Suamiku yang Kejam

3
0
Deskripsi

Sedari kecil, Elif dilatih menjadi pasangan dari Brian. Diharuskan mengikuti tradisi di mana istri pertama tidak boleh tinggal di rumah utama. Diperlakukan semena-mena, Elif tetap bertahan. Sampai di mana akhirnya, Elif membuat keputusan agar dia bahagia.

Bab 1 
Dia Calon Suamiku

Di sinilah Elif berada, rumah besar nan mewah dan katanya sepanjang komplek perumahan ini adalah milik keluarga Alexander, dan beruntungnya Elif sudah sering masuk ke dalam rumah mewah itu.

Meski sudah sering berkunjung, tetap saja rumah besar itu terasa asing. Rumah yang ia kunjungi saat ini adalah rumah calon pria masa depan hidupnya.

"Masuklah, Tuan Sanjaya. Tuan Alexander telah menunggu Anda di ruang pertemuan," ucap seorang pelayan wanita.

Sanjaya memegang tangan putrinya, agar Elif mengikuti langkahnya menuju ruang pertemuan. Keduanya diantar meskipun Sanjaya dan Elif tahu letak ruangan itu.

Pintu ruangan dibuka oleh pelayan, dan Sanjaya beserta Elif dipersilakan masuk ke dalam. Sanjaya membungkukkan sedikit tubuhnya begitu juga Elif mengikuti sang ayah memberi hormat kepada tiga orang pria yang tengah duduk di sofa dengan angkuh.

"Duduklah," ucap Alexander pada Sanjaya dan Elif.

Sanjaya dan Elif duduk di sofa berhadapan dengan ketiga pria itu. Yang duduk di tengah adalah Alexander, pria berumur tujuh puluh tahun yang sampai saat ini masih kelihatan bugar.

Di sebelah kirinya adalah Edward, anak tertua dari Alexander dan di sebelah kanan adalah Brian, anak dari Edward dan cucu dari Alexander.

Elif menundukkan kepalanya ke bawah, ia tidak berani untuk menatap ketiga pria itu. Terutama Brian, pria itu seumuran dengannya dan Elif sama sekali tidak menyukai pria angkuh itu.

"Calon cucu menantuku semakin cantik saja," puji Alexander.

"Iya, Tuan. Kami merawatnya agar layak menjadi menantu keluarga Alexander," ucap Sanjaya.

"Wah ... kamu memberikan kami menantu dari wanita simpanan rupanya, tapi tidak apa, anakmu akan menjadi istri dari keluarga Alexander dan derajatnya akan naik," ucap Edward dengan nada yang terkesan mengejek.

"Siapa pun dia, asalkan wanitanya memiliki garis keturunan Hutomo, maka dia berhak menikah dengan keluarga kita dan bukannya Elif memang calon menantu kita?" sahut Alexander.

Alexander pernah berutang nyawa kepada Hutomo dan sebagai ganti dari hutang budi itu, mendiang Hutomo meminta kepada Alexander untuk menjadi kerabatnya dengan cara menjalin hubungan pernikahan.

Alexander setuju saja sebab dalam kenyataannya para istri dari hasil perjodohan hanya sebagai alat pencetak anak dan pelayan saja.

"Bukan begitu, Tuan. Elif lebih cantik dari Nura," kilah Sanjaya.

Edward tidak setuju dengan Elif sebab anak itu keturunan dari wanita simpanan, ia beranggapan jika Sanjaya memberikan keluarganya sampah. Namun berbeda dari Alexander, yang penting wanita itu keturunan Hutomo.

Elif tidak kaget akan penuturan dari ayah kandungnya dan juga keluarga Alexander, karena dari kecil ia sudah diberitahu jika suaminya adalah pria yang bernama Brian.

Elif sering mendengar tentang keluarga Alexander. Mereka rata-rata memiliki istri lebih dari satu dan yang lebih menyakitkan istri pertama selalu tidak mendapat keberuntungan.

Itu hanya gosip, tapi faktanya Alexander dan Edward memiliki istri dua dan para istri kedua yang mendapatkan hak istimewa. Edward  merupakan anak dari istri kedua dari Alexander, sedang Brian merupakan anak istri kedua dari Edward dan mereka yang menjadi ahli waris dari kekayaan Alexander.

Ada juga gosip yang mengatakan jika hal itu bermula dari Alexander yang merupakan anak dari istri kedua dan pada masa hidupnya, sang ibu diperlakukan dengan tidak baik oleh istri pertama ayahnya.

Sanjaya tidak ingin anak kesayangannya bernasib sama dengan para istri pertama Alexander dan Edward, jadi sebab itulah ia mengorbankan Elif yang merupakan anak dari wanita simpanannya.

"Kita adakan pernikahan secepatnya setelah mereka lulus sekolah," ucap Alexander.

"Ya, itu artinya seminggu lagi kita adakan upacara pernikahan dan setelah itu Brian akan pergi melanjutkan sekolahnya di luar negeri," sahut Edward.

Elif mengerling Brian, ia tahu siapa pria itu. Pemilik mata tajam, serta wajah tampan yang digilai oleh banyak teman sekolahnya. Namun pria itu tidak menyukai dirinya sebab Elif merupakan kotoran di mata Brian.

"Kita tinggalkan calon pengantin di sini, biarkan mereka saling bicara," ucap Alex, "ayo ... kamu ke ruanganku, Sanjaya."

"Baik, Tuan," sahut Sanjaya.

Alexander dan Edward keluar ruangan dengan diikuti oleh Sanjaya. Tinggallah Brian dan Elif yang duduk di sofa saling berhadapan.

"Ambilkan aku minum," pinta Brian.

"Hah?" Elif mendongak dan ia tercengang dengan perintah Brian.

"Kenapa? Jangan bilang kamu tidak tahu segala kesukaan dan kebiasaanku," tuduh Brian.

"Ak-aku tahu. Akan aku ambilkan," ucap Elif terbata.

"Jangan membuat kesalahan atau kamu akan tanggung akibatnya," kata Brian dengan nada mengancam.

Elif beranjak dari sofa lalu melangkah  menuju mini bar yang ada di ruangan itu. Brian menyukai minuman teh lemon di saat cuaca sedang panas begini, dan dia juga suka teh lemon itu disajikan dingin.

Dari kecil Elif selalu diberitahu apa saja kesukaan dan kebiasaan dari calon suaminya, dan sebenarnya mereka setiap hari bertemu di sekolah kecuali di hari libur, namun sayangnya keduanya tidak pernah saling bicara saat berada di tempat umum.

"Ini minumnya," ucap Elif sembari meletakkan segelas teh lemon dan juga majalah bisnis yang ia ambil dari keranjang bacaan yang ada di meja mini bar.

"Bacakan untukku majalahnya," perintah Brian.

Elif hendak duduk di sofa tempatnya tadi, namun tangan Brian menghalangi langkah kakinya. Mata tajam Brian menusuk Elif dan wanita itu menyadari kesalahannya.

Elif menjatuhkan tubuhnya bersimbuh di hadapan Brian. "Maafkan aku. Seharusnya aku tidak duduk sebelum kamu perintahkan."

"Dari dulu hingga sekarang kamu selalu ceroboh, mau aku hukum?" tanya Brian dengan kesalnya.

Elif mengeleng. "Maafkan aku."

"Bacakan majalah itu dengan berlutut," perintah Brian.

"Baik," sahut Elif.

Brian memejamkan mata mendengar suara Elif yang membacakan dirinya majalah bisnis. Cukup lama Elif membaca, tapi Brian belum juga menghentikan dirinya.

Lembaran demi lembaran Elif baca hingga tenggorokkanya terasa kering dan kakinya juga sudah mulai keram karena terlalu lama berlutut.

Pintu ruangan terbuka dan ketiga pria dewasa masuk ke dalam. Edward mengeleng melihat Elif dan seperti biasa wanita itu pastinya sudah membuat kesalahan pada Brian.

Sanjaya hanya diam melihat putrinya diperlakukan seperti itu dan baginya itu sudah biasa karena Brian sering melakukannya saat Elif membuatnya kesal ataupun marah.

Brian membuka matanya yang terpejam. "Hentikan bacaanmu."

Elif bersyukur dapat berhenti membaca, namun ia masih belum boleh berdiri. Brian belum memerintahkan untuk duduk di sofa dan ia masih harus berlutut.

"Pulanglah dan siapkan acara pernikahannya seminggu lagi," ucap Alexander.

"Baik, Tuan. Terima kasih atas segalanya dan kami akan siapkan tempat untuk acara pernikahannya," sahut Sanjaya.

Tubuh Elif bergetar karena sudah cukup lama ia berlutut, namun Brian belum memerintahkan dirinya untuk bangun. Edward dan Alexander keluar dari ruangan, namun Brian masih belum beranjak dari duduknya, bahkan pria itu sibuk bermain ponsel.

"Tuan muda ... kami pamit pulang," ucap Sanjaya berharap Brian melepas Elif.

Brian berdecak lalu beranjak dari duduknya. "Ajari lagi putrimu, jangan sampai dia berbuat salah lagi."

Sanjaya membungkukkan tubuhnya. "Baik, Tuan."

Brian keluar dari ruangan dan Sanjaya membantu putrinya bangun. "Sudah berapa kali aku mengatakannya kepadamu, jangan membuat masalah. Aku sudah bicara pada tuan Alexander, dia mengizinkanmu untuk melanjutkan pendidikan, tapi ingat ... jaga statusmu nanti. Jangan katakan kamu menantu keluarga ini."

Elif bahagia mendengarnya, akhirnya ia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. "Terima kasih, Tuan."

Begitulah Sanjaya membiasakan putri kandungnya memanggil namanya. Bukan ayah melainkan tuan sebab Elif dilahirkan dari wanita simpanan.

Bersambung.

Dukung Author dengan vote star, subscribe dan koment. 

Bab 2 Pesan terakhir

Mobil yang ditumpangi Elif melewati jalanan di mana ada tiga buah rumah yang saling berderetan, dua rumah sudah di tempati dan yang satu masih kosong karena itu adalah rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya.

Rumah itu sederhana namun Elif memandang, jika tinggal di rumah itu lebih baik daripada tinggal di rumah mewah Brian dan ayahnya.

Rumah itu adalah rumah para istri tua dari Alexander dan Edward. Kabarnya rumah itu adalah rumah para istri yang dijodohkan pada mereka.

Alexander dijodohkan oleh orangtuanya dan ia tidak mencintai wanita itu, lalu Alex menikahi wanita lain yang begitu ia cintai. Kemudian Edward menikahi seorang wanita yang tidak sengaja ia tiduri, tapi setelah itu Edward menikah lagi dengan kekasih yang begitu ia cintai.

"Rumah kosong itu nantinya milikmu," ucap Sanjaya.

"Iya," jawab Elif.

"Bersyukurlah karena kamu bisa makan, minum dan tidur di rumahku. Kalau bukan karena perjanjian itu, aku tidak akan mau membesarkan hidupmu," beber Sanjaya.

Saat istri Sanjaya mengetahui anak selingkuhan suaminya seorang bayi perempuan, maka saat itu juga istri dari Sanjaya meminta suaminya untuk membesarkan Elif sebagai ganti menjadi istri dari Brian.

Seharusnya Nura yang menjadi istri Brian, namun karena tradisi konyol Alexander, mau tidak mau Sanjaya mengambil dan membesarkan Elif.

Ibu kandung Elif tiada saat melahirkan dan sejak kecil bayi malang itu diasuh oleh pelayan keluarga Sanjaya.

"Terima kasih sudah membesarkan diriku, Tuan. Pengorbananmu tidak sia-sia, kan? Aku membayarnya dengan menikahi pewaris keluarga Alexander," jawab Elif.

"Tidak ada yang gratis di dunia ini," ucap Sanjaya.

"Pernahkan kamu mencintai ibuku?" tanya Elif.

"Ibumu hanya wanita penghibur dan sayangnya dia malah hamil, tapi baguslah ... wanita itu hamil anak perempuan dan setidaknya bisa mengantikan anak kesayanganku dari petaka istri pertama keluarga Alexander," jelas Sanjaya.

Elif keluar dari dalam mobil dan ia langsung menuju rumah kecil yang berada di halaman rumah sanjaya. Di situlah ia berdiam diri, wanita pelayan yang membesarkan Elif telah tiada dua tahun yang lalu karena umurnya sudah tua.

Elif masuk ke dalam rumah kemudian menganti bajunya dengan baju pelayan, Ia harus bekerja di rumah ayahnya sendiri sebagai seorang pelayan.

Elif keluar dari dalam rumah dan ia bertemu Nura di halaman belakang. "Calon pengantin sudah pulang."

"Nona perlu sesuatu?" tanya Elif.

"Potongkan kuku kakiku," pinta Nura.

"Baik, saya akan ambil dulu peralatannya," ucap Elif.

"Elif tidak akan melakukan apa-apa," sela Norma, ibu dari Nura.

"Kenapa?" tanya Nura dengan mengerutkan kening.

"Elif akan menikah, dia harus tampil cantik di depan suaminya nanti," tutur Norma dengan tersenyum sinis.

Nura tertawa mendengar perkataan ibunya. "Mama benar ... bukankah ia akan melayani suaminya dan setelah itu nasib buruk akan menimpa hidupnya."

Norma tertawa. "Dari ibu sampai anak, nasib keduanya sama saja. Sama-sama menjadi pelayan."

Elif sama sekali tidak sakit hati akan percakapan ibu dan saudara tirinya, memang begitulah kenyataan yang sebenarnya. Ia akan menjadi pelayan dari Brian setelah menikah.

Sanjaya bergegas menemui istri dan anaknya yang berada di taman belakang, kebetulan Elif juga di sana dan ia memang mencari gadis itu.

"Elif ... bersiaplah, Brian ada di depan menjemputmu," kata Sanjaya.

"Sepertinya malam ini Elif tidak akan pulang," sela Nura.

"Biarkan saja, toh Elif calon istrinya," sahut Norma.

"Aku akan bersiap." Elif bergegas masuk ke rumah kemudian menganti pakaiannya. Brian tipe pria yang tidak suka menunggu, dan jika ia kesal, maka Elif akan menerima hukuman dari pria itu.

Elif berjalan cepat melewati jalan taman tanpa pamit lagi pada keluarganya, ia tidak mau sampai Brian menghukumnya berlutut lagi.

"Brian," seru Elif dari kaca jendela mobil.

"Masuk," perintahnya tanpa melihat wajah Elif.

Elif masuk ke dalam mobil dan belum sempat ia menutup pintu, Brian sudah mengendarai mobil. Elif meraih pintu lalu menutupnya, ia sedikit kesusahan memakai sabuk pengaman karena mobil melaju dengan kecepatan tinggi.

Elif tahu ke mana Brian akan membawa dirinya dan sudah pasti Elif harus menyediakan tenaga ekstrak untuk itu.

"Apa makanan kesukaanmu?" tanya Brian.

"Nasi goreng dengan ayam bakar," jawab Elif.

"Warna kesukaanmu?" tanya Brian kembali.

"Warna biru dan hitam," jawab Elif.

Brian menghentikan secara mendadak mobil yang ia kendarai. "Turun dan dalam waktu tiga puluh menit, kamu harus sampai di vila. Aku mengadakan pesta kelulusan sebelum pergi ke luar negeri."

"Di sini tidak ada kendaraan, Brian," ucap Elif.

"Kamu punya kaki, kan? Awas saja kalau  kamu sampai terlambat," kecam Brian.

Elif keluar dari dalam mobil dan Brian melaju meninggalkan dirinya seorang diri. Dalam perjalanan Brian mengumpat kesal, setiap ditanya seperti itu, maka jawaban yang Elif ucapkan pasti makanan dan warna kesukaan dirinya.

"Apa dia tidak punya makanan dan warna kesukaan? Membuatku kesal saja," gerutunya.

Elif berlari menuju vila agar sampai tepat waktu, ini merupakan latihan dari Brian. Karena sering dihukum berlari, Elif bisa menjuarai perlombaan lari nasional. Ada hikmah dari setiap hukuman yang Brian berikan kepadanya.

Elif terengah-engah dan dari kejauhan tampak mobil Brian dan sahabat pria itu terparkir rapi di halaman luas vila. Elif kembali berlari agar secepatnya sampai di vila sebelum pesta itu dimulai.

"Akhirnya sampai juga. Semoga aku tidak terlambat," gumam Elif sembari menormalkan  tarikan napasnya.

"Bersihkan dirimu," ucap Brian yang sudah berada di depan pintu masuk.

"Elif ... kamu akhirnya datang," seru Miles senang.

Brian menatap tajam Miles. "Kenapa kamu begitu senang?"

Miles menelan salivanya. "Maafkan aku, Brian."

"Cepat masuk!" ucap Brian dengan nada tegasnya.

Elif masuk ke dalam vila dan di sana sudah ada para sahabat Brian, namun mereka sama seperti Brian yang menganggap Elif hanyalah sampah dan hanya Miles yang mau mengajaknya bicara.

Pesta yang diadakan Brian dimulai, para teman-teman sekolahnya pada datang dan yang menjadi pelayan adalah Elif dibantu oleh beberapa pelayan wanita dan pria.

"Elif ... kamu akan melanjutkan sekolahmu?" tanya pria berseragam pelayan bernama Dama.

"Iya, syukurlah aku bisa melanjutkan pendidikanku," jawab Elif.

"Apa Brian masih suka menindasmu?" tanyanya lagi.

Elif melirik ke kiri dan kanan. "Kak Dama ... hanya kamu yang mengetahui rahasiaku."

"Jelas aku tahu. Nasib kita sama, Elif. Brian saudaraku, tetapi lihatlah nasibku. Hanya bisa  menjadi pelayan," lirih Dama.

Dama anak dari istri pertama Edward, namun nasibnya tidak seberuntung Brian, ia bekerja sebagai pelayan demi  biaya pendidikannya sebab Edward hanya membiayai sekolahnya sampai sekolah menengah atas saja.

"Sanjaya yang bicara pada tuan Alexander," ungkap Elif.

"Setelah aku lulus, aku akan membawa ibuku pergi jauh dari keluarga itu, jika kamu mau ... ikut bersamaku, Elif," tawar Dama.

Elif tersenyum. "Aku akan pergi setelah membayar lunas hutang-hutangku."

Elif menawarkan minuman kepada teman-teman sekolah yang sebenarnya sangat Elif kenal. Para teman sekolah Elif tahunya jika Elif bekerja sebagai pelayan di rumah Brian.

Hanya sahabat Brian serta orang tertentu saja yang mengetahui perjodohan antara Elif dan pria itu. Elif mengerling Brian yang terlihat bercanda bersama para sahabatnya, dan ia melihat Dama yang menawarkan minuman kepada para tamu. Sungguh miris hati Elif melihat perlakuan tidak adil itu dan sebentar lagi hal itu akan terjadi padanya.

"Kalian jadi untuk menikah?" tanya Elno pada Brian.

"Iya," jawab Brian acuh.

"Kasihan sekali Elif," sahut Miles.

"Apa maksudmu?" tanya Elno.

Miles mengedikan bahunya. "Kamu itu seperti tidak tahu keluarga Alexander saja."

"Jangan ada yang tahu gadis itu akan menjadi istriku," pesan Brian.


Bersambung.

 

Bab 3 Pernikahan

Elif, Dama serta pelayan lain membereskan sisa-sisa pesta setelah tamu-tamu Brian pulang. Brian sendiri tengah berbincang di tepi kolam renang bersama Elno, Miles serta dua teman wanita mereka.

"Aku sangat lelah," ucap Dama.

"Biar aku saja, Kak Dama yang membereskan ruangan ini," sahut Elif.

"Tidak apa-apa, Elif. Kamu tahu sendiri ... aku ke mari jalan kaki karena tidak ada angkutan yang bisa mengantar masuk ke vila, tapi kamu pasti jauh lebih lelah," tutur Dama.

"Aku hanya separuh berlari dari vila, sedangkan Kakak dari jalan masuk vila," ucap Elif.

"Entah kenapa aku malah ingin menjadi pelayan sungguhan dari pada memiliki ikatan keluarga Alexander. Mereka tidak memperlakukanku dengan baik," keluh Dama.

Elif mengerti apa yang diucapkan oleh Dama, jika dilihat-lihat, status pelayan lebih tinggi dari pada mereka. Bahkan para pelayan keluarga Alexander menganggap anak-anak para istri pertama tidak ada gunanya.

"Kakak harus bersabar dan aku akan berdoa semoga kakak bisa bebas setelah mendapat pekerjaan yang layak," ucap Elif.

"Dan aku akan menjemputmu dari sana. Aku ingin kita hidup bersama, Elif," sambung Dama sembari menyunggingkan senyum di bibirnya.

Dama memiliki perasaan pada Elif, ia jatuh cinta pada gadis itu sedari dulu. Namun Dama tidak dapat berbuat apa-apa, sebab Elif akan menjadi istri dari Brian.

"Aku akan menunggu Kakak," ucap Elif.

"Menunggu?"

Dama dan Elif tersentak kaget. Keduanya memutar tubuh menghadap sosok pria yang diapit dua sahabatnya. Brian menatap tajam keduanya sembari tangannya mengepal geram.

"Elno, Miles, bawa Dama ke tempat lain," perintah Brian.

"Dengan senang hati," ucap Elno.

Elif duduk berlutut memohon ampun. "Kumohon, kami akan membereskan ruangannya dengan cepat."

"Bawa Dama pergi," perintah Brian.

"Kak Dama saudaramu. Ampuni dia," pinta Elif.

"Aku bukan saudaranya, Elif. Jangan memohon padanya," ucap Dama.

Brian bertepuk tangan. "Wah ... sepasang kekasih tengah saling memohon."

"Maafkan mereka, Brian. Memang mereka berbuat salah apa?" tanya Miles.

"Miles ... kamu mau melawanku?" kesal Brian,  "bawa Dama pergi dan beri pelajaran padanya."

"Sudahlah Miles, lakukan apa yang diminta Brian," sahut Elno.

Elif mengeleng. "Jangan, kumohon."

Elno dan Miles membawa Dama pergi dari sana. Brian melangkah mendekati Elif, ia menarik tangan wanita itu, menyeretnya hingga masuk ke dalam kamar.

Brian membuka habis pakaiannya lalu membawa Elif ke atas tempat tidur. "Malam pengantin malam ini atau lepas kita menikah sama saja. Lagian kita akan tetap menikah, jadi kita lakukan malam ini saja."

Elif mengepalkan kedua tangan dan memejamkan matanya, ia pasrah atas apa yang dilakukan oleh Brian. Sedangkan Dama meringkuk di luar vila dengan kondisi tubuh babak belur.

*****
Elif beranjak turun dari ranjang dan memungut kembali pakaian pelayannya. Matanya melirik Brian yang telah tertidur pulas berbalut selimut tebal.

Elif bergegas mengenakan pakaian dan keluar dari kamar, tubuh bagian bawahnya masih sakit, tapi Elif tidak memusingkan hal itu. Ia ingin pergi mencari Dama di luar.

Pintu luar vila dibuka, Elif berlari menghampiri Dama yang terbaring lemah tidak berdaya.

"Kakak," rintih Elif.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Dama mengatakan hal itu dengan senyum di bibirnya.

"Elif akan bawa Kakak ke rumah sakit," ucapnya.

"Kita mau jalan kaki?" kata Dama dalam nada seloroh.

"Elif," seru Miles.

Elif menolehkan kepalanya dan ia takut jika Miles akan memberitahu Brian. "Ak-aku sudah menyerahkan diriku, kumohon pada kalian, jangan lagi pukuli kak Dama."

Miles mengeleng. "Aku antar kalian pulang."

Miles membantu Dama masuk ke dalam mobil dengan diikuti oleh Elif. Hanya Elno yang memukuli Dama, sedangkan Miles tidak.

"Kamu tidak takut jika Brian memarahimu?" tanya Elif.

"Paling dia hanya marah sebentar saja." Miles menyunggingkan senyumnya. "Kalian berpacaran?"

"Ka-kami hanya saling suka," jawab Dama, "Elif akan menikah dan dia bukan milikku."

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sudah dapat Miles lihat jika keduanya memang saling menyukai, hanya karena takdir saja keduanya tidak bisa bersatu.

*****
Waktu pernikahan telah tiba. Hanya gaun putih sederhana, tanpa riasan, mahkota di kepala maupun leher Elif. Tidak ada musik atau semacamnya seperti pernikahan pada umumnya.

Elif berjalan di altar menuju seorang pria yang telah berdiri gagah di sana. Calon suaminya tetap tampan dengan setelan jas berwarna hitam. Orang-orang yang hadir hanya keluarga Brian dan Elif saja.

Bagi Elif ini bukanlah sebuah pernikahan, melainkan suatu perjalanan menuju neraka. Hidup dan masa depan mudanya menjadi milik dari keluarga Alexander.

Pengucapan janji suci saling menemani dalam duka dan suka, saling menerima kekurangan dan kelebihan, telah diucapkan secara bergantian oleh Brian dan Elif.

Tidak ada yang mengucapkan selamat atas pernikahannya. Ayah dan ibu mertua Elif langsung pergi, begitu juga dengan Sanjaya beserta istri dan anaknya. Pria yang menjadi suaminya juga pergi meninggalkan dirinya seorang diri.

Elif melangkah keluar dari tempat pengucapan janji suci, ia mengerutkan kening tak kala melihat Dama berdiri di sana.

"Hai," sapa Dama, "selamat atas pernikahanmu."

Elif menunduk malu. "Terima kasih."

"Kamu sangat cantik, Elif," puji Dama.

Elif terkekeh kecil. "Wajahku tidak dirias dan rambutku hanya ditata ke belakang, gaunku juga hanya gaun biasa saja."

"Justru itu kelebihanmu. Kamu sangat cantik tanpa mengenakan apa pun." Dama mengeluarkan sebuah mahkota bunga dari paper bag yang ia bawa. "Kamu akan sangat cantik jika mengunakan mahkota ini."

"Kalau begitu, pakaikan untukku." Elif menurunkan tubuhnya dan dengan senang hati Dama memakaikan mahkota bunga itu."

"Maaf karena aku tidak bisa membuatkan mahkota dari berlian dan permata," ucap Dama.

"Ketulusanmu lebih dari sekadar berlian," tutur Elif.

"Elif," seru sopir keluarga Alexander.

"Iya, Pak," jawab Elif takut.

"Biar aku antar ke rumahmu yang baru," ucapnya.

"Baiklah," sahut Elif.

Elif mengikuti langkah sopir keluarga itu. Dama hanya menatap kepergian wanita yang ia cintai. Elif masuk ke dalam mobil lalu menatap Dama yang masih berdiri di sana sembari menatap kepergiannya.

"Semoga kita dapat bertemu lagi," lirih Dama.

"Apa kalian saling mengucapkan kata perpisahan?" tanya Sopir.

Elif mengerutkan dahi. "Apa?"

Sopir itu menghela napas. "Dama dan ibunya akan pindah dari rumah itu."

"Pindah ke mana?" tanya Elif.

"Yang aku dengar, tuan Brian yang meminta kepada kakeknya agar mereka pindah dari rumah itu," jawab Sopir.

"Aku berharap Dama dan ibunya akan lepas dari mereka," lirih Elif.

"Kamu salah, Elif. Dama tidak dapat menyelesaikan pendidikannya dan kudengar mereka berdua dikirim untuk menjadi pelayan  di rumah mertua tuan Edward," tutur Sopir itu.

Elif menutup bibirnya, kalau Dama sampai menghentikan pendidikannya, lalu bagaimana pria itu akan pergi membawa ibunya? Elif tidak dapat membayangkan betapa putus asanya Dama.

Bersambung.



Bab 4 Permohonan Elif

Mobil berhenti tepat di deretan rumah sederhana untuk para istri pertama keluarga Alexander. Elif keluar dari dalam mobil, memperhatikan rumah kecil yang akan ia tempati untuk selamanya.

Mata bulatnya memandang satu buah koper di depan pintu masuk dan Elif tahu koper itu adalah miliknya. Senyum manis bercampur segala rasa yang tidak dapat dijabarkan Elif tampilkan. Ayah kandungnya sendiri menginginkan dirinya untuk segera pindah dari rumah.

Apa yang Elif harapkan? Sebuah restu? Ucapan selamat dari sang ayah? Atau pesan-pesan dalam membina rumah tangga? Sebagai anak, tentu Elif menginginkan hal itu, namun semua harapan itu tidak bisa Elif dapatkan.

Memangnya siapa dia? Apa statusnya dalam keluarga Sanjaya?  Dirinya hanyalah seorang anak yang lahir dari rahim seorang wanita simpanan. Meski begitu Elif tetap bersyukur karena tidak menjadi gelandangan di luar.

"Elif," sapa Joni.

Elif tersenyum melihat pria sedikit lebih tua dari Edward yang memiliki wajah campuran barat dan pribumi. Pria itu saudara Edward dari istri pertama.

Elif melihat istri Joni mengeluarkan koper-koper dari dalam rumah mereka. "Kalian mau pindah?"

"Iya, kami akan pindah ke keluar negeri," jawab Joni.

"Apa kalian akan menjadi pelayan?" tanya Elif.

Joni mengeleng. "Tidak, tapi kami pindah untuk menjalani kehidupan baru."

"Kalian sudah membayar uang sebesar seratus juta kepada tuan Alexander?" tanya Elif tidak percaya.

Elif pernah mendengar jika ingin bebas dari keluarga Alexander, maka harus membayar uang sebesar seratus juta rupiah. Kedengarannya sangat sedikit, tetapi para istri pertama tetap tidak dapat membayarnya sebab uang bulanan yang diberikan kepada mereka tidaklah seberapa.

"Anak tertua kami mendapat pinjaman uang dari atasannya di kantor. Aku bersyukur anakku mendapat pekerjaan layak di luar negeri. Tidak sia-sia pengorbanan ibuku selama ini," ungkap Joni mengenang mendiang ibunya.

Sebelum meninggal, istri pertama Alexander memang sakit-sakitan. Sakit itu karena menahan perasaan luka yang ditorehkan oleh suaminya sendiri. Ibu Joni tidak ingin anak dan cucunya menjadi pelayan di rumah ayah mereka, maka dari itu ia menjual salah bagian  tubuhnya yang berharga pada orang yang mengalami sakit gagal ginjal.

Tidak lama setelah itu ibu Joni meninggal dan uang hasil itu di untuk membiayai pendidikan cucunya di luar negeri.

"Aku senang mendengarnya. Semoga kalian bisa hidup bahagia di luar sana," ucap Elif.

"Elif, kami akan membebaskanmu jika mendapat uang lebih," sahut istri Joni.

Elif mengeleng. "Aku tidak ingin nasib kalian seperti Dama nantinya."

"Aku berharap Edward mengurungkan niatnya, bukankah Dama anaknya juga," lirih Joni.

"Sayang ... sudahlah, kita doakan saja yang terbaik buat Dama dan ibunya," ucap istri Joni.

Mobil jemputan untuk Joni sudah tiba. Dapat Elif lihat betapa bahagianya Joni dan istrinya yang bisa bebas dari jeratan keluarga mereka sendiri.

"Elif ... selamat atas pernikahanmu," ucap Joni dan istrinya. "Kami pergi, Elif. Semoga kita bisa bertemu lagi."

Mobil yang ditumpangi Joni berlalu dari pandangan Elif. Dari atas kejauhan sana, seorang pria tua mengamati kepergian anak kandung yang telah ia abaikan. Pria itu berdiri di atas rooftop.

Rumah kecil yang Elif tempati, bisa dilihat dari atas rooftop rumah Alexander. Begitu juga dengan mereka yang berada di rumah kecil itu.

Kadang mereka mengadakan pesta di atas sana dan para istri pertama dan anak-anak mereka hanya melihat dengan mata memutih saja.

Sungguh miris padahal anak-anak dan wanita itu mempunyai ikatan kerabat, namun hanya anak dari istri kedua saja yang diakui.

Elif melirik rumah yang di tempati Dama. Terlihat sepi dan sepertinya Dama dan ibunya juga sudah pindah dari sana. Artinya hanya Elif yang akan menempati rumah kecil itu.

Elif memutar gagang pintu yang tidak dikunci, sebab rumah itu sepertinya sudah disiapkan oleh pelayan keluarga Alexander. Rumahnya sudah bersih dan ada kunci yang tergantung dibalik pintu.

*****
Terdengar ketukan pintu dari luar. Bergegas Elif membuka pintu pada seseorang yang ingin masuk, ia menunduk berhadapan dengan pria yang sudah menjadi suaminya.

Elif mengeser tubuhnya agar Brian dapat masuk ke dalam. "Kamu mau makan?" Elif menutup pintu.

"Kamu kira aku ke mari untuk makan." Brian memutar tubuhnya. "Ah ... aku datang memang mau makan kamu."

"Bukankah waktu di vila sudah," kata Elif.

"Besok aku akan pergi ke luar negeri dan sebagai istri, berikan aku kenangan indah." Brian mendekat pada Elif.

"Aku harus melanjutkan pendidikanku dan kita masih sangat muda. Aku takut hamil," jelas Elif.

Brian menoyor kepala Elif. "Yang ingin punya anak darimu siapa? Kamu tidak akan aku buat mengandung."

Elif dibawa masuk ke dalam kamar tidur dan pakaiannya dilucuti oleh Brian. "Tunggu dulu."

"Apalagi? jangan membuatku kesal," ucap Brian sembari membuka pakaiannya satu per satu.

"Aku meminta sesuatu padamu, kumohon bebaskan Dama dan ibunya," pinta Elif.

"Dalam keadaan bersama suamimu, kamu bahkan memikirkan pria lain" kesal Brian.

"Bukannya begitu, Dama saudaramu, kan? Kasihanilah dia," ucap Elif dengan lirih.

"Akan akan lepaskan setelah kamu melayaniku. Nasib kekasihmu ada pada pelayananmu malam ini." Brian membuka bungkus pengaman lalu memasang benda itu pada bagian terlarangnya.

Brian dan Elif melakukan hubungan sebagai sepasang suami dan istri. Sesuai permintaan suaminya, Elif melayani Brian dengan sungguh-sungguh.

"Kamu sangat bersemangat. Apa ini demi kekasihmu?" tanya Brian.

Elif tidak dapat menjawab pertanyaan Brian. Ini bukan hanya sekadar menyelamatkan pria yang Elif sukai, tetapi lebih kepada Elif telah menerima Brian sebagai pasangan hidupnya.

"Kamu tidak menjawab pertanyaanku rupanya. Satu hal yang tidak kusukai darimu adalah sikap beranimu itu." Brian mencekik leher Elif sembari mendorong tubuhnya masuk ke dalam. Menghujam Elif dengan tekanan-tekanan yang menyakitkan.

"Sakit," lirih Elif.

"Ini harga yang pantas untuk menyelamatkan kekasihmu," sahut Brian.

Elif menarik selimut sampai ke atas dagu, sedangkan Brian memakai kembali pakaian di tubuhnya. Pria itu meraih dompet lalu mengeluarkan semua isi dari dalam dompetnya.

Brian melempar uang itu di hadapan Elif. "Uang bulananmu. Saat aku tidak di sini, ada pelayan yang akan memberimu uang setiap bulannya."

"Kamu tidak lupa permintaanku tadi, kan?" kata Elif mengingatkan suaminya sebelum pria itu keluar dari kamar.

Brian tidak membalas perkataan Elif, ia keluar dari kamar dengan membanting pintu. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Brian mengerutu kesal, istrinya sendiri meminta dirinya membebas seorang pria dan itu adalah kekasih dari istrinya sendiri.

Elif bangkit dari ranjang tidur menuju cermin di meja rias, ia menatap luka-luka gigitan serta bekas kecupan yang ditinggalkan oleh Brian.

"Tubuhku sakit semua, tapi baguslah ... mulai besok Brian tidak akan datang karena dia harus ke luar negeri," ujar Elif.
 

Bersambung.


Bab 5 Menunggu yang tak pasti

Elif berdiri di luar rumah menunggu suaminya. Brian mengatakan jika ia akan pergi ke luar negeri melanjutkan pendidikannya dan Elif ingin memberikan kenang-kenangan pada suaminya itu.

Terlihat Alexander dan Edward keluar dari rumah begitu juga dengan nenek dan ibu dari Brian. Koper-koper Brian juga telah dibawa oleh pelayan dan di masukkan ke dalam bagasi mobil.

Brian keluar dari dalam rumah, terlihat dirinya  berpamitan pada ayah, kakek, ibu serta neneknya. Dengan senyum mengembang, Elif bergegas menghampiri rumah Brian.

"Brian," seru Elif.

Pria itu menoleh begitu juga dengan keluarga mertuanya. Semua mata menatap tajam dan Elif menyadari kesalahannya.

"Apa kamu tidak tahu aturan, huh!" bentak Mutia, ibu dari Brian.

Elif mundur selangkah dan ia menundukkan kepalanya. "Maaf, Nyonya."

"Sudah diajarkan dari kecil, tapi dia masih saja tidak ingat," sahut Sinta, nenek dari Brian.

"Sudahlah, Ma, Nek. Biar Brian yang urus." Brian menarik tangan Elif lalu membawanya pulang ke rumah kecil.

"Selalu saja ceroboh," geram Brian dengan menoyor kepala Elif saat keduanya sampai di dalam rumah. "Kamu mau bertanya mengenai masalah kekasihmu? Aku sudah tepati janji itu, Dama bisa melanjutkan sekolahnya dan ibunya tidak akan jadi pelayan di rumah ibuku."

Elif mengeleng. "Bukan itu. Aku pergi menemuimu karena ingin memberikanmu sesuatu sebelum pergi."

Elif memberikan paper bag kepada suaminya. "Ambillah ... aku merajutnya khusus untukmu."

Brian mengambil paper bag itu lalu melihat isinya. Sebuah syal berwarna coklat tua yang disulam oleh Elif dan di situ juga ada nama Brian.

"Di sana pasti akan dingin, aku ingin kamu memakainya," pinta Elif dengan senyum mengembang.

"Kamu memberiku syal ini?" Brian meremas syal itu. "Berani sekali kamu memberiku barang murahan seperti ini!" Brian menghempaskan syal itu ke lantai lalu menginjak-injak syal itu dengan sepatunya.

"Brian ... jika kamu tidak suka, tolong jangan mengotorinya," ucap Elif.

"Apa? Kamu mau memberikannya kepada Dama begitu?" tanya Brian dengan mata berkilatnya.

Elif mengeleng. "Bukan begitu, tapi aku membuat itu dengan susah payah."

Brian semakin kesal dan merusak syal yang dibuat oleh istrinya. "Aku tidak butuh syal itu dan jangan pernah lagi membuatkan barang murahan seperti itu."

Pintu dibanting oleh Brian. Tangan Elif terulur meraih syal yang sudah kotor, ia memeluk barang itu sembari menitikkan air mata.

Elif kira tradisi itu bisa ia ubah, namun buktinya Brian tetap menjalankan tradisi keluarganya. Istri pertama tetap tidak dianggap di depan keluarga besar Alexander.

Mobil yang mengantar Brian lewat di depan rumah kecil, Elif hanya bisa meratapi kepergian suaminya dari balik tirai jendela.

"Semoga selamat sampai di tujuan, Brian," ucap Elif.

*****
Pintu rumah Elif diketuk dan segera wanita itu membuka pintu. Seorang wanita berhambur memeluk Elif dengan sangat erat.

"Terima kasih, Elif. Kamu telah menyelamatkanku dan Dama," ucap Yessi, ibu dari Dama.

"Di mana kak Dama?" tanya Elif.

"Aku menyuruh Dama untuk melanjutkan pendidikannya di luar kota agar mereka tidak mengusiknya," papar Yessi.

"Di mana?" tanya Elif penasaran.

"Maaf, Elif. Aku tidak dapat memberitahumu. Saat kami mendapatkan uang, maka kami akan membebaskanmu lalu kamu dan Dama dapat bersama," tutur Yessi.

Yessi sudah mengetahui jika Dama dan Elif saling menyukai, tapi karena Elif sudah dijodohkan, maka mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

"Apa itu artinya kamu akan pergi?" Elif merasa sendiri sekarang. Keluarga Joni pergi dan sekarang Yessi dan Dama juga akan pergi.

"Mantan kekasihku datang menyelamatkan kami, dia meminta Edward menceraikanku dan memberi uang tebusan sebesar seratus juta. Aku sangat terharu, Elif. Selama bertahun-tahun aku mendamba cinta Edward, tetapi pria itu tidak mencintaiku. Namun ada pria yang ternyata dengan setia menunggu dan membebaskanku," tutur Yessi.

Elif tersenyum mendengarnya. "Aku turut bahagia mendengarnya."

"Semoga kamu bahagia dan aku yakin sekali, Dama pasti akan bisa membebaskanmu," ucap Yessi.

"Aku wanita bersuami. Biarkan Dama menjalankan kehidupannya tanpa terbebani dengan masalahku." Elif melepas pegangan tangannya pada Yessi.

"Kamu tidak mencintai Dama?" tanya Yessi.

"Aku hanya tidak ingin membuat masalah dan aku bisa mengurus masalahku. Ini bukan masalah menyelamatkan diri, tapi lebih pada hutang budiku kepada keluarga Sanjaya," terang Elif.

"Kamu akan tetap di sini?" tanya Yessi tidak percaya.

"Aku akan di sini sampai Brian sendiri yang membuangku," jawab Elif.

Yessi mengangguk. "Aku berdoa kamu diberi kesabaran." Yessi kembali memeluk Elif. "Aku pamit."

"Hati-hati di jalan," ucap Elif.

Semua pergi dan hanya Elif yang tinggal di rumah kecil itu, namun ia tetap bersyukur setidaknya Elif terbebas dari belenggu rumah Sanjaya.

*****
Detik, menit, jam dan hari, minggu, bulan bahkan tahun Elif lalui sendiri saja tanpa suami maupun orang-orang terdekat di sekitarnya.

Tidak pernah sekalipun Elif mendapat kabar tentang suaminya yang berada di luar negeri menjalankan pendidikan. Elif juga menjalani pendidikkannya dengan biaya yang berikan oleh keluarga Brian setiap bulan.

Setiap pulang kuliah, ia akan bekerja di tempat keluarga Brian sebagai pelayan. Kadang Elif mendengar kabar Brian dari para pelayan yang bergosip.

Brian menjalani pendidikannya dengan baik, bahkan kabarnya pria itu akan kembali melanjutkan pendidikannya dan itu artinya Elif akan bertemu dengan suaminya ketika mereka sama-sama berumur dua puluh tiga tahun.

"Elif ... kudengar tuan muda akan pulang," ucap salah satu wanita pelayan rekan Elif.

"Dari mana kamu tahu?" tanya Elif

Pelayan wanita itu menoleh ke kiri dan ke kanan. "Aku mencuri dengar dari ibu mertuamu saat ia bicara ditelepon."

"Kapan?" tanya Elif antusias.

Pelayan itu mengedikan bahu. "Nanti juga kita semua bakal tahu. Pasti akan ada pesta untuk menyambutnya."

"Kamu benar," sahut Elif.

Jam kerja pelayan sudah selesai dan Elif bergegas pulang ke rumahnya. "Apa Brian pulang karena acara wisudaku? Tapi kudengar dia melanjutkan pendidikannya. Aku berharap ia pulang dan menghadiri acara istimewaku itu."

Elif sudah meminta bantuan kepada Sanjaya agar mengatakan kepada tuan Alexander dan Edward, untuk menyuruh Brian pulang sebentar menghadiri acara istimewanya dan saat itu Sanjaya menyanggupinya.

"Aku akan menunggumu, Brian," gumam Elif.

*****
Hari yang ditunggu Elif tiba. Semua mahasiswa disambut oleh para kerabat mereka, namun hanya Elif yang tidak diberi ucapan selamat maupun karangan bunga oleh orang-orang terdekatnya.

Elif hanya sendirian dan suami yang ia tunggu tidak jadi pulang karena pria itu tetap melanjutkan pendidikannya sampai akhir.

Meski kecewa, tapi Elif mengerti jika Brian berada jauh di sana dan pastinya akan sukar untuk pulang. Meski dalam kenyataannya sangat mudah bagi Brian untuk pulang.

Bersambung.

Dukung Author dengan vote, koment dan subscribe. 













 













 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suamiku yang Kejam
2
0
Part 6-15
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan