Bab - Runtuhnya sekat pemisah - TAMAT - GRATIS

1
0
Deskripsi

Seperti apa akhir kisah Darma dan Adiba? Baca di bab ini ya, gratis! 

Bab - Runtuhnya sekat pemisah. 

 

🥀

Adiba hanya ingin memiliki keluarga normal juga baik-baik saja. Tanpa drama melelahkan perkara mertua, ipar apalagi suara-suara sumbang anggota keluarga lainnya.

Ia berdiri sendiri, menghadapi naik turunnya ujian mengikis mentalnya tanpa siapapun apalagi keluarganya.

Sadar jika tanpa kedua orang tuanya tak akan ia lahir ke dunia. Namun, selanjutnya fungsi orang tua tak seperti yang ada pada umumnya.

Tak ada arah, Adiba sampai tidak bisa membela dirinya saat masuk ke dalam lubang kotor yang disiapkan orang lain untuknya. Termasuk sang mantan suami, juga Darma.

Sayangnya, justru Darma yang membelenggunya dengan sejuta rasa tanpa bisa dijelaskan, menjadi candu dihidupnya.

Dia racun juga obatku. Itulah yang ada dipikiran Adiba. Mau mengelak seperti apa, buncahan cinta selalu meluap jika bersama Darma.

"Aku mau kamu bertemu keluargamu sebelum kita benar-benar bersama," pinta Adiba.

Kekehan miris Darma menjadi jawaban jika lelaki itu sudah menutup rapat apapun tentang keluarganya.

"Berhenti membujuk aku, Diba," tukas Darma seraya duduk bersandar dengan pandangan lekat ke wajah cantik Adiba yang masih tirus. Kedua mata juga sayu, banyak pikiran begitu mempengaruhinya.

Jemari Darma masih membelai lembut punggung tangan Adiba di atas pahanya. Senyum mengembang penuh rasa syukur karena tidak akan pernah lagi pisah dari Adiba.

"Kapan kita menikah?" bisik Darma. Adiba melirik. Bibir Darma mendarat di rahang Adiba, memberi kecupan di sana beberapa kali dengan penuh kelembutan. Darma menjauhkan wajahnya dari rahang Adiba. Memperhatikan wanitanya menutup kedua mata.

"Aku ...," lirih Adiba sembari membuka kedua mata. "Aku nggak mau kita melewati batas, Darma."

Anggukan kepala lalu diakhiri dengan pelukan yang diberikan lelaki itu membuat Adiba lega. "Aku bisa menunggu, Diba."

***

"Yaudah nikah, lah!" pekik Zara saat Adiba menghubunginya setelah beberapa pekan ia dan Darma sepakat menjalani hubungan serius.

"Nggak tau, rasanya masih ada yang kurang, Ra." Adiba duduk di kursi kerjanya. Ruangan kecil itu bisa membuatnya nyaman dan pikirannya tenang.

"Nikah di KUA aja, menetap di sana. Mulai hidup baru, Diba. Lupain semua masalah di masa lalu. Darma bisa bahagiain lo. Pasti dia turuti apapun yang lo minta. Cukup kalian ada di balik dinding pemisah. Buat apa terus menahan rasa kalian masing-masing." Zara terus mengeluarkan unek-uneknya.

"Kalian akan punya keluarga yang utuh, baik, ada anak-anak juga. Apalagi Darma udah ada dua anak di Newzeland, kan? Lo berhati baik, anak-anak pasti sayang sama lo. Jangan pikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi."

Adiba menghela napas, menatap langit-langit ruang kerja mencoba menyanggah tapi semua ucapan Zahra benar.

"Kalian toh sama-sama nggak suka dengan keluarga masing-masing, kan? Nggak semua bisa punya keluarga sesuai harapan, jadi ciptakan keluarga kalian sendiri yang standar kebahagiaannya satu visi misi."

Kalimat terakhir itu yang membuat Adiba tersadar. Darma tau mau Adiba apa dan sebaliknya. Ia tersenyum, kemudian membahas tentang pekerjaan ke Zara.

Saat jam pulang kerja, Adiba sengaja sudah menunggu Darma di depan kantor. Berdiri di pos jaga padahal sekuriti meminta Adiba masuk saja, tapi ditolak wanita itu.

Darma mengeryitkan kening, saat melihat Adiba berjalan ke arahnya dengan senyum mengembang.

"Kamu ... jemput aku?" lirih Darma masih terkejut. Adiba mengangguk. Ia lalu menarik tengkuk Darma, bibir Adiba tepat berada di telinga kiri Darma. Sekian detik kemudian, Darma mengangguk cepat. Digandengnya tangan Adiba sampai ke sepeda motor, keduanya berboncengan pergi ke satu tempat.

Adiba begitu ceria, pun Darma yang berdebar tak karuan jika ingat kalimat Adiba tadi. Sepanjang jalan hingga ke lokasi yang dituju, mereka tak lepas tertawa bersenda gurau.

***

"Kalian yakin?" Pria berpeci hitam dengan pakaian rapi menatap Adiba dan Darma bergantian.

"Kami akan urus semuanya secara resmi secepatnya, Pak. Saya bawa saksi pemilik kosan saya dan Pak RT." Darma dan Adiba berada di rumah salah satu pemuka agama yang disegani di sana.

"Yasudah, dari pada menjadi dosa karena niat baik kalian ini saya tolak dan kalian juga sudah dewasa. Kita lakukan pernikahan secara agama, tapi tolong, langsung urus resmi ke negara ya, Darma."

"Pasti, Pak."

Darma menyiapkan kotak cincin yang beberapa waktu lalu mereka beli di toko emas mendadak. Adiba membuang semua kesedihannya, ia mau membuka lembaran hidup baru bersama Darma sampai akhir hayatnya.

Saat Darma mengucapkan ijab kabul, Adiba tak lepas tersenyum. Mereka masih berpakaian kerja, belum mandi apalagi menyiapkan pakaian pernikahan. Sudahlah, biar menjadi kenangan unik.

Kata sah menjadi gerbang keduanya menghirup udara segar, romansa pasti akan selalu ada walau badai pernikahan juga sudah menunggu di depan mereka.

Lepas dari tempat itu juga memberikan sedikit uang sebagai tanda terima kasih. Adiba dan Darma pulang ke kosan. Darma membawa semua pakaian juga barang-barangnya. Dibantu anak pemilik kosan Darma pindah ke rumah yang ditempati Adiba.

Tak masalah belum bisa memberikan rumah untuk Adiba, Darma akan berjuang untuk hal itu.

Rumah. Satu hal yang keduanya impikan untuk menciptakan masa depan bersama. Satu persatu barang-barang dikeluarkan dari dalam beberapa koper.

Darma menata laptop serta berbagai benda elektronik miliknya di meja ruang tengah. Adiba merapikan urusan dapur, ia ingat menyimpan cangkir, gelas juga piring baru di dalam dus. Kali ini terpakai karena ada yang akan tinggal bersamanya.

Adiba memekik berjengkit kaget karena Damar memeluknya dari belakang. "Kenapa tiba-tiba minta nikah sekarang?" bisik Darma di telinga kanan Adiba.

"Aku rasa karena waktunya tepat. Udah sana beresin lagi, aku mau siapin makan malam."

Darma mengecup pipi kanan Adiba, lantas kembali merapikan barang-barang.

Adiba memasak dengan bahan seadanya, tapi makan malam mereka sebagai suami istri diiringi kebebasan tersenyum juga tertawa.

"Anak-anakku harus tau kita sudah menikah, Diba. Kita ke sana untuk ketemu mereka." Darma mengusap jemari tangan Adiba di atas meja makan.

"Iya. Aku juga mau dengar pendapat dan respon mereka. Yang pertama, nabung dulu. Ke sana biaya nggak sedikit, kita nggak bisa sebentar juga dan kamu belum bisa cuti banyak." Senyum Adiba merekah sembari bertopang dagu.

Kedua mata Darma berbinar-binar, ia lalu berdeham, melepaskan genggaman jemari tangannya lalu berjalan ke arah kamar.

"Diba, bajuku bisa masuk ke dalam lemari?!" teriak Damar. Adiba segera meletakkan piring dan gelas di bak cuci, lalu menemui Damar di kamar.

"Muat, sini, biar aku yang atur dan rapikan. Besok pakai kemeja yang mana?" Adiba berdiri dengan kedua tangan dipinggang, menatap isi koper Darma.

"Kamu atur aja," tukas Darma Adiba langsung bergegas merapikan pakaian suaminya ke dalam lemari. Jemari Darma memainkan cincin kawin yang tersemat. Sambil duduk bersandar juga tersenyum, ia bersyukur salah satu mimpinya terwujud.

"Jangan lihatin terus, kalau bisa bantuin ... lebih baik," sindir Adiba. Darma berdiri dengan cepat. Ia mendorong Adiba hingga merapat pada pintu lemari yang tertutup.

"Ahhh," desahnya saat Darma meremas pinggang rampingnya. 
Darma berbisik kata-kata seduktif, Adiba merinding namun kedua kini suami istri, ia tau apa yang Darma sukai.

Kecupan basah dirasakan Adiba pada tengkuknya. Bibir Adiba terbuka menikmati sentuhan juga cumbuan suaminya.

Ia mendesah lagi. Kepalanya mendongak saat Darma bermain dengan miliknya dibawah sana.

"Aku kangen ini," bisik Darma lagi. "Lagi, hm?" Darma menggodanya. Telunjuknya masih bermain di bawah sana, Adiba menggigit bibirnya. Darma melepaskan jemari dari bawah sana.

Adiba terengah-engah, ia hampir sampai tapi tak jadi. Darma mencium aroma kewanitaan Adiba pada jemarinya, kedua matanya terpejam meresapi.

"Kenapa?" tegur Adiba. Darma membuka kedua matanya.

"Aku mau kamu yang meminta, Diba," ucapnya seraya mengecup bibir Diba beberapa kali.

Kedua tangan Adiba ia kalungkan ke leher suaminya. "I'm yours. Kamu bebas mau lakuin apapun ke aku. Lalukan."

Darma menyambar bibir Adiba, nafsunya sudah diubun-ubun. Adiba membalas dengan ganasnya.

Bahkan Darma tak mau berlama-lama pemanasan. Ia menyentak Adiba dengan posisi berdiri menghadap cermin. Istrinya sangat seksi. Berkali-kali desahan terdengar, tubuh Adiba tergoncang dalam pelukan Darma.

"Lihat kita di cermin, sayang, lihat," bisik Darma.

"Mmmgh, iya ..., Darma ... oh, aku!" Adiba mendapatkan kepuasan. Darma masih memompanya hingga keduanya ambruk di ranjang masih dengan Adiba berada di atas Darma membelakanginya.

Tak menyiakan kesempatan. Darma menghentak cepat. Adiba semakin menikmati apalagi kedua kaki direntangkan lebar oleh Darma, jemari suaminya juga menggoda pusat inti Adiba.

"Adibaaahhh, ahhh, sayanggg ...," desah Darma lantas memuncratkan benih ke dalam rahim sang istri. Napas keduanya tersengal, bukannya berakhir, permainan selanjutnya masih mereka lakukan.

Api membara di dalam diri keduanya. Desahan, lenguhan seksi, jeritan nikmat dari Adiba hanya mampu membuat Darma semakin menggila.

Darma menggigit bibir bawahnya, menahan eraman kenikmatan. Kepala mendongak, mendesah saat pelepasan kembali datang. Hentakan dalam dilakukan Darma. Adiba sangat seksi di matanya, walau peluh membasahi punggung polos sang istri yang menimbulkan efek wangi khas menenangkan.

Keduanya merebahkan diri, tersenyum dengan kedua mata berbinar. Cinta tak bisa terbendung, sekat pemisah runtuh sudah.

Darma berjanji akan membahagiakan Adiba, memberikan semua hal terbaik untuk wanita yang membuatnya gila.

"Jangan berlebihan," bisik Adiba di depan wajah Darma. "Aku bukan istri yang mau lihat suami kerja keras untuk harta, aku mau kita sederhana saja, kecukupan, selesai."

Darma mengecup lama kening Adiba, ia peluk tubuh telanjang istrinya begitu hangat. "Kamu rumahku, rumah yang selama ini aku mau."

Adiba membalas pelukan erat Darma. Senyum mengembang di wajahnya. Bahagia, pada akhirnya mereka raih walau harus berjuang mengejarnya.

***

6 bulan kemudian.

"Pagi Bu," sapa sekuriti wanita saat menyapa Adiba yang datang membawa tas besar berisi kue-kue yang ia pesan ke temannya.

"Pagi, Mbak. Ini ... boleh titip ke suami saya," bisiknya.

"Masuk aja, Bu, ayo saya bantu bawakan ke lantai atas. Bapak tadi bilang kalau Ibu datang langsung ke atas saja." Tas belanja besar diambil alih sekuriti itu, Adiba hanya bisa menuruti sambil mendesah pelan karena tau semenjak mereka sah menjadi suami istri, ada satu sikap Darma yang membuat Adiba terkejut. Lelaki itu manja.

Pintu warna coklat diketuk, suara Darma menyuruh masuk terdengar. Sekuriti tadi membawa tas besar ke pantry supaya OB menyiapkan di piring.

Darma berdiri, ia berjalan mendekat. Menghambur memeluk layaknya bayi besar lalu berlutut. "Hai, sayang," bisiknya ke perut Adiba yang sudah mengandung usia tiga bulan.

Jemari Adiba mengusap kepala Darma lembut. Pria itu mendongak, tersenyum manis sebelum berdiri di hadapan istrinya.

"Masih lama acaranya dimulai? Aku harus ke toko lagi, Mas," ujarnya pelan. Darma memeluk pinggang Adiba, mengajak duduk di sofa dalam ruangannya.

"Lima belas menit lagi. Dirut udah di jalan. Kamu jadi bawa kue?"

"Jadi. Dibawa sekuriti yang namanya Wati ke pantry. Mas Darma ..., kamu udah pertimbangkan pendapat aku?"

Adiba langsung serius menatap tajam kedua mata suaminya.

"Udah. Aku mau ikutin saran kamu. Walau dirut, semua manajer menyayangkan, tapi alasanku cukup masuk akal untuk mereka."

"Bukan harta dunia yang kita cari, tapi kebahagiaan batin." Keduanya mengucapkan dengan kompak. Jemari Adiba membelai wajah Darma.

"Karir kamu bisa semakin naik, aku tau itu. Badai pasti semakin kencang menerjang kita, aku masih belum siap perang melawan badai, mau menikmati apa yang ada di depanku aja, Mas. Maaf kalau kesannya menghambat karirmu, mentalku belum sepenuhnya pulih."

Darma mengangguk. "Aku juga capek. Masa lalu hidupku berlimpah kemewahan, sampai aku lupa menikmati hidup. Usia kita juga sangat matang, bukan lagi menggebu-gebu mengumpulkan pundi-pundi uang untuk gaya hidup yang bisa saja salah."

"Iya. Ah, aku lupa. Adik kamu, kirim email ke aku, baru aku baca pagi tadi."

"Kasih tau apa? Anak-anak?" sela Darma.

Adiba menggelengkan kepala. "Anak-anak justru tanya, kapan kita ke sana."

Darma terkekeh pelan. Ia berkata akan memikirkan dulu apalagi Adiba sedang hamil, kasihan kalau perjalanan jauh apalagi naik pesawat.

"Nanti aku jelasin ke anak-anak kapan kita ke sana." Darma merangkul bahu Adiba, tangan satunya mengelus perut yang belum terlihat membuncit.

Kebahagian memang diri sendiri yang menciptakan, walau ada kalanya sebagian pribadi merasa jika kebahagiaan harus bersumber dari orang lain.

Adiba dan Darma diantara keduanya, sumber kebahagiaan ada di pasangan lalu mereka ciptakan.

Acara ulang tahun direktur utama berjalan sederhana di ruangan rapat kantor tersebut. Adiba disambut hangat, tak ada yang melirik dingin, sinis apalagi pura-pura baik.

Ya, Adiba sadar jika tak semua lingkungan kerja buruk juga beracun. Buktinya lingkungan kerja Darma yang baru menunjukkan hal itu.

"Gimana, jabang bayi di perut, udah masuk berapa bulan, Bu?" sapa salah satu staf perempuan yang sedang hamil juga.

"Jangan panggil, Bu. Aku belum tua-tua amat," kilah Adiba lalu tertawa pelan.

"Ih, saya panggil Pak Darma pakai Bapak, masa ke Ibu beda. Jangan, lah, Bu."

"Nggak apa-apa, panggil Mbak atau Adiba aja. Kamu udah berapa bulan, anak pertama juga?" Adiba mengelus perut buncit wanita itu.

"Delapan bulan. Iya anak pertama. Sehat-sehat ya, Bu ... eh, Mbak," cengirnya.

"Iya. Kamu juga, kasih tau kalau udah lahiran, ya." Adiba lantas kembali menemui suaminya yang sedang berbincang dengan rekan kerja. Semua masih berkumpul di ruang rapat.

"Mas, aku pamit ke toko, ya," bisik Adiba.

"Aku antar, ayo." Darma meraih jemari tangan istrinya. "Pak, saya izin antar istri dulu ke tempat kerjanya."

"Silakan, Darma. Pakai mobil kantor," ujar direktur utama. Lalu staf pria lain menuju ke ruangan general affair untuk ambil kunci mobil. "Kamu pakai aja mobil kalau butuh, Darma. Kasihan istrimu hamil naik motor terus."

"Wah, jadi ngerepotin nantinya, Pak. Kami belum perlu." Darma menolak dengan alasan logis. Adiba juga yang tak mau jika Darma mudah diberi fasilitasi. Bukan tanpa alasan, Adiba sangat menjaga banyak hal terutama dari wanita lain yang bisa saja silau dengan pencapaian Darma.

Bagusnya, Darma paham. Mau sampai kapan ia mengumpulkan segala kenikmatan, kemewahan berlebihan jika bisa menjadi pemicu rumah tangganya bermasalah.

"Kamu ini aneh, dikasih kemudahan malah tidak mau," pungkas dirut.

"Bukan gitu, Pak. Saya sama istri mau menikmati perlahan. Saya belum lama bekerja di sini, masa harus mendapat fasilitas luar biasa."

Dirut mengernyit, "lho, kan sesuai sama pekerjaan dan tanggung jawabmu, apa salahnya, Darma."

Adiba hanya bisa tersenyum tipis, jemari tangan Darma setia menggenggam jemarinya.

"Betul, Pak, tapi ... kami mau usaha sendiri."

"Pak Darma, ini kunci mobilnya." Stafnya memberikan ke tangan Darma.

"Oh, iya, terima kasih. Saya pakai dulu, ya, sebentar aja antar istri." Darma dan Adiba pamit, para petinggi perusahaan juga beberapa staf hanya bisa menggegeleng heran.

"Darma itu dulu seorang don juan, saya tau persis dan sekarang berubah seperti ini, saya yakin dia sudah ada di tangan yang tepat. Kalian harus ingat, kesuksesan dan kehancuran suami, tergantung istri seperti apa yang mendukungnya." Pak Dirut bangga dengan Darma, dalam dunia kerja tidak diragukan lagi, semenjak menikah justru Darma semakin bersinar, tak ada raut sedih atau teriksa beban pikiran.

***

Waktu berlalu dengan cepat. Adiba dan Darma tidak merasakan gangguan dari orang-orang dimasa lalu. Tanpa Adiba tau, Darma sebenarnya membayar beberapa orang untuk selalu mengawasi istrinya, baik di rumah atau tempat kerja.

Darma tau, keluarganya tidak akan mudah melepaskan dirinya. Akan tetapi, jangan lupa jika seorang Darma punya sejuta kelicikan juga pengalihan demi Adiba dan anak-anaknya.

"Oke, kita di kursi 1 A dan B," lirih Darma. Adiba berjalan di belakangnya. "Ini dia," ujar Darma setelah masuk ke dalam pesawat.

"Kamu pesan kelas bisnis?" lirih Adiba setelah duduk di dekat jendela.

"Iya. Supaya kamu nyaman." Darma meletakan tas ransel di kabin atas yang isinya kebutuhan penting selama di pesawat. Menempuh waktu 10 jam lebih sekali jalan, kenyamanan diutamakan Darma untuk tiba di bandara Auckland.

Adiba sudah duduk nyaman saat putranya yang berusia empat bulan digendong Darma.

"Kita mau ketemu Kakak-kakak, ya, Ben." Darma mencium gemas pipi putranya. Adiba tersenyum, ia mengeluarkan pelindung telinga khusus bayi. Tak lupa menyiapkan kain penutup saat ia memberi asi.

"Good morning, hai baby," sapa pramugari dengan ramah.

"Good morning," balas Darma dan Adiba bersamaan. Pramugari menanyakan apakah butuh sesuatu untuk bayi saat lepas landas nanti karena ada beberapa bayi yang mungkin rewel.

Adiba merasa semua cukup, apalagi Ben masih asi ekslusif. Pesawat lepas landas sepuluh lima menit kemudian. Kali pertama Adiba keluar negeri, perasaannya campur aduk.

Ben menyusu setelah dipasang pelindung telinga. Darma mencoba membantu Adiba tenang karena paham ini kali pertamanya menempuh perjalanan panjang, keluarga negeri, juga membawa bayi dengan terus menggenggam jemari tangannya.

Pesawat sudah mengudara, penutup jendela dibuka, penerbangan paling pagi dipilih Darma supaya tiba di Auckland sore jadi mereka bisa menikmati suasana di sana.

Ben tak rewel, cenderung lebih sering tidur. Di pesawat juga disiapkan tempat tidur khusus bayi yang terpasang di depan Adiba.

"Mantel di mana, Mas? Minus berapa di sana sekarang?" Adiba sedang menikmati makanan yang diberikan pramugari.

"Minus dua. Ada di tas ransel, aman. Kita dua minggu di sana, ya."

Adiba melirik, "bukannya seminggu?"

"Anak-anak minta kita lama di sana." Darma meneguk minuman dingin miliknya. "Kamu kenapa?"

"Cukup tabungan kita?" lirih Adiba.

"Sangat cukup. Di sana adikku juga nggak mungkin biarin kita keluar uang semua, justru malu kalau tamu tidak di jamu. Tenang aja."

Adiba paham. Ia teringat sesuatu yang mau ditanya. "Adik kamu, nggak komunikasi sama keluarga juga?"

Gelengan kepala Darma sudah menjadi jawaban. Adiba tak mau membahas lagi, karena menenangkan hati merupakan hal penting, membuang jauh-jauh orang-orang yang bisa menimbulkan luka batin.

Karena perbedaan waktu, matahari tenggelam di Auckland pukul 20.43. Adiba, Darma dan Ben pukul 19.45 waktu setempat.

Troley terisi dua koper besar di dorong Darma, ia juga membawa tas ransel besar di punggungnya. Lelaki itu justru semakin tampak bugar dan kuat. Wajah juga pembawaan semakin matang.

Adiba menggendong Ben menghadap depan, tas selempang yang dikenakan ia buka, memastikan tak ada barang tertinggal di pesawat. "Ibu Adiba!" teriakan itu membuat Adiba diam, kepalanga terangkat langsung menatap  remaja perempuan yang melompat kecil seraya melambaikan tangan.

Rambut panjang lurus remaja itu Adiba hapal betul. Di sampingnya, berdiri remaja tampan tersenyum ke arahnya. Lalu tepat di sisi kanan, ada adik Darma dan istrinya memegang papan nama tulisan "Welcome Ben!"

"Hai," sapa Adiba lembut. Ia langsung menyambut pelukan anak sambung perempuannya. Setelah sekian lama akhirnya mereka bertemu lagi.

Ben bergeliat, merasa risih karena sedikit terhimpit tubuh kakaknya. "Ben," sapa gadis cantik itu. Ia langsung mengambil alih Ben dari gendongan Adiba dan menciumi gemas.

Darma masih memeluk anak remaja tampannya. Air mata Darma luruh, bertahun-tahun terpisah, kini bisa memeluk dua anaknya lagi.

"Lemah," gumam remaja tampan itu. Darma terkekeh seraya mengecup kening sang putra. Berganti ke anak gadisnya walau bukan putri kandung setelah kebenaran terungkap, Darma tetap menganggap sang putri anaknya.

Tak ada kebahagiannya yang diinginkan Darma pun Adiba, mereka semua berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan. Kehangatan tak bisa terelakkan, bahkan Adiba dan Darma saling merangkul mewakili rasa syukur karena awan mendung sudah berubah menjadi cerah.

Ben dikelilingi cinta dua kakak sambungnya juga Om Tante yang tidak dikaruniai anak sehingga anak-anak Adiba dan Darma dianggap anak mereka.

Darma dan Adiba, memang salah melangkah karena cinta hingga terbelenggu rasa. Keduanya begitu menjaga supaya perasaan terikat erat itu terus ada hingga maut memisahkan, tak peduli tak ada keluarga besar, pasalnya semua justru menyakitkan mereka.

"I love you," bisik Darma diakhiri ciuman pada pipi Adiba.

"Love you back, Mas," balas Adiba sambil menatap Darma yang merangkulnya semakin erat.

●TAMAT●

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bad boy prince (Young adult story)
1
0
Mansion mewah itu menjadi saksi bagaimana seorang anak berusaha memberontak karena banyaknya aturan dikeluarga. Leonardo Rivero Fabrizio, nama yang diberikan kedua orang tuanya dengan penuh bangga.Leonard, tidak pernah merasakan apa itu kebebasan menjalankan hidup diluar istana yang dibangun keluarga. Kakak sulungnya menduduki tahta utama, tidak pernah protes dan adiknya menjadi satu-satunya perempuan yang menikmati apapun fasilitas keluarga.Keluarga Fabrizio memiliki perkebunan anggur terbesar, luas dan mahal. Belum lagi bisnis pertambangan yang menjadi basis utama uang mereka.Namun, Leonard tak mau mengikuti semuanya lagi, ia mau bebas menjalani hidup pilihannya. Fakta yang ditemukan Leonard saat berontak, beberapa anak buah ayahnya mencoba curang, akankah Leonard tak peduli atau bahkan kembali ke istana mewah demi menyelamatkan keluarganya? Asmara pun terjadi, saat Leonard berjumpa gadis penjual buah di pasar tak jauh dari perkebunan keluarga.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan