
Rafli harus menjelaskan semuanya. Apa Moreta mau dengar?
Penjelasan
Mobil suamiku terparkir di garasi. Di teras masih duduk kami berempat termasuk Sandra yang sumringah dengan menunjukkan senyum lebarnya ke arah suamiku. Resek! Senyum-senyumin suami orang. Dengan sinis aku melirik Sandra yang berdiri dari duduknya menyambut suamiku seolah-olah ia istrinya. Cih!
“Mia, Victor,” sapa suamiku dengan nada suara berat. Kedua sahabatku mengangguk pelan tanpa senyuman.
“Mas Rafli, apa kabar? Aku dat—“
“Kenapa kamu ke sini!” sentak suamiku marah. Sandra diam, dari raut wajahnya bisa kuyakinkan diri ia terkejut.
“Bukannya, Mas senang kalau aku datang? Tiga tahun lebih aku tunggu kamu ajak aku ke Jakarta katanya kita mau menikah. Kita juga belum putus, Mas?” Sungguh halus ia berbicara, inotasinya juga mendayu-dayu. Ingin rasanya aku dorong Sandra keluar rumahku. Tapi tenang, aku sedang hamil dan harus tahan emosi. Lirikan sinis aku tujukan ke arah laki-laki yang menghamiliku! Ia mendekat, meraih jemari tanganku lalu ia tersenyum.
“Sandra dan aku sudah putus, ada bukti yang jelas supaya kamu percaya. Cuma Sandra yang keras kepala nggak mau aku putusin waktu itu, Mor.” Begitu lembut suamiku bicara, aku percaya kepadanya walau sebelumnya kesal bukan kepalang.
“Bukti apa, Mas? Mas Rafli kenapa ….” Ia menjeda. Raut wajahnya berubah sendu dengan tangis yang hampir tumpah. Suamiku menghela napas panjang, ia berikan bukti chat mereka saat suamiku meminta hubungan mereka berakhir.
“Oh, udah mantan toh, belum moved on, ya. Pantesan ngaku-ngaku mau dinikahin. Udah, deh, nggak lihat nih gue lagi hamil!” sindirku dengan lirikan tajam.
“Aku nggak pernah mengiyakan kita putus, Mas!” Mulai bernada tinggi, Mia dan Victor merasa ada yang aneh memang dengan Sandra. Mendadak muncul, lalu bilang belum putus dengan suamiku, terus dari lembut sekarang nadanya tinggi.
“Kamu tau persis kenapa aku minta putus. Oke, benar aku serius jalani hubungan kita saat itu. Ingat, saat itu!” Suamiku menekan nada bicaranya dengan tegas. “tapi kamu lupa, kalau kesalahan kamu nggak bisa aku tolerasikan, Sandra. Perlu aku ingatkan kamu!” pelotot suamiku. Bagus, lawan, Mas. Kini aku beranjak, berdiri menatap lekat Sandra yang terlihat polos padahal, jika aku semakin dalam memperhatikan bisa jelas terlihat wajahnya halus terawat, matanya memakai soft lense, bulu matanya juga lentik. Bibit-bibit pelakor kayaknya, nih. Kecentilan pepet-pepet suami orang berkedok mantan!
“Kamu benar datang dari kampung?”
“Iya!” jawabnya sombong.
“Oke, sebentar.” Aku berjalan ke dalam rumah lalu ke teras depan sambil membawa ponsel yang sudah menempel di telinga kananku. “Halo, Ibu.” Aku tersenyum masam ke arah Sandra. “Iya, Bu, maaf ganggu. Oh, nggak kok, Moreta nggak apa-apa. Cuma ini, Bu, Moreta mau tanya. Ibu kenal sama Sandra mantan pacarnya Mas Rafli waktu PKL jadi guru di kampung? Katanya dulu muridnya?” Semua diam, namun perlahan wajah Sandra seperti tak suka aku menghubungi mertuaku.
“Oh, mantan pacarnya yang ternyata selingkuh sama kepala sekolah waktu Mas Rafli baru pindah ke Jakarta? Gitu, Bu, oh pantesan.” Aku tersenyum sinis. “Iya, Bu, nih ada di depan Moreta orangnya.” Sandra mulai panik. Puas aku melihatnya.
“Aku hamil, Mas! Nikahi aku!” teriak Sandra seenaknya dengan tangis yang pecah. Ibu mertuaku menjerit, lantas memutuskan ke rumah kami. Ponselku di rebut Mia, karena melihat aku mulai emosi.
“Heh! Hamil sama siapa minta tanggung jawab sama siapa! Lo jujur lo ngapain di sini! Kalau mau ngejebak suami gue dengan masa lalu lo berdua! Lo pikir gue nggak bisa mikir kalau ini akal-akalan lo! Penampilannya lo sok desa! Muka lo, soft lense lo, bulu mata lo!” tunjukku. “Jangan-jangan lo ani-ani yang didepak karena ketahuan istri sah!” Sarkas sekali mulutku, ah masa bodoh. Harus dilawan perempuan kayak gini.
“Sialan! Jaga omongan kamu, ya!” tunjuknya ke arahku.
“Eh! Kurang ajar.” Mia mendorong bahu Sandra hingga mundur selangkah. “Jangan lo lawan Moreta. Lo lawan gue kalau berani!” Mia marah, ia begitu kesal.
“Mas Rafli, kamu tau aku udah minta maaf dan menyesal,” isak Sandra.
“Menyesal? Menyesal setelah setahun aku ke Jakarta, lalu pulang untuk ketemu kamu dan kamu yang saat itu udah lulus SMA mau mulai kerja di pabrik, tapi diam-diam kamu jalan sama kepala sekolah yang udah beristri dengan anak empat?! Kamu pikir aku nggak ada bukti!” amuk suamiku. Semakin seru, aku duduk santai. Tak lama lagi ibu mertuaku pasti datang.
Benar saja, Mia cekcok dengan Sandra, Victor merekam kejadian dengan ponselnya sebagai bukti, jaga-jaga Sandra berulah dan kita bisa laporkan ke polisi dengan bukti yang ada.
“Kamu ngapain ketemu anak saya, hah!” omel ibu mertuaku. Ia datang dengan ayah berboncengan motor. Mereka tinggal di komple lain tak jauh dari tempat tinggal aku dan Mas Rafli. Sambil mengacungkan telunjuknya ibu marah-marah.
“Ngapain ke sini! jangan ganggu menantu dan anak saya!” amuknya lagi. Sandra menangis, ia duduk di lantai sambil terisak. “Nggak mempan air mata kamu! Pulang sana ke kampung! Ibumu sudah malu dengan kelakuan kamu di sini, sekarang cari Rafli. Siapa kamu!” tegas ibu. Sandra mendekat ke suamiku dengan berjalan menggunakan kedua lutut. Aku menghadang, berdiri di depan Mas Rafli.
“Hih! Nggak malu, ya!” bentakku lagi.
“Mas, aku mohon tolong aku. Akui anak dikandunganku anak kamu, aku mohon … aku mohon ….” Sandra begitu pilu. Ibu mertuaku menganga tak percaya.
“Sembarangan! Pergi kamu dari sini! Anak kebanggaan keluarga, karena tergiur hidup elit di Jakarta bikin malu Ibumu dan adik-adikmu di kampung. Mereka dicemooh karena apa yang kamu kerjakan! Kamu pikir Jakarta luas! Tetanggamu sendiri di kampung yang lihat kamu tinggal di apartemen itu sama laki-laki tua bangka! Masalah ini udah kesebar di sana. Ibumu sabar dan nahan malu. Sekarang kamu minta anakku bertanggung jawab!” Ibu tertawa sinis. “Saya lapor polisi supaya kamu dibawa pergi dari sini. Mengganggu kenyamanan orang lain dan mengganggu suami orang!” Ibu menghubungi seseorang. Sandra ketakutan, ia berdiri, lalu meraih tasnya dan berjalan pergi begitu saja.
Victor dan Mia tak tinggal diam, mereka ikuti ke mana Sandra pergi dan aku masih menunggu kabar mereka.
Kini, kami duduk di ruang tamu. Aku masih memijat pelipisku, ada saja masalah yang sempat kupikir akan besar tapi malah langsung menghilang.
Mas Rafli mengusap perutku, ia tatap lekat wajahku dengan perasaan tak enak hati. “Bukan salah kamu, Mas, aku yakin, kok.” Senyumku merekah. Mas Rafli mencium perutku.
“Moreta,” sapa ibu dari arah dapur dengan membawa empat cangkir teh. Ayah mertuaku duduk tenang, ia hanya memintaku tak gegabah menghadapi ujian apapun.
“Iya, Bu,” sahutku seraya menegakkan posisi duduk.
“Kapan kontrol ke dokter, Ibu boleh ikut?” Tangan ibu mengusap perutku dengan lembut.
“Mmm, besok, Bu, tapi nggak ke dokter. Kayaknya Moreta mau di bidan aja, deh. Ada deket sini dan bagus,” kataku tak lupa memasang wajah senang, tak mau membuat mereka tau masalah keuangan kami.
“Lho kenapa?” Ibu tampak terkejut.
“Kayaknya bidan itu punya teknik pernapasan melahirkan yang beda sama Bidan lain. Itu lho, Bu, yang tiup sama senyum.”
Ibu menganggukkan kepala, jelas ia tau, Ibu mertuaku kepala posyandu RW kompleknya tinggal.
“Yaudah di mana aja asal bagus nanganin wanita melahirkan. Untuk acar tujuh bulanan gimana? Jadi minggu depan juga?”
Aku menggelengkan kepala. “Mama dan Papa sibuk urus tujuh bulanan istrinya Mas Adi, nggak apa-apa, Bu, nggak usah pakai. Berdoa sama-sama aja.” Gurat kecewa terlihat dari mata ibu juga ayah mertuaku, namun seketika mereka tersenyum.
“Maafin kami, ya, belum bisa penuhi mau kamu, Moreta.” Ibu menggenggam jemari tanganku.
“Nggak apa-apa. Ibu dan Ayah jangan sedih begini. Moreta diperhatiin aja udah seneng. Beneran, Bu, nggak apa-apa.” Aku mengusap bahu ibu mertuaku yang menunduk, ia sedih. Tangannya mengusap perutku lagi. Wajahnya dimajukan mendekat ke arah perut.
“Sehat selalu ya, Cucuku. Maafin Nenek belum bisa kasih apa-apa,” lirihnya sedih.
“Bu, jangan gitu, nanti Moreta nangis, nih,” godaku lalu ibu memeluk erat.
“Ibu sayang sama Moreta, Ayah juga. Maafin kami belum bisa kasih apa-apa sementara ini. Sabar, ya, Mor, kami cuma punya perhatian dan kasih sayang,” lirih ibu sedih.
“Itu yang Moreta butuh, Bu, Ayah. Yang lain nggak usah dipikirin.”
Ibu dan Ayah pamit pulang. Aku masih menunggu kabar Mia juga Victor, mereka belum kembali ke rumahku.
Hela napas panjang Mas Rafli terdengar di belakangku. Kepalanya bersandar pada bahu kiriku. “Masalah datang dan pergi dengan cepat. Beruntung kamu bukan tipe perempuan yang gampang percaya, Mor,” lirihnya. Namun aku sengit. Sambil kesal aku berjalan merapikan cangkir dari atas meja ruang tamu membawa ke dapur untuk segera aku cuci.
Mas Rafli mengikutiku. “Kenapa kamu sekarang marah?”
“Ya marah, lah! Kenapa nggak cerita tentang Sandra. Justru malah Lian!” kataku sewot.
“Karena nggak penting menurutku.” Jawabnya enteng.
“Penting buat aku!” Sambil mencuci cangkir aku masih marah-marah. Tangan Mas Rafli memeluk dari belakang. Menempelkan pada perut buncitku lantas mengendus leher belakangku juga.
“Ih apa, sih! Geli!” Aku bergeliat, tapi suamiku tak mau melepaskan. Ia semakin mendusal lalu mengendus leherku. “Mas!” omelku kesal. Ia tertawa pelan lalu melepaskan pelukannya.
“Besok benar mau ke Bidan?” Tatapannya terlihat ragu. Aku mengangguk dengan yakin. Raut wajahnya kini tampak biasa saja. Percakapan kami beralih meninggalkan Sandra yang mendadak muncul dengan hal konyol menjadi membahas beberapa hal tentang masa depan.
Mas Rafli mau aku kembali kuliah lagi jika nanti anak kami sudah bisa ditinggal. Entah di kampus tempat Mas Rafli mengajar atau kampus lain, intinya pendidikan strata satuku harus dikejar lagi.
Sedang asik ngobrol berdua, Victor dan Mia datang. Segera kami menuju teras depan. Mereka melihat kami dengan raut wajah sumringah.
“Ada apaan?” kataku seraya duduk di kursi.
“Bener kata Ibu mertua lo, Mor. Si Sandra, dia ani-ani, gue sama Victor ngikutin. Tadi, habis dari sini yang dia keluar pergi gitu aja. Di ujung jalan ada yang nungguin dia, cowok masih muda pakai sweater. Mereka boncengan motor. Victor yang makin kepo terus ngikutin dan akhirnya berhenti di apartemen yang cukup oke lah. Di sana ada tuh laki, tapi sama perempuan yang gue yakin istrinya. Victor bilang bukan, karena dari penampilannya sederhana banget.” Mia mengatur napasnya dulu. “Terus, kita turun, nih. Rame tuh di depan lobi sampe sekuriti datang dan misahin si Sandra dari laki-laki itu. Gue langsung bilang aja kalau Sandra hampir rusak rumah tangga sahabat kita berdua, ya, Vic!” tegas Mia. Victor mengangguk. “Kaget tuh istrinya, kan. Asli ribut, Mor. Gue akhirnya ketawa-ketawa sama Victor nonton mereka gelut. Pas Sandra bilang lagi hamil dua bulan. Istrinya duduk lemes di lantai, nggak percaya dan cuma bisa melongo. Suaminya nenangis si istri. Emang dari fisik jomplang sama Sandra, tapi nggak gitu juga sampe punya simpenan dan bunting!” teriak Mia ke arahku.
“Biasa aja bilang buntingnya, Mi. Gue bunting by accident!” kataku kesal. Mia dan Victor tergelak. Setelah cerita, mereka pamit pulang. Aku kembali ke dalam menyiapkan baju ganti suamiku lalu menyiapkan makan malam sederhana. Aku memasak tumis kangkung dan telor dadar.
“Mor, baju bayi, mau dibeli kapan?” tanyanya saat membuka pakaian hendak mandi.
“Terserah,” jawabku sambil memasukkan baju kotor ke keranjang.
“Apa kita perlu bikin daftar belanjaan supaya tau budgetnya berapa?”
Setuju. Kuanggukkan kepala. Lantas memintanya segera mandi, lalu makan dan kita bahas bersama tentang perlengkapan bayi yang tak mungkin aku minta mama papa belikan. Berharap mereka memberikan secara gratis juga aku tak pernah terpikirkan.
Tak terasa hingga hampir larut malam aku mencari perlengkapan bayi yang tak terlalu mahal di medsos dan market place melalui ponsel. Beberapa kali aku tersenyum saat melihat barang incaranku seperti box bayi, baby stroller, baby bouncher, baby chair, baby car seat dengan satu merek yang memang aku tau kualitas dan modelnya keren. Sering dipakai artis. Namun seketika sadar kami tak bisa membeli. Mas Rafli mengusap kepalaku, ia cium lama pelipisku sambil meminta maaf karena semua urusan keuangan hampir berantakan. Aku mengangguk seraya tersenyum. Tak masalah. Aku akan jalani semuanya.
Ke esokkan harinya, tepatnya hari sabtu aku dan suamiku ke bidan yang ada di jalan utama komplek perumahan kami. Tempat prakteknya ruko tiga lantai. Nuansa kuning muda dan ungu muda mendominasi. Biaya pendaftaran terjangkau, untuk USG juga.
Sambil duduk menunggu antrian karena masih ada dua orang lagi, aku bertanya ke bagian administrasi berapa biaya melahirkan di sana. Saat aku diberitahu, senyumku mengembang. Semakin semangat aku melahirkan di sini.
Tak butuh waktu lama, namaku dipanggil. Aku dan suamiku ke dalam ruang praktek. Basa basi ngobrol, lalu bidan melakukan pemeriksaan kandunganku.
“USG sekarang, bulan depan nggak usah nggak apa-apa, ya. Nanti aja menjelang lahiran,” tukas bidan cantik yang sangat ramah dan penuh senyuman. Tangannya mengoleskan gel dingin ke perutku, lalu menempelkan alat USG ke perutku.
“Oke, kita lihat, ya …,” tukasnya sambil menatap layar monitor. “Nah, halo baby… lagi ngapain kamu,” ujar bidan membuat aku santai. Mataku tak henti melihat ke layar TV datar di atas dinding menghadapku. Bayiku bergerak. Mas Rafli tak lepas tersenyum.
“Ketubannya bagus, berat bayinya normal, oke, kok. Yang penting Mamanya jangan stress, atau sedih, kasihan nanti babynya ikut merasakan.” Bidan tersenyum, ia selesai melakukan pemeriksaan lalu kembali duduk di mejanya. “Saya kasih vitamin aja, ya. Untuk lainnya nggak perlu. Rencana mau melahirkan di sini?”
“Iya, Bu Bidan,” jawabku sambil perlahan turun dari ranjang pemeriksaan dibantu asisten bidan.
“Boleh, kalau gitu kita hitung HPLnya, supaya nanti kalau memang mulai merasakan gelombang cinta bisa langsung ke sini, ya.” Bidan menghitung dengan kalender. Terucap kalimat yang menjelaskan tanggal serta bulan anakku akan lahir.
Langsung saja aku mendaftarkan diri untuk memesan kamar. Mas Rafli oke oke saja karena biaya melahirkan dan kamar yang semua sama alias satu kamar satu pasien melahirkan, sudah satu paket semuanya. Lokasi kamar rawat memang tak banyak. Hanya ada lima kamar. Jika tempat praktek utama ada di lokasi lain dan cukup jauh. Ini seperti cabang tapi bisa penanganan juga.
“Bisa di DP sekarang, Mbak? Saya dua bulan lagi HPLnya,” kataku serius.
“Bisa, lima puluh persen. Nanti saat melahirkan dapat peralatan mandi untuk Ibu dan Bayi, juga sabun dan hadiah bedong juga pakaian bayi saat baru lahir.”
Aku semangat sekali, langsung kubayar uang tanda jadi. Mas Rafli juga tampak senang. Kami pun pulang, sesampainya di depan rumah. Ada undangan tergeletak di meja teras. Dari desainnya bertuliskan acara tujuh bulanan Syila dan Adi.
“Mau dateng?” bisik Mas Rafli. Aku mengangguk tak lupa tersenyum lebar. Ternyata mereka masih menganggapku.
Bersambung,
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
