
Di balik wajah polos itu …
Pagi ini, Naura sudah disibukkan dengan hair dryer untuk mempercepat pengeringan rambutnya yang basah seusai keramas. Kepalanya terus melongok pada layar ponsel yang dia temukan kemarin. Ponsel itu terus menyala karena banyaknya notifikasi bermunculan. Naura juga sengaja tidak mengangkat panggilan dari orang-orang yang mencoba menghubungi ponsel itu. Karena bagi Naura, perbuatan seperti itu dianggap kurang sopan dan lancang. Lagi pula, dia sudah memberitahukan pengembalian ponsel itu hari ini.
Naura mematikan mesin pengering rambut. Beralih untuk menyisir rambutnya. Dia memejamkan mata. Terbuai akan aroma wangi strawberry di kepala. Sebelah tangannya kini meraih ponsel miliknya sendiri di atas meja rias, lalu menghela napas pendek. Ada banyak pesan beruntun di salah satu media sosialnya.
Niko_Adiputra. Nama akun yang menjadi biang kerok ponselnya terus bergetar. Naura membaca pesan-pesan dari orang itu sekilas. Dia ingat, orang itu adalah salah satu pria yang menemuinya di kafe kemarin. Naura meletakkan kembali ponselnya dengan malas. Niko hanya menerornya. Seakan takut jika ponsel temannya ia curi dan hilang.
Naura menatap kembali pantulan dirinya di cermin. Berdiri, lantas merapikan posisi bajunya yang sedikit terlipat. Naura meraih tasnya. Memasukkan segala keperluannya, dan siap untuk berangkat ke kampus.
Langkah Naura melambat di pertengahan anak tangga. Dahinya membentuk lipatan kecil saat indra penciumannya menangkap wewangian yang cukup pekat dan sangat tidak asing lagi di hidungnya.
Naura menghela napas kesal. Ditatapnya punggung tegap seseorang dengan jas putih yang selalu diagung-agungkan, tengah menikmati sarapan yang mungkin telah disiapkan Mamanya. Rifqi, siapa lagi.
"Ngapain lo di sini?" Naura mencibir. Meletakkan tasnya dengan kasar ke atas meja makan.
"Makan," jawab Rifqi dengan nyengir kuda.
Bola mata Naura terangkat ke atas. Dia beranjak untuk mengambil mangkuk berukuran kecil, menuang sereal dan juga susu. Tak lupa dengan sendoknya. Membawa makanan itu ke meja makan. Menempatkan diri duduk di sebrang Rifqi. Gadis itu mulai memakan sarapannya dengan pelan. Dia sama sekali tidak menatap Rifqi yang kini justru menatapnya dalam.
"Paket data lo habis apa gimana? Sok jual mahal banget gak balas pesan dan angkat telfon gua," kata Rifqi kemudian berdiri untuk mencuci mangkuknya.
"Menurut lo?" Naura membeo. Menyentakkan sendok ke pinggir mangkuk, membuat suara nyaring masuk memekak telinga.
Rifqi tersenyum. Mengelap tangannya dengan tisu. Anak itu bersidekap. Menatap cara makan Naura yang cukup mengerikan. Bagaimana tidak? Mungkin hanya satu dua kali kunyahan, makanan itu langsung Naura telan bulat-bulat. "Lo yang ngambek ke Adel, kok gua juga kena imbas?"
Naura mengedikkan bahunya acuh. Menyuap makanannya yang terakhir, lalu memberikan mangkuk kotornya pada Rifqi.
Rifqi menatapnya malas. Namun tak hurung menerima mangkuk itu dan mencucinya. Naura mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lebih jam kelas pertamanya.
"Nau, gua nanti ada praktek sampai malem. Lo pulang bareng Gea aja ya," kata Rifqi dengan mengelap kembali tangannya.
Kepala Naura mengangguk pelan. Selain menjadi sahabat karibnya, Rifqi juga berjasa sebagai pawang ojek untuknya. Naura bukan tidak bisa mengendarai motor atau mobil, dia hanya trauma setelah kejadian kecelakaan tiga tahun yang lalu. Cukup parah, sampai-sampai dia dirawat satu setengah bulan lamanya. Dan hal itu membuat Naura tak berani lagi turun sendiri ke jalan raya sampai sekarang.
Gea sendiri adalah teman baik Naura dan juga Rifqi saat SMA. Gea dan Naura sama-sama mendaftar di universitas, jurusan dan prodi yang sama. Bahkan, mereka kembali dipertemukan dalam satu kelas.
"Yaudah, yok! Gua harus ngumpulin laporan jam delapan."
Kepala Naura mengangguk lagi. Meraih tasnya, dan beranjak dari sana. Terlihat Ibu Nisa sibuk menyiram tanaman anggrek kesukaannya di teras rumah. Seperti biasa, Naura akan mencium punggung tangan dan kedua pipi mamanya sebelum berangkat. Disusul dengan Rifqi yang hanya mencium punggung tangan Ibu Nisa dengan sopan.
"Nau berangkat ya, Ma ...." pamit Naura kemudian memakai sepatunya.
"Iya. Oh, Nau, jangan lupa kirim segera laporan keuangan toko. Satu Minggu lagi stok dateng," ujar Ibu Nisa lalu kembali menyirami tanaman cantik itu dengan satu tangan memegang tulang pinggang. Seperti sudah gaya khas ibu-ibu apalagi kalau tengah memasak.
"Okey." Naura melangkah masuk ke dalam mobil Rifqi. Menurunkan jendela pintu setengah, kemudian menyandarkan punggungnya pada kepala kursi saat Rifqi mulai menjalankan mobil.
"Oh iya, Ki, gue kemarin nemu ponsel. Kayaknya punya salah satu mahasiswa jurusan lo, deh," ujar Naura akhirnya membuka suara cukup panjang setelah lama diam-diaman.
"Kok lo tahu?" sahut Rifqi tanpa menolehkan kepalanya.
"Soalnya ada stiker kedokteran di belakangnya!" Naura mendesis sebal mengatakan itu. "Emang semua mahasiswa kedokteran taruh stiker di sana ya? Biar apa sih? Pamer? Segala casing dipasang bening, biar sengaja kelihatan gitu?" Naura mencibir. Membuat bibir Rifqi langsung tertarik ke atas mendengar intonasi suara Naura yang memang menyindir.
"Biar sih! Lo iri banget jadi orang!" timpal Rifqi sembari membelokkan mobilnya di gerbang kampus utama.
Naura mendesis kembali. Merapikan sedikit rambutnya dengan jemari tangan.
"Siniin dah HP-nya, biar nanti yang punya gak repot-repot ke mari," kata Rifqi sembari memberhentikan mobil di pinggir jalan seberang fakultas ekonomi.
"Gak perlu, malah ribet nanti. Lo kan habis ini juga sibuk. Biar mereka aja yang nyamperin gue," tolak Naura tidak mau ambil risiko. Ponselnya terus berbunyi saja sudah membuat dia bete.
Rifqi mencebikkan bibir ke bawah, kepalanya manggut-manggut mengerti.
"Yaudah, Ki, gue duluan ya ...." Pamit Naura menoleh. Namun, seketika itu atensi Naura terjatuh pada kulit leher Rifqi yang terselingkap dari balik jasnya. Sepasang mata Naura bahkan menyipit untuk melihat bercak merah segar yang mebuat otaknya langsung bekerja cepat.
"Heh! Lo habis ngapain aja sama Adel?! Gila ya lo? Lo habis berhubungan badan?!" terka Naura tanpa basa-basi. Suaranya bahkan meninggi beberapa oktaf. Sepasang mata gadis itu melebar dengan sempurna. Karena bekas merah seperti itu jelas bukan dari gigitan hewan atau nyamuk. Dan Naura tidak sepolos itu.
Dilihatnya Rifqi terlonjak kaget dengan tuduhannya. Anak itu langsung kelabakan di tempatnya. Dia dengan cepat membenarkan posisi jasnya untuk menutupi bercak yang dimaksud. Membuat kecurigaan Naura terjawab sudah.
Rifqi mencoba tenang. Anak itu menarik napas panjang. Terdiam beberapa saat untuk menetralkan napas.
"Cuma main-main," jawab Rifqi tampak enteng tapi tidak menatap Naura.
"Main-main gimana?! Gila lo, Ki?!" Nada bicara Naura semakin meninggi. Kedua matanya pun kian melotot. Jantung Naura bahkan seperti berhenti berdetak. Dia benar-benar syok dan tidak menyangka pada Rifqi yang justru tampak biasa-biasa saja. Raut wajahnya sekarang tegang pun tidak.
"Dari tadi lo ngatain gua gila mulu! Kalau gila, mana bisa gua masuk kedokteran!" Rifqi mengangkat kedua alisnya dan tersenyum pongah. Kali ini dia menatap gadis itu.
"Lu bener-bener!" Kepala Naura memanas. Dia menggigit jempol tangannya. Dadanya bergemuruh bukan main.
"Kalau Bunda Caca tahu, kelar hidup lo, Ki!" Naura tak habis pikir dengan sahabatnya itu. Dia bahkan tidak percaya Rifqi bisa berpacaran sampai sejauh ini.
"Demi Tuhan, Ki! Lo gak waras!" Sepasang mata Naura memanas. Jantungnya berdetak lemah. "Kalau Adel hamil gimana? Lo siap tanggung jawab?! Lo siap nikah muda?!"
Rifqi mengangkat kedua bahu acuh. Mengubah posisinya untuk bisa menatap Naura dengan lebih leluasa. Wajahnya terlampau datar sampai Naura bingung harus berbuat apa.
"Gini ya, Nau. Sebangsat-bangsatnya gua, sampai saat ini gua kagak pernah ambil keperawanan anak orang!"
"Terus?!" sentak Naura semakin meninggi.
Rifqi mengusap dagunya yang bebas dari jenggot. Lebih memilih untuk menyandarkan kepalanya pada kursi. "Cuma incip-incip aja, sih ...."
"Tolol!" Naura memukul kepala Rifqi dengan tasnya. Dia tidak peduli lagi jika Rifqi kesakitan atau apapun itu.
"Sejak kapan lo bisa nafsuan gini, sih?! Sumpah!" Naura menahan kedua tangannya yang siap menghajar wajah Rifqi. Tulang rahangnya mengeras. Sisi-sisi gigi Naura saling bertindihan.
"Kecewa gue sama lo, Ki!" Naura membuang mukanya. Membuat Rifqi langsung terdiam di tempatnya. Tangannya terangkat pelan untuk mengusap leher kirinya. Terdengar Rifqi menghela napas panjang.
Jeda di antara mereka dan hanya meninggalkan keheningan.
"Sudah berapa cewek yang lo mainin? Dan sejak kapan lo bisa jadi gini?" Naura bertanya tanpa menoleh. Suaranya berubah serak. Meskipun dia sudah bersahabat lama dengan Rifqi, nyatanya, Naura masih tidak mengenal Rifqi dengan baik. Dan itu membuat kekecewaan yang mendalam dalam dirinya.
Ada jeda kembali beberapa saat sebelum sebuah jawaban menggetarkan emosi Naura.
"Emm ... Sejak SMP," jawab Rifqi hampir tidak terdengar.
"SEJAK SMP?!" Melotot kedua mata Naura. Anak itu menatap Rifqi dengan emosi yang siap meledak.
"Berengsek lo, Ki!" Napas Naura semakin memburu. Dadanya terlihat naik-turun. Dia benar-benar kecewa dengan pengakuan Rifqi.
"Gua gak berengsek, Nau!" Rifqi menyanggah cepat. Dia bahkan menggenggam erat setir mobil hingga otot-otot tangannya tampak menyembul keluar.
"Gak berengsek maksud lo?!" Semakin meledak emosi Naura.
"Semua cewek yang pernah gua cicipi, dari awal mereka emang udah rusak!" jawab Rifqi sedikit membentak. Emosinya ikut tersulut melihat Naura yang meledak-ledak.
"Gua juga pilih-pilih, Nau! Gua gak bakal rusak cewek kalau emang dia gak mulai duluan! Gua cuma ngikutin permaianan mereka yang emang dasarnya suka dipakai banyak cowok! Tapi yang perlu lo ingat, sampai saat ini, gua gak pernah perkosa cewek mana pun!"
Naura mengeraskan rahang sampai otot pipinya terasa sangat kaku. Dia menatap Rifqi penuh kekecewaan. Naura menggenggam tasnya erat. Kemudian bersuara lagi dengan penuh penekanan di setiap kata, "jadi, selama ini lo pacarin banyak cewek cuma buat seneng-seneng doang? Lo sadar gak sih, lo sendiri termasuk ke dalam deretan cowok yang udah rusak!"
Rifqi memilin bibirnya yang kering, kemudian menjawab pelan, "seenggaknya gua gak seberengsek mereka."
Naura berdecak. Membuka pintu mobil dengan kasar dan keluar. "Terserah lo, Ki. Gua kecewa sama lo!" Naura membanting pintu mobil Rifqi dengan sangat keras. Kemudian pergi dari sana.
Tatapan mata Rifqi meredup. Anak itu menghela napasnya. Ini yang dia takutkan selama bertahun-tahun. Rifqi tak punya pilihan. Naura tidak akan pernah tahu seberapa menderitanya dia selama ini. Kedua bahunya tampak melemas. Rifqi meraup wajahnya kasar sebelum kembali menjalankan mobil dan pergi menuju gedung fakultasnya.
Naura menghela napas. Masih tidak percaya orang seperti Rifqi yang kekanak-kanakan di matanya itu bisa berbuat sejauh ini. Selama ini Naura selalu berpikir kalau Rifqi anak baik-baik ternyata kesalahan besar. Wajah bocah polos itu menyembunyikan kedok berbahaya di balik topengnya. Langkah kasar Naura tertahan di teras gedung D12 saat melihat Gea tengah uring-uringan di depan sana. Dia juga melihat dua punggung laki-laki berdiri di hadapan Gea.
"Iya, sebentar, gue juga lagi nyoba hubungi Naura ini!" omel Gea berteriak frustrasi, tentunya hal itu terdengar jelas di telinga Naura.
"Ada apa, Ge?" tanya Naura melangkah mendekat bahkan sedikit berlari kecil.
"Astaga, Nau! Ponsel lo mati apa gimana? Gue telfonin dari tadi juga!" kesal Gea bercampur lega.
"Nah! ini dia cewek resek yang gak mau kasih ponsel lo!"
Bibir Naura memberengut. Kerutan kesal tercetak di dahinya. Dia mengenali orang yang sedang menunjuk wajahnya tidak sopan. Orang yang sedari semalam menerornya dengan nama akun Niko_Adiputra! Laki-laki tinggi kurus super menyebalkan.
Atensi Naura tersita penuh pada laki-laki yang tampak tak asing di ingatannya. Laki-laki berbadan tegap dan tinggi. Memiliki sepasang alis cukup tebal dan bahu lebar. Naura seakan terbius saat orang itu menatapnya. Membuat netra mata cokelat madu miliknya bersinggungan langsung dengan netra hitam yang menenangkan. Ah, Naura mengingat cepat.
"Lo ... Bukannya Dewa temennya Kiki, ya?" tanya Naura memastikan. Ingatannya terlampau bagus mengingat laki-laki yang pernah menangis sedu di depan makam kala itu.
"Kiki?" Dewa membeo bingung.
"Oh, maksud gue, Rifqi. Kita pernah bertemu di toko Nyonya Julie," jelas Naura mencoba mengingatkan.
"Ah ..." Dewa menganggukkan kepalanya tiga kali. Seakan tahu arah penjelasan itu. Namun raut wajahnya tampak ragu dan sepertinya dia tidak mengingat kehadiran Naura di sana.
"Kok malah ngobrol! Cepetan kasih ponselnya! Kita udah ditungguin Pak Ayonk, nih!"
Naura melirik sinis pada Niko yang tengah memelototi dirinya. Naura pun merogoh tasnya dan mengambil ponsel itu. Dia langsung menjauhkan tangannya saat Niko hendak merebut ponsel itu kesekian kalinya.
"Siniin!" bentak Niko tidak ada sabar-sabarnya.
"Buka dulu kuncinya, baru gue balikin!" sergah Naura tak kalah melotot. Kini, dia menatap Dewa, satu-satunya orang yang paling tenang di antara mereka.
"Ponsel lo?" tanya Naura.
"Sepertinya."
Naura mengarahkan layar ponsel itu dan berucap, "ketik dulu kata sandinya."
Tanpa menyahut, Dewa langsung mengetik beberapa angka di sana. Dan benar, layar ponselnya berhasil terbuka ke halaman utama. Naura mengangguk. Langsung menyerahkan ponsel tersebut kembali pada pemiliknya.
"Dari kemarin, kek! Nyusahin orang aja lu! Gak percayaan amat jadi manusia!" Niko kembali mengomel- ngomel. Membuat kepala Naura terasa sangat panas. Begitupun dengan Gea menatap Niko tidak suka.
Sementara jemari Dewa sibuk bergulir di atas layar. Bukan file laporan tugas yang pertama kali dia lihat, melainkan jempolnya justru bergulir cepat menuju galeri untuk mengecek ratusan foto dan video. Dia langsung mengembuskan napas lega saat semua berkas dan file penting di dalamnya lengkap dan aman.
"Thanks, ya udah jagain ponsel gua," kata Dewa tulus sekali. Laki-laki itu mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celana. Mengambil uang ratusan ribu untuk ia berikan pada Naura.
"Ini sebagai gantinya lo udah kembaliin dan jagain ponsel gua."
"Eh, gak usah!" Naura kaget dan langsung menolaknya cepat. "Gaperlu segitunya. Gue ikhlas balikin ponsel lo tanpa lo kasih imbalan juga."
"Kok malah lu kasih duit, sih!" Niko menyenggol temannya itu untuk mengajukan protes dengan penuh kesal.
"Tapi ...."
"Gausah, Wa." Naura mendorong tangan Dewa pelan. Mengabaikan celotehan tak enak dari Niko.
"Serius, Wa, gak usah. Santai aja kali," kata Naura meyakinkan.
Dewa menghela napasnya. Dia kembali menatap Naura sejenak. "Oke, sekali lagi, thanks, ya! Maaf kalau udah ngerepotin lo."
"Dia kali yang ngerepotin." Niko masih saja sensi.
"Iya, sama-sama. Lain kali hati-hati. Untung itu ponsel bisa balik." Naura memberikan senyumannya. Membuat sudut bibir Dewa juga ikut terangkat. Tipis sekali.
"Yaudah, cabut! Kita udah ditunggu Pak Ayonk nih!" Niko menepuk pundak Dewa. Keduanya pun pergi setelah berpamitan. Lebih tepatnya Dewa yang memberikan ucapan terima kasih untuk kesekian kalinya.
"Untung lo dateng cepet, Nau! Panas telinga gue di obrak-abrik suruh cepet datengin lo! Dikiranya lo bisa muncul kayak jin dalem teko apa." Naura menepuk pelan pundak Gea mengerti. Mereka pun berjalan beriringan menuju kelas untuk memulai mata kuliah pertama.
•••
"Ge, nanti gua pulang bareng lo, ya! Kiki ada praktek sampai malem soalnya," kata Naura. Kini mereka tengah menikmati jam istirahat di kantin. Ada juga Jeje dan Rai yang ikut bergabung di mejanya. Menikmati semangkuk soto dan juga es teh manis.
"Okey!" sahut Gea setelah menelan makannya. Gea mau-mau saja karena arah rumahnya memang satu jalan.
"Kalau gak salah, lo sama Kiki udah sahabatan lama ya, Nau?" tanya Jeje, gadis yang paling mencolok di antara mereka. Pasalnya, dia memiliki rambut dengan banyak warna. Sisi kiri poninya dicat merah muda terang. Sebagian tipis di kepala kanan bewarna hijau neon. Sebagian tipis di sisi lain ada ungu lilac. Dan di bagian dalam belakang rambutnya bewarna orange muda. Kalau kata Rifqi, kepala gadis itu sudah mirip seperti es krim Paddle Pop keliling kompleks.
"Rifqi!" sanggah Naura cepat-cepat. Karena baginya, hanya dirinya yang boleh memanggil Rifqi dengan sebutan Kiki!
"Iya, Rifqi, aelah masih sensi amat!"
"Yoi! Naura sama Rifqi udah sahabatan dari zigot mah!" Gea, gadis yang maniak ungu itu menjawab setelah menelan kunyahannya. Kenapa maniak ungu? Karena pernak-pernik aksesoris yang dipakai selalu bewarna ungu. Mulai dari tas, jam tangan, anting, sepatu dan jepit rambutnya.
"Yakin lo cuma sahabatan? Setahu gue, gak ada tuh persahabatan yang benar-benar pure antara cewek dan cowok. Pasti di antara kalian ada rasa yang melebihi arti sahabat," kata Jeje lantas menyendokkan kembali soto ke dalam mulutnya.
"Maksudnya?" bingung Naura.
"Bener sih. Gue sepakat sama Jeje." Kini Rai, gadis berjilbab dan yang paling kalem di antara mereka bercelatuk. "Gue juga takut deh Nau, kalau diantara kalian ada yang menyimpan rasa lebih."
"Gak mungkin lah, gila!" Naura menyangkal cepat.
"Gak ada yang gak mungkin, Nau! Udah banyak kasus yang seperti itu. Di antara kalian pasti ada yang nyimpen rasa lebih. Cuma gak mau ngomong aja. Alasan klasiknya sih, biar persahabatan kalian gak retak. Drama kayak gini yang bikin nyesek."
Naura terdiam. Benar juga apa kata Rai. Dia juga pernah membaca dan menonton film semacam ini. Alasan klasik dan cukup masuk akal. Ah, sial! Mengapa dia terbebani dengan pernyataan seperti ini!
"Tapi orangtua Kiki udah anggap gue jadi anaknya. Enggak mungkin juga Kiki suka sama gue," luruh Naura termakan omongan tiga temannya.
"Lah, malah udah dianggap anak. Bisa jadi kan mereka emang udah rencanain lo jadi mantunya!"
"Ih, amit-amit!" Naura mengetuk dahi dan meja sebanyak tiga kali secara bergantian. Seluruh tubuhnya langsung merinding mendengar perkataan Gea barusan.
"Mending segera lo lurusin deh, Nau. Daripada nyesel lo entar. Karena akhir dari suka sama sahabat sendiri gak ada yang namanya happy ending."
Naura melemaskan dua bahunya. Benar juga. Dia harus segera meluruskan semua ini. Baik itu kepada Rifqi maupun Bunda Caca dan juga Papa Hendra. Naura tidak mau persahabatannya pecah karena hal ini. Tapi bagaimana jika Rifqi ternyata menyukainya lebih dari sahabat? Oh, God, Naura bisa gila. Naura memijit pelipisnya. Dilanjut dengan memijit pangkal hidungnya. Tekanan batin langsung menyerang mentalnya. Bahkan, soto yang masih tersisa setengah di mangkuknya tidak lagi ia sentuh.
"Haloo gaess!"
Keempat kepala gadis itu serempak terangkat mendengar suara laki-laki yang kemayu dan tidak asing lagi di telinga mereka. Dilihatnya dua orang laki-laki tegah bergelenyut manja dalam rangkulan. Keduanya itu turut bergabung di meja sana tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Naura menyeruput es teh miliknya. Pemandangan ini sudah tidak asing lagi. Melihat Abun yang tengah merangkul mesra Bubun tepat di depan matanya. Itu ... Nama kesayangan mereka. Nama aslinya bukan.
"Pacaran mulu dah kalian," kata Jeje lalu tertawa garing. Tatapannya teralih pada es teh miliknya lalu menyedot isinya lewat sedotan plastik.
"Iya, dong!" Abun mencium singkat pipi Bubun. Membuat rona merah nakal merambat di pipi laki-laki itu.
Jangan kaget. Benar apa yang sekarang ada di dalam pikiran kalian. Mereka adalah pasangan ... Gay! Keduanya bahkan terang-terangan mengumumkan hubungan ini. Membuat banyak orang langsung menjauh dan bahkan menghujat dengan kalimat yang kasar dan sangat tidak pantas. Mencemooh ini itu dengan tidak manusiawi. Hanya beberapa orang saja yang mau menerima mereka. Seperti keempat gadis itu dan juga Rifqi contohnya. Ya, Rifqi memang cukup dekat dengan teman-teman Naura.
Bagi Naura sendiri, hubungan sesama jenis seperti ini memang ditentang oleh agama dan juga hukum di Indonesia. Akan tetapi, jika tidak merugikan dirinya, masyarakat, atau diskriminasi dan kriminilasi dari orang-orang pengidap LGBT, maka kehidupan mereka akan sama 'normalnya' dengan orang heteroseksual. Orang-orang seperti Abun dan Bubun juga masih berhak dalam mengambil hak asasi mereka. Ini adalah pilihan mereka secara sadar. Salah satu hak mareka yaitu dengan jaminan kesehatan untuk bisa sembuh dari penyakitnya tersebut.
Walau begitu, ada rasa miris di hati Naura. Entah terkena masalah, atau trauma atau apapun itu alasannya yang membuat keduanya bisa menyimpang seperti ini. Naura hanya bisa berdoa agar keduanya bisa cepat sadar dan kembali dalam kenormalan. Padahal jika dilihat-lihat, keduanya memiliki paras yang cukup tampan. Banyak perempuan yang sempat tertarik, namun langsung menjauh setelah melihat kondisi seksual mereka. Naura juga sering merasakan sakit hati melihat dua temannya dicemooh tanpa perasaan. Seolah orang-orang normal itu adalah makhluk paling suci sehingga berani merendahkan makhluk ciptaan Tuhan bahkan mengatai pun menyamakan keduanya dengan sebutan binatang.
"Minggu besok, kalian datang ya di acara anniversary kita yang pertama!" Bubun tertawa. Semakin menggesekkan kepalanya pada rangkulan Abun.
"Wah, udah satu tahun aja kalian! Sementara gue masih jomlo dari lulus SMA!" keluh Jeje yang membuat Abun dan Bubun tertawa. Sementara Gea hanya tersenyum.
"Masih untung lo, Je! Lihat tuh, Naura, dari zigot sampai umur segini nggak pernah tuh namanya pacaran! Heran gue, padahal beberapa kali ditembak juga malah ditolak! Sok cantik lo, Nau!" omel Gea lalu mendengus sebal.
"Tau, tuh! Cowok idaman lo kek apa sih emang?" tanya Rai ikut penasaran. Dia juga sadar selama ini hanya Naura yang tak pernah menceritakan laki-laki manapun. Selain ....
Naura menghela napasnya. Tubuhnya menegap. Sebelah tangannya terangkat untuk menopang dagu. Seolah siap menjawab pertanyaan itu.
"Tipe cowok idaman gue, gak menye-menye, sih, cukup seganteng Seokjin, sepintar dan sedewasa Namjoon, si baik hati dan penyayang Jimin, se--"
.... Idol cowok Korea.
"Ngimpi!" Gea langsung memotong ucapan Naura. Memukul pelan kepala anak itu.
"Kalau itu mah halu!" ujar Abun tergelak.
"Bisa-bisanya muka lo yang kentang, beban keluarga juga iya! Sok-sokan ngarep bisa dapetin aset negara! Standar dan halu lo ketinggian, Bos ...." Jeje menggelengkan kepalanya. Menyesap kembali sisa minumannya yang masih terasa dingin.
"Hahaha, jadian aja gih sana sama si Rifqi. Gua lihat kalian cocok tuh. Polos kek anak baek-baek," kata Bubun dengan melepas rangkulan Abun. Berpindah posisi untuk menyandar di bahu lebar Abun.
"Amit-amit, ya Tuhan!" Naura berdecak super kesal dan melotot. Bisa-bisanya mereka kembali membahas si Rifqi. "Kalian ini ya, jangan kemakan muka bocah Rifqi. Dia itu polos-polos bajingan!" Dada Naura naik-turun. Sangat kapok tertipu dengan wajah luar Rifqi. Sementara seluruh teman di mejanya justru tergelak menertawai emosinya.
Naura meremas kedua tangan. Tidak bisa ditunda lama. Hal ini memang harus segera ia luruskan. Dia tidak mau kisah persahabatannya berakhir tragis seperti yang sudah-sudah. Tapi apakah memang ada hubungan persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang benar-benar sahabat tanpa ada perasaan lain? Demi Tuhan Naura tidak mau terjebak dalam masalah rumit itu.