
Lima – Rumah
Rumah tangga kami berjalan dengan harmonis. Kerja keras mas Chandra akhirnya membuahkan hasil yang indah. Tepat di ulang tahun anak kami yang pertama, dia mendapatkan promosi kenaikan jabatan yang berarti gaji dan tunjangannya pun turut naik meskipun sebenarnya aku tidak pernah tahu jumlah tepatnya.
Dan lagi-lagi, karena merasa kalau kami mampu, mas Chandra mengusulkan supaya kami mulai hidup mandiri dan tinggal terpisah dari ibu.
“Kalau kalian pindah, bagaimana dengan kami?” tanya ibu mertuaku saat mas Chandra mengatakan rencananya untuk pindah.
“Aku tentu akan tetap membiayai ibu dan Cinta.” Jawab mas Chandra tegas. “Lagipula aku juga tidak pindah kota. Aku berencana membeli tanah atau rumah yang ada di daerah sini lalu merenovasinya supaya huniannya nyaman. Semakin lama keluargaku semakin besar, Bu. Begitu juga dengan Aanaya. Tidak mungkin dia selamanya harus tidur sekamar dengan kami dan aku juga tidak mungkin memintanya tidur bertiga dengan ibu dan Cinta.
“Dan jika kami pindah, Cinta justru bisa memiliki kamarnya sendiri. Bukankah itu maumu, Dek?” tanya mas Chandra pada Cinta yang mengangguk malu-malu sebagai jawabannya.
Cinta saat itu akan menginjak tujuh belas tahun, jadi sangat wajar jika remaja seusianya menginginkan privasinya sendiri. Dan sejujurnya aku setuju dengan rencana mas Chandra maka dari itu aku mendukungnya untuk pindah.
“Tapi kan kamu bisa merenovasi rumah ini saja, Chan.” Ibu mertuaku kembali bersuara.
“Bu, rumah subsidi itu tidak boleh diubah sebelum lima tahun. Jadi kalaupun kami mau merenovasinya dengan menambah lantai, kalau pihak developer tahu itu akan menjadi masalah.” Itu bukan kebohongan, kami memang menandatangani perjanjian tersebut saat mengajukan kredit perumahan.
“Sudahlah Bu, mumpung Chandra ada rejeki, ya?” Mas Chandra membujuk. “Ibu tenang saja, aku dan Rani sudah bersepakat kalau kami akan menambah kamar untuk ibu di rumah kami yang baru nanti.” Bujuknya yang membuat ibu mertuaku tersipu malu. “Dan lagi, aku dan Rani sudah bersepakat kalau rumah ini nanti akan dialihnamakan atas nama ibu, jadi ibu tidak perlu mencemaskan apapun lagi.” Lanjut mas Chandra yang membuat hati ibu mertuaku semakin berbunga-bunga.
Itu juga bukan janji palsu. Aku sangat setuju dengan rencana mas Chandra untuk memberikan rumah itu pada ibu mertuaku karena jujur saja, aku kasihan pada ibu mertuaku. Selama ini—selama beliau menjalani hidup rumah tangga dengan mendiang ayah mertuaku—ibu hidup dengan berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain dan aku tahu itu sangat menyusahkan.
Membereskan perabotan, memindahkannya untuk kemudian menyusunnya lagi itu sangat melelahkan. Bayangkan saja, membereskan kamar sendiri saja sudah sangat menguras waktu dan tenaga apalagi membereskan satu rumah lengkap dengan perintilan-perintilan kecilnya yang kadang ada barang-barang yang harus dibuang tapi sayang, namun juga ada barang yang harus disimpan namun malah memakan tempat karena jarang digunakan.
Jadi aku dengan senang hati mengabulkan keinginan suamiku untuk berbakti pada wanita yang sudah melahirkannya karena aku tahu, berkah dan rejeki dari Allah akan Dia ganti lebih banyak kepada kami setelah kami membahagiakan ibunya.
Kami lalu jatuh cinta pada sebidang tanah yang ada di area yang tak jauh dari perumahan kami, sayangnya saat itu tabungan kami belum cukup untuk membelinya. Dan entah mendapatkan kabar dari siapa, ibuku tiba-tiba menghubungiku dan mengatakan kalau dia akan membantu kami untuk menutupi sisa uang tanah dengan syarat kalau sertifikat tanah itu harus dibuat atas namaku.
Pada awalnya Mas Chandra menolak dan mengatakan kalau sebagai suami sebaiknya tanah itu atas namanya. Namu ibuku—dengan ketegasannya—mengatakan kalau tanah itu harus atas namaku dan baru boleh Mas Chandra alihnamakan menjadi miliknya jika Mas Chandra bisa mengembalikan uang yang ibuku bayarkan.
Aku membujuk Mas Chandra dan mengatakan kalau nama siapapun yang tertera di sertifikat tidak akan menjadi masalah toh kami suami istri. Dan pada akhirnya Mas Chandra setuju karena dia pun tidak mau kehilangan tanah itu.
Setelah tanah kami dapat, kami mulai mencicil menabung bahan bangunan. Prosesnya tidak terlalu lancar, apalagi aku kemudian hamil Rania. Dan lagi-lagi, ibuku menawarkanku bantuan.
“Mama akan memberimu uang untuk menyelesaikan pembangunanmu.” Tiba-tiba saja ibuku menghubungiku yang lagi-lagi membuatku bertanya-tanya darimana beliau tahu tentang kabar itu karena aku tidak pernah mengeluhkan apapun pada beliau sebab tidak mau menambah beban beliau.
“Anggap saja ini utang, Mas, kita catat pengeluaran Mama dan setelah ada uang, kita kembalikan. Walau bagaimanapun uang itu pasti tabungan pensiun mendiang Ayah.”
“Kenapa harus diganti?” ibu mertuaku tiba-tiba menyela. “Pada akhirnya uang ibumu akan dia berikan padamu saat dia meninggal. Jadi sekarang atau nanti kan sama saja.” Komentarnya yang sebenarnya membuat hatiku tercubit kala itu.
“Ibu benar. Anggap saja ini uang warisanmu yang ibumu keluarkan lebih awal.”
Mamaku memang tidak menjadikannya sebagai utang tapi tetap saja aku merasa bahwa itu bukan kewajiban beliau untuk membangunkanku rumah, melainkan kewajiban Mas Chandra sebagai suami. Namun masalah itu tidak pernah aku bahas lagi karena ibuku mengatakan, “Tanah itu atas namamu, jadi rumah itu pun milikmu. Mama tidak akan memintamu atau Chandra mengembalikan uang yang sudah Mama keluarkan. Tapi sebagai gantinya, jika suatu saat ada masalah maka bukan kamu yang harus meninggalkan rumah itu, tapi Chandra.”
Saat itu aku tidak mengerti maksud ucapan ibuku dan hanya bisa berterima kasih atas semua pengorbanannya untukku.
Dan tepat saat aku melahirkan Rania, kami bisa menghuni rumah itu.
Namun kami yang tadinya hendak hidup terpisah dari ibu nyatanya tidak bisa mengabulkan keinginan itu sebab saat itu Cinta mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar kota dan ibu mertuaku mengatakan kalau dia tidak berani untuk tinggal di rumah subsidi kami sendirian.
“Kalau ibu sakit, siapa yang akan menjaga ibu?” Itulah yang ibu mertuaku katakan saat itu yang membuat hati kami terasa sakit mendengarnya.
Alhasil, saat Cinta pergi ke luar kota, ibu mertuaku resmi tinggal kembali bersama kami dan menempati kamar yang memang sudah aku dan mas Chandra persiapkan untuknya.
“Kalau begitu, bagaimana dengan rumah lama kita?” tanyaku pada Mas Chandra di suatu malam. Kami jelas tidak bisa membiarkan rumah itu dibiarkan begitu saja karena jika dibiarkan tidak berpenghuni lama kelamaan rumah itu akan dingin dan lapuk.
“Ibu sudah mengiklankan rumah untuk disewakan beserta dengan isinya.” Jawab Mas Chandra dengan nada tenangnya. “Itu bukan ide yang buruk karena dengan begitu uang sewanya bisa kita gunakan untuk membayar angsuran.” Lanjutnya lagi.
Rumah itu memang masih harus kami angsur selama kurang lebih enam tahun lagi. Sebelumnya kami sudah bicara dengan pihak developer tentang pelunasan rumah. Namun rupanya, jika kita ingin melakukan pembayaran penuh atas perumahan subsidi, jatuhnya kita malah membayar denda atau apalah namanya sehingga jumlah yang kita bayarkan jika diakumulasikan jatuhnya malah lebih mahal. Jadi kami sepakat untuk tidak melunasinya secara langsung dan tetap menyicilnya per bulan.
Meskipun sudah kembali hidup dengan ibu—minus Cinta namun ditambah dengan dua anakku—hidup kami masih aman tentram dan damai. Ibu mertuaku bukan tipe yang suka mengusik kehidupan pribadiku dan akupun demikian. Istilahnya kami sama-sama mencari nyaman bagi kami sendiri. Selama dia sehat, bisa makan enak dan tidur nyenyak, bagiku dia mau pergi kemanapun atau bersama siapapun aku tidak masalah.
Kalaupun ada percekcokan kecil diantara kami entah itu karena cara mendidik anak-anakku yang menurutnya salah atau berbeda dengan caranya. Atau perkara tentang urusan dapur dan lainnya, itu tidak pernah menjadi perkara besar yang harus melibatkan mas Chandra untuk mendamaikan kami berdua karena biasanya kami akan berdamai dengan sendirinya hingga saat malam hari tiba, kami makan malam dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku bisa memahami pemikirannya karena aku tahu bahwa kami ini dua kepala dengan pemikiran dan generasi yang berbeda. Dan hubunganku dengan Cinta juga sama baiknya. Aku bukan tipe kakak ipar yang pelit. Meskipun aku hanya berkomunikasi seadanya, tapi aku selalu memastikan semua kebutuhan Cinta terpenuhi. Dia tidak pernah kekurangan jajan, tidak pernah tidak makan dan selalu mendapatkan hunian yang nyaman entah semua biaya itu dia terima dengan atau tanpa sepengetahuan suamiku.
Intinya kami tidak pernah bertengkar karena selain aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluargaku, aku juga selalu yang menjadi pihak yang mengalah.
Tapi jika kalian bertanya apakah aku pernah merasa sakit hati pada ibu mertuaku, maka jawabannya : ya, pernah.
Tapi semua keluh kesahku tentang ibu mertuaku hanya aku bicarakan dengan suamiku—sebagai bentuk uneg-unegku saja tanpa bermaksud mengadudombakannya dengan ibunya atau memicu pertengkaran mereka. Dan mas Chandra selama ini mengerti dan selalu menenangkanku dengan caranya.
Tapi ada satu hal yang paling membuatku sakit hati pada beliau adalah perlakuan beliau pada ibuku.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
