
Part 6
Di Balik Dinding Kastil
Ayleen terbangun pagi itu dengan perasaan cemas yang menyelimuti hatinya. Semalam, kata-kata Declan masih bergema di telinganya. "Kita semua hanya berperan dalam permainan ini." Itu terasa seperti sebuah peringatan, meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Duke Theodore.
Pagi itu, udara di luar kastil terasa lebih dingin dari biasanya. Salju yang turun makin lebat, menciptakan suasana sepi dan sunyi. Ayleen memulai hari seperti biasa, membersihkan kamar-kamar dan mengurus segala urusan kecil yang ditugaskan kepadanya. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari pertemuan semalam.
Dia merasa semakin terperangkap dalam kehidupan kastil yang dipenuhi oleh rahasia dan kebohongan. Declan, dengan segala kejamnya, terus mengendalikan setiap aspek kehidupan di sini, sementara Ayleen hanya bisa mengikuti alurnya. Namun, semakin lama, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekejaman itu—sesuatu yang tersembunyi di balik maskara tebal yang dibangun Declan.
Saat sedang membersihkan ruang makan, salah seorang pelayan senior mendekatinya dengan wajah serius. "Yang Mulia memintamu untuk datang ke ruang kerjanya," katanya dengan nada yang tidak biasa. Ayleen merasa sedikit terkejut. Biasanya, Declan tidak meminta dirinya dengan cara seperti ini, apalagi di pagi hari. Ada sesuatu yang tidak beres.
---
Setelah beberapa saat, Ayleen akhirnya memasuki ruang kerja Declan. Di sana, pria itu duduk di meja kerjanya dengan wajah datar, seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Mata Declan tampak lebih gelap, seolah terperangkap dalam pikirannya sendiri.
“Ayleen,” kata Declan dengan suara rendah. “Kau tahu bahwa pertempuran di desa kemarin bukanlah hal yang kebetulan, bukan?”
Ayleen terkejut. “Apa maksud Yang Mulia?” tanyanya, meskipun hatinya sudah mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
Declan menghela napas dan meletakkan pena yang sedang ia pegang. “Aku tidak pernah benar-benar mempercayai siapa pun. Bahkan mereka yang terlihat loyal sekalipun. Tapi kau, Ayleen... Kau berbeda.”
"Saya berbeda?" Ayleen merasa bingung. Apa yang sebenarnya dimaksud Declan? “Yang Mulia, saya hanya seorang pelayan. Tidak lebih.”
Declan menatapnya dalam-dalam, matanya seolah mencari sesuatu yang tersembunyi di balik penampilannya. “Kau tahu lebih banyak dari yang kau kira. Itu sebabnya aku menugaskanmu untuk pergi ke desa kemarin. Ada lebih banyak yang harus kau ketahui, tapi kau harus siap menghadapi kenyataan yang tak akan pernah kau duga.”
Ayleen merasa ada ketegangan yang meningkat di udara. Suasana ruangan itu menjadi semakin berat. “Yang Mulia, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa saya harus terlibat dalam semua ini?”
Declan tidak segera menjawab. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kastil. “Karena dunia ini penuh dengan rahasia, Ayleen. Dan tak ada seorang pun yang bisa dipercaya. Termasuk aku.”
Ayleen menatapnya dengan tatapan bingung dan curiga. Apa maksudnya dengan itu? Mengapa ia harus terus terlibat dalam permainan berbahaya ini?--
Declan menoleh lagi, wajahnya kali ini penuh dengan keteguhan. “Ada rencana besar yang sedang berjalan, Ayleen. Pemberontakan kemarin hanyalah permulaan. Apa yang terjadi di luar sana, di desa itu, adalah bagian dari strategi yang lebih besar—perang yang sedang menunggu untuk meledak.”
Ayleen merasa jantungnya berhenti sejenak. "Jadi, Anda sudah tahu semua ini akan terjadi?" tanyanya, suaranya bergetar.
Declan hanya mengangguk. “Aku mengatur semuanya. Itu adalah langkah pertama untuk mengambil kendali penuh atas wilayah ini. Dan kau… kau akan menjadi bagian dari itu.”
Ayleen terdiam. Ia merasa bingung, marah, dan bahkan takut. Ia hanya seorang pelayan, tetapi sekarang ia terjebak dalam pertempuran yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.
"Kenapa saya?" Ayleen akhirnya bisa mengucapkan kata-kata itu, suaranya terdengar putus asa. “Kenapa saya yang Anda pilih untuk terlibat dalam semua ini?”
Declan tersenyum tipis, meskipun senyum itu tidak mencapai matanya. “Karena kau memiliki kemampuan untuk melihat lebih dari apa yang terlihat. Kau lebih pintar daripada yang kau pikirkan.”
Ayleen merasa perasaan tidak nyaman semakin menguasai dirinya. "Apakah aku hanya digunakan sebagai alat dalam permainan ini?" pikirnya. Ia semakin yakin bahwa Declan tidak akan pernah memperlakukannya lebih dari sekadar pion dalam strategi besar yang sedang dimainkan.
Part 7
Hari-hari berikutnya berlalu dengan perasaan tertekan. Ayleen merasa semakin terperangkap, baik oleh tugas-tugas yang diberikan oleh Declan maupun oleh perasaan yang terus berkembang terhadapnya. Perasaan itu membingungkan. Ia tahu Declan adalah pria yang kejam, tapi ada saat-saat tertentu di mana ia merasa ada sisi lain dari dirinya yang terlupakan.
Suatu sore, saat Ayleen sedang melaksanakan tugasnya, ia mendengar percakapan antara Declan dan salah satu prajurit senior yang sangat ia percayai. Mereka berbicara tentang langkah-langkah selanjutnya dalam perang yang akan datang, tentang persiapan yang dilakukan, dan tentang siapa saja yang terlibat dalam pertempuran besar ini.
Ayleen merasa hatinya berdebar saat menyadari bahwa ia mungkin lebih terlibat dalam pertempuran ini daripada yang ia kira. Namun, meskipun ia merasa tidak berdaya, ada satu hal yang mulai menumbuhkan tekad dalam dirinya—ia tidak akan biarkan dirinya hanya dijadikan alat untuk tujuan Declan.
Dengan tekad itu, Ayleen mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya. Ia harus mencari cara untuk mengungkap lebih banyak tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mungkin ada peluang untuk mengubah arah permainan ini—meskipun itu berarti ia harus menghadapi bahaya yang lebih besar.
Suatu malam, Ayleen dipanggil lagi ke ruang kerja Declan, tetapi kali ini, ia tahu bahwa ia tidak bisa hanya pasrah mengikuti perintah. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan lebih lama lagi. Ia harus menemukan kebenaran, tidak peduli apa konsekuensinya.
Ketika ia memasuki ruangan, Declan menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia pahami. “Kau terlihat berbeda,” katanya, hampir seperti menyadari sesuatu.
Ayleen mengangguk. “Saya ingin tahu lebih banyak, Yang Mulia. Tentang rencana Anda, tentang perang ini, dan tentang saya.”
Declan hanya tersenyum tipis. “Kau ingin tahu lebih banyak, Ayleen? Maka kau harus siap untuk menghadapi kenyataan yang tak akan pernah bisa kau lupakan.”
***
Ayleen tengah berjalan menuju ruang makan besar kastil, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak pagi, ia disibukkan dengan tugas-tugas yang tidak ada habisnya. Namun, hari ini terasa sedikit berbeda—sesuatu yang aneh terasa di udara. Mungkin karena ia terlalu banyak berpikir tentang percakapan dengan Declan yang kemarin, atau bisa juga karena cuaca yang lebih dingin dari biasanya.
Setelah menuruni beberapa anak tangga, Ayleen melihat seorang pelayan lain yang tampaknya sedang berlari terburu-buru. Pelayan itu menabrak meja, menyebabkan beberapa piring dan gelas terjatuh dengan suara berdebum. Ayleen, yang berada tepat di dekatnya, terkejut dan hampir tersandung.
“Aduh, maaf!” kata pelayan itu, masih panik. Ia cepat-cepat membantu mengumpulkan piring yang pecah.
Ayleen tersenyum lemah. “Tidak apa-apa. Apa yang terjadi?”
Pelayan itu tampak kebingungan, matanya berkedip-kedip. “Saya… Saya sedang berusaha membawa makanan ke ruang kerja Yang Mulia. Tapi, ya… seperti yang bisa Anda lihat, tampaknya saya gagal total.”
Ayleen tertawa ringan. “Jangan khawatir, semua orang pasti pernah mengalaminya.”
Namun, saat ia berbalik untuk melanjutkan langkahnya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berat yang datang mendekat. Dengan kecepatan yang luar biasa, pria tinggi besar itu muncul di ujung koridor—Duke Declan. Tentu saja, matanya yang tajam langsung tertuju pada kekacauan yang terjadi di depan pintu ruang makan.
Part 8
Ayleen bisa melihat ekspresi wajah Declan yang biasa—dingin dan tanpa ekspresi. Tetapi, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ketika matanya menangkap potongan-potongan piring yang berserakan di lantai, ia tidak langsung marah. Sebaliknya, ia terlihat… bingung.
“Ada apa di sini?” suara Declan bergema dengan ketegasan yang biasa.
Pelayan itu segera membungkuk, “Yang Mulia, saya—saya hanya…”
“Jangan khawatir,” potong Ayleen dengan nada ceria, meskipun situasi ini terasa canggung. “Pelayan ini hanya… sedang mencoba menciptakan efek dramatis untuk makanan yang akan Anda nikmati.”
Declan menatapnya dengan bingung, seolah tidak mengerti apa yang baru saja ia dengar. Ayleen pun tersenyum lebar, sedikit terpaksa, mencoba membuat suasana lebih ringan.
Declan mengangkat alisnya. “Efek dramatis?” katanya, tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar.
“Iya,” Ayleen melanjutkan, berusaha mengubah suasana. “Seperti pertunjukan. Piring terjatuh, suara pecahannya keras… dan voila! Hidangan yang akan datang pasti terasa lebih menggugah selera!”
Declan tetap diam, matanya masih tidak berpindah dari Ayleen, yang jelas-jelas berusaha membuatnya tertawa. Tapi kemudian, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ayleen melihat sedikit kerutan di sudut mulut Declan. Itu bukan senyum, tentu saja, tetapi lebih seperti ekspresi yang bisa jadi adalah… kejutan?
“Aku tidak tahu kau bisa berbicara tentang ‘efek dramatis’ dengan begitu tenang,” ujar Declan, suara rendah namun ada sedikit ketertarikan yang tak biasa.
Ayleen merasakan detak jantungnya sedikit meningkat, tapi ia berusaha menjaga penampilannya tetap tenang. “Tentu saja. Saya sudah terbiasa membuat suasana menjadi lebih... hidup.”
Tiba-tiba, tanpa peringatan, pelayan yang tadi panik itu bangkit dan mulai merapikan sisa piring yang jatuh. Namun, di tengah-tengah usaha canggungnya, ia secara tidak sengaja melangkah ke pot bunga yang ada di sebelah meja, menyebabkan pot itu terbalik dan tanahnya tumpah berhamburan. Tanah hitam menciprati sekelilingnya, dan pelayan itu kini berdiri di tengah-tengah kekacauan—makanan tercecer, piring pecah, dan tanah berserakan.
Ayleen tidak bisa menahan tawa. Ia menutup mulut dengan tangan, mencoba menahan diri agar tidak tertawa terlalu keras. Namun, melihat situasi yang semakin kacau ini, ia tidak bisa menahan diri lebih lama. Declan yang semula diam, kini tampak lebih terkejut dengan kekacauan yang semakin besar di depannya.
“Bagaimana bisa… semuanya berakhir seperti ini?” Declan berkata dengan nada datar, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Ayleen berusaha memperbaiki suasana dengan berkata, “Yang Mulia, tidak ada yang sempurna. Kadang-kadang kita hanya perlu menerima kenyataan bahwa hal-hal buruk memang terjadi.” Ia berusaha serius, meskipun tawa hampir tak terbendung di tenggorokannya.
Declan menatap Ayleen dengan wajah yang sulit dibaca, namun ada sedikit kelucuan yang ia sembunyikan. “Aku tidak tahu apakah aku harus marah atau tertawa,” katanya, “Tapi sepertinya ini pertama kalinya aku melihatmu bisa membuat situasi menjadi lebih... ringan.”
Ayleen berhenti tertawa dan menatap Declan dengan sedikit terkejut. Seperti ada sedikit perubahan dalam dirinya, walaupun masih sulit dipahami. Ada secercah humor di matanya, meskipun senyum itu tidak pernah benar-benar keluar. Namun, bagi Ayleen, itu adalah kemajuan—mungkin hanya sedikit, tapi cukup untuk memberinya harapan.
Pelayan yang panik itu akhirnya berhasil membersihkan sebagian besar kekacauan, dan suasana perlahan kembali tenang. Declan melangkah pergi tanpa berkata banyak, tetapi Ayleen bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Mungkin dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi kekacauan yang terjadi, tapi setidaknya dia tidak terlalu marah—dan itu adalah sesuatu yang baru.
Setelah semua selesai, Ayleen berjalan keluar dari ruang makan dengan sedikit senyum. Meskipun hari itu penuh kekacauan dan kecanggungan, ia merasa sedikit lebih ringan. Bahkan di tengah dunia yang penuh intrik dan kekuasaan ini, terkadang hal-hal kecil yang lucu bisa mengubah segalanya—termasuk hatinya yang keras seperti batu itu.