Part 4 : Salah Paham

0
0
Deskripsi

Perjodohan?

Naura menjejakkan kakinya masuk ke dalam sebuah butik di tengah kota. Cukup ramai didatangi oleh pelanggan sore ini. Hawa panas dari luar seketika ternetralisir oleh suhu pendingin ruangan yang menyengat masuk ke dalam pori-pori. Dilihatnya dari pintu masuk, Bunda Caca dan Ibu Nisa tengah sibuk melayani konsumen. Naura terus melangkahkan kakinya menuju pintu yang bertuliskan khusus pegawai. Benar, butik yang ia pijak saat ini adalah usaha bisnis mamanya dan Bunda Caca sejak tujuh tahun yang lalu.

Naura mengambil botol mineral yang disediakan di dalam ruangan itu. Membawanya menuju sebuah meja kayu sedang. Di atasnya terdapat satu set komputer dan sebuah mesin printer, berserta beberapa map tumpukan berkas. Naura menyesap sedikit minuman di tangannya sembari menghidupkan layar komputer.

Naura mengedarkan kepalanya. Ada tiga orang perempuan lain yang menggunakan tempat ini. Mereka semua sibuk berkutat pada laptop untuk membalas pesan-pesan dari konsumen. Bisnis butik ini mengalami peningkatan pembelian saat bergabung pada siklus globalisasi internet untuk memasarkannya pada sebuah marketplace secara online.

Naura menegapkan tubuhnya saat layar komputer itu telah menyala. Fokusnya langsung tertuju pada sebuah nama baground biru muda cerah di layar tersebut. Selama ini Naura tidak begitu memperhatikannya. Dan kali ini dia bahkan membaca sebuah tulisan sederhana secara berulang-ulang. Tulisan di halaman utama itu sama persis dengan nama usaha butik ini. Naqi. Itu adalah nama gabungan dirinya dan juga Rifqi. Dia tahu arti itu karena mamanya pernah memberi tahu.

Naura menarik napas dalam-dalam. Memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mulai kalut. Dia baru menyadari sesuatu. Apakah benar jika mamanya dan juga Bunda Caca memang sudah berencana menjodohkannya dengan Rifqi? Keterlaluan. Naura kesal setengah mati jika tebakannya benar.

Naura mencoba mengalihkan pikirannya. Dia meraih tetikus untuk mulai bekerja membuat laporan keuangan bulan ini sesuai permintaan Mama tadi pagi. Selain itu, Naura juga memiliki peran penting dalam pengembangan usaha mamanya yaitu dalam hal pemasaran dan juga promosi. Dia jadi belajar sedikit-sedikit mengenai copy writer agar dapat menyuguhkan iklan yang menarik perhatian konsumen melalui media sosial.

Satu hal penting yang ia dapat dalam mengikuti seminar kemarin lusa adalah, untuk dapat menarik minat konsumen dalam membeli produk kita, cara pemasarannya tak hanya mempromosikan keunggulan produk itu sendiri, melainkan benefit atau keuntungan apa yang akan didapat oleh konsumen dari produk yang kita jual.

Hampir selama dua jam Naura berkutat dengan komputer berserta kolom-kolom Microsoft Excel. Selama itu juga ruangan itu terasa sangat sepi. Hanya terdengar bunyi ketikan keyboard dan juga mesin pendingin ruangan. Tidak ada satu pun dari manusia yang ada di sana bersuara.

Pintu ruangan terbuka, memunculkan Ibu Nisa yang tersenyum walupun wajahnya terlihat cukup lelah. Ibu Nisa memandang seluruh orang di ruangan itu, semuanya tetap menunduk walaupun tahu akan kedatangannya.

Sol sepatu hak hitamnya menggema saat beliau berjalan mendekat ke meja Naura. Dan saat itulah baru Naura menatap mamanya.

"Nau, kamu tadi tidak langsung pulang?" tanya Ibu Nisa melihat anaknya masih terbalut kemeja yang sama saat berangkat ke kampus tadi pagi.

"Tidak, Ma." Naura merenggangkan otot-otot dengan mengangkat tangannya ke atas. Suara mesin printer terdengar nyaring saat Naura mencetak hasil laporan keuangan.

"Gimana provit bulan ini?"

"Tumbuh sepuluh persen. Meningkat dua persen dari bulan kemarin."

"Alhamdulillah," kata Ibu Nisa dengan senang. "Sudah jam lima. Kamu siap-siap untuk pulang."

Naura mengangguk. Pekerjaannya memang sudah selesai. Gadis itu mematikan layar komputer beserta AC di ruangan ini. Terdengar bunyi grasak-grusuk dari tiga orang perempuan di belakang sana.

"Anita, Sarah, Hayu, berapa customer yang kalian tangani hari ini?" Ibu Nisa bertanya pada ketiga pegawainya.

"Tiga ribu tujuh ratusan, Bu," jawab perempuan yang memakai hijab hitam.

"Saya, dua ribu lima ratusan, Bu," sahut perempuan berambut pendek dengan lipstik merah tebal di bibirnya.

"Kalau saya, empat ribuan, Bu, dan belum terjawab sekitar lima ratusan orang."

Ibu Nisa mengangguk-angguk. "Oke, kalian lanjutkan besok pagi. Sekarang sudah waktunya pulang."

Ketiga perempuan itu tampak lega. Mereka mengibaskan jari-jari tangan di udara. Melemaskan kedua pundak yang pasti terasa berat.

Naura berdiri. Diikuti dengan ketiga wanita itu. Beberapa pegawai sudah meninggalkan butik. Sementara sepuluhan pegawai masih tertahan di sana. Mereka baru bisa pulang saat pukul sepuluh malam. Karena mereka adalah pekerja kemas barang, tugas mereka harus menyalurkan pesanan konsumen kepada ekspedisi pengiriman besok pagi.

Sementara itu, Naura, Ibu Nisa dan Bunda Caca pulang terlebih dahulu. Mereka sudah memiliki asisten kepercayaan yang akan menangani dan mengawasi kinerja para pegawainya. Mereka pulang dengan mobil yang dikendarai oleh Bunda Caca. Di sepanjang jalan, Naura tampak merenung. Gadis itu menggigit jempol tangannya. Berbagai pertanyaan terus menyerang isi kepala. Dia duduk di belakang, menatap kedua wanita tangguh di depan sana sedang bercanda tawa. Dia bingung harus memulai dari mana. Dia takut jika semua pertanyaan di kepala itu benar. Sialan, pernyataan Jeje, Gea dan Rai membuat dia jadi setengah gila seperti ini.

Pukul sepuluh malam. Naura masih saja sibuk melamun dengan ponsel tergenggam erat di tangannya. Dia memang menunggu balasan pesan dari Rifqi. Permasalahan ini harus segera diselesaikan. Karena jika tidak, Naura akan terus terjaga sepanjang malam.

Drttt ... drtt ....

Atensi Naura teralihkan sepenuhnya oleh getaran di ponselnya. Pesan yang dia tunggu-tunggu akhirnya terbalaskan. Rifqi memberitahu jika sudah berada di rumah.

Naura dengan sigap beranjak dari kamar. Sedikit berlarian menuruni anak tangga. Mendapati ruangan rumahnya sudah tampak gelap, Naura akhirnya memelankan langkahnya saat melewati pintu kamar Ibu Nisa yang ia yakini mamanya itu pasti sudah tertidur.

Naura memutar kunci pada kenop pintu dengan sangat hati-hati. Takut-takut jika mamanya terbangun. Kemudian kakinya membawa dia berlari menuju rumah Rifqi. Memelankan langkah saat sebuah mobil hitam legam berhenti di depan pagar rumah itu. Naura dengan sigap membukakan pagar lebar-lebar. Bibir Naura tersenyum dan sedikit menyipitkan mata saat sorot lampu mobil begitu terang membias di wajahnya. Dia dapat melihat Hendra, papanya Rifqi juga tersenyum ke arahnya.

Naura menggeser pagar itu kembali saat mobil tersebut telah masuk dan berhenti di halaman rumah. Bersebalahan dengan mobil hitam legam hak punya Rifqi. Naura berlari untuk memeluk singkat Hendra saat laki-laki itu keluar dari dalam mobil dengan menenteng tas laptop.

"Kok belum tidur?" tanya Hendra di tengah napasnya yang terdengar lelah.

"Mau ketemu Kiki bentar," jawab Naura tersenyum kecil.

Hendra membalas pelukan gadis itu. Tangannya yang besar bahkan mengusap kepala Naura dengan lembut. Keduanya masuk ke dalam rumah secara beriringan. Mereka mendapati Bunda Caca menyembul dari balik pintu. Wanita itu sedikit kaget melihat kedatangan Naura malam-malam di rumahnya.

"Bunda, Kiki sudah pulang, kan?" tanya Naura berbasa-basi walaupun dia sudah tahu jawabannya.

"Sudah, baru saja. Mungkin dia lagi mandi sekarang."

Naura mengangguk. Kemudian berlalu cepat menaiki anak tangga menuju kamar Rifqi. Naura membuka pintu kayu bewarna putih itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Pintu yang tidak pernah dikunci memudahkan dia untuk keluar masuk seenak hati. Walaupun terkadang Rifqi mempermasalahkan hal itu. Akan tetapi Naura selalu tidak peduli. Dan benar saja apa kata Bunda Caca. Si pemilik kamar sedang mandi, terdengar jelas suara guyuran air dari dalam sana.

Naura memilih duduk di tepi ranjang. Kedua kakinya bergelanyut pelan di bawah sana. Matanya mengedar menatap ruang kamar Rifqi yang kelewat rapi oleh kalangan anak laki-laki remaja. Bahkan lebih rapi daripada kamarnya. Fokus mata Naura kini tertuju pada deretan miniatur robot dan juga mobil klasik berjejeran mewah di dalam lemari kaca. Itu adalah mainan Rifqi dari usia sembilan tahun, dan bertahan dengan baik hingga sekarang. Laki-laki itu memang sangat baik menjaga barang-barangnya.

Lalu netra mata Naura tergerak lagi untuk menatap sebuah lemari kaca yang berukuran lebih tinggi dan besar. Bahkan besarnya mengalahi lemari pakaian. Di dalamnya penuh terpadati botol parfum dengan berbagai merek. Ada yang kosong, ada yang sisa setengah, bahkan banyak juga yang masih baru. Sudut bibir Naura terangkat naik kala mendapati beberapa botol kosong yang sangat tidak asing, karena itu adalah kado pemberian darinya selama Rifqi berulang tahun. Tak pernah berubah. Rifqi bahkan menyimpannya. Dimusiumkan dalam kamarnya ini. Sementara Naura justru kebalikannya dari Rifqi. Gadis itu cukup berantakan dan tidak terlalu menjaga pemberian barang dari orang lain. Mainannya dulu pun sudah tidak tahu di mana. Pernah dulu dia diberi hadiah botol parfum oleh Rifqi, tetapi kalau sudah habis botolnya ya dibuang. Di pikiran Naura, untuk apa juga menyimpan botol kosong seperti si Rifqi sekarang.

Naura menolehkan kepala saat mendengar bunyi pintu toilet dibuka, memunculkan sosok yang ia tunggu-tunggu dari tadi. Laki-laki itu sudah terbalut dengan celana pendek selutut dan juga kaus tipis abu-abu. Rambutnya masih sangat basah dengan handuk hijau muda mengalung di leher dan bahunya. Rifqi melirik sekilas pada Naura yang tengah memberikan sorot tajam. Masih ingat jelas bagaimana gadis itu tadi pagi marah-marah kesetanan.

Rifqi tidak peduli, kakinya justru beranjak menuju meja rias putih yang terpenuhi botol parfum dan juga vitamin untuk wajah. Rifqi meraih botol madu, mengeluarkan isinya pada sebuah mangkuk plastik kecil, lalu memoles tipis ke permukaan bibir menggunakan sendok mungil, katanya sih untuk menjaga pigmen bibirnya agar tetap cerah dan merah sekaligus melembabkan. Selanjutnya, laki-laki itu memakai krim malam bewarna putih bening, lantas mengoleskan ke seluruh permukaan wajahnya. See, tidak heran jika wajah anak itu mulus, bening, halus seperti pantat bayi baru lahir dan hampir tidak pernah dihinggapi jerawat, karena Rifqi memang sangat menjaga dan merawat kesehatan kulit wajahnya. Baik itu dari dalam maupun dari luar. Naura saja kalah.

"Ki, gue mau ngomong sesuatu!" Naura kini berdiri di belakang tubuh Rifqi dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. Bibir bawahnya mengerucut kecil menatap pantulan wajah Rifqi di dalam kaca itu.

"Ngomong aja sih. Lo ngapain malam-malam ke rumah gua kalau gak mau ngomong." Rifqi menepuk-nepuk pelan kulit wajahnya. Mendengar dengan jelas dengusan sebal di belakang sana.

"Ki, gue serius!" Semakin kesal nada bicara Naura.

"Gua juga lagi serius. Lo gak lihat?"

Naura berdecak. Menahan diri untuk tidak menonjok belakang kepala Rifqi. Gadis itu membuang napas kasar.

"Ki, lo suka sama gue?" tanya Naura tanpa mau basa-basi terlalu lama.

"Hah?!" Rifqi otomatis kaget mendengar itu sampai matanya melebar. Kedua tangannya bahkan tertahan di udara sebelum menyentuh pipi.

"Lo suka sama gue?" Naura mengulang kalimatnya dengan sangat tidak sabar.

"Lo gila ya?" Laki-laki itu akhirnya menoleh. Menampakkan kernyitan di dahinya dengan bibir yang sedikit terbuka.

"Jangan pura-pura bego! Lo suka kan sama gue?! Deru napas Naura bekerja lebih cepat. Membuat cuping hidung gadis itu membesar.

"Lo kenapa sih tanya gitu? Sumpah lo aneh tahu gak!" Rifqi melanjutkan aktivitasnya. Meninggalkan lipatan kecil yang masih berada di dahinya.

"Tinggal jawab iya atau enggak!" Naura menyentak. Intonasi suaranya pun seperti orang kesetanan.

"Gak lah! Gila ya lo?" Rifqi balas menyentak. Kesal sendiri karena Naura membentak-bentak dirinya.

"Jangan pura-pura, Ki. Gue tahu kok kalau lo suka sama gue lebih dari sahabat! Bener kan? Lo cinta kan sama gue? Lo sayang kan sama gue? Lo selama ini nyembunyiin perasaan lo supaya persahabatan kita gak retak, kan? Lo--"

"Nau!!!" Rifqi akhirnya membentak keras sampai rahangnya mengeras. Sepasang mata anak itu melotot kesal. Dadanya mulai naik turun. Sementara Naura balas melotot. Dia mendongak menantang menatap sahabatnya yang memang jauh lebih tinggi darinya.

"Lo hilang akal sampai nanya-nanya pertanyaan paling tolol itu ke gue?" Rifqi mengepalkan kedua tangannya. Dadanya seperti ditindih batu besar. Masih mencoba mencerna semua pertanyaan dari Naura.

"Ki." Kini Naura memelankan intonasi suaranya. Pancaran matanya masih menajam menyorot penuh netra mata hitam itu.

"Lo jujur ke gue sekarang. Apa lo punya perasaan lebih dari sahabat ke gue? Apa lo suka sama gue di luar batas?"

Seluruh sisi permukaan gigi Rifqi menggertak. Dia mengerjap. Kepalanya terasa panas. Kebingungan masih tampak di kedua matanya. Anak itu lelah. Baru saja mendapat tugas praktikum yang begitu ruwet dan meremas otak, bisa-bisanya dia pulang justru mendapat pertanyaan penuh caci maki seperti ini.

"Apa-apaan sih maksud lo nanya-nanya gini? Sumpah lo aneh banget, Nau."

Naura menghela napas kasar. Dia mengusap wajahnya. Oke, sepertinya memang Rifqi terkejut mendapat pertanyaan sedikit di luar nalar. Entah kenapa emosinya meledak-ledak. Karena memang sejujurnya dia masih kesal dengan Rifqi masalah tanda kemerahan di leher itu yang sekarang seolah sengaja ditutup dengan handuk.

Naura melemaskan bahunya. Dia maju satu langkah mendekat. Menarik napas dalam-dalam sebelum berkata panjang tanpa mengalihkan tatap dari netra mata sahabatnya.

"Ki, jujur sama gue apa lo punya perasaan lebih dari sahabat? Kita udah bareng terus selama dua puluh tahun lebih, Ki. Banyak orang bilang gak ada persahabatan pure antara cewek sama cowok. Pasti ada salah satu di antara kita yang menyimpan perasaan lebih dari sahabat. Terus gak berani bilang karena takut persahabatan retak dan akhirnya asing. Gue gak mau, Ki. Gue gak mau kayak gitu. Gue gak mau lo sakit. Gue gak mau suatu hari nanti, saat gue udah punya pasangan, kemudian lo tiba-tiba bilang kalau selama ini lo nyimpen perasaan lebih dari sahabat. Itu gak asik banget. Lebih baik gue pergi daripada harus denger kalimat tai kucing itu dari mulut lo."

Naura merasakan tenggorokannya tercekat. Wajah dan telapak tangannya dingin. Suara gadis itu bahkan terdengar sedikit serak. Membuat sepasang lutut Rifqi melemas. Laki-laki itu menghela napas panjang. Menatap lantai di bawah sana. Kemudian, netra hitam miliknya menatap lurus-lurus manik mata Naura.

"Selama ini gua anggap lo itu adik kembar gua, Nau. Kita lahir di hari yang sama. Cuma beda dua jam. Gak ada perasaan lebih dari sahabat di hati gua. Gua gak pernah minta adik ke Bunda sama Papa, karena gua udah punya lo."

"Lo jujur kan, Ki?" Suara Naura semakin melemah seperti seekor anak burung yang baru saja menetas.

"Lo tahu kalau sekarang gue gak bohong, kan?"

Naura menatap sepasang mata Rifqi yang tidak sekalipun bergerak memutuskan tatapan dari dirinya. Wajah Rifqi terlihat sangat tenang. Naura menelisik setiap guratan dan mencari-cari keganjalan dari tatapan Rifqi tapi tidak ada jawaban yang mengusik pikirannya.

"Gue cuma takut, Ki." Bibir gadis itu bergetar. Naura akhirnya menunduk. Membuat rambut cokelat gelap sepunggungnya menjuntai begitu saja.

"Gue takut. Gue juga sering baca dan denger cerita kalau persahabatan antar lawan jenis itu gak ada yang benar-benar sahabat. Kalaupun ada, itu cuma beberapa persen."

"Kalau gitu kita termasuk ke dalam yang beberapa persen itu." Rifqi menimpali cepat. Membuat kepala Naura kembali menatap dirinya.

"Jangan-jangan, lo kali yang suka sama gue." Sepasang mata Rifqi jadi memicing curiga. "Apa lo selama ini sengaja gak pacaran buat jaga perasaan gue?" sarkas Rifqi dengan mendekatkan wajahnya.

"Idih, amit-amit!" Naura kontan mendorong bahu Rifqi untuk menjauh. Sementara Rifqi justru tertawa renyah.

"Halah, ngaku aja."

"Najis!" Naura bergidik ngeri sambil melotot. Namun tidak lama raut wajahnya berubah sedih lagi.

Naura menghela napas kasar, lalu meraup wajahnya lagi. "Serius ya, Ki. Jangan sampai lo suka sama gue lebih dari sahabat. Janji!" Naura mengarahkan jari kelingkingnya.

Rifqi menatap jari itu sekilas lantas menjawab malas, "gue gak bisa janji. Perasaan kan gak bisa diatur, Nau. Gimana kalau tiba-tiba gue beneran suka sama lo lebih dari sahabat ataupun adik?"

"KIKI JANGAN BUAT GUE TAKUT!" Naura menjerit bahkan hampir menangis. Sementara sahabatnya itu justru tertawa keras. Seperti puas menggoda gadis itu. Menyebalkan.

"Iya-iya. Pamali tahu lagian suka sama saudara sendiri." Rifqi menyatukan kelingkingnya pada jari Naura. Membuat sudut bibir Naura langsung terangkat senang.

"Serius ini, Ki. Kalau lo ada sebersit suka sama gue, cepet bilang ke gue. Biar gue rukiah lo sama kembang tujuh rupa!" Naura menarik jarinya. Memberikan tatapan yang sangat serius di wajahnya.

"Dih, serius amat. Lo kali yang nanti bakalan suka sama gue. Secara gue kan gantengnya MasyaAllah, subhanallah."

"Najis!" Naura menonjok pelan bahu Rifqi. "Kalau gitu, ikut gue buat nemuin Bunda sama Papa." Naura menggenggam lengan Rifqi tanpa sungkan.

"Buat apa?" bingung laki-laki itu.

"Ya buat lurusin kalau kita gak bakal jadi suami istri."

"Hah?!" Melotot kedua mata Rifqi.

Naura berdecak kesal sekali sampai menghentakkan satu kakinya. "Lo sadar gak sih, kalau selama ini orangtua kita itu sudah atur perjodohan kita dari bayi?" tegas Naura berapi-api.

"Jangan ngawur. Tahu dari mana lo?" Semakin melotot bola mata Rifqi.

"Dari nama Butik, Naqi. Naura-Rifqi. Mereka juga pernah bilang kan, kalau bisa suatu hari nanti kita yang terusin bisnis itu?"

Rifqi menaikkan satu alis tebalnya. Sedikit kaget dasar alasan Naura bisa menyimpulkan dirinya akan dijodohkan hanya karena nama butik yang memakai namanya dan juga Naura. Tapi, mungkin ada benarnya juga. Secara pemikiran orangtuanya memang selalu rumit ditebak.

Naura yang melihat Rifqi terbengong langsung menarik tangan anak itu di belakang tubuhnya. Rifqi menurut saja saat tubuhnya digeret turun ke lantai bawah. Dia menarik handuk yang melingkar di lehernya kemudian membuang asal ke atas lantai. Kedua anak itu berderap turun menuju meja makan tempat di mana Bunda Caca terlihat menemani suaminya makan malam.

"Papa, Bunda." Naura menyapa kedua orang itu. Kemudian melepaskan genggaman tangannya. Menarik Rifqi untuk berdiri di sampingnya. Membuat pasutri di meja serempak menoleh.

"Ada apa, Nau?" Hendra bertanya ramah. Dia menepikan piring yang sudah kosong dan sedikit kotor ke sisi kanan.

"Papa sama Bunda gak ada niatan buat jodohin kita berdua kan?"

Seperti tebakan Naura, sepasang pasutri itu terkejut dengan pertanyaannya. Mereka kompak membulatkan mata. Sementara Naura menatap keduanya bergantian dengan penuh kecurigaan.

"Maksud kamu apa, Sayang? Kenapa bisa berpikir Papa mau jodohin kalian?" Hendra mencoba tenang. Dia dapat melihat raut kesal di wajah gadis itu.

Naura memejamkan mata untuk menarik napas panjang sebelum menjawab.

"Karena Nau sudah Papa anggap anak sendiri. Besar kemungkinan Papa mau Nau jadi menantu di rumah ini kan? Terus Bunda juga kasih nama butik gabungan nama Nau dan Rifqi. Sebelum itu benar-benar terjadi, kami di sini mau mempertegas penolakan perjodohan itu."

Bibir Bunda Caca melongo sesaat sebelum tertawa di balik punggung tangannya. "Kok bisa kamu berpikir terlalu jauh seperti itu?" Bunda Caca melipat tangannya dibatas meja. "Kita loh pakai nama kalian berdua itu sebagai bentuk rasa syukur. Karena kehadiran kalian itu adalah hadiah terbesar dari Tuhan. Bukan berarti buat jodohin kalian." Bunda Caca menggeleng-gelengkan kepala.

Kini Naura yang dibuat bengong. Sepertinya tebakannya yang satu ini tidak benar.

"Kalian ini." Hendra tertawa pelan seraya melemaskan dua pundaknya. Menyesap sedikit minuman jahe hangat untuk memberikan penghangat ke dalam tenggorokan. Kepalanya mendongak dengan menyatukan kedua tangan untuk menopang dagu. Ditatapnya dua anak yang sangat ia sayangi itu secara bergantian. Seulas senyum terbit di bibir laki-laki itu. Sorotannya meredup. Dua bayi yang pernah ia gendong dalam dekap, ternyata kini sudah tumbuh besar dan dewasa.

"Kalian itu sudah kenal dari lahir. Sudah tahu sifat asli dan kepribadian masing-masing. Bukannya bagus kalau kalian menua bersama sebagai suami-istri," kata Hendra sengaja menggoda.

"GAK!" Kedua anak itu menjawab cepat dengan nada ekstra tinggi. Sangat terlihat emosi yang membuat perut Bunda Caca semakin tergelitik.

"Justru sudah tahu sifat dan kepribadian itu yang buat Nau menolak mentah-mentah!" jawab Naura dengan mengepalkan kedua tangannya.

"Loh, emang kenapa sama Rifqi? Dia baik kan sama kamu?" tanya Bunda Caca membulatkan matanya. Ini saatnya dia mendengar unek-unek dari kedua anak itu.

"Baik sih baik, Bun." Naura melirik sinis ke arah Rifqi. Yang dibalas lirikan jengah oleh laki-laki itu. "Tapi Kiki itu cengeng! Gak bisa diandelin! Masa dulu Nau yang justru berantem lawan kakak kelas yang resek, sementara dia sembunyi di balik punggung, Nau!"

"Rifqi juga gak mau sama Nau!" Rifki menyentak cepat. Rahangnya mengeras dengan wajah yang menggelam. Tak membiarkan Naura membongkar semua aibnya. "Nau itu kasar. Suka bentak-bentak. Suka main tangan. Cewek barbar. Berantakan. Bukannya hidup bahagia, yang ada malah darah tinggi!"

"Resek lo!" Naura meninju lengan Rifqi penuh tenaga. Jelas saja Rifqi mengaduh kesakitan dengan memegang lengannya yang nyut-nyutan.

"Tuh kan dia kasar, Bun. Bunda sama Papa mau lihat Rifqi mati mengenaskan dianiaya istri sendiri kalau benar-benar kita menikah?"

Naura mendengus. Kedua pipinya mengembang seperti balon. Dia menatap Rifqi yang kini meringis kesakitan. Dada Naura tergelitik. Selalu ada rasa bersalah saat dia melukai Rifqi. Sebenarnya yang cewek di sini siapa sih!

Hendra menghela napas. Menatap kedua remaja di hadapannya secara bergantian. Sudut bibir pria itu semakin terangkat dan berkata pelan. "Sudah malam. Sebaiknya kalian istirahat. Besok masih ada kelas kan?"

Naura memberengut. Membuat kedua pipinya semakin mengembang seperti balon siap meletus.

"Tapi Papa gak akan lagi jodohin kita berdua, kan? Papa sudah lihat kan kalau kita bersama enggak akan ada harmonis-harmonisnya! Ya, Bun?" Naura menatap Bunda Caca yang mengembangkan senyumannya. Kemudian wanita itu mengangguk.

"Iya-iya. Tapi kalau suatu saat kalian berubah pikiran, Papa dengan senang hati menerima kamu sebagi menantu Papa kok, Nau," kata Hendra masih saja menggoda mereka.

"Gak akan pernah!" Lagi-lagi Naura dan Rifqi menjawab serempak. Membuat Bunda dan Papa tertawa lagi.

Naura melemaskan kedua bahunya. Menatap lagi ke arah Rifqi yang sudah tidak mengeluhkan sakit.

"Kalau gitu Nau pulang dulu. Terima kasih Bunda sama Papa sudah ngertiin kita."

Mereka mengangguk. Kemudian mengantar Naura sampai jalanan depan rumah. Menatap punggung Naura hingga gadis itu benar-benar sudah masuk ke dalam rumah. Sementara Rifqi naik kembali ke dalam kamarnya untuk tidur.

Hendra merangkul istrinya. Tersenyum lebar saat Naura menoleh dan melambaikan tangan sebelum masuk.

"Mereka lucu ya, Pa," kata Bunda Caca tersenyum geli.

"Iya. Anak-anak kita sudah besar."

"Padahal loh Bunda gak pernah ada niatan buat jodohin mereka berdua. Tapi, ide mereka sepertinya menarik ya, Pa."

Hendra tertawa. Mencium singkat puncak kepala istrinya. "Mama ini bisa saja. Yasudah ayo masuk." Hendra membawa istrinya ke dalam rumah. Mematikan beberapa lampu di beberapa ruangan sebelum mereka beranjak untuk tidur.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Par 5 : Pain
0
0
Untuk apa bertahan hidup
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan