
Empat – Awal Mula
“Tidak, Ibu. Aku tidak menghinanya. Kalau Ibu lupa, aku juga besar tanpa seorang ayah.” Ucapku mengingatkan. “Dan mas Chandra adalah sosok yang kuharapkan bisa melindungiku seperti harapanku pada ayahku.” Lanjutku mengingat alasanku dulu menerima Chandra yang usianya tiga tahun lebih tua dariku.
Sikap dewasanya, perhatiannya, kelembutannya membuatku merasa dia sosok yang tepat untuk aku bersandar. Dan meskipun aku tidak sampai terjerumus sampai menyerahkan tubuhku pada mas Chandra sebelum aku halal seperti Susan, tapi ya, nyatanya aku terjebak dengan janjinya bahwa dia akan setia padaku dan hanya memiliki aku sebagai wanitanya.
“Chandra tidak akan mencari wanita lain jika kondisimu tidak seperti ini.”
“Itulah kenapa kukatakan pada Cinta supaya dia jangan sampai mengalami nasib yang sama sepertiku.” Aku kembali pada kalimat awalku. “Sakit itu mahal, Cinta. Selain biaya untuk berobat, penyakit juga bisa membuatmu kehilangan suami dan mungkin rumah tanggamu.” Ucapku mengabaikan ibu mertuaku dan memandang tepat kepada Cinta yang membuat gadis itu menatapku terkejut.
Aku mendengar ibu mertuaku mendengus. Mau tak mau aku menoleh dan menatapnya penuh tanya.
“Akhirnya aku tahu kenapa Chandra berpaling pada Susan.” Ucapnya dengan nada merendahkan. “Susan jelas lebih baik daripada kamu.” Ucap ibu mertuaku dengan sinis. “Dia wanita yang memiliki tata krama. Dia tidak pernah menyanggah perkataanku dan sangat sopan terhadapku. Dia tidak pernah mengeluh dan juga sangat lembut kepada Chandra. Bahkan dia memperlakukan anak-anakmu dengan baik. Tidak seperti kamu.”
Aku mengerutkan dahi. “Memangnya aku seperti apa?” tanyaku ingin tahu.
Seingatku, selama ini aku selalu berbakti pada ibu mertuaku. Aku tidak pernah membantahnya—kecuali hari ini—dan bahkan aku tidak pernah membentaknya sekalipun dulu sekali dia pernah teledor saat mengasuh putriku.
Bahkan demi baktiku pada mas Chandra, aku mengabaikan ibuku sendiri. Wanita yang sudah membesarkanku, mendidikku dan mencintaiku.
Jika kuingat kembali, selama delapan tahun menikah dengan mas Chandra, akulah yang banyak mengalah pada suami dan ibu mertuaku.
Demi apa?
Demi menjaga kebutuhan rumah tangga kami.
Seingatku aku tidak pernah bersikap egois pada ibu mertua dan adik iparku dan rela berbagi semuanya untuk ibu mertuaku dan adik iparku meskipun aku harus kesusahan sendirian.
Aku dan mas Chandra pertama kali bertemu saat kami sama-sama bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distributor. Saat itu aku baru lulus kuliah dan berhasil di terima menjadi staff administrasi di perusahaan tempat mas Chandra lebih dulu bekerja sebagai seorang sales.
Satu tahun kami berkenalan dan berhubungan tanpa status yang jelas, tiba-tiba suatu saat mas Chandra meminangku.
Mas Chandra sudah memberitahuku kondisi keluarganya khususnya kondisi keuangannya. Mas Chandra dengan jelas memberitahukan bahwa sepeninggal ayahnya dialah yang membiayai ibu dan adiknya dan setelah menikah akan tetap seperti itu. Belum lagi dia tidak punya rumah sendiri dan jika kami menikah, mau tak mau aku harus rela hidup mengontrak.
Jika wanita lain yang selama ini dia dekati dan dia ajak serius tidak pernah mau lagi berurusan dengannya setelah mendengar kisahnya, maka berbeda denganku. Aku justru menerimanya dengan mudah.
Kenapa?
Karena aku selalu mengingat pesan dari mendiang ayah kalau mencari calon suami itu selain dilihat dari rupanya, agamanya dan kekayaannya, aku juga harus melihat bagaimana caranya dia bersikap pada keluarganya, khususnya ibunya. Dan kulihat mas Chandra sangat mencintai ibunya dan dia juga sangat hormat pada ibuku. Jadi apalagi yang harus aku cari?
Aku lantas memberitahukan perihal lamaran mas Chandra kepada ibuku. Kala itu Mama bertanya tentang keseriusanku. Beliau sebenarnya tidak setuju aku menikah di usia muda—meskipun dulu beliau dan ayahku menikah sebelum usianya genap dua puluh tahun—Bahkan ibuku mengatakan ketidaksetujuannya itu pada mas Rio, kakak angkatku yang kemudian datang padaku dan membicarakan hal yang sama bahwa dia juga tidak setuju aku untuk menikah muda.
Mas Rio mengatakan supaya aku berpikir dengan matang sebelum menikah karena saat itu usiaku masih dianggapnya terlalu muda dan dia juga mengatakan kalau aku masih punya cukup waktu untuk memilih, bukannya menerima lamaran pertama yang datang padaku.
Tapi aku sudah memantapkan hatiku. Aku sangat yakin dengan mas Chandra dan aku yakin dengan keputusanku untuk membina rumah tangga dengannya.
Dan kemudian aku menikah. Mama ingin aku menikah secara besar-besaran karena aku anaknya satu-satunya, tapi ibu mertuaku menolak dan mengatakan kalau dia tidak memiliki uang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan. Belum lagi mereka tidak punya banyak orang untuk diundang. Namun Mama mengatakan kalau dia bersedia menanggung semua biayanya sementara ibu mas Chandra hanya perlu menyediakan mahar dan uang administrasi untuk KUA. Tapi kali ini mas Chandra yang menolak. Menurutnya, jika memang ada uang lebih daripada digunakan untuk pesta sehari lebih baik digunakan untuk membeli tanah atau menjadikan uang itu sebagai uang DP perumahan.
Aku tidak tahu apakah ini sindiran, gurauan atau memang keinginan, tapi setelah kuingat lagi ibu mertuaku pernah bertanya tentang ‘uang resepsi’ yang pernah mamaku katakan. Beliau sempat berkata padaku : ‘Kalau mamamu punya uang sebanyak itu untuk membuatkan pesta pernikahan untukmu, kenapa kamu tidak minta mentahnya saja? Dengan begitu kamu dan Chandra bisa membeli sebuah rumah kecil di perumahan subsidi.’ Yang kala itu kuanggap sebagai gurauan saja karena aku juga tidak mau mengambil uang pensiunan mendiang ayah atau tabungan ibuku.
Pernikahan kami bisa dikatakan aman dan damai. Awal pernikahan, ibu mertuaku melarangku untuk mengontrak rumah secara terpisah dan ingin aku serta mas Chandra tinggal bersamanya. Katanya supaya mengirit pengeluaran.
Aku terima saja karena kurasa saat itu aku tidak mengganggu privasi siapapun dengan pindah ke rumah kontrakan ibu mertuaku. Toh selama ini mas Chandra memiliki kamar sendiri dan ibu mertuaku memang tidur berdua dengan Cinta jadi aku tidak mengganggu privasi ibu ataupun Cinta kecuali membuat kamar mas Chandra menjadi semakin sempit karena harus menambah beberapa barangku di dalam sana.
Dan perkara keuangan, kami juga tidak pernah berselisih karena aku dan mas Chandra sudah membuat perjanjian kalau pengelolaan keuangan mereka akan sama seperti sebelumnya—diatur oleh ibunya. Jadi, semua gaji yang didapatkan oleh mas Chandra—termasuk uang yang dulu dia gunakan sendiri untuk biaya operasionalnya yang dianggap sebagai jatah hidupku—dia serahkan kepada ibunya untuk bekal Cinta ke sekolah dan kebutuhan sehari-hari.
Sementara untuk kehidupan kami berdua—kebutuhan sehari-hari kami termasuk uang bensin dan rokok Mas Chandra—akan diambil dari gajiku. Oh ya, sebulan setelah pernikahan kami juga mengajukan kredit perumahan subsidi. Untuk uang DP nya itu hasil dari amplop pernikahan kami sementara untuk cicilan bulanannya itu dari uang gajiku.
Enam bulan setelah menikah, aku hamil. Kami memang sengaja tidak menunda kehamilan. Baik aku ataupun mas Chandra sama-sama menginginkan hadirnya seorang anak. Dan entah mungkin rejeki anak kami yang Allah titipkan lewat perantara mas Chandra atau memang rejeki kami setelah menyempurnakan separuh agama, mas Chandra yang iseng-iseng melamar bekerja di sebuah bank milik BUMN mendapatkan kabar kalau dia diterima.
Gaji yang diperolehnya tentu saja sangat jauh berbeda daripada saat beliau bekerja menjadi salesman distributor makanan. Bahkan berkali-kali lipat jika ditambah dengan bayaran lembur, bonus, insentif dan bonus hari raya. Saat merasa kondisi keuangan kami sudah stabil dan merasa kalau dia bisa memenuhi kebutuhan kami semua—aku, calon anakku, ibunya serta adiknya juga semua cicilan kami—mas Chandra mewujudkan mimpiku yang ingin menjadi ibu rumah tangga dan mengasuh anak di rumah dengan menyuruhku berhenti bekerja untuk fokus dengan anak-anakku.
Meskipun ibu mertuaku tidak suka karena aku menganggur, namun mas Chandra berhasil menenangkannya dengan memberikannya uang jajan yang nilainya sama dengan gaji yang dulu beliau berikan pada ibunya saat masih menjadi salesman.
Jika dulu gaji yang mas Chandra berikan harus ibu mertuaku gunakan untuk keperluan semua orang, kini jumlah gaji itu bisa dia gunakan untuk dirinya sendiri. Sementara keuangan rumah tangga kami, sejak saat itu akulah yang berganti mengurusnya dan ibu mertuaku serta mas Chandra tidak mau tahu apa-apa. Alias uang yang dia berikan, cukup tidak cukup harus cukup.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
