Part 2 : Berita kehilangan

0
0
Deskripsi

Menyebalkan

Rifqi menghentikan mobilnya di salah satu gerai nasi goreng langganan mereka. Nasi goreng sederhana, murah, enak dan porsi tidak main-main itu selalu ramai didatangi pengunjung. Mulai dari pegawai pabrik gula, pelajar, maupun masyarakat sekitar.

Rifqi turun untuk memesan. Sementara Naura memilih diam saja di dalam mobil. Karena semua meja sudah penuh ditempati orang-orang kelaparan. Rifqi kembali masuk beberapa saat. Anak itu terlihat sibuk sekali dengan ponselnya.

Naura melepas earphone di telinga. Merenung sendirian menatap langit yang mulai menggelap.

"Iya, Del, Iya. Aku bawain nasi goreng, deh. Ini aku lagi pesen buat kamu juga. Jangan marah-marah mulu lah."

"Iyaaaaa, Sayangkuuuu, cintakuuuuuu."

Naura menatap sinis Rifqi yang tengah memanyunkan bibirnya memberi kecupan untuk orang di ujung sana. Seketika itu, Naura langsung menunjukkan ekspresi muntah. Dia geli luar biasa melihat sahabatnya yang memang bucin tingkat akut.

Rifqi menurunkan ponselnya kala sambungannya sudah terputus. Anak itu menghela napas panjang sembari melemaskan dua bahunya yang tampak memikul beban berat.

"Alay!" desis Naura menyindir kesal.

"Biar sih! Lu jomlo sirik aja!" balas Rifqi dengan sewot.

"Gila kali gue sirik sama orang bucin kayak lo! Merinding badan gue! Sirik kagak, muntah iya!"

Rifqi memberengut. Balas melirik tajam Naura yang kini mengerucutkan bibirnya.

"Makanya, lo cari pacar sana! Gak bosen apa lo jomlo dari lahir? Lo gak laku apa kadaluarsa?" Rifqi balas menyindir. Sudut bibir laki-laki itu menyeringai meremehkan.

"Berisik lo!" Naura memukul lengan Rifqi dengan keras. Sementara Rifqi justru tertawa dengan mengusap lengannya.

"Lu kasar sih jadi cewek. Pantesan nggak ada yang mau."

Naura semakin memajukan bibirnya panjang-panjang. Dia membuang muka. Menatap jendela kaca di sebelahnya.

"Dih, gitu aja ngambek! Kayak bocah perawan lu!" Rifqi menarik pelan ujung rambut Naura dari kucirannya yang sudah kendur.

"Emang gue masih perawan, Nyet!" Naura melotot. Menepis tangan Rifqi dan kembali memukulnya.

"Hehehe." Rifqi terkekeh menyebalkan. "Kalau gitu, mau gak lu gua perawanin? Kapan lagi kan dapet orang ganteng macam gua!" goda Rifqi dengan menaik-turunkan alisnya. Sorot matanya menyapu tubuh Naura dengan pandangan mesum penuh nafsu.

"Sinting!!!!"

PLAKKK

Naura menampar keras pipi kanan Rifqi hingga kepala laki-laki itu menoleh ke samping. Bunyi tamparan Naura begitu nyaring, membuat siapa pun ngilu mendengarnya. Bercak merah tangan langsung terpampang nyata di kulit putih Rifqi. Sementara sang korban terbelalak tidak percaya untuk beberapa lamanya. Bahkan selaput bening langsung menghadang mata. Tangannya dengan lemas terangkat untuk mengusap pipinya sendiri dengan mulut mengerang kesakitan.

"Nyari mati lo?!" Naura melotot. Mengepalkan tangan seolah hendak menonjok pangkal hidung Rifqi. Deru napas Naura sampai tidak terkontrol. "Gue jamin lo langsung dimutilasi sama Bunda Caca kalau berani apa-apain gue! Inget, Bunda lebih sayang ke gue daripada ke orang tolol kayak elo!"

Tidak sampai di sana, Naura tanpa perasaan menoyor jidat Rifqi dengan telunjuknya. Membuat kepala anak itu sedikit tersentak ke belakang.

"Iya-iya, anjing! Lo gila ya nampar gua beneran! Sakit tahu bangsat! Gua kan cuma bercanda! Lo mah! Tega bener!" Rifqi meringis. Terus mengusap pipinya itu. Rasanya panas dan perih. Tak pernah Naura menamparnya sekeras ini.

"Rasain! Siapa suruh lo usil ke gue." Naura memberikan lirikan tajam. Tak peduli dengan Rifqi yang masih kesakitan akibat ulahnya. Akan tetapi, di dalam relung hatinya yang paling dalam, Naura sedikit merasa kasihan dan menyesal sudah menampar Rifqi sekeras itu. Entah mengapa dia jadi sensian seperti ini.

"Lo nangis?!" kaget Naura melotot. Dia menatap tidak percaya kala cairan bening itu turun deras dari kelopak mata Rifqi.

"Iya. Sakit gilak!"

Kedua mata Naura semakin terbelalak saat bibir Rifqi mengeluarkan isakan. Tangisnya pun kian kencang.

"Yaampun, sorry, Ki ...." Naura dibuat panik. Amarahnya seketika meredam. Dia lupa kalau Rifqi itu termasuk dalam kategori manusia tidak bisa dikasari dan ... cengeng. Tangan Naura inisiatif terangkat untuk membelai lembut pipi Rifqi yang tampak merah mengenaskan.

"Tega bener lu sama gua ...." Rifqi terisak-isak. Membuat Naura semakin kelimpungan di tempatnya.

"I'm so so sorry...." Naura mengelus-elus pipi Rifqi. Sorot matanya benar-benar menyesal.

"Sakit ...." Isak Rifqi mengaduh kesakitan.

"I know ." Naura menggigit bibir bawahnya. Bingung sendiri seperti telah membuat bocah lima tahun menangis.

"Kalau gitu ... Lo tampar balik gue aja, Ki. Gue khilaf ...."

Rifqi mendongak. Bibirnya bergetar dan masih mengeluarkan isakan. "Serius ya gua tampar?" kata Rifqi degan suaranya yang serak.

"Jangan dong!" Naura memberengut takut. "Sakit. Gue gak mau nangis kayak lo."

"Ya gitu jangan sok-sokan suruh tampar balik!" sentak Rifqi emosi. Sementara Naura meringis kecil. Mengusap-usap kepala Rifqi dengan sayang.

"Yaudah deh, buat permintaan maaf, gue yang bayarin nasi gorengnya. Gimana?" Naura bertanya penuh harap. Kedua matanya yang bulat mengerjap-erjap sok imut.

"Marah sih kagak. Kesel iya. Sakit apa lagi!" ujar Rifqi dengan pelan. Dia tidak lagi menangis. Hanya saja sesegukan kecil masih keluar dari mulutnya.

"Hehe, maaf, khilaf." Naura nyengir kuda.

"Khilaf lo gak lucu." Bibir Rifqi memberengut. Mengusap dua matanya yang masih meninggalkan bercak air mata.

Kepala Naura menoleh saat salah satu pegawai nasi goreng menghampiri mereka untuk mengantarkan pesanan. Naura menerima dari luar jendela, lalu membayarnya.

"Terima kasih, Mas," ujar Naura dengan ramah.

"Yoi!" balasnya lalu pergi dari sana.

Naura meletakkan bungkusan berisi tiga porsi nasi goreng di sebelah Rifqi, seketika satu mobil ini dipenuhi aroma nasi goreng yang sangat menggiurkan lidah. Mengalahi bau wangi parfum Rifqi.

"Kita mampir ke rumahnya Adel dulu ya," ujar Rifqi dengan serak lantas menyalakan mesin mobilnya.

"Hmm." Naura menggumam malas. "Pipi lo udah gak sakit kan?" tanyanya sembari menatap pipi Rifqi yang mengenaskan.

"Masih, lah! Pakai tanya juga!" Rifqi menjawab dengan sewot. Membuat Naura langsung memutar bola matanya.

Mobil mereka merayap seperti ular membelah jalanan kota yang cukup padat. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Dan kali ini Naura tidak memprotes saat Rifqi menyetel kembali musik dan menyanyikannya. Walaupun dia harus menekan kupingnya untuk meredam suara Rifqi yang cempreng dan merusak keseluruhan lagu.

Mobil mereka melaju pelan, lalu masuk ke dalam sebuah kompleks di belakang kampus. Kompleks yang cukup luas dan nyaman dikarenakan banyak pohon besar rindang tertanam di area sana.

Rifqi memberhentikan mobilnya di depan rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas. Pagar hitam tinggi itu menampakkan gelantungan buah mangga yang masih bewarna hijau segar dan besar menerobos keluar dari dalam.

Terlihat Rifqi kembali berkutat dengan ponselnya. Tak lama setelah itu, terdengar suara geseran dari roda pagar. Memunculkan seorang gadis cantik berkulit putih dengan rambut hitam lurus sepundak tergerai indah terkena bias lampu jalan dan sinar bulan tidak terlalu terang. Wajah mungilnya itu dipasang super cemberut menatap mobil mereka. Rifqi turun dari mobilnya. Menyorot gadis yang hanya memakai kaus berwarna kuning tipis ketat lengan pendek dengan setelan celana jin  di atas paha.

"Lama banget, sih!" Gadis itu mulai mengomel-ngomel. Naura melihat singkat dari bilik jendela mobil. Kemudian mengembuskan napas lelah. Lagi-lagi, dia harus mengorbankan kupingnya untuk mendengar suara cerewet gadis tengil itu.

"Iya. Tadi hujan. Macet. Belum lagi antre beli nasi goreng. Jadinya lama," jelas Rifqi mencoba sabar.

"Alesan! Habis kelayapan dari mana aja?! Telfon gak diangkat. Chat gak dibalas! HP dimatiin! Sok ganteng banget sih jadi orang!" Meledak-ledak suara gadis itu. Sangat berkebalikan dengan postur tubuhnya yang mungil. Rasa-rasanya Naura ingin sekali menginjak-injak orang yang tingginya hanya menyamai batang tauge itu!

"Bohong gimana sih, Sayang? Kamu kan juga bisa pantau aku ke mana-mana. Sudah aku bilang aku baru bangun kesorean. Itu saja dibangunkan Naura."

Gadis itu memberengut tidak suka mendengar nama Naura disebut. "Kenapa gak cek ponsel? Naura mulu yang kamu utamain! Nganterin dia saja bisa! Bales chat atau telfon aku kenapa gak bisa?!"

Rifqi mengembuskan napas panjang. Sejujurnya kupingnya  terasa panas sekali. Tapi dia masih berusaha sabar dengan memberikan jeda sebentar untuk Adel bernapas.

"Sudah marah-marahnya? Aku bawain nasi goreng buat kamu, bentar." Rifqi membuka pintu mobil. Mengeluarkan dua bungkus miliknya dan milik Naura. Hanya membawa satu bungkus untuk Adel.

"Ini." Rifqi menyerahkan bungkusan itu pada Adel. Membuat gadis itu langsung mengepalkan dua tangannya.

"Enak aja udah-udah. Emang kamu pikir aku mudah dibujuk sama nasi goreng! Emang kamu pikir aku ini cewek nasi bungkusan apa?!" Melotot kedua mata Adel dengan cuping hidung kembang-kempis.

"Bacot, anjing!" Naura sampai memaki kesal. Rasanya muak sekali melihat sikap Adel yang semakin tidak tahu diri. Sumpah, Naura gedek setengah mati.

"Lalu aku harus ngapain? Aku sudah jelasin. Aku minta maaf. Aku sudah nyempatin datang ke sini, loh. Kamu malah marah terus." Rifqi mulai kewalahan. Nada bicaranya pun terdengar memprotes.

"Oh, jadi kamu sekarang nyalahin aku? Iya?!" Adel membentak. Manampakkan urat-urat di lehernya yang terekspos putih menyembul keluar.

"Gak gitu!" Rifqi mengusap wajahnya dengan gusar bercampur frustrasi. Walaupun dia sudah berpacaran hampir enam bulan, tetapi dia masih saja sulit menenangkan kekasihnya ini.

"Yaudah iya aku yang salah ...." kata Rifqi dengan lemas dan akhirnya mengalah.

"Emang kamu yang salah!!" Adel semakin meninggikan suaranya. Dadanya naik-turun seiring deru napasnya terembus cepat.

"Iya aku salah iya. Terus, aku harus apa biar kamu maafin aku?"

"Kamu temenin aku malam ini. Gak mau tahu!"

Rifqi menaikkan satu alisnya. Sudut bibir kirinya tertarik ke atas. Membentuk sebuah seringai yang penuh arti.

"Oh, jadi itu." Rifqi menyelipkan rambut Adel ke belakang telinga. "Rumah kamu kosong?"

"Iya."

Rifqi memilin bibirnya yang kering. Memandang Adel dengan penuh makna. Dia menarik napas dalam-dalam. Kemudian tersenyum.

"Oke. Tapi aku anterin Naura pulang sebentar ya ...."

"Gak!" Adel langsung mencengkeram lengan Rifqi kuat-kuat. "Kamu gak boleh pergi lagi! Titik!"

"Tapi aku harus anterin Naura pulang." Rifqi mencoba menyingkirkan tangan Adel, tetapi gadis itu justru memeluk lengannya kuat-kuat.

"Pokoknya gak boleh! Dia udah gede juga! Bisa pulang sendiri kan?"

"Del!" Rifqi akhirnya membentak keras. Membuat Adel terkejut dan semakin melotot.

"Aku harus anterin Naura. Dia tanggung jawab aku!" Rifqi menggeram. Rahangnya mengeras. Napasnya mulai tidak terkontrol.

"Oh, jadi kamu sekarang lebih milih Naura?" sarkas Adel memberikan tatapan tajam. Cuping hidungnya memerah menunjukkan wajah super kesal.

"Del! Kamu ini apa-apaan, sih! Kita dari awal sudah bahas ini loh! Kamu juga tahu kan posisi Naura itu bagaimana! Aku tetap harus mengantar Naura! Dia sahabat aku! Masa kamu cemburu sama sahabat aku sendiri sih?! Naura itu--"

BRAKKK

Ucapan Rifqi tertahan saat Naura turun dari mobil dengan membanting keras pintunya. Cukup mengagetkan kedua orang di luar sana. Naura berjalan mendekat. Wajahnya tampak kesal setengah mati. Ditatapnya Adel yang kini melotot penuh permusuhan.

"Gue bisa pulang sendiri!" bentak Naura penuh penekanan. Napas gadis itu tiba-tiba memburu cepat. "Jangan sekali-kali kalian libatin nama gue!" Naura pergi dari sana dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan.

"Tapi Nau, lo harus pulang sama gua!" Rifqi berkata dengan memelas. Tangannya sibuk melepas genggaman Adel yang menyakiti lengannya.

"Ngapain sih! Orang dia udah gede juga." Adel memberikan tatapan sinis pada punggung Naura yang kian menjauh.

"Del!" Sekali lagi Rifqi membentak. Bahkan  mendorong kasar tubuh Adel untuk menjauhinya.

Rifqi berlari cepat menyusul langkah panjang Naura. Dia menulikan telinga saat Adel berteriak kencang memanggil-manggil namanya.

"Tunggu, Nau!" Rifqi mencekal tangan Naura. Namun segera ditepis oleh gadis itu.

"Gua antar lo pulang!"

"Gak usah!" Naura menolak ketus. Sibuk berkutat pada ponsel di genggaman tangannya. 

"Tapi, Nau!"

"Gak usah peduliin gue! Urus aja pacar lo itu! Gue udah pesen ojek online!" Naura menyorot berang ke arah Adel berdiri. Kedua gadis yang berjarak dua puluhan meter itu saling memberikan pandang penuh kebencian.

"Nau ...." Rifqi berkata serak. Wajahnya tampak sangat menderita.

"Lain kali, kalau lo emang mau ketemu sama Adel, mending lo gak usah bawa gue! Gue bener-bener muak sama cewek gak tahu diri kayak dia!" Emosi Naura meluap. Dia menatap tajam Rifqi yang mau menangis lagi. Bah! Naura tidak peduli!

"Nau ... Sorry ...." Rifqi mulai mencebikkan bibir bawahnya. Selaput bening tipis terlihat jelas di mata Rifqi.

"Yayayaya," jawab Naura malas sekali. Gadis itu langsung mengembuskan napas lega saat ojek pesanannya sudah datang. Sangat cepat, karena kompleks perumahan di sini memang sangat strategis dan dekat dengan kampus. Banyak pekerja ojek juga sering mangkal di areal sini.

"Gue pulang dulu, Ki," kata Naura sempat berpamitan. Karena mood dia hancur bukan karena Rifqi.

"Nasi goreng lo, Nau? Gua ambilin dulu ya!"

"Gausah, Ki!" Naura menolak cepat saat Rifqi hendak berlari dari sana. "Buat lo aja. Mendadak gue kenyang kena suara sember cewek lo." Naura tersenyum kecil. Memasang helm. Lantas naik ke atas motor.

Kedua bahu Rifqi melemas. Dia menatap sendu punggung Naura yang semakin menjauh. Napas berat terembus dari mulutnya kala Adel kembali meneriaki namanya.

Naura mengecek jam di ponselnya. Menunjukkan pukul setengah delapan malam. Dia tidak ingin langsung pulang. Memutuskan untuk mampir sebentar ke kafe seberang gedung fakultas kedokteran. Entahlah, Naura tiba-tiba ingin singgah di kafe itu. Karena tata letak dekorasi serta suasananya lebih nyaman daripada kafe di seberang kampus utama yang selau menjadi tempat dia nongkrong sepulang kuliah atau saat menunggu jam masuk kelas. Setidaknya, nuansa di tempat itu dapat menghibur hatinya yang tengah mendung seperti ini.

Naura turun dari motor. Membayar biaya transportasi, lantas berjalan pendek menuju pintu kafe. Bibir gadis itu mengerucut sembari menendang-nendang batu kerikil yang ada di halaman kafe sebagai bentuk pelampiasannya. Kerikil yang baru saha ditendang itu terbang melambung pelan di udara sebelum tergulir jauh di atas tanah. Naura tanpa sadar mengikuti arah batu kerikil yang menggelinding pelan ke sebuah sudut kemudian berhenti di deretan pot bunga akibat terbentur sebuah benda yang tampak tidak asing. Sepasang mata Naura menyipit. Tubuhnya mendekat lalu meringkuk untuk mengambil benda itu.

Sebuah ponsel. Dahi Naura menampakkan lipatan kecil. "Punya siapa?" Kepalanya dengan refleks menoleh ke sekitar untuk mencari siapa pemilik ponsel yang mungkin saja tidak sengaja menjatuhkan benda itu di sana.

Naura mengembuskan napas pendek. Mengusap ponsel itu untuk menghalau tanah yang mengotorinya. Naura menekan salah satu tombol di sisi kanan. Menampakkan lock screen dengan wallpaper seorang gadis cantik tengah tersenyum di antara bunga matahari yang merekah indah. Naura berdecak kecil saat tidak ada informasi pribadi yang tertera di layar itu. Dan saat ia mengusap layarnya, ponsel itu terkunci membutuhkan kata sandi untuk ke halaman utama.

Kemudian Naura membalikkan benda pipih itu. Menemukan stiker jurusan kedokteran dengan logo kampus berada di dalam casing bening sebagai pembungkusnya. Sudah jelas benda ini adalah milik salah satu mahasiswa kampusnya.

Naura berdecak. Dia memutuskan masuk ke dalam kafe dan langsung memesan sebuah minuman dingin. Hanya memesan. Tak ada niat untuk meminumnya sama sekali. Kafe ini memang selalu ramai diisi mahasiswa kampusnya, khususnya bagi mahasiswa kedokteran. Terlihat dari banyaknya orang yang memakai jaket almamater biru tua mendiami meja-meja itu. Kafe yang cukup unik untuk menarik minat pelanggan karena memakai trik memberikan potongan harga khusus kepada mahasiswa dengan syarat mengenakan jas almamater kampus, serta menunjukkan kartu mahasiswa sebelum memesan.

Naura membawa pesanannya ke meja kosong. Terletak di dekat jendela kaca besar. Sehingga dia bisa melihat lalu-lalang kendaraan dari sana.

Naura mengeluarkan ponselnya. Membuka salah satu media sosial kampus, hendak melaporkan pada pihak admin pemegang akun perihal ponsel yang baru ia temukan.

Sebelum itu, Naura memencet insta story yang baru saja diunggah admin media sosial kampusnya. Ada berita kehilangan ponsel di sana. Naura membacanya. Membaca secara rinci ciri-ciri ponsel yang dimaksudkan. Salah satu kuncinya adalah; terdapat stiker fakultas kedokteran di dalam case, dan kemungkinan hilang atau tertinggal di sekitar Kafe Kejora.

Naura menghela napas panjang setelah membaca berita itu. Naura yakin betul jika berita itu mengarah pada ponsel yang ia temukan. Kehilangan ponsel dan bisa kembali pada pemiliknya, cukup mustahil di zaman sekarang. Apalagi ponsel yang dia temukan termasuk ke dalam deretan ponsel dengan harga yang mahal. Untung saja dia yang menemukannya. Naura sendiri tidak berminat untuk mengambil hak penuh atas ponsel itu.

Naura pun segera menghubungi nomor yang tertera. Memberitahukan jika dia menemukannya. Naura juga memberitahu lokasi dan ciri-cirinya. Dia akan menunggu tiga puluh menit di sini. Jika pemilik ponsel tak kunjung datang juga, Naura akan pulang, dan mengabarinya besok saat di kampus.

Naura menatap lock screen ponselnya yang menyala menampakkan sebuah notifikasi. Naura melongok. Membaca sebuah pesan dari Rifqi melalui widget  layar. Rifqi menanyakan dirinya sudah sampai rumah atau belum. Naura mengabaikannya. Tak berminat membalas pesan itu. Dirinya jadi kembali kesal. Ternyata kekesalannya pada Adel juga berimbas pada Rifqi yang cengeng itu. Naura meletakkan ponselnya ke dalam tas dengan kasar saat Rifqi justru meneleponnya. Dia melakukan itu hanya untuk menunjukkan jika dia tidak mau diusik saat ini.

Sepasang mata Naura melirik ponsel yang baru saja ditemukannya. Menatap penuh layarnya yang menyala putih, menampakkan sebuah panggilan dari seseorang. Ponsel itu tetap diam. Tidak bergetar, tak juga mengeluarkan sebuah deringan. Tiga detik kemudian, dua orang laki-laki dengan setelan kemeja rapi menghampiri meja Naura. Keduanya menatap Naura dari atas hingga bawah. Kemudian salah seorang bertanya sopan pada gadis itu.

"Permisi, lo yang namanya Naura?"

Kepala Naura terangkat. Menatap penuh dua orang di hadapannya secara bergantian. Satu laki-laki tinggi kurus dan satu laki-laki lebih tinggi dengan badan serta pipi yang lumayan berisi. Kemudian kepalanya mengangguk kecil. "Iya. Kalian orangnya?"

Kedua laki-laki itu mengiakan. Naura pun mengambil ponsel yang masih menyala. Menunjukkan pada mereka.

"Nah iya bener ini ponselnya!" seru seorang yang memakai kemeja biru dongker polos milik laki-laki tinggi kurus sembari bernapas lega. Ponsel di telinganya langsung ia turunkan.

"Eits!" Naura menjauhkan ponsel di tangannya saat orang itu hendak mengambilnya. "Enak aja main ambil!"

Kedua laki-laki itu terkejut dan menunjukkan ekspresi kebingungan.

"Kalau kalian benar-benar pemilik ponsel ini, coba ketik kata sandinya. Jangan-jangan, kalian cuma ngaku-ngaku lagi." Naura berkata ketus. Menyalakan layar ponsel yang baru saja mati, lantas ia arahkan ke depan.

Dua orang itu saling berpandangan. Satunya bertanya pada temannya. "Lo tahu?"

"Enggak."

Kedua laki-laki itu langsung berdecak. Menatap Naura yang terlihat menunggu.

"Gua gak tahu. Itu ponsel milik temen gua. Yang punya udah pulang."

Naura mengerjapkan matanya. Menarik kembali tangannya. Kedua matanya langsung memicing curiga.

"Kalau gitu gue gak bisa kasih ponsel ini ke kalian. Gue akan balikin sama pemilik aslinya. Suruh aja dia langsung nemui gue."

"Tapi ini penting! Ada data buat riset besok di ponsel itu. Mending lo kasih ke gua sekarang!"

Naura menatap uluran tangan itu. Kemudian kepalanya menggeleng tegas.

"Gak bisa! Kecuali kalian bisa menyebutkan kata sandinya dengan benar. Lagian, zaman sekarang gak boleh percaya gitu aja sama orang!"

Laki-laki itu menggeram marah. Tapi mencoba mengontrol diri sebisa mungkin. Ya, meski ujungnya emosi dalam diri tidak bisa tertahan.

"Lo gak percayaan sih jadi orang!" kata orang itu geregetan. Dia mengotak-atik ponselnya sebentar, lalu memandang ponsel di tangan Naura yang tersambung dengan panggilannya.

"Noh, nyambungkan? Ini bukti kalau ponsel itu benar-benar punya temen gua! Lagian nomor rujukan di Instagram tadi juga nomor gua! Udah sini!" bentaknya tidak sabar. Laki-laki itu tampak  kesal sekali. Dia baru sadar jika ponsel temannya dalam mode hening. Pantas saja tadi dia berkeliling di kafe ini dengan menelpon kontaknya tapi tidak mendengar dering ponsel sialan itu.

Naura menatap layar ponsel yang tertera nama Niko FK 19 BB. Lagi-lagi Naura memberikan gelengan tegas.

"Gak bisa. Kalau lo bener-bener temennya, harusnya tahu dong kata kuncinya!"

"Ck! Yaudah, coba lo ketik, 180420."

Tanpa menyahut, Naura langsung mengetikkan angka itu. Kemudian kepalanya terangkat lagi. "Pin salah."

"Eh, nomor apaan itu yang lo sebut?" tanya laki-laki satunya pada temannya.

"Tanggal ulang tahun gua."

"Dongo!"

Plakk

"Ya mana gua tahu, Nyet! Gua aja kagak pernah megang HP dia!" ucapnya seraya mengelus-elus kepala belakangnya yang baru saja terkena tamparan gemas.

"Duh, gimana ini. Laporan hasil kerja kita ada di ponsel dia lagi."

Dua laki-laki itu tampak berpikir keras untuk mencari-cari alasan agar bisa membujuk Naura memberikan ponselnya.

"Gini deh, gua kasih KTP si Doni gimana buat jaminan?" tawarnya.

"Lah kenapa KTP gua, Njing! Ogah! KTP lu sendiri aja!" tolak orang berkemeja kotak-kotak yang ternyata bernama Doni itu.

"Gua juga ogah. Kalau ilang repot urusnya. Mending KTP lu aja deh, Don! Lo kan suka ribet!"

"Enak aja! Gak mau gua!" Doni menolak keras.

"Eh, kok pada ribut, sih!" kata Naura melotot. "Emang kalian pikir gue polisi apa pakai nahan KTP! Gak! Gue tetep gak mau kasih ponsel ini ke kalian! Harga ponsel gak sebanding ya dengan KTP!"

"Eh, kok lu nyolot!"

Doni langsung memegangi temannya yang mulai tersulut emosi. Sementara Naura semakin melototkan matanya tidak takut. Kepalanya justru mendongak menantang meladeni mereka.

"Terus, lu maunya apa?! Kan udah gua bilang di sana ada data yang penting!"

"Gue kan juga udah bilang, mau ngasihnya kalau kalian bisa buka kata sandi ini," jawab Naura dengan tegas.

Orang di hadapan Naura langsung menggaruk-garuk kepalanya yang mendadak terasa sangat gatal.

"Gimana ini, Ko!" tanya Doni mulai jengah.

"Tau dah! Lo tanya sendiri aja sama cewek itu!"

Naura menatap tajam orang yang menunjuknya tidak sopan. Dia mengembuskan napas panjang mencoba bersabar.

"Gini deh, mending, kalian telfon pemilik barang ini. Suruh dia nyebutin pin sandinya. Kalau bener, langsung gue kasih ke kalian," ucap Naura mencoba memecahkan masalah.

Dua orang itu langsung terdiam. Sepasang mata mereka kompak mengerjap dengan bibir yang terbuka sedikit.

"Kan ponsel dia di elu, Neng! Gimana sih!" kata Doni dibuat bingung.

Naura langsung melongo tolol. Dia memandang ponsel di tangannya. Seketika itu, Naura menepuk keras jidatnya. Wajahnya memerah malu akan kebodohannya. Ternyata. amarah dalam diri bisa langsung menurunkan IQ dengan cepat.

"Iya juga, hehe." Naura nyengir kuda. "Ponselnya kan di gue ya, hehe."

"Lu ngelawak?!"

Naura langsung memberengut. Dirinya benar-benar seperti orang bodoh. Naura berdiri dari duduknya. Memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya. Naura tidak mau lagi lama-lama di tempat ini.

"Heh, lo mau ke mana?"

"Pulang."

"Lah, ponselnya mana? Enak aja lo main pulang-pulang!"

Naura merapatkan mata dan bibirnya. Kembali menatap dua orang itu yang tengah suntuk abis di tempatnya.

"Mas, saya mau pulang. Sudah malam. Mas bisa suruh pemilik aslinya besok menemui saya di kampus. Kebetulan saya besok ada kelas pagi. Mas bisa cari saya di fakultas ekonomi," jelas Naura memasang senyum manis yang dipaksakan.

"Gak bisa!" bentak orang itu kesal betul. "Tadi lo nuduh kita yang bukan-bukan, gimana kalau ternyata lo sendiri yang maling! Kalau ponsel itu hilang dua kali, kita yang repot!"

Naura memutar bola matanya malas sekali. Kedua tangannya langsung bersidekap di bawah dada. Menatap orang emosional itu dengan sorot tajam.

"Kalau gue bener-bener maling, ngapain gue repot-repot konfirmasi nemuin ponsel itu ke kalian? Kalau maling, udah dari tadi gue kantongin!" jawab Naura dengan sangat ketus. Kemudian dia melanjutkan,

"Gua anak ekonomi, kampus utama. Offering C angkatan sembilan belas, Kalian bisa cari gue besok pagi. Dan untuk nama gue ... Kalian sudah tahu kan? Sudah ya, gue sibuk!" Naura langsung membalikkan tubuhnya. Melangkah pergi meninggalkan mereka.

"Cewek sialan!" Laki-laki itu menendang meja tak bersalah di sebelahnya. Kedua tangannya terkepal erat sekali menahan diri untuk tidak mengejar lalu menghajar Naura.

"Eh, Neng! Minumannya masih utuh itu. Gak dibawa?" teriak Doni memberi tahu. Mengabaikan temannya yang sedang uring-uringan. Dan mengabaikan beberapa pasang mata yang sedari tadi sudah menjadikan meja ini sebagai pusat perhatian.

"Ambil saja," sahut Naura tanpa menoleh.

"Alhamdulillah! Rejeki anak ganteng emang gak ke mana!" Doni mengambil gelas yang berkeringat dan masih terasa dingin. Dia membuang sedotannya ke atas meja begitu saja.

"Dih, bekas orang lo embat juga!"

"Biarlah! Lagian masih utuh juga. Sedotannya juga masih segelan. Sayang kalau dibuang!" kata Doni pakai sewot. Kedua matanya langsung melotot saat minuman di tangannya diserobot oleh temannya yang baru saja mengatai dirinya itu. Lantas menegak isinya langsung dari pinggir gelas tanpa dosa.

"Babi!" Maki Doni kesal betul.

"Gua lebih ganteng dari lo. Jadi rezekinya lebih pas di gua." Orang itu mendengus. Mengembalikan minuman yang tersisa sedikit pada Doni.

"Tai!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Part 3 : Kekecewaan
0
0
Di balik wajah polos itu โ€ฆ
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan