
Bercerai.
Dan dengan tidak tahu diri ia bekerja di kantor yang dipimpin oleh mantan suaminya.
Rahasia.
Status mereka harus menjadi rahasia demi kebaikan bersama.
Demi masa depan mantan suaminya. Demi kehidupan nyaman yang akan Lara jalani.
Tapi ... mengapa semuanya menjadi berat? Apalagi kala, Lara melihat bagaimana mantan suaminya dekat dengan wanita lain.
Hai, sebelum masuk ke ceritanya, aku mau kenalan dulu wkwkwk. Aku Resa Anisa, biasanya sih nulis di Wattpad. Tapi kalian hanya bisa baca cerita ini ekslusif di Karyakasa aja. Semoga suka ya. Aku usahakan untuk up date setiap hari di sini👍👍
Chapter 01
Lara menarik napas dalam, sembari menatap gedung yang ada di hadapannya saat ini. Gedung megah yang terpampang berpuluh-puluh lantai. Setiap orang di daerah Bandung pasti akan tahu jika, bangunan megah ini adalah salah satu kepunyaan dari Naver Group.
Yaps.
Naver Group adalah sebuah perusahaan besar yang kekuasaannya mencakup banyak hal. Terlebih produk-produk yang mencakup kebutuhan rumah tangga seperti sabun cuci baju, cuci piring, sabun mandi, sikat gigi, pasta gigi dan lain semacamnya. Ada juga beberapa makanan-makanan ringan dan camilan yang sudah hits dipasaran seperti Rama Kelapa, Mie Istimewa dan lain sebagainya. Perusahaan besar yang sudah berdiri dari tahun 1967.
Dan di sinilah Lara bekerja, di Naver Group. Perusahaan yang kini dikelola oleh mantan suaminya.
“Mbaaaak! Nunggu siapa sih?”
Lara membalikan sedikit tubuh, menatap sesosok gadis yang rambutnya terkucir rapi dengan senyum lebar yang terlihat sangat lucu.
“Nungguin kamu lah, Flo. Mbak tuh, tuhu kalau kamu belum datang.”
Sejak satu setengah tahun lalu, Lara bekerja di kantor ini atas tawaran mantan suaminya. Dan ya, karena ia tak tahan menganggur, jadi, mau tak mau, Lara menerimanya. Ia harus menghidupi diri dengan hasil kerja keras. Tak lupa, sang anak juga. Meski memang Devan selalu memberi uang bulanan yang cukup bagi sang anak tapi ya, tetap saja. Satu sisi, ia memilih untuk hidup lebih mandiri lagi.
Sudah sering terbayang dibenaknya, bagaimana nanti Devan akan memiliki keluarga baru, hidup harmonis dan sedikit melupakan keberadaan Juan, anak mereka. Jadi, kebanyakan hasil dari uang gajihan Lara yang syukurnya cukup besar itu ia tabungkan. Demi masa depan sang putra.
“Ih, Mbak Lara so sweet banget. Kalau gitu, ayo deh, masuk-masuk.”
Lara mengangguk, berjalan beriringan dengan Flo melewati gerbang perkantoran.
“Eh, Mbak, jadi gimana nih, keputusannya?” tanya Flo saat keduanya sudah sampai di depan loby.
Lara mengernyit heran. “Keputusan apa?”
“Itu loh, kemarin kan aku nawarin Om-ku yang duda muda. Mau enggak kalau Mbak ketemu dulu sama dia? Kenalan aja gitu, siapa tahu jodoh kan?”
Lara tersenyum kaku. Dua tahun jadi janda memang tidaklah indah. Tapi untuk kembali memulai hubungan dengan seseorang, untuk kembali lagi membuka hati demi seseorang juga bukanlah hal yang mudah terlebih, ia … masih mempunyai rasa yang sama besarnya bagi Devan. Jadi, demi apapun, ia belum bisa kembali melangkah bersama seseorang yang baru.
“Mmm, sorry banget ya, Flo. Kayaknya aku belum bisa deh.”
“Ih, kenapa sih, Mbak?” Flo merajuk. “Mbak udah nolak duda ganteng dari divisi sebelah. Mbak udah nolak klien yang padahal masih bujangan juga. Mana ganteng lagi. Terus, sekarang, apa? Kenapa Mbak nolak Om-ku yang khawt dan belum punya buntut? Sorry nih, ya, aku lancang, jangan-jangan, Mbak masih kebayang sama mantan suami?”
“Apa sih, Flo?” Lara geleng-geleng, keduanya berhenti dan ikut antrian lift bersama beberapa orang lain.
“Mantan suami Mbak itu sesempurna apa sih, sampe Mbak enggak mampu lupain dia?”
“Udah ah.” Lara tak mau membahas.
“Ayolah Mbak, dia ganteng? Banyak duit? Kharismatik atau apa sampai Mbak masih belum bisa move on?” Flo masih misuh-misuh.
“Dia B aja tahu. Aku cuma belum siap buat menjalin hubungan baru. Masih mau fokus kerja sama ngurusin Juan.”
“Ehm.”
Suara deheman keras membuat Flo juga Lara bungkam dan membeku. Sebelum bersama-sama menggerekan leher kaku mereka dan menengok ke arah belakang.
Sosok tinggi menjulang dengan tubuh kekar bak CEO-CEO yang sering tergambar di manhwa Korea terpampang jelas. Mengenakan kacamata berbingkai tipis, rambut hitam yang rapi dan tatapan setajam elang itu membuat Lara dan Flo gemetar.
Sesaat, tatapan sosok tampan tersebut terarah pada Lara, sebelah alisnya naik.
Iya, ini dia mantan suami rahasia Lara, Devan Mahendra. Anak dan pewaris tunggal dari Naver Group.
“Ngomong-ngomong, pintu liftnya udah kebuka. Kalau kalian mau ngelamun ya, silahkan tapi, jangan halangi jalan saya.”
Lara berkedip, sadar duluan sebelum menarik tangan Flo dan memberikan jalan selebar mungkin untuk Devan. Lihat kan, bagaimana ia bisa move on jika sosok mantan suaminya saja seorang manusia serba sempurna layaknya Devan Mahendra.
Lara dan Flo berjalan ke arah lift, memencet tombol lantai 09 sebelum berdiri dengan kaku.
Mungkin, Lara memang sudah menyia-nyiakan dan bodoh melepas Devan Mahendra begitu saja tapi sungguh, sumpah demi apapun, ia tak menyesal bercerai dengan Devan. Ia tak menyesal membiarkan Devan terbang jauh hingga ada di posisinya saat ini.
Setelah tiga bulan semenjak perceraian mereka, Devan langsung diangkat menjadi pemimpin Naver Group oleh Yuta Jaya, ayahnya. Devan semakin sukses, terkenal dan terdepan. Bayangkan, andai saja Lara masih mengurungnya dalam penjara pernikahan yang tak pernah direstui oleh keluarga Devan. Mungkin saat ini, laki-laki itu masih kerja keras banting tulang tak kenal waktu dan tak ingat keluarga seperti dulu.
Keputusan bercerai yang ia ambil adalah untuk, kebaikan semuanya. Kebaikan bagi Lara dan Devan.
Meski mungkin, mereka akan mengorbankan Juan tapi Lara berjanji, akan membahagiakan sang anak sebisa dan semampunya. Mengerahkan hidup dan mati sebagai penebus dosa atas kehilangan hangatnya kebersamaan keluarga.
Toh, meski saat ini ia dan Devan masih bersama, kehangatan itu tak akan pernah ada. Kehangatan itu hanya angan belaka.
Lift berhenti dan pintunya terbuka sesaat kemudian tepat di lantai sembilan. Lara dan Flo terbirit-birit keluar dan mengangguk sopan pada atasan muda mereka kemudian.
“Gila banget, aku kalau deket-deket sama Pak Devan itu rasanya mau mati aja Mbak. Auranya itu bener-bener bossy, menakutkan tapi menggoda. Haduh, sumpah deh. Kok ada ya, manusia se-perfect dia.”
Lara tersenyum simpul.
“Nah Mbak, kalau mantan suamimu itu kayak Pak Devan pantes kalau kamu enggak move on.”
Tubuh Lara beku, bulu kuduknya bahkan berdiri.
“Tapi kalau mantanmu itu bukan dia, mending cari yang lain aja deh!” Flo melanjutkan ucapannya.
“Kamu kenapa terus bahas itu sih?”
Keduanya sudah sampai di ruangan kerja, kemudian duduk di kubikel masing-masing, saling bersebelahan.
“Ya, abis, aku tuh gemes sama Mbak. Masih muda, masih laku, banyak yang mau, tapi kenapa enggak move on, move on?”
“Deuuuuh! Kamu nyeramahin Mbak-ku lagi ya?” Tiya datang sembari membawa secangkir kopi yang masih berasap. Menerbangkan bau manis dan pahit yang nikmat untuk dihidu Senin pagi begini.
“Biasalah Ti.” Mbak Lara mendelik. Pura-pura marah.
“Kalau Mbak-ku maunya tetep menjomblo. Kamu jangan ganggu-ganggu ya, Flo.” Tiya membungkuk sedikit, berbisik di telinga Lara. “Mbak fokus aja sama Juan biar dia bisa cepet-cepet gede dan nikahin aku.”
“Duh, enak aja, anak bujangku udah kamu minta-minta!” Lara terkekeh.
“Ya abis, Juan ganteng banget sih, Mbak.” Tiya berkedip pelan sembari membayangkan wajah Juan yang tampan dan lucu. “Aku jadi penasaran Papi-nya kayak gimana nyampe bisa menghasilkan bibit unggul macem Juan.”
“Please deh, jangan bahas-bahas Papi-nya Juan lagi ya. Aku bosen denger.” Lara menghidupkan mesin komputer.
“Aku salah banget lahir secepet ini.” Tiya geleng-geleng.
“Dari pada meratapi nasib begitu, mending lo cepet aja kawin, punya anak. Nanti, anak lo jodohin aja sama Juan.”
Tiya cengengesan. “Bener juga ya. Bentar deh, gue nyari laki dulu yang mau diajak kawin malem nanti di hotel.”
“Deuuh! Gila memang ni orang satu.” Flo nyinyir.
“Mbak Laraaaaa! Pak Devan memanggil. Tolong segera menghadap ya.” Seorang perempuan berteriak dari arah pintu masuk divisi.
Lara mengernyit. Devan? Ada keperluan apa?
Chapter 02
Bibir Lara menipis kala ia sudah berada tepat di depan pintu ruangan Devan. Ragu, karena sekertaris Devan juga sudah mewanti-wanti, Lara pun mengetuk dua kali sebelum menarik daun pintu hingga wajah tampan Devan pun terpampang nyata.
“Masuk,” katanya.
Lara mengangguk, masuk ke ruangan Devan ragu-ragu kemudian. Apa kali ini ia membuat kesalahan?
“Gimana keadaan Juan?”
Juan?
Lara tidak salah dengar kan? Kok Devan bisa-bisanya membicarakan hal pribadi di kantor begini?
Tapi … ya, terserah sih, dia kan bos-nya.
“Baik, Pak.”
“Pak? Aku lagi ngomong sebagai Papi-nya Juan, bukan bos kamu. Jadi biasa aja.”
Lara menelan ludah, lalu mengangguk-angguk. “Juan baik-baik aja, sih. Cuma kemarin dia emang sempet nanyain, Papi-nya ke mana kok, hari Minggu enggak ada mampir ke rumah? Enggak ada ajak main.”
“Aku nemenin kolega buat main golf. Tadinya pas malam mau ke sana tapi, takut ganggu jadwal tidur Juan. Padahal aku udah kangen.”
Devan melirik laptop, bibirnya berkedut-kedut menahan senyum. Kenapa hari ini, mantan istrinya terlihat begitu cantik sih?
Mendongak, ia kemudian memperhatikan penampilan Lara yang sopan. Kemeja over size berwarna baby blue seperempat lengan. Rok hitam selutut seperti biasa. Rambut yang dikucir setengah. Make up … ah, ya, ya. “Kamu ganti warna lipstick ya?”
“Hah?” Lara berkedip, menyentuh bibirnya kemudian. Iya, kemarin ia pergi ke mall untuk belanja bulanan lalu, karena lipstiknya habis, ia mampir ke salah satu store kosmetik. Dan warna coral lumayan cocok di bibirnya. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru. Agar wajahnya terlihat lebih fresh tapi, sedari tadi, bahkan Flo atau pun Tiya tak menotice sama sekali tentang warna bibirnya dan kenapa Devan ….
“Udah, enggak usah dipikirin. Saya asal nyeplos soalnya penampilan kamu agak beda. Oh ya, nanti tungguin saya pulang. Mau mampir jenguk Juan soalnya. Sambil beli makan malam.”
“Kamu … random banget sih, Dev.”
Devan mengagguk-angguk dengan senyum simpul yang masih tertahan di bibir. “Kayak biasa kan? Aku masih Devan yang sama. Yang suka bahas hal-hal random ke kamu.”
Tentu saja, tujuh tahun menikah dengan Devan, Lara jadi tahu bagaimana sikap dan perilaku aneh serta random yang sering kali laki-laki itu perbuat. Sudah sedikit terbiasa tapi karena situasi dan keadaan mereka yang tak lagi sama seringkali Lara canggung jika harus berhadapan dengan Devan seperti ini.
“Kamu mungkin bisa berubah, tapi aku nggak akan.” Devan mendengus dalam kekehan kecilnya. Ia mengotak-atik layar tablet sesaat sebelum kembali memperhatikan Lara yang mematung canggung.
Seperti kebiasaannya dua tahun kebelakang. Wanita itu selalu saja canggung saat berada di dekat Devan. Tak seperti dulu, jenaka, imut dan begitu ceria. Devan tahu keadaan sudah berbeda tapi, apa pantas ia berharap Lara akan selalu sama terhadapnya. Tersenyum manis dan lebar saat mereka bertemu. Saling memeluk erat saat keduaya saling berdekatan. Manja dan selalu mengandalkan Devan dalam semua keadaan. Devan … masih ingin seberarti itu di hidupnya Lara.
Apa bisa?
“Enggak ada tanggapan?”
“Mmm, aku bingung.” Kedua tangan Lara bertaut, saling memainkan. “Mungkin enggak ada.”
“Ngomong-ngomong, emangnya aku se B aja itu di mata kamu?” Devan bertanya ragu, lelaki itu menyugar rambut hitamnya yang sudah sangat rapi ke belakang. Jujur saja, hal ini agak sedikit mengusiknya sedari tadi hingga mau tak mau, ia harus memanggil Lara ke sini, ke ruangannya. Ia sedikit tak terima saat Lara melihatnya sebagai sosok yang ‘B’ aja.
Bukan Devan sok narsis atau apapun itu tapi, dilihat dari sisi manapun ia sempurna. Itu kata orang-orang yang sering kali dirinya temui. Itu kata wanita-wanita yang sering kali mengajak ia berkencan dan ‘tidur’ di kasur namun tentu saja ia tolak karena, hatinya hanya menginginkan Lara. Sosok manis yang kini masih berdiri di hadapanya. Heran. Padahal dua kursi masih kosong tapi kenapa Lara tidak duduk juga?
“Aku enggak maksud gitu tadi. Cuma … aku bingung harus ngedeskripsiin sosok kamu kayak apa di depan orang lain. Dan jujur aja, aku takut ketahuan kalau kita ini mantan suami-istri.” Lara mengingit bibir bawahnya. Tak menyangka jika ucapan ngaconya tadi pagi akan Devan bahas. Sungguh demi apapun, ia tak bermaksud seperti itu. Mana mungkin sosok laki-laki di depannya ini terlihat B aja. Hartanya melimpah. Tampan. Tubuhnya propsional. Senyumnya manis. Memiliki attitude yang sangat baik. Meski dihitung berulang kalipun, Devan Mahendra ini sosok yang sangat istimewa. Sosok yang begitu sempurna.
“Emang ada yang salah kalau kita mantan-suami istri? Kamu malu?”
“Aku enggak mau bahas ini.” Lara mengalihkan pandangan.
“Kamu selalu kayak gitu.”
“Karena bahasannya enggak penting tahu.”
“Kalau enggak penting kenapa harus disembunyiin?”
Menarik napas dalam karena merasa jengkel dengan kelakuan kanak-kanak Devan, Lara pun menjawab, “Karena aku enggak mau orang-orang dikantor ini nyangka, aku bisa masuk ke sini lewat jalur koneksi. Aku bisa berdiri di sini karena kamu. Juga pasti suasannya enggak akan nyaman seperti ini andai orang-orang tahu kalau kita itu mantan suami-istri. Semenjak awal, pernikahan kita itu disembunyikan sama keluarga kamu. Jadi … jadi kita sembunyikan aja semuanya sampai mati. Sampai akhir. Sampai hanya kita yang tahu.”
Lara menjilat bibir bawah. “Aku sungkan bekerja di sini dan akan makin sungkan kalau orang-orang tahu status kita bagaimana. Dan, kamu juga enggak akan bisa sebebas ini kalau semuanya terungkap. Sadar kan? Udah? Puas dengan jawaban aku?”
Lara hanya tak ingin orang-orang tahu jika, sosok sesempurna Devan mempunyai masalalu seburuk dirinya. Mempunyai masalalu serusak dirinya. Lebih tepatnya … Lara sadar diri untuk tak meruksak apa yang sudah Devan miliki saat ini. Citranya yang terpandang. Kesempurnaannya yang sudah terbingkai. Lara tak ingin membuat semua itu hancur dengan menghadirkan diri di tengah-tengahnya.
“Okei, kalau itu yang kamu mau.” Devan mengangguk-angguk.
Seperti itu. Selalu. Ia akan menuruti semua perintah dan keinginan Lara. Selalu tunduk dengan apa yang wanita itu inginkan. Devan terlalu cinta mati pada sosoknya. Tak bisa melangkah jika Lara tak ada di sampingnya. Toh bagaimanapun, ia sadar diri sudah memberikan Lara banyak kesedihan, kesakitan, apalagi saat keduanya menikah. Masa-masa sulit itu … pasti sangat melukai Lara.
Devan mau memutuskan pernikahan mereka karena, ia tahu, Lara tak bahagia bersamanya. Lara tersiksa saat bersamanya. Lara tak bisa berlari saat bersamanya. Wanita itu terkekang dengan keadaan.
Pernikahan yang tidak direstui oleh almarhum ayah Devan yang meninggal sekitar lima bulan lalu. Pernikahan sembunyi-sembunyi yang Devan dan Lara lakukan hanya karena saat itu, pikiran mereka begitu naif dan lugu. Berharap dan berbayang bahwa, cinta mampu menyelesaikan semua permasalahan yang akan menerpa. Bahwa cinta akan membuat mereka saling terikat selamanya, tak peduli dalam keadaan apapun.
Bangsat.
Setelah dijalani, cinta itu malah melukai satu sama lain. Melukai banyak sosok termasuk buah hati mereka, Juan.
Tapi dari semua yang terjadi entah kenapa, Devan … tak bisa merasakan penyesalan sama sekali. Hari-hari sulit yang ia lewati dengan Lara tak pernah memberinya duka. Devan selalu bahagia. Apalagi setelah Juan hadir di antara mereka.
“Ada lagi?” tanya Lara setelah keduanya terdiam cukup lama.
“Enggak, silahkan kamu keluar.”
Chapter 03
“Ada apa? Kenapa Pak Devan manggil Mbak?” tanya Flo penasaran, wanita itu berbisik-bisik
“Enggak ada apa-apa, cuma nanyain masalah pekerjaan.” Lara kembali duduk di kursinya.
Flo mengernyit. “Kok nanyain masalah kerjaan kek Mbak sih? Enggak ke Miss Lily? Dia kan kepala divisi kita.”
Tuh kan, Devan ini kelakuannya memang ada-ada saja. Jadi dia harus diintrograsi oleh Flo begini deh. Lagi pula, kalau dia memang ingin membicarakan tentang Juan kan bisa melalui panggilan telepon. Tanpa harus memanggil-manggilnya begini. “Tadi dia nanyain berkas yang aku kerjain kemarin, memang ada yang kurang dimengerti sama beliau. Tapi udah clear kok. Dan lagian, mungkin, Miss Lily memang lagi sibuk. Jadi panggil yang ada aja.”
Flo mengangguk-angguk. Sembari menggaruk lehernya yang agak gatal, wanita itu pun berucap, “Kapan ya, aku dipanggil gitu sama Pak Bos ganteng? Apa aku juga harus bikin kekeliruan di tempat kerja ini?”
Mau tak mau, mendengar perkataan Flo barusan, Lara pun mengernyit jijik. “Lagian, kenapa kamu malah mau dipanggil sama Pak Bos? Mau langsung dipecat ya? Katanya lagi nyari modal nikah. Sekarang, kerja aja yang bener.”
“Deuh, sensi amat sih, kamu Mbak. Aku kan cuma bercanda.”
“Kamu kan orangnya nekat Flo!”
Flo terkekeh sebelum kembali menekuni laptopnya. Mereka berada di divisi pemasaran yang memang rambah pekerjaannnya cukup luas. Jadi jika saja, ada satu kesalahan atau kelalaian yang diakibatkan oleh karyawan, kadang akibatnya memang tak main-main.
“Mbak mau ke mana lagi sekarang?” tanya Flo kala melihat Lara sudah berdiri dan membawa sebuah berkas.
“Mau nyerahin proposal yang diminta sama Miss Lily.”
Lara beruntung, diusianya yang tak lagi muda ini, ia masih cakap dalam bekerja. Ia juga masih bisa bergabung dan bersosialisasi dengan cukup baik di tempat kerja padahal dulunya, sesudah lulus kuliah, ia tak pernah sedetik pun mencecap dunia pekerjaan begini karena ia langsung dinikahi oleh Devan. Tak berselang lama, ia juga hamil sehingga keadaannya memang tak memungkinkan untuk bekerja.
Maka karena itu, Lara jadi sulit mencari pekerjaan saat cerai denngan Devan kemarin. Usianya yang beberapa tahun lagi akan menginjak angka tiga puluhan dan tak berpengalaman membuat banyak berkas lamaran kerjanya terbuang begitu saja. Dan diakibatkan hal tersebut, meski berat, mau tak mau, ia menerima tawaran Devan untuk bekerja di sini.
Saat Flo tak lagi bertanya, Lara segera melangkah ke ruang Miss Lily. Mengetuk pintunya dua kali sebelum masuk. “Pagi menjelang siang, Miss.”
Sapaan Lara membuat sosok cantik yang duduk di singgasana dengan kacamata yang menempel dihidungnya yang mancung karena beliau ini keturunan Arab itu mendongak. “Ini sudah siang, Lara. Sebentar lagi masuk ke jam istirahat.”
Lara terkekeh. Dan beruntung pula, karena, ia memiliki sosok atasan yang begitu baik dengan bawahan-bawahannya. “Saya mau menyerahkan proposal yang Miss pinta. Saya udah riset trend dan pergerakan pesaing di pasaran. Dan mungkin, data ini bisa menjadi landasan untuk pengeksekusian langkah dan rencana-rencana kita ke depannya.”
Miss Lily mengambil dokumen yang diserahkan oleh Lara, membacanya di halaman terawal. Melihat poin-poin yang pentingnya saja dahulu.
“Hm, okei, saya akan pelajari terlebih dahulu, nanti jika memang sudah saya pahami, mari kita adakan pertemuan buat membahas hal ini dan menyediakan rencana-rencana program kerja ke depannya.” Miss Lily melepas kacamatanya. “Good job, Lara.”
“Terimakasih, Miss. Kalau gitu, saya ijin keluar.” Lara berdiri, mengangguk sopan ke arah Miss Lily.
^^^^
“Mbak mau makan apa hari ini? Di kantin aja atau kita jajan ke luar?”
Lara terdiam, sembari memperhatikan Tiya. Karena ini awal bulan dan baru saja mereka gajian beberapa hari yang lalu, sudah pasti jajanan di luar akan sangat penuh. Harus mengantri dan panas-panasan membuat Lara malas bahkan untuk membayangkannya saja.
Jadi mungkin, biar kali ini ia makan di kantin saja. Dan akhir bulan nanti, ia bisa gaya-gayaaan makan di luar. “Kantin deh. Enggak apa-apa sama menu seadannya juga. Aku males pergi ke luar soalnya.”
“Sama deh, aku ngikut Mbak aja.” Flo sudah siap, membawa pouch make up. Tak lupa, heelsnya juga sudah diganti dengan sandal jepit yang nyaman. Mereka biasanya akan salat sebentar sebelum makan nanti.
“Aku juga ngikut Mbak. Males kalau harus makan sendirian di luar,” Tiya melepas sandalnya dan mengambil pouch dari dalam laci kecil yang tersedia di kubikel.
“Yaudah deh, ayo. Biar kita bisa nyantai dikit, jadi salatnya cepet-cepet.”
Ketiga wanita itu bergerak ke arah lift yang seperti biasa, masih dipenuhi oleh antrian orang-orang. Cukup lama memakan waktu hingga mereka bisa berada di musala kantor yang letaknya memang tidak jauh dari lobby dan kantin.
Tanpa basa-basi, Lara langsung saja mengambil wudhu. Meski tetap saja, Flo dan Tiya bergerak lebih gesit dan cepat. Sesaat, tiba-tiba saja ia berpapasan dengan Devan. Lelaki itu baru saja selesai salat. Rambut depannya basah, kemeja slimfit hitannya juga sedikit berantakan dengan kain lengan yang sudah terlipat hingga siku.
Indah sekali ciptaan Tuhan yang satu ini hingga, Lara tak bisa memungkiri lagi.
“Mau salat?” tanya laki-laki itu tanpa suara. Hanya gerakan bibir saja.
Lara mengangguk membenarkan sebelum sedikit membungkuk dan melewati tubuh mantan suaminya.
“Lara.”
Panggilan itu …
Lara kesal, kenapa Devan jadi tiba-tiba sok akrab dengannya di kantor begini?
Dengan mata melotot, Lara pun membalikan tubuh ke arah belakang. Menatap Devan.
“Kancing baju kamu kayaknya udah longgar sampai lepas gitu bagian atasnya.”
Lara menunduk, melihat bagian dadanya yang terekspos. Salah satu kancingnya memang terbuka dan sedikit memamerkan kulitnya. Buru-buru dengan gerakan tak tentu, Lara kembali mengaitkan bulatan kancing itu pada tempatnya.
“Untung aku yang lihat, bukan orang lain.” Devan lalu melangkah begitu saja ketempat penyimpanan sepatu. Memakai kaus kaki dan alas hitamnya yang nampak mengkilat tanpa memperhatikan wajah merah Lara yang sudah terbakar dan merasa sangat malu.
Lara mengembuskan napas.
Damn!
Devan jahanam!
Itu termasuk pelecehan bukan sih? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ya, gimana, Devan kan memang sudah tahu semua yang ada dalam diri Lara. Laki-laki itu sudah melihatnya dengan detail. Devan yang lebih mengetahui bagaimana raga Lara dibanding ia sendiri. Jadi ya, dibanding dengan orang lain, lebih baik Devan yang memergokinya seperti tadi.
Meski tetap saja itu memalukan.
Lara berdecak sesaat, sebelum menggerakan diri masuk ke mushala. Ia harus cepat-cepat salat jika memang tak mau ditinggal oleh dua teman ABGnya makan lebih dahulu.
^^^^
Devan selesai memakai alas kaki. Lelaki itu melirik pada tempat di mana tubuh Lara menghilang sebelum senyum malu-malunya ikut muncul. Telinga lelaki itu juga memerah. Sudah lama ia tak melihat Lara seksi begitu. Biasanya setiap malam atau kapanpun ia minta, sang mantan akan mengenakan gaun malam transparan untuk menggodanya.
Apa boleh kalau ia melamar Lara lagi hari ini?
Rasanya, ia tak bisa berhenti untuk jatuh cinta pada ibu dari anaknya itu dan rasanya, ia tak bisa menahan diri lagi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
