Cinta Wanita Kedua Part 3 - Part 4

48
6
Deskripsi

Bagian ini terdiri dari dua Part ya Readers 

Part 3 - Pasrah 

Part 4 - Bar dan Ara 

Enjoy the part

Part 3 – Pasrah

Faiq tahu Agafia kecewa dengan apa yang ibunya katakan. Istrinya itu terus saja membisu sepanjang perjalanan mereka menuju rumah, dan jujur Faiq tak bisa mengucapkan satu kalimat pun untuk menenangkannya.

Ia lemah. Itu faktanya. Di hadapan ibunya ia tidak bisa membela Agafia dan di hadapan Agafia, Faiq pun tidak bisa menyalahkan perkataan ibunya. Walau bagaimanapun, ibunya juga tidak salah.

Ia dan Agafia selama ini memang kurang berusaha.

Usaha mereka tidak sebesar dan sekeras pasangan suami istri diluar sana yang benar-benar menginginkan keturunan. Dan ibunya tak salah kala mengatakan kalau dunia medis sekarang sudah sangat berkembang. Yang salah disini adalah dirinya dan Agafia tidak pernah serius mencoba.

Faiq tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia juga ingin memiliki keturunan. Usianya sudah tidak muda lagi. Tahun depan di usia pernikahannya yang ketujuh Faiq akan berumur tiga puluh lima dan Agafia sendiri akan berusia tiga puluh dua. Dan setahu Faiq untuk seorang wanita, melahirkan di usia seperti Agafia itu sudah masuk dalam usia yang rawan.

Faiq bukannya tidak pernah mencoba membujuk. Di tahun pertama pernikahan mereka ia tidak mempermasalahkan  keturunan. Sejak masih berpacaran, ia tahu kalau Agafia—yang kala itu sedang dalam puncak karirnya sebagai penyanyi—memiliki kontrak yang cukup rumit dimana dalam kontrak itu dinyatakan kalau Agafia tidak boleh dulu memiliki anak sampai masa kontrak berakhir. Jika tidak, maka Agafia harus membayar pinalti yang tidak sedikit.

Sebagai salah satu sponsornya, sebenarnya yang Faiq tahu hanyalah membiayai Agafia. Dan setelah tahu tentang kontrak itu, Faiq sudah menawarkan diri untuk membayar pinalti, namun Agafia dengan tegas menolaknya. Alasannya sederhana, dia ingin bersikap profesional.

Menjadi penyanyi sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Dan mengingat usianya yang kala itu masih dianggap cukup muda, maka Agafia menganggap kalau keberadaan anak bisa membuatnya kehilangan fokus.

Dengan bujukan 'menikmati masa bulan madu', Faiq pada akhirnya luluh akan keinginan istrinya. Dan ketika kontrak itu berakhir di tahun ketiga pernikahan mereka, istrinya itu mengatakan bahwa ia baru saja memperbaharui kontrak selama satu tahun atas desakan manajemen dan meminta Faiq memberikan satu tahun lagi perpanjangan waktu dan lagi-lagi Faiq hanya bisa menurutinya.

Di tahun keempat, Agafia memenuhi janjinya. Ia berhenti menerima kontrak yang melarangnya mengandung. Ia dan Faiq mulai melakukan program kehamilan dengan terus berkonsultasi pada dokter kandungan. Dan setelah melakukan banyak pemeriksaan, keduanya jelas dinyakan subur oleh dokter kandungan.

"Hanya tinggal menunggu waktu sampai istri Anda hamil." Itulah yang dikatakan dokter kala itu. Dan sekarang, dua tahun sudah berlalu namun kabar kehamilan itu tidak juga datang. Dan Faiq, mulai merasa tidak sabar.

"Bagaimana kalau kita coba program bayi tabung?" tanya Faiq saat mobil mereka berhenti di lampu merah.

Agafia menegang. Wajahnya berubah dingin. Ia menoleh ke arah suaminya dan memandang Faiq dengan tatapan tak suka. "Kamu gak percaya kalo ada masalah sama rahim aku kan Mas?" tanyanya dengan nada menuntut.

"Bukan begitu, Sayang." Faiq mengulurkan tangannya dan mencoba untuk menyentuh tangan Agafia, namun istrinya itu menepis tangan Faiq dan memilih untuk menjauh. Menyeret tubuhnya hingga menempel di pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Kamu gak yakin aku subur? Kamu gak percaya sama apa yang dibilang dokter? Trus kalo selama satu tahun aku gak juga hamil, kamu mau ikutin saran Mama kamu yang gak masuk akal itu? Atau emang kamu maunya punya istri lagi? Bilang aja sama aku, Mas. Bilang aja kalo kamu emang gak cinta lagi sama aku dan mau cari pengganti." Tuduh Agafia dengan deraian airmata membasahi wajah cantiknya.

"Bukan begitu, Sayang." Ucap Faiq. Ia berniat untuk memeluk istrinya, namun lampu merah berubah menjadi hijau saat tak diinginkan sehingga dengan kesal Faiq mengoper persneling dan kembali melaju. Saat merasa berada di tempat yang cukup sepi, Faiq memilih untuk menepi dan menghentikan mobilnya untuk membujuk Agafia. "Kamu salah paham." Faiq kembali mengulurkan tangan dan mencoba membujuk sang istri. "Mas percaya kamu subur, dan dokter juga mengatakan demikian. Tapi ini sudah cukup lama berlalu dan Mas memang sudah tidak sabar. Usia kita udah gak muda lagi. Usia kamu juga sebentar lagi akan berada di masa rentan untuk melahirkan. Karena itulah, Mas minta kita coba cara lain."

"Tapi proses fertilisasi itu menyakitkan, Mas." Ucap Agafia dengan lirih.

"Mas tahu."

"Tapi Mas gak akan merasakan itu!" bentak Agafia marah. "Karena disini aku yang akan merasa sakit!" lanjutnya dengan intonasi yang semakin meninggi.

Faiq tak bisa berkata-kata. Faktanya memang nantinya Agafia lah yang akan menanggung semua rasa sakit saat proses fertilisasi dilakukan dan setelahnya, saat wanita itu berhasil hamil, ia jugalah yang akan menjalani beratnya masa kehamilan dan sakitnya proses melahirkan.

Faiq tidak bisa sekonyong-konyong mengatakan kalau itu 'sudah menjadi kodrat seorang wanita'. Ia tidak bisa mengatakan itu, terlebih pada wanita yang ia cintai.

"Baiklah, kalau kamu memang mau menunggu semuanya dengan cara normal." Ucapnya dengan bahu terkulai. "Mas ikuti apa mau kamu aja." Ucap Faiq kalah. Ia kembali menegakkan tubuhnya, menyalakan mobil dan melepas rem tangannya sebelum mengubah persneling dan melajukan mobilnya menuju kediaman mereka.

_____________________________________

Part 4 – Bar dan Ara

Jumlah antrian di restoran cepat saji tampak mulai berkurang. Jam makan siang sudah lewat dari waktunya. Zahrany menghembuskan napas dan menggerakkan kakinya yang terasa pegal karena tidak berhenti berdiri.

"Giliran." Tepuk salah seorang kasir yang baru saja selesai beristirahat. Zahrany menganggukkan kepala dan pamit untuk istirahat.

"Loe masih butuh duit?" tanya Heka yang juga mengambil waktu istirahat bersamaan dengannya.

"Masih, Mba." Jawab Zahrany lirih. Mereka keluar dari pintu dapur untuk menuju taman belakang restoran dimana disana tersedia mushola dan ruang istirahat seadanya untuk karyawan.

"Loe masih inget tawaran gue tentang kerja di bar waktu itu gak?" tanyanya lagi yang lagi-lagi dijawab Zahrany dengan anggukkan kepala. "Jadi gini, setelah ngomong sama loe waktu itu, malemnya gue hubungin temen gue buat tanya-tanya masalah kerjaan. Dan besoknya dia ngajakin ketemuan.

Gue jujur bilang sama dia kalo temen gue lagi nyari duit tambahan. Gue juga bilang kalo loe terlilit utang.

Dia bukan manager disana. Tapi dia emang dipercaya buat rekrut karyawan. Dan dia bilang oke aja, asal loebcukup umur loe bisa kerja sama dia. Gue udah jawab kalo loebudah cukup umur, dan dia bilang oke. Tapi sebelum bener-bener nerima loe kerja, dia mau ketemu dulu sama loe sebelum nanti dia bantuin loe ngomong sama bosnya dia buat terima loe kerja atau enggak. Loe mau, ketemu sama dia?

Zahrany kembali menganggukkan kepala. "Kapan?"

"Kalo bisa ya secepatnya." Jawab Heka tegas. "Masalahnya, loe yakin mau kerja di bar? Nyokap loe gak bakal marah?" tanya Heka ragu. "Bukannya nyokap loe itu orangnya kolot?"

Zahrany terdiam. Sejujurnya ibunya jelas akan marah jika tahu Zahrany bekerja di sebuah bar. Bar identik dengan dunia malam dan gadis-gadis nakal. Alkohol dan juga pria-pria pemabuk. Dan ibunya jelas tidak akan mau jika anaknya menjadi salah satu dari orang-orang yang bercitra jelek di masyarakat. Tapi mereka jelas tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan penilaian orang lain.

Kontrakan mereka harus tetap dibayar setiap bulannya. Begitu juga tagihan listrik, air dan biaya sekolah adik Zahrany. Gaji Zahrany sebagai pelayan di restoran cepat saji dan juga gaji ibunya sebagai asisten rumah tangga memang cukup untuk memenuhi kehidupan mereka setiap bulan. Tapi semua itu jelas tidak cukup untuk membayar utang mereka pada rentenir yang terus mengejar mereka seperti penjahat yang tak berperasaan.

Ya. Zahrany memilih untuk mengabaikan tanggapan orang-orang. Minimal sampai Zahrany bisa membayar lunas semua utang mereka pada rentenir dan mereka berhenti mengejarnya. Setelah itu, ia akan berhenti bekerja di bar dan kembali bekerja menjadi pelayan saja.

"Aku usahain Ibu gak tahu tentang ini, Mba." Jawab Zahrany lirih. "Cukup sampai aku dapet uang buat bayar utang, setelah itu aku berhenti kerja disana." Ucap Zahrany dengan yakin yang dijawab Heka dengan anggukkan.

"Ya udah, itu keputusan loe. Gue cuma bantuin aja." Jawab Heka yang ditanggapi penuh syukur oleh Zahrany. "Kalo gitu, nanti gue coba hubungin temen gue kapan kita bisa ketemuan." Ucao Heka lagi yang dijawab Zahrany dengan anggukkan. Dan ssat menjelang sore, Heka mendekatinya dan berbisik. "Habis kita pulang kerja, kita ke tempat kerja temen gue." ucapnya yang lagi-lagi dijawab anggukkan oleh Zahrany.

Mereka keluar dari restoran pada pukul sembilan malam. Dengan motor matic milik Heka, mereka pergi ke tempat temannya Heka bekerja. Namun Zahrany dibuat heran karena Heka malah memarkirkan motornya di area parkir sebuah restoran mewah berlantai tiga dimana banyak sekali mobil-mobil mewah dan mahal terparkir disana. Alih-alih di depan sebuah bar yang dalam bayangan Zahrany itu merupakan tempat berpencahayaan remang-remang dengan musik yang memekakkan telinga.

"Kenapa bengong?" tanya Heka seraya menyikut perut Zahrany.

"Bukannya Mba bilang temen Mba kerja di bar?" Tanya Zahrany bingung.

Heka menganggukkan kepala. "Iya, dia kerja di bar. Disini." Jawab Heka dengan santainya. Tapi Zahrany masih tidak bisa menemukan dimana pintu masuknya. Mengabaikan Zahrany yang masih kebingungan, Heka malah terkekeh dan meraih ponselnya untuk menghubungi temannya. "Barnya itu bukan disini, Za. Tapi di bawahnya. Di bawah restoran ini." Jelas Heka menjawab kebingungan Zahrany.

"Bawah? Maksudnya bawah tanah gitu?" tanyanya lagi dengan lugu dan Heka menjawabnya dengan anggukkan. Zahrany hendak kembali bertanya namun telepon Heka sudah tersambung sehingga Zahrany memilih untuk bungkam.

"Loe dimana? Gue ada di luar." Ucap Heka dengan nada cukup lantang padahal mereka berada di lokasi yang cukup sepi. "Oke, gue tungguin." Ucap Heka lagi masih dengan nada lantang dan kemudian mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam tas selempangnya. "Tunggu sebentar, temen gue bentar lagi keluar." Ucap Heka yang kembali Zahrany jawab dengan anggukkan.

Tak lama, Zahrany melihat seorang gadis muncul dari undakan yang ada di salah satu sudut area parkir. Gadis itu mengenakan celana jeans setengah paha berwarna biru pudar dengan atasan blus berwarna hitam berleher sabrina yang menunjukkan bahunya yang mulus. Saat pandangannya menemukan Heka dan Zahrany, gadis itu melambaikan tangan seraya tersenyum.

"Nama bar nya Jasmine." Bisik Heka pada Zahrany saat gadis bernama Jasmine itu mendekat.

"Nama bar?" tanya Zahrany bingung. Heka menganggukkan kepala.

"Temen gue bilang, cukup loe dan yang punya bar yang tahu nama asli loe. Sisanya loe dipanggil pakai nama panggilan bar." Lanjutnya yang kemudian diangguki Zahrany.

"Hai, gak lama kan nunggunya?" tanya gadis bernama Jasmine itu dengan ramah pada Heka dan Zahrany. Keduanya serempak menggelengkan kepala. "Jadi ini temen loe yang mau kerja itu, Mba?" tanya Jasmine seraya memandang Zahrany dengan tatapan menilai. "Masih seger." Ucapnya seraya mengulurkan tangan dan menyentuh rahang Zahrany secara tiba-tiba. Menggerakkan wajah Zahrany ke kiri dan ke kanan dengan tatapan menilai. "Loe beneran udah cukup umur?" tanya gadis itu seraya mengerutkan dahi. "Wajah loe soalnya kayak bocah SMA gini." Komentarnya sambil terkekeh.

"Saya udah cukup umur, Mba. Tahun ini mau dua puluh." Jawab Zahrany jujur.

"Mana KTP loe." Pinta gadis itu seraya menengadahkan tangan. Zahrany merogoh tasnya dan mengeluarkan KTP dari dompet lusuhnya. "Zahrany Misha Fauza, ama yang bagus. Tapi mulai malam ini, nama loe disini jadi Ara." Ucap gadis itu seraya menyerahkan kembali KTP Zahrany.

"Malam ini?" tanya Zahrany dengan dahi berkerut.

Jasmine menganggukkan kepala. "Loe mau kerja kan?" tanya gadis itu yang dijawab Zahrany dengan anggukkan kepala. "Ya udah, loe mulai kerja malam ini juga. Kebetulan kita lagi kekurangan orang dan kebetulan juga gue ada seragam ganti. Dan kalo gue taksir, ukuran loe kayaknya sama kayak gue." ucapnya yang diangguki Heka. "Ayo masuk." Ucap gadis itu seraya mengedikkan kepala sebelum berbalik dan kembali berjalan menuju tempat dimana tadi dia muncul.

Zahrany memandang Heka namun temannya itu malah balik mengibaskan tangannya, melepas Zahrany begitu saja.

"Gue titip dia ya." Ucap Heka lantang pada Jasmine yang dijawab gadis itu dengan kibasan tangan. "Kerja yang bener. Inget, sampai utang loe beres." Ucap Heka seraya naik kembali ke atas motornya dan mengenakan helmnya. Zahrany yang bingung akhirnya berlari kecil mengejar Jasmine.

Mereka menuruni tangga dan di bawah tangga itu terdapat sebuah pintu besi yang dikunci dengan menggunakan password. Jasmine membukanya, menunggu Zahrany masuk sebelum kemudian gadis itu menutup pintu di belakangnya.

"Kerja disini cuma ada satu shift doang. Tapi jam kerjanya dihitung per jam. Bar dibuka jam 7 tutup jam empat pagi. Tapi karena loe kerja di resto sampe jam sembilan, loe bisa mulai kerja dari jam sepuluh. Nanti akan ada orang yang bikinin loe finger print buat absensi.

Closing di tanggal dua lima tiap bulan. Awal bulan loe nerima gaji berdasarkan banyaknya jam kerja loe. Kalo bar lagi rame, bos akan ngasih loe bonus. Tapi tips dari pelanggan itu jadi hak milik loe. Sampai segini loe paham?" tanyanya seraya terus melangkah melewati lorong tanpa melihat apakah Zahrany mengikutinya atau tidak.

"Ngerti Mba." Jawab Zahrany dengan nada datarnya.

"Bagus." Ucap gadis itu seraya membuka salah satu pintu yang merupakan dapur yang berisi oleh orang-orang berseragam yang tengah sibuk dengan kegiatan memasak.

"Lantai satu sama dua itu resto bintang lima. Dan mereka-mereka ini chefnya." Lanjur Jasmine menjelaskan. "Lantai tiga itu kamar-kamar yang bisa dipesan oleh pelanggan bar kita." Ia kembali membuka pintu dan menuju lorong panjang yang remang-remang. Zahrany tidak yakin kalau ia akan hafal jalan keluar nantinya.

"Bar ini bukan bar murahan." Komentarnya lagi. "Gak sembarangan tamu bisa masuk kesini. Cuma VVIP yang tergabung menjadi member aja yang bisa masuk. Jadi loe mesti inget kalo orang yang akan loe layani nanti itu adalah orang-orang yang berkuasa." Ucap Jasmine secara membuka pintu yang bertuliskan khusus staff. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa loker dan juga di dalamnya ada kamar mandi yang sepertinya diperuntukkan untuk karyawan perempuan saja. "Jadi, bisa aja kalo orang yang loe layani itu anak pejabat, pengusaha, atau orang-orang penting yang mungkin wajahnya sendiri gak pernah muncul di layar kaca.

Tapi loe tenang aja, bos disini baik. Dia gak ngijinin konsumennya dan juga gak suka kalo konsumennya ngelakuin hal yang macam-macam sama anak buahnya.

Aturan utama di bar ini, gak ada pelecehan dalam bentuk apapun. Perkataan ataupun sentuhan.

Tapi kalau memang konsumen yang memang butuh 'pelayanan' dari kita, mereka wajib bahas dulu sama si bos. Dan kalo kita emang mau, nanti kita sama klien bisa deal-dealan di belakang. Loe paham kan?" tanya Jasmine yang dijawab anggukkan oleh Zahrany. "Bagus." Puji Jasmine dengan senyum di wajahnya. "Jadi semisal nanti loe dapat perlakukan tak menyenangkan dari konsumen, loe bilang sama gue, nanti gue yang ngadu sama bos.

Trus kalo misal ada konsumen yang udah kelihatan terlalu mabuk, loe juga bilang sama gue, bos atau sama penjaga biar nanti kita urus apa dia bakal disuruh balik atau dia bakal disuruh nginep di lantai atas." Lanjut Jasmine lagi dan lagi-lagi Zahrany hanya menganggukkan kepala. "Intinya sebenernya adalah, mereka yang datang kesini kebanyakan itu cowok-cowok tajir yang kesepian. Jadi selama loe jadi pendengar yang baik dan bersikap manis, gue yakin loe bisa pulang dengan tip yang banyak di saku loe." Ucap Jasmine yang hanya Zahrany jawab dengan kebisuan.

Orang kaya dengan masalahnya, orang miskin pun dengan masalah tersendiri. Betapa mirisnya hidup ini. Batin Zahrany.

Jasmine membuka salah satu loker dan mengambil sesuatu dari dalamnya. "Ini baju ganti gue." gadis itu menyerahkan pakaian pada Zahrany. "Loe bisa simpen barang loe disini," tunjuknya pada loker kosong yang ada di ruangan itu. "kuncinya loe ambil. Gue tunggu diluar. Setelah loe ganti baju, gue ajak loe ketemu bos." Ucapnya dan kemudian meninggalkan ruang ganti begitu saja.

Dengan cepat Zahrany mengganti pakaiannya dengan pakaian milik Jasmine yang ternyata memang pas di badannya. Ia melipat pakaiannya dan memasukkan pakaian serta tasnya ke dalam lemari. Namun saat hendak meninggalkan kamar ganti, Zahrany teringat kalau dia belum menghubungi ibunya. Ia meraih ponselnya dan mengirimkan pesan pada sang ibu supaya tidak cemas karena dia akan menginap di rumah temannya malam ini. Sementara untuk malam-malam lainnya, Zahrany akan mencari alasan lain yang masuk akal yang bisa ibunya terima.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kisah Yang Kuinginkan 1 - 2
55
13
Adskhan tidak pernah menduga kalau dia akan jatuh cinta untuk kedua kalinya. Luka akibat pengkhianatan di masa lalu membuatnya menutup diri selama ini. Namun sejak pertemuan pertama, sosok Caliana Noushafarina sudah membuatnya terpesona. Caliana tak menyukai Adskhan. Atasannya yang berstatus duda itu jelas bukan pria baik-baik. Dan saat pria itu dengan terang-terangan berusaha menunjukkan perhatiannya, Caliana dengan terang-terangan berusaha menolaknya. Jelas, duda tak pernah ada dalam daftar calon suami idamannya. Thank You and See You
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan