
Hidup Adiba semakin ruwet dengan segala masalah hidup yang kini ia jalani. Darma sendiri tampaknya tak mau melepaskan Adiba.
Bab. 6 - Panggilan khusus
Benar saja, saat di kantor beberapa kali Darma mencoba mendekati Adiba, tapi bagusnya ia bisa terus menghindar, bisa gawat kalau ketauan apalagi Zara tau, Adiba bisa diamuk.
Pantry terasa sepi, jam tiga sore Adiba memutuskan membuat kopi. Denting sendok dan cangkir membuat keheningan terpecah. Adiba lalu meneguk pelan diakhiri hela napas panjang. Kedua matanya menatap lurus keluar jendela dengan kehampaan hati yang begitu menyiksa.
Klik.
Bunyi pintu terkunci membuatnya menoleh. Sial. Darma berdiri di sana dengan setelan jas mahal yang begitu gagah dipandang. Kedua tangan ia masukan ke saku celana kerja, tak ada senyuman dari keduanya.
Adiba memutus kontak mata itu lebih dulu, berjalan sambil membawa cangkir berisi kopi.
"Permisi," ucapnya pelan.
"Nggak," kata Darma.
"Kamu lupa peraturannya?!" sinis Diba.
"Kangen kamu, Dib. Lima hari kita jaga jarak."
Adiba berdecih, seringai muncul dari bibirnya.
"Permisi Pak Darma, saya ma--"
Terlambat. Darma membungkam bibir Adiba dengan bibirnya. Satu dorongan kuat dari Adiba membuat Darma mundur menabrak dinding dekat pintu.
Tak ada suara dari Adiba, ia menghapus jejak bibir Darma dengan punggung tangannya. Lalu memutar kunci, ia berjalan keluar dari sana dengan raut wajah seolah tak terjadi apa-apa, padahal di dalam hati ia menjerit begitu kencang.
Sementara Darma, ia memejamkan mata, tangannya terkepal. Merindukan Diba bisa membuatnya gila dan bertindak seenaknya. Ia membuka kulkas, meraih satu kaleng minuman soda rasa jeruk lalu berjalan keluar pantry
Jam pulang kerja tiba, Adiba bersiap pulang bersama Zara yang kala itu menatap dirinya penuh curiga.
"Dib, gue perhatiin beberapa hari ini, Pak Darma kenapa sering curi-curi pandang lihatin lo, ya? Dia udah nikah dan punya dua anak. Ganjen amat," gumamnya.
"Masa, sih?" kilah Diba.
"Iya. Tuh, sekarang aja dia lihatin lo tajam banget dari depan pintu ruangannya," lanjut Zara. Alih-alih merapikan meja kerja, Adiba berserobok dengan Darma yang sedang menatapnya.
Buru-buru Adiba menunduk lalu merangkul lengan Zara. "Ayo pulang. Gue naik kereta hari ini," ajak Zara.
"Nggak balik ke rumah mertua?" lirih Zara.
"Pulang, tapi gue mau ke acara musik outdoor, lo tau Andres, 'kan?"
"Tau. Kenapa dia?"
"Dia manajer band yang gue lagi suka denger lagu-lagunya, dia kasih gue akses VIP."
Zara tersenyum, "jangan main api darling, Andres itu naksir lo dari dulu. Modus itu mau deketin lo."
"Itu dulu, dia sekarang udah nikah, anaknya udah satu masih umur tiga tahun. Lo mau ikut?" Mereka tiba di depan lift, Zara menggeleng.
"Hati-hati, ya, Dib. Kabari gue kalau ada apa-apa."
"Oke, siap." Pintu lift hampir tertutup tapi tangan seseorang menahan, Darma masuk lalu berdiri di sebelah Adiba. Beberapa orang masuk lagi, terpaksa mereka berdiri paling belakang mepet dinding lift.
"Sore, Pak Darma," sapa beberapa orang. Darma membalas hanya dengan satu anggukan kepala.
Zara yang berdiri di sebelah kanan Adiba mengangkat sebelah alisnya, karena Darma begitu angkuh. Adiba menatap angka yang perlahan turun, namun ia membulat kedua matanya saat Darma meraih jemari tangannya, digenggam erat, lalu berakhir dengan usapan lembut.
Adiba kesal, ia segera melepaskan tapi Darma semakin erat menggenggam. Tiba di lantai LG. Pintu lift terbuka, Adiba menarik lengan Zara cepat, secepat ia melepaskan genggaman tangan Darma yang merasa kosong.
"Hati-hati, Diba, bye!" pekik Zara seraya melambaikan tangan. Adiba membalas dengan lambaian tangan, ia berjalan cepat bersama beberapa orang menuju ke stasiun kereta yang tak jauh dari sana.
Hatinya lega saat ia akhirnya duduk di dalam KRL, tak ada Darma. Kedua matanya terpejam, ia seolah bebas dari pandangan mata elang Darma.
Tiba di stasiun dituju, Adiba berjalan kaki menyusuri trotoar, ia melihat keramaian di lokasi pentas musik di taman kota.
"Dres!" sapanya.
"Hai, Dib!" Andres mengulurkan tangan. "Apa kabar ..., gue turut prihatin sama kasus laki lo, sampai masuk berita."
"Iya, nggak apa-apa, kok, makasih, ya." Adiba tersenyum.
"Ini kartunya, kalungin aja. Gue ke dalam duluan, ya. Kalau mau beli makan, banyak stand makanan, panggungnya di sebelah sana. Gue ke sana, ya."
"Oke. Makasih, Dres. Eh gue bayar berapa, nih, VIP juga," kekehnya.
"Gratis buat lo. Bye!"
"Makasih, Dres!" teriak Adiba girang.
"Oh, itu lakinya, enaknya dipatahin kaki apa tangan ya?"
Adiba berlonjak, ia memutar badan. Darma berdiri di belakangnya. Bagaimana bisa ia tau keberadaan Adiba.
"Jangan macam-macam kamu. Dia temanku!" geram Adiba.
"Yakin teman? Dari gelagatnya dia naksir kamu." Darma menunduk, mensejajarkan tatapannya ke Adiba.
"Aku bilang dia teman dan jangan kamu macam-macam, Mas." Diba serius.
Darma tersenyum tipis. "I don't care. Dia udah coba dekati perempuanku, jadi--"
"Mas ... please, dia teman. Udah, dong, jangan gini. Aku kayak tahanan yang dipantau sipir penjara. Aku manusia dan aku butuh berteman. Aku juga butuh hiburan. Aku butuh--"
"Aku lapar. Ayo makan," ajak Darma seraya merangkul bahu Adiba, tak mau dengar penjelasan apapun tapi saat Adiba memanggilnya 'mas' terasa desir darah mengalir cepat di tubuhnya. Membuatnya merinding diakhiri senyum simpul.
Darma membeli tiket untuk nonton pertunjukkan musik yang Adiba suka, jika Adiba tidak. Ia melepaskan rangkulan tangan Darma. Lelaki itu sudah melepaskan jas, menyisakan kemeja kerja warna hitam dan ia juga memakai topi warna hitam.
"Pulang aja, Mas, anak-anak kamu nungguin," tukas Adiba sambil menunggu pesanan minuman dan pizza keju pesanannya. Acara masih setengah jam lagi dan ia mau makan dulu.
"Aku udah telepon mereka dan bilang pulang malam, besok aku ajak mereka ke mal, belanja sepuasnya. Istriku lagi meeting karena ditawari casting film terbaru, besok baru pulang. Aku bosan di rumah dan--"
"Milih berduaan sama pelacurmu ini?" sinis Adiba.
"Kamu bukan pelacur." ketus Darma.
"Aneh kamu, apa namanya kalau bukan itu. Harga diriku udah nggak ada dimata kamu. Aku pemuas nafsu dan--"
"Kamu kesayanganku." Darma menatap lekat. "Kamu bukan pelacurku, simpananku, selingkuhanku, atau apapun yang buruk. Kamu ... kesayanganku, Adibaku. Paham?" Darma menerima pesanan makanan mereka lalu berjalan ke arah tempat duduk yang tersedia di dekat panggung. Acara di gelar di taman terbuka, jadi suasana begitu romantis dan tidak kaku karena penonton bebas duduk lesehan di rumputan, atau kursi-kursi yang disediakan.
"Kamu kapan jenguk Handi, lagi?"
"Kenapa? Mau ikut? Apa bisa kamu bebasin suamiku dari sana." tantang Adiba.
Darma tertawa pelan. "Nggak akan bisa bebas kecuali dapat remisi. Itupun ada syarat-syaratnya. Aku cuma pingin tau, apa dia selama di sana bisa menuntaskan hasratnya? Dengan apa? Nggak mungkin dia sendiri yang lakuin."
"Maksudnya?"
"Kamu pikir, di penjara nggak ada ruang khusus untuk kunjungan istri? Handi nggak kasih tau kamu? Udah berapa bulan dia di dalam, 'kan? Jangan terlalu polos jadi perempuan, Sayang." Senyum licik Darma tunjukkan. Ia melahap pizza, mengunyah sambil melirik Adiba yang mengerutkan alis, ia berpikir keras.
"Kalau kamu, ada aku yang bisa memuaskan kebutuhan kamu. Makanya aku ajak nikah siri supaya kita nggak semakin dosa."
Adiba melirik tajam. "Jauh lebih baik kalau kamu pergi dari hidupku." Tegasnya.
Darma menggeleng. "Nggak akan pernah. Semakin kamu menolak, kamu akan tau akibatnya, Adiba ... kesayanganku," bisik Darma di telinga kanan Adiba. Lalu kembali duduk tegak, menikmati makananya.
Niat hati Adiba mau healing dan me time, jadi hancur karena ada Darma yang menceritakan kehidupan di penjara.
bersambung,
***
Bab. 7 - Tugas kantor
Adiba bisa bernapas lega, akhirnya Darma tidak dikantor itu lagi. Ia bebas tidak perlu menjauh dari laki-laki itu.
"Diba, kamu bisa nyetir mobil?" tanya supervisor.
"Nggak bisa, Mbak," jawabnya.
"Oh, yaudah, kalau gitu naik taksi aja. Belanja ATK, ambil di toko langganan. Kalau minta dikirim kelamaan. Terus kamu ke tempat catering, tanya untuk acara minggu depan udah siap semua apa belum, bos kita juga ada tambahan menu, kita mau tambahin DPnya. Setelah itu kamu mampir ke toko furniture, mau ada perubahan intertior termasuk sofa. Alamat semuanya udah aku chat ke kamu.
"Iya, Mbak, saya jalan sekarang, ya," tukas Adiba segera bersiap.
"Dib!"
"Ya, Mbak," tolehnya saat ia sudah sedikit menjauh.
"Ke bagian keuangan dulu, minta uang jalan. Nanti saya yang tanda tangan."
"Iya, Mbak." Adiba berjalan ke ruagan divisi keuangan. Lalu setelah memberi tau, ia diberi uang jalan empat ratus ribu. Segera Adiba memesan taksi online, mobil kantor semua sedang dipakai, jadi tidak ada sopir yang bisa mengantarkan.
"Ke jalan Maharaya tapi lew-- lho, Adli? Temennya--"
"Iya, Kak, temennya adiknya Mbak Diba." Adli segera melajukan mobil.
"Lho, kok ... lo, bukannya harus kuliah jam segini?"
"Saya cuti, Kak, semester ini."
"Kenapa?"
"Cari uang buat bayar kuliah. Kak Diba kerja di sini sekarang?"
"Iya, baru mau dua bulan."
"Pantesan, adiknya Kak Diba petantang petenteng gayanya, Kakaknya kerja di daerah elit dan perusahaan bonafit." Terdengar nada tak duka. Adiba mencoba tenang.
"Maksudnya apa, Dli?"
"Adik, Kak Diba. Punya utang sama gue dua juta. Janjinnya mau dilunasi dari tiga bulan lalu, nyatanya nggak. Padahal itu uang bayaran semesteran saya. Terpaksa saya cuti karena nggak ada uang buat bayar. Itu juga uang hasil orang tua saya pinjam sana sini."
Adiba memejamkan mata sembari mendengkus.
"Nomor rekening kamu berapa, Dli, gue bayar sekarang, ya." Adiba mengeluarkan ponsel. Adli memberi tau nomor rekeningnya.
"Maaf, ya, Kak, bukannya mau nagih atau apa, cuma adik Kakak itu udah keterlaluan. Saya terima ya, Kak, uangnya, mau saya kasih ke Papa Mama."
"Iya, sama-sama. Lalu ini... mobil kamu?" Adiba penasaran.
"Mobil bos, saya sewa, Kak, setiap sore setoran dua ratus ribu, lebihannya baru buat saya."
"Berapa lebihannya?"
"Lumayan, lah. Buat bantu Mama belanja kebutuhan dapur. Masih ada adik juga yang sekolah, buat jajan dia bisa sedikit banyak."
Adiba diam. Tak bicara sampai tiba di lokasi pertama. Ia membuka dompet, diberikan semua uang jalan ke Adli.
"Kak, Diba, ini banyak banget," lirihnya.
"Nggak apa-apa, pegang aja, ya. Semester depan kuliah lagi, ya, jangan putus asa."
Diba tersenyum sebelum menutup pintu. Adli mengucap syukur berkali-kali, tak menyangka penumpangnya Adiba yang memang baik, beda dengan adik Adiba yang tengil dan sombong.
Terpaksa Adiba menggunakan uang pribadinya untuk ongkos pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Ditujuan terakhir, ia tak bisa langsung pulang karena harus menunggu hujan deras reda. Barang bawaannya tak banyak, karena belanjaan ATK sudah diantar kurir. Ia hanya membawa buku katalog furniture dan satu paper bag besar berisi sample tas sling bag untuk dibagi-bagi ke karyawan saat acara gathering dua bulan lagi.
Taksi juga tak ada yang mau ambil orderan, mungkin karena jaraknya tak terlalu jauh juga. Diaplikasi hanya terpampang angka tiga puluh ribu.
"Numpang duduk, ya, Pak," ujar Diba kepada pemilik warung makan.
"Iya, Mbak, silakan," jawab pemilik warung. Lima belas menit berselang, hujan masih deras, Adiba bahkan sudah menghabiskan segelas teh manis hangat. Jam menunjukkan pukul tiga sore.
Sekali lagi, ia mencoba memesan taksi online, tapi tak kunjung ada yang mau mengambil.
"Diba!" seseorang berteriak memanggil dari dalam mobil.
"Ndres!" pekik Diba sambil melambaikan tangan.
"Ayo masuk!" ujar Andres lagi. Adiba mengangguk, rejeki nomplok dan kebetulan ia berdiri di depan warung nasi.
"Ngapain di sana?" Andres memberikan beberapa lembar tisu ke Adiba untuk membersihkan tetesan air hujan yang membasahi rambutnya. Barang-barang Diba dipindahkan Andres ke jok belakang.
"Nunggu reda, taksi online nggak ada yang mau ambil orderan, karena deket kali, ya."
"Kantor lo yang mana?"
"Itu, gedung yang ada logo burung elang besar, cuma muter aja dan agak jauh. Lo dari mana?" Adiba menoleh ke Andres.
"Beli car seat untuk anak gue sama baby stroller. Bini gue udah pesen, tinggal gue ambil."
"Oh ...," tukas Adiba tersenyum masam. Sedikit macet di jalanan depan mereka. Ternyata Andres tinggal di apartemen belakang gedung kantor Diba, sudah takdir Andres yang harus mengantarkan Adiba.
"Bahagia jadi Papa, ya, Ndres?" celetuknya.
"Banget. Seru, Dib." Andres sumringah. "Lo nggak masalah kita jadi komunikasi lagi, 'kan? Lupain soal gue yang dulu--"
"Iya, lah. Udah dulu jaman kuliah. Santai aja." Keduanya tertawa.
"Gue cerita kok ke bini gue tentang lo, dia juga tanggapi santai. Tiap orang pasti punya gebetan tapi nikah sama orang lain. Ya ... berarti bukan jodoh. Nggak perlu dilupain juga apalagi dipaksa biar bersatu."
Adiba mengangguk cepat. "Istri lo kerja apa?"
"Pembaca berita."
"Hah?! Siapa?!" pekik Adiba. Andres menunjukkan foto istrinya yang ia jadikan wallpaper ponselnya. Adiba memekik lagi, jelas ia tau siapa. Andres sumringah.
"Gue sempat kerja di stasiun TV itu sebelum gabung di event organizer dan manajerin band kesukaan lo itu. Kenal di sana, dia masih baru waktu itu. Gue pikir, sombong, ya,ternyata nggak. Di TV aja kelihatan wah karena dandanan dan pakaian yang disediakan, aslinya sederhana banget. Udah gitu, dia pintar ngatur uang. Gue kan boros banget, ya, Dib, berjodoh sama dia gue punya rem tangan sama kaki," cengir Andres.
"Gue seneng lo sebahagia ini. Kemarin kasih free pass dan VIP juga buat gue, makasih ya, Dres."
"Sama-sama. Terus ... cowok yang kemarin sama lo, siapa? Kok mirip pengacara yang ...."
"Bos gue, dia lagi mau nonton acara musik juga." Adiba berkilah, jangan sampai Andres membahas lebih jauh.
"Oh, tapi kok kelihatannya posesif banget sama lo, ya, gue merhatiin dari jauh. Waktu lo mau ke dekat panggung, ditahan sama dia pergelangan tangan lo, akhirnya lo duduk lagi."
Adiba tersenyum kecut. "Bos gue emang gitu. Cemen orangnya." Terus saja ia memberikan jawaban yang bias supaya Andres tak lanjut bahas.
Adiba tiba di kantor, segera ia memberikan laporan hasil tugas yang dilakukan.
"Sip. Besok pagi ikut aku ke tempat desain interior, ya, tadi sempet meeting dan direktur minta ubah suasana kantor juga. Setelah absen kita langsung berangkat, Dib."
"Baik, Mbak."
Adiba segera membuat laporan di laptop, layar ponselnya menyala. Ia segera menggeser layar. "Ya, halo," jawabnya pelan.
"Seneng, ya, diantar Andres."
Adiba memijit pelipisnya, apa lagi, sih Darma. Kenapa juga dia bisa tau. Benar-benar Adiba dimata-matai.
"Jangan macam-macam kamu," tutur Adiba.
"Siapa yang mau macam-macam. Nanti ada mobil yang jemput kamu, aku tunggu di apartemenku, aku mau kita--"
"Aku nggak bisa," tolak Adiba.
"Fine. Video aku sebar."
Shit!
Darma mengancam lagi.
"Aku nggak bisa, masih banyak kerjaan." Ia mencari alasan.
"I don't care." Lalu percakapan terputus. Adiba menatap nanar ke layar ponsel. Sambil menghela napas ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
***
Adiba menatap jam dinding, ruangan itu menjadi saksi bagaimana kesalahan fatal harusnya tidak terjadi. Darma memeluknya erat, Diba baru saja kembali melayani Darma. Ia menggigit bibirnya, ingin menangis tapi tak ada air mata yang bisa keluar.
Memang, Darma tak kasar dan berkali-kali menyebut namanya saat mencapai puncak kenikmatan. Tetap saja ini salah. Ya, mereka berdua salah.
"Aku antar pulang, ya," bisik Darma yang semakin erat memeluk posesif dari belakang.
"Kamu mau bikin aku dimaki-maki Ibu mertuaku!" kesal Diba.
"Iya. Biar kamu diusir dan terima tinggal di sini. Tempat kita, tempat yang--"
"Pas untuk kita kayak gini. Memupuk dosa." Begitu menusuk kalimat Adiba, Darma membalik tubuh Adiba supaya menghadapnya.
"Makanya nikah, ayo, nikah siri aj--"
"Nggak!" tolak Diba lalu beranjak dari ranjang. Ia memungut pakaiannya yang berserakan di lantai kemudian berjalan ke kamar mandi. "Aku pulang naik taksi. Udah, 'kan? Puas?!"
Darma bersandar pada kepala ranjang, ia menggeleng diiringi seringai menyebalkan yang patutnya Diba tampar hingga memar.
"Aku mau cerai," cicit Darma.
"Sinting kamu." Adiba masuk ke kamar mandi, seraya membanting pintu. Darma cengengesan, ia meraih tas kerja Diba lalu membuka dompet. Dilihatnya dompet Diba hanya tersisa uang seratus ribu. Dengan cepat ia meraih tas kerja, mengambil amplop cokelat, ia isi uang seratus ribu berlembar-lembar kemudian memasukan dompet Diba ke dalam tasnya lagi.
"Aku nggak anggap kamu pelacur, Diba, aku mau kasih ini karena tau kamu butuh. Keluarga Handi maupun keluargamu bisanya merongrong kamu. Aku nggak mau kamu kekurangan." Darma bermonolog, ia beranjak, duduk di tepi ranjang sembari pandangannya menatap keluar jendela kamar. Ia menghela napas, tau apa yang mereka lalukan dosa, tapi tetap saja ia tak bisa melawan untuk melepaskan Adiba.
"Ini akan terus menjadi rahasia, aku janji. Maaf kalau harus ancam kamu, Dib. Itu satu-satunya cara." Darma menatap ke arah pintu kamar mandi dengan senyum merekah.
bersambung,
***
Bab 8. - Tagihan ini itu
Hari sabtu, Adiba bersiap ke lapas. Jadwal berkunjung rutin. Kala itu ia membawa kotak makanan tiga susun berisi makanan kesukaan suaminya. Ia memasak sendiri.
"Ibu sama Rahma nggak jenguk Mas Handi?" tanyanya.
"Nggak. Malu." Jawaban Ibu membuat Diba tersenyum tipis. Sedangkan Rahma tak acuh. Ia asik menikmati sarapannya sendiri.
"Diba berangkat, ya, Bu," pamitnya lalu menyalim tangan ibu mertuanya.
"Ya. Hati-hati. Oh, lupa. Bayar tagihan internet rumah, listrik sama tagihan mobil Rahma."
Adiba mengernyit. "Mobil Rahma bukannya--"
"Mas Handi janji mau cicilin," sela Rahma. "Dikit, kok, dua setengah juta. Bulan ini gajianku udah disisihkan buat aku traveling sama temen-temen minggu depan. Bayarin bulan ini aja." Rahma melirik sinis. Adiba diam, ia ingat Darma memberikan uang yang setelah dihitung tiga juta rupiah.
Segera ia membuka tasnya, ia berikan uang itu ke Rahma yang langsung sumringah. "Internet dan listrik nanti Diba tranfer aja bayarnya. Diba berangkat, ya." Ia pamit lagi.
Ojek online sudah tiba di depan, segera ia meminta ojol melaju ke arah tujuan. Di atas motor, ia mengecek rekeningnya, masih ada tersisa berapa hingga gajian tiba. Muncul angka empat juta, hanya itu yang tersisa.
Kemudian ia mengecek tagihan listrik dan internet,, kedua mata Diba terbelalak. Listrik hampir dua juta, tagihan internet satu juta.
"Kok mahal amat ...," lirihnya. Ia berdecak, segera melakukan pembayaran dan bukti transfernya ia kirim ke chat ibu mertuanya. Tersisa sedikit uangnya. Ia harus menabung supaya bisa cukup untuk mengontrak rumah, ia berencana melakukan itu jika Handi mengizinkan. Jika tidak, mau tak mau ia tetap di rumah itu.
Suasana lapas ramai, memang hari itu banyak yang menjenguk pesakitan di sana. Adiba duduk di kursi, menunggu suaminya muncul. Kotak makanan sudah ia letakkan di atas meja.
Menit berganti, Handi tak kunjung muncul. Adiba menoleh ke kanan, tampak satu keluarga, terdiri dari istri dan dua orang anak tampak sumringah menatap kehadiran seorang nara pidana yang berjalan sambil merentangkan tangan.
"Bapak!" pekik dua anak itu. Mereka berpelukan melepas rindu. Adiba tersenyum menyapa sang istri yang begitu sederhana dalam berpakaian, kedua anak itu juga. Memakai sandal jepit, celana jeans dan kemeja kotak-kotak yang warnanya sama.
Adiba kembali menunggu Handi, kemana dia, kok tidak muncul? Adiba melirik lagi ke keluarga itu. Sang istri membawa kotak makanan berisi nasi, telur balado dan kerupuk. Mereka makan bersama, sang narapidana menyuapin kedua anaknya sembari tersenyum. Sang istri menuangkan teh manis dari termos kecil yang dibawa. Sesi kunjungan hanya sebentar, sedikit tampak terburu-buru tapi begitu berharga.
Jam kunjungan hampir habis, Handi tak kunjung muncul. Adiba beranjak, ia menuju ke sipir penjara.
"Pak, suami saya ke mana, ya? Handi namanya," lirih Adiba.
"Sebentar, ya, Bu," jawab sipir itu. Ia berjalan ke arah kawannya yang berjaga di pintu sel di dalam. Tak lama kembali ke Adiba.
"Maaf, tahanan atas nama Handi tidak mau ketemu siapapun, katanya."
"Lho, kenapa, Pak? Apa bisa kasih tau kalau istrinya yang datang. Saya sudah menunggu sejak tadi."
"Bu, maaf, tahanan atas nama Handi tidak mau dikunjungi siapapun, tadi menyampaikan ke saya. Dia juga tidak mau dititipkan makanan," ujar sipir lain yang berjalan dari dalam, sepertinya baru saja menemui Handi.
Ada apa? Adiba kecewa. Padahal ia ingin berdiskusi tentang beberapa hal. Ada apa dengan suaminya. Ia tertunduk lesu lalu kembali ke meja, ia bawa lagi kotak makanan sambil berjalan lunglai keluar dari lapas.
Adiba duduk di halte tak jauh dekat lapas, ia termenung. Berpikir kenapa suaminya tidak mau bertemu dengannya.
Lamunannya tersadar saat ia mendengar suara dua anak tadi, ternyata mereka duduk di sebelah Adiba.
"Maaf, Bu, habis jenguk suaminya, ya?" tanya Adiba hati-hati.
"Iya, Mbak. Mbak juga, ya," balasnya.
"Iya, tapi suami saya kurang enak badan jadi nggak bisa ketemu saya tadi. Nggak apa-apa, lah," tukas Adiba seraya tersenyum.
"Bu, kapan-kapan, ya, Bu," ujar anak lelaki yang kecil.
"Iya, kapan-kapan, tenang aja." Tangan wanita itu mengusap kepala anaknya. Adiba melihat dua anak itu menatap ke restoran ayam goreng terkenal yang ada di seberang lapas.
"Kalian mau temani Tante makan, nggak, laper, nih ... yuk!" ajak Adiba.
"Ke sana Tante?!" pekik si sulung.
"Iya. Yuk. Ayo, Bu!" ajak Adiba juga.
"Lho, Mbak, nggak udah, nggak perlu," tolak halus sang ibu.
"Nggak apa-apa, ayo kita ke sana." Adiba menggandeng anak yang kecil, si sulung menatap ibunya sambil tersenyum.
"Tantenya baik, Bu, ayo, rejeki," bisiknya yang masih didengar Adiba hingga ia tersenyum.
Adiba memberikan kebebasan dua anak itu memesan makanan. Sang ibi tak enak hati, ia mengingatkan anaknya untuk tidak memesan makanan banyak, tapi Adiba memaksa.
Jadilah meja mereka tersaji makanan beberapa macam. Sang ibu menghela napas.
"Mbak, uangnya habis banyak, saya nggak enak hati, jujur, Mbak."
"Bu, nggak apa-apa, yang penting anak-anak senang. Kalau nggak habis nanti dibungkus aja." Adiba mulai makan, kedua anak itu tampak lahap.
"Ibu juga makan, ayo, Bu. Senang saya makan ramai-ramai gini." Senyum Adiba merekah.
"Iya, Mbak, terima kasih banyak."
"Sama-sama."
Sambil makan, mereka saling tukar cerita. Suami ibu itu terjerat kasus penipuan, padahal, suaminya dijebak bosnya di kantor dan seperti sengaja ditumbalkan. Awalnya tak bisa terima, tapi mau apa lagi, mereka tak bisa bayar pengacara untuk membela jadinya hanya bisa menerima.
Jadilah si ibu banting tulang, ia berjualan nasi uduk di depan stasiun, menyewa kios kecil dan dua anaknya tidak mau sekolah karena diolok-olok. Si ibu pun merangkap jadi guru demi anaknya tetap bisa belajar. Profesi si ibu dulunya juga guru, karena suaminya masuk penjara ikutan di pecat. Hidup tidak adil.
"Kita sama-sama sabar, ya, Mbak. Ini ujian hidup kita. Suami saya dua tahun lagi keluar, dapat remisi lebaran tahun lalu," kata si ibu.
"Syukur, lah. Setelah keluar, ada rencana apa, Bu, untuk mulai menatap hidup?" Adiba penasaran.
"Mau pulang ke kampung aja, di sana ada kebun keluarga dan suami saya bisa jadi mandor kuli bangunan, atau kami garap empang ikan air tawar punya keluarga. Seenggaknya di kampung, orang-orang tau suami saya nggak salah. Susah mau membela diri kalau nggak ada uang, Mbak. Mau pakai yang gratis, antriannya panjang. Kami memutuskan jalani aja, nggak apa-apa."
Mendengar itu, hati Adiba begitu nyaman dan tenang, mengapa pilihan hidup mereka sesederhana itu tapi bagi Adiba sangat mewah.
Mereka selesai makan, tak tersisa dan terlihat anak-anak puas makan. "Bu, ini dibawa, ya, tadinya buat suami saya tapi dia nggak mau. Saya masak sendiri, cobain, ya, Bu."
"Lho, Mbak, udah ditraktir masih dibawain makanan?!" ujar heran ibu itu.
"Nggak apa-apa, buat anak-anak," cengir Adiba.
"Hei, kalian jaga Ibu, ya. Bantuin diwarung, jangan nakal dan suka berantem. Nanti, kalau dikampung, harus lanjut sekolah. Hidup memang keras, kita harus bisa bertahan. Semangat, ya, anak-anak." Adiba bertos ria. Kedua anak itu memeluk Adiba.
"Terima kasih, Tante." Mata kedua anak itu berbinar. Adiba membalas pelukan.
"Minggu depan janjian ketemu di lapas, ya, Mbak," kata si ibu.
"Minggu depan saya nggak ke sini, Bu, ada acara kantor. Lain waktu kita pasti ketemu. Nah, ojek saya sudah datang, saya duluan, ya. Kapan-kapan saya yang mampir ke warung Ibu, depan statiun, 'kan?"
"Iya. Saya tunggu, ya, Mbak, terima kasih sekali lagi!" teriak ibu itu saat Adiba sudah duduk di atas motor.
"Dadah!" teriak kedua anak itu. Adiba tersenyum seraya melambaikan tangan. Namun, perlahan senyum itu luntur saat ia mengingat kenapa Handi tidak mau menemuinya.
Ponselnya bergetar, pesan masuk dari ibu kandungnya.
'Adiba, kirim uang untuk Ibu bayar cicilan koperasi RT, satu setengah juta.'
Ia berdecak, sisa uangnya tinggal sedikit. Gajian masih satu minggu lagi. Ia membalas pesan.
'Adiba belum gajian. Emang Ayah nggak kasih uang bulanan?'
Tak lama ibunya membalas pesan.
'Udah. Cuma habis buat biaya hidup. Ini masih tanggung jawabmu lho kasih uang bulanan ke Ibu walau Handi dipenjara. Suamimu itu rutin kasih, udah berapa bulan kamu nggak kasih juga karena kondisi ini, sekarang Ibu minta. Nggak mau tau.'
Tak mau ambil pusing, ia mengiyakan tapi sore akan di transfer. Jelas uangnya kurang. Ia berdecak, menatap ke arah kirin, tagihan punya siapa, ia yang membayar. Ia harus pinjam ke Zara, nanti gajian diganti.
Setelah menghubungi Zara, temannya itu segera mentransfer uang dan Adiba kirim ke ibunya.
'Ra, sorry ngerepotin, elo.' Isi pesan Adiba.
'Santai. Pake dulu aja. Lo dimana? Udah ke tempat Handi? Gue lagi di mal, nih, nyusul, Dib, sini gue tunggu.'
Adiba segera memberi tau sopir ojek untuk berhenti di mal yang tak jauh dari posisi mereka sekarang, setelah memberikan uang tunai untuk membayar. Ia berjalan masuk ke mal. Zara sedang membeli pakaian di toko.
"Kusut banget muka lo," tegur Zara sambil mencoba kemeja kerja.
"Kesel gue. Mas Handi nggak mau temuin gue dan gue harus bayar tagihan orang-orang yang bukan tanggung jawab gue. Makanya gue ngutang ke elo, Ra. Kesel banget gue, mau nangis rasanya," lirih Adiba dengan raut wajah kesal.
"Elo harus bisa tegas, Diba, nggak bisa begini. Cabut aja dari rumah mertua lo. Ngekos aja gimana, deket kantor ada."
"Maunya gitu, gue mau izin Mas Handi dulu, kalau nggak dizinin gue nggak bisa." Adiba menatap nanar Zara yang tampak kesal.
"Jadi istri sholeha itu wajib, tapi kalau kondisinya kayak gini gue rasa nggak apa-apa, toh, lo nggak aneh-aneh, 'kan?"
Aneh-aneh? Jelas lebih sekedar aneh-aneh. Adiba tak bisa menjawab, hanya tersenyum tipis.
"Gue bayar dulu. Lo mau apa, ambil, Dib, gue traktir." Zara menggamit lengan Adiba.
"Nggak. Apaan, sih, lo, mentang-mentang anak Sultan. Lo kerja cuma biar kelihatan sibuk aja, padahal ungkang-ungkang kaki, rekening lo gendut terus." Adiba berceloteh. Zara terkikik geli.
"Yang kaya raya Papa Mama gue, ya walau uang ada terus, tapi gue nggak happy. Gue tetap mau kerja jadi orang biasa. Papa Mama juga nggak malu gue jadi staf biasa, Abang-abang gue juga. Sultan nggak selamanya belagu, Ra, yang real Sultan justru hidup lebih sederhana, nggak hedon, you know. Nggak usah balikin duit yang tadi, pake aja. Awas lo," ancam Zara. Ia berjalan ke kasir, sementara Adiba menunggu berjarak.
Kedua mata Adiba membulat saat melihat Darma masuk ke toko bersama istri dan kedua anaknya. Darma juga melihat ke Adiba, tapi segera memutuskan kontak mata mereka.
"Yuk, kita ngopi sambil ngobrol, di atas ada coffee shop baru. Sekalian janjian sama Abang gue, tau mau ngapain tuh orang."
Bagus, Adiba bisa menghilang dari Darma. Ia mengangguk cepat. Tetapi, saat Adiba dan Zara yang tak sadar jika ada Darma di toko yang sama, kedua mata Darma menatap tajam ke Adiba hingga wanita itu menghilang dari pandangan.
bersambung,
***
Bab. 9 - Menemani Altaf terapi
"Mama syuting lagi, Pa?" Pertanyaan Altaf membuat Darma menoleh, ia mengangguk pelan sebagai jawaban. "Kenapa? Bosen di rumah? Rejeki Mama, lagi pula Mama memang aktris berbakat, 'kan."
"Ya ya ya." Altaf memalingkan wajah, terlihat kesal.
"Tolong pahami, ya, Bang," pinta Darma.
"Kapan pindah ke Jakarta, Pa?"
"Kamu mau?" Hal itu membuat Darma terkejut. Ia memang berencana membawa Altaf ke Jakarta, ia sudah menemukan sekolah yang cocok untuk putranya.
"Boleh."
"Papa urus semuanya, tapi pisah sama Adek, nggak papa?"
"Hm."
Darma curiga, seperti ada yang ditutupi putranya. "Kamu nggak senang punya Mama artis?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Papa tau alasannya."
"Video dan foto masa lalu Mama?" toleh Darma sedetik sebelum menatap ke jalanan bebas hambatan di hadapannya. Ia mengemudi sendiri dari Bandung saat menjemput Altaf.
"Hm."
"Itu, kan, masa lalu Mama. Mamamu dijebak sekaligus dongkrak popularitasnya dulu. Manajemennya juga salah, cara mainnya kotor."
"Tetap aja. Siapa yang mau peduli dan paham, Pa. Altaf nggak suka."
"Harus tetap terima, Bang, ini kehidupan keluarga kita." Darma tetap mencoba memberi pengertian. Akan tetapi, putranya seperti menolak.
"Oke. Papa ada pilihan lain, kalau kamu nggak mau ada dibayang-bayang Mama."
Altaf menoleh, "apa?"
"Pindah ke Selandia Baru. Bahasa inggris kamu bagus. Kamu nggak akan kesusahan tinggal di sana. Ada Om kamu juga di sana, 'kan? Adik bungsu Papa."
"Apa Papa bisa jamin, Altaf bisa nggak dikenal sebagai anak artis besar?"
Darma tersenyum. "Bisa. Kamu mau tenang dengan suasana baru, 'kan?"
"Hm."
"Di sana, tinggal di desa dengan penduduk yang tidak peduli kamu anak siapa. Buktinya, Om kamu bahagia tinggal di sana. Mereka juga belum punya anak, jadi--"
"Setuju. Altaf mau ke sana."
Darma tersenyum lebar, ia usak kepala anaknya dengan perasaan lega.
"Terapi dulu satu kali lagi. Papa mau lihat apa kamu siap hidup jauh dari Papa Mama dan nggak coba bunuh diri. Papa kecewa sama sikap kamu itu, Bang. Semua bisa dibicarakan."
Altaf tertawa miris. "Papa nggak tau apa yang teman-teman Altaf bilang setiap hari tentang Mama, belum lagi semenjak video itu bocor ke publik, setiap hari Altaf dihina. Mama dipermalukan. Altaf--" Ia diam. Tak melanjutkan kalimatnya.
Dua jam kemudian mereka tiba di rumah sakit. Darma bersorak dalam hati karena di lobi rumah sakit sudah ada Adiba yang duduk menunggunya.
Darma licik, ia meminta Adiba datang karena ia tak bisa menemani Altaf lama-lama, ada rapat bersama tim pembela terdakwa kasus pemalsuan data perijinan pembangunan kawasan real estate.
"Selamat siang, Pak," sapa Adiba sedikit malas melirik ke Darma tapi ia tersenyum ramah menyapa Altaf.
"Siang. Bisa saya minta kamu temani Altaf terapi? Hanya satu jam. Setelah itu kamu bisa ke kantor lagi."
Adiba mengangguk, Darma hanya basa basi, karena ia berhasil membuat Adiba diizinkan untuk tugas diluar kantor, alasannya karena Darma membutuhkan wanita itu untuk mengambil berkas pekerjaan di kantor firma hukum miliknya.
"Taf, kamu ditemani rekan kerja Papa, ya. Namanya Adiba." Darma mengecup puncak kepala Altaf lalu pergi.
Altaf menatap dengan raut wajah datar, Adiba mengajak putra mantan kekasihnya itu ke arah tempat dokter praktek. Sebenarnya sudah janjian, tetapi belum datang.
Keduanya duduk bersisian, Altaf terus diam tidak berkata apapun. Adiba melirik, ia melihat ada bekas luka dipergelangan tangan remaja itu.
"Altaf kelas berapa sekarang?" Adiba mencoba memecah keheningan.
"Enam SD." Pertanyaan Adiba dijawab dengan kepala tertunduk.
"Ini ... kenapa? Masih sakit?" lanjut Adiba sambil menunjuk bekas sayatan.
"Udah nggak." Altaf mengusap belas luka sobek dipergelangan tangan. Bagus tidak begitu dalam luka sobeknya.
Altaf, kala itu kelas lima SD, perundungan mulai ia terima hingga tiga bulan lamanya dan ia tak sanggup lagi menahan. Hasil menonton video di internet, tercetus ide baiknya ia mengakhiri hidupnya.
Hal itu membuat Darma dan istrinya--Hana, terkejut bukan main. Hana bahkan terus menangis saat melihat putranya lemas dengan napas tersengal juga darah yang keluar dari pergelangan tangan.
Semenjak itu, Altaf keluar dari sekolah, ia di rumah saja untuk berobat baik fisik ataupun psikis. Darma dan Hana menikah hampir tiga belas tahun lalu. Sudah sangat lama, namun tetap saja membuat Adiba syok saat dulu Darma memutuskan hubungan mereka karena alasan Hana tipe wanita idaman Darma.
Adiba pergi, setelah semua awan mendung itu tiba, hingga selang tujuh tahun kemudian, Handi membawa Adiba ketengah keluarga dengan berkata jika Hana calon istrinya.
Seketika Darman tak bisa berkata-kata, ia terus menghindar dari Adiba yang perlahan masuk di keluarga besarnya.
Nyatanya, perasaan sesal dan cintanya kepada Adiba kembali terbuka. Darma sadar apa yang akan ia lalukan gila, tetapi ia tak tahan melihat Adiba bersama Handi, apalagi saat Handi memperlakukan Adiba begitu istimewa, maka sejak saat itu permainan kotor Darma dimulai.
***
Darma menatap album kenangan semasa kuliah dulu, Adiba sama-sama kuliah jurusan hukum tapi adik tingkatnya, selepas lulus sarjana, Darma menikah dan kuliah lagi di Amerika. Altaf lahir di sana, kehidupan Darma tentram hingga ia kembali bertemu Adiba di tengah keluarga besarnya.
Tak menyangka semua bisa terjadi, apalagi Handi terbukti menipu, menggunakan uang perusahaan demi dinikmati bersama kroco-kroconya. Tak tega dengan Adiba, Darma menjadi pengacara Handi, tapi formalitas, karena ia justru akan pura-pura membela padahal ia menjebloskan Handi ke penjara.
Ia egois, ia mau Adiba walau tetap menjadi suami Hana. Ia mau menjadi sayap pelindung Adiba walapun salah. Begitu keras kepala Darma ingin melakukan itu, hingga detik ini, saat sorot matanya menatap Adiba di album kenangan memakai jas almamater kampus saat acara seminar hukum yang dibuat Darma dan angkatannya.
Adiba masih semester lima kala itu dan Darma semester tujuh. Mereka sedang menjalin kasih, rangkulan tangan Darma dibahu Adiba, dengan mereka yang saling menatap juga melempar senyum, membuat desir darah hangat mengalir cepat disekujur tubuh.
Darma tersenyum, ia memegang dadanya yang berdebar hebat. Apalagi saat ia menikmati tubuh Adiba dengan bebasnya. Kedua mata Darma terpejam, ide bajingannya muncul. Ia tau, dengan cara apa Adiba bisa semakin tidak bisa lepas darinya dan terus merahasiakan hububgan mereka.
Darma sudah selesai rapat, kini bergegas ke rumah sakit menjemput Altaf juga Adiba. Dengan cepat ia menyambar kunci mobil.
Setibanya di rumah sakit, sudah pukul empat sore. Sesi terapi Altaf cukup lama bahkan membuat Adiba mengantuk saat duduk di depan pintu ruang praktek.
Altaf berjalan menghampiri Adiba. "Tante, ayo," ajaknya.
"Ayo," jawab Adiba seraya beranjak. "Gimana tadi? Nggak ada obat yang harus Altaf minum, 'kan?"
Altaf menggelengkan kepala. "Tante Adiba," panggil Altaf.
"Iya, ada apa?"
"Altaf nggak suka Mama syuting lagi. Altaf mau jauh-jauh dari Mama. Papa mau bawa Altaf tinggal di luar negeri. Apa Altaf salah tinggalin Mama?"
Adiba mengajak Altaf kembali duduk. Ia mengelus kepala bocah itu.
"Altaf boleh memilih, yang nyaman buat Altaf tanpa membahayakan diri sendiri. Mencoba mengakhiri hidup itu salah. Pekerjaa Mama Altaf banyak disorot media, mau nggak mau Altaf harus kuat. Cerita kalau ada apa-apa, sama Papa. Tante yakin Papa walaupun sibuk mau dengerin Altaf cerita. Jangan takut atau ragu, ya. Papa Altaf orang baik, pendengar yang baik, makanya jadi pengacara hebat. Altaf harus bangga punya orang tua seperti Papa Mama. Jangan benci mereka, ya."
Altaf menghela napas, ia masih terbayang bagaimana mamanya diledek, dihina dan dibilang artis video porno. Anak-anak yang merundungnya juga tau hal itu dari para orang tua dan tersebar ke lingkungan sekolah.
"Papa Altaf penyayang, jadi jangan ragu, ya buat cerita apapun. Papa pasti mau dengar karena Pap--"
"Pa!" Altaf mendongak, Darma berdiri di belakang Adiba, ia menatap nanar. Bagaimana bisa Adiba membanggakan dirinya disaat ia justru menghancurkan harga diri wanita tersebut. Sejak tadi, Darma berdiri di balik dinding pembatas, mendengarkan semua ucapan Adiba kepada putranya.
Adiba berdiri dari duduknya, beradu tatap dengan Darma. Seketika ia memutuskan kontak mata, lalu pamit ke Altaf untuk pulang sebelum Darma memintanya menuruti hal lain.
Adiba berjalan menjauh, Altaf menatap papanya. "Kenapa Mama nggak bisa kayak Tante Adiba, Pa. Santai kalau ngomong, nggak nada tinggi kaya Mama. Kalau Mama sayang Altaf, nggak begitu caranya. Ya, kan, Pa?!"
Altaf berjalan meninggalkan Darma yang hanya bisa diam membisu. Wajah Adiba lewat sepintas di kepala, ia berjalan cepat mengejar putranya.
"Hasil terapinya apa kata Tante Cacha, Taf?"
"Papa tanya sendiri aja." ketus Altaf, bocah itu juga tampak lelah. Saat ditanya sudah makan atau belum. Altaf bilang kalau Adiba membelikan burger, kentang dan cola. Sambil terapi Altaf bisa menikmati makanan itu.
Senyum Darma merekah, ia tau Adiba seperti apa, semakin kuat ia tak kan melepaskan Adiba. Perhatian kecil yang dilakukannya begitu ia hargai apalagi kepada putranya.
bersambung,
***
Bab. 10 - Pesona Adiba
"Mama syuting lagi, Pa?" Pertanyaan Altaf membuat Darma menoleh, ia mengangguk pelan sebagai jawaban. "Kenapa? Bosen di rumah? Rejeki Mama, lagi pula Mama memang aktris berbakat, 'kan."
"Ya ya ya." Altaf memalingkan wajah, terlihat kesal.
"Tolong pahami, ya, Bang," pinta Darma.
"Kapan pindah ke Jakarta, Pa?"
"Kamu mau?" Hal itu membuat Darma terkejut. Ia memang berencana membawa Altaf ke Jakarta, ia sudah menemukan sekolah yang cocok untuk putranya.
"Boleh."
"Papa urus semuanya, tapi pisah sama Adek, nggak papa?"
"Hm."
Darma curiga, seperti ada yang ditutupi putranya. "Kamu nggak senang punya Mama artis?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Papa tau alasannya."
"Video dan foto masa lalu Mama?" toleh Darma sedetik sebelum menatap ke jalanan bebas hambatan di hadapannya. Ia mengemudi sendiri dari Bandung saat menjemput Altaf.
"Hm."
"Itu, kan, masa lalu Mama. Mamamu dijebak sekaligus dongkrak popularitasnya dulu. Manajemennya juga salah, cara mainnya kotor."
"Tetap aja. Siapa yang mau peduli dan paham, Pa. Altaf nggak suka."
"Harus tetap terima, Bang, ini kehidupan keluarga kita." Darma tetap mencoba memberi pengertian. Akan tetapi, putranya seperti menolak.
"Oke. Papa ada pilihan lain, kalau kamu nggak mau ada dibayang-bayang Mama."
Altaf menoleh, "apa?"
"Pindah ke Selandia Baru. Bahasa inggris kamu bagus. Kamu nggak akan kesusahan tinggal di sana. Ada Om kamu juga di sana, 'kan? Adik bungsu Papa."
"Apa Papa bisa jamin, Altaf bisa nggak dikenal sebagai anak artis besar?"
Darma tersenyum. "Bisa. Kamu mau tenang dengan suasana baru, 'kan?"
"Hm."
"Di sana, tinggal di desa dengan penduduk yang tidak peduli kamu anak siapa. Buktinya, Om kamu bahagia tinggal di sana. Mereka juga belum punya anak, jadi--"
"Setuju. Altaf mau ke sana."
Darma tersenyum lebar, ia usak kepala anaknya dengan perasaan lega.
"Terapi dulu satu kali lagi. Papa mau lihat apa kamu siap hidup jauh dari Papa Mama dan nggak coba bunuh diri. Papa kecewa sama sikap kamu itu, Bang. Semua bisa dibicarakan."
Altaf tertawa miris. "Papa nggak tau apa yang teman-teman Altaf bilang setiap hari tentang Mama, belum lagi semenjak video itu bocor ke publik, setiap hari Altaf dihina. Mama dipermalukan. Altaf--" Ia diam. Tak melanjutkan kalimatnya.
Dua jam kemudian mereka tiba di rumah sakit. Darma bersorak dalam hati karena di lobi rumah sakit sudah ada Adiba yang duduk menunggunya.
Darma licik, ia meminta Adiba datang karena ia tak bisa menemani Altaf lama-lama, ada rapat bersama tim pembela terdakwa kasus pemalsuan data perijinan pembangunan kawasan real estate.
"Selamat siang, Pak," sapa Adiba sedikit malas melirik ke Darma tapi ia tersenyum ramah menyapa Altaf.
"Siang. Bisa saya minta kamu temani Altaf terapi? Hanya satu jam. Setelah itu kamu bisa ke kantor lagi."
Adiba mengangguk, Darma hanya basa basi, karena ia berhasil membuat Adiba diizinkan untuk tugas diluar kantor, alasannya karena Darma membutuhkan wanita itu untuk mengambil berkas pekerjaan di kantor firma hukum miliknya.
"Taf, kamu ditemani rekan kerja Papa, ya. Namanya Adiba." Darma mengecup puncak kepala Altaf lalu pergi.
Altaf menatap dengan raut wajah datar, Adiba mengajak putra mantan kekasihnya itu ke arah tempat dokter praktek. Sebenarnya sudah janjian, tetapi belum datang.
Keduanya duduk bersisian, Altaf terus diam tidak berkata apapun. Adiba melirik, ia melihat ada bekas luka dipergelangan tangan remaja itu.
"Altaf kelas berapa sekarang?" Adiba mencoba memecah keheningan.
"Enam SD." Pertanyaan Adiba dijawab dengan kepala tertunduk.
"Ini ... kenapa? Masih sakit?" lanjut Adiba sambil menunjuk bekas sayatan.
"Udah nggak." Altaf mengusap belas luka sobek dipergelangan tangan. Bagus tidak begitu dalam luka sobeknya.
Altaf, kala itu kelas lima SD, perundungan mulai ia terima hingga tiga bulan lamanya dan ia tak sanggup lagi menahan. Hasil menonton video di internet, tercetus ide baiknya ia mengakhiri hidupnya.
Hal itu membuat Darma dan istrinya--Hana, terkejut bukan main. Hana bahkan terus menangis saat melihat putranya lemas dengan napas tersengal juga darah yang keluar dari pergelangan tangan.
Semenjak itu, Altaf keluar dari sekolah, ia di rumah saja untuk berobat baik fisik ataupun psikis. Darma dan Hana menikah hampir tiga belas tahun lalu. Sudah sangat lama, namun tetap saja membuat Adiba syok saat dulu Darma memutuskan hubungan mereka karena alasan Hana tipe wanita idaman Darma.
Adiba pergi, setelah semua awan mendung itu tiba, hingga selang tujuh tahun kemudian, Handi membawa Adiba ketengah keluarga dengan berkata jika Hana calon istrinya.
Seketika Darman tak bisa berkata-kata, ia terus menghindar dari Adiba yang perlahan masuk di keluarga besarnya.
Nyatanya, perasaan sesal dan cintanya kepada Adiba kembali terbuka. Darma sadar apa yang akan ia lalukan gila, tetapi ia tak tahan melihat Adiba bersama Handi, apalagi saat Handi memperlakukan Adiba begitu istimewa, maka sejak saat itu permainan kotor Darma dimulai.
***
Darma menatap album kenangan semasa kuliah dulu, Adiba sama-sama kuliah jurusan hukum tapi adik tingkatnya, selepas lulus sarjana, Darma menikah dan kuliah lagi di Amerika. Altaf lahir di sana, kehidupan Darma tentram hingga ia kembali bertemu Adiba di tengah keluarga besarnya.
Tak menyangka semua bisa terjadi, apalagi Handi terbukti menipu, menggunakan uang perusahaan demi dinikmati bersama kroco-kroconya. Tak tega dengan Adiba, Darma menjadi pengacara Handi, tapi formalitas, karena ia justru akan pura-pura membela padahal ia menjebloskan Handi ke penjara.
Ia egois, ia mau Adiba walau tetap menjadi suami Hana. Ia mau menjadi sayap pelindung Adiba walapun salah. Begitu keras kepala Darma ingin melakukan itu, hingga detik ini, saat sorot matanya menatap Adiba di album kenangan memakai jas almamater kampus saat acara seminar hukum yang dibuat Darma dan angkatannya.
Adiba masih semester lima kala itu dan Darma semester tujuh. Mereka sedang menjalin kasih, rangkulan tangan Darma dibahu Adiba, dengan mereka yang saling menatap juga melempar senyum, membuat desir darah hangat mengalir cepat disekujur tubuh.
Darma tersenyum, ia memegang dadanya yang berdebar hebat. Apalagi saat ia menikmati tubuh Adiba dengan bebasnya. Kedua mata Darma terpejam, ide bajingannya muncul. Ia tau, dengan cara apa Adiba bisa semakin tidak bisa lepas darinya dan terus merahasiakan hububgan mereka.
Darma sudah selesai rapat, kini bergegas ke rumah sakit menjemput Altaf juga Adiba. Dengan cepat ia menyambar kunci mobil.
Setibanya di rumah sakit, sudah pukul empat sore. Sesi terapi Altaf cukup lama bahkan membuat Adiba mengantuk saat duduk di depan pintu ruang praktek.
Altaf berjalan menghampiri Adiba. "Tante, ayo," ajaknya.
"Ayo," jawab Adiba seraya beranjak. "Gimana tadi? Nggak ada obat yang harus Altaf minum, 'kan?"
Altaf menggelengkan kepala. "Tante Adiba," panggil Altaf.
"Iya, ada apa?"
"Altaf nggak suka Mama syuting lagi. Altaf mau jauh-jauh dari Mama. Papa mau bawa Altaf tinggal di luar negeri. Apa Altaf salah tinggalin Mama?"
Adiba mengajak Altaf kembali duduk. Ia mengelus kepala bocah itu.
"Altaf boleh memilih, yang nyaman buat Altaf tanpa membahayakan diri sendiri. Mencoba mengakhiri hidup itu salah. Pekerjaa Mama Altaf banyak disorot media, mau nggak mau Altaf harus kuat. Cerita kalau ada apa-apa, sama Papa. Tante yakin Papa walaupun sibuk mau dengerin Altaf cerita. Jangan takut atau ragu, ya. Papa Altaf orang baik, pendengar yang baik, makanya jadi pengacara hebat. Altaf harus bangga punya orang tua seperti Papa Mama. Jangan benci mereka, ya."
Altaf menghela napas, ia masih terbayang bagaimana mamanya diledek, dihina dan dibilang artis video porno. Anak-anak yang merundungnya juga tau hal itu dari para orang tua dan tersebar ke lingkungan sekolah.
"Papa Altaf penyayang, jadi jangan ragu, ya buat cerita apapun. Papa pasti mau dengar karena Pap--"
"Pa!" Altaf mendongak, Darma berdiri di belakang Adiba, ia menatap nanar. Bagaimana bisa Adiba membanggakan dirinya disaat ia justru menghancurkan harga diri wanita tersebut. Sejak tadi, Darma berdiri di balik dinding pembatas, mendengarkan semua ucapan Adiba kepada putranya.
Adiba berdiri dari duduknya, beradu tatap dengan Darma. Seketika ia memutuskan kontak mata, lalu pamit ke Altaf untuk pulang sebelum Darma memintanya menuruti hal lain.
Adiba berjalan menjauh, Altaf menatap papanya. "Kenapa Mama nggak bisa kayak Tante Adiba, Pa. Santai kalau ngomong, nggak nada tinggi kaya Mama. Kalau Mama sayang Altaf, nggak begitu caranya. Ya, kan, Pa?!"
Altaf berjalan meninggalkan Darma yang hanya bisa diam membisu. Wajah Adiba lewat sepintas di kepala, ia berjalan cepat mengejar putranya.
"Hasil terapinya apa kata Tante Cacha, Taf?"
"Papa tanya sendiri aja." ketus Altaf, bocah itu juga tampak lelah. Saat ditanya sudah makan atau belum. Altaf bilang kalau Adiba membelikan burger, kentang dan cola. Sambil terapi Altaf bisa menikmati makanan itu.
Senyum Darma merekah, ia tau Adiba seperti apa, semakin kuat ia tak kan melepaskan Adiba. Perhatian kecil yang dilakukannya begitu ia hargai apalagi kepada putranya.
bersambung,
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
