
"Astaga! Ibu, kenapa Ibu berpenampilan seperti itu?"
Aku terkejut ketika melihat Ibu keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang panjangnya hanya di atas lutut saja, padahal Mas Rohman ada di rumah.
Part 1
"Astaga! Ibu, kenapa Ibu berpenampilan seperti itu?"
Aku terkejut ketika melihat Ibu keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang panjangnya hanya di atas lutut saja, padahal Mas Rohman ada di rumah.
"Ish, Nella! Kenapa sih heboh banget? Ibu kan habis mandi, jadi wajar dong kalau pakai handuk!"
"Tapi, Bu. Di rumah kan ada Mas Rohman--"
"Halah, pikiranmu itu terlalu berlebihan, Nella! Si Rohman nggak mungkin doyan sama Ibu, apalagi Ibu?"
"Huh, mentang-mentang Ibu janda, kamu malah nuduh Ibu yang macem-macem," gerutunya sambil berlalu masuk kamar.
"Bu-bukan begitu maksud Nella, Bu. Tapi, seenggaknya Ibu kan bisa pakai daster gitu, jangan pakai handuk doang."
Aku sedang mencoba menjelaskannya secara perlahan, namun ibuku sepertinya tersinggung, hingga Beliau menutup pintu kamarnya cukup keras.
Huft ....
Aku sungguh lelah, padahal aku baru saja pulang bekerja, tapi sampai di rumah sudah disambut dengan kejadian seperti ini.
Sumpah! Aku sebenarnya tidak mempunyai pikiran, kalau ibuku akan menggoda suamiku, karena yang aku tahu ibuku sangat membenci Mas Rohman.
Namun, yang aku inginkan, ibuku harus tetap menjaga marwahnya sebagai mertua, contohnya seperti menjaga cara berpakaiannya, sebab bagaimanapun juga status Mas Rohman hanyalah menantunya, bukan anaknya sendiri.
Tapi, mungkinkah aku memang terlalu berpikir berlebihan ya?
"Nella, kamu sudah pulang?" tanya Mas Rohman yang membuatku terkejut.
Mas Rohman baru saja keluar dari pintu dapur, dengan mengunyah sebuah kerupuk, dan juga keringat yang masih bercucuran di dahinya. Sepertinya Mas Rohman baru saja makan makanan yang pedas.
"Eh, iya Mas. Lho, kamu baru sarapan, Mas?"
"Iya," sahutnya seraya tersenyum.
Lalu tiba-tiba saja ibu membuka pintu kamarnya, dengan pakaian yang sudah rapi, sepertinya ibu mau pergi.
"Huh! Kelakuan suamimu memang hanya seperti itu. Jam segini baru bangun, lalu kemudian sarapan. Enak banget jadi dia, kamunya yang disuruh kerja!" Lagi-lagi ibu menghina Mas Rohman, yang membuatku jadi tidak enak hati pada suamiku.
"Bu, Mas Rohman kan sedang libur."
"Halah, libur kok setiap hari." Setelah mengatakan itu, Ibu langsung berlalu pergi.
Aku hanya bisa menghela napas panjang, untungnya saja suamiku bisa sabar menghadapi mertua seperti ibu. Kalau tidak, mungkin saja kita sudah berpisah sejak dulu.
"Maafin Ibu ya, Mas. Sepertinya beberapa hari ini Ibu lagi sensi."
Mas Rohman mengangguk. "Sudah, biarkan saja. Sekarang kan masih musim padi, jadi wajar kalau Ibu sering uring-uringan melihat aku banyak menganggur. Nanti kalau sudah musim tembakau, omongannya juga tidak terlalu pedas lagi," sahut Mas Rohman seraya terkekeh. Sesabar itulah suamiku, aku pun merasa beruntung memilikinya.
"Baiklah, kalau begitu aku mau cuci baju dulu."
Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi ke kamar, mengambil semua pakaian kotor, dan kemudian mencucinya.
Inilah rutinitasku setiap harinya setelah berjualan di pasar. Ya, pekerjaanku adalah pedagang sayur di pasar pagi, aku berangkat bekerja jam dua pagi, lalu pulangnya paling lambat jam sembilan pagi, namun kalau sedang laris manis, jam tujuh pagi aku sudah ada di rumah.
Kami para pedagang di pasar pagi, memang kebanyakan melayani para pedagang sayur keliling dan juga pemilik warung-warung yang menjual sayuran. Jadi, tidak heran kalau aku harus berangkat di pagi buta, sebab para pembeli dagangan ku juga harus menjajakan dagangan mereka pagi-pagi sekali.
"Eh, Nella. Udah pulang? Berarti dagangannya udah habis dong?" sapa tetanggaku, Mbak Yuyun namanya.
Di jam segini Mbak Yuyun dan tetangga lain memang suka melakukan rutinitas 'petan' rambut putih di belakang rumah, jadi mereka bisa melihatku ketika sedang menjemur baju, karena rumah kami tidak ada yang memiliki pagar pembatas.
"Iya, Mbak. Alhamdulillah ...." sahut ku seraya tersenyum.
"Waahh ... enak ya, jadi suamimu. Nggak perlu kerja keras, sebab kamu nya pintar cari duit," balas tetanggaku yang satunya lagi.
"Iya, Nell. Eh, kalau sudah selesai, sini dong main bentar. Masa kamu nggak pernah ngegosip bareng kita sih," timpal tetanggaku yang lainnya.
Aku hanya tersenyum canggung, dan meski malas, namun aku harus tetap ke sana untuk menghargai mereka.
Aku bukan tipe orang yang suka kumpul-kumpul seperti ini, karena aku termasuk orang yang introvert. Apa lagi, sebenarnya badanku sangat lelah karena habis bekerja, jadi biasanya aku memang langsung tidur setelah menyelesaikan pekerjaan rumahku.
Namun, meladeni mereka cerita sesekali, tidak apa-apa bukan?
"Eh, udah pada denger nggak? Itu si Ika, kemarin lusa katanya ke hotel bareng Pak kepala desa. Aduh, jangan-jangan gosip yang mengatakan mereka selingkuh, benar lagi?"
"Ih, masa to, Mbak Jum. Aduh, amit-amit kalau gitu. Eh, berarti tahun depan kita jangan milih dia lagi. Kan katanya dia mau mencalonkan diri lagi?"
"Iya, iya. Jangan sampai!"
Aku hanya menganggukkan kepala saja mendengar gosip mereka, toh aku juga tidak mengenal siapa itu Ika, sebab dia warga baru di gang sebelah, yang sudah dicap sebagai janda gatel oleh warga sini.
"Eh, Nella. Kamu kan kerjanya pagi buta, dan kamu kalau sudah pulang, biasanya juga cuma di rumah. Jadi, kamu tuh harus jaga baik-baik suamimu, ya walaupun suamimu jarang kerja, tapi dia kan lumayan ganteng. Jadi, hati-hati aja?!"
"Hehe ... iya, Bu."
"Eh, jangan cuma iya-iya aja. Kami ini kasihan sama kamu, soalnya kamu udah kerja keras, banting tulang ngehidupin suami kamu, lalu jangan sampai si Rohman pakai duit hasil kerjamu untuk biayain janda gatel seperti Ika."
"Iya, Mbak. Tapi, aku rasa Mas Rohman nggak mungkin seperti itu, soalnya meskipun aku yang kerja, dia juga jarang banget minta uang sama aku, ya palingan sekali dua kali pernah minta uang untuk beli rokok. Jadi, mana ada wanita di luaran sana yang mau sama dia, hehe ..."
"Iya, juga ya. Haha ...."
Aku mengangguk. Ya, Mas Rohman memang jarang meminta uang sama aku, namun sebagai seorang istri, kadang aku suka mengeluh karena Mas Rohman jarang kerja.
Di mata orang-orang, mereka mengira aku menerima kekurangan Mas Rohman yang seperti itu, tapi mereka tidak tahu saja kalau kami suka berantem jika bahas soal ekonomi.
Ya, di dunia ini mana ada wanita yang menerima suaminya jarang memberi nafkah, dan kita yang menjadi seorang istri, harus rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Tapi, jikapun itu ada, berarti wanita itu benar-benar berhati malaikat. Namun, meski aku bukan wanita yang berhati malaikat itu, tapi aku tetap kekeuh mempertahankan rumah tanggaku ini, karena aku termasuk orang yang menganut paham bahwa, rezeki itu meski kamu sudah bekerja keras mencarinya, tapi kalau belum waktunya dapat, kamu tetap tidak akan dapat.
Jadi, aku hanya bisa bersabar dengan kondisi suamiku saat ini. Ya, siapa tahu di depannya Tuhan akan memberi rezeki lebih untuk keluarga kami.
Namun, bagaimana jika ternyata, Mas Rohman selama ini memang kurang berusaha?
Part 2
"Astaga! Sudah jam setengah dua." Aku pun buru-buru bangun dan mandi, kemudian tidak lupa melakukan ibadah salat malam sebelum berangkat kerja.
Untungnya saja sebelum tidur, semalam semua sayuran sudah aku masukkan ke dalam karung, jadi aku tinggal mengangkatnya saja ke sepeda motor.
"Emh, akhh ...." Aku menghela napas panjang setelah mengangkat karung paling besar untuk diletakkan di atas obrok yang berisi sayuran juga. Lalu setelah itu aku membangunkan suamiku untuk meminta tolong mendorong motor, karena motor dalam keadaan standar tengah.
"Sudah semuanya?" tanya Mas Rohman dengan kondisi yang masih mengantuk.
"Belum, Mas. Itu, karung yang ada di sana, tolong angkat dan taruh di depanku."
Mas Rohman menurut, ia mengambil satu karung sayuran yang masih bersandar di tembok.
"Hati-hati," ujarnya.
Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku mulai melajukan motorku.
Terdengar suara gerbang garasi di tutup dan dikunci kembali, dan aku berangkat di saat jalanan masih sangat sepi, dan mungkin hanya ada satu atau dua kendaraan lain yang lewat.
Banyak orang yang bertanya, apakah aku tidak takut berangkat ke pasar di pagi buta seperti ini?
Jawabannya tentu saja takut, namun kalau aku tidak melawan rasa takutku, aku tidak akan pernah menjadi pedagang sayuran di pasar pagi seperti ini.
Aku hanya bisa mengakali orang yang berniat jahat dengan menggunakan pakaian yang aku kenakan, contohnya seperti memakai hoodie, sarung tangan, dan sepatu. Nah, yang paling penting adalah masker ninja, jadi kebanyakan orang mengira kalau aku adalah laki-laki.
Dan, yang lebih penting lagi, aku pergi ke pasar juga harus memakai motor butut, jadi otomatis para begal pun nggak doyan sama aku, apalagi melirik.
Namun, aku tetap harus waspada, makanya aku melajukan motorku dengan cukup cepat, sebab selain memburu waktu, alasan lainnya agar penyamaran ku sebagai laki-laki semakin sempurna.
Lalu kemudian untuk jaga-jaga, aku juga selalu membawa pisau lipat untuk melindungi diri. Ya, walaupun sebenarnya gunanya pisau itu untuk membelah sayuran sejenis nangka muda, hehe ...
"Ketiduran ya, Mbak?" sapa tukang parkir seraya membantuku menurunkan dagangan ku.
"Iya, Mas," sahutku jujur, karena aku memang biasanya bangun jam satu pagi, dan jam dua lebih baru berangkat dari rumah, itu termasuk kesiangan bagiku.
Setelah semua dagangan sudah ditaruh di atas jalan raya, lebih tepatnya tepat di lapak tempat aku berjualan, lalu kemudian Mas Anton segera pergi memarkir sepeda motorku bersanding dengan sepeda para pedagang lainnya.
Aku pun kemudian langsung menggelar tikar plastik, menata semua danganganku dengan serapi mungkin, agar pembeli lebih mudah memilihnya.
"Kamu baru datang, Ndok?" tanya seorang nenek-nenek yang berjualan di sampingku, sepertinya Beliau baru pergi meninggalkan lapaknya.
"Hehe ... iya, Mbah. Tadi saya ketiduran."
"Owalah ... Eh, tadi ada orang baru yang mau nempatin tempat kamu, tapi Mbah sudah bilang kalau di sini ada orangnya."
"Oow, kalau begitu makasih, Mbah," ucapku tulus.
Ya, kita semua memang berjualan di jalan raya, yang berada di bagian samping pasar. Jadi, ini bukan jalan utama, dan tidak menggangu lalu lintas. Yang lebih tepatnya ini memang tempat khusus para penjual seperti kami, jadi kami tidak memiliki hak milik di sini, namun para pedagang di sini saling menghormati satu sama lain, untuk tidak merebut tempat berjualan, yang sudah ada orangnya lebih dulu.
Pasar pagi ini sudah berdiri sejak sepuluh tahun yang lalu, dan aku baru berjualan dua tahun yang lalu. Aku mendapatkan tempat ini dari almarhum Budhe ku, yang dulunya pedagang seperti aku, jadi aku belajar berjualan seperti ini dari Beliau.
"Mbak, aku mau beli sayur sop sepuluh, kacang panjangnya dua puluh ikat. Oh, ini sekalian nangka mudanya, ada yang masih utuh nggak? Emm ... Mbak buang durinya aja, nanti dibagi menjadi empat. Sama ... Aku minta yang udah dipotong-potong, sepuluh bungkus ya?"
"Siap, Bu." Dengan cekatan aku melayani semua permintaan pelanggan ku satu ini, cara Beliau berbicara juga memang seperti ini, sebab beliau juga mengejar waktu karena takut kesiangan. Jadi, aku hanya bisa menyahutinya setelah Beliau selesai bicara.
Di sini memang tempatnya orang terburu-buru dan jarang berbasa-basi, jadi jangan heran kalau pembelinya suka menuntut kami melayani dengan cepat. Tapi, masih ada kok pembeli yang suka bergosip, jadi terkadang mereka bergosip dulu sebelum membeli, hehe ....
Dan, maka dari itu, setelah para petani mengantarkan sayuran ke tempatku, sejak sore itu juga aku langsung menyiapkan dagangan ku, yaitu mulai dari menimbang, mengikatnya dari yang besar hingga kecil, dan juga ada yang harus dimasukkan ke dalam kantong plastik kecil, contohnya seperti sayuran sop ini. Jadi, kalau dituntut cepat oleh pembeli, aku pun sudah siap.
Jadi, tidak ada lagi desakan dari pembeli yang mengatakan, "Cepat, Mbak ... cepat, Mbak. Keburu subuh ini!"
Hingga kemudian tidak terasa adzan subuh mulai berkumandang, lalu aku pun gantian salat dengan pedagang di sampingku, karena Mbah Marni ingin salat berjamaah, maka Beliau dulu yang salat, dan aku menunggu dagangan ku, seraya dagangan milik Mbah Marni, yaitu berbagai aneka macam pepes.
"Mbak, barangmu selalu bagus-bagus dari yang lain, tapi sayangnya terlalu sedikit, jadi aku nggak bisa borong banyak," ujar salah satu pelanggan ku.
Beliau memiliki warung yang cukup besar, jadi sering membeli beberapa kilo sekaligus, sedangkan danganganku hanya menyiapkan beberapa kilo saja di setiap jenisnya.
"Hehe ... iya, Bu. Ya ... Ibu doakan saja agar saya bisa beli mobil, jadi bisa bawa dagangan banyak deh."
"Amiinn ... iya, Mbak. Aku doain biar Mbak cepat beli mobil, jadi bisa bawa dagangan banyak. Ini Mbak, coba lihat. Wortel punyamu lebih mulus dan lebih segar, tapi sayangnya hanya ada dua kilo ini."
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum, aku memang hanya bisa membawa lima kilo wortel, jadi sekali orang-orang membeli kiloan jadi cepat habis.
Berbeda dengan para pedang lain yang bisa membawa aneka dagangan mereka hingga satu keranjang penuh.
Namun, aku selalu mensyukuri berapa pun yang aku dapatkan.
***
Waktu terus berjalan, hingga tidak terasa danganganku tinggal sedikit, dan jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
"Mbah, saya mau pulang dulu. Ini sayuran buat Mbah untuk dimasak nanti di rumah," ujarku seraya menyodorkan dua bungkus sayur sop, lalu diterima oleh Mbah Marni dengan senang hati.
"Terima kasih ya, Ndok. Semoga rezekimu semakin lancar."
"Iya, Mbah. Amiinn ...."
Setelah membereskan sisa danganganku, aku pun mengambil motorku, sekaligus membayar uang parkir. Lalu kemudian aku pulang ke rumah dengan membawa lauk pauk untuk dimasak besok. Seperti inilah rutinitasku di pasar, dan itu sangat menyenangkan.
Namun, sesampainya di rumah, selalu ada saja yang membuat kepalaku pusing.
"Nella! Sampai kapan kamu membiarkan suamimu jadi pengangguran seperti itu! Lihat itu suamimu, kamu sudah pulang kerja, dia masih tidur! Jadi perempuan jangan mau dibodohi laki-laki dong! Suruh suamimu itu kerja yang bener!"
"Iya, Bu. Nanti Nella akan bicara dengan Mas Rohman."
"Jangan iya-iya aja, kan Ibu sudah berapa kali bilang, suruh suamimu itu coba tanya ke Lek Hamdan, siapa tahu dia butuh tambahan kuli bangunan, jadi jangan cuma bergantung sebagai buruh tani saja!"
"Baik, Bu. Nanti Nella akan bicara," sahutku yang hanya bisa mengiyakan saja, sebab kalau aku menjawab banyak, maka Ibuku akan semakin berbicara banyak.
"Ya sudah, kalau begitu Ibu mau keluar dulu, ada orang yang mau menyuruh Ibu menjualkan tanahnya." Aku mengangguk. Setelah melihat ibu pergi, aku baru masuk kamar.
Di dalam kamar, ternyata Mas Rohman sudah bangun, dan dia pasti sudah mendengar semua perkataan Ibu.
"Mas --"
"Sudah, kamu nggak perlu bicara, aku juga sudah mendengar semuanya!"
Aku mengangguk. "Jadi, bagaimana? Mas mau kan tanya pekerjaan ke Lek Hamdan. Ya ... siapa tahu saja memang ada pekerjaan yang cocok buat Mas."
"Nggak, ah. Aku nggak suka jadi kuli, lebih enak kerja di sawah."
Aku hanya bisa menghela napas mendengar jawaban Mas Rohman, sebab watak Mas Rohman memang seperti itu, ia adalah tipe orang yang semaunya sendiri dan susah diajak berpikir maju ke depan.
"Emm ... atau kalau enggak, Mas Rohman bisa belajar dari Ibu untuk jadi makelar, kan hasilnya juga lumayan itu."
"Aakhh ... Kamu apa-apaan sih, aku kan nggak pandai merayu, bagaimana bisa aku jadi makelar. Udah deh, jangan bingung nyuruh aku kerja, nanti kalau aku ketemu kerjaan yang cocok, aku juga pasti akan kerja!" ketusnya, lalu kemudian dia meninggalkanku yang hanya bisa menghela napas panjang.
Huft!!! Susah sekali mengajak suamiku berjuang agar ekonomi kita lebih baik lagi. Hmm ... atau mungkin, emang dasarnya saja suamiku yang malas bekerja?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
