
Part 1 Denting Adiwidya
Tidak dipublish di wattpad lagi, jadi kalau mau baca Denting di sini ya, guys!
- DENTING ADIWIDYA
Seorang gadis terbangun tiba-tiba dari tidurnya. Dia menggerutu kesal. Sambil mengusap kasar wajahnya, dia menatap salah satu 'temannya' dengan kedua mata yang menyalang. Sial, dia benar-benar marah. Gadis itu lalu melirik jam dindingnya yang tengah menunjukkan pukul empat pagi. Dia masih mengantuk!
Namanya, Denting Adiwidya. Biasa dipanggil, Denting. Gadis itu berambut panjang, dan memiliki warna kulit sawo matang. Parasnya cantik, seperti gadis-gadis keturunan sunda lainnya. Dia masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Tepatnya di SMA Bhayangkara, Kota Bandung.
Denting, aku ingin main!
Denting berdecak kesal. Dia menatap Esther—teman 'tak terlihatnya’—dengan raut wajah marah. Esther adalah hantu anak perempuan berumur sekitar sembilan tahun yang ia temukan di depan gerbang SD Indramayu. Dari penampilan Esther, Denting bisa menebak jika Esther adalah korban dari kecelakaan. Sudah hampir tiga bulan hantu Esther tinggal di dalam kamarnya.
Sejujurnya saat itu Denting sudah berpura-pura untuk tidak melihat atau menyadari keberadaan Esther. Namun sialnya, sepertinya hantu kecil itu sadar jika Denting adalah seorang manusia yang memiliki 'kelebihan' dibandingkan dengan manusia lainnya.
Sejak saat itu, Esther pun mulai mengikutinya. Dia seringkali muncul secara tiba-tiba. Ketika Denting sedang tidur, belajar, bahkan berkaca. Hal itu membuatnya kesal setengah mati.
“Pergi, aku masih mengantuk!” usir Denting.
“Aku ingin main Denting!”
Denting menghembuskan napas kasar. “Kamu masih keras kepala?! Pagi ini aku harus pergi ke sekolah. Lebih baik kamu pergi sekarang!”
Andai saja dia memiliki kekuatan yang dapat mengusir hantu begitu saja, dia pasti akan melakukannya sejak pertama kali Esther datang ke dalam hidupnya. Merasa tidak bisa kembali tidur, akhirnya Denting memutuskan untuk bangun dan siap-siap menjalankan sholat subuh seperti biasanya. Saat itu juga Denting tidak lagi melihat kehadiran Esther. Hantu kecil itu pasti sudah melayang keluar mencari-cari teman sejenisnya. Aish, masa bodoh lah!
Setelah menjalankan kewajiban, Denting segera berganti pakaian dan siap-siap untuk ke sekolah. Dia adalah salah satu murid beasiswa di SMA Bhayangkara karena prestasinya. Keluarganya bisa terbilang sederhana.
Denting tinggal di dalam sebuah gang dengan rumah yang masih mengontrak. Namun terlepas dari itu, Denting memiliki kedua orangtua yang sangat sayang kepadanya. Denting menyisir rambutnya sambil berkaca. Seragamnya sudah terlihat rapih dengan atribut yang telah terpasang lengkap.
Hari ini adalah hari pertamanya duduk di bangku kelas tiga. Tidak terasa setahun lagi dia akan melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Ia menghela napas, kedua matanya lalu terpejam sejenak.
Denting memegangi dadanya yang terasa sesak. Bahkan sampai saat ini, dia masih belum bisa mengutarakan perasaannya kepada seseorang yang dia sukai secara sembunyi selama dua tahun ini. Sial, tahu diri saja lah! Dia kan gadis aneh, pikirnya. Siapa yang mau berteman dengan seorang Denting Adiwidya, kecuali Bening, sahabatnya.
Denting membuka kedua matanya. Ia masih menghadap kaca rias. Ia terlonjak ketika mendapatkan sosok nenek tua yang raut wajahnya terlihat cukup menyeramkan. Tubuhnya diselimuti luka bakar yang membuat Denting sedikit merasa mual. Tepat di samping Nenek itu, sudah ada Esther yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
“Denting, aku bawa teman baru!”
Denting membulatkan kedua matanya ke arah Esther. Sial, hantu kecil satu ini benar-benar menguras tenaganya. Beruntung Denting sudah terbiasa menghadapi hal-hal seperti ini.
“Esther, bawa temanmu pergi!” ujar Denting.
“Tidak Denting, aku kesepian!”
“Esther!” bentak Denting, marah.
Maaf, Denting.
Esther terlihat takut. Detik itu juga dia langsung membawa hantu Nenek tua itu melayang keluar dari jendela. Denting menghela napas lega. Sejujurnya ia merasa kasihan setiap kali melihat raut wajah sedih Esther. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Esther melakukan hal sesukanya begitu saja. Contohnya, membawa 'teman sejenisnya’ masuk ke dalam kamarnya.
Denting keluar dari kamar dengan ransel biru muda yang tergantung di kedua pundaknya. Ia menyapa kedua orangtuanya yang sudah duduk di meja makan dengan senyuman manis masing-masing. Denting sangat menyukai kehangatan yang ada di dalam rumahnya. Bagi Denting, tidak ada lagi yang berharga selain keluarganya.
Surya Widayaka, Ayah kandung Denting. Dia bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan properti yang cukup terkenal di Kota Jakarta. Surya adalah pria yang sangat gigih dalam bekerja. Bahkan di hari libur pun Surya masih mengisi waktu luangnya untuk bekerja sebagai ojek online sampai malam. Semua itu dia lakukan demi keluarganya.
Surya selalu mengajarkan kepada Denting untuk tidak pernah meminta sesuatu kepada orang lain kecuali dengan kedua orangtuanya. Walaupun mereka hidup dengan sederhana, namun Surya selalu mengajarkan istri dan anaknya untuk tetap menjunjung tinggi yang namanya sebuah harga diri dan kejujuran.
Laksmi Arkadewi, Ibu kandung Denting. Bagi Denting, Laksmi adalah contoh sosok nyata dari sebuah sebutan 'malaikat tanpa sayap' yang pernah dia dengar waktu kecil dulu. Laksmi adalah seorang istri dan ibu yang baik untuk suami dan putri semata wayangnya. Setiap hari Laksmi berjualan ketoprak di depan rumahnya untuk menambah sedikit penghasilan dan bisa membantu meringankan pekerjaan suaminya.
Laksmi menyiapkan sarapan sederhana untuk keluarganya dengan senyuman yang penuh kelembutan. Tidak lupa segelas kopi dia hidangkan untuk suaminya yang hendak siap pergi bekerja. Laksmi mengerutkan kening ketika melihat Denting tengah melahap satu porsi nasi kecap yang padahal masih ada lauk seperti telor ceplok, ikan asin dan kerupuk di atas meja.
“Kamu itu, sudah ada telur kok makannya cuma pakai nasi kecap saja,” ujar Laksmi.
Denting menyengir. “Telurnya buat bawa bekal ke sekolah aja Bu, lumayan hemat uang jajan! Iya nggak, Yah?”
“Kalau kurang ya tinggal goreng, jangan seperti orang susah atuh,” ujar Surya sambil mengikat tali sepatunya.
“Ya kita kan memang orang susah, Yah,”ujar Denting.
“Siapa bilang kita orang susah? Kita masih bisa makan, masih bisa tinggal di tempat yang nyaman, kamu juga masih bisa sekolah,” ujar Surya.
“Iya, deh, Yah, Ayah paling benar pokoknya! Siapa dulu, Ayah Surya!” seru Denting, membuat Laksmi yang mendengar hanya bisa tertawa kecil.
“Orang susah itu, orang yang nggak punya etika dalam dirinya. Suka mengejek, suka merendahkan orang lain, sombong, dan merasa paling tinggi, padahal dia sendiri masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan orang lain,” ujar Surya, panjang lebar.
“Dengarkan apa kata Ayah kamu, Denting,” ujar Laksmi sambil menyiapkan kedua kotak bekal untuk suami dan anaknya.
“Ashiap!” ujar Denting.
“Kalau gitu, Ayah sama Denting berangkat dulu ya, Bu.” Surya mengecup dahi Laksmi dengan hangat, membuat Denting segera menutup kedua matanya. Aish, sok romantis sekali kedua orangtuanya ini!
Laksmi mencium punggung tangan suaminya. “Hati-hati, Yah, jangan lupa dijaga matanya!” ujar Laksmi, membuat Denting tertawa.
‘Iya, Bu. Siapa yang mau sama Ayah selain Ibu,” ujar Surya.
Denting mencium punggung tangan Laksmi. “Denting juga sekolah dulu ya Bu! Jangan rindu, rindu itu berat kalau kata Akang Dilan,” ujar Denting.
Denting naik ke atas motor Surya dengan semangat. “Tancap, Yah! Jangan kasih kendor!”
“Kamu kira motor Ayah ini motor balap?”
“Ayok Dilan, kita berangkat!” seru Denting.
“Dilan, Dilan, siapa itu Dilan? Belum kenal Ayah,” ujar Surya sambil menghidupkan mesin motornya.
“Dilan itu, calon masa depan Denting, Yah. Sayangnya aja, dia udah ketemu Milea duluan. Enak ya jadi Milea, udah cantik, punya pacar yang romantis,” ujar Denting sambil membayangkan wajah Dilan. Jangan halu, Denting!
Surya mulai melajukan motornya. :Anak Ayah juga nggak kalah cantik, apalagi kalau habis bangun tidur, ilernya duh kemana-mana!”
“Ayah, jangan ledekin Denting, dong! Ngomong-ngomong, Denting boleh punya pacar nggak sih, Yah?” tanya Denting. Iseng-iseng berhadiah!
“Boleh, asal anaknya baik dan bisa bimbing kamu ke arah yang benar,” ujar Surya, membuat Denting langsung berpikir. Kira-kira dia lolos, nggak, ya?
“Gimana mau punya pacar, Denting kan,” Denting menggantungkan ucapannya. “Aneh,” lanjutnya pelan.
Surya menghela napas. Dia mengerti ke mana arah pembicaraan putrinya. Sejak kecil Surya memang sudah mengetahui kelebihan yang Denting miliki. Perlu waktu dan usaha keras untuk membuat Denting terbiasa akan hal itu.
Sesampai di sekolah, Denting langsung turun dari atas motor dan berpamitan kepada ayahnya. SMA Bhayangkara. Salah satu SMA paling populer di Kota Bandung. Sebagian besar murid di sekolah ini berasal dari kalangan berada.
***
Denting berjalan pelan memasuki area sekolah. Ya, ia harus hati-hati. Ia tidak ingin bertubrukan dengan makhluk dari dunia lain pagi-pagi begini. Kenapa? Karena hal itu pasti akan menguras energinya secara tidak langsung.
Denting terus melangkah sambil menatap lurus. Tidak peduli dengan banyaknya hantu yang sudah melayang-melayang di sekitarnya. Sabar... Ia menghentikan langkahnya ketika kedua matanya menangkap sesosok arwah yang parasnya sedikit dia kenali.
Jelas sekali, arwah itu adalah Daniar. Siswi SMA Bhayangkara yang dikabarkan mengalami koma karena kecelakaan. Tentu saja, Daniar belum meninggal dunia. Denting bisa membedakan hal itu.
Daniar masih terlihat cantik. Detik itu juga Denting mulai mengamati Daniar dengan lekat. Hingga tatapan mereka saling bertemu. Daniar membulatkan kedua matanya. Seolah terkejut karena masih ada satu orang yang bisa dia ajak untuk berkomunikasi saat itu juga. Sontak, Denting langsung mengalihkan pandangannya. Tidak, dia tidak boleh melakukan hal apa pun.
Denting kembali meneruskan langkahnya. Tidak peduli dengan Daniar yang sudah mengikutinya sambil berteriak tidak karuan. Daniar Widjaja, Ratu bully SMA Bhayangkara. Jangan tanya bagaimana latar belakangnya, tentu saja gadis itu hidup dengan kemewahan.
“Hey! Lo pasti bisa lihat gue kan?!”
Denting tidak menggubris. Sial, tubuhnya sedikit terasa lemas akan kehadiran Daniar yang secara tidak langsung menyerap energinya.
“Tolong gue!”
Denting masuk ke kelas, duduk di bangkunya sambil berusaha bersikap tenang. Tidak, dia tidak boleh ikut campur terlalu banyak.
“Gue, gue nggak ngerti, kenapa gue nggak bisa masuk ke dalam tubuh gue sendiri. Tolong gue!”
Denting menghembuskan napas kasar. Masa bodoh, masa bodoh, batinnya dalam hati.
“Apa sebenarnya gue udah meninggal?”
“Belum,” jawab Denting tanpa sadar. Alamak!
Spontan Denting langsung memukul mulutnya pelan. Detik itu juga Daniar langsung tersenyum lega. Masih ada harapan, pikirnya.
“Lo bisa dengar gue! Jangan pura-pura budeg gitu, dong! Mau lo budeg beneran?!”
Denting berdecak kesal. Ia langsung menoleh ke arah Daniar. “Apa yang kamu mau?”
“Gitu dong, mau lo gue jadi hantu monolog?! Ck, gue butuh bantuan lo.”
“Bantuan apa?” tanya Denting.
“Gue mau balik ke dalam tubuh gue, tapi nggak bisa. Apa lo tahu penyebabnya?”
Denting menghela napas. “Kamu hanya perlu nunggu sampai waktu itu tiba.”
“Maksud lo? Gue bakal mati gitu?! Mulut lo mau gue sumpel, hah?!”
“Mungkin ya, mungkin tidak. Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan nasib manusia.”
“Jadi, apa gue masih ada harapan?”
Raut wajah Daniar berubah menjadi sedih. Sial, ini lah salah satu sisi kelemahan seorang Denting. “Mungkin, walaupun harapan itu kecil.”
“Lo harus bantu gue! Cuma lo harapan satu-satunya yang gue punya!”
“Maaf, tapi aku nggak bisa,” tolak Denting.
“Kenapa? Gue janji, setelah gue bangun dari koma nanti, apapun yang lo minta pasti bakal gue kabulin! Lo mau apa? Mobil? Rumah? Atau yang lainnya?”
“Nggak semua hal bisa kamu bayar dengan uang. Hilangkan sifat sombong kamu,” ujar Denting.
“Terus gue harus apa? Lo nggak kasihan liat gue kayak begini?”
“Aku bukannya nggak kasihan sama kamu, tapi aku memang nggak bisa bantu apa-apa soal ini,” ujar Denting, berusaha menjelaskan.
“Mungkin nanti gue benar-benar akan mati, miris ya. Gimana ya rasanya masuk neraka? Pasti sakit.”
“Memangnya kamu bakal tahu masuk neraka atau surga?” tanya Denting.
“Hidup gue selama ini cuma dihabiskan untuk nge-bully orang, surga belahan mana yang mau nampung gue?”
“Iya sih, yaudah kamu pasrah aja,” ujar Denting, membuat Daniar yang mendengar langsung meliriknya tajam.
“Lo itu nggak peka banget ya!”
“Aku nggak peduli,” jawab Denting.
Suara bel masuk berdering dengan keras. Suasana kelas makin terlihat ramai. Denting duduk di bangku paling belakang. Pojok kanan dekat jendela. Teman sebangkunya—Bening Ranupatma—sepertinya tidak masuk sekolah hari ini. Biasalah, gadis itu pasti kesiangan.
Sedangkan Daniar, ia masih setia duduk di samping Denting. Berharap Denting akan berubah pikiran dan mau menolongnya. Namun, Denting sama sekali tidak menghiraukannya. Gadis itu kembali berpura-pura menganggapnya tidak ada.
Jam pelajaran pun dimulai, Denting berusaha untuk fokus. Walaupun sejujurnya ia merasa kesal karena Daniar tidak bisa berhenti mengoceh, tapi Denting harus mengontrol emosinya. Ia tidak ingin membuat teman-teman sekelasnya makin menganggapnya aneh.
“Sambara Pramudya.”
Denting sontak menutup buku cetaknya ketika mendengar suara Daniar. Ia menulis nama itu tanpa sadar. Semua ini karena Sambara. Cowok itu tidak mau pergi dari isi kepalanya!
“Lo suka sama Sambara?”
Denting memilih untuk abai. Lagian, mana mau dia mengaku! Ia cukup sadar diri.
“Lo suka sama Sambara?”
“Jawab, dong!”
“Hallo!”
“Buang aja gue buang!”
“Lo dengar gue, nggak, sih?!”
BRAKH!
“Kamu bisa diam, nggak. sih?!” teriak Denting sambil menggebrak mejanya kasar.
Tatapan seisi kelas langsung tertuju ke arah Denting. Pak Tono yang sedang mengajar, jelas merasa tersinggung. “Kamu menyuruh saya diam?” tanya Pak Tono.
“Ng-Nggak, Pak!”
“Gue bisa bantu buat Sambara suka sama lo!”
Denting reflek menoleh ke arah Daniar. Lupa akan tatapan Pak Tono yang masih menyalang untuknya. Sial, detik itu juga Denting merasa tergiur. Ya udah lah ya, yang namanya rezeki kan nggak boleh ditolak!
“Deal,” ucap Denting.
“Apa yang deal, Denting? Kamu nggak mendengarkan pertanyaan dari saya? Sekarang, kamu berdiri di depan kelas sampai pelajaran saya selesai!” Pak Tono akhirnya memberikan hukuman kepada Denting. Bukannya sedih, justru gadis itu terlihat kesenangan.
Semua ini gara-gara Sambara tahu!
SAMPAI JUMPA DI NEXT PART! HOPE YOU LIKE IT, GUYS!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
