Senyum Zara

1
1
Deskripsi

Ramon tahu ia akan sulit, mungkin malah tak akan bisa melupakan hari itu, tetapi ia pun sadar bahwa pada kenyataannya Zara telah memiliki seorang kekasih. Ramon memilih untuk menyimpan pengalaman singkatnya bersama Zara dalam kenangannya sendiri. Ia tak ingin berharap lebih. 

Selamat menikmati 

AWALNYA Ramon menganggap semua itu hanya kebetulan. Kebetulan pertama, ia dan Zara adalah teman satu kelas dan satu jurusan. Maka, wajarlah bila mereka berdua sering bertemu. Tidak ada yang tidak mengakui bahwa Zara adalah gadis yang memesona meski selalu tampil sederhana. Namun, tak ada pula yang akan membantah kenyataan bahwa Zara telah memiliki seorang pacar, bahkan rumornya tak lama lagi mereka akan bertunangan. Maka, segala bentuk interaksi, komunikasi, hingga canda dan tawa yang terjalin antara setiap laki-laki dalam kelas dan jurusan itu, tanpa terkecuali Ramon, akan berhenti pada satu batas bernama pertemanan. 

Kebetulan kedua adalah tentang KKN. Baru-baru ini, sebuah film yang bercerita tentang peristiwa mengerikan yang dialami sekelompok mahasiswa yang tengah melaksanakan KKN. Sementara itu, hampir dua minggu terakhir, Ramon dan seluruh mahasiswa seangkatannya dalam satu fakultas, disibukkan dengan persiapan kegiatan KKN lintas jurusan yang akan dilaksanakan mulai pekan depan. Dengan dalih ala anak muda, yaitu observasi bagaimana suasana KKN di pedesaan sekaligus menyegarkan pikiran dari penatnya kesibukan di kampus, teman-teman sekelas Ramon sepakat untuk nonton bareng film tentang KKN itu.

Kebetulan ketiga, Ramon dan Zara sebenarnya tak terlalu menyukai film bergenre horor. Sayangnya, pada saat itu keduanya pun telah kehabisan alasan (yang menjadi kebetulan keempat) untuk menolak ikut. Kebetulan kelima, keduanya mendapatkan tempat duduk tepat bersebelahan. Akibatnya, sepanjang film berlangsung, alih-alih larut dalam alur cerita dan teriak setiap kali muncul adegan jump scare, keduanya malah asik berbisik-bisik mengomentari dan sesekali cekikikan sambil bergurau tentang film yang diadaptasi dari sebuah cerita yang sempat viral di berbagai media sosial dan konon dibuat berdasarkan kisah nyata itu.

Kebetulan berikutnya, setelah satu per satu teman-teman mereka pamit undur diri, yang tertinggal hanya Ramon dan Zara saja. "Gak dijemput pacar kamu Za?" tanya Ramon dengan nada sesantai mungkin. Sesaat Zara tertegun seolah enggan menjawab pertanyaan itu, tetapi kemudian ia menggeleng. Lalu ketika Zara terlihat hendak menanyakan sesuatu kepada Ramon –

Wellcome to my paradise! 

Alunan lagu dari Steven n Coconut Treez itu memecahkan keheningan di antara mereka. Keduanya terkejut dan ketika pandangan mereka kembali bertemu, Zara tersenyum. Senyum yang tipis, namun teramat manis, yang ketika merekah menjadikan wajah gadis berhijab dan berkacamata itu semakin indah. Ramon terpaku dan tiba-tiba ia tak lagi mempersoalkan apakah semua itu kebetulan atau bukan. 

***

Ramon tahu ia akan sulit, mungkin malah tak akan bisa melupakan hari itu, tetapi ia pun sadar bahwa pada kenyataannya Zara telah memiliki seorang kekasih. Ramon memilih untuk menyimpan pengalaman singkatnya bersama Zara dalam kenangannya sendiri. Ia tak ingin berharap lebih. 

Meski demikian, ia tetap tak dapat menyangkal keresahannya. Keresahan yang muncul setelah ia bertemu dan sedikit berbincang dengan Zara sesaat sebelum acara pelepasan keberangkatan peserta KKN oleh dekan dan rektor di halaman depan fakultas. 

Sesaat sebelum mereka bergegas untuk berkumpul dengan kelompok KKN masing-masing, Zara tersenyum sambil melambaikan tangannya. Senyum yang seketika menusukkan firasat yang sangat kuat dalam benak Ramon. Firasat yang mengatakan akan terjadi sesuatu, dan sesuatu yang diikuti keresahan biasanya bukanlah sesuatu yang baik. 

***

Sebisa mungkin Ramon berusaha mengesampingkan keresahannya itu. Ia menjalani kegiatan KKN bersama kelompoknya dengan melakukan tugasnya sebaik mungkin dan berpikir positif bahwa semuanya akan baik-baik saja, hingga tanpa terasa telah lebih dari dua minggu KKN itu berlangsung. Setiap kegiatan terlaksana relatif sesuai dengan jadwal. 

Meskipun berasal dari jurusan yang berbeda-beda, setiap anggota kelompok melakukan pekerjaan dan bekerja sama dengan baik. Warga desa yang sejak awal telah menyambut baik pun semakin akrab dengan para mahasiswa. Kesan bahwa desa atau pedesaan identik dengan mitos dan berbagai hal yang bersifat mistis memang tetaplah ada, tetapi di tempat Ramon berada saat ini, hal itu justru menjadi pengingat bagi setiap orang untuk selalu menjaga etika sehingga timbul keharmonisan dari sikap saling menjaga antara satu dengan yang lainnya. 

Lagipula, letak desa itu dan desa-desa lain yang menjadi lokasi kegiatan KKN saat itu tidak dapat dikatakan terpencil. Akses menuju ke wilayah itu pun sangat mudah karena cukup dekat dengan jalan protokol kabupaten maupun jalan raya antarprovinsi. Kultur penduduknya juga dapat dibilang tak jauh dari kehidupan masyarakat modern. Oleh karena itu, dibandingkan nuansa mistis, suasana asri pedesaanlah yang lebih terasa karena masih sangat banyak dan terlestarinya area persawahan dan pepohonan. 

Secara keseluruhan, kegiatan KKN itu berjalan lancar, aman, dan terkendali. Beberapa kali Ramon dan Zara mengobrol dengan berbalas pesan melalui ponsel. Entah saling bercerita tentang pengalaman baru yang didapat atau sekadar bercanda dengan memberi komentar lucu tentang pesan-pesan dan topik pembicaraan dalam grup khusus yang menampung seluruh peserta KKN. Dari obrolan-obrolan itu pula, Ramon mengetahui desa tempat Zara dan kelompoknya berada yang ternyata hanya berjarak kurang lebih dua puluh menit jika ditempuh menggunakan motor dari desa tempat ia berada saat ini. Entah kenapa, Ramon pun menjadi lebih tenang 

Memasuki minggu terakhir, Ramon mulai merasa keresahannya selama ini sama sekali tak beralasan. Kenyataannya, semua baik-baik saja. Ramon juga mulai berharap firasat buruknya cukup menjadi firasat saja karena hingga pukul sepuluh malam tadi, ia masih berbalas pesan dengan Zara dan sangat bersyukur mengetahui gadis itu baik-baik saja. 

Ramon merasa lebih santai. Ia berniat lebih menikmati setiap momen bersama rekan-rekan satu kelompoknya dan warga desa menjelang akhir kegiatan KKN itu, hingga pada suatu sore, kabar buruk itu pun tiba. 

**"

Ramon hampir tak dapat menahan emosi saat peristiwa kesurupan masal itu diketahuinya terjadi pada desa tempat kelompok KKN Zara berada. Ia sudah ingin berlari ke tempat itu ketika seseorang menahan pundaknya dari belakang. Pak Indra, dosen mata kuliah Ilmu Filsafat, yang selama ini bertugas sebagai dosen pendamping kelompoknya, muncul bersama seorang laki-laki berusia 50 tahunan yang dikenalinya sebagai Pak Danu, Ketua RW desa itu. 

Pak Indra mengumpulkan seluruh anggota kelompok di bangunan berbentuk joglo di tengah-tengah balai desa. Bergantian, Pak Indra dan Pak Danu menjelaskan bagaimana perkembangan situasi di tempat kejadian kesurupan masal itu. Ia pun menginformasikan kalau warga di desa tersebut juga berusaha membantu mengendalikan situasi karena korban yang mengalami kesurupan tidak hanya dari golongan mahasiswa, tetapi juga warga desa. Selain itu, kepala desa tersebut juga telah menghubungi beberapa pihak, termasuk seorang Kiai dari pondok pesantren yang letaknya tak terlalu jauh dari situ, untuk meminta bantuan. 

Keputusan pun dibuat. Pak Indra menunjuk empat orang mahasiswa, Ramon salah satunya, untuk pergi bersama dirinya dan Pak Danu ke desa tersebut dan memberikan bantuan sebisa mereka. Mahasiswa yang lain diminta untuk tenang dan tetap tinggal. Pak Danu lalu menginstruksikan kepada salah satu Ketua RT dan seorang pemuda di desa itu untuk mengadakan pengajian selepas solat magrib nanti dan mendoakan keselamatan semua orang, baik di desa tempat kejadian tersebut maupun di tempat lain yang terlibat dalam kegiatan KKN itu, serta agar masalah yang ada segera dapat diatasi. 

Maka, bersama Pak Indra dan Pak Danu, Ramon dan tiga mahasiswa yang tadi ditunjuk, yaitu Ardi, Siska, dan Hasan, berangkat menuju desa tempat peristiwa tersebut menggunakan beberapa motor yang dipinjamkan oleh warga. Dalam perjalanan, Ramon menebak-nebak alasan Pak Indra menunjuk Ardi yang berasal dari jurusan sosiologi dan Siska dari jurusan bahasa Inggris adalah karena keduanya merupakan pentolan dari Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam di fakultasnya, sedangkan Hasan yang satu jurusan dengan Ramon, selain atlet silat yang telah menjuarai berbagai turnamen mewakili kampus, merupakan sosok yang selalu bisa diandalkan dalam pengendalian situasi yang bersifat masal. 

Ramon masih bingung mengapa Pak Indra juga menunjuknya. Seingatnya, ia bukan termasuk mahasiswa yang menonjol seperti tiga orang yang lainnya. Ia akui saat ini ia memang sangat mengkhawatirkan keadaan Zara, tetapi bukankah hal ini hanya dirinya sendiri yang tahu. Atau, apakah Pak Indra selama ini telah mengetahuinya? Jika benar begitu, bagaimana caranya? Ramon terus larut dalam pikirannya dan entah mengapa, perjalanan yang harusnya singkat itu terasa jadi begitu lama. 

***

Ketika rombongan Pak Indra akhirnya tiba di desa itu, seorang pemuda yang tampaknya mengenal Pak Danu mendatangi mereka dan segera mengabarkan keadaan saat itu sambil mengantar mereka ke sebuah lapangan yang cukup luas di tengah desa. Di lapangan yang tadinya difungsikan sebagai pusat kegiatan KKN itu, situasinya masih cukup kacau. 

Di sekitar bagian luar lapangan, warga tampak berkerumun di beberapa titik. Di balik kerumunan, teriakan-teriakan histeris bergantian terdengar. Sementara itu, setiap beberapa menit, terlihat beberapa orang keluar menggotong sesosok tubuh dalam keadaan tak sadar, membawanya ke tempat mana saja yang dapat dipakai: mulai dari halaman, teras depan rumah warga, hingga musola, untuk diberikan penanganan lebih lanjut. 

Menurut keterangan pemuda yang mengantar mereka, sebelumnya keadaan lebih kacau. Orang-orang yang kesurupan, baik mahasiswa maupun warga desa, berlarian ke berbagai tempat. Kemudian, Kiai Mahmud bersama sekelompok santri dari pesantren tiba. Mereka langsung bergerak dan menyebar. Beberapa lama kemudian, satu per satu korban-korban kesurupan itu berhasil ditangkap dan digiring ke lapangan. Di situ, Kiai Mahmud dan beberapa santrinya mencoba menyadarkan setiap korban. 

Pak Danu dan pemuda tersebut lalu bergegas memasuki lapangan. Pak Indra memberi instruksi kepada Ardi dan Siska untuk membantu santri dan warga yang tengah merukiah korban kesurupan yang telah dibawa keluar lapangan, sedangkan Hasan dan Ramon diminta untuk ikut mengatasi keadaan di lapangan. Semuanya langsung bergerak. Sebenarnya, Ramon ingin langsung mencari Zara, tetapi keadaannya belum memungkinkan. Sambil terus berharap Zara baik-baik saja, Ramon pun mengikuti Pak Indra dan Hasan memasuki lapangan. 

Sambil berjalan dengan tenang Pak Indra berkata, “Tugas kalian sederhana, bawa siapa saja yang sudah dalam kondisi lemas ke luar lapangan, serahkan ke siapa saja yang ada dan bisa untuk ditangani lebih lan –,”

Belum selesai kalimat itu, seorang laki-laki dengan almamater menggeram dan hendak menerjang Pak Indra dari belakang. Ramon dan Hasan tersentak, tetapi Pak Indra hanya sedikit menolehkan kepalanya dan sosok yang menyerangnya itu tiba-tiba menjadi kaku. Pak Indra lalu menangkap pergelangan tangan penyerangnya dan laki-laki itu langsung tersungkur. Lalu, dengan satu tangan, Pak Indra mengusap bagian belakang leher hingga atas kepala laki-laki itu, membuatnya seketika tak sadarkan diri. 

"Woy!" seru Pak Indra kepada Hasan dan Ramon yang masih terkesiap melihat apa yang baru saja terjadi, "fokus! Tugas kalian … ini yang pertama." lanjut Beliau sambil menyangga punggung mahasiswa yang pingsan itu. 

Hasan lebih dulu bereaksi, diikuti oleh Ramon. Mereka memapah mahasiswa itu dan membawanya keluar lapangan. Seorang santri menghampiri Ramon dan Hasan dan seolah telah saling mengerti tanpa harus berkata apa-apa lagi, ketiganya lalu membawa korban ke salah satu halaman rumah warga. Di sana sudah terdapat beberapa tubuh yang direbahkan. Hampir semuanya dalam keadaan tidak sadar. Tampak pula dua orang warga dan satu orang santri tengah merukiah salah satu korban. Atas arahan santri yang membantu mereka, Ramon dan Hasan membaringkan laki-laki yang mereka bawa di bagian halaman yang masih lengang. Tanpa berlama-lama, mereka pun bergegas kembali ke lapangan. 

Proses itu terus berlangsung. Entah sudah berapa kali Ramon masuk-keluar lapangan membawa korban, baik bersama Hasan maupun siapa saja yang masih sadar dan cukup kuat untuk bisa membantu. Sejenak Ramon berhenti untuk mengatur napasnya. Ia memperhatikan sekelilingnya. Masih sulit baginya untuk mempercayai firasat buruknya kini benar terjadi. 

Udara berdengung penuh teriakan, tangisan, geraman, tuturan-tuturan yang tak terdengar jelas, hingga doa dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Orang-orang berlalu-lalang, berjalan dengan cepat, hingga berlari. Diam-diam, Ramon merasa frustrasi, selain karena kekacauan di sekitarnya yang entah kapan berakhir, ia pun sama sekali belum melihat sosok Zara. Di mana gadis itu? Bagaimana keadaannya?

Lamunan Ramon itu dibuyarkan oleh panggilan Hasan yang memberinya isyarat untuk ikut kembali ke lapangan. Ramon mengangguk dan kembali bergerak. Sesampainya kembali di lapangan, Ramon menyaksikan pemandangan yang membuatnya tercengang. 

Di beberapa sudut, masih terdapat korban kesurupan dikerumuni oleh santri dan warga, meskipun kali ini jumlahnya telah jauh berkurang. Namun, pusat perhatian kali ini ada di tengah lapangan. Satu sosok, seorang gadis dengan almamater, tampak berdiri. Bahkan dari jarak yang cukup jauh, penampilan gadis itu tampak mengerikan. Matanya melotot, wajahnya dipenuhi seringai yang tidak manusiawi, dan rambut panjangnya awut-awutan. Ia berjalan mondar-mandir di hadapan dua orang yang salah satunya adalah Pak Indra. Seorang lagi tampak memakai peci, memakai gamis, menyandang sorban di bahu, dan memegang tasbih. Tampaknya itulah sosok Kiai Mahmud. Agak jauh di belakang tiga orang itu, terlihat Pak Danu dan beberapa Santri yang semuanya berdiri dalam posisi seolah mengepung gadis beralmamater. 

Kejadian berikutnya berlangsung cukup cepat. Si gadis beralmamater tiba-tiba menjadi liar. Sambil berteriak-teriak, ia melakukan gerakan layaknya seorang pendekar. Semua orang yang mengelilinginya menjadi siaga. Hanya Kiai Mahmud dan Pak Indra yang masih terlihat tenang. Ramon merasakan suhu udara di sekitarnya menjadi gerah luar biasa. Keringat dingin membasahi keningnya. 

Hampir bersamaan, Kiai Mahmud dan Pak Indra mengangkat satu tangan, mengarahkannya kepada gadis itu. Hampir serempak pula, santri-santri yang mengelilingi si gadis berteriak, "Allahu Akbar!" kemudian si gadis atau sesuatu yang saat ini berada dalam tubuh gadis itu mengeluarkan sebuah teriakan yang melengking hingga membuat bulu kuduk merinding. 

Dengan cekatan, Pak Indra menangkap gadis itu dan membuatnya berlutut. Kiai Mahmud lalu menyusul memegangi pundak dan mengusapkan tangannya ke wajah si gadis, yang membuatnya langsung tak sadarkan diri. Kemudian, hampir serempak, semua korban kesurupan kala itu tak sadarkan diri pula. Para santri mengambil alih si gadis dari Pak Indra dan Kiai Mahmud, menggotongnya keluar lapangan. Hal yang sama dilakukan oleh semua orang yang menangani korban kesurupan lainnya. Satu demi satu akhirnya dibawa keluar lapangan. 

Seketika, Ramon merasa hawa di sekitarnya kembali normal. Silir-silir angin bertiup membawa aroma pepohonan. Di cakrawala, matahari meninggalkan sinar terakhirnya. Sayup-sayup, azan Magrib pun terdengar. 

Berangsur-angsur, semua orang meninggalkan lapangan dan betapa leganya Ramon melihat sosok gadis berhijab dan berkacamata yang dikenalnya di kejauhan. Bersama Bu Salma, dosen yang mendampingi kelompok KKN di desa itu, Zara berjalan membawa sebotol besar air mineral untuk diberikan kepada Siska dan seorang santri perempuan yang lalu meminumkannya kepada seorang korban kesurupan yang baru saja sadar. 

Ramon menghela napas panjang. Seluruh beban yang sejak tadi menumpuk di dadanya seolah menguap tanpa bekas. Zara baik-baik saja. 

***

Lewat pukul delapan malam, keadaan benar-benar telah kondusif. Seluruh korban kesurupan telah sadar dan kini sebagian besarnya tengah beristirahat untuk memulihkan diri. Sebagian kecil lagi kini sedang mendapat penanganan medis dari tim dokter dan perawat sebuah rumah sakit umum yang didatangkan langsung oleh perangkat desa setempat. Jumlah korban kesurupan keseluruhan adalah 48 orang. 20 orang di antaranya adalah mahasiswa yang melaksanakan KKN, sisanya adalah warga desa sendiri. Sebagian besarnya adalah pemuda dan pemudi. 

Di teras balai rukun warga, sebuah bangunan dua lantai yang sejak awal telah dijadikan tempat menginap bagi peserta KKN di desa itu, beberapa warga, santri, dan mahasiswa, duduk-duduk santai sambil menikmati teh hangat dan jajanan yang disiapkan secara dadakan oleh warga desa. Semuanya tampak lelah. Namun, semuanya pun bersyukur kejadian mengerikan itu telah berlalu. Di salah satu sudut, Ramon, Hasan, Ardi, dan Siska telah berkumpul dengan Zara dan beberapa anggota kelompoknya yang lain. Di antaranya adalah Lia, yang kini tengah menceritakan kronologi peristiwa itu. 

Semua bermula ketika banyak warga desa, terutama anak-anak muda, berkumpul di lapangan dan berbaur dengan para mahasiswa untuk menyaksikan pertunjukan seni kecil-kecilan, seperti musik akustik, baca puisi, dan drama singkat, yang diadakan oleh kelompok KKN Zara. Semuanya tampak antusias dan senang dengan acara itu. Bahkan, dalam satu penampilan musik akustik, semua yang menonton ikut bernyanyi bersama. 

Saat jeda sejenak sambil menantikan penampilan selanjutnya, salah satu penonton, seorang gadis yang merupakan warga desa, tiba-tiba berteriak histeris. Kemudian hal yang sama dialami oleh beberapa orang di dekatnya, dan seakan menular, semakin lama semakin banyak yang mengalami hal serupa. Semuanya mulai panik. Ketika mereka yang tadinya hanya berteriak itu mulai bangkit, berlarian tak tentu arah, bertingkah aneh, bahkan menyerang siapa saja yang ada, kekacauan mulai terjadi dan menyebar teror ke seluruh bagian desa itu. 

Semua orang yang masih sadar, baik mahasiswa maupun warga setempat, telah kewalahan menghadapi keadaan itu sampai akhirnya rombongan Kiai Mahmud tiba dan disusul oleh rombongan Pak Indra. 

Ramon tak terlalu memperhatikan kelanjutan kisah yang dituturkan oleh Lia karena ia sendiri ikut mengalami kejadian demi kejadian yang ada. Baginya, mengetahui Zara tak menjadi salah satu korban yang kesurupan telah lebih dari cukup. Gadis itu kini duduk di sebelahnya, bersandar pada dinding balai sambil menggenggam segelas teh hangat yang isinya tinggal separuh. Wajahnya tampak lelah, tetapi raut kecemasan saat kejadian sepanjang sore itu telah digantikan dengan rona yang biasanya, yang menandakan ia baik-baik saja. 

Zara sempat bercerita sedikit tentang peristiwa itu kepada Ramon ketika mereka bertemu usai solat Isya' berjamaah di musola. Sejak pagi itu, sebenarnya Zara telah merasa tidak enak, seakan ada sesuatu yang mengamati segala tindak-tanduk kelompok KKN-nya dari kejauhan. Hal itu lantas membuatnya menjadi lebih waspada. Ia tak berhenti membaca zikir yang ia bisa dalam hati selama beraktivitas. Sampai beberapa waktu saat acara pertunjukan seni itu berlangsung, setelah memastikan semua berjalan sesuai agenda, ia pamit kepada rekan-rekannya untuk membeli camilan di toko kelontong yang lokasinya agak jauh dari lapangan itu. Saat ia kembali, keadaan sudah kacau. 

Penuturan Lia terhenti ketika Hasan tiba-tiba mengangkat tangan, "Li, dengerin cerita kamu dari tadi, aku tiba-tiba nyadarin sesuatu …," hening sejenak, "ternyata aku laper," ia pun langsung mencomot sebuah pisang goreng yang ada di hadapannya. Spontan, semua yang ada di situ pun tertawa. Lia memasang tampang cemberut dan menggoyang-goyangkan bahu Hasan dengan gemas. Tingkah kedua orang itu seolah sukses menghapus sisa-sisa suasana mencekam yang ada. 

Cengkerama itu mereda saat semua menyadari kedatangan Pak Indra, Pak Danu, Bu Salma, Kiai Mahmud, disertai beberapa orang lagi yang merupakan perangkat dan warga desa. Setelah menginformasikan bahwa keadaan telah benar-benar aman dan mengimbau untuk tetap berhati-hati, Kiai Mahmud dan santri-santrinya pamit untuk kembali ke pondok pesantren. Diantar oleh beberapa warga desa, mereka pun meninggalkan tempat itu. Sementara itu, Pak Indra, Pak Danu, Bu Salma, bersama kepala desa setempat yang bernama Pak Giman, tinggal di balai untuk mendiskusikan sesuatu. 

Sejenak Ramon memperhatikan Pak Indra. Dosen yang selalu berpenampilan kasual dengan rambut gondrongnya itu tak pernah berhenti mengejutkannya, terutama saat menghadapi kejadian tadi. Suatu saat, Ramon akan menanyakan semua yang ingin ditanyakannya pada pria itu. 

Hampir pukul sepuluh malam ketika Pak Indra akhirnya mengajak Ramon dan rombongannya untuk kembali ke desa tempat kelompok KKN mereka berada. Bu Salma, Lia, dan Zara mengantar mereka hingga ujung halaman balai. 

Pada satu kesempatan, tanpa seorang pun yang memperhatikan, Zara menggamit lengan Ramon. Dengan suara pelan, ia meminta Ramon untuk menemaninya mengobrol lewat telepon malam nanti. Ramon mengangguk. Zara pun tersenyum. Senyum yang kali ini menghapus tuntas seluruh keresahannya. Senyum yang membuatnya diam-diam berjanji, tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti dan apa pun yang akan ia hadapi, ia akan menjaga gadis itu dengan sepenuh hati. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Empat Babak Cinta dan Satu Perkara
0
0
alih-alih lurus melaju, kita lebih sering berpaling ke sini dan situ. Begitulah kita adanya, antara tampuk makna dan segala sia-sia. Maka biar saja semua ini berlangsung dan kita hanya perlu bertarung. Selamat menikmati … Rimbapena
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan