
“Ashila, kayak mual gitu perutnya.”
“Mual?” Bu Arif menautkan kedua alis. Beliau lalu tersenyum bahagia mendengar menantunya mual-mual. Pernikahan Kenzi dan Ashila sudah berumur hampir satu bulan.
Kenzi menautkan kedua alis mata. “Kok, Ibu malah seneng menantunya sakit?”
Bu Arif hanya menjawab dengan kekehan kecil. Ia lalu meminta Kenzi kembali ke kamar. Beliau akan menyusul setelah mengambilakan obat.
11
“Masa cewek nyamperin ke rumah cowok, Mon?” Ashila turun dari motor begitu sampai di kos sambil menggerutu.
“Maksudnya?”
“Itu tadi temennya Kenzi. Sendirian ke rumah. Kok, nggak risih, ya?”
Mona mengusap dagu. “Kamu kan, gitu juga. Gimana, sih?”
“Loh, aku beda. Aku istrinya.”
“Cie, udah ngakui dia suamimu, nih,” goda Mona dengan penuh semangat. “Nggak jadi mau menjanda secepatnya?”
“Ssst!” Ashila mendelik. “Jangan berisik!”
Ashila segera masuk ke rumah. Sementara itu, di belakangnya mona masih terus menggoda.
“Ada yang cemburu. Ada yang cemburu.”
“Diam, Mona!” Ashila menoleh ke belakang, lalu berjalan mendekat ke arah Mona. Ia lalu membungkam mulut sahabatnya itu dengan tangan.
Mona mengangguk dengan cepat. Jari telunjuk dan tengahnya terangkat. Ashila pun melepaskannya.
“Kalau sampai ada yang tau, berarti itu ulah mulutnya Mona,” bisik Ashila dengan mata mendelik.
“Ish, serem.” Mona masih terus mengerjai temannya tersebut. Ia terus terkikik melihat raut kesal Ashila.
Sementara itu di rumah Kenzi.
“Enak nih, Ken. Nggak perlu bingung bayar kontrakan atau kos lagi,” cetus Aurel sembari mengedarkan pandang ke ruang depan. “Kamu sendirian?”
Kenzi mengangguk.
“Alhamdulillah, Rel. Eh, teman-teman di WAG alumni kenapa pada heboh gitu? Aku ketinggalan cerita?”
Aurel terbahak. Ia teringat tentang foto yang dikirim oleh nomor salah satu teman satu kelas mereka waktu kuliah S1 dulu. Sebuah gambar di mana Aurel tengah duduk berdampingan dengan seorang laki-laki.
“Dasar tukang gosip kalian. Dia itu teman sekelasku, Ken. Kayak kita dulu nggak sering bareng aja.”
Aurel mengingat masa-masa kuliah. Menjadi mahasiswi di jurusan teknik elektro itu harus bersiap menjadi minoritas. Perbandingannya 1:6. Alhasil, sahabat Aurel kebanyakan laki-laki, salah satunya Kenzi.
“Dulu beda. Udahlah, jangan pemilih gitu, Rel. Kasian mereka yang sering kamu tolak. Udah waktunya usiamu itu. Kuliah sambil nikah nggak dosa.”
Aurel menatap Kenzi, lalu menurunkan pandangan. Ada gerimis di hati, jika membicarakan tentang jodoh bersama laki-laki di hadapannya itu.
“Duh, sampai lupa ngasih minum. Kamu mau dibuatin apa? Jangan bilang Milo. Aku nggak punya.”
“Lah, aku mau bilang gitu,” ucap Aurel sambil terkikik. “Nggak usah repot-repot, Ken. Kamu istirahat aja. Aku cuma mampir bentar.”
Aurel paham. Kenzi begitu menjaga interaksi dengan lawan jenis meskipun mereka bersahabat baik. Hal ini membuatnya sungkan bertamu di tempat Kenzi. Berita temannya opname, membuatnya khawatir dan ingin mengetahui kondisinya lebih jelas. Aurel bersyukur, Kenzi baik-baik saja meskipun terdapat luka di lengan. Gadis dengan kerudung segitiga berwarna hitam dengan kedua ujungnya dibiarkan menutup dada, beranjak dari duduknya.
“Makasih banyak bubur ayamnya, Rel. Kamu masih ingat, ya.”
“Nggak akan lupa, Ken. Tiap pagi sarapanmu itu melulu. Sampai bosen aku lihatnya.”
Kenzi lalu mengantar Aurel ke motornya. Ia sebenarnya ingin menyampaikan berita bahagia tentang pernikahannya dengan Ashila ke Aurel dan juga teman-temannya. Namun, dirinya ingin menunggu Ashila membuka hati untuk menerima pernikahan dan dirinya, tentu saja.
***
Hari sudah mendekati petang. Kenzi melihat waktu yang tertera di ponsel. Sudah pukul lima sore. Namun, sosok Ashila belum muncul kembali di rumah. Kenzi yakin, jika istrinya itu sudah pulang dari kampus. Ia pun mencoba menghubungi nomor Ashila.
“Kenapa?” Satu kata yang meluncur dari bibir Ashila begitu panggilan Kenzi tersambung.
“Asalammualaikum,” ucap Kenzi mengingatkan.
“Eh, waalaikumsalam. Kenapa telepon?”
“Kamu nggak pulang?”
“Pulangah. Masa nginep di ampus?”
“Oke, aku tunggu di rumah.”
“Hah? Enggak! Aku pulang ke kos.”
“Loh, nggak balik ke rumah, Shil?” tanya Kenzi dengan nada kecewa.
“Ngapain? Kamu udah sembuh juga. Jangan manja.”
“Tanganku masih sakit. Aku nggak bisa bawa motor. Gimana cari makannya, Shil?”
“Gampang. Tinggal buka aja aplikasi Gojek.”
“Gojek?” Kenzi mengernyit. Ia tidak merasa memiliki aplikasi tersebut di ponselnya.
“Udah aku instal. Saldonya juga udah aku isi. Udah dulu, aku sibuk banget di lab.” Ashila langsung mematikan sambungan telepon.
Kenzi terdiam. “Gojek? Saldo?”
Sedetik kemudian, ia segera menggeser layar. Jemarinya mulai membuka aplikasi dengan banyak fitur tersebut. Namun, ia dibuat tercengang dengan nominal Gopay yang terisi.
“Lima ratus ribu? Banyak banget.”
Saat terpengarah dengan saldo, pesan dari Ashila masuk. Kenzi segera membukanya.
Selamat berburu makanan enak di Malang.
Banyak banget lima ratus ribu
Balikin ke rekening gimana caranya, Shil
Salah sendiri ngasih tahu PIN ATM!
Kenzi menepuk kening setelah membaca pesan terakhir. Isi tabungannya berkurang lagi setengah juta.
“Istriku memang cerdas.” Kenzi tertawa mendapati ulah jail Ashila. “Tapi, ya nggak ngerampok gini, Shil.”
***
Ashila hanya menginap satu malam saja di rumah, setelah Kenzi keluar dari rumah sakit. Ia juga tidak kembali menjenguk suaminya. Total sudah empat hari, mereka tidak bertemu.
Kenzi tidak mungkin memaksa Ashila untuk mengikuti keinginannya. Apalagi gadis itu bilang jika tengah menjadi panitia persiapan lokakarya psikoterapi yang diadakan fakultas. Ia pun berinisiatif untuk mampir ke laboratorium. Kebetulan kondisi fisik Kenzi sudah pulih. Ia bisa mengendarai motor kembali.
Kenzi sudah sampai di kampus Ashila. Ia segera menuju ke laboratorium Psikologi yang berada di lantai tiga. Pemuda itu tidak perlu bingung mencari, ada satpam yang siap sedia memberi informasi. Kampus tempat Ashila menuntut ilmu cukup luas. Banyak gedung bertingkat yang di bangun, lebih dari empat.
Kenzi berjalan sembari mengamati sekitar. Ia sebenarnya diminta Pak Arif untuk melanjutkan S2 di sini, sekampus dengan Ashila. Namun, dirinya sudah telanjur ditawari lowongan mengajar di kampus sebelah, tempatnya akan menuntut ilmu juga.
“Wah, sehat semua kayaknya mahasiswa di sini.” Kenzi mulai berkeringat. Jarak dari tempat parkir ke gedung cukup jauh, sekitar lima ratus meter.
Tidak lama kemudian, Kenzi tiba di depan ruangan dengan papan bertuliskan Laboratorium Psikologi. Ia lalu mengambil ponsel, saat akan menghubungi Ashila, ternyata gadis itu baru keluar dari ruangan.
“Shil!” panggil Kenzi dengan semangat. Ia lalu memperlihatkan satu kantong plastik aneka snack yang dibelinya dari Indoapril.
Ashila membeliak kaget. Ia sontak menoleh ke kanan dan kiri. Kemudian, tanpa berucap sepatah katapun, tangannya menarik tanagn Kenzi.
Ashila tidak melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Kenzi. Ia terus berjalan menuju lorong yang berada di ujung dekat kamar mandi. Ia panik mendapati Kenzi berada di kampusnya.
Kenzi malah senyum-senyum saat Ashila menarik tangannya. Ia terus menatap wajah gadis itu dari samping. Raut muka yang sedang cemberut, malah menambah pesona Ashila di mata Kenzi.
Sesampainya di lorong, Ashila melepas genggamannya dengan kasar. Napasnya sudah terengah antara emosi dan jalan cepat tadi.
“Kamu ngapain di sini?!”
Beruntung, teman-teman, karyawan, dan juga dosen Ashila sedang sibuk di dalam. Hanya ada beberapa mahasiswa saja yang menunggu di kursi depan kantor. Ashila menatap Kenzi sembari berkacak pinggang.
“Aku mau ngasih ini aja.” Kenzi menyerahkan kantong tersebut. Namun, Ashila tidak menghiraukan.
“Cepetan pergi dari sini, Ken. Aku nggak mau orang-orang tau.”
“Kenapa? Kita nggak berbuat mesum,” cetus Kenzi mencoba mencairkan suasana. “Kita suami istri.”
“Kenzi!” Ashila bertambah kesal. “Jangan bahas itu di kampusku. Ngerti?!”
Kenzi menggelengkan kepala. Ia lalu berjalan menjauhi Ashila yang tetap berdiri di tempat dengan tatapan penuh amarah. Langkah kaki Kenzi menuju ke laboratorium. Ia tidak berhenti di sana. Malah masuk ke ruangan.
Ashila tersentak. Ia sonta mengepalkan tangan, lalu memekik tertahan. “Bener-bener nih satu orang!”
12
Ashila berlari menuju laboratorium. Saat sudah dekat, ia mendapati Kenzi keluar dengan wajah penuh senyuman.
“Aku balik dulu, Shil. Jangan capek-capek kerja.”
Ashila melongo. Ia menatap bergantian ke arah ruangan dan Kenzi yang sudah berlalu. Kakinya terasa berat untuk mengejar Kenzi. Ia takut jika laki-laki itu sudah membongkar rahasia pernikahan mereka ke tempat kerjanya.
“Shil!” panggil Dinar, senior Ashila.
Ashila menarik napas panjang. Detak jantungnya bekerja lebih cepat. Ia pun melangkah masuk dengan malas.
“Kamu dapat paketan, tuh.” Dinar menujuk kantong yang dibawa Kenzi.
“Ayo dibuka, Shil!”
“Lagi butuh asupan energi, nih!”
Suara-suara di kantor membuat suasana menjadi riuh. Ashila tersenyum sembari meraih bingkisan yang berisi camilan ringan tersebut. Ia lalu mengeluarkan isinya dan mempersilakan semua orang untuk menikmatinya. Ashila masih khawatir, jika Kenzi berbicara yang tidak-tidak. Ia ingin bertanya, tetapi bingung memulai.
“Shil, tetanggamu baik bener, ya. Sering-sering aja kirimin kita makanan,” ujar Dinar yang disambut persetujuan dari teman-temannya.
“Te-tetangga?”
“Iya, dia tadi bilang kalau tetanggamu di rumah.”
“Oh, gitu.” Ashila tersenyum canggung. Ia lalu menghela napas penuh kelegaan. Tenryata Kenzi mau mengikuti permainan yang dibuatnya. Namun, Ashila masih kesal menapati kemunculan pemuda itu di kampus.
***
Sejak pertemuan di kampus, hampir satu minggu lamanya, Kenzi dan Ashila tidak lagi berjumpa bahkan berkomunikasi. Tidak ada pesan maupun telepon yang masuk di ponsel keduanya. Ashila mulai merasa bersalah. Ia mengakui jika sikapnya kemarin itu terlalu berlebihan pada Kenzi, padahal niatan pemuda itu baik, ingin membawakan camilan. Namun, sekali lagi keegoisan pada dirinya lebih besar. Ashila hanya tidak ingin teman-temannya mengetahui status pernikahannya dengan tetangganya tersebut.
Ashila yang sedang bersantai di kamar, dikejutkan oleh dering ponsel.
“Asalammualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Suara Bu Rohman terdengar parau. “Mbak, cepat siap-siap. Habis ini dijemput kenzi.”
“Loh, Mama nangis?”
“Nanti dijelasin Kenzi. Jangan lupa pakai jaket tebal. Asalamualaikum.”
“Wa … alaikumsalam.”
Ashila menatap ponsel. Ia mulai khawatir dengan kondisi sang ibu. Ia kembali menghubungi Bu Rohman, tetapi panggilannya tidak tersambung.
“Ada apa ini? Kenapa perasaanku nggak enak?” Ashila memegang dadanya. Ia tengah menyandarkan punggung di dinding.
Pintu kamar terbuka. Mona yang baru tiba dari kampus muncul. “Dicari suami di depan.”
Ashila langsung bergerak. Ia berjalan cepat menuju teras.
“Tumben nggak ngomel-ngomel denger kata suami,” gumam Mona sembari menatap punggung Ashila.
“Ken, Mama kenapa?” Ashila sudah berdiri di depan Kenzi.
“Mama baik-baik aja. Ayo siap-siap, Shil.”
“Terus kenapa kita harus pulang?”
“Nanti aku kasih tau di jalan.”
“Aku jadi mikir macam-macam, nih.” Suara Ashila terdengar ingin menangis. “Kasih tau sekarang.
“Iya, kalau udah jalan.”
Ashila menatap lekat Kenzi. Ia lalu berbalik arah. Gadis dengan kaus dan celana pendek itu segera menuju kamar untuk berganti baju. Setelah itu, Ashila mematikan lampu kamar dan mengunci pintu.
“Mon, aku pulang dulu, ya.”
“Loh, kenapa, Shil?”
Ashila mengangkat bahu. “Doakan semua baik-baik aja.”
“Pasti. Kabari kalau udah sampai di rumah.”
Ashila manggut-manggut. Ia segera menghampiri Kenzi. Tidak lama kemudian, pasangan muda itu sudah duduk di atas motor. Kendaraan roda dua itu pun mulai melaju keluar dari gang kos Ashila.
“Ken! Ada apa sebenarnya?” Ashila menagih janji Kenzi.
“Mbah Kung meninggal.”
Ashila membeliak kaget. Ia mungkin salah denger.
“Mbah Kung kenapa?”
Kenzi menarik napas berat. Ia tahu jika istrinya itu jelas mendengar ucapannya tadi. Motor melaju hanya dengan kecepatan sedang.
“Mbah Kung baru saja meninggal dunia, Shil. Kamu yang kuat, ya.”
Ashila sontak menutup mulut. Tangannya mulai gemetar. Berita tersebut sungguh membuat tubuhnya lemas. Air mata pun mulai luruh membasahi pipi.
“Shil, kamu nggak papa, kan?” Kenzi mencoba fokus memperhatikan jalanan. Namun, ia juga khawatir dengan kondisi perempuan yang sedang diboncengnya.
Tidak ada jawaban. Kenzi kembali mengulangi ucapannya. “Apa kita berhenti dulu?”
“Nggak, cepat pulang ke rumah aja. Aku mau lihat Mbah Kung.”
Kenzi manggut-manggut. Ia juga sedang berduka. Akan tetapi, mendengar suara Ashila yang terisak membuatnya bertambah sedih. Istrinya pasti kehilangan sosok kakek yang sangat dicintai itu.
“Ken,” panggil Ashila.
“Kenapa, Shil?”
“Aku … aku boleh pinjam punggung bentar, nggak?”
Kenzi menganggukkan kepala dengan cepat. Tidak lama kemudian, ia merasakan punggungnya disentuh. Darah dalam tubuhnya terasa mengalir dengan cepat. Hatinya bergetar. Kenzi kembali tersentak saat kedua tangan Ashila mengelilingi pinggangnya. Senyum penuh arti terbit dari bibir pemuda berjaket tebal tersebut.
Posisi Ashila tidak berubah meskipun menempuh dua jam perjalanan. Pikirannya tengah mengulang memori antara dirinya dan Mbah Kung. Begitu memasuki jalan kampung, sudah terlihat kerumunan orang di depan rumah, tidak lupa bendera putih dan hitam.
Ashila langsung berlari masuk ke rumah begitu motor berhenti. Ia memeluk Mbah Uti dengan erat. Gadis itu tergugu mendapati sang kakek sudah berada di dalam keranda. Semua sudah siap, tinggal disolatkan lalu diantar ke pemakaman.
Kenzi bertindak sebagai imam salat jenazah. Ia juga ikut mengantar Mbah Kung ke peristirahatan terakhirnya yang terletak tidak jauh dari rumah.
Sementara itu, di rumah suasana duka begitu terasa menyelimuti. Mbah Uti terlihat tegar, begitu juga dengan Pak Rohman dan saudara-saudaranya, kecuali Tante Elma. Putri bungsu Mbah Kung itu masih menangis pilu di kamarnya. Ashila hanya duduk di ruang depan, menemani Mbah Uti dan ibunya menerima pelayat.
***
Selepas maghrib, di rumah Mbah Kung diadakan pembacaan doa. Banyak saudara yang datang membantu begitu juga dengan masyarakat yang ikut bergabung mengirim doa.
“Shil, udah makan?” Bu Arif menghampiri Ashila yang sedang termenung di kursi dekat meja makan.
Ashila hanya tersenyum. Tidak mengangguk ataupun menggelengkan kepala. Bagaimana ingat makan dalam kondisi seperti ini? Nafsu makan saja rasanya sedang menguap.
“Ayo makan dulu. Ibu ambilkan, ya?”
“Nggak, nggak usah, Bu. Aku nggak lapar.”
“Harus makan, Shil. Tadi perjalanan jauh. Nanti bisa sakit.”
“Masih belum lapar, Bu.” Ashila tidak berbohong. Ia memang tidak ingin makan. Perutnya tiba-tiba saja terasa tidak nyaman. Ia ingin beristirahat saja.
“Makan di rumah Ibu saja, ya. Ada cumi hitam kesukaan Shila.” Bu Arif terus memaksa menantunya.
“Kenapa, Bu?” tiba-tiba Kenzi muncul. Ia sedari tadi mengkhawatirkan istrinya. “Udah makan, Shil?”
“Belum. Ajak makan di rumah aja, Nak.” Bu Arif menyuruh putranya membawa Ashila.
Ashila beranjak dari duduknya. Kesedihan masih belum hilang dari wajahnya. Ia lalu berjalan mengekor Kenzi. Sebenarnya, Ashila ingin pulang ke rumah orang tuanya. Namun, mereka sedang sibuk menemui pelayat yang masih datang silih berganti. Ashila pasrah disuruh pulang ke rumah mertua.
“Kamarmu di mana?” tanya Ashila begitu sampai di rumah.
“Di depan. Nggak makan dulu?”
Ashila menggeleng pelan. Ia berjalan pelan menuju kamar. Mulutnya pun berulang kali berserdawa.
“Kamu masuk angin, Shil?”
Ashila mengerjap kaget. “Kok, kamu tahu?”
“Dari tadi kayanya serdawa terus. Aku buatin teh hangat dulu.” Kenzi kemudian berlalu menuju dapur.
Ashila segera merebahkan tubuhnya. Perutnya diisi hanya saat sarapan tadi. Itu pun cuma mi instan. Kini, sensasi kembung itu bertambah menjadi mual. Ashila mulai gelisah dengan kondisi tubuhnya.
Kenzi muncul dengan segelas teh panas di atas nampan. “Minum dulu, Shil.”
Ashila bangkit dari tidurnya. Kondisi perutnay benar-benar tidak nyaman. Rasanya dirinya ingin muntah. Namun, ia berusaha untuk menahannya.
Kenzi terkejut dengan ekspersi ingin muntah Ashila. “Mau muntah? Dikasih teh dulu coba.”
Ashila meneguk minuman manis tersebut. “Punya obat buat masuk angin nggak?”
“Bentar, aku mintakan Ibu dulu.”
Kenzi bergegas keluar kamar. Ia khawatir dengan kondisi Ashila. Laki-laki yang mengenakan sarung dan baju koko itu menghampiri Bu Arif di rumah seberang.
“Bu, punya obat masuk angin, nggak?” bisik Kenzi dekat telinga ibunya yang sedang menyiapkan makanan.
“Siapa masuk angin?”
“Ashila, kayak mual gitu perutnya.”
“Mual?” Bu Arif menautkan kedua alis. Beliau lalu tersenyum bahagia mendengar menantunya mual-mual. Pernikahan Kenzi dan Ashila sudah berumur hampir satu bulan.
Kenzi menautkan kedua alis mata. “Kok, Ibu malah seneng menantunya sakit?”
Bu Arif hanya menjawab dengan kekehan kecil. Ia lalu meminta Kenzi kembali ke kamar. Beliau akan menyusul setelah mengambilakan obat.
13
“Mana obatnya?”
Ashila sudah tidak tahan dengan mual yang menyerang. Ia sudah bersiap dengan kantong plastik di dekatnya.
“Lagi dicarikan sama Ibu.”
Kenzi memandangi wajah Ashila yang sedikit pucat. Baru kali ini ia melihat istrinya itu jatuh sakit.
“Mau aku pijitin?” tawar Kenzi hati-hati. Ashila mendongakkan wajah. Matanya menatap tajam Kenzi.
“Maksudnya, kalau masuk angin biasanya aku dipijit langsung enakan badannya.” Kenzi menggaruk leher belakang yang tidak gatal.
“Nggak usah repot-repot. Nanti aku diapa-apain lagi.” Ashila bergidik ngeri.
“Emang kenapa kalau diapa-apain?” Kenzi malah semangat menggoda Ashila. Matanya sebelah kiri bahkan berkedip.
“Dasar mesum!”
Suasana di kamar dengan nuansa biru dongker itu mulai riuh. Ashila melempar bantal ke arah Kenzi yang tertawa. Namun, pemuda itu berhasil menghindar.
“Astagfirullah!” Suara pekikan terdengar dari arah pintu.
Bantal jatuh di lantai, tepat di depan kaki Bu Arif yang sedang membawa segelas air minum. Gelas di atas nampan itu sempat bergoyang. Beruntung, Bu Arif bisa mengatur keseimbangan.
Kenzi bergerak mengambil bantal. Sementara itu, Ashila tersenyum canggung. Ia takut jika ibu mertuanya itu mendengar pekikannya untuk Kenzi tadi.
“Seru banget kayaknya, nih.” Bu Arif berjalan mendekat ke tempat Ashila. “Mual banget, ya?”
Ashila menggelengkan kepala pelan. “Sudah lumayan berkuran abis minum teh tadi, Lek, eh, Bu.” Ashila memukul mulutnya yang masih kerap salah sebut. Kadang kalau ingat memanggil Ibu, kalau nggak sadar Bulek.
“Mana obatnya, Bu?” tanya Kenzi. Ia sedari tadi mengamati nampan yang dipegang Bu Arif. Tidak terlihat obat herbal cair andalan masuk angin tersebut.
“Jangan minum obat dulu. Ini udah ibu buatin jahe hangat. Bahaya kalau udah minum obat, ternyata bukan masuk angin.”
Ashila terkesiap. “Maksudnya bahaya ternyata sakit apa gitu ya, Bu?”
“Kamu punya maag, Shil?” tanya Kenzi khawatir. Ashila menggelengkan kepalanya.
“Bukan itu maksud ibu. Mungkin Ashila udah ngisi.” Bu Arif tersenyum bahagia seraya menatap menantunya. Beliau lalu menyerahkan gelas kepada Ashila.
“Ngisi?” tanya Ashila dan Kenzi bersamaan.
Bu Arif manggut-manggut. “Itu loh, ngisi maksudnya hamil.”
Ashila dan Kenzi membulatkan mata. Mereka saling berpandangan. Sepertinya, Bu Arif salah paham dengan kondisi sang menantu.
“Aku lagi datang bulan, Bu,” ungkap Ashila sembari memperlihatkan deretan giginya. Ia lalu menyesap minumannya.
“Aduh, ibu mikirnya udah kejauhan, ya.” Bu Arif tertawa kecil. Ada setitik rasa kecewa mendengar Ashila tengah menstruasi.
Kenzi menyadari perubahan ekspresi pada wajah ibunya. “Doakan terus ya, Bu. Semoga cucu Ibu bisa segera hadir di antara kita. Iya, kan, Shil?”
“Uhuk, uhuk.” Ashila tersedak saat mendengar perkataan Kenzi. Tenggorokannya terasa panas. Ia pun batuk-batuk sampai berkeringat. Rasa mual pun seolah lenyap.
***
Keadaan sudah kembali tenang seusai keriuhan yang terjadi di kamar tadi. Bu Arif sudah kembali ke rumah depan. Begitu juga dengan Kenzi yang ikut membantu di sana. Ashila sudah membaik. Namun, ia tidak bisa tidur. Ia pun beranjak menuju lemari buku yang ada di kamar. Koleksi bacaan Kenzi cukup banyak. Dari buku tentang teknologi, agama, hingga novel fiksi.
“Kutu buku juga anak ini.”
Ashila mulai memindai judul-judul buku tersebut. Tiba-tiba tatapannya berhenti di buku bersampul hitam agak tebal. Judulnya cukup membuat Ashila penasaran. ‘The Secret’. Kata-kata tersebut ditulis dengan tipe-X.
“Bukan novel kayaknya ini.” Ashila mengambil buku tersebut dari barisan. Ia mulai membukanya. “Wah, buku harian. Rajin bener itu anak. Masih sempet-sempetnya nulis diary.”
Ashila membaca dari halaman depan. Ia beberapa kali terkikik. Rupanya, Kenzi menulis di buku tersebut sejak masuk pesantren. Pemuda itu mencurahkan isi hati yang tidak betah di pondok saat baru masuk.
Tangan Ashila terus membuka lembar demi lembar. Namun, rupanya Kenzi tidak setiap hari menorehkan tinta tentang kisah hidupnya. Hanya peristiwa yang ingin dikenang saja.
“Dia pernah pacaran nggak, sih?” Ashila mulai ingin tahu. Ia selama ini tidak pernah mendengar Kenzi punya pacar. “Sapa tau diem-diem pacaran.”
Ashila terus membalik lembar demi lembar. Jemarinya terhenti di halaman yang hanya berisi beberapa baris kalimat. Ashila membaca tanggal yang tertera. Lima tahun yang lalu, saat Kenzi baru menjadi mahasiswa.
Rel.Dia baik. Dia cerdas. Dia Cantik. Tapi tidak ditakdirkan bersama.
Ashila mengernyit. Ia merasa kata-kata ini seperti ungkapan patah hati atau kasih tak sampai.
“Rel? Cinta tak bersambut?”
Ashila semakin penasaran. Ia menjadi ingin tahu tentang masa lalu suaminya. Gadis itu terus membuka lembaran kertas yang sudah tidak bersih lagi. Halaman kosong pun tetap diperhatikan, hingga jari-jarinya berhenti membuka di tiga halaman sebelum cover belakang.
Ridho Allah, ridho orang tua. Siap menikah!
Pintu terbuka bersamaan dengan mata Ashila membaca tanda seru di tulisan Kenzi. Gadis itu dengan panik segera menutup buku lalu mengembalikannya ke rak.
“Baca apa, Shil?”
Ashila geleng-geleng kepala. “Lihat-lihat judul aja.”
“Mau ada yang dibawa ke kos? Ambil aja.”
“Oh, enggak.”
Ashila segera merebahkan tubuhnya. Ia menutupi tubuh hingga leher dengan selimut. Posisi Ashila menghadap dinding, memunggungi Kenzi. Pikirannya mulai menerka-nerka.
Rel? Apaan, ya? Ih, ngapain aku ngurusi diary tetangga. Ashila pun memejamkan matanya.
Sementara itu, Kenzi menatap rak buku miliknya. Ia terkesiap, mendapati buku harian miliknya menyembul di antara barisan. Kenzi menatap Ashila yang sudah tidur.
Ashila baca nggak, ya?
Kenzi segera mengambil buku tersebut. Ia tidak ingin menimbulkan masalah dalam rumah tangga yang baru dibangun. Tangannya mulai membalik halaman dengan cepat. Tepat di halaman yang ada kata Rel, aktivitas jemarinya berhenti. Kenzi langsung merobek lembar tersebut. Ia segera keluar dari kamar.
Ashila menoleh ke belakang begitu mendengar pintu kamar ditutup dari luar. Ia menatap buku yang tadi dibacanya tergeletak di atas meja. Ashila bangkit untuk melihat halaman yang disobek Kenzi.
“Rel, itu pasti yang Rel tadi.”
Ashila tidak ingin memikirkannya. Namun, semakin dicoba, ia malah ingin tahu lebih banyak.
“Aarggh! Diary nyebelin!” Ashila menutup wajahnya dengan selimut.
***
Ashila dan Kenzi hanya beberapa hari saja di rumah. Mereka tidak bisa menunggu hingga hari ketujuh. Kenzi akan mulai masuk mengajar, sementara Ashila tidak bisa libur lama dari part time. Hari ini, mereka akan kembali ke Malang.
Kenzi yang sedang duduk santai di tepi ranjang, memperhatikan Ashila yang sedang memakai kerudung segitiga. Gadis itu memakai celana kain berwarna cokelat muda yang tidak terlalu ketat. Kenzi bersyukur, istrinya itu tidak memiliki celana yang press body. Ia risih melihat perempuan memakai bawahan yang membentuk lekuk kaki. Melihatnya saja sudah tidak nyaman, apalagi memakainya.
Ashila menyadari tatapan Kenzi. “Ngapain lihat-lihat?”
“Nggak ada jaket lain?”
“Jaketku di kos semua.”
Kenzi beranjak dari posisinya. Ia membuka lemari pakaian, lalu mengambil hoodie berwarna hitam miliknya.
“Pakai ini,” titah Kenzi.
Kening Ashila berkerut. “Aku udah pakai jaket. Nggak lihat?”
“Pakai dua jaket.” Kenzi terus menyodorkan baju hangat miliknya.
“Nggak mau, panas nanti.”
Perintah Kenzi tidak dituruti Ashila. Hal itu membuatnya menjadi geregetan. Tanpa mendapat persetujuan dari Ashila, ia langsung memasukka hoodie tersebut ke bagian kepala.
“Ken! Aduh pemaksaan ini,” ucap Ashila ketus. Ia berusaha melepaskan hoodie yang sudah terpasang di leher. Namun, tangan Kenzi terus menahannya.
Kenzi menunduk. Wajahnya didekatkan ke wajah Ashila. Hal itu membuat gadis di hadapannya terkesiap.
“Kamu mau masuk angin lagi?”
Ashila menggeleng pelan. Apa yang dilakukan Kenzi akhirnya bisa dipahaminya. Namun, tatapan Kenzi membuatnya salah tingkah.
“Mau aku pakein?”
Ashila menjawab dengan gelengan kepala. “Aku bisa sendiri.”
“Sip. Aku tunggu di depan.” Kenzi lalu mengusap lembut pucuk kepala Ashila.
Ashila kembali terkejut dengan perlakuan Kenzi. Mulutnya yang biasanya ngegas di hadapan suaminya, seolah terkunci. Sekejap kemudian, ia berdecak kesal.
“Gara-gara sekamar lagi ini. Kapan jadi cerainya?”
14
Ashila sudah siap. Ia lalu menyusul Kenzi ke depan. Langkahnya terhenti saat berada di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan depan. Ashila terdiam menatap suaminya. Laki-laki dengan kemeja lengan panjang berwarna marun yang lengannya digulung sampai bawah siku itu sedang duduk di sofa sembari memainkan ponsel. Ashila menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri dengan cepat.
“Mataku kenapa, sih?”
Ashila bergumam seraya mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia merasa aneh karena melihat Kenzi seperti tidak biasanya. Tetangga yang menjengkelkan itu terlihat memesona saat ini.
“Udah siap?”
Pertanyaan Kenzi menyadarkan Ashila. Ia menjawab dengan anggukan kepala, lalu melangkah keluar. Mereka akan ke rumah Mbah Kung dulu untuk berpamitan. Orang tua Kenzi dan Ashila masih berada di sana.
“Ayo sarapan dulu,” titah Bu Rohman.
Kenzi dan Ashila pergi ke dapur. Mereka mulai menikmati sarapan. Posisi mereka saling duduk berhadapan di meja makan. Pagi hari, di rumah yang cukup besar itu belum ramai. Siang hari, saudara dan tetangga yang membantu tahlilan baru datang.
“Makan yang banyak,” cetus Kenzi yang sudah menyelesaikan sarapannya. Ia beranjak untuk menaruh piring di tempat cuci.
Ashila menarik satu sudut bibirnya ke atas. Ia tidak biasa makan banyak saat sarapan.
“Coba ajarin sarapan yang bener, Ken. Dari kecil susah banget kalau disuruh sarapan banyak. Mesti ngomel-ngomel dulu mama.” Bu Rohman sedang mengupas kentang. Beliau mendengar ucapan menantunya tadi.
Ashila tidak menghiraukan ucapan mamanya. Ia sibuk makan sembari tangan kirinya asik berselancar di Instagram.
“Iya, Ma.” Kenzi berjalan ke arah magic jar. Ia menyendok nasi yang tidak terlalu banyak, kemudian berjalan ke arah Ashila. “Harus dihabiskan.”
Ashila membeliak kaget. Ia tinggal menyelesaikan satu suapan lagi.
“Apa, sih? Rese banget, deh.”
“Mau masuk angin lagi?” Kenzi kembali mengingatkan.
“Tapi aku udah kenyang. Kamu aja yang habisin.” Ashila menjauhkan piring dari hadapannya.
Kenzi yang berdiri di dekat Ashila, menundukkan kepala. Ia lalu berbisik di dekat telinga istrinya. “Kalau nggak dimakan, mau aku yang nyuapin di depan Mama?”
Ashila menoleh kaget. Ia mendengkus kesal. “Aku makan sendiri aja!”
Kenzi tersenyum puas. Ancamannya tidak diragukan lagi. “Anak pintar.”
“Ish!” Ashila menjauhkan tangan Kenzi yang mengusap kepalanya.
Bu Rohman yang diam-diam mengamati anak dan menantunya itu berusaha menahan senyuman. Ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan melihat anak gadisnya sekarang sudah bersuami. Menjalani bahtera rumah tangga bersama laki-laki yang dipilihnya bersama Pak Rohman. Orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anak-anaknya. Termasuk masalah jodoh.
Tidak lama kemudian, Ashila dan Kenzi mulai berpamitan. Pak Rohman dan Pak Arif sedang duduk santai di ruang depan.
“Uti mana?” tanya Ashila.
“Di kamar sama Ibu,” jawab Pak Arif.
Kenzi dan Ashila segera menuju kamar Mbah Uti. Beliau sedang ada di kamar ditemani Bu Arif. Ashila mengecup tangan neneknya, lalu beralih ke kedua pipi.
“Sehat selalu ya, Uti. Makan yang banyak.”
Mbah Uti manggut-manggut. “Yang rukun sama Kenzi, Nduk. Udah cukup musuhannya pas kecil.”
“Siap, Uti.” Kenzi kemudian menyalami Mbah Uti.
“Nduk, sini bentar.” Mbah Uti menyuruh Ashila kembali mendekat. Tangannya lalu menyentuh perut Ashila. “Sebentar lagi ada cicitku di sini. Jaga kesehatan, makan yang banyak.”
Ashila tercengang mendengar perkataan Mbah Uti. Begitu juga dengan Kenzi. Pemuda itu mengaminkan dalam hati, sedangkan Ashila seperti membeku.
“Aamiin,” ucap Bu Arif cukup kencang. “Doa Mbah Uti semoga cepat terkabul.”
Ashila bingung mau menjawab. Ia rasanya ingin mengamuk mendengar doa tersebut. Namun, tidak mungkin dilakukan jika di hadapan nenek dan ibu mertuanya. Ia pun buru-buru berpamitan lalu keluar dari kamar.
“Cepetan, Ken!” Ashila sudah berada di dekat motor.
“Iya, bentar. Kenapa kok, buru-buru?”
“Rasanya aku bakal malas pulang.” Ashila berkacak pinggang.
“Kok bisa?” tanya Kenzi sembari memasang helm di kepalanya.
Ashila melirik ke arah pintu rumah. Ia lalu berbicara pelan, nyaris berbisik. “Kamu nggak inget doa Uti tadi?”
Kenzi menautkan alisnya. Tentu ia sangat mengingatnya. “Anak?”
Ashila mengangguk. “Bakal dibahas terus sama Uti biasanya tuh kalau pingin sesuatu.”
“Ya udah dikabulin aja,” ucap Kenzi santai. Ia lalu naik ke motornya.
“Sembarangan kalau ngomong.” Ashila memukulkan helm yang dipegangnya ke kepala Kenzi.
“Aduh!” Kenzi mengaduh cukup keras, bukan karena sakit tapi kaget.
“Loh! Loh!” teriakan Pak Rohman terdengar dari dalam rumah. Memang, dua anak muda itu berdiri di depan pintu yang dapat dilihat dari dalam. Beliau lalu beranjak mendekat. “Udah nikah kok masih musuhan gini.”
Ashila terkesiap. Ia segera naik ke atas motor. “Lagi bercanda, Pa. Ayo berangkat, Ken.”
“Berangkat dulu, Pa. Asalammualikum.” Kenzi mulai melajukan motor.
Ashila memberi jarak di atas motor. Tangannya pun bersedekap. Ia masih kesal dengan pembahasan tentang hamil dan anak.
Kenzi menatap sang istri dari kaca spion sebelah kanan. Bibir manyun Ashila membuat gadis itu terlihat menggemaskan. Ia paham jika tema hamil sangat dibenci Ashila. Keinginann istrinya itu cuma satu, bercerai. Tiba-tiba terlintas ide jail di pikiran Kenzi.
“Shil!”
Tidak ada sahutan dari belakang. Kenzi kembali mengulangi. “Shil!”
“Apa?!”
“Pegangan ya, aku mau ngebut!”
Ashila melengos. Ia tidak menghiraukan peringatan Kenzi. Gadis itu lalu bergumam lirih. “Ngebut aja sana.”
Kenzi menarik stang. Ia mulai menambah kecepatan. Jalanan yang dilalui lumayan sepi. Pemuda dengan helm full face itu mulai merasakan jaketnya dipegang. Kenzi kembali melirik ke spion, wajah Ashila tampak tegang. Ia pun menurunkan kecepatan.
“Jangan ngebut ngebut! Kalau nabrak gimana?!”
Ashila mulai mengomel. Laju kendaraan pun sudah santai, tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari jaket Kenzi. Nyali Ashila memang ciut dalam berkendara di jalan raya. Sepajang dua jam perjalanan, tidak ada obrolan di antar mereka. Ashila sedang melakukan gerakan tutup mulut. Kekesalannya pada Kenzi semakin berlipat.
Motor berhenti di depan kos. Ashila turun tanpa menyapa Kenzi. Ia segera masuk ke halaman kos.
“Shil!” panggil Kenzi.
Ashila menoleh. Ia menatap dengan pandangan ketus.
“Nanti makan malam di luar, yuk?”
Ashila mencebik. Namun, sejenak kemudian ia mengangguk. Nanti malam dirinya harus mengakhiri pernikahan mendadak ini.
Ashila langsung masuk ke rumah. Ia tidak langsung menuju kamarnya, tetapi ke kamar Mona. Sahabatnya itu sedang mencabut rambut ketiak sebelah kiri dengan pinset. Ashila langsung merebahkan tubuh di atas kasur. Punggungnya terasa pegal. Berbeda saat berangkat kemarin. Ia menyandarkan kepala di punggung Kenzi. Sementara tadi, ia harus tetap membuat punggungnya dalam posisi tegak.
“Hoodie baru?” tanya Mona. Ia memang jeli dengan barang-barang yang menjadi milik Ashila.
Ashila memandang hoodie yang dikenakannya. “Bukan, punya Kenzi.”
“Cie … udah mulai tukeran baju aja ini pasutri baru.”
Bantal melayang ke wajah Mona. “Aishhh! Kejepit ini kulitku, Shil!”
“Pokoknya aku harus segera dicerai.”
“Loh, loh, bukannya udah mudik bareng. Kok?”
Mona mendekat ke tempat Ashila. Ia melupakan ketiak yang baru separuh dibersihkan. Drama rumah tangga sahabatnya itu sedang menarik untuk diikuti.
“Males banget aku sekarang disuruh pulang. Bayangin, Mon. Semua orang di sana seolah-olah nungguin aku hamil coba.”
“Waahhh. Aku juga nunggu kamu hamil, Shil.” Mona bertepuk tangan.
“Mona!” pekik Ashila seraya berdiri. “Kamu nggak ada prihatin-prihatinnya sama masalahku. Males, ah!”
Ashila keluar dari kamar Mona. Ia sedang mencari pendukung. Namun, rasanya semua orang yang dikenalnya merestui pernikahannya dengan Kenzi.
Mona terkikik melihat kekesalan Ashila. “Shil, Shil. Belum tau rasanya jatuh cinta, sih.”
***
Selepas salat Isya, Kenzi bersiap menuju kos Ashila. Malam ini akan menjadi makan malam pertama di luar sebagai suami istri. Istilahnya kencan tipis-tipis. Kemeja yang dikenakan saat pulang dari mudik tadi masih dikenakan. Kenzi tahu, istrinya diam-diam menyukai baju berwarna marun itu.
Kenzi membiarkan dua kancing paling atas terbuka. Ia lalu menggulung lengan sampai bawah siku.
“Gini ini, kan, yang kamu suka?” Kenzi bersenandika. Ia lalu mengenakan jaket rompi tanpa lengan berwarna hitam. Tidak lupa, rambut dirapikan. Parfum juga mulai disemprotkan.
Setelah siap semua, Kenzi segera menuju kos Ashila. Tidak perlu menunggu lama, mereka kemudian menuju ke kedai steak di tengah kota. Rupanya di sana sedang ramai.
“Ke soto aja, deh. Keburu lapar aku.” Ashila menunjuk kedai Soto Ayam Lamongan yang terletak di seberang jalan.
“Oke.”
Mereka sampai di kedai soto. Ashila segera memesan dua porsi soto ayam dan dua teh manis hangat.
“Punyaku porsi biasa apa jumbo?” tanya Kenzi.
“Biasa.”
“Yah, aku maunya yang Jumbo.”
Ashila menoleh ke tempat penjual. “Telat, makanan kita udah datang.”
Kenzi memasang wajah manyun. “Aku lapar banget. Tadi siang nggak makan.”
“Siapa suruh nggak beli makan.” Ashila bersikap cuek.
Soto pesanan mereka pun datang. Aroma kaldu ayam menyapa indera penciuman mereka.
“Mas, nambah satu mangkuk, ya,” ujar Kenzi pada penjual yang mengantarkan makanan.
Ashila mengerjapkan matanya. Ia mentap Kenzi heran. “Beneran kelaparan?”
Kenzi manggut-manggut. Tangannya sedang sibuk meracik kecap dan sambal di atas nasi berkuah tersebut.
“Kasian, kan. Padahal punya istri, tapi kok kelaparan.”
Ashila yang sudah bersiap memasukkan suapan, kembali menurunkan sendok. Ia sebenarnya ingin berbicara serius setelah makan. Namun, rupanya Kenzi sudah mengawalinya.
“Jadinya kapan kita akhiri pernikahan ini, Ken?”
15
Kenzi terpaku mendapati pertanyaan Ashila. Perempuan di hadapannya itu tidak pantang menyerah untuk bisa mendengar kata cerai terlontar dari bibirnya.
“Kamu tahu, Shil? Ijab kabul itu perjanjian berat. Bukan hanya saya terima nikahnya. Sa–"
"Ya aku udah tahu. Makanya aku nggak mau kamu nanggung perjanjian itu. Aku udah baik loh ini." Ashila memotong ucapan Kenzi.
"Bentar, aku selesaikan dulu ucapanku."
"Oke, oke." Ashila menggerakkan tangan, mempersilakan Kenzi berbicara.
Kenzi menghela napas pendek. "Saat kalimat ijab udah terucap, Arsy atau singgasana Allah itu berguncang karena beratnya perjanjian yang aku ucapkan di depan Allah dengan disaksikan malaikat. Bukan hanya di depan Papa atau orang-orang yang melihat.”
Ashila manggut-manggut. Ia sudah menduga jika Kenzi akan membahas tentang ijab lagi.
“Cerai diperbolehkan oleh agama.”
“Benar, memang diperbolehkan. Tapi, apa kamu tahu penjelasan selanjutnya?”
“Apa?”
“Perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah talak atau cerai.”
Ashila menyandarkan punggungnya di kursi. Nafsu makannya seolah lenyap. Obrolan yang dimulainya, sepertinya akan berbuntut panjang. Kenzi yang lebih paham agama darinya, tentu akan menceramahinya habis-habisan.
“Kalau mau bahas masalah ini, jangan di tempat umum. Apalagi sambil makan. Nanti saja di rumah.”
Ashila menatap Kenzi. Laki-laki itu masih terlihat tenang. Nada bicaranya pun tidak terdengar terintimidasi. Ashila lalu menegakkan punggung.
“Di rumah? Bisa dijamin langsung ada penyelesaian malam ini?”
Kenzi yang sedang mengunyah makanan menganggukkan kepala. Setelah menelannya, baru ia bersuara. “Insya Allah. Malam ini kita selesaikan. Sekarang makan dulu.”
Ashila kembali menikmati makanannya. Sesekali, matanya melirik ke arah pemuda pemilik senyum manis itu. Ia masih menerka cara berpikir Kenzi. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat terbebani dengan keinginan yang dilontarkannya. Kenzi malah terlihat sangat lahap menikmati soto. Bahkan, sekarang sudah mangkuk kedua.
Habis berapa kilo beras sebulan kalau sekali makan kayak gini?
“Makanku emang banyak, Shil. Tapi aku nggak pemilih. Dikasih tempe goreng sama sambal aja udah lahap. Kamu bisa bikin sambal nggak?” Kenzi paham arti tatapan Ashila.
“Bisalah. Bikin sambal aja masa nggak bisa?” Ashila menjentikkan jari kelingkingnya.
“Kata Mama, kamu itu nggak pernah masak kalau di rumah. Masak telur ceplok aja gosong.” Kenzi mulai menggoda Ashila. Suasana harus segera dicairkan kembali.
“Fitnah, tuh. Jangan ngarang, deh.”
Ashila tidak terima jika dianggap tidak bisa memasak. Seperti sebuah penghinaan sebagai perempuan meskipun kenyataannya memang dirinya jarang ke dapur.
“Lihat tanganmu," pinta Kenzi.
"Buat apa?"
"Katanya kalau mau lihat perempuan pintar masak itu dari jari-jarinya. Sini tanganmu." Kenzi mengulurkan tangannya.
"Teori macam apa itu,” ucap Ashila sembari fokus dengan makanannya.
"Takut ketahuan nggak bisa masak, ya?" tuduh Kenzi sembari menahan senyuman. Ia paling suka membuat Ashila kesal.
Mata Ashila membulat sempurna. Ia merasa ditantang oleh Kenzi. “Mau buktinya?”
“Loh, ya iya. Fakta tanpa bukti itu hoax.”
“Oke. Siapa takut?” Ashila menggebrak meja. “Malam ini aku sambelin.”
Kenzi mengangkat telunjuk tangan kanan, lalu menggerakkannya ke kanan dan kiri. “Nggak lihat dua mangkuk, nih? Besok aja pas sarapan.”
“Oke!” tegas Ashila.
“Sip, udah deal nggak boleh dibatalin.”
Kenzi menyeringai jail. Ia lalu beranjak dari duduknya menuju meja kasir untuk membayar. Menghadapi Ashila tidak bisa dengan paksaan, harus bisa bermain kalem dan cerdas.
Kening Ashila berkerut. Ia merasa ada yang aneh tetapi tidak tahu itu apa. Ashila menoleh cepat ke arah Kenzi. Sikap santai pemuda itu memang mencurigakan.
Mereka pun meninggalkan kedai. Tujuan selanjutnya adalah rumah.
“Harus di rumah, ya?” Ashila mendekap helm miliknya. Ia ragu jika harus ke rumah Kenzi malam-malam lagi.
“Mau di kos? Nggak papa didengerin temen-temenmu?” Kenzi sudah duduk di atas motor.
Ashila menggelengkan kepala dengan cepat. Musibah jika harus membicarakan pernikahan dan perceraian di tempat umum sekalipun di kosnya. Mau tidak mau, Ashila pun ikut ke rumah.
Tidak lama kemudian mereka tiba di sana.
“Ayo, cepat selesaikan,” kata Ashila saat baru masuk.
“Duduk dulu, Shil. Santai, santai.”
Ashila memasang wajah manyun. Ia lalu duduk di karpet. Ruang tamu belum memiliki meja dan kursi. Kenzi memilih karpet meskipun Pak Arif sudah ingin membelikan.
“Oke. Kita lanjut dari mana?” Kenzi duduk bersila, berhadapan dengan Ashila.
“Langsung aja bilang gini, saya ceraikan kamu Ashila Faranisa. Itu aja. Ayo ucapkan.” Ashila tidak mau basa basi. Ia ingin menyelesaikan secepatnya.
Kenzi mengusap keningnya. Ia harus tetap tenang meskipun kesabarannya tengah diuji oleh sang istri.
“Begini, Shil. Ada alasan-alasan yang diperbolehkan untuk istri mengajukan cerai ke suaminya. Nggak bisa ujug-ujug kayak kamu gini.”
“Loh, Ken. Kita nikahnya ini kan mendadak, terpaksa.”
“Terpaksa? Aku nggak terpaksa sama sekali, kok. Bentar, aku lanjutin dulu.”
Wajah Ashila memanas. Ia sudah dikuasai emosi. Tangannya pun sudah mengepal.
“Satu,” lanjut Kenzi. “Suami tidak mampu memenuhi kebutuhan istri. Oke, dalam hal ini memang aku belum melakukannya. Tapi aku bukan lepas tanggung jawab. Kondisinya memang belum memungkinkan. Kita hidup terpisah dan komunikasi juga tidak lancar.”
“Nggak usah. Aku bisa memenuhi kebutuhanku sendiri,” sahut Ashila ketus.
“Dua, suami merendahkan istri. Apalagi sampai KDRT, menganiaya istri lahir batin. Itu suami durhaka. Aku gimana?”
Ashila terdiam. Kenzi jauh dari ciri seperti itu.
“Lanjut tiga. Suami pergi dari rumah lebih dari enam bulan apa dua tahun gitu. Aku lupa tepatnya. Dan, kita aja baru nikah sebulan. Bener, kan?”
Ashila mendengkus kesal. “Empat?”
“Suami divonis mengidap penyakit berbahaya yang bisa menularkan ke pasangan. Alhamdulillah aku sehat wal’afiat.”
Helaan napas panjang terdengar dari bibir Ashila. “Udah?”
“Belum. Lima, dipenjara bertahun-tahu, berzina, judi, dan murtad.”
Ashila memejamkan mata mendengar penjelasan Kenzi. Tidak ada alasa untuk menggugat cerai suaminya. Dadanya mulai terasa sesak. Air mata mulai menggenang di matanya.
Kenzi tersentak melihat Ashila menangis. “Shil.”
“Aku harus gimana, Ken? Aku … aku nggak siap berumah tangga. Fokusku masih ke kuliah dan jadi dosen. Aku nggak mau terikat. Aku masih mau bebas, Ken.”
Kenzi memahami kegelisahan Ashila. Permasalahan tersebut menjadi tanggung jawabnya. Ia harus bisa menemukan solusi, tetapi tentu saja bukan berpisah.
“Itu hanya kekhawatiranmu, Shil. Belum dijalani. Bisa saja ternyata yang kamu takutkan tidak terjadi. Apalagi kita menjalaninya berdua. Akan selalu ada solusi.”
“Kamu bisa menjaminnya?” tantang Ashila.
“Insya Allah.”
Ashila menyandarkan punggung di dinding. Ia lalu memejamkan matanya. Cairan bening masih membasahi pipi yang hanya berpoles pelembab tersebut.
Kenzi menatap sedih ke arah sang istri. Ia ingin sekali merengkuh Ashila ke dalam pelukan. Namun, dirinya tidak mau memperkeruh keadaan.
“Gimana kalau aku tunggu sampai kamu sendiri yang siap untuk kita tinggal bersama?”
Ashila membuka mata. “Maksudnya?”
Kenzi pun menjelaskan, jika dirinya akan bersabar menanti kesiapan Ashila menerima pernikahan ini. Ia tidak akan memaksa istrinya itu untuk tinggal di rumah ini. Kenzi mempersilakan Ashila mewujudkan impian terlebih dahulu.
“Aku juga nggak mau menghancurkan impianmu.”
Ashila terkesiap. Ada setitik penyesalan karena menganggap Kenzi merebut cita-citanya.
“Kalau gitu, kita nggak usah ketemu dan komunikasi dulu.”
“Berapa lama itu?” tanya Kenzi butuh kepastian. Ia tidak bisa berjauhan dari istrinya. Seminggu tidak jumpa saja sudah galau.
Ashila mengangkat bahunya. “Nggak tahu aku siapnya kapan. Kalau emang selamanya aku nggak siap gimana?”
Kenzi menatap Ashila tanpa kedip. “Aku paksa biar siap.”
“Ish! Emang jahat,” cetus Ashila seraya mencebik.
Kenzi tertawa santai. “Aku yakin pasti aka nada masa di mana kamu siap. Aku bakal sabar nungguin saat itu.”
“Ken, aku jelasin, ya. Biar kamu paham tentang kehidupanku. Sekarang ini aku lagi fokus ngejar wisuda periode depan, tiga bulan lagi. Aku nggak mau sampai lebih dari tiga setengah tahun kuliahnya. Iya, aku perfeksionis. Sebelum kamu bilang kayak gitu, aku udah ngaku duluan. Jadi, aku nggak mau fokusku terbagi dengan urusan lain.”
Kenzi manggut-manggut sembari mengusap dagu. “Tiga bulan, ya. Nggak lama, kok.”
“Sip, janji nggak akan ada komunikasi.”
Kenzi pun pasrah. Ia harus konsisten dengan keputusannya.
“Oke setuju. Hanya satu pintaku, jangan berbicara tentang perceraian lagi.”
Ashila tertegun. Ia tidak menyangka Kenzi akan berbesar hati. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal.
“Tapi, gimana bisa berumah tangga kalau nggak ada cinta? Jujur, aku nggak ada sedikit pun naksir kamu aoalagi cinta. Kamu juga, kan?”
Kenzi membisu. Hanya matanya yang berbicara.
“Heh! Iya, kan?” Ashila butuh ketegasan. Masalah cinta adalah senjata pamungkas untuk bisa mengakhiri pernikahan. Buat apa membangun rumah tangga jika tidak ada rahmah atau cinta di dalamnya?
Kenzi masih menatap lekat Ashila. Bibirnya mulai terbuka.
“Aku … aku mencintaimu, Ashila.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
