
“Nggak ada yang rawat aku, Shil. Tanganku yang sakit kanan. Susah buat aktivitas kalau yang kiri.”
Ashia menghela napas pendek. “Aku bakal rawat kamu.”
Mata Kenzi berbinar begitu mendengar ucapan Ashila. Ia kemudian tersenyum semringah. Rencananya berhasil untuk bisa mengajak sang istri menginap di rumah mereka.
“Terima kasih untuk semuanya, istriku.”
Ashila sontak menoleh ke arah Kenzi. Matanya membulat sempurna. “Ashila! Bukan istri!”
6
Kenapa kayak kutub utara di sini, Shil?
Satu pesan masuk ke Whatsapp Ashila. Nomor yang tidak dikenal alias belum tersimpan.
“Siapa, nih?” Ashila mengerutkan kening. Ia lalu membuka profil pengirim. Ashila tersentak, foto yang terpampang adalah foto Kenzi saat wisuda.
“Kenapa, Shil?” Mona, teman sebelah kamar Ashila heran dengan raut teman baiknya itu. Mereka berdua tengah makan lalapan Ayam di kamar Mona.
“Bukan apa-apa.”
Ashila kembali meletakkan ponselnya. Ia harus menjaga rahasia tentang statusnya yang sudah menikah dari siapa pun, termasuk Mona. Biarlah itu menjadi rahasianya sendiri. Ia pun kembali melanjutkan makan.
“Kamu pulang lama banget. Katanya cuma mau sampai acara resepsi tantemu kelar?”
“Hah?” Ashila terkesiap. Ia memang memberitahu Mona jika Tante Elma akan menikah. “Oh, itu … anu … masih ada acara keluarga, Mon.”
“Kirain kamu ikut nikah.” Mona tergelak. “Tapi sama siapa? Pacar aja nggak punya.”
Ashila kembali mengerjap kaget. Mendadak ia menjadi gugup. “Ngawur aja kamu.”
“Siapa tahulah. Kan, kamu nggak dibolehin pacaran. Jangan-jangan emang udah dijodohin, tuh.”
“Uhuk! Uhuk!” Ashila tersedak begitu mendengar ucapan Mona yang valid.
“Minum cepet.” Mona memberikan satu botol air mineral tanggung. “Jangan mau dijodohin, Shil. Aplikasi kencan online banyak.”
Ashila mendesah pasrah. Mona memang cerewet. Namun, Ashila tidak menduga jika perkataan temannya itu sedang dialaminya kini.
“Aku tuh, gemes sama kamu. Kuliah itu utama, tapi masalah cinta juga penting. Aku takut hatimu mati, Shil.”
“Ah, malas ngurusin cinta. Entar nangis-nangis kayak kamu,” sindir Ashila sembari tergelak.
Wajah Mona berubah cemberut. Apa yang diucapkan Ashila adalah fakta. Ia tipikal orang yang haus akan cinta. Dirinya tidak bisa seminggu saja tanpa laki-laki. Bisa dibilang, koleksi mantan Mona sudah sebanyak ruko es krim Wo Ai Ni yang lagi viral itu.
“Kamu beneran nggak penasaran gimana rasanya jatuh cinta dan dicintai, Shil?”
“Mona, Mona, kita baru berapa hari temenan, sih?” Ashila balik bertanya.
“Ya enggak gitu, Shil. Aku masih heran aja, prinsipmu kuat banget, ya.”
“Demi … demi bisa jadi dosen,” ungkap Ashila sembari memasukkan suapan ke mulutnya.
Tiba-tiba, ponsel Ashila berdering. Ia menoleh ke arah benda pipih yang ada di atas karpet tepat di sampingnya. Sebuah nomor yang diyakini nomor Kenzi tadi. Ashila tidak menghiarukannya.
“Kenapa nggak diangkat?” tanya Mona.
“Males, orang iseng,” ujar Ashila asal.
“Aku paling doyan ngerjain orang iseng.” Mona langsung menyambar ponsel Ashila.
Ashila yang tangannya masih belepotan sambal terasi, tidak bisa menghalau Mona. “Nggak usah, Mon!” Ashila mulai panik. Namun, Mona malah menjauh.
“Halo, dengan siapa di sana?” Mona bergaya dengan centilnya.
“Ini bukan Ashila?”
“Bukan, ini emaknya. Anda siapa?”
Ashila tertawa mendengar kejailan Mona. Ia pun membiarkan sahabatnya mengerjai Kenzi.
Terdengar kekehan di seberang telepon. “Ini suaminya Shila, Mak.”
Mona membeliak begitu mendengar jawaban Kenzi. “Shil, iseng banget ini orang. Jangan-jangan dia penguntit, nih.”
“Kenapa?”
“Masa dia ngaku sebagai suamimu?”
Ashila melonjak kaget. Ia langsung merebut ponsel dari tangan Mona. Gadis dengan piama berwarna ungu tua itu segera keluar dari kamar.
“Apa-apa an sih, Ken?” Ashila berucap lirih. “Ngapain telepon?”
“Lapar, Shil.”
“Ya, makan.”
“Nggak tahu mau beli di mana.”
“Di warung makanlah. Masa mau di SPBU.” Ashila semakin ketus saja.
Kenzi tertawa mendengar kekesalan Ashila. “Aku belum paham warung makan di sini. Taunya cuma jalan ke arah kosmu. Aku ke sana sekarang.”
“Jangan!” Belum sempat Ashila membalas ucapan Kenzi, sambungan telepon sudah diakhiri. “Haduh, anak ini.” Ashila semakin geregetan saja.
“Ngeladenin orang iseng?” suara Mona terdengar dari belakang. Ashila terperanjat sampai mengusap dada.
“Kamu nguping?”
Mona menggelengkan kepalanya. “Penasaran aja. Sama orang iseng kok serius gitu bicaranya.”
“Au ah, pusing aku.” Ashila kembali masuk ke kamar Mona. Ia sudah tidak bernafsu makan lagi.
“Tolong beresin punyaku, Shil. Ayangku lagi nunggu di bawah!” seru Mona sembari berlari menuju teras.
Ashila mulai membersihkan kertas nasi bekas makan mereka. Ia lalu membuangnya di keranjang sampah yang ada di dapur sekaligus cuci tangan. Gadis itu kemudian masuk ke kamarnya.
“Shil! Ada tamu.” Namun, saat baru menutup pintu, terdengar teriakan Mona dari depan.
Ashila mengernyit. Ia tidak sedang ada janji ketemuan dengan siapapun. Karena penasaran, ia pun segera keluar. Namun, Ashila sungguh terkejut mendapati sosok yang sudah duduk di teras. Tepat di seberang Mona dan pacarnya. Tanpa berucap satu kata pun, Ashila menarik tangan Kenzi keluar dari teras kos.
Mona yang tengah memperhatikan mereka menjadi penasaran. Ia ingin tahu siapa sosok manis yang datang malam-malam menemui sahabatnya itu. Belum lagi ekspresi suntuk Ashila.
Sementara itu di luar. Ashila dan Kenzi sudah berdiri di depan rumah sebelah.
“Siapa yang nyuruh ke sini?” Ashila menatap Kenzi dengan mimik tidak suka.
“Masa nggak boleh suami datangi istri? Aku kan--”
Ashila sontak menutup bibir Kenzi dengan tangannya. Laki-laki berambut hitam tebal itu terkesiap. Wajah gadis itu begitu dekat dengan wajahnya.
“Jangan ngomong tentang suami istri di area kampus!” pekik Ashila tertahan dengan mata membeliak. Ia lalu menurunkan tangannya.
“Tutup lagi mulutku, Shil,” pinta Kenzi dengan senyuman.
“Ogah banget.”
Ashila bergidik. Ia mengusap tangan yang digunakan untuk membungkam bibir Kenzi di jaket laki-laki di sebelahnya tersebut. “Tanganku kena ilermu, nih.”
Kenzi tergelak melihat ekspresi Ashila. Ia sengaja datang ke kos karena rindu dengan istrinya. Memandang wajah gadis itu, membuat hatinya terasa diliputi kebahagiaan. Lapar hanyalah sebuah alasan yang diciptakan untuk bisa berjumpa.
“Wajahmu kenapa merah gitu, Ken?” tanya Ashila heran sambil memperhatikan laki-laki di sampingnya. Padahal saat datang tadi, muka Kenzi biasa saja.
Kenzi menjadi salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kejadian barusan, sukses membuat darahnya berdesir dan pipi ikut memanas.
“Aduh aku laper, Shil. Cari makan, yuk?” Kenzi mengalihkan pembicaraan.
“Aku udah makan.”
“Kalau gitu temenin.”
“Manja banget jadi orang.”
“Sama istri sendiri nggak masalah.”
Ashila sontak mendelik saat kata istri terdengar. “Bisa diem, nggak?”
Kenzi manggut-mangut dengan wajah memelas. “Aku beneran kelaparan, Shil.”
Ashila yang sedang bersedekap, menatap wajah Kenzi. Ia jadi tidak tega mengusirnya. “Ya udah, ayo. Makan di depan gang aja.”
Kenzi menjadi semringah. “Bentar, Shil.”
Ashila yang sudah melangkah, berhenti. “Kenapa?”
“Kamu kayak gini kalau di kos?”
Ashila menautkan kedua alisnya. Ia menatap Kenzi dengan heran. Laki-laki itu terus memperhatikan kepalanya.
“Kenapa? Ada yang salah sama kepalaku?”
“Kerudungmu mana?” Kenzi balas bertanya.
“Di kamar. Udah buruan.”
Kenzi meraih pergelangan tangan Ashila. “Ambil kerudungmu sekarang.”
“Ngapain?”
“Ya, dipake nutupi auratmu.”
Ashila mendengkus kesal. Kenzi mulai membuatnya jengkel kembali. “Keluar ke dekat situ aja, kok.”
“Tapi ini di luar. Banyak laki-laki bukan mahram yang lihat auratmu.” Raut wajah Kenzi tampak serius.
Ashila berdecak kesal. Kenzi sudah mulai mengatur hidupnya. Gadis bertubuh langsing itu mengerucutkan bibir sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Nggak usah ngatur aku.”
Kenzi menghela napas. Ia harus lebih bersabar dalam menghadapi istrinya.
“Kalau udah nikah, perilaku seorang istri jika buruk itu yang menanggung dosanya si suami. Auratmu itu hanya aku yang boleh memandang. Laki-laki lain haram meskipun hanya sehelai rambut yang keluar.”
Ashila terkesiap. Ia membenarkan perkataan Kenzi dalam hati.
“Cerai pilihan terbaik biar kamu nggak nanggung dosaku.”
7
Malam ini menjadi puncak kekesalan Ashila sejak menikah. Ia memilih kembali ke kos setelah beradu mulut dengan Kenzi. Rencana mengantar makan malam pun gagal. Ashila tidak peduli jika laki-laki itu kelaparan. Malam ini juga, tekad Ashila sudah bulat untuk bercerai.
Ashila akan mengumpulkan nyali terlebih dahulu sebelum mengutarakannya kepada kedua orang tuanya. Ia tidak peduli jika biaya kuliah tidak diberikan lagi. Dirinya akan berusaha menghemat gaji kerja di laboratorium. Untuk masalah melanjutkan ke jenjang S2, masih ada banyak beasiswa yang bisa dicari. Terutama beasiswa yang juga menganggung biaya hidup.
“Shil.” Panggilan dan suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar. “Kamu udah tidur?”
Ashila yang sedang menutupi wajah dengan selimut mendesah kesal. “Udah!”
“Ih, ngaco. Udah tidur tapi bisa jawab. Bukain, dong!” seru Mona sembari menggedor pintu.
“Arrgggh!” Ashila mengacak rambut panjangnya dnegan kesal. Jika tidak dituruti, Mona akan terus seperti itu sampai dibukakan. Ashila pun bergerak dengan malas menuju pintu.
“Kok kusut gitu habis diapelin cowok cakep?”
“No comment,” balas Ashila singkat.
“Ih, Shila. Aku kepo ini.” Mona merepet ke dekat Ashila yang sudah kembali selimutan. Namun, sahabatnya itu malah memunggunginya. “Dia siapa, Shil?”
“Tetangga.”
“Wah … kok, baru muncul sekarang tetangga cakepmu?”
Ashila tetap tidak menggubris. Hal itu membuat Mona semakin penasaran.
“Terus ngapain kamu berantem sama tetangga? Mana tadi bertengkarnya kayak pasangan kekasih pula,” cetus Mona sembari tergelak.
“Aish! Aku lagi ngantuk ini, Mon.”
Mona tertegun. Ia paham kapan Ashila sedang kesal atau hanya mengantuk.
“Oke, oke, aku keluar.”
Pintu kamar pun ditutup dari luar. Ashila menyibak selimut dengan kasar.
“Kenzi! Jangan harap kita bisa ketemu lagi.”
***
Ashila berusaha memejamkan mata sekuat tenaga. Sudah satu jam berlalu tetapi rasa kantuk belum datang juga. Ia ingin tidur nyenyak malam ini demi melupakan emosi yang meluap untuk Kenzi.
“Arghh! Nggak bisa tidur.”
Ashila meraih ponselnya. Bersamaan dengan itu masuk pesan baru ke ponselnya. Dari nomor yang belum disimpan tadi.
“Ck, seharusnya aku blokir aja.”
Namun, Ashila penasaran dengan foto yang dikirim. Ia pun membuka pesan itu. Gadis itu berulang kali mengerjapkan mata menatap foto itu. Ia semakin tercengang saat membaca chat yang dikirim Kenzi.
Aku di RS Harmoni
Ashila segera menelepon Kenzi. Namun, dua kali panggilan tidak diangkat juga. Tanpa sadar, Ashila merasakan kekhawatiran mendalam terhadap suaminya itu.
“Kok, nggak diangkat?”
Ashila kembali menelepon Kenzi. Namun, tetap tidak ada jawaban. Begitu pula dengan chat. Centangnya belum juga berubah warna.
Ashila segera memakai kerudung bertali belakang dan mengenakan hoodie. Ia lalu pergi menuju kamar Mona.
“Mon.” Ashila membuka pintu kamar.
“Hemm … apa?” tanya Mona yang masih asik menonton YouTube.
“Temenin ke RS Harmoni sekarang.”
Mona mengangkat wajahnya. “Kamu sakit?”
Ashila menggelengkan kepalanya. Ia lalu memperlihatkan foto yang dikirim Kenzi.
“Tetangga?”
Ashila mengangguk. Wajah gadis itu menyiratkan kecemasan.
“Kenapa dia?”
“Entahlah. Ditelepon nggak diangkat.” Nada bicara Ashila terdengan sedikit bergetar.
Mona mengerutkan kening ke bawah. “Hemm … bukan sekadar tetangga sepertinya ini.”
“Udah, udah. Nanti aku ceritain.” Ashila menarik tangan Mona. Ia ingin segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Kenzi.
***
Jarak anatara kos dan rumah sakit sekitar sepuluh menit. Pusat pelayanan kesehatan itu searah dengan rumah Kenzi. Jaraknya pun sangat dekat. Ashila menggosok kedua tangannya yang terasa dingin.
“Shil, ceritain sekarang. Aku nggak mau nyetir sambil penasaran, nggak bisa fokus!” seru Mona yang sedang memegang stang.
Ashila menarik napas panjang. “Jangan kaget, ya, Mon.”
“Iya buruan!”
“Tetanggaku itu suamiku.” Ashila menggigit kuku jari telunjuk.
Ban motor mendadak berhenti. Helm Ashila sampai membentur helm Mona.
“What??? Jangan ngadi-ngadi, woi!”
“Ya udah kalau nggak percaya,” ucap Ashila santai. Ia akan sangat berterima kasih jika sahabatnya itu menganggap ucapannya adalah lelucon. Terpenting ia sudah berusaha berrkata jujur. “Cepetan ke RS, Mon!”
“Nanti harus cerita yang jelas.” Mona kembali melajukan motor. Beruntung, ia tadi berkendara agak ke pinggir jalan. Lalu lintas pun sangat sepi karena sudah jam sepuluh malam.
Begitu sampai di rumah sakit, Ashila segera menuju ruang IGD. Suasana di sekitar gedung dengan empat lantai itu sudah sepi. Hanya ada beberapa petugas keamanan yang sedang lalu lalang memeriksa kondisi sekitarnya.
Ashila tidak menunggu Mona yang sedang memarkir motor. Gadis itu berjalan cepat, seolah berlari kecil. Ia sudah sampai di ruang yang terletak di pojok kanan lantai satu.
“Sus, ada pasien bernama Kenzi Arkananta?” tanya Ashila pada perempuan dengan seragam putih yang duduk di belakang meja.
“Ada. Mbak istrinya, ya?”
Ashila terkejut, lalu mengangguk canggung.
“Saya siapkan berkas administrasinya ya, Mbak. Tadi masnya bilang nunggu istri dulu yang urus, jadi belum dipindah ke ruang rawat inap.”
“Harus rawat inap? Emang kondisi suami saya parah?”
Ashila sontak menutup bibirnya. Ia reflek menyebut Kenzi dengan suami. Terdengar decakan kaget dari arah belakang. Rupanya Mona sudah berada di ruang tersebut.
“Luka di lengan hingga tangannya lumayan parah.”
Ashila tercengang, bayangannya sudah yang jelak-jelek saja. Ia segera menuju ranjang tempat Kenzi dirawat.
“Ken,” panggil Ashila pelan. Laki-laki dengan lengan sebelah kanan dibalut perban itu tampak memejamkan mata. “Kenzi.”
Ashila menepuk bahu Kenzi sebelah kiri. Namun, tidak ada respon. Ashila mengernyitkan alis.
“Apa dia dibius, Mon?”
“Nggak mungkin. Emangnya mau operasi?” tanya Mona yang berdiri di ujung ranjang. “Beneran dia suamimu?”
Ashila mengangguk cepat. “Pas mudik itu kami nikah. Tapi sebentar lagi bakal cerai, kok.”
“Hah?!” Mona terkejut bukan kepalang. “Ada apa, sih, ini?”
Ashila tidak memedulikan kebingungan Mona. Ia masih mencemaskan kondisi Kenzi.
“Kok, nggak ada respon?” Ashila kembali menepuk pundak Kenzi. Ia masih panik. “Ken, bangun, dong.”
Masih tidak ada respon. Mata Kenzi tetap saja masih tertutup.
“Mon, kok, dia nggak bangun?” Nada bicara Ashila mulai bergetar. “Tadi masih bisa ngirim WA.”
“Perawat mungkin yang ngirim. Coba goyangkan kakinya.”
Ashila lalu melakasanakan saran Mona. Namun, mata pemuda itu masih saja terpejam.
“Masih diem, Mon.” Nada suara Ashila sudah terdengar parau. “Panggilin perawat cepat!”
Mona ikut bingung. Namun, ia kemudian tersenyum samar. “Kayaknya terkabul tuh, keinginanmu. Pingin cepat menjanda, ‘kan?”
Ashila tersentak. Ia kembali menatap laki-laki yang bagian leher hingga kaki tertutup selimut. Wajah Kenzi terlihat tenang.
“Ken, bangun, dong. Kamu nggak mati, ‘kan?”
Tangan Ashila menyentuh perut Kenzi. Gadis itu sedang memastikan kondisi suaminya. Ia sontak membekap mulutnya begitu menyadari tidak ada perubahan naik turun pada permukaan perut Kenzi.
“Mon, dia nggak napas, Mon.” Mata Ashila sudah berkaca-kaca.
Mona sontak merengkuh sang sahabat ke dalam pelukannya. Ia lalu mengacungkan ibu jari di balik punggung Ashila.
“Sabar ya, Shil.”
Ashila meregangkan pelukan. Ia lalu mendekat ke sisi sebelah kanan ranjang. Air mata sudah membasahi pipinya.
8
Namun, baru juga berdiri di samping ranjang, Ashila kembali beranjak lagi. Ia berlari ke meja petugas. Sayangnya, di sana tidak ada siapa-siapa. Ia harus segera mengetahui kondisi Kenzi yang sebenarnya. Jika dilihat dengan kasat mata, luka yang dialami Kenzi hanya di tangan. Berbeda cerita jika yang diperban adalah kepala.
“Si*lan!”
Ashila baru menyadari sesuatu. Dirinya teringat masa lalu di mana Kenzi yang masih anak-anak hobi sekali mengerjainya. Ashila pun bergegas kembali ke tempat Kenzi berbaring.
“Udah dipanggil dokternya?” tanya Mona.
“Nggak perlu.”
Ashila berdiri di sisi ranjang dengan kedua tangan bersedekap. Wajahnya tampak dingin sembari menatap tajam ke arah pemuda yang matanya masih terpejam itu. “Ada cara mudah buat bangunin dia.”
“Hah? maksudnya, Shil?”
Ashila menggerakkan tangan kanannya. Ia lalu memencet hidung bangir suaminya selama setengah menit. “Masih nggak bangun?”
“Shil, udah, Shil. Entar dia nggak bisa napas.” Mona mulai panik. Ia sebenarnya paham apa yang sedang terjaddi. Saat mememluk Ashila, dirinya melakukan kontak mata dengan Kenzi.
“Masih mau merem aja? Oke!”
Ashila menatap lengan Kenzi yang dipenuhi perban. Gadis itu menyeringai sejenak. Ia lalu mengepalkan tangan kanan dan mulai mengambil ancang-ancang ke atas.
“Jangan!” Mona tersentak menyadari apa yang akan dilakukan Ashila. Namun, terlambat!
“Aduh!!” Kenzi memekik keras seraya mengusap lengan yang mendapat pukulan keras Ashila.
Mona menepuk keningnya melihat aksi sahabatnya tersebut. “Ampun, deh, Ashila.”
“Emang ya, kalau darah jail sudah mengalir, nggak akan pernah bisa tobat.” Ashila berkata dengan sinis. “Ayo pulang, Mon.”
Baru selangkah beranjak dari tempatnya berdiri, tangan Ashila ditarik. Kenzi menahan sang istri agar tetap tinggal.
“Maaf, Shil. Maafin, ya,” ucap Kenzi dengan wajah memelas. “Aku sakit beneran. Tadi nabrak boneka counter HP yang gerak-gerak itu. Eh, lenganku ketindih motor.”
Ashila mendengkus kesal. Ia lalu mengentakkan tangan Kenzi. Gadis itu berjalan menuju pintu luar. Namun, saat akan membuka pintu, Suster memanggilnya.
“Mbak, bisa ikut saya ke bagian administrasi sebentar?”
Ashila mendesah pasrah sembari terus berdecak kesal. Ia pun mengikuti petugas medis tersebut. Tidak lama kemudian, Ashila kembali ke UGD.
“Jadi pulang?” tanya Mona yang menunggu di dekat pintu.
“Kamu pulang dulu, deh. Tetanggaku harus rawat inap. Aku takut dia nanti lapor orang tua kami kalau nggak aku urus di sini.”
Mona terkikik. “Tetangga tapi dinikahin.”
Ashila berkacak pinggang. Mata Gadis itu mendelik ke arah Mona. “Awas sampai kesebar ke teman-teman di kos.”
Mona hanya bisa tertawa. Ia lalu mengacungkan ibu jari tangan kanan. Gadis dengan jaket denim itu pun segera berlalu.
Ashila kembali ke tempat Kenzi. Pemuda itu akan segera dipindah ke ruang rawat inap.
“Maafin ya, Shil.” Kenzi masih memasang wajah memelas.
Ashila hanya terdiam tanpa senyuman. Ia masih kesal dengan suaminya itu. Terlebih mengingat air mata yang keluar karena takut Kenzi meninggal.
Duh, bikin malu sendiri aja. Ashila merutuki dirinya sendiri.
Tidak lama kemudian, Kenzi dipindah ke ruang perawatan. Ashila berjalan di sisi kiri Kenzi sembari membawa botol infus.
Ashila memilih ruangan VIP. Gadis itu tersenyum puas melihat fasilitas yang ada di ruang tersebut. Televisi, Air Conditioner, lemari es, dispenser, satu sofa, kamar mandi dalam, dan lemari pakaian.
Kenzi terkejut mendapati ruang rawat yang dipilih Ashila. Setelah perawat yang mengantar berlalu dari ruangan, ia mulai menginterogasi Ashila.
“Aku bukan nyari hotel, Shil. Berapa harganya ini?”
“Jangan protes! Siapa suruh kamu ngerjain aku tadi?”
Ashila tertawa mendapati rencana balas dendamnya yang sukses. Kenzi bakalan jantungan begitu melihat tagihan saat akan pulang nanti. Kamar perawatan paling mewah di rumah sakit ini, seharga 700 ribu rupiah per harinya. Belum ditambah visit dokter dan konsultasi.
“Bisa amblas tabunganku, Shil.”
“I don’t care. Uang orang tua juga. Janga sok punya uang dari hasil kerja sendiri. Baru juga mau ngajar, kan?”
“Daripada buat bayar ruang VIP mending ditabung buat masa depan anak-anak kita nanti,” protes Kenzi.
“Hah, apa?! Anak-anak kita?”
Kenzi tersenyum menggoda Ashila yang tengah emosi. Ia bahagia jika bisa membuat istrinya itu jengkel. Rasanya seperti mendapat tantangan.
“Makanya kalau nggak punya tabungan banyak jangan asal nerima perintah buat nikah. Emang berumah tangga nggak perlu modal apa?”
Kenzi hanya senyum-senyum. Ia menikmati omelan Ashila. Lebih baik mendengar kata-kata yang keluar seperti kereta yang panjang, daripada melihat wanitanya itu terdiam.
Masalah tabungan, Kenzi masih memiliki lebih dari cukup hanya untuk membayar biaya rumah sakit. Ia malah bersyukur Ashila memilih kamar istimewa ini. Jika tadi mengambil bangsal yang berisi beberapa pasien, mungkin ia tidak akan bisa memandangi lagi wajah cantik istrinya saat tidur.
“Dah, cepetan merem,” titah Ashila yang sudah merebahkan diri di sofa yang super empuk. Lebih nyaman daripada kasurnya di kos yang sudah tidak tebal lagi.
Kenzi mengangguk. Namun, matanya masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Ia lalu memegang perut yang keroncongan.
“Shil.”
“Apa?”
“Udah tidur?”
“Ya belumlah, bisa jawab gini,” ucap Ashila seperti biasanya, ketus.
Kenzi terkekeh. “Aku lapar, belum makan malam.”
Tanpa mengucap kata, Ashila segera beranjak dari posisinya begitu mendengar keluhan Kenzi. Ia bisa merasakan penderitan pemuda itu. Tidak mungkin untuk menyuruhnya berdiri mencari makanan sendiri dengan jarum infus masih menancap di tangan kiri dan juga kondisi tangan kanan yang terluka.
“Nggak ada makanan di sini. Cuma ada buah.”
“Iya, pisang aja.”
Ashila membuka bingkisan yang berisi aneka buah yang ada di meja samping ranjang. Ia lalu mengambil pisang dan menyerahkan ke Kenzi.
“Nggak bisa ngupasnya, Shil.”
“Manja.” Ashila mengambilnya dengan kasar, lalu mengupas kulitnya. “Nih, tinggal makan.”
“Masa tangan kiri makannya?” Kenzi menoleh ke arah tangan kanan.
Kening Ashila mendadak berkerut. “Aku harus nyuapin gitu?”
Kenzi mengangguk sambil tersenyum mantap. Ashila pun menghela napas kasar. Ia tidak bisa menolak permintaan pemuda yang kondisinya tampak memprihatinkan itu. Gadis itu mulai menyuapi suaminya.
“Rasa pisangnya beda, nggak kayak biasanya,” cetus Kenzi sembari membuka mulut untuk suapan kedua.
“Oh tentu saja, pisang mahal. Nih, ada merk-nya.” Ashila menunjukkan label yang masih melekat di kulit buah berwarna kuning tersebut.
“Bukan, aku pernah makan pisang ini, tapi nggak seistimewa sekarang.”
Ucapan Kenzi membuat Ashila penasaran. Ia mengamati pisang di tangan, lalu menghidunya. “Kayaknya sama aja, deh. Bau Pisang.”
“Beda, Shil. Soalnya disuapin kekasih halalku.”
Ashila terkesiap mendengar perkataan Kenzi. Ia mengurungkan menyuap sisa pisang yang tinggal separuh.
“Kekasih?” Ashila mencoba memastikan.
Kenzi sontak salah tingkah begitu menyadari mulutnya kelepasan bicara. “Maksudnya istri.”
Ashila menaruh buah itu di atas meja lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Suasana hatinya semakin tidak baik saja.
“Loh, aku masih lapar, Shil.”
“Aku nggak suka kamu masih ngomongin status kita.”
“Emang nyatanya seperti itu, ‘kan?”
Ashila menghela napas kasar. Ia beranjak mendekat lagi ke ranjang tempat Kenzi berbaring.
“Aku serius ingin mengakhiri pernikahan tiba-tiba ini,” ucap Ashila sambil menatap mata Kenzi lekat. Pemuda itu tersenyum menanggapi ucapan gadis dengan wajah berbentuk oval tersebut.
“Kalau aku tetap nggak mau gimana?”
Ashila terperanjat. Keningnya berkerut ke bawah. Kenzi masih tetap pada pendiriannya. Gadis itu kemudian mencebik kesal.
“Udahlah, males aku ngomong sama kamu.”
Ashila kembali lagi ke tempat tidurnya. Tanpa ada sepatah kata pun keluar dari bibir gadis itu.
Kenzi mendesah pelan melihat ekspresi Ashila. Ia akan tetap mempertahankan pernikahan ini. Perjanjian besar telah dilakukan dihadapan tuhannya dan tidak akan pernah ia gagalkan. Biar beribu kali Ashila meminta cerai, dirinya tidak akan pernah mengabulkannya.
9
Kenzi terbangun begitu mendengar suara azan subuh dari masjid rumah sakit. Ia lalu beranjak dan mendekat ke dinding. Dirinya sedang mencari debu halus untuk melakukan tayamum. Mengambil wudhu masih belum bisa dilakukannya dengan kondisi tangan masih nyeri dan tertancap jarum infus.
Kenzi kemudian kembali ke ranjang untuk melakukan salat Qobliyah Subuh terlebih dahulu. Sudah menjadi rutinitasnya sebelum mendirikan salat wajib dua rakaat tersebut. Dalam pemahamannya, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa dua rakaat sebelum subuh itu lebih baik dari pada dunia dan seisinya.
Setelah selesai melakukan kewajibannya, Kenzi menatap Ashila yang masih terlelap di atas sofa. Ia menggelengkan kepala sembari senyum-senyum. Tingkah Ashila saat tidur memang luar biasa. Saat ini saja, satu kakinya sudah naik ke atas sandaran sofa. Sementara itu selimutnya hanya menutupi tubuh bagian atas. Kenzi pun turun dari ranjang, mendekat ke sofa.
“Shil, bangun,” panggil Kenzi dengan nada penuh kelembutan. Jemarinya merapikan rambut Ashila yang menutupi kening.
“Mmmmhhh.” Ashila bergerak sekejap, tentu masih dengan mata terpejam.
“Udah subuh, ayo salat dulu.”
Ashila menggeliat. Namun, ia hanya mengubah posisi tidur. Kini, wajahnya menghadap tepat di depan Kenzi yang sedang berjongkok.
Kenzi terkesiap. Hatinya berdesir menatap wajah Ashila dengan sangat dekat.
“Shil, bangun.” Kenzi menggoyangkan lengan Ashila.
“Duhh, ngantuk, nih.”
“Salat dulu, Shil.”
Ashila tidak merespon. Ia kembali terlelap. Mulutnya bahkan sedikit menganga.
Kenzi lalu menyibak selimut yang menutup tubuh gadis itu. Ia terkesiap mendapati piama sang istri tersingkap di bagian perut. Kenzi lalu menurunkan baju atasan tersebbut hingga menutupi bagian atas celana Ashila. Kenzi kemudian beranjak untuk mengambil remote AC.
“Dingin banget,” ucap Ashila lirih sambil bersedekap. Dengan mata terpejam, ia mencari selimut.
Kenzi yang memegang selimut, terkikik melihat tingkah Ashila. Ia tadi menurunkan suhu pada AC. Gadis itu mulai membuka matanya.
“Balikin selimutnya,” pinta Ashila dengan wajah cemberut.
“Nggak mau, salat dulu.”
Ashila bangkit dari tidurnya. Ia sudah mengepalkan kedua tangannya. Tatapannya tajam ke arah Kenzi. Gadis itu mulai mendekat ke posisi pemuda di hadapannya.
“Tanganmu mau nyobain jurusku lagi?” Ashila menyeringai. Ia meniup kepalan tangannya.
“Salat dulu, Shil.” Kenzi masih bersikap tenang.
Ashila menggelengkan kepala sambil terus mendekat ke arah Kenzi yang berjalan mundur. Pemuda itu was-was jika kejadian semalam terjadi lagi. Ia tidak mau jika harus kembali merasakan jurus Ashila.
Hanya tinggal satu langkah, Ashila bergegas menarik selimut yang dipegang Kenzi. Di luar dugaan, tangan pemuda dengan celana denim itu tetap pada posisinya. Akibatnya, tubuh Ashila terdorong ke depan hingga membentur dada suaminya. Gadis itu membeliak saat menyadari embusan napas Kenzi tepat di keningnya. Ia pun melepas genggaman pada selimut.
Kenzi dengan gerak cepat menghalau tubuh Ashila yang akan menjauh. Tangan kirinya segera menangkap punggung sang istri. Mereka pun semakin tak berjarak.
“Jangan macam-macam kamu! Lepasin! Dasar mesum!”
“Kenapa disuruh salat enggak mau?” tanya Kenzi tanpa senyuman. Ia memang begitu tegas dengan kewajiban satu itu. Tidak ada toleransi untuk meninggalkan salat.
“Aku lagi datang bulan! Puas!”
Kenzi melonggarkan pelukannya. Ia menghela napas lega mendengar alasan Ashila. Gadis itu segera menjauh darinya. “Kenapa nggak bilang dari awal?”
Ashila menoleh dengan lirikan mata yang tajam. “Aku malu mau bilang.”
“Ngapain malu?”
Kenzi terkikik sembari kembali ke ranjangnya. Ia terus memperhatikan Ashila yang masih menekuk wajah. Subuh ini, ia merasakan energi positif menyelimuti hatinya.
“Aku mau balik ke kos. Kalau ada apa-apa hubungi aku,” ujar Ashila sambil merapikan selimut. Ia sudah menghubungi Mona untuk minta jemput.
“Siap! Terima kasih sudah merawat suaminya,” ucap Kenzi sambil tersenyum jail.
“Terpaksa!”
Ashila segera berlalu dari ruangan tanpa menoleh ke arah Kenzi. Pemuda itu tergelak menyaksikan ekspresi jengkel dari sang istri.
“Kita akan segera mengakhiri pernikahan tanpa cinta ini, Ashila Faranisa,” cetus Kenzi dengan nada bicara penuh keyakinan.
***
Kenzi hanya membutuhkan perawatan di rumah sakit selama satu malam saja. Selepas maghrib nanti, ia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
“Ini, Shil.” Kenzi mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya.
Ashila tiba di sana sekitar pukul empat siang setelah kerja part time. Dirinya sudah tidak ada jadwal kuliah. Tinggal mengurus skripsi saja.
“Nggak ada uang cash, ya?” Ashila menerima benda pipih berbentuk persegi itu.
“Nggak ada. Lagian pasti habis banyak. Ruang kayak hotel gini.” Kenzi memperhatikan ruang yang ditempatinya. Sekalipun VIP, jika saat sakit tentu tidak akan terasa nyaman seperti saat sedang sehat.
Ashila terkikik seraya menutupi mulutnya. “Ya, udah ayo. Kayaknya mesin ATM ada di lantai satu.”
“Sama aku?”
“Ya iyalah, mana bisa narik uang tanpa PIN.”
“Kamu aja sendiri, Shil. Masa pasien bayar administrasi sendirian?”
“Terus PIN gimana?” Ashila ragu untuk meminta nomor PIN. Baginya hal itu sangat privasi sekali.
“090822.” Kenzi menyebutkan nomor sandi untuk ATM miliknya.
“Oke.”
Ashila pun segera berlalu dari ruangan. Langkah kecil gadis itu terasa ringan. Akhirnya, dirinya akan segera lepas menjadi baby sitter Kenzi di rumah sakit. Ashila turun menggunakan tangga, alih-alih memanfaatkan fasilitas lift yang disediakan oleh rumah sakit.
Letak mesin ATM berada di bagian depan dekat pintu utama. Ashila bergegas melakukan tugasnya. Jemarinya menekan angka seperti yang diinstruksikan Kenzi.
“Bentar, kayak nggak asing sama nomor-nomor ini.”
Ashila lantas mengedikkan bahunya. Saat akan menyentuh instruksi penarikan, ia mengurungkannya. Seringai jail terlukis di bibir gadis bertubuh langsing itu.
“Berapa, sih, saldonya?”
Ashila mulai menekan info saldo. Matanya membeliak begitu angka-angka tertera di layar.
“Li-lima belas juta?!” pekik Ashila tidak percaya. Dua orang yang ada di ATM center sontak menolah ke arahnya. Ashila pun tersenyum canggung.
“Wah, besar banget uang sakunya. Lek Arif apa sekaya itu?” Ashila masih menggerutu melihat kenyataan yang tersaji di depan mata. Papanya saja hanya memberikan uang saku satu juta per bulan untuk makan dan keperluan sehari-hari.
Ashila segera menarik uang sejumlah tagihan rumah sakit. Beruntung hanya satu malam. Jika tidak, bisa saja dirinya memang membuat Kenzi bangkrut. Ia pun bergegas menuju loket pembayaran.
***
Kenzi menatap jam yang tergantung di dinding. Sudah lebih dari setengah jam, tetapi istrinya belum kambali juga.
“Mampir ke mana anak itu?” Kenzi menerka keberadaan Ashila. “Aku telepon aja, deh.”
Baru akan membuka WhatsApp, ponselnya berdering. Bukan dari Ashila, tetapi dari teman kuliahnya dulu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Ken, kamu udah pindah ke Malang?”
“Udah, Rel. Maaf belum ngabari. Lagi di rumah sakit sekarang.”
“Loh?! Kenapa, Ken?” Suara dari seberang terdengar panik. Aurel adalah sahabat Kenzi saat masih kuliah di Jogja. Gadis itu sekarang tinggal di Malang untuk melanjutkan studi.
“Baru jatuh dari motor. Tapi, nggak parah, kok. Malam ini udah pulang.”
“Sampai opname mana mungkin nggak parah.” Nada suara Aurel masih terdengar panik.
“Enggak. Cuma lengan aja yang kegores, Rel.”
“Syukurlah, bikin cemas aja kamu, nih.”
Kenzi terkekeh. “I am okay, kok.”
“Kamu ngekos di mana? Nanti biar kujenguk.”
“Di rumah sendiri. Kebetulan orang tuaku beli rumah.”
“Baguslah. Kirimi alamatmu. Besok pagi kejenguk.”
“Oke.”
Mereka pun mengakhiri perbincangan. Tidak lama kemudian, Ashila muncul.
“Udah beres, nih. Aku pesenkan taksi online dulu.”
Ashila mengeluarkan ponselnya. Ia sudah bersiap memesan mobil untuk mengantar Kenzi ke kontrakan.
“Nggak usah. Naik motor aja.”
“Hah? Emang udah bisa?” tanya Ashila heran.
“Dibonceng kamu,” ujar Kenzi seraya memperlihatkan deretan giginya.
“Ogah! Lagian aku nggak bawa motor. Aku minta dijemput Mona.”
Raut muka Kenzi berubah. Bibirnya tampak manyun. Ashila menautkan kedua alis matanya. Baru kali ini ia melihat ekspresi Kenzi seperti itu.
“Nggak lucu, udah gede gak cocok wajah melas, sok imut gitu.”
Kenzi masih bergeming. Ia lalu menundukkan kepalanya. Ashila terkesiap. Ia sontak merasa tidak enak dengan ucapan yang tadi keluar dari bibirnya.
“Maaf, Ken.”
“Nggak apa-apa, Shil,” ucap Kenzi seraya mendongakkan kepala. “Aku bingung aja. Di Malang aku masih baru. Ditambah kondisi tubuh sekarang kayak gini. Tinggal di rumah sendirian. Apa aku hubungi Ibu aja ya, biar datang ke Malang?”
Ashila tercengang dengan kalimat terakhir yang ia dengar. Ia seketika menggoyangkan kedua tangannya.
“Jangan! Please jangan hubungi orang tuamu.”
“Kenapa?”
“Udah, pokoknya jangan.”
Ashila bersikukuh untuk menghalangi Kenzi mengabari orang tuanya. Jika sampai mertuanya tau kondisi suaminya, bisa ia pastikan mereka akan memberitahu Pak Rohman. Ashila sudah pasti akan diperintah untuk tinggal satu rumah dengan Kenzi. Dan, itu adalah petaka buatnya.
“Nggak ada yang rawat aku, Shil. Tanganku yang sakit kanan. Susah buat aktivitas kalau yang kiri.”
Ashia menghela napas pendek. “Aku bakal rawat kamu.”
Mata Kenzi berbinar begitu mendengar ucapan Ashila. Ia kemudian tersenyum semringah. Rencananya berhasil untuk bisa mengajak sang istri menginap di rumah mereka.
“Terima kasih untuk semuanya, istriku.”
Ashila sontak menoleh ke arah Kenzi. Matanya membulat sempurna. “Ashila! Bukan istri!”
10
Kenzi dan Ashila sedang dalam perjalanan menuju rumah. Mereka memesan taksi online. Dua pasangan muda itu duduk di bangku tengah. Posisi Ashila tepat di pojokan dekat pintu, sementara itu Kenzi sedikit di tengah. Pemuda itu memang sengaja ingin berdekatan dengan istrinya. Tentu saja, Ashila menghindar.
Ashila mengamati jalan menuju perumahan. Lampu-lampu rumah terlihat seperti kerlip bintang dari arah gerbang perumahan. Jarak untuk sampai di kawasan hunian memang cukup jauh. Pemandangan hamparan sawah menyambut kedatangan mereka.
“Perumahannya di sini sepi ternyata,” celetuk Ashila.
“Iya, apalagi di rumah sendirian. Makin sepi, padahal udah punya pasangan.” Kenzi menyahut.
Ashila sontak menoleh ke arah Kenzi dengan tatapan tajam. Pemuda di sampingnya itu hanya terkekeh pelan.
“Yang ini, Mbak?” tanya sopir begitu sampai di depan rumah.
“Iya, Pak.”
Ashila bergegas membuka pintu mobil. Ia lalu keluar, diikuti oleh Kenzi. Gadis itu segera mengeluarkan uang kertas berwarna merah untuk membayar.
“Wah, nggak ada kembalian, Mbak. Ada uang kecil? Dua puluh ribu saja tarifnya.”
“Saya juga cuma ada ini, Pak,” kata Ashila yang kemudian membongkar tasnya, berharap menemukan uang.
Kenzi yang menunggu di depan rumah, mendekat ke arah istrinya. “Kenapa?”
“Bapaknya nggak ada kembalian. Uangku cuma ada selembar ini.”
“Habis berapa?”
“Dua puluh ribu.”
“Oh, “ ucap Kenzi singkat sembari mengambil dompet di saku celana belakang sebelah kiri. Ia lalu menyerahkan dompet berwarna hitam itu ke istrinya. “Ambil sendiri, Shil.”
Ashila segera membuka dompet tersebut. Ia meraih uang kertas berwarna hijau, lalu menyerahkannya kepada sopir. Namun, ketika akan menutup dompet dan mengembalikannya ke Kenzi, matanya tertuju pada foto dua anak kecil yang terpampang di bagian dalam dompet dengan lapisan plastik transparan.
“Eits, lihat apaan, tuh?” Kenzi bergegas meraih dompetnya dari genggaman Ashila.
“Siapa juga mau lihat-lihat,” ujar Ashila seraya mencebik kesal. Ia segera membuka pagar. Namun, pikirannya masih penasaran dengan foto yang ada di dompet Kenzi. Ia seperti tidak asing dengan sosok gadis kecil yang ada di gambar itu.
“Emang gue pikirin?” gumam Ashila.
Mereka berdua pun segera masuk ke dalam rumah. Kenzi berjalan menuju kamar. Ia ingin berbaring. Rasa nyeri masih terasa di punggungnya.
“Ken, kamar sebelah nggak ada kasur?” tanya Ashila seraya menunjuk ruangan yang terletak di samping kamar.
“Nggak ada,” jawab Kenzi dengan mata terpejam.
“Terus, aku tidur di mana malam ini?” Ashila menyilangkan kedua tangannya.
Tanpa membuka mulut, Kenzi menjawab pertanyaan Ashila dengan tepukkan pada kasur.
“Apa?! Jangan ngawur, ya. Aku nih, mahasiswi baik-baik. Nggak mungkin tidur sama cowok.”
Gelak tawa terdengar dari bibir Kenzi. Pemuda itu menggelengkan kepalanya sambil menatap Ashila.
“Terus, pas di rumah itu apa?” goda Kenzi.
Ashila berdecak kesal. “Itu terpaksa! Aku pulang ke kos aja, deh.”
“Oke, aku telepon Ibu sekarang.” Kenzi meraih ponsel yang ada di sampingnya.
Ashila sontak menggoyangkan kedua tangan. Ia bergegas mendekati Kenzi. “Jangan, please jangan.”
Kenzi tersenyum jail. “Tidur di sebelahku itu dapat pahala, bukan dosa.”
Ashila masih memasang wajah cemberut. Ia lalu mengentakkan kakinya. Gadis itu kemudian melangkah keluar kamar.
“Aku tidur di sini aja!” pekik Ashila di depan kamar Kenzi.
“Jangan, dong. Nanti kamu sakit, Shil. Dingin banget di sini kalau malam.”
Ashila menyandarkan punggungnya di dinding. Ia masih memasang wajah muram. Kedua tangannya bersedekap.
Kenzi menarik napas panjang. Ia harus memosisikan diri untuk lebih sering mengalah.
“Aku janji nggak akan terjadi apa-apa.” Kenzi lantas bangkit dari posisinya. Ia menaruh dua bantal dan guling di tengah kasur, lalu memanggil Ashila.
Ashila melihat ke dalam kamar. Ia lalu manggut-manggut seraya tersenyum lebar. Ia kemudian menjentikkan jemarinya.
“Ditambah ini, aman,” jelas Ashila sambil menambahkan ransel besar di barisan bantal.
Kenzi mengerjap tidak percaya. Ia menatap Ashila lekat. Gadis di hadapannya itu benar-benar unik.
****
Ashila membuka matanya yang masih terasa berat. Rasa kantuk masih melekat. Namun, ia harus cepat-cepat pulang ke kos untuk persiapan kerja. Ashila mengedarkan pandangan. Tirai pada jendela yang menghadap taman kecil depan rumah sudah terbuka. Di luar, matahari sudah menampakkan cahayanya.
Ashila bangkit dari tidurnya, kemudian merapikan rambut dan menguncirnya menyerupai ekor kuda. Ia menoleh ke samping. Bantal dan selimut tipis yang dipakai Kenzi sudah terlipat rapi. Posisi bantal juga masih seperti semula. Hanya saja, ransel yang semalam ia taruh di atas kasur sudah kembali ke tempatnya.
“Ke mana anak itu?” Ashila mengedarkan pandang ke semua sisi ruangan. Pintu kamar tertutup, tapi Kenzi tidak ada di kamar. Ia pun bergegas melipat selimutnya, lalu beranjak ke luar.
“Baru bangun?” sapa Kenzi yang sedang duduk di ruang tamu. “Aku buatin teh tadi. Masih punya itu, belum belanja yang lain.”
Ashila masih berdiri sambil menyandarkan punggung di daun pintu kamar. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tatapannya tajam mengamati Kenzi yang tengah fokus mengoperasikan ponsel dengan tangan kirinya.
“Kamu jatuh dari motor nggak parah, ‘kan?” tanya Ashila dengan wajah sinis.
Kenzi yang bersiap mengambil roti, menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah Ashila. “Maksudnya?”
Ashila berjalan ke arah Kenzi. Ia lalu duduk di hadapan laki-laki yang masih mengenakan sarung yang digunakannya selepas salat Subuh.
“Masih nggak paham?”
Kenzi menggelengkan kepala. Ia penasaran dengan ucapan Ashila. Namun, dirinya seketika tergemap saat gadis itu memajukan tubuh mendekat padanya. Tatapan Ashila lekat mengunci pandangannya.
“Aduuuhh!!!” Kenzi memekik keras karena Ashila mencengkeram lengannya.
“Kamu beneran sakit?” Ashila panik mendapati teriakan cukup keras Kenzi karena ulahnya tadi.
“Iyalah. Ngapain aku nge-prank sampai tidur di rumah sakit,” jelas Kenzi sambil meringis mengusap lengannya.
Wajah Ashila berubah panik. Ia menggigit ujung jari telunjuk tangan kanan. “Maaf, Ken. Kamu udah nggak pakai perban soalnya.”
Kenzi tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.
“Aku beneran jatuh dan sakitnya juga nyata. Tapi, nggak boleh manjain rasa sakit. Nanti malah ngerepotin kamu terus.”
Ashila tertegun mendengar penjelasan Kenzi. Ia jadi merasa bersalah karena telah berburuk sangka. “Maaf ya, Ken.”
Kenzi meyunggingkan seutas senyuman. “Nggak papa, Shil. Oh, iya, kamu ke kampus jam berapa?”
“Jam delapan,” jawab Ashila sambil menyeruput teh buatan Kenzi tersebut. Ia tersenyum sambil menatap cangkir yang terbuat dari porselen tanpa motif itu. “Akhirnya bisa minum teh hangat pagi-pagi.”
Kenzi menautkan ke dua alisnya. “Ngenes banget nggak pernah minum teh hangat. Di kos nggak pernah bikin?”
Ashila menggelengkan kepala dengan wajah sedih. Ia lalu menceritakan tentang kondisi kos yang minim fasilitas di bagian dapur. Tabung gas warna hijau saja jarang terisi karena penghuninya lebih suka beli makanan di luar.
“Paling minum yang kemasan kotak itu, atau beli di warung makan. Tinggal minum terus buang, praktis.”
“Jadi kamu nggak masak sama sekali di kos?”
“Enggak. Lagian kalau dihitung lebih murah dan praktis beli masakan jadi. Tinggal masak nasi aja. Emang kamu masak?”
Kenzi menganggukkan kepala. “Di sini ada dapur lengkap dengan fasilitasnya, kulkas pun tersedia. Itung-itung berhemat buat nabung masa depan keluarga kecilku.”
Ashira terperanjat. Ia yakin kalimat terakhir itu ditujukan untuknya. Ia lalu mendesah pasrah. Laki-laki di hadapannya masih kukuh tidak ingin mengakhiri pernikahan tanpa cinta ini.
“Habis ini Mona jemput aku. Kamu udah mendingan, ‘kan? Kalau makan nggak perlu masak dulu, beli aja lewat online,” jelas Ashila sambil berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan muka. Ia sedang malas berdebat dengan Kenzi tentang pernikahan mereka.
Tidak lama kemudian terdengar klakson motor berbunyi. Kenzi bangkit dari duduknya. Ia bergegas menuju depan.
“Mona, ya?” sapa Kenzi ramah setelah membuka pagar.
“Iya, Kak. Ashila ada, ‘kan?”
“Masuk aja dulu. Dia masih di kamar mandi.”
Mona menganggukkan kepala. Ia kemudian turun dari motor lalu menuju teras. Di sana sudah ada Kenzi yang berdiri di depan pintu. Mona pun masuk ke dalam setelah dipersilakan kembali.
“Mona sudah paham, kan, dengan status kami?” Kenzi membuka obrolan.
“Iya, Kak. Ashila sudah cerita. Selamat ya, atas perikahan kalian.”
Kenzi pun mengucapkan terima kasih. Tidak lama kemudian Ashila muncul. Ia pun bergegas mengajak Mona untuk segera balik ke kos.
“Shil,” panggil Kenzi saat Ashila akan naik ke motor.
“Apa?”
“Nanti malam di sini lagi, kan?” tanya Kenzi penuh harap.
“Ehem ….” Mona berdeham menggoda Ashila. Ia akhirnya mendapati momen tersebut selama menjadi sahabat.
Ashila memelototi Mona. “Nggak tau, ya. Aku lagi sibuk-sibuknya.”
“Aku tunggu,” ucap Kenzi.
“Ish, maksa!”
Suara motor mendekat ke arah mereka membuat semuanya mengalihkan perhatian. Seorang perempun dengan gamis polos berwarna navy berhias border bunga mawar merah di bagian bawah yang mengendarainya.
“Eh, Rel,” sapa Kenzi.
Ashila menatap sosok yang disapa suaminya. Perempuan yang sangat anggun dengan gamis dan kerudungnya.
“Ternyata kita tetangga perumahan, Ken. Ya ampun, dunia tak selebar daun kelor,” ungkap Aurel seraya tertawa kecil.
Ashila terus memperhatikan interaksi Kenzi dan Aurel. Mereka terlihat tidak canggung sama sekali.
“Shil, jadi pulang sekarang, nggak?” tanya Mona seraya menoleh ke belakang.
“Jadi,” sahut Ashila singkat. “Ken, aku balik dulu.”
“Oh, iya, Shil. Hati-hati di jalan. Terima kasih, ya, Mona.” Kenzi dengan ramahnya melambaikan tangan.
Motor Mona pun segera meninggalkan rumah Kenzi. Namun, mata Ashila seolah tidak beranjak dari dua insan yang masih berbincang dengan hangatnya tersebut.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
