
Fatimah yang selalu bugar, mendadak mengalami sakit yang tak tertahankan pada payudaranya. Ada benjolan yang muncul tiba-tiba. Anehnya, benjolan yang nyeri itu didapat setelah semalam bertengkar hebat dengan tetangga samping rumahnya.
Apakah ada yang menginginkan kematian Fatimah?
Ada apa sebenarnya dengan sakit tiba-tiba itu?
Catatan penting:
Novel ini dikembangkan berdasarkan kisah nyata dalam memoar yang ditulis sendiri oleh Reni Hujan berdasarkan pengalaman seorang sahabat. Judul memoar itu adalah Dear Kanker, Aku Punya Allah. Karakter yang tersaji adalah nyata dengan nama disamarkan semuanya.
Prolog
13 Oktober 2019
“Aduh, kok, sakit?”
Fatimah meraba buah dada sebelah kanan miliknya. Ia mengernyit heran. Ada benjolan kecil yang terasa keras. Fatimah pun menekannya, tetapi rasa sakit kembali dirasakannya.
“Kenapa?” tanya Alif, suami Fatimah. Laki-laki bertubuh besar itu mendekati sang istri yang sedang termenung di atas karpet samping ranjang.
“Tiba-tiba payudaraku sakit, Bi.” Fatimah masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia yakin jika tadi pagi saat mandi, tidak ditemuinya benjolan tersebut. “Kenapa, ya, Bi?”
“Mungkin ASI masih penuh?”
“Oh, iya. Bisa jadi kayak gitu.”
Fatimah tersenyum mencoba meredakan kekhawatiran yang muncul. Ia sudah memiliki lima orang anak. Semuanya diberikan ASi hingga usia dua tahun. SI bungsu, Adin masih berusia lima bulan. ASI yang diberikan masih eksklusif tanpa tambahan susu formula. Masalah dengan payudara dalam menyusui, hanya dialami saat anak pertama dahulu. Selanjutnya, semua lancar sampai masa penyapihan.
“Coba dikasih ASI sampai beneran kosong, Ma,” saran Alif.
Fatimah segera menghampiri Adin yang sedang tengkurap. Ia lalu mengangkat bayi yang sedang asik bermain sendiri tersebut. Fatimah memangku tubuh bungsunya itu. Ia lalu memberikan ASI lewat payudara sebelah kanan.
“Bismillah.”
Fatimah menatap buah hatinya yang mulai menyesap makanannya itu. Adin sangat bersemangat melakukannya.
“Abi, kok, masih sakit gini?” Fatimah meringis.
“Digigit mungkin, Ma?” Alif berusaha menenangkan istrinya.
“Enggak kayak gini kalau digigit.” Ia menjauhkan Adin, kemudian memindahnya ke sisi sebelah kiri.
Rasa penasaran semakin membuncah dalam pikiran. Fatimah memeriksa lebih teliti ke arah buah dadanya. Ia melihat di sekitar pu*ing bagian bawah ada warna kemerahan. Fatimah kembali menekannya, masih terasa keras.
“Ya Allah, tambah sakit. Astagfirullah, kenapa ini?” Tak terasa air mata Fatimah menetes. Antara rasa sakit dan cemas bercampur jadi satu.
“Kenapa, Umma?” Alif berjalan mendekati Fatimah. Ia kaget mendegar tangisan istrinya.
“Tambah nyeri, Bi.” Fatimah memejamkan matanya menahan rasa sakit tersebut. “Ambil Adin, Bi.”
Alif meraih sang anak dalam pelukan. Bayi yang belum puas menyusu itu meronta. Namun, segera ditenangkan oleh ayahnya.
Sementara itu, Fatimah berbaring dengan posisi meringkuk. Ia mencoba mengambil napas panjang dan mengembuskannya. Namun, semua masih terasa sama. Sakit!
“Apa ini gara-gara aku nggak bisa nahan emosi semalam ya, Bi?” Tiba-tiba saja terlintas pikiran tentang kejadian semalam.
“Ya udah, Umma istighfar terus aja sekarang. Insya Allah nanti membaik.”
Fatimah mengangguk pelan. Bibirnya mulai melantunkan dzikir. Peristiwa tadi malam mulai berputar kembali dalam pikirannya. Baru kali ini dirinya memiliki konflik yang cukup parah dengan tetangga yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Selama satu tahun menetap di perumahan itu, Fatimah beserta keluarga kecilnya memiliki hubungan yang harmonis dengan para tetangga. Namun, peristiwa yang dipicu karena masalah anak-anak mereka, membuatnya kehilangan kontrol atas emosinya.
“Seandainya aja aku nggak terpancing emosi. Ya … seandainya aja.”
Penyesalan mulai menghantui Fatimah. Ia yakin jika rasa sakit ini adalah dampak dari emosi brutal yang diluapkan kepada tetangganya itu. Fatimah percaya jika pikiran yang memicu stress, mampu menimbulkan masalah pada fisik.
1
Fatimah tidak menyadari, jika keputusannya bersama Alif untuk membeli rumah di salah satu perumahan di tepi kota membawanya mendapatkan petaka. Mereka dan anak-anak bahkan betah tinggal di sana. Apalagi Anisa dan Anida putri sulung dan kedua, sangat senang berada di lingkungan itu. Pergaulan mereka tidak dibatasi meskipun pendidikan yang dipilih adalah home schooling, berbeda dengan teman-teman satu komplek.
Anisa berusia sebelas tahun sedangkan Anida sembilan tahun. Mereka mendapatkan banyak teman sebaya di lingkungan tersebut. Sebagai ibu, Fatimah pun sangat bersyukur melihat anak-anaknya mampu berinteraksi dengan sangat baik di lingkungan rumah. Meski begitu, mereka tetap mempunyai jadwal teratur untuk belajar, mengaji, bermain, dan bersosialisasi.
Sekalipun tidak membatasi pergaulan, Fatimah tetap mengawasi dengan ketat pertemanan kedua gadis kecilnya tersebut. Keputusan untuk tidak memberikan fasilitas ponsel pun diberlakukan. Anak-anak pun patuh dan tidak memberontak, tetapi sayang sekali bahwa lingkungan mereka tidak demikian. Banyak anak-anak dari penghuni perumahan yang sudah dibekali ponsel bahkan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari permasalahan inilah, hal buruk menimpa Fatimah.
September 2019
Hari demi hari, kegelisahan Fatimah memuncak saat mendapati teman bermain putrinya, tidak bisa lepas dari ponsel. Kekhawatiran jika kedua anaknya itu terpengaruh semakin mengusik sanubari. Ia pun mencoba mencari tahu untuk membunuh rasa cemas tersebut.
“Kak, teman-teman di perumahan pegang HP, ya?” tanya Fatimah kepada Anisa yang sedang membaca buku.
“Iya, Umma. Semuanya punya HP, kecuali Talita. Dia pinjam punya ibunya.”
Fatimah manggut-manggut. Mau ponsel sendiri ataupun punya orang tua, jika sudah dipegang anak-anak tetap harus diawasi. Tidak bisa dilepas begtu saja mengingat banyak sekali konten yang tidak sesuai umur mereka.
“Mereka nonton apa saja di HP?”
Fatimah berusaha mencari keterangan dari putri sulungnya itu. Firasatnya tentu saja sudah tidak baik saat melihat anak-anak memegang ponsel yang tersambung ke fasilitas internet itu.
“Em … kemarin itu kakak lihat mereka nonton cewek-cewek yang auratnya nggak ditutup, Umma.” Anisa yang sudah mendekati akil baliq tentu paham batasan aurat.
“Nggak pakai jilbab maksudnya?” Fatimah mengernyit.
Anisa menghela napas pendek. “Nggak pakai baju, cuma dalaman aja.”
“Astagfirullah !”
Fatimah sontak mengusap dada saat mendengarkan penuturan yang mencengangkan itu. Ia merasa kecewa mengetahuinya. Percuma saja jika di rumah, anak-anak didisiplinkan tanpa ponsel, tetapi saat di luar rumah peran lingkungan tidak mendukungnya.
“Kakak ikut nonton?” tanya Fatimah cemas.
Anisa menggelengkan kepala dengan cepat. “Enggakah, aku sama Nida langsung pergi pas tau mereka nonton itu.”
Fatimah menarik napas penuh kelegaan. “Kalau gitu, mulai sekarang Kak Nisa dan Kan Nida jangan berteman dengan mereka lagi.”
Anisa menatap Fatimah dengan terkejut. Sekejap kemudian, gadis cantik bertubuh bongsor itu mengangguk pelan.
***
Larangan untuk tidak bergaul dengan anak-anak kompleks ternyata membawa dampak tidak baik untuk anak-anak Fatimah. Baru kemarin mereka menuruti perintah sang ibu, tetapi sudah ada cerita yang tidak mengenakkan terjadi.
“Umma, tadi pulang dari toko, kakak dan Nida dihadang Mona dan teman-teman yang lain,” keluh Anisa sesampainya dari membeli gula di toko blok sebelah.
“Dihadang gimana?” tanya Fatimah menyelidik.
“Kami dimaki-maki. Ucapannya jelek banget. Nggak berani nirukan, deh,” tutur Anisa sambil bergidik ngeri.
“Iya, Umma. Kok, gitu mereka. Jelek banget,” ujar Anida menimpali ucapan sang kakak.
Anisa menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia risih saat mengingat ucapan teman-temannya.
“Ya udah, nanti Umma kasih tahu mereka biar nggak berbuat jelek seperti itu lagi.” Fatimah mencoba menghibur dan menenangkan. Ia pun sesungguhnya tidak tenang. Dirinya ingin sekali mendatangi anak-anak itu.
***
Malam harinya, saat anak-anak sudah tidur, Fatimah berbincang dengan Alif tentang kejadian sore tadi yang menimpa kedua putri mereka.
“Bi, aku udah nggak bisa nahan lama-lama. Rasanya ingin kudatangi saja ibunya anak-anak itu. Aku ceritakan semua kelakuan anaknya,” ucap Fatimah dengan wajah geregetan. Ia bahkan sampai mengepalkan tangan. Perilaku anak-anak itu sudah membuat pikirannya tidak tenang.
“Nggak perlu, Ma. Kita tambah stok sabar kita aja,” kata Alif dengan tatapan mata tidak beranjak dari buku yang dipegangnya.
“Abi kok, gitu, sih. Kita aja nggak pernah ngomong jelek di depan anak-anak kita.” Fatimah mendengkus kesal.
“Yang penting anak-anak udah nggak main sama mereka.” Alif tampak tenang dan meneruskan membaca buku.
“Ya Allah, jadi apa nanti generasi masa depan bangsa itu, Bi?” Fatimah menunduk lesu.
“Sudahlah, Ma. Kita fokus jaga anak-anak kita aja,” ucap Alif sambil mengusap punggung istrinya dengan lembut.
Fatimah mendesah pasrah. Ia mulai membenarkan kata-kata suaminya itu. Terpenting, dirinya dan suami fokus menjaga buah hati mereka.
“Semoga anak-anak itu segera mendapatkan hidayah. Aamiin yaa Allah,” tutur Fatimah penuh ketulusan.
***
12 Oktober 2019
“Bi, Adin rewel ini. Nggak mau bubuk, dikasih nenen juga nggak mau.”
Fatimah mengayun putra bungsunya yang berada dalam gendongan. Tangisnya semakin keras saat sang ibu memberinya ASI. Fatimah berusaha untuk tidak panik. Ia lalu mengecup kening Adin. Aman, tidak ada tanda sedang sakit. Begitu pun saat dirinya menepuk perut bayi menggemaskan itu. Tidak kembung sama sekali.
Tangisan Adin tidak berhenti juga. “Kenapa, ya, Bi?”
“Ayo kita ajak jalan-jalan depan perumahan.” Alif memberikan solusi. Biasanya jika anak-anak mereka rewel tanpa sebab, diajak mencari udara segar di luar, efektif membuatnya tenang.
“Yey, jalan-jalan. Afwa ikut dong, Bi.” Putra ketiga Fatimah yang berusia empat tahun bersorak senang.
“Afwi, ikut juga.” Saudara kembar Afwa tidak kalah bersemangat.
“Boleh, pakai jaket dulu, ya.” Fatimah segera mengambil selimut si bungsu. Angin di kota Malang masih berembus kencang di malam hari.
“Kak Nisa, Kak Nida, umma sama Abi ke depan sebentar,ya. Kalian di rumah aja, jangan ke mana-mana,” pesan Fatimah kepada kedua putrinya.
“Iya, Umma,” ucap dua gadis saliha itu serempak.
Mereka berlima pun bergegas meninggalkan rumah. Adin masih terus menangis. Namun, begitu keluar dari perumahan, dia mulai tenang dan mau menyusu kembali.
Tiga puluh menit kemudian , mereka tiba di rumah. Pintu sedikit terbuka.
“Kok, kebuka?” Fatimah menautkan kedua alis mata. Seingatnya, pintu sudah tertutup rapat saat keluar rumah.
“Assalamualaikum.” Fatimah masuk ke rumah. Tampak Anisa dan Anida sedang duduk di ruang tamu. Wajah mereka terlihat gelisah.
“Umma!” Anida menghambur ke arah Fatimah.
“Ada apa, Kak?” tanya Fatimah kepada Anisa yang ikut memeluk dirinya. Wajah putri sulungnya itu terlihat tegang.
“Tadi mereka masuk ke rumah, Umma.” Anisa mulai berkisah. Nada bicara terdengar ketakutan.
“Mereka siapa?” tanya Fatimah tidak sabar untuk segera mengetahui.
“Mona, Fira, Jono.”
Fatimah membeliak kaget. Pikirannya mulai menerka urusan anak-anak itu ke rumah mereka. Kedua putrinya itu sudah lama tidak bermain dengan mereka, kurang lebih satu bulan lamanya. Fatimah mengedarkan pandangan, tampak buku berserakan di ruang tamu.
Bukan, ini bukan kebiasaan anak-anakku membiarkan buku berserakan, batin Fatimah curiga. Perasaannya mulai tidak tenang.
2
Fatimah bergegas menuju ruang tengah. Mainan si kembar yang tersimpan di keranjang besar tumpah semuanya di lantai. Padahal seingatnya tadi sebelum berangkat, Alif sudah merapikan mainan-mainan itu.
“Astagfirullah!” seru Fatimah seraya mengusap dada. Ia lalu menoleh ke arah kamar. Perempuan berkerudung lebar itu segera memacu langkah menuju kamar yang pintunya terbuka itu.
“Astagfirullah, Abi! Sini cepat!” teriak Fatimah sambil memanggil sang suami yang masih berada di teras. Ia semakin terbelalak saat melihat seprai di kamar sudah tidak pada tempatnya. Bantal pun berserakan di lantai.
Fatimah menyandarkan punggung pada dinding. Untung saja Adin hanya bereaksi sedikit saat mendengar teriakan sang ibu. Napas Fatimah mulai terengah. Ia ingin sekali mendatangi rumah anak-anak itu. Kekacauan yang terjadi di rumahnya tidaklah bisa disebut ‘oh, masih anak-anak’. Ini sudah sangat keterlaluan.
“Kenapa, Ma?” Alif tergopoh memasuki rumah.
“Lihat, Bi. Anak-anak itu mengacak-acak rumah kita. Aku udah nggak tahan lagi, Bi.”
Fatimah lalu menyerahkan Adin keada Alif. Amarahnya mulai tersulut. Ia sudah tidak bisa menambah stok kesabaran. Peristiwa kali ini bagaikan gunung api yang memuntahkan laharnya. Emosi serasa berada di ubun-ubun. Fatimah segera menuju teras rumah.
“Semoga aja anak-anak itu masih ada di luar.”
Dugaan Fatimah tepat. Dari jalan samping kiri rumah yang memisahkan antar blok,munculah Mona dan Fira. Fatimah langsung memasanga senyum termanis di wajahnya.
“Mona, Fira, sini bentar, yuk! Tante mau nanya,” ucap Fatimah penuh kelembutan walaupun dadanya sudah sesak.
Dua anak yang mulai beranjak remaja itu mendekat. Wajah mereka terlihat ketakutan.
“Kenapa, Tante?” tanya Mona dengan tatapan tegang.
“Kalian baru main ke rumah, ya?”
Mona dan Fira hanya menatap Fatimah. Wajah mereka bertambah tegang.
Fatimah menegakkan punggungnya sembari menarik napas panjang. Ia tidak bisa berlama-lama untuk basa-basi di depan anak-anak itu. Fatimah kembali berucap dengan lembut. “Siapa tadi yang berantakin rumah tante?”
Tidak ada satu kata pun keluar dari bibir mereka. Fatimah kembali menarik napas panjang.
“Kalau yang memaki Anisa sama Anida barusan, tahu siapa?” tanya Fatimah dengan nada yang sama.
Mereka masih tetap bergeming.
“Mona, Fira, dengar ucapan Tante, ‘kan?” Fatimah mendesah kesal. Sungguh berat menahan emosi di hadapan anak kecil.
Fira memundurkan langkah. Sesaat kemudian, siswi kelas enam SD tersebut berlari sangat kencang ke arah rumahnya di blok sebelah.
Fatimah menatap Mona. Gadis berambut sebahu itu sedang mengamati Fira yang berlalu dari sisinya. “Mona ....”
“Bukan aku, Tante.” Mona menggoyangkan telapak tangan.
Fatimah kembali memasang wajah penuh senyuman. Matanya lekat menatap Mona. “Tante cuma mau bilang, kalau berteman itu yang baik. Jangan memaki temannya dengan kata yang tidak sopan. Bicara yang baik-baik ya, Nak. Jang—“
Mona mengikuti jejak Fira, meninggalkan Fatimah yang belum selesai berucap. Fatimah mendesah pasrah. Firasatnya mulai berkata bahwa anak itu akan melapor ke mamanya. Apalagi sepengetahuan Fatimah, mama Mona memiliki hobi melabrak orang yang bertentangan dengannya. Itu sudah menjadi rahasia umum di perumahan mereka.
“Ya Allah, bocah-bocah itu.” Fatimah mengusap dada, mencoba menghilangkan amarah. “Astagfirullah, astagfirullah.”
“Ma, sini duduk.”
Alif memanggil Fatimah ke teras. Mereka pun berbincang sambil menikmati angin malam. Alif meminta agar istrinya itu tidak tersulut emosi.
“Janganlah marah, maka bagimu surga, Ma.”
Fatimah memejamkan matanya. Ia lalu menggelengkan kepala. “Ini udah keterlaluan sekali, Bi.”
“Iya, aku paham. Ya udah, sekarang kita ngobrol yang lucu-lucu aja.” Alif berusaha mengalihkan amarah istrinya.
Tak berapa lama, saat mereka asik berbincang. Fatimah melihat ke arah blok yang terletak di depan rumah, ada sosok yang sedang melangkah tersorot oleh lampu jalan. Fatimah tersenyum sinis. Ia melihat mama Mona melangkah cepat dengan mata melotot. Sementara itu, suaminya mengikuti di sampingnya seraya mengendarai motor.
“Bi, lihat. Mereka pasti mau ngelabrak aku. Jalannya kelihatan penuh emosi gitu.” Fatimah meminta Alif menoleh ke arah kanan rumah.
“Sudahlah, Ma. Jangan suudzon dulu.”
Pandangan Fatimah tidak beranjak dari kedua orang tua Mona itu. Sepertinya dugaan Fatimah terbukti. Mereka berhenti di depan rumah.
“Mbak Fatimah!” seru mama Mona dengan nada penuh emosi. Matanya pun terbuka lebar.
Fatimah segera beranjak dari kursi dan menemuinya. Tampak wajah mama Mona memerah. “Iya, Bu. Ada apa?”
“Ada apa?! Nggak perlu pura-pura nggak tahu gini. Mbak Fatimah marahin anak saya ‘kan, barusan?!” Mata mama Mona seolah hendak keluar dari kelopaknya. “Anak Anda yang sukanya mengejek Mona!”
Darah Fatimah menggelegak, rasanya sudah kembali naik ke ubun-ubun. Alif yang berdiri di belakang mengusap punggung istrinya, seolah memberi tahu untuk menahan amarah. Fatimah meredam rasa sesak di dada. Fatimah masih tidak menanggapi ucapan penuh amarah itu. Ia pun menyiapkan telinga untuk mendengar omelan perempuan yang mengenakan kaus ketat dan celana pendek selutut tersebut hingga selesai.
“Mbak, Anda tadi marahin Mona sambil mata Anda melotot, ‘kan? Anakku sampai ketakutan, loh! Nggak nyangka aku. Ternyata Anda aslinya seperti ini.” Mama Mona berdecak heran. Ia mengamati penampilan Fatimah dengan gamis dan kerudung lebar dari atas hingga bawah.
What? Melotot?! Ada juga Anda yang melototin saya. Fatimah hanya bisa mengomel dalam hati. Ia mencoba menahan keinginan untuk menghardik perempuan di hadapannya itu.
“Mbak! Anda diam berarti itu benar!” Mama Mona membentak Fatimah.
Fatimah berdecak lirih.
“Mbak! Saya tidak marahin Mona!” Pertahanan Fatimah runtuh. “Saya cuma bilang kalau berteman itu yang baik. Jangan ngajak musuhan. Bicara yang baik. Mata saya memang dari lahir sudah besar. Jadi, nggak marah pun keliatan besar seolah melotot!”
Fatimah sudah tidak sanggup menahan amarah yang tersimpan lama itu. Ia sengaja mengeraskan suara. Dirinya merasa sudah semakin terdzolimi.
Mama Mona sekarang yang terdiam. Fatimah pun melanjutkan ucapannya.
“Anak Anda itu sukanya maki anak-anak saya. Meneror dengan ucapan buruk saat anak saya keluar rumah. Berapa kali Anda ngelabrak orang hanya karena laporan anak Anda yang diputar balikkan?” Fatimah menatap mata mama Mona yang tampak terkejut mendengar ucapannya barusan.
“Aku nggak pernah nglabrak orang, Mbak. Aku cuma nglabrak guru-gurunya Mona aja,” ucap mama Mona seraya mengangkat dagunya. Tatapan mata perempuan itu penuh intimidasi.
“Anda anaknya cuma satu. Cewek pula! Mbok, dijaga yang bener!” seru Fatimah sembari membuka mata lebar. Ia mengungkapkan semua beban di hati.
Mama Mona hanya terdiam. Tangannya mengepal kuat. Ia lalu menghela napas pendek. Tidak ada kata-kata yang terucap. Mama Mona malah berlalu dari hadapan Fatimah, sedangkan suaminya masih tetap di atas motor.
“Memang, anak kecil seperti mereka ini udah pada paham, ya, Mas. Mona itu sudah kuajari salat sama ngaji loh, Mas,” ucap papa Mona ke Alif.
Alif tersenyum sekejap. “Anak Anda itu udah besar, Mas. Kalau lagi di mushala selalu rame, ganggu jamaah salat. Sebenarnya udah banyak jamaah yang mengeluh.”
Fatimah yang masih berdiri di tempatnya, hanya mendengarkan dua laki-laki itu berbicara. Emosinya masih belum tuntas dikeluarkan. Dirinya dan keluarga kecilnya yang teraniaya malah disebut sebagai pelaku.
“Nggak, Mas. Anak saya itu pintar. Waktunya salat ya salat di mushala dengan baik.” Papa Mona mencoba membela anaknya.
“Saya itu salat lima waktu di mushala terus, Mas. Jadi, pasti tau situasi yang sebenarnya,” ucap Alif dengan tenang.
Papa Mona menunduk, kemudian memacu motornya tanpa berpamitan kepada Alif dan Fatimah. Ia tertohok saat menyadari bahwa dirinya tidak pernah ke mushala.
“Istigfar, Ma.” Alif pun mengajak Fatimah masuk ke rumah.
“Astaghfirullahaladzim.” Fatimah memegang dadanya. Baru kali ini dirinya penuh emosional ke orang lain, tetangga pula.
3
14 Oktober 2019
Pagi kedua setelah pertengkaran dengan mama Mona.
“Astagfirullah.”
Fatimah memegang kedua payudaranya. Ia baru membuka mata saat terdengar azan subuh berkumandang dari musala perumahan. Rasa nyeri yang bertambah kuat tengah dirasakannya. Fatimah segera menuju dapur untuk menyiapkan air hangat. Dulu, saat ASI penuh dan nyeri hanya mengompresnya dengan air hangat saja sudah membaik. Ia pun kembali mencoba cara itu.
“Kok, masih sakit?” Fatimah tidak merasakan adanya perubahan setelah dikompres air hangat.
Fatimah mencoba mengalihkan rasa sakit itu dengan membangunkan Anisa dan Anida. Setelah mengambil air wudhu, mereka lalu mendirikan salat Subuh.
Saat berzikir usai salat, tangan Fatimah kembali memegang buah dadanya yang sebelah kanan. Ia merasakan rasa sakitnya bertambah. Fatimah mencoba mengurangi rasa sakit itu dengan meneruskan zikir.
“Assalamualaikum.” Suara Alif yang baru datang dari musala terdengar.
Fatimah segera beranjak dari posisinya. Ia menghampiri sang suami.
“Bi, ke lab aja, wes. Was-was ini, kok, nyeri dan benjolannya masih ada. Padahal udah dikompres.”
“Iya, Ma. Telepon rumah sakit kota aja nanti. Tanya jadwal dokter dulu.”
Fatimah mengangguk pelan. Ketakutan akan terjadinya mastitis karena saluran ASI tersumbat menguasai pikirannya. Ia tidak bisa menunggu matahari bersinar terang. Fatimah segera mengambil ponsel lalu mencari nomor telepon rumah sakit dan menghubunginya. Ia ingin segera bertemu dokter agar bisa segera diatasi dan diobati. Akan tetapi, dokter radiologi yang dituju sedang tidak praktik minggu ini.
“Bi, nggak kuat sakitnya. Apa ke dokter umum aja?”
“Coba ke rumah sakit di dekat rumah Ayah.” Alif menyarankan sang istri untuk menghubungi rumah sakit yang berada di dekat domisil mertuanya.
“Oke.”
Fatimah segera mencari nomor telepon, lalu menghubungi rumah sakit tersebut. Beruntung, dokter spesialis radiologi praktik esok. Mereka pun bersiap pulang ke rumah orang tua Fatimah sembari menunggu waktu bertemu dokter radiologi esok harinya.
15 Oktober 2019
Mentari baru saja menampakkan sinarnya, Fatimah bergegas menuju rumah sakit seorang diri. Antrean di rumah sakit itu untuk poli spesialis memang harus dilakukan di awal jika tidak ingin mendapat giliran siang hari. Sementara itu, kelima anaknya dijaga Alif. Mereka diajak berkunjung ke rumah mertua Fatimah.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Fatimah mensugesti diri sendiri dengan pikiran positif, bahwa benjolan ini adalah mastitis atau peradangan karena saluran ASI tersumbat.
Sesampainya di poli, tempat pendaftaran masih tampak sepi. Fatimah memang sengaja berangkat pagi sekali agar dapat antrian pertama. Di samping itu, ia juga ingin mendapatkan jadwal dokter spesialis radiologi perempuan. Beruntung, sesuai perkiraannya, nomor antrian pertama bisa didapatkan.
Tanpa menunggu waktu lama, Fatimah dipanggil untuk masuk ke ruang radiologi. Semua proses sudah dijalani. Tak lama kemudian hasil USG keluar. Dokter spesialis radiologi menjelaskan hasil tesnya kepada Fatimah.
“Mbak, kalau tumor jinak itu tidak secepat ini perkembangannya. Sedangkan tumor biasa itu ada levelnya antara satu sampai lima. Benjolan Anda ini sudah berada di level empat. Saya akan rujuk ke dokter bedah, ya.”
Fatimah tercengang. Ternyata hasilnya lebih dari mastitis. Dirinya tidak menduga jika benjolan itu adalah tumor. Ia pun segera undur diri setelah menerima surat rujukan. Fatimah terduduk lemas di kursi depan ruang radiologi.
“Tumor apa harus ke dokter bedah?” gumam Fatimah lirih. Ia lalu menatap hasil USG di tangan. Gambar manusia setengah badan dengan tiga titik hitam di payudara dan ketiak sebelah kanan yang berarti tumor. Sedangkan titik hitam di payudara sebelah kiri maknanya adalah kista jinak menurut penjelasan dokter. Fatimah menarik napas penuh kelegaan. Ia mengangkat kedua sudut bibirnya.
Hanya tumor dan kista saja, nanti juga hilang sendiri, bati Fatimah mengambil keputusan.
Selesai pemeriksaan di laboratorium radiologi, Fatimah bergegas pulang ke rumah orang tuanya. Rasa sakit masih terus datang, tetapi ia masih mampu menahan sakitnya.
“Semoga saja ini memang tumor biasa yang bisa hilang sendiri,” ucap Fatimah penuh harap.
Sesampainya di rumah, Fatimah menyerahkan hasil USG ke Bu Nining--sang ibu. Ia tidak berniat menyimpannya. Untuk Alif, dirinya tinggal menceritakan saja tentang penjelasan dokter.
“Baik-baik aja kan hasilnya, Nak?” tanya Bu Nining seraya membuka hasil USG.
“Kata dokter tumor. Semoga aja segera hilang, Bu.”
Bu Nining terkejut mendengar jawaban putri sulungnya tersebut. Beliau pun berharap memang benjolan ini bukan sesuatu yang berbahaya. Bu Nining mencoba untuk tidak panik.
Fatimah juga terlihat santai. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan menurutnya. Semua yang dialaminya hanya tumor biasa seperti kata dokter. Ia pun berpamitan untuk menyusul suami dan anak-anaknya ke rumah mertuanya. Mereka akan menginap di sana.
***
16 Oktober 2019
Hari ini, Fatimah masih merasakan nyeri yang sama. Namun, ia masih bisa bermain bersama putra kembarnya dan si bungsu. Ia juga masih kuat menyimak hafalan Quran Anisa dan Anida. Bahkan, Adin pun masih tetap menyusu.
Fatimah mampu melewati hari dengan baik meskipun didera oleh rasa sakit. Namun, tidak untuk malam hari. Ia meresakan rasa nyeri yang bertambah kuat pada kedua payudaranya.
Ya Allah sakit banget. Fatimah meringis seraya berucap dalam hati. Ia lalu mencoba mengurangi rasa sakit dengan menarik napas panjang.
“Nggak dikasih obat sama dokter?” tanya Alif cemas saat melihat raut sang istri.
Fatimah menggelengkan kepala dengan lemah. Bagaimana mau dapat obat, ia saja mangkir saat sudah dikasih rujukan ke dokter bedah.
Rasa sakit semakin menjadi. Seolah ada yang memompa dari luar, sekaligus ada yang menarik dengan sangat kuat dari dalam. Fatimah terus mengucap zikir, meminta ampun pada Allah. Namun, rasa sakitnya makin bertambah kuat.
“Besok balik ke rumah sakit aja, Ma.” Alif tidak tega melihat penderitaan istrinya itu.
“Enggak, Bi. Cuma tumor aja, nanti hilang sendiri paling. Aku kuat, kok.”
Fatimah menyembunyikan rasa sakit agar tidak tampak di wajah. Ia berharap Alif tidak mengungkit masalah rumah sakit lagi.
Ya Allah semoga esok, nyeri ini hilang, ucap Fatih dalam hati dengan penuh harap.
4
17 Oktober 2019
Hampir sepanjang malam Fatimah terjaga di atas kasur menikmati rasa sakit yang semakin menjadi. Ia hanya beranjak untuk salat Subuh, kemudian kembali ke tempat tidur lagi. Fatimah hanya berbaring saja.
Pukul enam pagi, Fatimah dikejutkan dengan kedatangan Pak Salim dan Bu Nining, kedua orang tuanya. Tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu lewat ponsel.
Bu Nining mendekat ke Fatimah. Raut beliau terlihat jelas tengah didera rasa khawatir. Beliau lalu memegang kedua tangan sang anak.
“Fatimah, ibu mohon, kita ketemu dokter bedah ya, Nak.”
Fatmah menautkan kedua alis. Ia sedari kedatangan orang tuanya mencoba menyembunyikan rasa sakit. “Nggak perlu khawatir, Bu. Ini cuma tumor biasa, kan.”
Fatimah tetap bersikukuh tidak ingin bertemu dokter bedah. Namun, orang tua dan suaminya tetap memaksa.
“Kali ini aja, Nak. Setelah dapat penjelasan dari dokter, baru diputuskan ke depannya bagaimana.” Pak Salim mencoba menasihati putrinya.
Akhirnya, Fatimah pun luluh. Bisa jadi dengan penanganan sejak dini, tumor itu bisa segera lenyap.
***
Bersama kedua orang tuanya, Fatimah berangkat ke rumah sakit tempat USG kemarin. Karena tidak datang lebih awal seperti kemarin, ia pun mendapatkan antrean belakang. Giliran untuk masuk masih sangat lama.
“Bu, minta hasil USG kemarin, ya. Ibu bawa ‘kan?” tanya Fatimah yang mulai bosan menunggu. Apalagi rasa sakit masih sering datang. Terutama jika hanya duduk tanpa aktivitas yang lain seperti itu. Fatimah pun berinisiatif menunggu waktu periksa dengan mencari pengertian dari kesimpulan USG lewat mesin pencarian di internet.
“Buat apa?” tanya Bu Nining dengan alis bertaut.
“Pingin baca aja, Bu.” Fatimah sedikit heran dengan reaksi sang ibu. Bu Nining seperti cemas jika hasil USG itu berada ditangannya.
Fatimah meraih lembaran dari tangan wanita yang sangat disayanginya itu. Ia segera membuka mesin pencarian. Fatimah memasukkan kata kunci ‘Suspiciouso of malignancy mammae dextra (BI-RADS C 4)’.
Sesak dirasakan memenuhi rongga dada oleh Fatimah begitu hasil muncul di layar. Ia tidak sanggup lagi membaca penjelasan seluruhnya. Bahunya terguncang. Satu kata yang muncul membuat air matanya tumpah seketika.
“Kenapa, Nak?” tanya Bu Nining bingung.
“Kan-kanker?” Fatimah menggelengkan kepala sekuat tenaga. “Ini pasti mimpi, benar ini hanya mimpi, Bu.”
Fatimah lalu mencubit pipinya. Sakit!
“Nak, ini ujian. Insyaallah kamu kuat, Nak.” Bu Nining memeluk Fatimah dengan erat.
Fatimah hanya bisa tergugu dalam dekapan sang ibunda. Pak Salim pun merasa sedih. Beliau lalu mengusap punggung Fatimah.
Pikiran Fatimah seketika berkecamuk. Bayangan wajah Anisa, Anida, Afwa, Afwi, dan si bungsu Adin membuat tangisannya terdengar semakin menyayat hati.
“Nak, kita tunggu penjelasan dokter dulu, ya.” Pak Salim mencoba menguatkan Fatimah.
Fatimah mengusap air matanya. Ia lalu meregangkan pelukan dan menegakkan tubuh.
“Ibu sama Ayah udah tau aku kena kanker, ya?” tanya Fatimah dengan air mata yang masih keluar.
Bu Nining mengangguk pelan. “Ibu semalam ngirim hasil USG ke Ardi.”
Fatimah manggut-manggut. Ardi adalah sepupunya yang berprofesi sebagai dokter di Ponorogo.
“Ardi bilang seperti yang kamu baca di internet,” imbuh Bu Nining seraya menggenggam tangan Fatimah dengan erat. “Kalau Ayah baru ibu beritahu waktu perjalanan ke rumah mertuamu.”
Pipi Bu Nining pun bersimbah air mata. Beliau tidak sampai hati mengabarkan secara langsung hasil dari USG tersebut. Biarlah dokter bedah yang lebih memiliki kapasitas dalam bidang tersebut yang mendiagnosis.
***
Antrean berakhir saat menjelang Zuhur. Giliran Fatimah kini yang masuk ke ruangan dokter bedah. Dalam bayangannya, ia akan diperiksa dengan proses yang lama. Namun, dokter laki-laki paruh baya itu hanya memegang kedua payudara Fatimah dengan agak menekannya. Itu pun hanya sekejap saja.
“Silakan duduk dulu, Ibu. Saya akan menjelaskan.”
Fatimah mengikuti perintah dokter untuk menyimak penjelasannya. Hatinya sudah hancur sedari tadi. Dalam pikiran Fatimah, penjelasan dokter mungkin bisa lebih mengerikan. Semisal saja, tentang harapan hidup yang tinggal sebentar lagi.
“Bu, jika benjolan bisa bergerak itu tandanya masih jinak. Kalau sudah mengeras dan membesar seperti ini, sudah sangat berbahaya. Ini sudah masuk kanker stadium lanjut, Bu.”
Fatimah menghela napas panjang untuk mencerna setiap kata yang diucapkan dokter. Tidak ada lagi air mata yang keluar. Sepertinya sudah habis saat masih di ruang tunggu tadi.
“Andai saja masih stadium satu atau dua, masih bisa dipotong total. Namun, kalau sudah lanjut percuma tidak bisa diangkat. Solusinya hanya kemoterapi.” Pak Dokter menghela napas pelan sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Bu, ini prosesnya masih sangat panjang sekali. Ibu masih harus USG toraks, abdomen, radiasi, kemoterapi, dan masih banyak sekali. Itu pun harus kami rujuk ke Rumah Sakit Provinsi karena di sini peralatannya belum memadai. Sekarang, Ibu saya beri obat penenang karena sakitnya luar biasa sekali. Setelah ini, Ibu ke Laboratorium Patologi Anantomi untuk memastikan stadiumnya. Hasilnya nanti Senin dibawa ke sini lagi ya, Bu.”
Fatimah mengangguk pelan. Ia bingung tentang apa yang harus dilakukan untuk sisa usianya ini. Pandangannya jatuh pada lembaran hasil USG. Dada Fatimah terasa semakin sesak.
“Oh ya, Bu. Saya sarankan Ibu segera mengurus BPJS. Karena biaya tindakan untuk pasien kanker sangat mahal sekali jika lewat jalur umum. Tanpa BPJS nggak akan sanggup, Bu.”
Sekali lagi, Fatimah menganggukkan kepala tanpa ada satu kata pun terucap. Semua sudah terjadi. Mau tidak mau dirinya harus menerima takdir yang mengguncang batin itu.
Fatimah dan kedua orangtuanya pun segera undur diri dari ruang dokter. Bu Nining menuju ke lorong sebelah kanan untuk menebus obat. Sedangkan Fatimah dan Pak Salim berjalan melewati lorong sebelah kiri untuk menuju Laboratorium Patologi Anatomi.
Sesampainya di sana, ternyata dokter sudah pulang.. Petugas menjanjikan akan menghubungi esok hari. Mereka pun menuju tempat Bu Nining berada, di loket obat.
Sepanjang jalan di lorong, pikiran Fatimah berkecamuk. Wajah anak-anak tak hentinya melintas di benaknya.
“Yah.” Fatimah menarik napas panjang. “Ayo pulang aja. Aku nggak mau menghabiskan sisa umurku di rumah sakit.”
Pak Salim terkejut mendengar ucapan Fatimah barusan. Beliau mengusap punggung putri tercintanya itu.
“Istighfar selalu, Nak.”
Fatimah mengangguk pelan. Ia berharap semoga keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
