
ANTARIKSA 1
YANG KANGEN ANTARIKSA 1 KALIAN BISA BACA ULANG NIHH 😊)
KITA, SENJA DAN DERU OMBAK
Lupa membawa pekerjaan rumah adalah salah satu hal yang paling ditakuti oleh Vanila. Dan sialnya, hal itu terjadi pada siang ini. Sudah hampir satu setengah jam gadis itu membersihkan lorong sekolah bersama dengan Derai, teman sekelasnya. Ya, mereka berdua dihukum Bu Jamilah lebih tepatnya.
Vanila mengacak rambutnya. “Ah, kenapa sih, aku bodoh banget!” ujar Vanila, kesal.
Derai mengerutkan keningnya. “Tumben banget kamu nggak bawa PR, lagi ada masalah?”
Vanila menghela napas. “Akhir-akhir ini, aku lagi banyak pikiran.”
“Jangan terlalu dipikirin,” ujar Derai.
Andai ia bisa berhenti memikirkan Antariksa, pasti ia sudah lakukan sejak dulu. Setiap malam, ia susah tidur. Bayangan Antariksa selalu memenuhi isi kepalanya. Ia merindukan detik-detik yang pernah ia lewati bersama cowok itu dulu.
Walaupun Antariksa galak dan suka seenaknya, namun entah kenapa ia selalu merasa nyaman ketika berada di dekat cowok itu. Jujur saja, ia sudah terbiasa dengan kehadiran Antariksa.
“ANTARIKSA! SEMANGAT SAYANG!”
Suara teriakan yang berasal dari tengah lapangan, membuat perhatiannya menjadi teralih. Terlihat Antariksa dan Geng PEDAL sedang bermain basket di sana. Dan mirisnya, sudah ada Capella yang menyemangati cowok itu dari pinggir lapangan sembari membawa handuk dan sebotol air mineral di kedua tangannya.
Akhir-akhir ini Capella memang sangat gencar mendekati Antariksa. Bahkan kemarin ia sempat melihat Antariksa berangkat ke sekolah bersama gadis itu. Raut wajah Vanila berubah. Ya, sedih sekali rasanya ketika melihat gadis lain menyoraki si Tiger genit hingga sampai sebegininya. Namun, ia sendiri bisa apa? Jika dibandingkan pun, Capella jauh lebih baik darinya.
“Mereka pacaran?” tanya Derai. Ia sudah berdiri tepat di samping Vanila. “Cocok ya,” kata Derai. Membuat Vanila makin merasa tidak percaya diri.
Vanila mengangguk. “Ya, mereka sangat cocok.”
“Kadang, dunia ini memang terasa begitu kejam.”
Vanila mengerutkan keningnya. “Maksudnya?”
“Hm, ya terasa nggak adil aja. Cowok seperti mereka,” Derai menatap ke arah Geng PEDAL. “Memang sama sekali nggak ditakdirkan untuk cewek seperti kita.”
Vanila mulai merenung. Ia setuju dengan ucapan Derai. Bagaimanapun juga, dunia yang Antariksa miliki begitu berbeda dengan dirinya. Jangankan untuk menyatu, melangkah pun sepertinya ia tak mampu.
“Jangan mengharapkan sesuatu yang sebenarnya kita sudah tahu jawabannya,” ucap Derai.
Vanila terdiam. Jangan mengharapkan sesuatu yang sebenarnya kita sudah tahu jawabannya. Kalimat itu seakan menikam pikirannya dengan kuat sekarang. Apakah selama ini ia sudah bersikap lancang?
Ya, lancang karena sudah dengan beraninya mengambil sebuah asumsi jika Antariksa memiliki perasaan terhadapnya. Seharusnya ia membuang jauh pikiran itu sedari dulu. Ia menghela napas lalu menatap ke arah lapangan kembali.
Aku kangen kamu, Tiger genit.
***
Vanila membuka keran lalu membasuh wajahnya dengan air. Ia memandang pantulan dirinya di cermin dengan tidak percaya diri. Ucapan Derai masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Cowok seperti mereka, sama sekali nggak ditakdirkan dengan cewek seperti kita. Kalimat itu jelas menusuk hatinya.
Ia mulai sadar akan posisinya. Sebenarnya apa yang ia cari dari Antariksa? Bukankah ini yang ia inginkan sedari dulu? Harusnya ia senang ketika Antariksa menjauhinya seperti ini. Tidak ada lagi Antariksa yang mengganggu hari-harinya.
Suara decitan pintu yang terdengar membuat lamunan Vanila terhenti. Seorang gadis berambut sebahu dengan penampilan mewah berjalan mendekatinya lalu berdiri tepat di sampingnya. Dia adalah Capella Sadewa. Gadis itu lalu memandanginya dengan tatapan yang begitu sinis.
Merasa tidak nyaman, Vanila memutuskan untuk pergi. Namun Capella menahan tangannya secara tiba-tiba. Wajah gadis itu berubah menjadi lebih serius. Seolah ia ingin memberikan sebuah peringatan kepada Vanila.
“Aku nggak mau banyak bicara sama kamu, tapi bisa kamu sadar akan posisi kamu?” tanya Capella. Namun Vanila sama sekali tidak bisa menjawab apa-apa.
“Antariksa itu calon tunangan aku. Harusnya kamu bisa paham dengan apa yang aku rasain. Kita ini sama-sama perempuan,” ucap Capella dengan penuh penekanan.
“Hubungan aku dengan Antariksa nggak pernah menjadi seburuk ini kalau kamu nggak seenaknya datang dan mengacaukan semuanya.”
“Aku harap kamu bisa mencerna semua ucapanku. Tolong berhenti. Kalau kamu nggak bisa sadar akan posisi kamu sekarang, setidaknya sedikit tahu diri. Jelas?”
Sudah cukup Capella menahan kesabarannya selama ini. Melihat Antariksa berada di dekat gadis lain membuat hatinya makin merasa muak. Ia tidak suka perhatian Antariksa terbagi. Ditambah lagi, gadis itu adalah Vanila Aletta. Yang sama sekali sangat tidak cocok untuk dibandingkan dengan dirinya.
Capella menatap tajam Vanila. “Ini peringatan terakhir,” bisiknya pelan. Gadis itu lalu melepaskan tangan Vanila dan beranjak pergi dari toilet.
Mulut Vanila benar-benar terkatup rapat. Ia sama sekali tidak bisa membalas ucapan Capella walau hanya satu kata. Bukan, bukan karena ia takut. Namun ia sadar jika semua kalimat yang terlontar dari mulut gadis itu adalah benar.
Seharusnya ia tahu diri akan posisinya saat ini. Ia sudah lancang karena melewati sebuah garis yang seharusnya tidak boleh ia langkahi. Seperti bulan dan bintang, Antariksa dan dirinya sungguh begitu berbeda. Antariksa yang setiap hari selalu menjadi pusat perhatian oleh banyak orang, sama sekali tidak cocok untuk disandingkan dengan seorang gadis seperti dirinya.
Antariksa…
Kenapa bersamamu terasa semenyakitkan ini?
Apakah aku yang terlalu menggantungkan harapan itu hingga lupa diri?
Tidak hanya langit biru dan angin yang berhembus,
semesta pun sepertinya menolak keras dengan kehadiranku dalam hidupmu.
Melihat punggungmu yang perlahan makin menjauh,
meninggalkan sedikit rasa sesak yang mungkin tidak bisa aku kendalikan dengan mudah.
Apakah duniaku akan berubah menjadi kelam ketika tidak ada lagi langkahmu di sampingku?
Antariksa…
Apa aku sendiri sudah kalah?
***
Bel pulang sekolah sudah berdering. Vanila dan Jingga berjalan melintasi lapangan menuju gerbang SMA Mandala sambil berbincang kecil. Malam nanti rencananya Jingga akan menginap di rumah Vanila. Bukan, bukan untuk belajar matematika, kok! Jingga bilang, banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada dirinya akhir-akhir ini. Sudah bisa Vanila pastikan, sesi curhat Jingga Lakshita akan berlangsung lama.
Sudah bisa ditebak, sebagian besar isi dari cerita tersebut pasti berhubungan dengan Laskar Juni Arkana. Terkadang Vanila sendiri tidak habis pikir dengan sikap sahabatnya itu. Dekat diusir, jauh dikangenin! Depan misuh-misuh, belakang nangis-nangis!
Ah, benar kata orang, cinta itu memang rumit.
“Jadi, kamu mau diantar pulang sama Biru?” tanya Vanila. Hari ini Jingga tidak membawa si Mojing ke sekolah. Sedang di bengkel, katanya.
Jingga mengangguk. “Iya, gue udah terlalu sering nolak Biru. Gue nggak enak, Val.”
“Kalau Kak Laskar tahu gimana?”
“Nggak ada hubungannya. Gue sama dia udah selesai, lo tau sendiri hal itu.”
“Tapi aku nggak yakin, kalian berdua kan, sama-sama gamon.”
Jingga berdecak. “Ya nggak perlu lo perjelas juga kali, Veyek! Gue lagi berusaha untuk beranjak dari Laskar. Tahap demi tahap udah gue lewatin, Veyek!”
Vanila mengerutkan keningnya. “Contohnya?”
Jingga menghela napas. “Baju couple gue dengan Laskar, udah gue buang kemarin sore di tong sampah dekat kantin.”
“Baju couple kamu yang ada tulisan Papa dan Mama itu?”
Jingga mengangguk. “Iya, baju couple gue dengan Laskar.”
“Terus apalagi?” tanya Vanila.
“Sendal swalow couple gue dengan Laskar juga udah nggak gue pakai lagi!”
“Terus?”
“Banyak banget, Veyek! Semua barang dari Laskar udah gue masukin ke dalam kardus dan siap untuk gue buang jauh-jauh!” ujar Jingga sambil mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi. “Semangat, Jingga!”
“Hm, percuma kamu buang semua barang pemberian dari Kak Laskar kalau wallpaper chat kamu aja masih foto dia,” ujar Vanila. Membuat semangat Jingga langsung lenyap.
“Val! Lo ngintip ya?!”
Vanila menghela napas. “Ngomong-ngomong, Biru nunggu kamu di mana?”
“Depan gerobak tahu crispy, Veyek,” jawab Jingga. Gadis itu lalu memukul lengan Vanila ketika kedua matanya menangkap sosok Antariksa yang sedang duduk di atas motor. “VAL! VAL! ADA TIGER GENIT, VAL!!”
Vanila mengikuti arah pandangan Jingga. Ia meneguk ludah ketika Antariksa membalas tatapannya. Apakah cowok itu sedang menunggunya?
Jingga mendorong punggung Vanila. “Samperin, Val! Gue yakin dia mau nganter lo pulang!”
Vanila menggigit bibirnya. Ia terlihat ragu. “Kamu yakin, Jingga?”
Jingga mengangguk kuat. “Yakin banget! Kalau gue salah, lo bisa iris kuping Popon!”
Vanila melangkah maju. Baiklah, ia harus memberanikan diri. Belum sempat niatnya terlaksanakan, tiba-tiba seorang gadis berjaket merah muda muncul begitu saja dan berlari ke arah Antariksa. Siapalagi jika bukan, Capella Sadewa. Pupus sudah harapannya seketika.
“ANTARIKSA SANJAYA!” Capella tersenyum lebar. Lalu ia meraih helm yang ada di tangan Antariksa dan memakainya.
Vanila melangkah mundur. Ia mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya ia memiliki pikiran sejauh itu. Memangnya kamu siapa, Val? batinnya dalam hati. Rasa sesak langsung menjalar begitu hebat ketika Capella memeluk pinggang Antariksa dengan begitu erat. Sial, apakah ia sedang merasa cemburu sekarang?
“Jadi, kapan kita mau iris kuping Popon?” tanya Jingga.
Vanila menunduk dalam. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Membuat Jingga merasa kebingungan. Gadis itu lalu mengguncang bahu Vanila dengan kuat.
“Veyek! Lo kenapa? Are you crying, Veyek? Alamak! Jangan sok-sok jadi bule deh, Jingga!”
Suara isakan kecil Vanila mulai terdengar. Buru-buru ia mengusap air matanya. Ya, ia memang sedang menangis. “Nggak, Jingga. Mata aku kelilipan,” jawab Vanila. Kau bohong… Kau bohong… Lagi… Lagi…
“Kelilipan apa? Kelilipan duit?” tanya Jingga.
Vanila menatap Jingga serius. “Jingga?”
“Kenapa, Veyek? Muka lo serius amat! Gue punya utang sama lo ya?”
“Bukan, Jingga,” jawab Vanila sambil menggeleng.
“Terus? Kiko, Kiki mati?”
“Bukan, Jingga. Menurut kamu, aku cantik nggak?” tanya Vanila. Membuat Jingga tertawa.
Jingga memukul lengan Vanila. “YA AMPUN, VEYEK! KALAU ITU SIH NGGAK PERLU GUE JAWAB, YA CANTIK, LAH!”
“Masa?”
Jingga mengangguk kuat. “Iya, Upit aja kalah kok! Kenapa? Lo minder?”
“Minder?”
“Iya, lo minder sama Lalampir? Eh, Capella maksud gue!”
Vanila menggeleng. “Aku cuma nggak percaya diri, Jingga.”
“Tenang, Veyek! Selama ada Jingga semua masalah pasti akan selesai! Jangankan glowing, gue sulap lo jadi shining, shimering, splendid aja bisa, Veyek!”
Vanila mengerutkan keningnya. “Serius, Jingga?”
Jingga mengangguk kuat. “Serius, dong! Lo nggak tau aja dulu gimana si Pentol korek ngejar-ngejar gue! Dari pagi sampe malam, dari malam ke pagi lagi!”
“Kak Laskar nggak capek?”
“Nggak dong, Veyek! Cewek kayak gue ini emang pantas dikejar! Jangan kayak Upit noh!” ujar Jingga sambil melirik Upit yang tengah mengobrol dengan Marwan di depan pos satpam. “Bucin aja setiap hari!”
“Ya sudah, Jingga. Kamu pulang gih, Biru pasti udah nunggu kamu.”
Jingga mengangguk. “Oke! Sampai ketemu nanti malam! Jangan lupa siapin sesajen buat gue! Bye, Veyek!” ujar Jingga lalu berlari keluar gerbang.
Vanila melanjutkan langkahnya. Ia mengurungkan niat untuk pulang. Seharian ini ia sudah berpikir dengan keras. Ia berjalan menuju halte dan menunggu bis yang lewat. Ia akan pergi ke markas PASDALA untuk menemui Antariksa. Walaupun cowok itu tidak akan menggubris setiap perkataannya, namun setidaknya ia sudah mencoba untuk memperbaiki ini semua. Ia tidak ingin menjadi musuh Antariksa, atau seseorang yang cowok itu benci. Ia tidak menginginkan hal itu.
***
Antariksa menuruni anak tangga sambil memakai jaketnya. Di ruang tamu sudah ada Gerald, ayahnya yang tengah duduk bersama dengan ibu tirinya, Wilma. Akhir-akhir ini ayahnya selalu menekan dirinya untuk bersikap baik kepada Capella. Tentu saja hal itu membuatnya muak. Beruntung ia sedang malas berdebat. Setelah mengantar Capella dari sekolah, ia memutuskan untuk pulang ke rumah sebentar dan mengambil barang yang ia perlukan.
“Mau ke mana kamu?” tanya Gerald.
“Bukan urusan anda,” jawab Antariksa. Membuat amarah Gerald naik.
“Dasar anak pembangkang!” desis Wilma.
Gerald beranjak berdiri dan berjalan mendekati Antariksa. “Ayah nggak pernah ajarin kamu untuk menjadi anak yang nggak sopan!”
“Masih peduli? Masih ingat kalau anda punya seorang anak?” Antariksa menatap Gerald dengan sarkas.
Sejak kepergian ibunya dulu, hubungan ia dan ayahnya tidak berjalan begitu baik. Awalnya ia bisa mengerti dengan kesibukan yang ayahnya miliki. Namun, ketika ayahnya memutuskan untuk menikah lagi, Antariksa benar-benar tidak bisa mentolerir hal itu.
“Antariksa!” bentak Gerald.
“Sudah lah, Mas. Anak pembangkang seperti ini nggak perlu diurusin. Dasar, biang masalah!” ujar Wilma. Membuat tangan Antariksa terkepal kuat.
Tidak ingin kelepasan, Antariksa langsung melangkah pergi saat itu juga. Tidak peduli dengan ayahnya yang sudah meneriakinya begitu keras. Cowok itu naik ke atas motor lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Sialan!
Dari umur sepuluh tahun, Antariksa sudah terbiasa hidup mandiri. Ia selalu melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Dan sejak kehadiran Capella, hidupnya perlahan berubah. Ia mulai menaruh kepercayaan kepada gadis itu. Ia berpikir bahwa ia tidak sendiri di dunia ini. Sebelum pada akhirnya, rasa kecewa itu datang dan menyelimuti hatinya.
Sesampai di markas, ia langsung berjalan menuju taman belakang. Cowok itu lalu membuka kaos hitamnya dan mulai melampiaskan amarahnya. Ia memukul sebuah samsak tinju yang tergantung sambil mengumpat kasar.
“BANGSAT!” teriak Antariksa.
Geng PEDAL yang melihat memilih untuk tidak berkomentar. Pemandangan seperti ini sudah biasa mereka lihat ketika Antariksa memiliki masalah di rumah. Tanpa mau mengganggu Antariksa, mereka kembali berkumpul di ruang tengah. Antariksa butuh ruang untuk dirinya sendiri. Mungkin satu jam lagi Antariksa akan bergabung dengan mereka dan bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
***
Vanila berjalan masuk ke dalam markas PASDALA dengan dada yang bergemuruh hebat. Ia sudah menyiapkan hati sekuat mungkin. Saat ini suasana markas tengah dalam keadaan ramai. Langkahnya tergerak menuju ruang tengah. Kedua matanya lalu menemukan Antariksa yang tengah duduk sambil menghisap sebatang rokok.
“Assalamualaikum,” ucap Vanila. Membuat Antariksa menoleh.
Antariksa menatapnya tajam. Seolah menunjukkan bahwa cowok itu tidak suka dengan kehadirannya. Melihat keadaan berubah menjadi tegang, Laskar dengan inisiatif langsung beranjak berdiri dan berjalan menghampirinya.
“Eh, ada Upik Baby! Ada apa ke sini?” tanya Laskar.
“A-aku, aku mau cari Kak Antariksa,” jawab Vanila takut-takut.
“Bos! Ada yang nyari nih!” seru Laskar.
“Bilang gue nggak ada,” kata Antariksa.
“Lah, kan si Upik baby udah liat lo, Bos!” Laskar menggaruk tengkuk kepalanya.
“Anggap aja nggak lihat,” jawab Antariksa malas.
Tenggara menoleh ke arah Vanila. “Kata si Bos, dia nggak ada.”
Vanila menghela napas. Seperti yang ia duga, cowok itu pasti tidak ingin bertemu dengannya. “Aku titip pesan boleh?”
“Boleh dong! Masih kaku aja,” ujar Laskar.
“Bilang sama dia, jangan suka telat makan,” ucap Vanila.
Laskar menoleh ke belakang. “Bos! Kata Upik Baby, jangan suka telat makan!” seru Laskar yang hanya dibalas dengan gumaman Antariksa.
“Ada lagi?” tanya Laskar.
Vanila mengangguk. “Masih banyak.”
“Tenggorokan gue seret, Val!” bisik Laskar.
“Kamu haus? Mau aku beli minum dulu?”
“Eh! Nggak usah! Oke, lanjut,” ujar Laskar. Sepertinya Vanila bukanlah target yang tepat untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dalam sakunya.
“Hm, bilang sama dia, jangan ngerokok,” lanjut Vanila.
“Bos! Katanya, jangan ngerokok. Makan permen susu aja, lebih enak!” ledek Laskar.
Vanila memukul lengan Laskar. “Ih! Aku nggak bilang soal permen susu!”
“Maaf-maaf! Oke, ada lagi?”
Vanila mengangguk. “Masih.”
“Lama-lama gue buat talk show, nih!”
Vanila memberikan secarik kertas kepada Laskar. “Aku titip ini untuk dia.”
Laskar meraih secarik kertas tersebut dengan kening yang mengerut. “Apa nih? Boleh gue baca nggak?” tanya Laskar, kepo.
Vanila menggeleng. “Nggak boleh, Kak.”
Antariksa yang merasa tidak nyaman, langsung beranjak berdiri dan menghampiri Vanila. Emosinya masih tidak stabil. Kedatangan Vanila malah memperburuk suasana hatinya. Cowok itu menatap gadis yang ada di hadapannya dengan dingin. Benar-benar tidak ada kelembutan di kedua matanya.
“Ngapain lo kesini?” tanya Antariksa.
Vanila menatap Antariksa takut. “A-aku, aku mau ketemu Kakak.”
“Untuk?”
“Ada yang mau aku bicarain sama Kakak.”
Antariksa berdecih. “Lo siapa sampe beraninya injak markas gue?”
Vanila tersentak dengan pertanyaan Antariksa. “Maaf, Kak.”
“Pergi,” usir Antariksa.
“Ta-tapi, Kak. Aku cu-”
“PERGI GUE BILANG!” bentak Antariksa. Membuat Vanila terkejut.
Antariksa melangkah maju. “Lo bukan siapa-siapa di sini, jangan seenaknya. Paham?”
Vanila menunduk dalam. Ia sudah menangis. “Ma-maaf, Kak,” ucapnya, lirih.
“Cewek kayak lo,” Antariksa menggantungkan ucapannya. “Nggak seharusnya masuk ke dalam hidup gue,” tekan Antariksa. Membuat tubuh Vanila langsung bergeming.
“KHAL!” teriak Antariksa. “Usir nih cewek,” perintah Antariksa kepada Khatulistiwa.
“Nggak perlu, Kak. Aku bisa pergi tanpa harus kamu usir,” ucap Vanila. Gadis itu lalu berlari keluar markas dengan pipi yang sudah basah. Antariksa benar-benar menyakitinya.
“Buat lo,” kata Laskar sambil memberikan secarik kertas kepada Antariksa.
Antariksa meraih secarik kertas itu, lalu membukanya.
SURAT PENGUNDURAN DIRI
Saya, Vanila Aletta. Dari kelas XI IPS II.
Dengan ini mengajukan surat pengunduran diri sebagai Upik Abu dari tuan Antigeriksa.
Keputusan ini sudah saya pikirkan secara matang-matang.
Tanpa ada paksaan dari pihak di sekitar.
Semoga Tuan Antigeriksa dapat memahami isi hati saya.
Atas waktunya, saya ucapkan terima kasih.
Tertanda
-Vanila Aletta
Saksi
-Popon Marpuah.
Antariksa meremas kertas itu lalu membuangnya ke dalam tong sampah. Emosinya kembali memuncak. Cowok itu lalu meraih sebotol alkohol yang ada di atas meja dan meneguknya. Vanila Aletta, gadis itu benar-benar menjadi pelampiasan amarahnya.
Sejujurnya ia tidak ingin memarahi Vanila sekasar itu. Namun, ia tidak mampu untuk mengendalikan diri. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dan sayangnya gadis itu hadir dalam keadaan yang sangat tidak tepat.
Tenggara yang sedari tadi tidak ada di markas, tiba-tiba datang dan menghampiri Antariksa bersama wajah seriusnya. Ia mengajak Geng PEDAL dan Khatulistiwa untuk mengikutinya ke lantai atas. Sesampainya di sana, ia memberikan sebuah informasi tentang bagaimana Ikhram dan Gani menemukan Vanila di kawasan Renjana. Malam itu Ikhram hampir saja melecehkan Vanila jika tidak ada Mars yang menolongnya.
Rahang Antariksa langsung mengeras seketika. Detik itu juga ia langsung turun ke bawah dan mengambil ponselnya. Ia menghubungi Vanila berkali-kali, namun nomor gadis itu sama sekali tidak aktif. Sialan!
Antariksa menghidupkan mesin motornya lalu melaju dengan kecepatan penuh. Ia menyesali semua ucapan yang ia lontarkan kepada Vanila. Rasa khawatir mengguyuti jiwanya sepanjang jalan. Ia harus menemui gadis itu sekarang juga.
Antariksa mencari Vanila ke rumahnya. Namun, gadis itu tidak ada di sana. Ia juga menyuruh Laskar untuk pergi ke rumah Jingga untuk mencari Vanila, namun lagi-lagi ia tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Cowok itu lalu menepikan motornya dan kembali menghubungi gadis itu.
“Anjing!” umpat Antariksa ketika nomor tersebut masih tidak aktif.
“Lo dimana, Val?” Antariksa mengacak rambutnya kasar.
Tangan Antariksa terkepal kuat. Lihat saja, ia akan memberikan balasan yang sangat setimpal kepada Ikhram dan Gani. Kedua orang itu akan ia habisi dengan tangannya sendiri. Sedikit celah pun, tidak akan ia biarkan mereka lolos kali ini.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Antariksa tahu harus pergi ke mana. Cowok itu melajukan motornya kembali menuju ke sebuah tempat yang ia yakini adalah keputusan yang paling tepat. Vanila Aletta, gadis itu pasti ada di sana.
***
Antariksa, aku rindu.
Sunyi itu sedikit mencekamku.
Rasanya sedikit sesak.
Membayangkan kamu tidak ada seperti biasanya.
Ketika melihatmu, banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku.
Apa kabarmu?
Apa kamu baik-baik saja?
Ke mana kamu beberapa hari ini?
Apakah ada masalah yang sedang menjebakmu?
Apa kamu merindukan aku?
Apakah semua momen kecil antara aku, kamu dan kita sudah tidak berarti lagi untukmu?
Ruang hatiku terasa begitu penuh.
Penuh dengan rasa sakit ketika tatapan dingin itu tertuju ke arahku.
Ingin rasanya aku menumpahkan segala keresahanku.
Namun, lidahku terasa kelu.
Akal dan perasaanku tidak saling menyatu.
Keduanya saling berlawanan.
Hingga sampai, tidak ada yang menjadi pemenang.
Vanila duduk di tepi pantai dengan suasana hati yang sendu. Langkahnya tergerak begitu saja untuk mengunjungi tempat ini. Mungkin yang ia perlukan saat ini adalah sebuah ketenangan.
Antariksa membencinya. Satu fakta itu yang harus ia tekankan dalam dirinya. Tidak ada lagi jeda, atau ruang untuk memikirkan Antariksa. Ia menatap cahaya matahari yang mulai tenggelam sambil menahan tangisnya.
“Dasar cowok nyebelin! Kamu pikir, kamu bisa seenaknya sama aku?!” Vanila menenggelamkan wajah di kedua lengannya.
Tangisnya mulai pecah. “Apa aku kurang cantik? Apa masakanku kurang enak?”
“HUAAAA…. POPON… KENAPA SIH, HARUS ADA MANUSIA SEJAHAT DIA?!”
Vanila menangis sesunggukan. “Hiks… A… Aku… Kangen…”
Tidak bisa ia pungkiri, perasaannya terhadap Antariksa sudah jatuh terlalu dalam. Ia sendiri pun tidak tahu bagaimana cara untuk menghilangkannya. Mungkin hanya sang waktu yang mampu membantunya.
“Bangun.”
Suara yang sangat tidak asing itu membuat Vanila tersentak. Ia mengangkat kepalanya, lalu mendapatkan Antariksa tengah berdiri seraya menatapnya lekat. Ia mengerjapkan kedua matanya seolah tidak percaya dengan kehadiran Antariksa. Apakah ia sedang berhalusinasi lagi?
Antariksa menjulurkan tangannya. “Bangun.”
Vanila menyambut juluran tangan itu. Ia beranjak berdiri sambil menatap Antariksa tidak percaya. “Ka-kamu? Kenapa bisa ada di sini?”
“Lo ngapain ke sini hah?!” bentak Antariksa.
“Kenapa? Kamu peduli?” tanya Vanila.
“Kenapa nggak pulang?! Kenapa nomor lo nggak aktif?!”
“Ponselku mati, Kak,” jawab Vanila lesu.
“Bisa nggak sehari aja lo nggak buat gue kepikiran?!”
“Ma-maaf, aku nggak tahu kal-”
Antariksa membuang napas kasar. Ia menarik tubuh Vanila lalu mendekapnya erat. Rasa khawatirnya seketika luruh bersama dengan angin yang menyibaknya. Ia memejamkan kedua matanya sambil mengusap lembut rambut gadis itu.
“Maaf,” kata Antariksa. Membuat Vanila terkejut.
“Jangan buat gue khawatir lagi, Val,” ucap Antariksa.
Vanila membalas pelukan Antariksa dengan erat. Air matanya terjatuh kembali. Perlahan, ia mulai melepas rasa rindunya. Dalam hati kecilnya, ia berharap jika ini bukanlah sebuah mimpi. “Aku kangen kamu,” katanya, parau.
Antariksa melepaskan pelukannya. Ia mengusap wajah Vanila yang sudah basah dengan air matanya. “Jangan nangis, Val.”
“Aku kangen kamu, Antariksa,” ucap Vanila. Membuat hati Antariksa menghangat.
Antariksa menarik tengkuk kepala Vanila, lalu mencium bibir gadis itu dengan lembut. Seperti batu karang yang terkikis dengan ombak, pertahanan Antariksa seketika runtuh. Untuk beberapa detik, momen antara ia dan Vanila kembali tercipta. Bersama deru ombak yang terdengar, Antariksa mengaku kalah. Ia mencintai Vanila.
Yang ia inginkan hanyalah menghabiskan waktu bersama gadis itu pada setiap detiknya.
Yang ia inginkan hanyalah berdiri di samping gadis itu pada setiap langkahnya.
Yang ia inginkan hanyalah memeluk gadis itu pada setiap rasa takutnya.
Yang ia inginkan hanyalah menikmati senyuman gadis itu pada setiap momen yang akan mereka ciptakan nantinya.
Karena senyuman gadis itu, adalah tujuannya.
Vanila meremas ujung jaket Antariksa dengan kuat. Ia sama sekali tidak memberontak. Kedua matanya ikut terpejam, menikmati detik-detik yang berlalu pelan. Bersama senja yang terlukis di langit yang luas, Vanila mengaku kalah. Ia mencintai Antariksa.
Antariksa melepas pagutannya, lalu menatap Vanila dalam. “Gue sayang lo, Val.”
Vanila tersentak. “Sa-sayang?”
“Gue nggak sanggup kehilangan lo, Val. Maaf atas semua ucapan kasar gue,” ucap Antariksa. Ia benar-benar serius. Tidak ada kebohongan dalam sorot matanya.
“Val?”
“I-iya?”
“Mau jadi pacar gue?”
Vanila membulatkan kedua matanya. Apakah ia sedang bermimpi? Apakah Antariksa sedang mengatakan cinta kepadanya? Apakah kepala Antariksa tidak terbentur sesuatu sebelum datang ke tempat ini? Sungguh, ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Popon… Tolong aku!
“Ta-tapi, aku nggak pantas untuk kamu,” ujar Vanila.
“Gue nggak peduli, Val. Cuma lo yang gue mau, nggak ada yang lain,” tegas Antariksa.
“Aku juga cuma mau Kakak,” ucap Vanila.
“Jadi?”
Vanila mengerutkan keningnya. “Jadi?”
“Jadian mau ya?” Antariksa mendekatkan wajahnya.
Lutut Vanila terasa begitu lemas. Ia menarik napas lalu membuangnya pelan. Kali ini, ia tidak bisa membohongi perasaannya lagi. “Iya,” jawabnya, sambil mengangguk. Membuat Antariksa tersenyum.
“Iya apa?” tanya Antariksa.
“Iya, aku mau,” jawab Vanila.
Antariksa menaikan satu alisnya. “Mau apa?”
“Jadi pacar kamu,” Vanila menggaruk tengkuknya.
“Kamu siapa?” Antariksa mendekatkan wajahnya.
“Kamu, Antariksa,” jawab Vanila malu-malu.
“Siapa?”
“Antariksa…”
“Apa sayang?”
Vanila memukul kecil lengan Antariksa. “Kakak! Jangan gitu, aku malu…”
Antariksa tersenyum lebar. “Jadi, mulai sekarang kita nggak perlu pake permen susu lagi,” ujar Antariksa.
“Permen susu?” tanya Vanila. Yang dijawab dengan anggukan Antariksa. Cowok itu tengah menatapnya jahil sekarang.
Selang lima detik, Vanila baru mengerti maksud dari ucapan kekasihnya itu. Belum sempat ia mencubit perut Antariksa, cowok itu sudah lari meninggalkannya sambil tertawa keras.
MAU AKU POST GRATIS LAGI GAK MOMEN2 ANTARIKSA 1????
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
