Pesan Sang Guru

0
0
Deskripsi

,"Suta Rajasa, muridku, aku takpernah mempersoalkan kelamnya masa lalumu. Sejak menemukanmu, aku hanya melihat seorang anak yang memiliki keberanian untuk bertarung hingga membahayakan dirinya sendiri karena kepeduliannya terhadap orang lain, dan itu sudah cukup meyakinkanku untuk menjadikanmu muridku. Apa pun keputusanmu dan ke mana pun kau akan melangkah, ketahuilah bahwa restuku selalu menyertaimu …,"

 [Resi Yusaka}

_______________________________
selamat menikmati .... :) 

Pesan Sang Guru

Oleh Ilham Persyada Syarif

 

JELAS sekali pemuda itu menikmatinya. Menikmati setiap goresan yang ia torehkan pada tubuh lawannya. Lawannya, seorang gadis berparas manis dari Sekolah Beladiri Angsa Biru, tidak mampu berbuat apa-apa. Gadis itu hanya bisa bertahan menerima setiap serangan yang mengakibatkan tubuhnya tersayat-sayat. Perbedaan kekuatan keduanya memang terlampau jauh. Sejak dimulai, pemuda yang berasal dari Sekolah Beladiri Naga Merah itu langsung mendominasi jalannya pertandingan. Keduanya memang bersenjatakan sebilah pedang, tetapi baik dari tingkat ilmu maupun penguasaan senjata, keduanya berada pada level yang berbeda. 

Tidak hanya meremehkan, pemuda itu terus mendesak si gadis dengan serangan-serangannya. Bekal tekad dan semangat pantang menyerah saja tidaklah cukup. Si gadis pun semakin berada di ujung tanduk. Pada akhirnya, satu serangan dari pemuda itu membuat si gadis terkapar. Pakaian yang dikenakannya, yang tampaknya adalah seragam Sekolah Beladiri Angsa Biru, dipenuhi sobekan dan membuat tubuhnya yang dipenuhi luka sayatan pedang terekspos oleh khalayak ramai yang menonton pertandingan itu. 

Beberapa gadis lain, yang sepertinya berasal dari sekolah beladiri yang sama dengan gadis itu, tiba-tiba memasuki arena pertandingan. Dua di antaranya segera memeriksa kondisi si gadis, sementara dua orang lainnya tampak memohon kepada wasit agar menghentikan pertandingan. Pemuda yang sudah jelas memenangkan pertandingan tampak tidak terima karena ia belum mendengar kata menyerah dari mulut lawannya sendiri. Namun, wasit akhirnya mengumumkan bahwa pertandingan tersebut telah usai dengan pertimbangan kondisi gadis itu tidak dapat lagi melanjutkan pertandingan dan menyatakan pemuda dari Sekolah Beladiri Naga Merah sebagai pemenangnya. 

Dari tempat duduknya, Suta menggelengkan kepalanya menyaksikan itu semua. Timbul rasa kecewa dalam dirinya. Bukan saja karena sikap si pemuda yang arogan dan tampak tidak sedikit pun memiliki rasa hormat kepada lawannya yang adalah seorang wanita, melainkan juga kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang berada di tribun sekeliling arena pertandingan, yang meskipun hanya berposisi sebagai penonton, mereka menyaksikan seluruh jalannya pertandingan barusan dan seolah menganggap peristiwa itu tidak lebih dari hiburan atau tontonan yang menarik. Mereka bersorak gembira ketika pemuda dari Sekolah Beladiri Naga Merah itu menyudutkan gadis yang menjadi lawannya. Bahkan, banyak yang bersiul kegirangan saat bagian tubuh si gadis tersebut mulai terekspos akibat banyaknya sobekan pada pakaiannya. 

Kekecewaan Suta semakin menjadi saat wasit tidak segera menghentikan pertandingan walaupun kondisi salah satu peserta pertandingan tersebut telah jelas-jelas tidak berdaya. Haruskah menunggu sampai gadis itu mati baru pertandingan dinyatakan selesai? 

Padahal ini hanya sebuah turnamen seleksi. 

 

***

 

TURNAMEN KILAT adalah sebuah kompetisi beladiri yang diadakan satu tahun sekali di Pulau Javana. Turnamen ini merupakan tahapan akhir dari proses seleksi penerimaan murd baru yang diadakan oleh Perguruan Bambu Emas. Pesertanya bisa datang dari sekolah-sekolah beladiri di seluruh penjuru Kepulauan Nausantra. Jumlahnya pun mencapai ribuan, bahkan puluhan ribu, mengingat Bambu Emas adalah satu di antara lima perguruan terbesar di negeri ini. Akhirnya hanya lima puluh orang yang akan diterima menjadi murid. Ini menunjukkan ketatnya standar seleksi yang ditetapkan perguruan tersebut. 

Peserta seleksi tahun ini mencapai hampir 10.000 orang dari berbagai sekolah beladiri. Lebih dari separuhnya telah dinyatakan tidak lolos seleksi tahap pertama karena nilai ujian tulis mereka tidak sampai nilai minimal yang ditetapkan sebagai standar kelulusan. Seleksi tahap kedua adalah kemampuan bertahan hidup. Para peserta harus mampu melintasi Hutan Sarwadhana yang dipenuhi siluman dan monster dan mencapai puncak Gunung Lawangka dalam waktu tiga hari untuk dinyatakan lulus. Dari sekitar 5.000 peserta yang lolos tahap pertama, lebih dari 30% menyatakan tidak sanggup dan mengundurkan diri dari seleksi, tidak lebih dari 200 orang mampu mencapai puncak Gunung Lawangka dalam keadaan hidup, sedangkan yang lainnya seakan lenyap dalam Hutan Sarwadhana tanpa terdengar lagi kabar beritanya. 

Suta sendiri melewati kedua tahapan seleksi itu tanpa hambatan berarti. Ia memang tidak pernah bergabung dengan sekolah beladiri mana pun. Sejak kecil ia diasuh oleh seorang pertapa bernama Yusaka. Orang yang bergelar resi itu jugalah yang telah membekali Suta dengan berbagai ilmu dan keterampilan. Berkat bakatnya yang memang di atas rata-rata, tempaan dari gurunya, juga lingkungan tempatnya berlatih yang bisa dibilang berkali lipat lebih berat ketimbang Hutan Sarwadhana, Suta tumbuh menjadi pendekar muda yang kemampuannya tidak dapat dipandang sebelah mata. 

Keikutsertaannya dalam seleksi penerimaan murid Perguruan Bambu Emas ini juga tidak lain semata karena perintah dari gurunya. Sempat ia bertanya mengapa gurunya memberi perintah itu setelah secara resmi melepasnya untuk mengembara menjelajahi Mayapada, tetapi Resi Yusaka justru tertawa dan mengatakan kelak ia pasti akan menemukan jawabannya sendiri. Sang resi juga menitipkan sebuah pesan yang membuat Suta mengangkat sebelah alisnya keheranan, tetapi beliau kemudian menyatakan keyakinannya bahwa setelah menjalankan perintah darinya itu, Suta akan lebih memahami sedikit gambaran dari luasnya dunia yang akan ia jelajahi. Suta pun tidak lagi bertanya. Sebagaimana keyakinan sang guru kepadanya, ia pun melaksanakan perintah gurunya tanpa keraguan. 

 

***

 

SUTA bisa saja mendapatkan nilai sempurna pada seleksi tahap pertama. Wawasan yang diperolehnya secara langsung dari sang guru membuat pengetahuannya tentang ilmu beladiri dan olah kanuragan telah jauh melebihi orang lain seusianya. Namun, ia sengaja mengosongkan dan memberikan jawaban yang salah pada beberapa dari 150 soal ujian tulis itu agar tidak tampak terlalu menonjol. Sementara pada seleksi tahap kedua, ketika sebagian besar peserta mati-matian bertahan hidup dalam Hutan Sarwadhana, Suta merasa tak lebih seperti berjalan-jalan di halaman belakang rumahnya sendiri. 

Kini, bersama 200 peserta yang tersisa, ia menghadapi tahapan akhir seleksi ini dalam Turnamen Kilat. Turnamen tersebut telah dipersiapkan sedemikian rupa. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri dari seratus orang. Setiap peserta kemudian akan bertanding melawan peserta lain dalam kelompoknya. Peserta yang telah memenangkan dua pertandingan secara otomatis telah lolos seleksi dan diterima menjadi murid Perguruan Bambu Emas. Pertandingan selanjutnya yang dihadapi oleh 50 peserta tersebut adalah untuk menentukan peringkat. 

Peringkat-peringkat itulah yang menjadi tolok ukur bagaimana tahapan dan proses pelatihan mereka dalam perguruan nantinya. 20 orang dengan peringkat terbawah, yaitu 31--50, akan digabungkan dalam Bronze Class, dan akan mendapat bimbingan dari seorang master level 5. Peringkat 11--20 masuk dalam Silver Class dan mendapat bimbingan dari master level 10. Terakhir, mereka yang berhasil menduduki peringkat 10 besar akan tergabung dalam Gold Class dan dibimbing oleh master level 15 yang hanya satu level di bawah grandmaster. 

Setelah memenangkan dua pertandingan dan memastikan kelolosannya menjadi murid Perguruan Bambu Emas, Suta terus memenangkan pertandingan selanjutnya dan menegaskan kelayakannya untuk berada dalam 10 besar murid baru terbaik tahun ini. Setelah mengalahkan seorang pemuda dari Sekolah Beladiri Seruling Sakti dengan teknik Tujuh Pasang Tinju yang diciptakannya sendiri, Suta tinggal memperebutkan posisi peringkat pertama dari 10 besar murid. Untuk itu, sesuai prediksi dan analisisnya, ia akan berhadapan dengan pemuda berpedang dari Sekolah Beladiri Naga Merah. 

 

***

 

"Sebaiknya kau memilih salah satu senjata yang disediakan oleh panitia agar aku takenggan saat menyerangmu, Saudara …," kata pemuda di hadapannya. Ia mengenakan jaket hitam bermotif api dengan lambang Sekolah Beladiri Naga Merah pada bagian punggungnya. 

Drakha Damaranatha, putra sulung dari salah seorang master yang memiliki jabatan tinggi di Sekolah Beladiri Naga Merah. Suta sempat melihat profilnya ketika panitia turnamen mengumumkan peserta yang masuk ke dalam sepuluh besar terbaik dalam seleksi itu. Kini ia hanya tersenyum menghadapi pemuda yang bersikap sikap ogah-ogahan seakan memiliki keyakinan dapat mengalahkan dirinya semudah lawan-lawannya yang lain. 

"Kenapa? Kau takut dikalahkan oleh orang tanpa senjata sepertiku?" 

"Kau!--"

"MULAI!"

Belum sempat Drakha melanjutkan kata-katanya, wasit telah menyerukan pertandingan dimulai. Suta melesat. Gerakannya sangat cepat hingga hampir tak seorang pun menduga ia telah sampai di hadapan Drakha dan siap memberikan pukulan. 

Berbekal naluri semata Drakha menghindar, tetapi ke mana pun ia bergerak, Suta seolah dapat membacanya dan terus melancarkan pukulan. Drakha dengan cepat pula terdesak ke tepi arena. Selain sangat cepat, setiap gerakan dan pukulan Suta pun mengandung tenaga yang sangat kuat. Drakha memang berhasil menghindari beberapa di antaranya, tetapi lebih dari 60% serangan Suta terpaksa ditangkisnya. Bahkan, tidak jarang ia pun sampai menggunakan bilah pedangnya untuk melindungi titik-titik vital pada tubuhnya yang menjadi incaran serangan Suta. 

Drakha mengerahkan hampir seluruh tenaganya untuk merangsek dan kembali ke tengah arena. Namun, baru saja ia hendak bernapas, Suta telah berada di dekatnya dan mencecarnya kembali dengan kombinasi pukulan dan tendangan. 

Dalam satu kesempatan, Drakha yang terpecah konsentrasinya akibat nyeri yang ia rasakan demi menahan serangan-serangan Suta, harus menelan pil pahit. Suta menukik, menargetkan bagian bawah tubuh lawannya. Sebuah sapuan kaki membuat Drakha kehilangan keseimbangan. Percikan energi muncul dari kepalan tangan kanan Suta--Tinju Petir Brajamusti!

Sebuah dentuman disusul gelombang angin menyebar melewati seluruh arena pertandingan dan menjadi embusan angin yang membuat seluruh penonton pertandingan itu terkesiap. 

Dalam kepanikannya, Drakha sebenarnya sempat mengangkat pedangnya untuk menerima serangan itu, tetapi kekuatan pukulan itu sedemikian besarnya sehingga Drakha pun terlempar jauh ke sudut lain arena. Satu-satunya alasan ia belum keluar arena adalah ia sempat pula menancapkan pedangnya ke arena untuk menahan tubuhnya. Kontras dengan sikap arogan yang ditunjukkannya sepanjang turnamen, pemuda dari Sekolah Beladiri Naga Merah itu berakhir dengan sekujur tubuh gosong dan berasap seperti baru tersambar petir. Tanpa topangan dari pedang yang secara ajaib masih digenggamnya itu, ia pasti telah tersungkur. 

"PERTANDINGAN SEL--"

"Tunggu!" Suta mengangkat tangan menghentikan wasit yang hendak mengumumkan berakhirnya pertandingan itu, "Dia belum mengatakan menyerah kan?"

Si wasit mengerutkan dahi untuk sesaat, tetapi kemudian menggelengkan kepala dan berkata, "Lawanmu tidak mungkin melanjutkan pertandingan lagi! Kaulah pe--"

Tanpa memedulikan keterangan wasit, Suta melangkah mendekati Drakha yang takmampu bergerak lagi. Si wasit sudah akan melompat untuk menghadang pemuda itu, tetapi dua orang dengan aura kuat lebih dulu muncul di arena dan menghadangnya. Suta pun menghentikan langkahnya. 

"Anak muda, apa kau tidak mendengar kata wasit pertandingan?" tanya salah satu di antaranya, "Lawanmu sudah takdapat me--," 

"Salam hormat kepada kedua master," Suta menyela kata-kata master tersebut dengan santun, "Mohon maaf sebelumnya, tetapi jika para master mengikuti turnamen ini sejak awal, Drakha Damaranatha juga tidak berhenti sebelum lawannya mengaku kalah dan mengucap kata menyerah."

Tak seorang pun yang tak terkejut mendengar apa yang diucapkan Suta baru saja. Ingatan semuanya kembali pada awal turnamen, ketika Drakha mempermalukan seorang gadis yang menjadi lawannya. Waktu itu, wasit pun tak menghentikan pertandingan bahkan saat si gadis terkapar tanpa daya. Pertandingan baru dihentikan setelah rekan-rekan satu sekolah si gadis, yang semula mungkin hanya datang dengan niat menyaksikan turnamen sembar memberi dukungan kepada teman mereka yang berpartisipasi di dalamnya, memasuki arena dan memohon agar wasit mengumumkan kemenangan Drakha dan menghentikan pertandingan. 

"LANCANG!" seorang master yang lain yang ada di tengah arena menghardik Suta, "Dari sekolah mana kau!?"

Bukannya gemetar ketakutan akibat hardikan yang disertai tekanan aura yang bahkan cukup untuk membuat sebagian besar penonton pertandingan itu berkeringat dingin, Suta justru tersenyum tipis. 

"Saya bukan murid sekolah mana pun, master. Saya hanya berguru pada satu orang."

"Siapa gurumu!?" 

"Resi Yusaka."

Petir menyambar. Mendung bergulung. Langit gelap tiba-tiba seakan mengonfirmasi keterkejutan setiap individu yang hadir di tempat itu setelah mendengar Suta menyebutkan nama gurunya. 

"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para master juga kepada seluruh panitia dari Perguruan Bambu Emas, izinkan saya menjelaskan kenapa saya bertindak seperti ini," permintaan yang dituturkan Suta tersebut disusul keheningan. Sebagian penonton yang dapat kembali bernapas lega lantaran aura kuat yang menekan mereka seketika lenyap setelah Suta menyebutkan nama gurunya, kini mulai berbisik-bisik. 

Setelah memastikan tak ada yang keberatan atau hendak melarangnya, Suta pun melanjutkan, "Sebelumnya saya mohon maaf karena telah melakukan sesuatu yang mungkin, menurut wasit dan master sekalian, telah melewati batasan. Saya sadar betul setiap tahapan seleksi ini didesain agar para peserta merasakan atmosfer sesungguhnya dari dunia persilatan, yaitu hanya yang kuatlah yang dapat bertahan hidup. Namun, bukankah mereka yang mengikuti seleksi ini memang ingin menjadi lebih kuat? 

"Bukankah setiap peserta yang mengikuti seleksi ini ingin menjadi murid Perguruan Bambu Emas dengan membawa harapan agar menjadi pendekar-pendekar tangguh, yang kelak dapat menghadapi keras dan kejamnya dunia persilatan ini? Lalu, apa yang terjadi dengan harapan itu jika ternyata mereka harus kehilangan nyawanya? Padahal, mereka hanya mengikuti seleksi, bukan pergi bertempur di medan perang atau menghadapi pertarungan hidup-mati yang sesungguhnya?

"Bagaimana pula dengan keluarga-keluarga yang melepas putra-putrinya dengan harapan agar kelak mereka memiliki penerus atau pelindung yang bisa diandalkan, memiliki anak yang dapat dibanggakan, atau sekadar sempat mendapat pelajaran dan pengalaman berharga dari keikutsertaannya dalam seleksi ini? Di atas semua itu, bukankah keluarga dan sanak saudara para peserta seleksi ini pasti berharap untuk dapat berjumpa dan berkumpul kembali dengan putra-putrinya, apa pun pencapaian mereka, setelah seleksi ini selesai?

"Apakah semua itu sedemikian tidak ada artinya dibandingkan pemahaman bahwa dunia persilatan ini keras dan kejam?" 

Hening seakan semakin betah menyelimuti arena pertandingan. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Suta seolah membius setiap orang yang hadir di sana. Suasana semakin muram ketika Suta mengatakan bahwa bukankah seharusnya setiap pihak yang mempersiapkan seleksi ini telah mengetahui batasan tingkat bahaya yang dapat diatasi oleh para peserta dan telah memiliki kesiapan untuk melakukan tindakan pengamanan hingga penyelamatan apabila terjadi sesuatu yang dapat membahayakan nyawa para peserta agar tidak sampai jatuh korban jiwa. 

Master yang tadi menghardiknya membantah dengan berargumen bahwa itu semua telah menjadi risiko para peserta sejak mereka memutuskan untuk mengikuti seleksi ini. Dengan tenang dan santun, serta seakan menekankan setiap kata yang diucapkannya, Suta menjawab argumen master tersebut dengan satu pertanyaan, "Master, bukankah kewajiban yang paling utama dari seorang pendekar adalah menggunakan segenap kemampuannya dan seluruh tenaganya untuk melindungi orang-orang di sekitarnya?" 

Seakan tertampar oleh pertanyaan itu, semuanya terbungkam. Takada lagi bisik-bisik yang terdengar. Tak ada lagi wajah-wajah yang tak memerah karena kebenaran yang terkandung dalam ucapan pemuda itu telah menusuk hati dan membuat mereka merasa malu. Para master dan wasit, pendekar-pendekar lain yang berada dekat atau di sekitar arena, hingga seluruh penonton turnamen itu menundukkan kepala. Sebagian taksanggup menyembunyikan kekeruhan pada ekspresinya, sebagian yang lain bahkan mulai menitikkan air matanya. 

Beberapa menit kesunyian itu terasa lebih dari seabad. Pelan-pelan mendung terurai. Langit pun memunculkan cahaya jingga pertanda hari telah senja. 

Suta menatap langit di atasnya dan dalam benaknya terlintas kembali kalimat terakhir yang dituturkan Resi Yusaka sebelum melepas kepergiannya …,"Suta Rajasa, muridku, aku takpernah mempersoalkan kelamnya masa lalumu. Sejak menemukanmu, aku hanya melihat seorang anak yang memiliki keberanian untuk bertarung hingga membahayakan dirinya sendiri karena kepeduliannya terhadap orang lain, dan itu sudah cukup meyakinkanku untuk menjadikanmu muridku. Apa pun keputusanmu dan ke mana pun kau akan melangkah, ketahuilah bahwa restuku selalu menyertaimu …,"

Suta menghela napas panjang, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan arena pertandingan. Dalam setiap langkahnya, terbayang wajah gurunya tengah tersenyum hangat berlatarkan panorama Pegunungan Amerta. Suta tersenyum dan berkata dalam hatinya, 'Terima kasih, Guru.'

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Senyum Zara
1
1
Ramon tahu ia akan sulit, mungkin malah tak akan bisa melupakan hari itu, tetapi ia pun sadar bahwa pada kenyataannya Zara telah memiliki seorang kekasih. Ramon memilih untuk menyimpan pengalaman singkatnya bersama Zara dalam kenangannya sendiri. Ia tak ingin berharap lebih.  Selamat menikmati
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan