
Yang nggak akan kemana cuma cinta sejati.
Jauh, dekat, senang, susah, sederhana ataupun rumit, ujungnya pasti balik lagi.
Seperti cinta Indomie,
Yang akan selalu ada di hati.
“Warung ini pasti pake pesugihan.”
“Hush! Lambemu!”
“Lah, aku cuman---” Kujejalkan krupuk itu ke mulut Nadha supaya dia berhenti mengoceh. Dia sudah buat aku malu di antara pembeli lain yang sedang menikmati Indomie hangat.
“Ini warmindo, nggak perlu pake pesugihan,” sahutku dingin.
“Justin yang bilang gitu, bukan aku. Dia itu penggemar mie, suka ke sini kalo males bikin sendiri.” Nadha mengerutkan dahi memandangi mie gorengnya yang baru datang. “Kita sering ke sini, sebelum putus.”
Aku mengangguk tanpa suara. Secara, aku sendiri adalah penggemar Indomie, tapi tipe penikmat dalam sepi. Cuma merebus Indomie di kala sendirian aja, entah itu subuh ataupun tengah malam. Namun, sore ini adalah kali pertama aku akan menikmati senja berhujan dengan semangkuk Indomie kuah di tengah keramaian Warmindo. Jangan mengharap ditemani cowok romantis, adanya cuma Nadha yang lagi galau gara-gara putus cinta.
Aroma bumbu rempah dan topping bawang gorengnya terhidu olehku dan sukses menerbitkan air liur. Asap tipisnya seolah menggodaku untuk merebut pesanan Nadha. Duh, sialan! Kenapa mie kuah rasa kaldu ayam pesananku belum datang juga?
Lima belas menit yang lalu kami keluar dari kampus dan memutuskan untuk mampir ke warung ini sambil menunggu hujan deras reda. Nadha sering makan di tempat itu, sementara kali ini aku cuma ingin menemaninya makan, berhubung dia baru saja putus cinta. Rasanya nggak tega membiarkannya sendiri setelah bertahun-tahun ia terbiasa ditemani Justin.
Seorang pelayan yang lumayan kece, mendekati meja kami dan membawakan pesananku sambil berkata, “Mie kuah kaldu ayam, pesanan atas nama Kimmy.”
“Makasih.” Wah! Aku terkesima melihat mie kuah kaldu ayam kesukaanku dalam mangkuk hitam mengkilat seperti sajian dalam restoran ramen. Kesederhanaan dalam mangkuk yang pasti lebih mahal dari mangkuk gambar ayam jago punya kang bakso. Cepat-cepat ku setting filter Instagram dari kamera ponsel.
“Ini ou-ri-ji-nel.” Si pelayan cowok itu menyampaikan ucapan dengan penekanan yang terdengar menyebalkan di telinga.
Maksudnya apa coba? Senyumku pun sirna. Si pelayan menyajikannya dengan wajah sinis. Aku pun meralat dalam hati, ternyata dia nggak sekece itu. Jelas ia menyampaikan kode celaan karena memesan tanpa topping tambahan. Huh, dasar mata duitan!
“Mas Indra, aku tambah chicken nugget satu porsi, ya?” celetuk Nadha.
“Siap!”
Tuh, 'kan! Kalo pembelinya royal aja sikapnya langsung ramah.
Nadha mengganyang habis mie gorengnya sementara aku masih berlama-lama mengaduk mangkukku untuk mengurangi panasnya. Beberapa orang bilang semua mie sama saja, kalau lapar pasti juga enak. Tapi ada satu hal yang nggak akan sama, rasa kuah kaldu ayam Indomie yang nggak akan bisa terganti kapan pun juga. Menurutku, suapan pertama selalu terasa seperti cinta pertama. Terasa ringan di lidah dan kelezatannya membekas di sana, membuatku ingin lagi dan lagi.
“Aku jadi inget Justin gara-gara kamu makan mie kuah.” Celetukan sendu Nadha membuyarkan kenikmatanku. Matanya berkaca-kaca dalam senyum pahit saat aku sedang membuat suara riuh dari menghisap mie panas. Oh, Tuhan tidak bisakah kau biarkan aku menikmati Indomie-ku sampai habis?
“Jadi inget gimana?” tanyaku bingung sambil menyeruput sesendok kuahnya yang gurih. Bergelung sesaat di rongga mulut dan berakhir mengalir hangat melewati kerongkonganku. Seperti terkena euphoria sesaat, aku nggak lagi mendengar ucapan Nadha.
“Kamu tau, ‘kan? Aku tuh, sukanya mie goreng, tapi Justin selalu bikin mie kuah seblak yang rasanya enak nggak ngotak. Beuh! Dia kalo masak mie kayak chef gitu. Tau gak? Dia selalu pake sawi pokchoy. Tau pokchoy?”
“Hm, iya,” jawabku sambil menyimak Nadha yang bercerita dengan antusias.
“Dia masukin tuh sayur, ditambahin irisan cabe, dan terakhir telur yang di ceplok di atas kuah yang lagi mendidih. Tanpa diaduk, jadi kuning telurnya masih utuh setengah matang di dalam kuah.” Nadha tersenyum tipis dengan pandangan menerawang. “Dia cute abis kalo pake apron. Sambil bawa mie kuah andalannya dia bilang, “Nad, cobain, deh. Ini enak” Trus pas aku makan itu mie, rasanya ….” Ceritanya berhenti karena tiba-tiba suara Nadha bergetar menahan air mata. “Aah, aku jadi pengen nangis,” lanjutnya setengah terisak dan senyum sedih.
“Rasanya gimana?”
“Antara kuah, mie dan kuning telur yang meleleh di mulut rasanya …, seperti jatuh cinta.” Bulir-bulir air mata berjatuhan dan Nadha segera mengaduk-aduk tasnya untuk mencari tisu. “Nah, lo! aku jadi kangen dia, kan?!” keluhnya dalam deraian air mata.
Nggak sampai hati melihatnya berjuang mengendalikan tangis di tengah-tengah keramaian warung, kuberikan saja tisu makan di atas meja, “Udah pake ini aja, sebelum kamu jadi tontonan.”
Nadha cepat-cepat menyusut air mata dan ingusnya. Setahuku dia adalah cewek yang ceria dan tegar. Sudah sebulan lebih mereka putus dan aku sama sekali belum melihat Nadha meneteskan air mata untuk Justin. Namun kenyataannya dia punya sisi rapuh juga.
“Kamu nggak pernah cerita sebab kalian putus, tapi kalo masalahnya masih bisa dibicarakan baik-baik, kenapa nggak hubungi dia dulu?”
“Aku lagi nunggu itikad baik dari dia, tau!” jawab Nadha.
Aku pun diam dan menunggu tangisannya mereda, lalu mulai bersuara, “Kamu sadar nggak? Mie yang direbus terlalu lama nggak akan terasa nikmat dan nggak bisa diperbaiki dengan topping apa aja. Sama kalo manusia cuman terpaku dengan masalah, nggak bakal nemu solusi kalo nunggu terlalu lama dan akhirnya semua jadi terlambat.”
“Bentar, aku mau mikir,” gumam Nadha dengan nada gusar. “A-aku boleh minta mie kuahnya, nggak?”
Aku bimbang dengan rasa jengkel. Antara nggak tega tapi juga nggak rela. Namun, pada akhirnya kuberikan juga mangkok mie itu dengan hati pasrah.
Nadha menghabiskan mie kepunyaanku tanpa rasa bersalah. Pandangannya menerawang jauh, tenggelam dalam pikirannya sendiri hingga aku nggak punya keberanian untuk protes. Sesaat kemudian, setelah mangkuknya bersih, gadis itu tergesa-gesa berpamitan untuk mendatangi kost-an si Justin.
Yah, hebat sekali! Pada akhirnya, Nadha yang pura-pura tegar jadi luluh saat mengingat betapa ribetnya cara Justin meracik Indomie kuah seblak. Sementara aku, bengong sendiri di tengah keriuhan suasana warmindo dengan perut meronta dan nota makanan yang bakal harus aku bayar. Rasanya sekarang akulah yang ingin menangis!
“Loh, Nadha kemana?” tanya Mas Indra dengan membawa chicken nugget yang tadi dipesan.
“Pergi. Bisa minta totalannya?” Mendadak perutku bergemuruh dengan kencang. Mas Indra menahan senyum mencibir ke arahku yang berjuang menutupi rasa malu dengan ekspresi datar. “Jangan coba-coba ketawa ya, Mas,” ancamku lirih. “Tadi belum sempat makan mie, dah diserobot si Nadha.” Duh, apa perlunya juga aku harus cerita ini ke dia?!
Bukannya menuruti ancamanku, alih-alih cowok itu malah mentertawakannya lalu berkata, “Makan nugget-nya dulu, gih! Aku bikinkan Indomie pake topping komplit. Gratis.”
“Beneran gratis?” tanyaku ragu.
“Gra-tis. Anggap aja permintaan maaf karena pelayanan yang buruk. Tunggu bentar.”
Aku terdiam sesaat, menimbang apakah harus tersinggung saat seorang pelayan menaruh rasa kasihan padaku. Ah, bodo amat! Aku masih lapar! “O--oke, aku mau Indomie kaldu ayam nggak pake tambahan apa-apa.”
“Kenapa? Kan, lebih enak pake topping.” Mas Indra berbalik dengan ekspresi heran.
“Aku suka yang ou-ri-ji-nal. Sederhana, karena menjadi apa adanya seringkali lebih ngangenin.”
“Ternyata kamu anak senja, ya?” Mas Indra---yang sekarang dua kali lipat lebih kece---menelengkan kepala dengan senyum tertahan. Setelah cowok itu berlalu, aku mulai gerah, jangan-jangan ucapanku terdengar seperti flirting-an receh. Pintar sekali kau, Kimmy!
“Eh, bu--bukan, Mas. Aku anak Indomie.”
***
TAMAT
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰