
Ayleen Roosevelt menarik napas dalam-dalam, menatap pintu besar di depannya. Dalam hatinya, ia tahu, begitu ia melangkahkan kakinya ke dalam, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
"Aku tidak punya pilihan," pikirnya,
Part 1
Salju Pertama di Winterfeld
Salju turun lebat di atas kastil Winterfeld, menciptakan pemandangan yang seakan melukiskan dunia dalam dua warna: putih dan hitam. Ayleen Roosevelt menarik napas dalam-dalam, menatap pintu besar di depannya. Dalam hatinya, ia tahu, begitu ia melangkahkan kakinya ke dalam, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
"Aku tidak punya pilihan," pikirnya, menggenggam erat tas kecil yang membawa sisa-sisa hidupnya. Rumahnya telah hancur akibat perang; keluarganya terbunuh, meninggalkan Ayleen tanpa arah. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menerima pekerjaan ini—sebagai pelayan pribadi Duke dari Utara, Declan Theodore.
Pintu kayu besar itu terbuka dengan bunyi berderit pelan. Udara dingin langsung menyergapnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Di balik pintu itu berdiri seorang pria tinggi dengan wajah tegas. Mata biru esnya menatapnya tanpa emosi.
“Ayleen Roosevelt?” tanyanya, suaranya dalam dan penuh wibawa.
Ayleen mengangguk pelan. “Iya, Yang Mulia.”
Pria itu bernama Declan Theodore seorang Duke dari wilayah utara. Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia berbalik, mantelnya yang tebal berkibar di belakangnya, dan mulai berjalan masuk ke dalam kastil. Ayleen hanya bisa mengikutinya, berusaha mengabaikan perasaan takut yang mulai merayap ke dalam hatinya.
Kastil itu megah tapi dingin, seolah mencerminkan kepribadian pria yang memilikinya. Tak ada dekorasi yang menunjukkan sentuhan kelembutan atau kehangatan. Semua serba hitam, putih, dan abu-abu.
"Apakah orang yang tinggal di sini pernah merasakan kebahagiaan?" pikir Ayleen sambil melirik sekeliling.
Ayleen langsung diberi tugas pertamanya—membersihkan kamar Declan. Kamar itu besar dan megah, tapi juga dipenuhi barang-barang yang mencerminkan kehidupannya sebagai prajurit: pedang, baju zirah, dan peta perang.
“Pastikan semuanya bersih sebelum aku kembali,” Declan memerintah tanpa melihat ke arah Ayleen.
Ayleen menunduk. “Baik, Yang Mulia.”
Saat ia mulai membersihkan, pikirannya dipenuhi oleh kebencian. “Dia ini mungkin tampan, tapi hatinya pasti lebih dingin dari salju di luar sana.”
Namun, ketika ia melihat lebih dekat, ia menemukan sebuah buku tua di meja Declan. Buku itu tampak usang, tapi di dalamnya ada tulisan tangan yang terlihat rapi. Ayleen tidak bisa menahan rasa penasaran, tapi sebelum ia sempat membukanya, suara Declan menggema di belakangnya.
“Jangan sentuh itu.”
Ayleen langsung berdiri tegak, wajahnya memerah. Declan menatapnya dengan ekspresi dingin.
“Jika kau melanggar perintahku lagi, kau akan diusir,” katanya singkat sebelum pergi.
Hari-hari berikutnya, Ayleen terus menghadapi tugas berat dari Declan. Tidak peduli seberapa keras ia bekerja, pria itu selalu menemukan kesalahan.
“Pekerjaanmu ini menyedihkan,” Declan berkata suatu hari sambil melemparkan kain pel ke arah Ayleen.
Ayleen merasakan amarahnya memuncak, tapi ia tahu tidak boleh membalas. Dalam hatinya, ia memaki pria itu. “Dia pikir dia siapa? Raja dunia? Hanya karena dia punya kekuasaan, bukan berarti dia bisa memperlakukan semua orang seperti ini.”
Namun, di balik kebenciannya, ada rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Ia sering memergoki Declan menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong, seolah ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kenapa dia begitu dingin?" pikir Ayleen.
Ayleen mulai menyadari bahwa hidup di kastil bukan hanya tentang bekerja, tapi juga bertahan dari tekanan mental yang terus ia alami.
Declan, di sisi lain, mulai terusik oleh keberadaan Ayleen. Meskipun ia tidak mengakuinya,
Part 2: Malam yang Tidak Berakhir
Ayleen duduk di lantai kamarnya, menggosok tangan untuk mengusir dingin yang menyeruak dari dinding-dinding batu. Udara di kastil tidak hanya dingin secara fisik; setiap sudutnya seperti menyimpan rahasia gelap yang membuatnya merasa terperangkap.
Hari pertamanya sebagai pelayan pribadi Declan Theodore telah meninggalkan rasa lelah yang tak tertahankan. Tubuhnya sakit akibat tugas yang diberikan—membersihkan aula besar sendirian tanpa bantuan apa pun.
"Dia tidak melihatku sebagai manusia. Aku hanya alat untuk memenuhi perintahnya," pikir Ayleen, menatap langit-langit yang tinggi.
Namun, meski kebencian itu begitu jelas di hatinya, Ayleen tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul saat melihat Declan lebih dekat. Tatapan dingin pria itu seperti menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu, meskipun ia membencinya.
Tepat saat Ayleen hampir tertidur, sebuah ketukan keras di pintu kamarnya membuatnya tersentak. Seorang pelayan senior berdiri di sana dengan ekspresi tergesa-gesa.
“Duke memanggilmu sekarang,” katanya tanpa basa-basi.
Ayleen mengerutkan alis. “Apa lagi sekarang? Bukankah dia sudah puas menyiksaku seharian ini?”
Namun, ia tahu bahwa menolak perintah Declan bukanlah pilihan. Dengan langkah berat, ia berjalan menyusuri lorong-lorong gelap kastil, menuju ruang pribadi sang Duke.
Ketika ia tiba, Declan sedang duduk di kursi besar di depan perapian. Api di sana memberikan sedikit cahaya hangat, tapi ekspresi Declan tetap dingin seperti biasa.
“Kau lambat,” katanya tanpa menoleh.
“Maaf, Yang Mulia,” jawab Ayleen dengan suara rendah.
Declan berdiri, tubuhnya yang tinggi dan tegap membuat Ayleen merasa kecil di hadapannya. Ia menyerahkan sebuah mantel tebal pada Ayleen.
“Kita akan pergi ke ruang penyimpanan bawah tanah,” katanya singkat.
Ayleen menatapnya dengan bingung. “Sekarang, Yang Mulia?”
“Apakah aku harus mengulangi perintahku?” Declan menatapnya tajam.
Tanpa pilihan lain, Ayleen mengikuti Declan menuju ruang bawah tanah. Tempat itu gelap dan lembap, dengan aroma tanah basah yang menusuk hidung.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu besi besar yang berkarat. Declan mengeluarkan kunci besar dari kantongnya dan membuka pintu itu dengan hati-hati.
Ayleen menahan napas saat melihat isi ruangan tersebut. Rak-rak tinggi berisi senjata, buku-buku tebal, dan peta-peta tua memenuhi tempat itu. Tapi yang paling menarik perhatian adalah sebuah peti besar di tengah ruangan.
“Ambil peti itu,” perintah Declan.
Ayleen menatapnya dengan bingung. “Sendirian, Yang Mulia?”
Declan mengangkat alis. “Apa menurutmu aku yang akan melakukannya?”
Dengan susah payah, Ayleen mencoba mengangkat peti itu. Beratnya hampir tak tertahankan, tapi ia tahu Declan tidak akan menerima alasan apa pun. Setelah beberapa menit berjuang, ia berhasil menggeser peti itu beberapa inci.
Declan memperhatikan dalam diam, ekspresinya tak terbaca. Tapi ada sesuatu dalam matanya—sesuatu yang nyaris seperti rasa kasihan, meskipun hanya sekejap.
Setelah selesai dengan tugas itu, Declan memerintahkan Ayleen kembali ke kamarnya. Namun, sebelum ia pergi, Declan berkata, “Besok, jangan terlambat.”
Ayleen menahan amarahnya. “Apa lagi yang dia inginkan dariku? Bukankah cukup dia membuatku bekerja hingga hampir pingsan?”
Saat ia berjalan kembali ke kamarnya, pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Mengapa Declan menyimpan ruangan seperti itu? Apa yang ada di dalam peti besar itu? Dan mengapa pria itu terlihat begitu muram, bahkan ketika ia sedang memberikan perintah?
Namun, satu hal yang pasti: Declan Theodore adalah pria yang tidak memiliki hati.
"Aku akan membencinya selamanya," pikir Ayleen sebelum tertidur, meski ada sedikit keraguan yang mulai muncul di sudut pikirannya.
---
Part 3: Kehadiran yang Mengusik
Ayleen terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih terasa sakit akibat tugas semalam, dan matanya bengkak karena kurang tidur. Namun, ia tahu bahwa bekerja di bawah perintah Duke Declan Theodore tidak memberikan ruang untuk kelemahan.
Di kamarnya yang kecil dan dingin, Ayleen mencoba mengumpulkan kekuatan. Tugas yang ia lakukan semalam di ruang bawah tanah masih membekas di pikirannya. Peti besar itu, ruangan yang penuh senjata, dan ekspresi Declan yang nyaris tak tersentuh oleh emosi—semuanya membuatnya merasa gelisah.
"Apa yang sebenarnya disembunyikan pria itu?" pikir Ayleen sambil mengenakan celemeknya.
Namun, tak ada waktu untuk mencari jawaban. Sebelum ia sempat beristirahat lebih lama, pelayan senior sudah mengetuk pintunya, mengingatkan bahwa tugas hari ini menantinya.
---
Saat Ayleen melangkah ke aula utama, Declan sudah berada di sana, duduk di kursi megahnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Dua pria berpakaian formal berdiri di depannya, masing-masing membawa dokumen yang tampak penting.
Ayleen berdiri di sudut ruangan, mencoba menghindari perhatian. Tapi sulit untuk mengabaikan percakapan yang berlangsung.
“Kastil Winterfeld membutuhkan lebih banyak tentara,” salah satu pria berkata dengan nada tegas.
Declan, dengan ekspresi dinginnya, menjawab, “Kau tahu aku tidak mempercayai siapa pun kecuali orang-orangku sendiri. Jika aku membutuhkan tambahan, aku akan memutuskan sendiri.”
Pria kedua mencoba membantah, tapi Declan meliriknya tajam, membuatnya bungkam dalam sekejap.
Ayleen menyaksikan dengan hati yang berdebar. Meski ia membenci Declan, ada sesuatu tentang cara pria itu berbicara—penuh keyakinan dan otoritas—yang membuat siapa pun merasa kecil di hadapannya.
Namun, pikirannya segera kembali pada kenyataan. “Dia hanya seorang tiran. Semua ini hanya untuk memperkuat kekuasaannya, tidak lebih.”
Setelah percakapan selesai, Declan memanggilnya. “Ayleen, ikut aku ke perpustakaan.”
Ayleen mengangguk, meskipun hatinya penuh pertanyaan. “Kenapa dia memanggilku kali ini? Apa lagi yang akan dia lakukan?”
--
Perpustakaan di Kastil Winterfeld adalah salah satu tempat paling megah yang pernah Ayleen lihat. Rak-raknya menjulang tinggi, dipenuhi buku-buku tua dengan sampul kulit. Aroma debu dan kertas tua memenuhi udara.
Declan berjalan menuju meja besar di tengah ruangan, di mana sebuah peta besar sudah terbentang. Ia menunjuk ke arah peta itu, tanpa menoleh ke Ayleen.
“Bersihkan ini,” katanya singkat.
Ayleen menghela napas. Tentu saja, dia hanya dipanggil untuk melakukan pekerjaan kasar. Tanpa berkata apa-apa, ia mulai membersihkan meja itu, mengelap debu dengan kain. Namun, matanya tertuju pada peta yang terbentang.
Peta itu menunjukkan wilayah Utara, dengan tanda-tanda merah di beberapa titik. Ayleen tidak bisa menahan rasa penasaran. "Apa ini... rencana perang?" pikirnya.
Declan, yang berdiri di dekat jendela, memperhatikan Ayleen dalam diam. Meski wajahnya tetap tanpa ekspresi, ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Dia terlihat seperti mereka," Declan berpikir, mengenang masa lalu yang selalu menghantui tidurnya.
Namun, ia segera mengusir pikiran itu. “Jangan sentuh apa pun yang bukan milikmu,” katanya tiba-tiba, membuat Ayleen tersentak.
“Maaf, Yang Mulia,” jawab Ayleen pelan, meskipun dalam hatinya ia merasa kesal. Pria ini tidak pernah bicara dengan sopan. Apa dia pikir aku tidak punya harga diri? Batin Ayleen.
---
Setelah selesai membersihkan, Declan memanggilnya lagi. “Ikut aku ke dapur. Ada sesuatu yang perlu kau bawa ke ruang penyimpanan.”
Ayleen mengikuti Declan dengan enggan, merasa semakin lelah dengan sikap pria itu. Namun, ketika mereka sampai di dapur, suasana menjadi lebih tegang.
Seorang pelayan muda secara tidak sengaja menumpahkan sup panas ke lantai. Declan, yang melihat kejadian itu, langsung melangkah maju.
“Apa yang kau lakukan?” suaranya rendah, tapi penuh ancaman.
Pelayan muda itu gemetar, mencoba menjelaskan, tapi Declan sudah kehilangan kesabaran. Ia memberikan perintah agar pelayan itu dihukum dengan bekerja tanpa istirahat selama dua hari penuh.
Ayleen tidak bisa menahan diri lagi. “Yang Mulia, itu hanya kecelakaan. Bukankah hukuman itu terlalu keras?”
Declan berbalik, menatapnya dengan tajam. “Kau pikir kau punya hak untuk mengajariku bagaimana menjalankan kastil ini?”
Ayleen menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah. Namun, dalam hatinya, ia tidak bisa lagi menutupi kebenciannya. “Pria ini benar-benar monster. Dia tidak peduli pada siapa pun kecuali dirinya sendiri.”
Namun, Declan merasa terganggu oleh keberanian Ayleen. Tidak ada yang pernah berani menantangnya seperti itu, apalagi seorang pelayan.
Malam itu, Ayleen duduk di jendela kecil kamarnya, memandangi salju yang turun di luar. Hatinya penuh dengan perasaan campur aduk—kemarahan, kelelahan, dan rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan.
Declan, di sisi lain, duduk di ruang kerjanya, menatap api di perapian. Kata-kata Ayleen tadi terus terngiang di kepalanya.
"Dia berani menantangku... tapi kenapa aku tidak bisa marah seperti biasanya?" pikir Declan, merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
Namun, ia segera menepis pikiran itu. Baginya, Ayleen hanyalah seorang pelayan. Tidak lebih.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
