Mr. Killer pujaan hati - Bab. 9 - Hampir ketahuan - GRATIS

7
0
Deskripsi

GRATIS! 

Pak Rafli masih di kamarku, gawat! 

Hampir ketahuan!

_______

“P-pak, ini udah … kebablasan,” kataku seraya menahan tubuhnya semakin kuat menindih. 

“Kenapa? Takut?” 

Jelaslah aku takut! Kadang memang aku jail suka menggodanya tapi kali ini, tidak! Aku sungguh takut. 

“Pak, please,” pintaku dengan menatap penuh memohon.  Ia segera beranjak dari atasku, tersenyum lantas tertawa pelan. 

“Makanya, jangan main-main sama laki-laki, Moreta,” ucapnya lantas membantuku duduk di atas ranjang. Aku berdecak, tapi pandanganku langsung menatap ke arah celananya yang menggembung. 

“Itu, gimana?” tunjukku. Pak Rafli menunduk. 

“Urusan saya. Boleh numpang ke kamar mandi?” 

“Mau ngapain!” pekikku kaget. 

“Urus ini, lah,” tukasnya lalu beranjak. Aku menarik tangannya, menggeleng karena tak tau akan berapa lama. 

“Minum aja, minum, saya am—“Suara pagar terbuka terdengar. “Papa Mama pulang, Pak!” panik. Itu yang aku rasakan detik itu juga. Pak Rafli senyam senyum, mau apa lagi dia. Aku memohon untuknya pergi, turun lewat tangga. 

“Moreta!” suara Mama terdengar memanggil. Semakin panik hingga aku meminta pak Rafli bersembunyi di dalam lemari pakaianku. Pak Rafli menuruti, setelah aku tutup rapat langsung membuka kunci kamar. 

“Ya, Ma!” Sengaja aku teriak supaya Pak Rafli tidak bersuara. 

“Kirain udah tidur. Eh, kamu mau lihat anaknya Tami yang baru lahir, nggak. Cantik banget, Morrr!” Mama tampaknya senang sekali. Ia masuk ke dalam kamar, duduk di tepi ranjang lalu menunjukkan foto bayi yang baru tiga hari lahir ke dunia. 

“Cantik, Ma … iya, cantik,” kataku buru-buru merespon. 

“Mudah-mudahan Mama bisa dapat cucu cantik kayak gini. Entah dari Adi atau kamu nanti.” Mama mencolek hidungku. Aku tersenyum seraya mengangguk. “Mor, kok pintu kaca balkon masih kebuka? Udah malam, jam sembilan sekarang.” Mama beranjak, berjalan ke arah balkon lalu menutupnya. 

“Moreta gerah tadi, Ma.” Aku terus menutupi siapa yang masuk seenaknya ke kamarku. 

“Kan ada AC, kamar kamu dingin gini.” 

“Tadi gerah, Ma … panas … banget!” teriakku lagi. 

“Yaudah nggak usah teriak-teriak. Tidur ya, besok kuliah di jemput Victor lagi apa bawa mobil?” 

“Belum tau.” 

“Yaudah. Eh lupa … Rafli, dosen yang juga pacar kamu, gimana kabarnya? Tadi Mama cerita ke keluarga di sana, kalau pacar kamu dosen,” seru Mama senang. Aku hanya bisa senyam senyum. “Rafli umurnya berapa, Mor? Tua, ya?” 

“Nggak tau. Nanti Mama tanya sendiri aja kalau ke sini,” sahutku lagi. Mama mengangguk. Ia berjalan keluar kamar lalu segera aku kunci. Masih belum bisa tenang karena Pak Rafli belum pergi dari kamarku. Aku menghampiri pintu lemari, membukanya lalu menatap ke arah Pak Rafli yang menatapku dengan tatapan yang tak kupahami. 

“Pulang, Pak.” Kembali aku memohon. Pak Rafli keluar perlahan, ia berdiri di depanku yang menjadi salah tingkah. 

“Mama kamu mau cucu, apa kita bikin sekarang, Mor?” Bisa-bisanya dia menggodaku. Aku menggelengkan kepala. Bukannya pulang, ia malah mendekat ke ranjang lalu merebahkan diri. “Ranjang kamu nyaman, nggak berisik, bisa kalau kita—“ 

Sudah terlalu kesal. Aku mencubit pinggangnya. Pak Rafli menarik tanganku hingga kini justru aku yang berada di atasnya. “Kita jalani ya, Mor. Saya nggak mau kamu cueki.” Ia kembali mengecup tepat di bibirku. “Bibir kamu enak. Lebih enak dari Lian.” 

Aku diam, terus menatap dalam ke netranya. “Saya cuma pelarian ternyata.” 

“Bukan, kamu bukan pelarian, tapi saya yang lari ke kamu karena mau jalani sama kamu. Tolong tunjukkan perasaan tulus kamu ke saya, karena sekarang saya tau rasanya diabaikan oleh orang yang setiap hari kasih perhatian walau menyebalkan. Asal kamu tau, Lian tidak begini. Saya yang kejar dia mati-matian, Lian cuek. Posisi kamu seperti saya dulu. Jangan menghilang dari sorot mata saya Morena, saya mohon.” 

Jujur, kali ini kalimatnya menyentuh hatiku begitu dalam, ia jujur dengan kata-katanya. Bibirku mendekat ke bibirnya, menciumnya dengan penuh ketulusan hati untuknya, tidak menggebu apalagi sangat bernafsu. Lidah kami saling membelit, kecupan-kecupan kecil aku berikan pun Pak Rafli. Kening kami saling menempel, senyum kami merekah. 

“Saya sayang sama Pak Rafli,” bisikku di depan wajahnya. 

“Saya, tau, lagi ya … bibir kamu nagih juga ternyata,” cengirnya lalu kembali kami saling berpagut, Pak Rafli merebahkanku, tangannya membelai wajahku saat kami saling mencari dalam ciuman yang bertempo menyiksa. 

***

“Ma, Pa … Moreta berangkat duluan, ya!” pamitku saat aku tau Pak Rafli sudah datang. Semalam ia keluar dari kamarku tidak melalui tangga. Dengan mengendap-ngendap aku membantunya keluar dari pintu utama. 

“Sama siapa? Hei, nggak sarapan?!” tahan Mama menarik tanganku. 

“Sama … Pak Rafli,” jawabku diakhiri senyuman. Bibi menganga, padahal semalam aku baru cerita kenyataan sebelum Pak Rafli mengajakku pacaran. 

“Selamat pagi,” sapa Pak Rafli yang sudah masuk ke dalam rumah. 

“Eh… masuk-masuk, Raf, iya selamat pagi!” Mama menyambut dengan senang. Papa juga, bahkan ia beranjak dari duduknya di tengah sarapan lantas menepuk-nepuk bahu dosen killer itu lantas mengajaknya sarapan. 

Aku terpaksa duduk di sampingnya. Ikut sarapan dengan melirik bibi yang senyam senyum sendiri. 

“Ayo, Raf, sarapan.” Mama mempersilakan Pak Rafli menyendok makanan ke atas piring yang sudah disiapkan bibi. 

“Iya, Bu, Pak, maaf jadi merepotkan,” ujarnya. Aku melirik sebal, pasalnya, tangan Pak Rafli menggenggam jemari tanganku dari bawah meja. Mengusap pelan sebelum melepaskan karena harus memegang garpu dengan tangan kirinya. 

“Maaf nih, mau tanya … Rafli usianya berapa, ya? Kalau Moreta kan, dua puluh tahun, kalau Rafli?” Pertanyaan Mama langsung spesifik ke angka. Papa juga tampaknya penasaran. 

“Saya dua tujuh,” jawabnya. 

“Oh, pas kalau begitu,” lanjut mama. “Kapan rencana menikah?” 

Aduh Mama … apa-apaan sih pertanyaannya. Bukannya aku tak suka, sungguh suka tapi ya nanti aja kalau mau tanya itu. 

“Terserah Moreta siapnya kapan.” 

“Hah!” Aku menoleh cepat. Kedua mataku juga terbelalak. 

“Moreta belum siap. Lulus kuliah aja belum. Nggak, deh.” Aku menggelengkan kepala. 

“Kenapa nggak! Tahun depan aja juga boleh, Mor, ya, Pa.” Mama menoleh ke Papa yang setuju. Ini lagi Papa, tidak tau saja Pak Rafli semalam hampir ngegolin anaknya. 

Pak Rafli makan sambil senyam senyum melirik ke arahku. Ternyata bisa jail juga dia. Selama ini nyebelin dan jutek. Galak juga pelit nilai. Tetapi sekarang, diri seorang Rafli yang lain muncul di depanku. 

Kami selesai sarapan, langsung pamit berangkat ke kampus. Mama Papa tau jika hubungan kami harus dirahasiakan di kampus, karena bisa menimbulkan huru hara penghuni di sana. 

“Pagi, Moreta,” bisiknya lantas mencium pipiku lama. 

“Pagi. Kok jadi kamu yang nafsuan sekarang, ya, Pak?” sindirku lantas merapikan kerah kemejanya karena tadi saat sarapan masih memakai kaos, sekarang ia dobel dengan kemeja lengan panjang warna coklat tua. Aku mencium pipinya, membalas perbuatannya. 

“Ternyata asik godain kamu. Jadi ingat ciuman panas kita di ruang penyimpanan buku, sama semalam.” Seringainya muncul. Aku tersenyum lantas duduk kembali menghadap jalanan di depan. “Mama Papa kamu minta kita nikah. Menurut kamu gimana?” 

“Nanti aja bahasnya. Belum yakin.” Seatbelt langsung aku kenakan. Pak Rafli melaju pelan meninggalkan rumahku. 

“Pak, boleh tanya sesuatu?”

“Apa.”

“Waktu sama Bu Lian, Pak Rafli ngapain aja?” Pertanyaan seperti itu pasti akan terlintas di kepala. Apalagi saat mengingat ciumannya ke Lian sungguh penuh perasaan. 

“Nggak ngapa-ngapain. Sebatas ciuman aja.” 

“Bohong. Semalam sama saya sampai turn on gitu. Pasti sama Bu Lian lebih dari sekedar ciuman.” 

“Tanya aja ke dia kalau nggak percaya. Kalau semalam alasannya adalah … karena kamu memang bikin saya terpancing, Mor. Udah otomatis, seperti ada sengatan listrik yang bikin saya nggak mau lepas dari kamu.” 

“Pak Rafli masih perjaka?” 

“Kok tanyanya ke mana-mana! Saya nggak mau jawab!” Amarahnya kambuh. Aku tau pasti pernah di melakukannya entah sama siapa. Kuhela napas panjang, bersandar pada jok mobil. 

Aku menoleh saat tangannya digenggamnya. “Pernah. Saya pernah melakukan itu saat kuliah dulu. Itu pun nggak sadar karena mabuk. Tapi saya satu sama siapa. Dia teman satu angkatan, namanya Claire, keturunan bule. Ya kamu tau lah, orang keturunan sana kayak gimana.” 

“Claire? Dia di mana sekarang?” 

“Canada. Sudah menikah dan punya anak tiga. Dia juga nggak mempermasalahkan karena kami sama-sama mabuk. Saya cuma ingat satu hal.” 

“Apa itu?” Sangat serius aku menatap Pak Rafli. 

“Rasanya enak.” Ia tersenyum. 

“Ish!” sentakku melepaskan genggaman tangannya. Pak Rafli meraih tanganku lagi, kalau dia bisa seromantis ini, aku sama sekali tidak menyesal mengejarnya sampai sakit dan pingsan karena bayarannya sepadan. 

Sebagai dosen killer sudah tersemat padanya hingga sata di kelaspun tetap begitu. Aku tetap kena tegur dan ketusan. Ya sudahlah, tidak masalah. “Moreta bantu saya bawakan ini ke ruangan.” Ia menunjuk ke makalah tugas kelas. 

“Baik, Pak,” sahutku berdiri di depan meja. Teman-temanku sudah keluar semua, kelas kosong. Pak Rafli tetap saja jutek. Aku berjalan di belakangnya, mengekor seperti buntut. Dehaman dua orang membuatku mendongak. Victor dan Mia senyam senyum ke arahku. 

“Resek lo berdua, ternyata sekongkol!” omelku lantas berjalan di belakang Pak Rafli. 

Tiba di ruang dosen, kuletakkan makalah di mejanya. Segera pamit untuk bertemu Victor dan Mia. Pak Rafli mengiyakan. Namun, tak sampai lima menit ia mengirim pesan kepadaku melalui chat. Nomornya sudah tidak aku block. Nomor tanpa nama kemarin, itu HP dia khusus untuk komunikasi bersama mahasiswa yang memang sering bimbingan dengannya juga tentang urusan perkuliahan. Sedangkan aku justru menyimpan nomor pribadinya sejak lama. Manuverku sudah sejauh itu sejak awal menyukainya. 

[Kamu siapin makan siang saya, nggak?] 

Kubalas pesan dengan mengetik kalimat … 

[Mau dibeliin apa? Nanti aku kirim lewat siapa? Apa aku yang antar ke sana?] 

Harap catat, panggilan kami sudah aku kamu, bukan saya kamu. 

[Kamu yang antar. Aku di ruang arsip. Mau periksa beberapa hal.] 

Aku membalas dengan satu kata, ok. 

“Lo berdua bener-bener, ya! Gimana ceritanya dia sampe bisa nembak gue semalam!” Aku menarik kedua tangan Victor dan Mia ke arah lift kampus. Kami akan ke kantin bersama-sama. 

“Pak Rafli hubungi gue duluan, terus gue ajak Victor karena dia bodyguard kita, minta pendapat intinya. Kita bertiga ketemuan di rumah Victor karena ternyata satu komplek beda blok, yaudah, kita berdua intrograsi Pak Rafli serinci mungkin. Dia jawab jujur semua dan kasih bukti kalau Lian minta Pak Rafli jangan hubungi dia pun Pak Rafli udah relain Lian untuk orang lain.” Mia mulai menjelaskan. 

“Gue juga minta Pak Rafli lihat elo yang tulus sampai rela berkorban untuk dia. Dari situ gue lihat raut muka Pak Rafli ada rasa sesal cuekin elo dari awal lo kejar dia kebangetan. Sampai harga diri lo nggak ada.” Kami masuk ke dalam lift, Victor menekan tombol angka 1. 

“Terus Pak Rafli bilang kalau dia mau menghargai perasaan lo dengan serius dekat sama lo, sebagai pacar dan siapa tau calon istri.” Victor menutup kalimatnya dengan merangkulku. “Lo berhasil, Mor, bikin Pak Rafli lihat ke elo.” 

Aku memeluk kedua sahabatku dengan erat. Bahagia rasanya saat perasaanku sekarang terbalas. 

“Makasih, ya,” tukasku. Mia dan Victor mengangguk. 

Aku memesan makan siang gado-gado dengan nasi, tak lupa jus strawberry. Segera aku antar ke ruangannya, meninggalkan Victor dan Mia yang masih makan siang. 

“Permisi, Pak,” kataku mengetuk pintu ruang arsip. Pak Rafli mendongak, memintaku masuk dengan anggukkan kepala. Pintu tak lupa kututup. 

“Ngapain sendirian di sini? Nggak serem?” Kedua mataku memidai ruangan berAC dengan banyak rak-rak dokumen. 

“Biasa aja. Aku lagi cari data untuk akreditasi. Bantuin tim. Kamu udah makan?” 

“Udah. Yaudah kamu makan dulu, Pak,” kataku seraya membuka wadah berisi makanan pesananku. 

“Ronald gimana? Ketemu di kantin, nggak?” Ia bertanya tanpa menatap wajahku. 

“Ketemu.”

“Terus?”

“Ya cuek aja. Kenapa? mulai cemburu, nggak suka, sebel, BT, iyaaaa …,” cicitku sebal. Pak Rafli menoleh. Ia mengusap kepalaku lantas mengecup punggung tanganku. 

“Betul semua yang kamu bilang. Saya pencemburu, saya nggak suka kalau apa yang saya miliki disukai orang lain.” 

Aku mengangguk seraya senyam senyum. “Aku suka kamu cemburu, berarti peduli. Kalau gitu boleh minta sesuatu?” 

“Apa?” tatapannya beralih dari lembaran kertas menuju mataku. 

“Kasih nilai A ya nanti, biar semester depan bisa lanjut ke konsentrasi manajemen bisnis lanjutan.” Senyumku merekah. 

“Boleh, ada syaratnya.” 

“Yah, syarat lagi,” keluhku lesu. 

“Yaudah kalau nggak mau.” Ia kembali menatap kertas di hadapannya. 

“Yaudah, apa?” 

“Jangan pindahin tangga di balkon kamar kamu. saya nanti malam mau ke kamar kamu lagi.”

Aku meneguk ludah susah payah, meringis karena syaratnya ngaco. Pak Rafli tertawa. “Bercanda, Moreta.” Dengan gemas ia mencium punggung tanganku lagi. Ah, lega rasanya. Aku pamit pergi, tapi sebelum itu kami kembali saling melumat bibir. Aku ketagihan juga dengan permainannya, Pak Rafli benar-benar membuatku mabuk kepayang. 

bersambung,

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mr.Killer Pujaan Hati - Bab 10 -. Cemburu dan hujan. GRATIS
8
0
GRATIS. Baru 2 mgg udah mulai ada cemburu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan