
Deskripsi
Lima puisi ini menjadi kumpulan puisi pertama yang saya terbitkan di karyakarsa.com. Barangkali tidak seindah puisi para penyair besar, namun setidaknya puisi-puisi ini bisa menjadi secangkir kopi yang menemani para pembaca saat menikmati jeda kehidupan.
Ada 5 puisi yang saya tulis:
- Sesunyi Apa Malammu?
- Kita Ini Siapa?
- Sepasang Mata
- Lelaki Tua
- Sebuah Tanya
Selamat menikmati ibadah puisi!
[Puisi 1]
Sesunyi Apa Malammu?
kau membuatku bertanya-tanya
sesunyi apa malammu
hingga doa-doa kuyup
mengucur dari mata...
Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
SUARA
1
0
Saya masih tertegun sekaligus tidak habis pikir. Baru saja ada seseorang yang datang ke rumah. Istri saya buru-buru memanggil. Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda yang begitu rapi cara berpakainnya. Memakai kemeja putih dan celana hitam. Dari penampilan itu, saya menebak bahwa dia adalah seorang sales. Tapi sales apa? Tidak terlihat pemuda itu membawa barang seperti lazimnya seorang sales.
Jadi begini, Pak....
Kurang lebih limabelas menit pemuda itu berkata-kata. Ternyata saya salah. Dia bukan sales, meskipun cara bicaranya sangat menyerupai seorang sales senior: santun, sopan dan tentu ada sihir di dalam setiap kalimatnya. Tapi saya bukan orang yang mudah disihir dengan kata-kata. Tanpa pikir panjang, saya usir pemuda itu. Tak hanya sekali ini saja namun hari-hari berikutnya dia juga saya usir bahkan sebelum mengucapkan sepatah kata pun.
Saya mengusir pemuda itu bukan tanpa alasan. Ia menjelaskan bahwa ingin membeli suara saya. Gila! Memang siapa yang mau menjual suaranya sendiri? Siapa yang mau menjadi bisu? Tidak sudi suara saya dibeli dengan harga berapa pun. Tidak sudi pula saya harus menggunakan bahasa isyarat setelah suara ini dibeli. Tapi pemuda itu tidak pernah menyerah, setiap diusir, sesering itu pula ia datang dan datang kembali.
***
Pagi ini, ditemani secangkir kopi dan koran, saya menikmati udara yang semakin beracun. Maklum, sebagai orang yang hidup di tengah kota, udara bersih sudah menjadi barang yang semakin langka. Kota sudah menjadi seperti tempat penyiksaan. Saban hari suara kendaraan menderu-deru, dari pagi, siang, malam dan kembali pagi lagi. Tidak sekalipun saya mendengar suara Jangkrik, Kodok dan binatang lainnya. Tidak juga mendengar suara kesunyian yang dulu, saat masih di desa, suara kesunyian adalah suara yang menjadi lagu pengantar tidur. Tapi di kota ini, saya harus merasakan rasanya susah tidur.
Sambil membaca deretan kata di koran, hati saya berdoa semoga pemuda itu tidak datang lagi hari ini. Saya sudah bosan sekaligus malu jika harus mengusir orang yang sama berulangkali. Selain itu, saya juga takut Tuhan marah sebab tidak memuliakan tamu seperti apa yang telah Dia perintahkan. Tapi, tamu ini sangat kurang ajar, barangkali Tuhan mau berkompromi.
Doa itu tampaknya terkabul. Biasanya di saat seperti ini, pemuda itu datang. Kedatangannya benar-benar membuat saya merasa terganggu. Namun sampai sekarang, tidak terlihat batang hidungnya. Justru seorang teman di desa yang datang. Namamya Hasan. Dia adalah teman yang sudah saya anggap saudara sendiri. Pastilah kedatangannya kemari ingin mengabarkan sesuatu yang penting. Tapi apa?
Gawat, mas! ucapnya singkat.
Hasan yang biasanya kalem itu terlihat sangat khawatir. Entah apa yang sedang menimpa dirinya. Belum saya suruh masuk rumah, ia sudah nerocos menjelaskan kegawatan yang sedang terjadi. Sebuah hal serius yang saya sendiri juga menjadi ikut khawatir sekaligus bertanya-tanya. Bagaimana tidak, ia mengatakan bahwa ratusan orang di kampung halaman tiba-tiba kehilangan suaranya. Ya. Kehilangan suara. Suara yang sebenar-benarnya suara.
Hasan dengan nada yang bergetar bercerita bahwa sebelum kehilangan suara, mereka didatangi pemuda yang ciri-cirinya sama persis dengan pemuda yang berulang-ulang kali saya usir itu. Pemuda dengan baju putih dan celana hitam. Pemuda yang setiap kalimatnya mengandung sihir.
Kecurigaan saya terbukti ketika Hasan mengatakan bahwa orang-orang di kampung halaman sudah menjual suara mereka. Harganya beraneka ragam, ada yang laku limaratus ribu bahkan ada yang hanya rela ditukar dengan paket sembako seharga limapuluh ribuan. Astaga! Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Belum hilang rasa khawatir sekaligus penasaran itu, saya harus kembali disuguhkan dengan kenyataan bahwa ternyata tidak hanya di kampung halaman jual-beli suara itu terjadi, desa-desa lain di satu kecamatan juga mengalami hal yang sama. Gila! Semiskin itukah mereka hingga rela menjual suaranya dengan harga yang sangat murah? Apa yang sedang terjadi? Kenapa mereka rela menjual suara mereka sendiri?
Rasa penasaran itu membuat ingatan saya kembali kepada isu yang berkembang beberapa hari terakhir bahwa puluhan juta orang kehilangan suara mereka. Tidak sedikit desa yang berubah menjadi sunyi. Orang-orang hanya diam sambil tertunduk lesu meratapi kenyataan hidup yang kian sulit. Mereka hanya terdiam meskipun tatapan serta raut wajah terlihat ingin berteriak lantang. Satu sama lain hanya saling memandang dengan tatapan penuh kekosongan. Tatapan yang jauh dari cahaya harapan itu benar-benar membuat saya merasa iba. Tapi itu salah mereka sendiri sebab sudah rela menjual suaranya kepada orang yang bahkan tidak mereka kenal. Tanpa paksaan. Rela sama rela.
Mas! Kenapa diam? tanya Hasan membuyarkan semuanya.
Bagaimana dengan ibuku? Apakah dia juga kehilangan suara? tanyaku.
Tidak, mas. Ibu sampean baik-baik saja. Justru saya disuruh menemui sampean untuk menyampaikan pesan ini. Ibu ingin sampean cepat pulang.
***
Saya dan Hasan naik bus menuju kampung halaman. Di dalam bus, hanya kami yang masih memiliki suara. Orang-orang melihat kami bercakap-cakap dengan penuh rasa heran. Hasan tidak berhenti menceritakan tragedi hilangnya suara warga kampung. Orang-orang di dalam bus mendengarkan Hasan berbicara. Sebagian besar dari mereka mengangguk setiap Hasan menjelaskan perihal hilangnya suara itu. Sepertinya mereka setuju dan membenarkan cerita Hasan.
Bus melesat. Lima jam kemudian, kami sudah sampai di terminal. Rumah saya berjarak sekitar sepuluh kilometer dari terminal. Akhirnya saya dan Hasan menghampiri dua orang tukang ojek. Tentu kedua tukang ojek itu juga sudah kehilangan suara. Hasan menggunakan bahasa isyarat. Mereka hanya mengangguk dan menyerahkan helm kepada kami.
Sepanjang perjalanan, saya memilih diam. Setidaknya untuk menghormati tukang ojek yang kehilangan suara. Lagipula, kalau saya bicara, tukang ojek itu juga tidak akan membalas setiap kata yang saya katakan padanya.
Sesampainya di depan rumah, ibu sudah menunggu di depan teras. Ia tersenyum. Senyum yang membuat saya merasa lega. Ibu menyuruh saya masuk ke rumah. Suasana terlihat aneh.
Biasanya, ibu selalu bertanya, Cah bagus, piye kabare? setiap anak tunggalnya ini pulang kampung. Tapi entah kenapa, kalimat itu tidak saya dengar hari ini. Mungkin ibu lupa, atau sedang sakit gigi?
Di dalam rumah, ibu sibuk menyiapkan minuman. Tanpa bicara. Dia hanya diam. Saya mulai khawatir. Jangan-jangan ibu sudah menjual suaranya?
Ibu sehat? tanya saya untuk memastikan kekhawatiran itu.
Ibu hanya diam. Barangkali dia tidak mendengar pertanyaan saya.
Bagaimana kabar ibu?
Ibu masih diam. Akhirnya saya menuju dapur. Di dapur ibu duduk terdiam dan sudah berlinang air mata, tanpa suara. Saya tertegun. Ibu memeluk saya. Sejak saat itu, saya bersumpah akan membunuh pemuda itu. Pemuda yang sudah membeli suara ibu saya.
Yogya, 2019
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan