perlahan, aku merasakan warna yang kupandang di sekitarku berubah menjadi hitam dan putih. Ah, begini ya rasanya hidup hampa. Menyedihkan sekali. Merasa takut jatuh lebih dalam, aku beranjak berdiri dan meninggalkan kamar. Mencoba mencari udara segar di ruangan lain di dalam rumah ini.

"Ah, kebetulan sekali. Widia, coba sini dulu. Ibu mau minta tolong." 

"Hm?"

Tiba-tiba ibuku memanggilku ke ruang kerjanya. Ada perlu apa, aku juga tidak tahu pasti. Yang jelas, permintaan ibu bisa menjadi salah satu caraku untuk menghilangkan rasa bosan dan jenuh.

"Ada apa, bu?" tanyaku pada ibu yang sedang duduk di depan komputernya. Kuperhatikan monitornya dan di sana terdapat sebuah puisi sepanjang dua halaman. Ah benar juga. Aku terkadang lupa ibu gemar menulis puisi. Puisi yang dia tulis juga selalu indah. Tapi mungkin karena ibu sudah tua dan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, jadi ibu sempat berhenti dan hanya menulis kalau dia sedang mau saja. 

"Ini Wid, ibu mau mengirimkan puisi buatan ibu ini ke situs ini. Bagaimana caranya, ya? Ibu kurang mengerti yang begini-begini nih. Ibu minta tolong kirimkan ya, ibu mau lanjut masak."

"Tumben ibu menulis puisi lagi? Ada angin apa, nih? Hahaha."

"Haha. Bukan apa-apa, ibu tadi coba klik link dari situs ini yang dibagikan di group chat. Kebetulan aturannya gak susah dan ribet, jadi ibu iseng deh."

"Hmm. Ya sudah, biar aku yang kirim. Ibu lanjut aja di dapur ya."

"Siap. Makan siang nanti, kesukaan kamu ya."

"Asyik, ayam goreng ibu memang the best deh!"

"Bisa aja kamu."

Diakhiri dengan tawa dari ibu, dia meninggalkan ruang kerja dan aku sekarang beralih membantu mengunggah karya ibu. Aku baca kembali situsnya dan memeriksa ulang semua yang tertera di sana. Takutnya, ibu terkena hoax dan akhirnya ditipu. Tapi ternyata, semua benar dan aman. Hingga akhirnya, kuputuskan mengirimkan karya ibu ke situs tersebut dan diam-diam berdoa supaya ibu bisa menang lomba menulis puisi itu. 

Usainya, sambil menunggu ibu selesai masak, aku terdiam kembali menatap monitor komputer yang menampilkan puisi buatan ibu. 

"Menulis, ya..."

Kapan terakhir aku menulis? Aku merasa aku sudah jauh melupakan dunia tulis menulis sejak aku memulai karir sebagai ilustrator. Rasanya jadi teringat kembali masa-masa di mana aku gemar sekali menulis cerpen. Tanpa ragu, semua karya yang kutulis itu kuunggah ke media sosial yang kala itu masih jauh terbatas dibandingkan dengan saat ini. 

Iseng, kucoba buka kembali laptopku di kamar. Aku baca kembali tulisan-tulisan lamaku. Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri membacanya. Ah, ini tulisan anak SMP. Diksi yang sangat terbatas, bahasa yang begitu ringan, dan isi cerita yang mudah ditebak. 

Tapi...

Aku ingat sekali, meski dengan semua keterbatasan itu, aku menyukainya. Aku menikmatinya. Aku senang dengan semua proses yang kujalani saat aku menulis sepuluh tahun silam. Ternyata sudah selama itu. Bagaimana bisa aku melupakannya? Semua cerita ini seolah melemparkanku kembali ke masa lalu. Masa di mana aku bisa berkarya dengan apa yang aku mau, bukan yang orang lain mau. Masa di mana aku merasa sangat bebas. 

Tapi sekarang? Ah, rasanya kemampuan menulisku jauh lebih buruk dibandingkan aku yang SMP. Mungkin aku hanya pandai menulis status di media sosial saja. "Payah. Aku yang sekarang rasanya tidak bisa apa-apa." gumamku sambil terus menelusuri folder menulisku yang dulu. 

Hingga tiba-tiba, aku menemukan sebuah file yang kusembunyikan di salah satu folder misterius. Ya ampun, diriku yang sepuluh tahun lalu, apa yang berani kausembunyikan? Mencoba membuka file tersembunyi itu dengan berbagai kata sandi yang mungkin akan digunakan oleh aku di masa lalu, akhirnya file tersebut terbuka. Hanya dengan tanggal lahir. Kenapa kaubuat sandinya begitu mudah, diriku? Bagaimana kalau orang lain membukanya?

Namun saat kulihat kembali, ternyata file itu sebuah catatan. Penasaran, aku klik file catatan tersebut dan muncul sebuah pesan. Pesan dari seorang anak SMP yang masih lugu, yang hanya tahu bagaimana rasanya menjadi diri sendiri.

"Kepada aku, sepuluh tahun yang akan datang. Apa kabar? Mudah-mudahan sehat selalu dan tetap ceria ya. Surat ini tidak akan panjang kok. Aku hanya mau menyampaikan, aku saat ini senang sekali! Aku baru saja memenangkan lomba karya tulis ilmiah tingkat kota! Keren, 'kan? Aku harap, untuk diriku di sepuluh tahun yang akan datang, berjanjilah kau akan tetap berkarya ya. Teruslah menulis, meski hanya satu paragraf. Meski hanya satu kalimat. Meski hanya satu kata. Jangan lupakan semua kenikmatan saat kaumerangkai satu kata dengan kata yang lain menjadi sebuah cerita. Karena mau tidak mau, kaumerasakannya, 'kan? Bahwa menulis adalah 'dirimu'. Itu saja deh. Semoga kau tetap kuat dan tegar ya! Karena aku di sepuluh tahun lagi, pasti berusia dua puluh lima tahun. Apa kau sudah punya pacar? Sudah menikah? Semoga anakku lucu-lucu ya! Hehe."

Aku tersenyum. Serta menangis. Haha, dasar aku. Menikah apanya, memiliki kekasih saja tidak. Aku terlalu sibuk dengan semua pesanan menggambar sehingga aku lupa bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis. 

Kesampingkan hal itu, yang membuat aku tertegun adalah janjiku dengan diriku di masa lalu yang tetap menyuruhku untuk menulis. Bukan demi pasar, tapi demi diriku sendiri. Janji itu sempat hilang. Sempat terlupakan. Ah, benar. Setelah kubaca kembali cerita-cerita yang kubuat saat aku SMP, aku sadar bahwa aku sangat cinta menulis. Aku ingat bahkan aku bisa menulis hingga dua puluh halaman dalam kurun waktu tiga jam saja. Apa mungkin bagiku untuk kembali menulis lagi?

Setelah kumatikan laptopku, aku beranjak ke ruang makan untuk makan siang bersama ibu. Sambil menikmati ayam goreng yang kutunggu-tunggu, ibu bertanya, "Bagaimana, puisi buatan ibu sudah dikirimkan?"

Aku menggangguk sambil menelan makananku, "Sudah bu. Keren puisinya, pasti menang deh."

"Ibu dulu pernah bilang sama kamu, menang kalah itu hal biasa. Jangan jadikan kemenangan sebagai sebuah alasan untuk berkarya."

Benar juga. Aku melupakannya. Aku melupakan hal terpenting dari berkarya. Berkarya bukanlah sebuah menang atau kalah, maupun bagus atau jelek. Berkarya adalah bagaimana kita bisa menyampaikan pesan kita kepada orang lain melalui sebuah proses yang kita nikmati. Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku bisa lupa semua itu? Sambil bermonolog dalam hati, aku merasakan aku tersenyum dan warna telah kembali dalam pandanganku. Semuanya tidak lagi hitam dan putih.

"Ibu."

"Iya, kenapa nak?"

"Di situs tempat ibu mengikuti lomba, ada kategori lomba cerpen juga, 'kan?"

"Memang ada sih. Kenapa?"

"Tidak. Rasanya, setelah sekian lama, aku jadi ingin ‘pemanasan’."

Ibu tersenyum. Paham betul apa maksudku. Kemudian dia hanya berkata, "Bersenang-senanglah, nak."

Aku mengacungkan jempolku. Merasa yakin sambil berkata, "Pasti!"

Selesai

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Fanart Kurama Shinjirou
0
0
Sebuah fanart Kurama Shinjirou dari serial animasi Kami-sama Kiss (atau biasa juga disebut Kami-sama Hajimemashita). Ada yang nonton serial ini juga? Hehe.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan