BELENGGU RASA - Bab.11-15 - GRATIS

6
0
Deskripsi

Kisah ini penuh drama yang bisa terjadi pada siapapun. 

Bab. 11 - Hati untuknya

Suasana canggung keduanya rasakan, Adiba dan Darma tenggelam dalam surga dunia yang salah. Rasanya, Darma begitu lepas saat ia menjamah kembali tubuh mantan kekasihnya itu. Tidak ada paksaan atau air mata. Adiba sendiri merutuki kebodohannya, iya, jelas ia bodoh karena justru menikmati.

Sial sekali, kini ia benar-benar seperti seorang pelacur.

"Aku ke Itali besok, Hana minta ditemani karena ada pemotretan iklan sabun mandi yang baru dia dapat kontraknya. Satu minggu aku di sana, Diba."

Ya, tentu saja. Pada akhirnya setelah Darma mendapat apa yang diinginkan dari Adiba, ia akan menghilang sementara. Begitu memang laki-laki yang hanya butuh wanita sebagai pemuas nafsu, bukan?

Adiba tak menggubris, ia berjalan ke kamar mandi dengan tubuh polos. Darma memejamkan mata, mengusap kasar wajahnya karena tau Adiba pasti merasa rendah.

Darma mengejar, ia ikut masuk ke dalam sama lalu segera membawa Adiba ke dalam pelukannya. Adiba diam, ia tak membalas pelukan Darma.

"Peluk aku," pintanya manja. Adiba mengangkat tangan lalu memeluknya. Darma memejamkan mata. Dibawah pancuran air shower yang hangat, mereka terus saling memeluk dalam diam.

"Tolong lepaskan aku, Mas, aku takut lama-lama seperti ini, aku tidak kuat," lirih Adiba.

"Kenapa?" Darma merenggangkan pelukan. Ia matikan air shower, lalu menatap lekat kedua mata yang tadi, saat mereka melakukan hal itu, begitu sayu mendamba dirinya. Darma tersenyum. "Apa perasaan kamu masih ada untukku, walau secuil. Katakan, Diba?"

Detik demi detik membuat Darma menunggu, bibir Adiba bergetar pelan, air mata mengalir dari kedua sudut mata. Ia terisak, memeluk Darma erat, menenggelamnya wajahnya pada dada polos dan kekar Darma.

"Sayang," lirih Darma yang membalas pelukan Diba. Ini yang ia nantikan sebenarnya, pengakuan Adiba tentang perasaan untuk dirinya. Darma tertawa lebar, suaranya menggema lalu ia menggendong Adiba yang masih menangis sambil memeluk Darma erat.

"Sakit, Mas, rasanya. Aku mohon lepaskan aku. Jangan begini. Luka hatiku karena kamu dulu pergi, sembuh karena Mas Handi dan--"

"Dia penipu. Kalau kamu mau tau. Ada hal lain yang perlu kamu tau tapi aku tidak bisa membukanya sekarang."

Adiba turun dari gendongan Darma. Lelaki itu kembali menyalakan shower. "Kamu akan tau nanti. Sabar dulu. Suamimu itu, tidak sebaik atau seburuk aku. Tetapi aku yakin, selama kita merahasiakan hubungan terlarang ini, Handi tidak akan tau. Bahkan Hana. Perasaan kita masih sama, penyesalan aku begitu besar melepaskan kamu dulu."

"Tapi Hana mencintai kamu, Mas. Ada Altaf dan Andini yang bisa kita lukai perasaannya, aku nggak mau," lirih Adiba.

"Makanya, ayo kita nikah siri, aku akan atur kapan ada bersama Hana, kapan ada untuk kamu. Anak-anak pasti nyaman ada sama kamu." Darma semakin gila, Adiba menolak dengan keras. Ia menyambar handuk lalu segera keluar dari sana.

Ia sudah mengakui masih memiliki hati untuk Darma, tapi tak mau jika orang lain berkorban. Cukup dirinya.

Darma berjalan menyusul Adiba, ia bersedekap di depan Adiba yang masih memakai handuk, pun Darma.

"Bilang ke aku, Mas Handi kenapa. Kalau memang menipuku, aku akan ceraikan dia dan--"

Darma menggeleng, "tidak sekarang, Diba. Terlalu berbahaya. Aku juga mau pastikan lagi. Timku sedang selidiki." Darma menjeda. "Oke, ini terakhir kali aku kebablasan melakukan ini. Maafkan aku, Diba."

"Pembohong. Berapa kali kamu janji dsn akhirnya--"

"Siapa suruh punya badan menggoda dan bikin aku terus mau menanam benihku di rahimu, hah?" Darma bersedekap, tapi cengengesan. Adiba berdecih.

"Bagus aku pasang KB, kalau nggak ...."

Darma memeluk Adiba lagi yang sedang mengeringkan rambut dengan hairdyer.

"Aku akan tanggung jawab dengan menikahi kamuuu ... yeyyy!" pekiknya sambil mendusal ke ceruk leher Diba.

"Mas, please ... just stop." omelnya.

"Nggak mau. Masih sayang dan cinta aku, 'kan? Akhirnya jujur." Darma membalik tubuh Adiba, raut wajahnya memberengut sambil memalingkan wajah.

"Aku yakin, kita pasti akan bersatu suatu hari nanti. Dosa yang kita perbuat sudah sangat banyak dan besar, disaat kita bersama, resmi tanpa ada yang memisahkan selain maut, aku akan menebus semua dosa kita. Aku akan jaga kamu dan anak-anak dengan kasih sayang. Simpan hatiku dikamu, satukan dengan perasaanmu untukku. Aku tau, Handi bukan yang kamu cinta, mulutmu boleh bilang begitu, tapi tatapan mata, tubuh, desahanmu, aku bisa lihat kamu menyerahkan itu untukku. Tadi, semua muncul dan itu membuatku mabuk juga bahagia."

Darma mengecup sekali lagi kening Adiba. "Stay with me, Adiba, stay with me ...," lirih Darma. Adiba hanya bisa diam, tak bisa memberikan jawaban apapun walau Darma, nyatanya semua perkataannya benar.

Baik, jika memang Darma masih menutupi apa yang Handi sembunyikan, maka Adiba akan mencari tau sendiri.

***

Sudah satu minggu Darma di Itali, ia tak menghubungi Adiba juga. Adiba bisa fokus kerja juga bersiap ke lapas karena mau menjenguk suaminya.

Ibu dan adik Handi, Saras. Masih tetap tidak mau ikut. Di rumah justru Adiba menguping bahasan jika ibu meminta Saras putus dengan pacarnya yang hanya bekerja sebagai manajer operasional. Saras diminta mendekati pria kaya supaya hidup mereka selalu enak.

Saras setuju, ia juga sudah muak dengan lelaki tersebut dan memang gaya hidup Saras yang terlalu wah, membuat dirinya tak kan bisa hidup kesusahan.

Adiba bergegas berangkat ke lapas, kembali menggunakan ojol supaya praktis. Di tangannya sudah ada kue tart yang ia beli karena Handi berulang tahun. Dalam benak, sejujurnya ia masih ingin tau ada apa sebenarnya dengan suaminya itu. Apa yang ditutupi Handi.

Lapas tampak ramai, seperti biasa karena jam besuk tiba. Adiba duduk di dalam, menunggu suaminya muncul. Tak lama, Handi datang, ia duduk di hadapan Adiba dengan memasang wajah dingin. Rambutnya mulai panjang, Diba tak suka melihatnya tapi mau protespun sungkan.

"Mas, apa kabar?" Adiba menyalim tangan Handi. "Sebulan kita nggak ketemu dan ... selamat ulang tahun Mas Handi," ucap Adiba sambil mengeluarkan kue dari dalam kotak.
"Ayo, Mas, make a wish."

"Berharap apa. Hukumanku lama di sini. Mau minta banding udah nggak bakal bisa." Terdengar ketus. Handi mencondongkan tubuhnya ke hadapan Adiba. Ditatapnya lekat. "Kamu bahagia, bukan, aku ditahan dipenjara?" Seringai Handi muncul. Jantung Adiba berdetak cepat, pikirannya sudah kacau. Jangan-jangan Handi tau perbuatannya dengan Darma.

"Aku tau, Adiba, apa yang kamu pikirkan. Saras cerita ke aku, dia minggu lalu ke sini dan bilang kalau kamu sedang dekat dengan pacarnya dia. Jadi begitu, Diba?" sinis Handi.

Ada rasa lega dihati Adiba, tapi rasa kesal juga datang bersamaan. Oh, jadi begitu Saras mulai mempermainkannya, mulai fitnah dirinya supaya Handi membenci dirinya.

"Apa ada buktinya, Mas? Dan kamu percaya?" sinis Adiba. Handi diam, ia tak ada bukti, hanya cerita dari Saras.

Adiba pun terpancing untuk mengajukan pertanyaan. "Mas Handi, bukannya kamu yang menyembunyikan sesuatu dariku? Ada apa, Mas, apa kamu mengkhianatiku, punya wanita lain atau--"

"Jaga bicaramu!" geram Handi. Wajahnya emosi dengan deru napas terpacu berat sambil menunjuk Adiba dengan telunjuknya.

Adiba sadar, jelas ada yang disembunyikan suaminya. Ia diam, lalu Handi menunduk.

"Sekarang kamu kerja, apa Ibu dan Saras minta uang ke kamu?" Nada bicara Handi menjadi lembut.

"Iya. Seperti biasa. Uang gajiku tersisa sedikit karena Ibumu, Adikmu, Ibuku dan Adikku. Adil bukan? Semua merongrong kepadaku karena biasanya kamu yang memanjakan."

Handi mendengkus. Ia mengusap kasar wajahnya. "Diba, dengar. Kamu tau brankas yang aku simpan di belakang lukisan di ruang kerjaku di rumah, bukan?"

Adiba mengangguk. "Di sana aku simpan uang tunai, dollar, simpan untukmu jangan sampai Ibu dan Saras tau. Totalnya hampir satu milillar," bisik Handi.

Adiba membekap mulutnya. "Uang apa itu, Mas? Diba nggak mau." bisiknya marah.

"Kamu nggak perlu tau. Pakai uang itu untuk kebutuhanmu. Jangan kasih Ibu atau Saras, ya." Handi lalu beranjak, ia memasukkan kue ke dalam Kotak lagi lalu masuk kembali ke dalam lapas. Adiba hanya bisa diam, tak bisa bereaksi apapun.

Setibanya di rumah, ia lalu mencari keberadaan brankas tersebut. Handi tadi sempat membisikkan kodenya, karena selama ini Adiba hanya tau keberadaan brankas itu tanpa tau kode kuncinya. Adiba yang memang masa bodoh, tak berpikir panjang jika ada uang banyak di sana.

Tangannya meraih ponsel, ia mengabadikan isi brankas itu jaga-jaga sebagai bukti lalu kembali menutupnya.

Pikirannya kalut, apa yang sebenarnya dikerjakan suaminya. Apa selama ini sosok Handi yang ia kenal bukan Handi yang sebenarnya?

bersambung,


***

Bab. 12 - Sindiran pedas keluarga

Menutupi apa yang terjadi pada hidupnya, membuat Adiba harus menjadi dua orang yang berbeda. Ia sudah meminta Darma untuk sementara tidak menghubunginya, apalagi lelaki itu tengah sibuk membawa Altaf ke Selandia Baru. Pasti sibuk dengan keluarganya sendiri juga.

Adiba tak bisa tenang semenjak ia menemukan uang dalam jumlah banyak. Ia tak menyentuhnya sama sekali, begitu takut.

"Diba, besok arisan keluarga di rumah Bude Martina, jangan nggak datang!" Mamanya memberi peringatan. Adiba duduk sembari menghela napas di meja kerjanya.

Zara mendekat, ia bersandar pada lemari kecil setinggi satu setengah meter yang isinya berkas-berkas, berdiri menghadap Adiba yang tampak risau.

"Kenapa, Dib?"

Adiba menyandarkan tubuh pada sandaran kursi, lalu menatap Zara. "Biasa lah, Zar, nyokap gue minta gue dateng ke arisan keluarga bokap."

"Dan lo mau?"

"Mau nggak mau tepatnya. Apa iya gue bisa nolak?" lirik Adiba lagi. Zara tersenyum lebar.

"Dateng aja, tapi sebentar. Habis itu ikut gue ketemuan sama Kakak gue tapi di Singapura. Punya passpor kan, lo?"

"Hah! Gila. Ngapain gue ikut lo ke sana?"

"Kakak gue, mau bahas soal bisnis baju. Karena gue di sini dan kenal beberapa pemilik konveksi kaos yang biasa dipakai harian tapi kualitas baik. Dia minta gue handle di sini. Nah, ke sana itu buat mantapin konsepnya. Kakak gue mau brand lokal ini bisa masuk ke sana. Intinya gitu."

Adiba mengernyit. "Kakak lo yang mana tapi? Lo anak tunggal, 'kan?"

"Kakak tiri gue. Ah, elo, kayak nggak tau keluarga gue aja. Mama gue yang sekarang Mama sambung, nikah sama Papa juga udah duda dua kali, anaknya gue doang, tapi dari Mama gue ini anaknya tiga dan cowok semua, udah pada nikah. Ya ... walau lakinya beda juga. Dua Kakak gue yang lain, bokapnya beda sama ... ah, gitu pokoknya. Intinya Mama dan Papa gue sekarang kayak udah ketemu yang cocok, lihat aja mesra bener ke mana-mana."

"Oh ... ok, jadi gue alasannya temenin lo makanya gue nggak bisa lama-lama di sana gitu?"

"Yap. Betul. Cabut, yuk, gue pingin makan bakar-bakaran ala Korea, sekalian ngumpul sama temen-temen kuliah gue dulu. Nggak banyak, Dib, berlima doang."

Adiba sempat ragu. Zara tersenyum. "Kita nggak ada yang minum alkohol, kok dan mereka baik semua. Asik."

Yang dimaksud Zara teman satu kampus saat ia kuliah S2 yang mangkrak tak selesai karena jenuh. Dasar Zara, saking banyaknya uang jadi begitu.

Mobil city car warna merah berjalah membelah Ibu kota, Zara mengemudi sendiri, ia bahkan tidak membeli mobil mewah. Hanya city car biasa, katanya malah kalau ketahuan anak orang kaya.

Mereka tiba di lokasi bertemuan. Adiba berjalan di sisi Zara. Pelayan membuka pintu, mereka segera menuju ke meja yang sudah ada lima orang lainnya di sana. Adiba berkenalan, benar kata Zara, mereka ramah.

Jumat malam memang yang paling mereka tunggu-tunggu, karena bisa melepas penat dan bersantai. Seperti sekarang, salah satu teman Zara bahkan ada yang hamil 5 bulan tapi begitu heboh juga ramai. Adiba bahkan membayangkan, rasanya hamil seperti apa. Pasti senang dan begitu dispesialkan.

Seorang pria muda datang, memakai jaket jeans lalu memeluk dari belakang wanita hamil tadi.

"Aw...! Punya suami berondong yahud, ya, sayyy ...," ledek Zara.

"Jangan ditanya, gue kadang kewalahan," sahutnya yang berakhir mereka semua tertawa. Keduanya pamit, ternyata suami mudanya itu tak mau istrinya terlalu malam pulang. Tinggal lah kami ber-enam. Tiga cewek dan tiga cowok.

Zara memesan makanan lagi, camilan otak-otak goreng dan lainnya.

"Adiba, muka kamu nggak asing. Pernah masuk TV?" tanya cowok di hadapan Adiba.

"Kalau yang kamu lihat siaran berita, pasti pernah. Aku istri Handi, yang nipu uang perusahaan." Adiba tak basa basi, langsung saja merendah dirinya.

"Emgh! Pantesan. Berita itu ramai. I'm so sorry for--"

"Thank you," sela Adiba kemudian meneguk es teh lemon.

"Diba wanita kuat. Kalau gue jadi dia, udah minta cerai," lanjut Zara.

"Mengakhiri hubungan pernikahan, nggak semudah itu, Ra, buat gue. Banyak hal yang harus dipertimbangkan." Adiba tampak tersenyum miris.

"Pertimbangan lo hati dan perasaan orang lain, tapi nggak ke diri lo, Diba. Makanya lo murung," sindir Zara.

"Jangan mengalah untuk laki-laki yang nggak mau mengerti kamu, Diba," sahut cowok yang duduk di depan Diba.

"Makanya dia bertahan pacaran enam tahun, Diba, bulan depan nikah. Calonnya pramugari," ujar Zara lagi. Adiba tersenyum lalu mengacungkan ibu jari.

"Kalian berdua, udah nikah atau mau nikah?" tunjuk Diba ke dua cowok yang perawakannya begitu maskulin.

"Gue duda, baru cerai dua bulan lalu. Kalau Christo, baru jadian sama temen kantornya juga," jawabnya.

"Oh ...," tukas Adiba.

"Diba, gimana rasanya tinggal sama mertua lagi? Bukannya itu lebih dari mimpi buruk?" tanya Cassie perempuan mata sipit yang medok sekali logat jawanya.

"Begitu, lah." Adiba tersenyum kemudian menikmati otak-otak goreng.

Rasanya ... jumat malam itu hanya seperti menghilangkan penat sejenak, karena setelah ia kembali ke rumah, suasana tak nyaman lagi.

Benar saja, baru ia melangkahkan kaki melewati ruang tamu. Suara ibu mertuanya menyindir terdengar.

"Mentang-mentang suaminya di penjara, pulang kerja bebas sampai rumah jam sepuluh malam, bagus, Diba."

Adiba menoleh, ia menghela napas dulu. "Adiba ketemu sama temen dan makan malam ditraktir Zara, Bu," jawabnya bernada pelan dan lembut.

"Halah. Alasan." Ibu mertuanya mencibir.

"Yaudah, terserah kalau Ibu nggak percaya," sanggah Adiba lembut. Ibu melirik sinis.

Esok harinya, Adiba sudah bersiap berangkat ke rumah orang tuanya. Mereka akan berangkat bersama. Ia pamit ke ibu mertuanya tapi diabaikan. Dengan langkah pelan berjalan keluar rumah karena ojolnya sudah tiba.

Sampai di rumah orang tuanya. Ia segera masuk untuk menyapa. "Ma, Pa," sapanya.

"Masuk aja, Kak," kata adikku yang segera masuk ke dalam mobil duduk dibalik kemudi.

Mama dan Papa muncul, begitu rapi penampilannya. Di belakangnya ada mbak yang kerja di rumah, membawakan kotak kue yang biasa mama bawa saat acara arisan keluarga.

Di dalam mobil, saat mereka menuju ke rumah tante Marta, Adiba yang duduk di jok depan lebih banyak diam. Rasanya aneh berada di keluarga sendiri.

"Pa, kamu tau Sofia anaknya Mbak Giya, 'kan?" tanya mama.

"Iya. Kenapa?"

"Suaminya ketahuan punya cewek lain. Dia ajukan gugatan cerai. Nggak pakai mikir dua atau tiga kali. Udah gitu, ternyata suaminya yang mulai duluan."

"Oh, ya nggak apa-apa," sahut papa datar.

"Iya, nggak apa-apa, sih ... dan aku baru tau kalau itu udah setahun lalu. Sekarang, katanya mau nikah lagi sama cowok yang baik juga sholeh. Anak-anaknya juga lebih nyaman sama calon Papa sambungnya ini."

"Emang siapa, Ma? Anaknya Tante Giya ada tiga, 'kan?" sambung adiknya Adiba.

"Reyna. Si Rey. Dia itu udah sabar, saking sabarnya nggak kuat juga. Apalagi uang suaminya habis buat royalin itu cewek. Rey sampai ikut kerja lagi, ternyata suaminya busuk. Jangan pertahanin yang udah tau jahatin kita," sindir mama sambil melirik ke Adiba yang duduk di depan. "Cari yang jujur dan kaya raya. Jangan mau hidup susah. Tanggung jawab suami itu ambil alih tanggung jawab Ayah si perempuan. Heh, Diba, mau sampai kapan kamu bertahan sama Handi yang penipu itu?!"

Adiba menoleh. "Bukannya kalian semua nikmati uangnya juga. Mas Handi royal ke kalian, 'kan? Papa, Mama, Adek, bukannya kecipratan walau itu uang nilep?"

Adiba sudah kesal, akhirnya ia jeplakin juga. Papa diam, Mama cemberut dan adiknya memalingkan wajah.

"Ya tapi kamu nggak mau punya suami nara pidana? Ajukan cerai, lah, Mama yakin banyak yang mau sama kamu dan jauh lebih kaya raya. Hidupmu pasti bahagia. Apalagi mertuamu sekarang matre, 'kan?" sindir mama lagi.

Adiba memijat pelipisnya. "Udah, lah, Ma ... ini pernikahan Diba, Diba yang ambil keputusan lanjut atau berhenti. Mama nggak perlu komporin Diba, Diba tau."

"Oke. Mama mau lihat sampai mana kamu bertahan sama Handi dan keluarganya. Padahal Mama mau jodohin kamu sama laki-laki yang jauh lebih baik dan kaya raya."

Adiba hanya bisa menghela napas panjang. Tak mau menyahut sindiran mamanya lagi.

bersambung,


***

Bab. 13 - Rongrongan

Adiba duduk di teras rumah saudaranya, ia malas berada di dalam sana karena semua orang terus menyindirnya tentang status suaminya yang seorang nara pidana. Para sepupunya juga seolah menjauh, hanya formalitas menyapa Adiba dengan senyuman.

Mobil taksi alphart hitam berhenti di depan rumah, Adiba berdiri lalu masuk ke dalam rumah.

"Ma ... Pa, Diba pamit. Maaf nggak bisa lama-lama. Zara udah datang jemput." Kedua orang tuanya melongo, Adiba tak bilang mau ke mana atau apa. Setelah menyalim tangan semua orang. Ia berjalan keluar rumah, mengabaikan sepupunya yang tampak berbisik-bisik karena Adiba dijemput taksi mewah lalu wanita cantik turun berdiri menunggu di sisi mobil.

"Kak! Tunggu!" panggil adiknya. Adiba digandeng ke garasi samping. "Pinjem empat juta. Aku ada utang sama temen. Please, kak."

"Eh, gila kamu! Buat apaan uang sebanyak itu!" bisik Adiba marah.

"Nanti aku jelasin. Tolong transfer ke rekeningku, Kak, Mama Papa nggak mau bantu. Aku nggak enak sama temenku."

"Nggak ada uang segitu." tolak Adiba. "Kakak, tolong ...," melas adiknya. Lelaki tinggi tegap itu memang terlihat tampan juga menarik kaum hawa, sayang, bagi Adiba adiknya terlalu banyak berbohong dan boros.

"Kamu tau ... Mama aja baru minta uang sama Kakak bulan lalu buat tambahin bayar wisuda kamu. Harusnya kamu mikir, dong!" lirih Adiba.

"Kak, please, terakhir, Kak." Kedua tangan adiknya terlipat di depan Adiba. Dengan lirikan kesal, ia mau tak mau memberikan uang itu. Ia tunjukkan hasil tranferan ke adiknya.
"Thank you, Kak!" Ia lalu memeluk Adiba.

Adiba berjalan ke arah mobil, Zara melirik sinis ke adik lelaki Diba lalu menyusul masuk ke dalam mobil itu juga.

"Ngapain adek lo? Duit lagi?" semprot Zara.

"Hm."

"Berapa lagi? Bulan lalu lo baru kasih ke Mama lo dua setengah juta. Sekarang buat apa lagi dia?" Zara terdengar kesal.

"Nggak tau. Minta empat juta tadi. Gue pusing, kalau nggak dikasih gue diteror terus dan takut dia kenapa-kenapa." Adiba memeriksa saldo sisa di rekeningnya. Ia mendesah, lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam tas yang ia bawa.

"Lo kebiasaan. Tegas sekali-sekali, Diba. Sisa berapa duit lo." Zara menunjuk dengan jari ke arah tas di atas pangkuan Diba.

"Ada lah, Ra. Eh gue balik dulu, ambil tas baju."

"Iya, kita ke sana dulu. Pesawat masih tiga jam lagi. Jawab pertanyaan gue, sisa berapa?"

Adiba melirik sebal ke Zara lalu menggelengkan kepala. "Berapa?" cecar Zara.

"Udah, lah, Ra, bukan urusan lo, aman, Ra, aman." Adiba memalingkan wajah.

"Diba. Lo anggap gue apaan?!" Zara marah. Adiba menghela napas panjang, seraya melirik ke Zara.

"Ra ... kali iniii ... aja, lo nggak perlu tau. Gue diajak lo pergi ke sana aja udah lo yang tanggung semuanya. Gue tau elo banget. Makanya gue kali ini nggak mau bilang."

Zara duduk bersandar, ia melirik ke Adiba. "Fine, tapi lo nggak bisa nolak kalau gue beliin apapun. Titik." ancam Zara yang membuat Adiba tersenyum tipis. Punya sahabat anak konglomerat, bukan berarti bagi Diba ajang aji mumpung, ia bukan sahabat yang seperti itu. Mentang-mentang teman royal, main morotin.

***

Singapura. Adiba duduk di restoran hotel. Sore hari itu Zara langsung meeting dengan kakaknya dan Adiba tak mau ganggu. Ia memilih duduk menyendiri sambil memandangi senja dari lantai tujuh. Suasana ramai di luar, tamu hotel ada yang berenang sambil memandang langit jingga.

Adiba berkelut dengan pikirannya. Ia teringat uang Handi yang begitu banyak. Dari mana berasal. Ia tak mau sampai terseret ikut bersalah.

Tangannya membuka laptop yang memang ia bawa, Adiba lebih suka berselancar di dunia maya ketimbang duduk nonton TV. Dengan segera ia kirim email ke seseorang, ia ingin sekedar cerita apa posisinya salah menyembunyikan hal itu dan apa suaminya terkait masalah hukum lainnya. Jujur saja, lama-lama Adiba tak kuat jika begini. Nama baiknya ikutan buruk dan Handi sekarang berubah sikapnya bahkan menuduh ia dekat dengan pacar adiknya.

Selang setengah jam email terbalas, yang isinya Adiba minta sabar sampai seseorang ini menemukan jawabannya. Dengan kelima jemari tangan, Adiba menyugar rambutnya.

Langit berganti gelap, Adiba selesai makan dan hendak beranjak. Ia ingin melihat live musik yang ada di rooftop hotel. Zara sudah tau dan akan menyusul ke sana. Sebelumnya, Adiba ke kamar untuk meletakkan laptopnya.

Sesampainya di rooftop, ia memesan minuman dingin non alkohol, beberapa kali ia disapa warga asing yang terlihat begitu gagah, tampan dan kaya raya. Adiba memutuskan duduk di pojok.

Alunan musik membuat Adiba tersenyum dan ikut bersenandung pelan. Kedua matanya terbelalak saat melihat Saras, adik iparnya datang dengan laki-laki tua tapi gagah yang ia yakin bos di kantor Saras. Adiba segera memalingkan wajah, Saras tak akan sadar karena ia duduk di sofa jauh dari dirinya duduk.

Akhirnya, ia bisa melihat sendiri kelakuan adik iparnya. Selama ini Handi selalu memanjakan Saras dan adiknya begitu ia sayangi.

Tak lama Zara datang dan Adiba berjalan cepat membawa Zara pergi dari sana. "Diba, apaan?! Ada apa!" pekik Zara. Adiba akhirnya menjelaskan saat mereka ada di lift. "Ya ngapain elo ngumpet, yang ada lo ambil foto atau video kasih ke pacarnya."

"Bukan gitu. Gue males Saras lihat gue. Sejam lalu mertua gue chat gue, minta duit buat ke salon sama spa dan makan di mal sama teman-temannya. Gila kali, gue nggak ada duit." Adiba tampak kesal.

"Yaudah, kita makan di luar aja. Kakak gue juga jalan-jalan sama anak istrinya. Udah, lah, urusan rongrongan mertua lo atau keluarga lo lainnya. Jangan dipikirin. Kita senang-senang malam ini." Zara menggamit lengan Adiba lalu setelah tiba di lobi, mereka berjalan keluar hotel menuju ke area street food.

"Ra, nih, kartu kredit lo. Baru gue pake buat makan sama beli minum tadi." Adiba mengembalikan ke Zara.

"Pegang aja, sih. Santai." Zara masih asik berjalan sambil menggamit lengan kiri Adiba. Mereka tiba di lokasi, keduanya memilih menikmati seafood.

Sambil menunggu pesanan, keduanya asik bercanda. Bahkan hingga ada seseorang yang datang, terlihat seperti segerombol pelancong tapi dari Indonesia juga, mengajak Zara kenalan. Adiba menahan tawa, akhirnya temannya kembali berani membuka hati, ah, setidaknya berkenalan.

Adiba juga ngobrol dengan dua teman pria lainnya. Mereka dari surabaya dan kerja di perusahaan teknologi sebagai IT. Obrolan semakin seru saat Zara tau ternyata pria yang berkenalan dengan Zara masih satu circle pertemanan dengan kakaknya.
Sama-sama orang kaya raya intinya.

Adiba memalingkan wajah, menatap sekitar hingga netranya melihat sosok Darma bersama istrinya sedang mengantri di depan penjual masakan Thailand dengan Darma yang memeluk mesra istrinya dari belakang. Penampilan Darma juga sangat santai, dengan kaos kerah warna biru tua, celana jeans juga sepatu kets putih.

Adiba juga melihat bagaimana Darma menciumi pipi istrinya beberapa kali. Napas Adiba sesak, tenggorokannya tercekat. Mengapa mendadak dunia berhenti bergerak dan ia juga diam ditempat.

bersambung,


***

Bab. 14 - Memilih diam

Adiba mengeluarkan ponsel dari dalam tas, ia lalu mengirim pesan ke Darma yang berdiri membelakanginya tak jauh dari tempatnya duduk.

Adiba : "Apa kabar, Mas?"

Adiba lalu memperhatikan gelagat Darma. Lelaki itu mengeluarkan ponsel lalu kembali memasukan lagi ke dalam saku celana jeansnya. Ia kembali memeluk leher istrinya, yang bersandar manja dalam pelukan.

Kembali Adiba mengirim pesan ke Darma.

Adiba : "Masih di Itali?"

Setelah menunggu, tak ada balasan juga. Adiba memiliki ide. Ia kirim boom chat ke Darma seolah ia membutuhkan lelaki itu.

Terlihat gelagat Darma yang mulai menjauh dari istrinya seolah menjawab telepon dan sang istri mengiyakan.

Darma membaca semua pesan Adiba, tapi tak satupun dibalas, mengabaikan begitu saja. Ia kembali ke posisi tempat istrinya berdiri lalu merangkul mesra.

Adiba tersenyum getir, kemudian kembali mengobrol dengan Zara dan ketiga pria yang bersama mereka.

Sekembalinya ke kamar hotel, Zara tampak kelelahan jadi langsung tidur, sedangkan Adiba, ia kembali mengirim chat ke Darma walau hanya kirim stiker yang bertuliskan "Where are you?" dengan wajah kucing memelas.

Ia memejamkan mata di jam satu waktu Singapura. Di dalam pikirannya, ia bertanya-tanya. Apa yang sedang direncanakan Darma. Apa ia sengaja mempermainkannya juga mengelabui istrinya supaya tak curiga dengan kelakuan lelaki itu dibelakang sang istri?

***

Esok harinya Zara mengajak Adiba belanja, hal itu menjadi rutinitas rutin Zara. Adiba tak mau memikirkan lagi tentang boom chat semalam.

Adiba melihat istri Darma keluar dari butik terkenal di sana seorang diri, tampaknya baru saja belanja. Adiba memindai sekitar, memastikan keberadaan Darma, tak lama ia melihat lelaki itu menghampiri istrinya dengan seorang pria lainnya yang Adiba bisa lihat seorang ajudan, terlihat dari pakaian yang dikenakan, serba hitam dan tampak gagah.

Zara mengajak Adiba masuk ke dalam toko sepatu, lalu melupakan apa yang ia lihat tadi.

"Diba, ambil dua sepatu, ya." Zara mentraktir Diba lagi.

"Udah, deh, Ra, elo aja. Ini baju udah banyak lo beliin gue."

"Hih! Ribet. Pilih, Ra, sepatu kerja lo cuma dua, gue bosen lihatnya," ledek Zara sambil memegang sepatu wedges warna marun.

Adiba menolak, Zara kepalang kesal, ia menarik tangan Adiba ke arah display dekat pintu masuk. Siapa sangka, pintu toko terbuka lalu masuk Darma, istrinya dan ajudan. Netra keduanya bertubrukan. Segera Adiba memalingkan wajah lalu pura-pura memilih sepatu.

Zara yang juga melihat Darma, dengan polosnya menyapa lalu menyenggol bahu Adiba. Ia memutar tubuh, lalu menyapa Darma juga.

"Kalian berdua di sini?" tunjuk Darma.

"Iya, Pak. Tapi siang ini, jam dua kita pulang ke Jakarta lagi. Pak Darma dengan ...."

"Ah, ya. Ini istri saya." Darma memeluk pinggang ramping aktris ternama itu. Adiba dan Zara berjabat tangan. "Mereka staf di kantor media yang aku pegang soal hukum mereka," kata Darma.

"Oh, iya. Apa kabar?" sapa ramah wanita itu.

"Baik, Bu," jawab Zara sementara Adiba tersenyum tipis seraya menjaga pandangan dengan menunduk. Dari segi fisik, wanita itu tinggi semampai juga begitu cantik terawat, berbeda dengannya yang sederhana dan tampil apa adanya.

"Silakan lanjut belanjanya, saya ke sana, ya. Ayo, sayang," ajaknya sambil tersenyum pamitan dan menggandeng tangan Darma. Adiba tersenyum juga, ia tak mau menatap Darma, hanya lelaki itu yang begitu lekat menatap Adiba yang menunduk.

"Diba, yang ini bagus, mau, ya. Kaki lo nomor tiga delapan, 'kan, ya? Gue konfersi dulu jadi size--"

"Gue ke toilet, ya, Ra, kebelet," pamit Adiba lalu bertanya ke pramuniaga di mana toilet. Segera ia berjalan setelah diberi tau. Adiba mengunci pintu toilet toko, dengan cepat ia duduk di atas kloset yang tertutup sambil menunduk memejamkan mata.

Air matanya jatuh, ia buru-buru hapus lalu mengipas-ngipas wajah dengan tangan kanan. "Sekali busuk tetap busuk, Diba. Tenangin dulu, lalu pikir rencana lain untuk kasih pelajaran ke dia." Ia bergumam sendiri. Adiba mencuci wajah, kembali menenangkan diri kemudian berjalan keluar dari sana.

Ia berpapasan dengan Darma yang ingin ke toilet, Adiba memalingkan wajah namun, tangan Darma menggenggam sejenak jemari tangan Adiba saat berjalan ke arah toilet. Adiba terkejut, bak tersengat listrik ia membelalakkan mata. Sedetik kemudian ia tersadar lalu bersedekap sembari berjalan ke arah Zara yang masih asik memilih sepatu lainnya.

Pesawat lepas landas jam dua waktu Singapura, Adiba hanya bisa merenungi apa yang sedang terjadi dengannya saat ini. Mau seperti apa hubungannya dengan Handi pun Darma.

Misteri apa yang Handi kerjakan membuat Adiba stres, ditambah Darma yang tega menggunakan ancaman sebagai senjata melemahkan Adiba.

Pesawat tiba di Jakarta. Zara bahkan mengantar Adiba hingga ke rumah mertuanya. Rumah tampak kosong dan dapur acak-acakkan. Setekah meletakkan barang di kamar, segera Adiba berganti baju lalu bekerja merapikan rumah layaknya pembantu.

Malam tiba, ia masih sendirian di rumah dua lantai itu duduk menikmati mie instan rebus. Ponselnya berbunyi, ia menggeser layar lalu menempelkan ke telinga kanan.

"Ya, halo, gimana?" tanya Adiba.

"Bisa ketemuan. Maaf, aku kasih kamu kabar buruk, Diba."

"Aku kesana. Share loc kamu di mana, ya." Adiba beranjak cepat, ia segera mencuci mangkok dan gelas lalu bergegas bersiap sambil memesan ojol.

Tak sampai satu jam, ia duduk di kedai kopi itu berhadapan dengan dua orang di depannya.

"Diba ... uang itu, aku minta kamu simpan di satu tas dan maaf kalau aku mau kamu lapor ke polisi. Bukan apa-apa, aku nggak mau kamu ikut terseret nantinya. Biar ini jadi tanggung jawab Handi dan antek-anteknya. Suami kamu itu, salah satu orang yang menutupi kejahatan orang penting di sini, suami kamu juga memalsukan laporan keuangan dan yang terparah, uang itu bukan sekedar gratifikasi, tapi uang tutup mulut Handi dari bos besar ini karena terlibat perdagangan manusia di luar negeri."

Adiba tak bisa berkata-kata, ia sudah muak dengan kebohongan Handi yang menyebabkan rumah tangga juga hidupnya diujung tanduk.

"Diba, aku mau tanya. Apa Saras kasih tau dia pergi ke mana?"

Adiba berdebar, jelas ia tau ke mana Saras, tapi bingung memberi jawaban kepada kekasih Saras yang membantu Adiba mencari informasi.

"Aku nggak tau," jawab Adiba. Lelaki itu mengangguk.

"Siapin uang itu, mau nggak mau kamu buat laporan, penemuan uang itu. Resiko apapun dipikirkan nanti, bukan apa, bisa saja nyawa ancamannya, Diba."

Adiba hanya bisa menganggukkan kepala. Mereka segera berpisah, dengan ojek online Adiba pulang. Mertuanya sudah pulang, pun Saras yang tampak bahagia. Kepala Adiba menunduk, ia stres bukan kepalang bahkan saat mertuanya memanggil ia hanya bisa diamkan.

Ia menghempaskan tubuh di kasur, air matanya mengalir dari kedua sudut mata walau isakan tak terdengar. Tangannya meraih ponsel dengan posisi kepala Adiba masih menatap langit kamar, tubuhnya tak bergerak hanya tangan yang meraba ponsel di dekatnya.

Puluhan panggilan telepon juga banyaknya boom chat dari Darma, membuat Adiba hanya bisa menangis sambil mendiami enggan membalas pesan walaupun ia baca.

Ia meringkuk, tak kuasa menahan sesak di dada. Hidupnya hancur, semua orang menyudutkannya juga menyeret ke dalam masalah yang seharusnya bukan urusannya.

bersambung,
 


***

Bab. 15 - Kembali terjadi

Adiba tak paham lagi dengan tujuan semua masalah yang dihadapi bermuara di mana. Ia kembali bekerja seperti biasa, setelah merapikan uang-uang  di dalam satu tas dan ia simpan di brangkas itu lagi.

Saras dan ibu mertua tampak bahagia bahagia saja. Mereka sarapan bersama seolah tak menganggap Adiba ada.

Adiba sendiri tak pamit berangkat kerja, titik tolerasi juga kesabarannya sudah menguap sedikit demi sedikit. Tiba di kantor, Adiba dikagetkan dengan kejutan ulang tahun dirinya dari teman-teman.

Ia bahkan lupa jika hari itu ulang tahunnya. Senyum mengembang walau hati kosong. Perayaan sederhana dirayakan dengan tiup lilin di atas kue tiramisu kesukaan Adiba. Hal itu dibocorkan Zara.

"Happy birthday, Adibaaa!" cicit Zara lalu memeluknya. Adiba membalas pelukan seraya mengucapkan terima kasih. Disusul teman-teman lainnya. Selesai acara ceremony ala kadarnya, mereka kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Ponselnya hingga siang hari tak ada chat atau telpon masuk yang mengucapkan ulang tahun untuknya. Bahkan kedua orang tua dan adiknya juga, begitu minim empati, sampai hal sepele saja tidak peduli.

Menjelang sore, Adiba terkejut saat melihat sosok Darma datang ke kantor. Setelan jas mahal membentuk tubuh tinggi kekarnya membuat Adiba harus menunduk dalam, fokus dengan pekerjaan walau sosok Darma melewati dirinya.

Wangi parfume menyeruak, parfume yang selalu Darma gunakan jika bersama Adiba. Kemarin, saat bersama istrinya, parfumenya beda.

"Diba, bisa ke ruangan saya?" panggil manajer keuangan.

"Baik, Pak."

"Bawa laporan bulan ini, ya. SPV mu nggak masuk, cuti tiga hari. Katanya laporan kamu yang pegang."

"Iya, Pak. Saya siapkan," kata Adiba yang langsung menyalakan mesin cetak yang ada di belakang meja kerjanya.

Laporan siap, ia beranjak lalu berjalan ke ruang manajer keuangan. Gema tawa terdengar, tangan Adiba sempat ragu mendorong pintu kaca tapi akhirnya dilakukan juga.

"Sore, Pak, ini laporan yang Bapak minta." Adiba menyerahkan ke bosnya. Pria itu mengangguk.

"Apa pengeluarannya lebih kecil dari bulan lalu dan apa ada pengajuan anggaran lain untuk kebutuhan kantor?" tanyanya.

"Iya, Pak, lebih kecil karena tim Marketing sekarang menggunakan satu mobil untuk tiga sampai empat lokasi meeting. Jadi pengeluaran biaya bensin cukup tersimpan, juga uang tol, mereka cari jalan lain yang tidak perlu pakai biaya tersebut. Untuk pengajuan anggaran, sesuai catatan di laporan, hanya untuk maintenance mobil kantor. Butuh tune up, ganti oli dan power steering, Pak.

Tadi pagi saya tanya langsung ke drivernya, mereka semua bilang hanya minta itu."

"Oke. Apa ada permintaan lain dari mereka? Misal ganti unit mobil? Butuh upgrade?" Pria itu mengangkat kepala, menatap Adiba lekat.

"Tidak, Pak."

"Baik. Ini saya pegang, terima kasih, ya. Oh, ya, lupa ...," ujar bosnya lalu memberikan paper bag kecil ke Adiba.
"Selamat ulang tahun, panjang umur dan bahagia, ya, Diba. Hadiah kecil dari saya, tadi lihat status WA anak-anak kantor lagi rayain ulang tahun kamu."

"Waduh, Pak, maaf ... ini jadi ... saya repotin, Bapak," ujar Adiba belum menerima kado itu.

"Nggak sama sekali. Ayo terima, selamat ulang tahun, ya."

Adiba dengan ragu menerima kado itu, ia tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Sementara sejak tadi, Darma terus menatap tajam Adiba. Pasalnya ia kesal karena telpon dan chat tak digubris Adiba. Hal itu membuat Darma mulai memendam emosi dan kekesalan.

"Saya, pamit kalau begitu, Pak. Terima kasih kadonya, permisi, Pak." Adiba membungkukkan badan, lalu berjalan keluar ruangan.

Darma memejamkan mata, tangannya terkepal. "Dar, masalah suami Adiba. Lo tau kalau laki-laki itu--"

"Hm. Tau. Belum saatnya Adiba tau kalau suaminya bukan orang baik. Titip dan jaga Adiba di sini, kerjaan dia baik, 'kan? Bantu gue pantau dia." Darma begitu pelan dengan nada suara berat saat bicara.

Lelaki yang menjadi manajer keuangan di perusahaan itu. Hanya bisa mengangguk.

"Hati-hati, Darma. Kalau lo emang mau Diba bahagia, jangan siksa dia dengan sikap lo yang nggak mau lepas istri lo tapi juga lepas Diba. Dia berhak bahagia. Kasihan. Lo jangan egois."

Darma beranjak. Ia berjalan ke arah lelaki yang duduk di kursi kerja. "Titip Adiba," lirih Darma sembari menepuk bahu lelaki itu kemudian berjalan keluar dari ruangan.

Adiba kembali menyelesaikan pekerjaannya. Tak peduli dengan Darma yang berjalan sembari memasukkan kedua tangan ke saku celananya, padahal kedua matanya melirik Adiba sepintas.

***

Hari sabtu tiba, ia ke lapas untuk bertemu Handi. Seperti biasa, ia duduk menunggu. Tak lupa membawa makanan yang biasanya menjadi favorit Handi. Pria itu muncul, duduk di hadapan Diba.

"Apa kabar, Mas?" tanya Adiba seraya mengulurkan tangan tapi diabaikan Handi. Tak ada suara apapun, hanya saja Handi terus menatap tajam Adiba.

"Aku mau tanya sesuatu boleh?" Adiba mulai bersuara. Tak ada jawaban apapun, Handi terus diam dengan baju tahanan yang dikenakan.

"Oke. Pertanyaanku ... arti pernikahan kita dan aku, untuk kamu apa, Mas?" lirih Diba. Handi mencondongkan tubuh ke arah Adiba yang duduk berhadapan dengannya.

"Apa yang sudah kamu ketahui, Diba?" balasnya.

Adiba tersenyum sinis. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. "Kamu sembunyikan apa dari aku selama ini, Mas? Kenapa kamu diam-diam ...." Kalimat Adibat tersangkut ditenggorokan, rasanya tercekik. Ia menghapus air matanya.

Handi terbelalak saat Adiba memberikan surat laporan ke kepolisian tentang kejahatan Handi lainnya.

"Maaf aku lakuin ini. Aku nggak mau dilibatkan. Aku bisa gila kalau menanggung kesalahan kamu. Apa arti aku untuk kamu, Mas? Apa arti pernikahan kita?" Adiba mengigit bibir dalamnya. Tak kuasa menahan, air matanya tumpah. Handi marah, wajahnya memerah dan satu tamparan keras mendarat di wajah Adiba. Handi ditegur sipir penjara, sementara Adiba menahan sakit juga malu karena semua orang menatap ke arahnya.

"Pergi kamu pelacur!" teriak Handi. Adiba menganga, tak percaya dengan ucapan suaminya sendiri. Apa maksudnya? Kenapa ia mengatainya pelacur.

Adiba pun pulang. Nahas, setibanya di rumah, tamparan ia dapatkan lagi dari mertuanya karena polisi sedang menggeledah rumah mereka. Adiba menjerit kesakitan, ia menangis di kaki ibu mertuanya. Mereka bicara di dalam kamar mertunya.

"Mas Handi jahat, Bu! Jahat!" teriak Adiba tak kuat lagi.

"Kenapa harus kamu lapor! Kenapa tidak kamu tutupi! Itu aib suami kamu!"

"Nggak mau! Diba nggak mau terseret, Bu! Maafin Diba! Diba terpaksa!" jerit Adiba begitu sedih. Ia berdiri perlahan, polisi masuk lalu menjauhkan Adiba dari ibu mertuanya.

"Ada apa, Bu?" tanya polisi wanita itu. Adiba memeluk, menangis histeris. Ibu mertuanya menatap dendam ke Adiba.

Uang di brangkas di bawa polisi, ada surat-surat lain yang disembunyikan Handi di bawah tempat tidur, ditempel dengan lakban hingga erat pada dipan ranjang. Adiba tak tau hal itu, polisi memang selalu bisa menemukan hal yang tersembunyi.

Saras masuk ke kamar dan langsung menjambak rambut Adiba. Ia marah karena pasti hidup mereka akan semakin sulit. Polisi melerai, lalu meminta Adiba sementara tidak di rumah itu. Diawasi polisi wanita, Adiba merapikan pakaian dan kebutuhannya, ia akan di hotel sementara waktu.

Adiba dan tim polisi berjalan keluar rumah, tetangga semua menonton dan berbisik. Ibu mertuanya juga Saras, memaki Adiba dengan menyebut dirinya istri tidak tau diri juga istri jahat karena menjerumuskan suami ke penjara.

Darma datang, ia berjalan menghampiri polisi. Ibu mertua dan Saras terbelalak.

"Darma! Kamu ngapain!" teriak ibu mertua.

"Saya mengajukan diri sebagai pengacara Adiba. Kasus lain yang menjerat Handi, bisa menyeret Adiba dan ini tidak adil untuk Adiba, Tante."

"Kok gitu! Harusnya kamu membela Handi! Bukan perempuan tidak tau diri itu!" maki mertuanya.

Darma tidak menjawab, ia kembali ke arah polisi berkumpul lalu izin membawa Diba ke tempat lain.

Adiba diam saja, ia memeluk dirinya sendiri sambil duduk menatap jalanan di sebelah kiri sementara Darma mengemudi. Adiba kesal, kenapa ia kembali berada situasi bersama Darma, ia sudah menghindar dan berhasil mengetes Darma, ternyata ia tak bisa dipegang omongannya. Bilang mencintainya, tapi bermesraan dengan istrinya.

Darma melirik, seringai muncul dari wajahnya. Pria dengan rambut lurus lebat, mata setajam elang, tubuh kekar berotot, bersorak dalam hati, karena Adiba kini tidak akan bisa lari darinya.

***

"Mas!" teriak Adiba saat Darma memaksa melakukan itu lagi. Ia seperti lelaki kesetanan karena tidak mendapat santapan lezat. Adiba dikungkung, tubuhnya terus meronta hingga ia lemas. "Mas, jangan ...," isak Adiba. Darma tak peduli. Ia menangkup wajah Adiba dengan kedua tangan besarnya.

"Lihat aku, Diba! Lihat aku!" bentak Darma. Air mata Darma turun. Adiba sesenggukkan. "Lihat aku ... Diba ...," serak Darma. Keduanya basah dengan air mata.

"Maumu apa, Mas? Kamu bilang tentang perasaan kamu ke aku, bukan? Tetapi yang terjadi dan aku lihat ... sikap kamu ke istrimu ...."

"Maafkan aku," lirih Darma sambil menempelkan keningnya ke kening Adiba. "Sulit melepaskan dia karena ada anak-anak dan aku nggak mau lepasin kamu."

"Egois kamu." Adiba memalingkan wajah. Ia menangis, menahan jerit dengan mengigit bibirnya.

"Ini sulit, tolong mengerti." Darma menjeda. Ia mengusap wajah cantik Adiba lalu mengarahkan ke dirinya lagi. "Aku ... obsesi mau kamu untukku."

"Mas, jangan ... kamu sudah berjanji, tolong jangan langgar." Adiba menghapus air mata yang membasahi wajah Darma, pria itu terpejam. "Lepasin aku, ya, tolong ...," pinta Adiba lembut.

"Aku resmi jadi pengacara kamu, gimana juga kita terus bertemu dan bersama."

"Kita bisa jaga jarak. Sudahi ya. Kasihan istri dan anak-anakmu." Adiba membelai wajah Darma. Bibir lelaki di atas Adiba bergetar menahan tangis. "Kamu ... mantan terindah aku. Kamu ... nggak akan bisa aku lupakan sampai kapanpun. Biarkan aku lewati masalahku dengan kamu jadi pembelaku, tapi setelah itu, lepaskan aku, ya, Mas. Kisah kita sudah selesai. Kalau kamu sayang aku ... tolong ... lakukan." Adiba menarik leher kokoh Darma mereka saling berpelukan dalam keadaan tanpa busana di bawah satu selimut yang sama. Keduanya meluapkan dengan air mata.

"Aku janji nggak akan lupain kamu, Mas. Aku janji akan bahagia sehingga kamu tidak perlu khawatir. Aku janji aku akan hidup baik-baik saja setelah masalahku dan Mas Handi selesai, begitu pun dengan kamu. Jangan perlakukan aku murahan, Mas Darma."

Mendengar itu Darma terisak. Ia memeluk erat Adiba pun wanita itu. Hanya air mata yang mampu mewakili kekacauan hati keduanya.

bersambung,

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya BELENGGU RASA - Bab. 16 - 20
4
0
Drama romansa mereka berlanjut, selamat membaca!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan