
Abra sangat membenci cahaya, adik angkatnya. Apa pun yang dilakukan Cahaya di mata Abra hal itu adalah sesuatu yang salah. Ditambah lagi agni selalu berada di sisi Cahaya membela anak itu. Segalanya telah Abr lakukan untuk menyingkirkan Cahaya termasuk menikahkan adik angkatnya itu dengan pria yang dianggap tepat namun karena suatu insiden, semuanya berantakan. Semuanya malah berimbas balik ke arah Abra
“Kamu bukan adikku!” satu kata hardikan itu yang selalu cahaya kenang sebagai cambuk sekaligus menjadi jarak di antara mereka. Abraham tak pernah menerimanya sebagai saudara angkat. Pria itu sangat egois karena terlalu lama menjadi anak tunggal dari Agni dan juga Bara. Padahal Cahaya sudah banyak mengalah. Memberi Abra perhatian kecil seperti menyerahkan hasta karyanya sebagai tanda sayang namun Abra menginjaknya seolah barang itu sampah atau Cahaya pernah memberinya kue yang Abra langsung tolak seolah tangannya mengandung kuman yang mematikan.
Agni sadar perangai anaknya yang kasar. Ia berusaha memarahi bahkan menegur Abra sejak kecil tapi semua terpatahkan dengan bantahan Bara. Bara selalu mengatakan suatu saat Abra akan berubah, menjadi kakak yang baik dan pengertian namun lambat laun penantian Agni tak kunjung datang yang ada malah kesehatan sang suami yang semakin menurun.
Bara meninggal saat Abra baru saja lulus kuliah. Abra muda langsung menggantikan ayahnya di hotel. Sikap semena-menanya semakin menjadi-jadi, mulai menuntut Cahaya ini itu, menuntut adik angkatnya supaya tahu diri kalau selama ini apa yang keluarganya beri tidaklah gratis.
“Jangan diambil hati ucapan kakak kamu,” Cahaya tersenyum pahit, orang itu apa pantas dipanggil kakak. Cahaya yang masih memakai seragam SMA Cuma bisa meremas roknya. Cahaya juara umum ketika sekolah, apa itu tak membuat kakaknya puas. Cahaya juga berkeinginan menjadi seorang dokter seperti sang mamah.
“Kak Bara gak bisa menerima aku sebagai adiknya kan Mah?”
“Mamah akan tegur kakak kamu.”
“Itu yang mamah lakukan dari dulu. Dulu Kak Abra waktu ada papah mana berani ngelawan mamah sekarang dia bahkan berani bantah mamah, hanya karena mamah bela aku. Aku gak akan mau menjadi duri dalam daging hubungan antara kalian Mah. Apa aku kembali ke panti asuhan aja.”
“Ya, jangan bilang begitu. Kamu anak mamah, kalau kakak kamu gak mau biaya hidup kamu. Mamah yang akan ambil alih, kalau perlu kita bisa pindah. Tinggal terpisah dari kakak kamu. Abra sudah cukup besar untuk mengurusi dirinya sendiri.”
Wajah Cahaya semakin ditekuk jika sang mamah membelanya maka kemarahan sang kakak akan makin membara. “ Gak usah Mah. Mamah jangan terlalu belain aku. Kak Abra akan marah juga sama mamah.”
“Kamu juga anak mamah, kalau kamu dimarahi mamah juga sakit hati.”
Cahaya sangat berterima kasih diberikan ibu semulia Agni. Bagaimana ibu selembut ini bisa melahirkan anak sekeras batu seperti Abra.
***************
“Ujian kamu sudah selesai?” tanya Abra saat sarapan. Kakaknya hanya akan bertanya jika mendekati ujian, menanyakan prestasinya menurun atau tidak. Menanyakan Cahaya membuat malu atau tidak. Menilainya berguna atau tidak. Cahaya bak sebuah barang yang memberi jaminan akan membuahkan hasil.
“Sudah Kak. Pengumumannya minggu depan.”
“Kakak gak akan menguliahkan kamu kalau kamu gak terima di universitas negeri.”
“Abra...” sela Agni yang mendengar nada bicara putranya mulai naik.
“kamu kuliah ambil jurusan yang simple. Ekonomi atau FKIP.” Ini bertentangan dengan keinginan Cahaya yang bercita-cita menjadi seorang dokter. Tapi dia tak mampu menyanggah, Ia hanya melemparkan pandangan memelas pada sang ibu.
“Dia mau jadi dokter, kalau kamu keberatan mamah yang akan biaya Cahaya.”
Abra menghentikan acara makannya. Ia melirik pada Cahaya dengan tatapan tak suka. “Seneng kamu dibelain mamah? Kamu tahu masuk kedokteran itu biayanya seratus juta lebih belum nanti biaya lain-lain. Jangan bikin susah mamah, mamah harusnya menikmati hari tuanya bukan malah terbebani sama kamu!”
“Abra!”
“Cahaya harus tahu. Sudah berapa banyak uang yang kita keluarkan untuk membiaya dia. Dia harusnya bersyukur karena diambil dari panti bukan malah ngelunjak!” Giliran Abra melemparkan amarah pada sang adik angkat. “ Kamu harusnya tahu diri, gak minta ini-itu.”
Abra berdiri meninggalkan ibunya dan Cahaya menikmati sarapan dengan mode susah tertelan. Di saat Abra sudah pergi barulah tangis Cahaya luruh.
“jangan didengerin omongan kakak kamu. Kamu akan tetap kuliah jurusan kedokteran.”
Cahaya menggeleng keras meski omongan Abra sangat menyakitkan namun kakak angkatnya itu ada benarnya. Ia sudah lama menjadi beban untuk sang mamah. “Cahaya gak kan kuliah jurusan kedokteran. Cahaya akan mengambil jurusan yang kakak minta.”
“Cahaya kamu gak boleh mengambil keputusan seperti itu.”
Cahaya dengan asal-asalan menghapus air matanya. “Gak semua orang bisa memenuhi cita-citanya Mah. Apa cahaya ambil jurusan perhotelan supaya kakak seneng.”
“kamu gak boleh mengorbankan keinginan kamu demi menyenangkan Abra. Belum tentu dia menghargai keputusan kamu.”
“Cahaya capek Mah, menerima kebencian Kak Abra yang gak ada batesnya.” Ini salah Agni., mengangkat Cahaya sebagai anak walau Abra keberatan. Awalnya Agni hanya ingin mengajari Abra untuk menjadi pribadi yang tidak egois dan lebih pengertian. Usahanya gagal bahkan membuahkan kebencian. Agni memeluk Cahaya, cuma memeluk karena kata sabar dan maaf sudah lelah ia ucapkan untuk mewakili sikap kurang ajar Abra.
Abra mengangkat satu alisnya ketika mendengar keputusan Cahaya. Anak itu akan kuliah di jurusan perhotelan. Ternyata Cahaya cukup pintar dan sadar diri jika saatnya membalas kebaikan keluarga abra terutama almarhum ayahnya. Cahaya akan ia siapkan untuk bekerja keras di hotelnya, setidaknya anak itu berguna kalau lulus apalagi Cahaya adalah anak yang cukup pandai. Ia juga punya rencana masa depan untuk Cahaya.
Masa kuliah masa yang paling menyenangkan, sebab sedikit kebebasan Cahaya dapatkan. Abra jarang pulang ke rumah lebih memilih tinggal di apartemen, meninggalkannya hidup tentram dengan sang ibu. Cahaya menjalani hari sebagai mahasiswa normal, berteman dengan banyak teman, ikut berbagai organisasi sampai memiliki pria yang ditaksir. Setidaknya hidup Cahaya mengalami sedikit warna.
“Kamu punya pacar?” Kenapa lagi ini. Setiap Abra pulang, keadaan rumah agak mencekam.
“Pacar apa?” tanya Cahaya putra-pura bodoh, sayang dengan mata Abra yang tajam cukup membuat siapa pun gugup.
“Aku lihat waktu kamu dianter cowok.”
“Itu temenku Kak.”
“Gak usah Bohong!”
“Abra...” Ibunya selalu menjadi penengah dan pembela pihak Cahaya. Abra tak pernah suka hal itu. Ia kira setelah ia memilih tinggal terpisah, ibunya akan merindukannya dan lebih peduli padanya. “Itu pertanyaanmu setelah kita udah lama gak makan bersama?”
“Jangan mulai belain Cahaya lagi Mah.”
“Bukan belain tapi Cahaya udah terlalu besar. Dia berhak menikmati sedikit masa mudanya seperti kamu dulu.”
“Tapi Mah...”
“Jangan bilang dia beda karena Cuma anak angkat. Dia juga manusia Abra, dia Cahaya anak mamah.”
Abra menggeram marah. Ia selalu merasakan kebencian yang amat dalam setiap melihat sosok Cahaya, sosok yang telah merebut kasih sayang serta perhatian orang tuanya. Sosok yang patut disalahkan karena dunia Abra tak ideal lagi.
“Setidaknya dia tahu kalau semua yang dia dapatkan sekarang itu hasil pemberian orang lain. Cahaya bahkan gak berhak sedikit pun lega atau tertawa.”
Cahaya rasa pernyataan sang kakak sudah sangat keterlaluan. “Aku datang ke keluarga ini gak serta merta rela. Aku dibawa saat aku masih kecil, saat aku gak tahu apa-apa. Kenapa kakak gek pernah bisa menerima aku, benci sama aku?”
“Jangan ngelunjak kamu!”
Abra hampir saja melompat bahkan sekarang matanya melotot tajam. Agni sudah bingung harus memegang siapa, sebab kedua anaknya diliputi emosi. “Jawab aja pertanyaanku. Dari dulu kakak memandang aku sebagai musuh, seseorang yang merebut semua dari kakak tapi apa yang ku rebut Kak?”
Abra berdiri sambil menggebrak meja. “Semua kamu rebut. Semua yang harusnya mutlak jadi milik aku harus dibagi dua sama kamu. Gak kasih sayang mamah papah, gak harta orang tuaku, saham hotel juga separuh atas nama kamu.”
Cahaya terkejut sampai tak bisa menutup mulut. Itu alasan yang masuk akal sekaligus dilematis. Agni juga sama terkejutnya sebab sang suami sebelum meninggal tak pernah membicarakan apa pun, termasuk tentang wasiatnya.
“Semua milikku karena aku anak kandung mereka tapi kamu Cuma orang luar, miskin, gak jelas asal usulnya, anak panti mendapatkan semuanya secara Cuma-Cuma.”
Plakk
Agni menamparnya, tambah sudah kebencian Abra pada Cahaya. “Hanya karena itu kamu membenci Cahaya? Hanya karena harta Abra!”
“Hanya mamah bilang. Aku kehilangan separuh hak aku karena perempuan ini.”
“Kalau kakak mau saham atau harta pemberian papah. Kakak bisa mengambilnya semua tapi tolong jangan melemparkan kebencian padaku Kak. Aku menyayangimu, aku juga ingin kau memperlakukanku dengan baik.”
Cahaya sampai meraih tangan Abra namun langsung pria itu tepis. “Ada yang lebih berharga dari pada harta. Kamu gak akan tahu rasanya jadi aku! Rasa sayang? Bahkan sejak kamu di gendong mamahku waktu di panti dan berencana mengadopsimu, aku sudah sangat membencimu!”
Abra melangkah pergi tanpa berpamitan sedang Agni menangis karena menyesali perbuatannya namun ia menyerah sekarang menghadapi tingkah Abra yang semakin menjadi-jadi. Sedang Cahaya setelah tahu penyebab Abra begitu kasar padanya hanya bisa menangis lalu memeluk sang ibu. Mereka menangis bersama. Usaha apa pun yang mereka lakukan Tak ada yang bisa menghapus kebencian Abra.
************************************************8
Pendidikan Cahaya di kampus tidak berlangsung lama. Ia menyelesaikan kuliahnya empat tahun kurang dua bulan. Dengan menyandang gelar cumlaude dan hasil IPK memuaskan. Agni bangga padanya, memandangnya bagai sebuah permata yang layak dijaga. Agni tahu jika Cahaya bisa mencapai nilai yang lebih dari ini, potensinya menjadi dokter harusnya bisa terwujud namun Abra begitu keras hati. Sampai sekarang pun Abra tidak pernah puas dengan pencapaian Cahaya.
“nilai kamu bagus. Besok kamu bisa kerja di hotel. Sayang kan saham papah udah diserahkan separuh ke kamu tapi kamu gak becus ngurus.”
Kenapa begitu? Seolah Cahaya Cuma diwajibkan untuk memenuhi keinginan Abra, dibentuk sesuai standart Abra padahal sang kakak tak memberinya apa-apa. Cahaya seperti terbebani hutang nyawa yang tak tahu akan lunas sampai kapan. Agni pun nampak khawatir. Usia Abra bertambah namun tidak dengan kedewasaan putranya. Terdengar kabar Abra berlaku bak Bara muda dulu yang menebarkan ketampanan, uang dan senang bermain perempuan. Agni pun tak bisa mengontrol sebab Abra memutuskan tinggal terpisah setelah mereka kerap berselisih paham mengenai Cahaya.
“Bra, mamah denger kamu suka gonta-ganti pacar?” Agni berusaha bertanya dengan suara lirih, tak mengintimidasi dan mereka kini Cuma bicara berdua.
“Ah kan biasa Mah anak muda. Memilih yang terbaik dari yang baik.”
Agni rasa jawaban Abra wajar namun ada yang membuat hatinya resah. “Gak ada satu pun perempuan yang mau seriusin atau kenalin ke mamah?”
“Nanti kalau ketemu yang pas akan ku bawa ke sini juga.”
“Umur kamu udah tiga puluh loh. Jangan main-main ah sama anak gadis orang. Kalau ada yang bikin kamu jatuh cinta lebih baik segera diseriusin. Mamah akan dengan senang hati melamarnya buat kamu.”
Abra tidak menjawab, namun dilihat cara duduknya. Pernyataan Agni membuatnya tidak nyaman dan tertekan. Wajar setiap ibu ingin anaknya menikah. “Daripada mikirin jodohku, ada baiknya mamah mikirin Cahaya.”
“Kenapa? Kerja dia gak bener atau dia sering membuat kesalahan?”
Sayangnya Abra juga berharap begitu namun Cahaya itu pandai, pekerjaannya selalu beres tepat waktu. Anak itu juga pintar menyesuaikan diri hingga dengan mudah berbaur. Tak ada kendala apa apa dalam pekerjaan Cahaya. “Enggak. Dia rajin.” Agni tersenyum sumringah, pasalnya baru sekarang Abra memuji Cahaya. “Ini masalah jodoh Cahaya. Ada kolega namanya Pah Hasan. Dia tertarik dengan Cahaya.” Kolega anaknya, hampir semua Agni kenal dan orang yang disebut Pak Hasan tak cocok dengan Cahaya.
“Pak Hasan? Dia terlalu tua untuk Cahaya. Umurnya sudah empat puluh tahun lebih.”
“Tapi wajahnya lumayan dan juga kaya. Setidaknya Cahaya bakal makmur kalau hidup sama dia.”
“Abra, Pak Hasan Duda, anaknya udah gede. Bagaimana bisa menjodohkan Cahaya dengan Pak Hasan. Mamah gak setuju.”
Abra memberengut. “Kalau Cahaya nikah. Dia gak akan jadi beban lagi buat mamah.”:
Seperti itu yang Abra sering terka bahwa Cahaya beban mereka padahal anak itu merupakan berkah bagi keluarga ini. Hadiah indah yang Tuhan titipkan pada Agni yang sulit memiliki anak lagi. “Cahaya terlalu muda, mamah masih mau ditemani Cahaya. Usul kamu itu mamah gak bisa terima.”
Abra sudah duga. Kasih sayang ibunya pada anak angkatnya begitu besar. Agni tak akan melepas Cahaya untuk masuk ke lubang buaya. Meski Pak Hasan kaya tapi hobi selingkuh dan mata keranjang pria itu pasti tak bisa dihilangkan. Terbukti ketika lelaki itu mengincar Cahaya untuk dijadikan istri.
Tapi Abra tidak akan putus asa mencarikan Cahaya pendamping. Anak itu harus segera disingkirkan dari hidup ibunya mau pun hidupnya.
*********************************
“Ini namanya Surya.”
Cahaya mengulurkan tangan menyambut perkenalannya dnegan Surya. Lelaki ini begitu ramah, tersenyum menunjukkan lesung pipitnya yang di pandang menyenangkan.
“Cahaya.”
“Dia teman kakak kuliah dulu dan Dia Cahaya.”
Abra tak ramah padanya padahal mereka satu kantor. Kenapa tiba-tiba Abra memperkenalkan dia pada kawannya.
Surya tertegun lalu menatap Cahaya penuh arti. “Jadi ini adik kecilmu dulu. Sudah besar ya dia sekarang.”
“Dia sudah tidak kecil.” Lalu Abra memegang bahu temannya, mereka berjalan meuju ruangan Abra meninggalkan Cahaya yang kebingungan meski Cahaya juga memiliki saham di sini namun jabatannya hanya pegawai administrasi. Kata kakaknya Cahaya harus mulai dari bawah, agar paham dengan seluk beluk hotel. Cahaya setuju tapi kenapa dia memulai semua dari bawah sedang Abra langsung berada di atas setelah lulus kuliah.
“Dia cantik kan?”
“Lumayan,” jawab Surya sekenanya.
“Ayolah Cuma orang buta yang tidak melihat Cahaya sebagai perempuan menawan.”
Surya mengernyitkan dahi lalu menatap Abra dengan mata menyipit. “Apa yang kau inginkan?”
“Ku jodohkan Cahaya denganmu. Dia punya cukup uang untuk bisa menutup utang judimu. Saham peninggalan papah juga bisa menghidupimu sampai kenyang.”
Surya tersenyum cerah ketika diingatkan dengan uang. Cahaya tidak menarik walau cantik tapi kata uang bisa dikondisikan. Surya mau memiliki Cahaya sesuai usul Abra namun apa yang membuat pria ini begitu ngotot menyingkirkan sang adik angkat. “Aku mau tapi kenapa kau memilihku. Bagaimana pun dia saudaramu walau angkat. Setiap saudara menginginkannya yang terbaik untuk saudaranya. Kenapa kau memilihku yang banyak hutangnya?”
Abra memasukkan kepalan tangannya pada saku celana. Rasa bencinya pada Cahaya sebaiknya tak diceritakan. “Cahaya selalu merepotkan mamah, Ada baiknya dia menikah biar mamah tak banyak mengurusinya lagi. Kau adalah kawan baikku, judi membuatmu terjebak hutang tapi sebenarnya kau orang baik kalau diarahkan.”
Pujian itu terasa klise dan mengarang. Abra tahu bukan sekali ini Surya menghabiskan uang entah untuk judi, narkoba atau bisnis ilegal. Cahaya bisa menderita seumur hidup jika harus menjadi istri Surya.
“Aku akan mencoba mendekatinya.”
“Iya lakukan sealami mungkin. Buat Cahaya terpesona dan jatuh cinta. Intinya dapatkan hatinya. Lakukan itu demi masa depanmu, aku tahu kau sangat membutuhkan uang. Oh ya satu hal lagi kalau kalian berhasil menikah aku akan menyumbangkan uang yang banyak.”
Mata Surya langsung tercerahkan ketika mendengar uang yang sangat banyak. Surya memang banyak mendatangkan masalah namun ia punya kelebihan yaitu wajahnya yang tampan, mulutnya yang manis yang mudah merayu perempuan.
******************************************
Cahaya tersenyum sendiri sambil menatap layar ponsel. Entah sejak kapan dia bergitu terpesona dengan sosok Surya, teman sang kakak. Surya itu manis, baik dan juga humoris. Sangat perhatian padanya lalu suka memberinya pesan lucu yang bisa membuatnya tertawa. Pokoknya dengan Surya, ia merasa hidup dan tidak kesepian. Agni merespon baik perubahan sang putri. Dia juga pernah muda dan mengalami hal itu.
“Kamu akhir-akhir berubah jadi lebih ceria.”
“Ih mamah...” digoda begitu, ia menjadi malu.
“Kamu punya pacar atau cowok yang diincar?”
“Enggak. Cahaya belum mengiyakan.”
Agni menggerling nakal. “jadi laki-laki itu sudah meminta kamu jadi pacarnya. siapa dia?”
“Sudah tapi Cahaya minta waktu. Minta di yakinkan.”
“Siapa laki-laki beruntung itu kalau mamah boleh tahu.”
Cahaya menekuk bibir bawahnya, ia mengulum senyum. Sulit mengaku. “Namanya Surya, teman Kak Abra.”
“Surya?” Agni bergumam lirih sambil berpikir. Surya teman anaknya, Surya yang suka bercanda yang pembawaannya jarang serius yang sering meminjam uang pada Abra. Semoga saja tebakannya salah, soalnya Surya yang itu dulu Cuma mahasiswa pemalas yang punya nilai IPK terendah di kelas. “Teman kuliah kakak kamu?”
“Iya. Kak Abra yang mengenalkan kami.”
Sekelebat pikiran buruk Agni terlintas jika sosok Surya tidak pantas untuk putrinya. Namun waktu bisa mengubah seseorang kan mungkin saja Surya yang dulu kini berganti dengan pria dewasa yang cukup memikirkan masa depan dengan serius. Mungkin ada baiknya ia bertanya pada Abra tentang sosok Surya ini.
*********************************
“Surya laki-laki baik mah.” Itu jawaban Abra ketika Agni tanya. “Gak ada salahnya kan kalau dia tertarik dengan Cahaya. Dia seumuran Abra, cukup tampan dan mapan. Apa Cahaya juga menyukai Surya?”
“Mamah Cuma khawatir kan Cahaya jarang dekat sama cowok. Setahu mamah Surya itu dulu orangnya santai dan gak serius.” Sosok Surya masih sama seperti dulu tapi itu akan menjadi rahasia.
“Dia berubah banyak. Surya mau serius sama Cahaya, dia bilang sendiri sama Abra.”
Kalau ini Agni sedikit meragu pasalnya respon Abra juga biasa saja malah cenderung mendukung. “Kamu setuju jika mereka menjalin hubungan?”
“Yah itu terserah mereka. Abra gak mau mengatur-ngatur nanti mamah bilang kalau Abra gak suka sama Cahaya, gak seneng lihat anak itu bahagia.”
Agni menaikkan alis, seolah mengiyakan apa yang Abra duga. Syukurlah lambat laun Abra dewasa dan mau melunakkan hatinya untuk Cahaya. “Kalau Surya memang serius ada baiknya dia bertandang ke rumah untuk menemui mamah.”
“Mamah setuju kalau Cahaya menikah. Katanya Cahaya masih terlalu muda.”
“Ya itu terserah Cahaya. Yang penting anak mamah bahagia. Jodohnya siapa biar Tuhan yang menentukan.”
Abra melebarkan bibir ternyata taktiknya jitu. Ia tak perlu mengotot atau beradu argumen dengan ibunya. Cukup membiarkan segalanya berjalan sesuai alur, seperti yang Surya usulkan. Ternyata memang mudah dan sebentar lagi ia tak perlu berlama-lama melihat Cahaya di rumah utama. Abra akan kembali hidup berdua dengan sang Ibu, tak ada lagi Cahaya yang merecoki.
Surya memang berkunjung namun yang membuat Agni tak percaya adalah Surya langsung mengutarakan niatnya untuk menikahi Cahaya pada Agni. Setiap orang tua selalu menginginkan pacar anaknya mengatakan ke seriusannya namun kenapa Hati Agni seolah gelisah. Apa dia yang tak rela melepas Cahaya. Surya terlihat baik, sopan, rapi dan mapan malah secara karakter Surya cukup menyenangkan lantas apa yang membuat Agni ragu memberikan restu.
“Surya punya niat memperistri kamu. Kamu sudah lama berhubungan dengan Surya?”
Cahaya menempatkan diri, duduk di samping mamahnya. “Belum lama Mah baru tiga bulan.”
“Mamah sih berharap kalian saling mengenal lama, supaya bisa tahu watak satu sama lain. Gerbang pernikahan bukan main-main.”
“Begitu ya Mah? Apa mamah sama papah dulu juga saling mengenal.”
Agni tersenyum, teringat kisah percintaannya dengan Bara. Penuh liku dan intrik, penuh muslihat terselubung. Mereka kenal luar dalam , watak baik dan jahat. Intinya mereka mengetahui satu sama lain dengan baik makanya pernikahan mereka sampai maut memisahkan. Mata Agni sedikit berkaca-kaca karena rindu dnegan sosok Bara. Andai suaminya masih hidup pastilah Abra masih tinggal dengan mereka.
“Papah dan mamah saling mengenal dengan baik. Itu salah satu kunci pernikahan langgeng. Kalau yang satu punya kekurangan, yang satu mencoba mengerti begitu pun sebaliknya. Sudah kamu temukan hal itu pada Surya?” Cahaya malah mengangkat bahu. Ia tak mengerti, baginya Surya itu sempurna. Humoris, enak diajak bicara, pengertian dan ditambah bonus wajah yang rupawan.
“Kayaknya Cahaya yang banyak kurangnya deh Mah.”
“Kamu masih terlalu muda.” Cahaya berusia dua puluh tiga tahun bulan depan. Agni menikah di usia dua puluh delapan tahun. Itu mungkin yang Agni sedikit khawatirkan. “kamu masih naif, wajar kamu banyak kekurangannya.”
“Anehnya malah Mas Surya seakan ingin menikah dengan Cahaya cepat-cepat padahal aku bakal merepotkan.” Agni meraih dagu putrinya sambil tersenyum penuh arti.
“Siapa pun laki-laki yang mendapatkan kamu. Dia beruntung. Anak mamah yang ini baik, tulus, murah senyum, pintar dan juga dermawan. Hati kamu luas Cahaya, menerima atau memaklumi kekurangan orang lain. Kamu selalu sabar menghadapi Abra. Kamu berharga”
Begitulah Cahaya di mata Agni walau Cahaya sendiri ragu kalau dirinya seberharga yang ibunya bilang. Bukan seperti sang kakak selalu bilang bahwa Cahaya adalah anak yang merepotkan, anak tak jelas, dan mungkin anak haram.
“Kamu setuju jika Surya melamarmu?”
Cahaya tersenyum malu-malu dan rasanya Agni terlalu berat menyatakan kegundahannya. “Aku setuju Mah. Cahaya mau jadi istri Mas Surya.”
Cahaya yang super bahagia langsung memeluk Agni lalu membenamkan rasa malunya pada bahu sang ibu angkat. Setiap perempuan memiliki impian menjadi istri dan seorang ibu. Mungkin Cahaya hanya mencuri start lebih awal dari kawannya yang lain.
***************************
Setelah keluarga Surya datang bertandang melamar, tanggal pernikahan langsung di tentukan. Agni kira Abra akan lepas tangan namun di luar dugaan putranya malah mewakili keluarga untuk menerima lamaran Surya. Abra yang selalu bilang membenci Cahaya malah ikut serta dalam mempersiapkan pernikahan adik angkatnya tanpa keberatan. Mungkin ini bukan bentuk kasih sayang, namun bentuk sebuah kewajiban yang akan selesai masa kadaluarsanya. Agni tahu Abra senang jika Cahaya menikah dan ke luar dari rumah. Padahal beberapa hari ini ,Agni menangis sambil menghampiri kamar cahaya. Melihat putrinya terlelap, ia memikirkan bagaimana kehidupan cahaya nanti. Dalam doanya ia selalu berharap Cahaya bahagia.
Tak terasa hari pernikahan telah datang. Cahaya mengenakan kebaya putih untuk acara ijab kabul yang di adakan di rumahnya. Abra sudah tampan dengan memakai jas abu. Ia akan berperan sebagai wali pernikahan, yang akan menikahkan Cahaya. Walau mereka bukan saudara kandung tapi Abra merasa ini adalah hal terakhir yang bisa ia berikan untuk Cahaya.
“Mah, kakak memberiku hadiah seperangkat perhiasan.” Cahaya dengan sumringah membuka kotak perhiasan yang Abra beri sebagai kado pernikahan. Di dalamnya terdapat kalung berliontin berlian kecil, gelangg yang dipenuhi mutiara dan permata serta anting mutiara yang sangat elegan dan cantik.
Abra pura-pura acuh. Ia memberikannya karena merasa ini terakhir kalinya ia akan melihat Cahaya. Perhiasan itu paling-paling dihabiskan Surya di meja judi. Dalam hati Abra terkekeh karena puas. Agni yang tidak tahu niat terselubung Abra menatap putranya dengan bangga. Di saat-saat terakhir Abra sedikitnya mempunyai kepedulian untuk Cahaya.
“Ini udah jam berapa. Pengantin laki-laki belum datang.” Ucap salah satu kolega Agni yang juga ada di kamar rias. “pak penghulu udah nunggu. Beliau gak bisa nunggu terlalu lama soalnya ada pengantin lain yang mau dinikahkan juga.”
Wajah Cahaya yang tadinya sumringah kini berganti khawatir. Ia mencoba meraih ponselnya berniat menghubungi pihak Surya namun belum juga memencet. Ada nomer asing yang menghubunginya.
“Iya, benar saya Cahaya.” Semula Cahaya mengerutkan dahi lalu membelalakkan mata. “Kejadiannya di mana pak?”
Tangis Cahaya pecah, ia menutup mulut mengetahui kenyataan yang baru didengarnya. Agni berjalan cepat, menempatkan diri di samping sang putri. Ia mengelus bahu Cahaya, berupaya menenangkan. “Iya Pak. Saya akan batalkan.”
“kenapa Nak?” tanya Agni yang diliputi kekhawatiran.
“Mas Surya mah. Dia gak akan pernah datang ke sini. Dia di tangkap polisi karena kasus pencucian uang dan narkotika,” ungkap Cahaya terbata-bata sambil berlinang air mata. Mengetahui bencana yang datang di hari pernikahan sang putri. Agni juga ikutan terpukul, mereka berdua menangis bersama-sama. Sedang Abra yang berdiri tak jauh mereka mengumpat marah. Bukan marah karena adiknya dipermainkan, marah karena kebodohan Surya. Selama ini ia cukup membantu menyembunyikan kebusukan pria itu sampai ke titik ini. Tinggal selangkah lagi kenapa Surya mesti tertangkap polisi.
“Mah...mamah..”
Abra tersentak dari kekesalannya. Mamahnya pingsan karena tak kuat menerima berita memilukan ini. Pernikahan Cahaya terpaksa dibatalkan karena calon mempelai prianya tersandung kasus.
Setelah pingsan, Agni dibawa ke rumah sakit. Ibu Abra itu mendapat perawatan intensif karena kena serangan jantung. Agni tak kuat mendengar berita kegagalan pernikahan sang putri. Abra sendiri Cuma bisa mengusap wajah menunggu ibunya siuman. Walau dalam hati menyadari kalau itu salahnya namun kenyataannya ia tetap melemparkan kesalahan ke Cahaya.
“Ini semua gara-gara kamu!” ujarnya dengan nada keras penuh dendam dan kebencian. “Mamah sakit gara-gara kamu yang gak becus memilih suami!” Padahal Abra turut andil dalam kasus Cahaya.
Cahaya menangis, tak tahukah sang kakak apa yang ia tengah sedihkan. Calon suaminya ditangkap polisi, ibunya masuk rumah sakit, pernikahannya terpaksa dibatalkan padahal undangan sudah tersebar, namanya tercemar sedang sang kakak tak mempunyai empati kepadanya.
“Pernikahanku batal bukan karena keinginanku. Ini musibah, mana ku tahu kalau Kak Surya terlibat masalah hukum.”
“terus yang kamu tahu apa?” Abra melotot sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah Cahaya yang tengah duduk. “Yang kamu tahu Cuma ngerepotin mamah, jadi anak manja mamah, apa-apa mamah! Kamu sadar gak dia yang terbaring di sana. Mamah aku, orang tuaku satu-satunya!”
Cahaya semakin terisak, ia merasa bersalah. Abra menunjukkan taringnya kembali yang siap sedia mencabiknya.
“Dokter Agni sudah sadar,” ujar seorang dokter spesialis jantung ketika ke luar ruang rawat inap.
“Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Beliau masih lemah jadi jangan banyak diajak bicara dulu.”
Abra hendak memperingatkan Cahaya supaya tak masuk ruangan namun terlambat, adik sialannya itu bergerak cepat menghampiri sang bunda di tempat tidur.
“Mamah?”
“Cahaya.” Benar saja agni langsung memeluk Cahaya padahal keadaannya masih lemah.
“Maafin Cahaya mah,”
“Gak ada yang perlu dimaafkan. Ini salah Surya. Harusnya...kamu bersyukur.” Agni agak sulit berucap karena dadanya sesak dan nyeri. “Kamu...gak..dapat...pen...ja...hat.”
Cahaya mengangguk, lalu Abra datang dengan raut marah. Tapi tak mungkin juga mengeluarkan umpatan ketika bersama ibunya. “Soal Surya biar Abra yang urus.”
“gak perlu...” Agni berusaha bangu walau memerlukan uluran tangan dari snag putri. “Biar dia di pen...ja..ra.”
“Tapi Mah semua bisa dibicarakan. Pesta resepsi di adakan minggu depan, semua tidak usah dibatalkan.”
Agni meremas tangan Cahaya walau lemas namun ia masih bisa berpikir logis. “Gak perlu!” teriaknya sebisa mungkin. “Keluarga kita lebih baik malu.”
“Mah mungkin aja penangkapan Surya Cuma salah paham. Semua belum terbukti kebenarannya.” Abra masih ngotot padahal sang mamah sudah melotot. Agni menggeleng lemah karena sudah tak kuat berdebat.
“ apa mamah punya solusinya selain tetap menikahkan Cahaya?”
AAgni terdiam lalu memilih kembali berbaring. Kepalanya miring, tak mau menatap Abra. Ia lebih baik mendapatkan malu dari pada melihat sang putri hidup nelangsa.
“Undangan sudah disebar kalau mamah lupa. Kita bisa mengirim undangan pembatalan tapi itu butuh waktu atau bisa kita hubungi tamu satu-satu sambil minta maaf. “ Air mata Agni menetes. Andai suaminya masih hidup pasti Bara bisa memberikan solusi terbaik.
Cahaya yang jadi bahan omongan Cuma bisa menunduk sembari mengelus tangan sang mamah. Ia rela menikah dengan penjahat sekalipun kalau itu bisa meringankan beban Agni.
“Lagi pula aku yakin kalau Surya gak bersalah. Mungkin dia dijebak atau koleganya ternyata bermasalah dan Surya terseret. “ Abra masih juga bebal dan Agni sekarang sudah tahu harus mengambil pilihan yang bagaimana. Ini akibat dari Abra yang mendesaknya terus.
“Kalau kamu takut malu, takut Nama keluarga kita tercoreng. Kenapa tidak kamu saja yang menikahi Cahaya. “
“Mah... “keduanya protes secara bersamaan.
“Aku nikahi Cahaya? Kami saudara Mah. Itu sama saja membuat keluarga kita tetap saja malu malah akan menciptakan skandal. “
“Kalian Cuma saudara angkat semua orang tahu, kamu suka berkata kalian bukan saudara. Kamu selalu menekankan ke semua orang kalau Cahaya Cuma anak angkat. Semua orang tahu kalau kalian menikah, itu tidak bertentangan dengan agama. Yang membuat malu yang bagian mana. Bahkan di hotel juga jarang yang tahu kalau Cahaya adik kamu. Kamu tidak pernah memperkenalkan dia secara resmi bahkan kamu menempatkan dia jauh dari kamu. Dia kamu beri jabatan rendah. “
Abra benar-benar marah. Ide ini ide gila. Ia tidak akan pernah mau berbagi kehidupan dengan anak yang tak tahu asal usulnya dari mana dan ini Cahaya anak yang merebut segalanya darinya. “Aku gak akan pernah mau melakukannya! “
“Cahaya juga. Ini gak masuk akal. Biar aja nama baik Cahaya tercoreng. Cahaya gak masalah jika akan dikenang sebagai seorang gadis yang batal menikah. Biar aku tanggung aib ini sendiri. “
Agni memegangi dadanya yang tiba-tiba saja merasakan nyeri. “Ini demi nama baik keluarga. Itu yang kamu katakan Abra. Bisa kan kamu berkorban? “ tatapnya intens pada sang putra. Abra ngotot ingin membuat Cahaya merasa terbebani. Agni yakin kalau belum sadar mungkin Cahaya akan jadi bulan-bulanan sang putra.
Cahaya menggeleng cepat sembari takut-takut menatap ke arah Abra sedang Abra terbelalak sebab ibunya sekarang memutar balikkan perkataannya. “Tapi gak dengan cara ini! “
“Lalu dengan cara apa Abra?”
“Kamu yang selalu ngotot untuk menyingkirkan adik kamu kan? “ dada Agni semakin nyeri tatkala tersadar jika desakan Abra ada hubungannya dengan niat anak itu menyingkirkan Cahaya. “Kamu ingin dia menikah walau dengan penjahat sekali pun. Kamu berkata seolah Surya tak salah padahal polisi jelas-jelas menangkapnya. “
Abra a mengusap wajah. Ia akan menjawab tapi ingat keadaan ibunya yang sangat lemah bahkan dokter sudah berpesan agar tidak mengajaknya banyak bicara. Menyahut semua perkataan sinis ibunya sama saja membuat kesehatan Agni menurun. “Baik. Mamah benar-benar menginginkan Abra menikahi Cahaya demi menutupi pernikahan yang gagal ini. “
Agni seperti bertaruh. Mengiyakan berarti mendorong Cahaya masuk neraka kehidupan, kalau bilang tidak Abra mungkin akan mencarikan Cahaya calon lain tentu calon yang mempunyai sifat seperti Surya atau Pak Hasan. Mana yang Agni akan pilih, setidaknya ia mempertimbangkan kebaikan untuk Cahaya. Agni memiliki kekuatan untuk melawan sang putra namun kesehatannya sekarang yang jadi jaminan. Ia semakin tua sedang Abra semakin berkuasa.
“Abra gak seegois itu. Aku menyayangi mamah, siap melakukan apa pun untuk mamah. Termasuk mengorbankan hidupku. “ Agni duga ucapan Abra ini tak tulus dari hatinya.
“Mamah ingin kamu menikahi Cahaya tapi Apa Cahaya mau menikah dengan kamu? “
Cahaya Cuma diam padahal dua orang ini sedang menatapnya, menanti keputusannya. Seumur hidup ia hanya kenal Abra sebagai Kakak yang membencinya. Mampukah ia hidup seatap dengan pria yang mengatakan dengan jelas bahwa Cahaya hanya anak asing yang tidak diterima masuk dalam kehidupan Abra.
“Kamu mau menikah denganku?” Abra berharap jawaban Cahaya adalah tidak. Jika anak itu melampaui batas dengan mengatakan iya maka Abra akan dengan senang hati menunjukkan penderitaan dan nestapa padanya. Ia akan membuat hidup Cahaya bagai neraka luar dalam sampai gadis ini meminta ampun untuk dilepaskan.
Memang mata Abra terlihat santai seperti menawarkan sebuah barang yang tak ada harganya namun kenapa perasaan Cahaya tidak enak seperti akan menghadapi badai besar. Berbeda dengan mata Agni yang menatapnya penuh harap. Seolah ibunya meminta Cahaya untuk menerima Abra.
“Bagaimana Cahaya? “
“Aku... aku...” Cahaya menggigit bibir. “aku mau menikah dengan Kak Abra kalau itu keinginan mamah dan kalau itu cara satu-satunya untuk menyelamatkan nama baik kita semua. “
Abra memejamkan mata seperti mendapatkan bom atom raksasa dalam hidupnya. Agni tersenyum tulus lalu memegang tangan putrinya erat-erat. Selamanya Cahaya akan tetap bersamanya. Agni akan melindunginya dari Abra sekali pun. Walau ia nanti tiada, Agni yakin keadaan keduanya akan berubah dan memiliki anak adalah salah satu kuncinya.
***********************************************************8
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
