Konsep Kesederhanaan Dalam Semangkuk Mie Instan Indomie #CeritadanRasaIndomie

12
3
Deskripsi

Ketika menjadi peserta kunjungan organisasi KIR ke panti rehabilitasi narkoba di perbukitan, saya ingat pemilik panti tersebut mengatakan hal ini, "Dunia sudah banyak menipu. Ketika melihat kemasan mie instan, kita akan kecewa karena di dalamnya hanya ada mie, tanpa sayur, telur dan beberapa makanan yang kita liat di kemasan. Satu-satunya yang jujur adalah alam. Dia memberitahu sesuatu apa adanya."

Konsep ilusi yang beliau beritahu sebetulnya sah-sah saja untuk dianut sebagai pembenaran bahwa dunia yang penuh ilusi menjadi alasan beberapa orang ‘kolaps/stress/depresi’.

Ada yang tertekan akan hidupnya lalu memutuskan menjadikan obat-obatan terlarang sebagai teman.

Ada yang frustasi karena ekspektasi, sehingga tak punya alasan tuk hidup dengan 'sedikit kebahagiaan' yang membuatnya merasa berhak meminta bantuan pada zat adiktif.

Semuanya beragam.

Pemilik panti menjelaskan bagaimana salah satu pasiennya yang paling parah bahkan tak bisa bangun berdiri saking beratnya efek samping obat-obatan yang terus dikonsumsi.

Saat itu, sembari memegang kamera saku untuk mendokumentasikan apa yang menjadi topik obrolan, saya mengangguk-angguk pada apa yang beliau ucapkan. Dari ilusi duniawi yang tak sesuai kenyataan, beliau mengajak para pasiennya untuk 'berobat pada alam'.

Tempat pantinya yang berada di atas bukit menghadap pemandangan pohon-pohon besar memang sangat menenangkan jiwa. Pun dengan banyak tanaman indah serta kolam di tengah lapangan yang menurut pemilik panti sering digunakan untuk merenung.  

Kemasan mie instan yang dijadikan contoh ilusi duniawi nyatanya terus mengusik saya sampai saat ini—ketika saya bukan anak SMA lagi tetapi manusia yang baru saja lulus sarjana di universitas swasta dengan jurusan Pendidikan Biologi.

Sebab Indomie adalah mie yang terakhir saya beli, serta merta saya membayangkan jika Indomie adalah hal kecil yang memberitahu saya akan konsep kesederhanaan. Ucapan saya tak membantah opini pemilik panti—yang saya ketahui memiliki gelar pendidikan yang cukup tinggi. Justru ucapan saya membenarkan opini beliau, tetapi dengan versi saya sendiri.

Mie Indomie yang terakhir saya beli adalah mie goreng Aceh. Di kemasan ada sepiring mie goreng Aceh dengan jeruk nipis, selada, timun, potongan bawang merah, daging, udang dan kerupuk. Piringnya besar, full mie. Air ludah saya menetes membayangkan tekstur kenyal mie Indomie membaur dengan bumbu Nusantara yang tak pernah gagal.

Namun ketika dibuka, saya dikecewakan ekspektasi saya sendiri. Di dalamnya hanya ada mie instan dan bumbunya. Ukurannya pun tak sebanyak itu. Saya menyebutnya ilusi.

Ilusi yang saya ciptakan sendiri karena apa yang saya lihat.

Lantas, apakah ini disebut dengan menipu? Saya tidak setuju dengan hal itu. Alih-alih mengomel dan melempar kemasan mie, saya malah ingin memeluknya.

Betapa kemasan plastik yang akan berakhir di tong sampah ini mengajari saya konsep kesederhanaan yang selaras dengan apa yang saya dengar dalam sesi wawancara dengan pemilik panti rehabilitasi narkoba.

Apa yang saya dapatkan memang tak sama dengan apa yang saya lihat, 
Lagi-lagi saya ulangi, benar bahwa kemasan mie instan Indomie memang ilusi. Namun bukankah ekspektasi yang berlebihan nyatanya menggambarkan betapa manusia tak sadar diri, berharap Rp 3.500 mampu menyajikan mie dengan ekstra komplit jeruk nipis, selada, timun, potongan bawang merah, daging, udang dan kerupuk?

Sekedar informasi, uang yang saya keluarkan untuk sebungkus Indomie mie goreng Aceh adalah Rp. 3500.

Dengan uang sekecil itu, saya tak perlu menyeberang pulau ke Aceh untuk mencoba olahan Nusantara di negara serambi Mekah tersebut. Saya hanya perlu berjalan kaki ke warung.

Jadi saya ulangi, yang menyesatkan nyatanya bukan ilusi, tetapi ekspektasi kita sendiri.

Bisa dibilang, gambar mie di kemasan Indomie adalah ekspektasi sementara isi di dalamnya adalah realita. 

Seorang sarjana yang berharap nasibnya lebih hebat dibanding lulusan SMA tentunya lupa bahwa gelar tak menjamin kesuksesan. Bahkan kita sering disodorkan fakta, beberapa sarjana bekerja tak sesuai jurusan. Itu menjadi bukti, apa yang dipelajari selama bertahun-tahun tak lekas menjadi 'kartu sakti' mencerahkan masa depan.

Hal itu bisa saya lihat dari para pasien rehabilitasi. Mereka tak akan repot-repot merogoh kocek yang tak sedikit untuk membeli obat-obatan jika tak dikecewakan ekspektasi. Alasannya beragam, entah ekspektasi berlebihan perihal keluarga, pertemanan, hubungan romansa bahkan mungkin karier.

Saya tidak mau membahas lebih lanjut perihal hal itu, sebab saya tidak mengetahui apa alasan dibaliknya.

Saya ingin membahas perihal Indomie lagi (yang sudah saya beli lagi malam ini). Ketika terakhir kali menyeduh Indomie Mie goreng Aceh ini, saya memakannya polosan—sebab di kulkas sedang tak ada sayur, sosis, daging maupun udang.

Apakah rasanya aneh ketika dimakan tak sesuai gambar di kemasan? Tidak juga. Rasanya enak. Saya menikmati suapan pertama sampai suapan terakhir sembari menonton film. Kenyalnya tekstur Indomie yang berukuran besar khas mi goreng Aceh, berbaur dengan bumbu yang tak pernah gagal.

Apa mie polosan tanpa toping tambahan membuat saya merasa sedang memakan makanan tanpa gizi? Tentu, tidak demikian. Indomie bukan pengganjal perut yang tak memberi manfaat bagi tubuh, di dalam sebungkus mie instan ini saya memperoleh karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.

Rp. 3.500 ini sudah cukup worth it, bukan?

Dari sini, saya juga kembali diingatkan bahwa kita sejatinya cukup dengan mendapatkan apa yang kita butuhkan alih-alih kita inginkan.

Semangkuk Indomie mie goreng Aceh yang saya konsumsi di sore hari, nyatanya tak hanya membuat kenyang lambung, tetapi juga 'otak' saya. Ada dua hal yang perlu ditekankan; bagaimana hidup tanpa beban harus menghilangkan ekspektasi yang terlalu tinggi, serta pentingnya memahami perbedaan kebutuhan dan keinginan.

Bukankah itu konsep kesederhanaan yang amat romantis?

Saya rasa, ketika telah memahami dua hal itu, kita terhindar dari resiko menjadi pasien panti rehabilitasi narkoba maupun rumah sakit jiwa karena terlalu lelah menanggung dunia yang tipu-tipu ini.

Oh ya satu lagi, kalau mau tetap makan Indomie pakai toping hibring, mungkin kita harus sedikit 'berusaha' mendapatkan bahan makanan tersebut. Ini artinya ... jika memang ingin hidup lebih dari SEKEDAR CUKUP, berarti ada usaha yang perlu kita TINGGIKAN.

Seperti kata Paman Ben dalam film Spiderman, "Kekuatan besar membutuhkan tanggung jawab yang besar."

 

Indomie yang baru saya beli

***

Tulisan ini membuat saya bernostalgia sembari menyemarakan ulang tahun ke-50 Indomie dalam #CeritadanRasaIndomie 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Never Ending Love - Sebuah Oneshot
11
13
Never Ending Love adalah kumpulan oneshot (cerita pendek) tentang tokoh-tokoh novel Rianafni di Novelme yang sudah tamat.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan