
BLURB
Katya Diantha pulang ke Indonesia hanya untuk mendapatkan satu kejutan bahwa lelaki yang ia cintai akan segera menikah.
Hatinya patah, namun, ia harus memaksa diri untuk tetap tersenyum ramah dan manis, mengiringi pernikahan lelaki pujaannya.
Namun, siapa sangka, jika kali ini takdir berpihak padanya. Pernikahan lelaki terkasihnya kacau balau.
Alexander Dananjaya akan sangat malu ketika semua orang tahu ia ditinggalkan pengantin perempuan di hari pernikahannya.
Demi menyelamatkan sisa harga diri yang Alex miliki, Katya mengorbankan harga diri.
Mengorbankan harga diri atau mengambil kesempatan sebaik mungkin?
Prolog
Seseorang pernah mengatakan, jangan pernah mengambil langkah untuk mencintai sosok yang mustahil kamu miliki.
Jika kamu baru memulainya, maka akhiri sekarang juga. Karena kamu enggak akan bisa membayangkan gimana rasa sakitnya ketika cinta itu tak akan pernah bisa kamu gapai.
***
Katya Diantha harus berlapang dada dengan satu kenyataan, bahwa, ya, cinta yang ia persembahkan untuk Alexander Dananjaya memang tidak akan pernah bisa terlihat, selayaknya cinta seorang perempuan pada lelakinya.
Sampai kapanpun, Alex akan menatap dirinya sebagai sosok rapuh yang harus Alex lindungi, sebagai keluarganya.
Tidak pernah ada Katya di dalam hati Alex, selain pengakuan bahwa Katya adalah keponakan manis yang menjadi tanggung jawabnya untuk dijaga, selamanya.
Dengan dada yang terasa seperti dihantam batu besar, Katya berusaha amat keras sekadar meloloskan hela napas. Meski pada akhirnya tersendat. Bukan hanya sesak yang dadanya rasakan kali ini, namun juga denyut nyeri dan kesakitan. Seolah meremas hatinya, dan meremukkannya.
Bagaimana ia harus melewati satu hari ini dengan senyuman? Bukankah itu mustahil untuk ia lakukan.
Lalu, haruskah ia memasang wajah berkabung ketika Om terkasihnya melangsungkan pernikahan tepat di hari ini. Dia mungkin akan di cap sebagai sosok enggak tahu diri, yang tidak bisa berbahagia ketika laki-laki yang menjaganya selama ini akhirnya menemukan pasangan yang membuatnya bahagia.
Katya menatap dirinya sendiri di cermin, lalu mencengkeram dada kirinya yang terus saja mendenyutkan kesakitan.
Jika cinta itu menyenangkan, mengapa dadanya seperti tertusuk belati saat melihat Alex tersenyum untuk perempuan lain?
Sakit namun tidak terlihat, tidak berdarah.
Cinta baginya adalah hal terberat yang ia miliki. Dan cinta baginya adalah kesedihan paling nyata.
"Tenang, Katya. Jangan menangis sekarang." Katya berusaha merapalkan mantra untuk menenangkan diri sendiri. "Ada ribuan detik yang akan kamu lewati setelah ini. Kamu bisa sepuasnya menangis dan meratapi."
Benar, setelah hari paling menyakitkan ini, Katya akan mempunyai ribuan hari untuk tenggelam dalam kesedihan.
Pagi ini, entah seberat apa pun kenyataan itu, dia harus berusaha untuk tetap berdiri tegak dan memasang wajah bahagianya yang penuh kepalsuan.
Katya menepuk dua pipinya pelan, mencoba membuat raut kelam yang sedari tadi menghias untuk menghilang tidak berbekas. Dia menarik sudut bibirnya kaku. Menampilkan senyum paling manis di bumi.
Sayangnya, yang ia lihat kemudian di tampilan kaca di depannya itu justru seperti badut. Tidak salah juga, karena pada dasarnya ia memang sedang memainkan perannya untuk tampil sebahagia mungkin, tidak peduli entah seremuk apa hatinya.
Setelah menarik dan mengembuskan napas begitu panjang, Katya mengambil tas tangannya yang tergeletak di tepi wastafel dan keluar toilet.
Jika boleh memilih, Katya pasti lebih suka bersembunyi di bilik toilet, daripada berada di hall hotel yang dihias begitu mewah. Bernuansa warna putih dengan bunga-bunga memenuhi setiap sudut. Dekorasi pernikahan yang luar biasa indah.
Tidak salah Selena dan Alex memilih wedding organizer-nya.
Pintu hall tempat resepsi berlangsung sudah di depan mata, namun, langkah Katya terhenti seketika saat satu kalimat menyapa indera pendengarnya.
"Mempelai perempuannya kabur."
Katya segera menoleh ke asal suara dan menemukan tim penata rias pengantin di sana. Tanpa berpikir banyak ia segera menghampiri dua perempuan itu dan menyapa ramah, menanyakan apa yang sedang terjadi. Melihat ekspresi serius dan juga khawatir dari dua perempuan itu, Katya tahu yang ia dengar sebelumnya mungkin sebuah kebenaran.
"Saya dengar tadi, Mbak Selena kabur?" tanya Katya.
"Iya, Mbak. Tadi Mbak Selena minta sendirian di ruang tunggu, jadi kami keluar. Saat kami masuk, Mbak Selena sudah tidak ada di ruangan, bahkan gaun pengantinnya tergeletak di lantai."
Sesaat, Katya memejamkan mata. Mencoba mencerna apa yang penata rias itu katakan. Beberapa saat lalu, ia yakin Selena masih tersenyum dan memamerkan gaunnya yang indah.
"Alex sudah tahu tentang ini?" tanya Katya lirih. Tiba-tiba saja perasaannya begitu campur aduk. Rasa putus asa karena bayangan kehilangan Alex masih membekas di dada. Dan kini Katya tidak tahu harus menanggapi kaburnya Selena seperti apa. Saat dua perempuan itu mengangguk bersamaan, Katya kembali melanjutkan ucapan.
"Tolong, simpan berita ini untuk kalian berdua saja. Saya akan berusaha mengatasi masalah ini secepat mungkin. Dan akan memberi kabar pada kalian segera."
Setelah memastikan dua perempuan itu menutup mulutnya untuk tidak menyebarkan kabar menghilangnya pengantin perempuan lebih luas lagi, Katya segera beralih menuju ruang tunggu pengantin laki-laki. Setengah berlari.
Tiba di depan ruang tunggu pengantin laki-laki yang tertutup rapat, Katya menemukan Satrio, asisten pribadi Alex yang menunggu di depan pintu dengan wajah yang tampak sangat kalut.
"Om Alex di dalam?" tanya Katya tergesa.
Satrio mengangguk lesu. "Ya, kamu sudah mendengarnya?"
"Baru saja," balas Katya sembari mengatur napas. "Katya akan menemui Om Alex, tolong Mas Satrio handle para tamu, ya. Jangan sampai kabar ini menyebar begitu cepat."
Satrio mengangguk. "Tolong kamu tenangin dia, Kat. Masalah ini pasti mengguncang dia. Dan akan mencoreng wajah Alex karena kegagalan pernikahan ini."
Sebenarnya, tanpa disuruh, sudah pasti Katya akan berusaha menenangkan Alex. Tidak akan ia biarkan lelaki kesayangannya dipermalukan seperti ini.
Dengan gerak pelan, Katya mengungkit gagang pintu, membukanya sedikit dan segera menemukan Alex sedang berdiri menghadap jendela kaca, membelakangi pintu. Dengan ponsel menempel di telinga.
Belum sempat Katya membuka suara untuk meminta izin masuk ruangan. Katya lebih dulu dibuat terkejut karena gelegar amarah keluar dari bibir Alex.
"Berengsek!"
Teriakan Alex menggema, dibarengi dengan ponsel yang dibanting ke lantai. Membuat benda itu hancur berkeping.
Katya menelan ludah kasar. Ini kali pertama ia melihat Alex tampak semarah itu. Membuat nyalinya menciut seketika.
Dengan gerak pelan, mencoba menarik sedikit atensi Alex, Katya mengetuk pintu. "Boleh Katya masuk, Om?" tanyanya lirih, bersamaan dengan Alex yang menoleh ke arahnya.
"Kemarilah."
Satu kata singkat yang keluar dari bibir Alex, mengantarkan Katya untuk menganyun langkah mendekati lelaki itu.
Alex kesayangannya yang pagi ini sangat tampan dalam balutan tuksedo hitam, harus memasang wajah kalut penuh kekecewaan dan amarah.
Entah, Katya harus bahagia mendapati Selena kabur, karena itu membuat pernikahan ini gagal. Atau harus bersedih karena melihat Alex yang kecewa.
"Selena kabur," ucap Alex, menyambut kedatangan Katya. Lelaki itu duduk dengan lengan bertumpu dan jemari memijit pelipis.
"Katya tahu." Katya mengangguk pelan. Berdiri begitu dekat dengan Alex, dan siap memeluk lelaki itu kapan saja.
"Dia hanya ninggalin sepucuk surat. Bilang kalau dia enggak siap menikah dan enggak cinta sama aku lagi."
Suara lirih teramat sendu yang keluar dari bibir Alex berhasil mengiris hati Katya. Memecah tangis yang sedari tadi perempuan itu simpan baik-baik.
"Om harus bagaimana, Katya?"
Saat tanya itu terlontar, dan wajah Alex mendongak menatap tepat ke manik mata Katya, tiba-tiba saja satu pemikiran konyol melintas di kepala.
Katya sadar, ini jelas bukan waktu yang tepat.
Bagaimana mungkin ia memanfaatkan kesedihan Alex untuk kesenangannya sendiri.
Namun, sisi iblis di dalam dirinya justru tertawa bahagia. Berbisik bahwa sudah saatnya ia merebut Alex dan menjadikan lelaki itu satu-satunya miliknya.
Dengan tangis berderai, Katya menjatuhkan tubuh, berlutut tepat di depan Alex. Tatapannya tak pernah lepas sedikit pun dari bola mata paling indah yang berhasil membiusnya sedari dulu. Bola mata itu kini tampak berselaput bening.
Katya sangat membenci kesedihan di mata Alex.
Katya menarik napas dalam-dalam, dengan jemari yang begitu gemetar ia menggenggam jemari tangan Alex yang besar, dan melisankan satu kalimat paling berani.
"Menikahlah dengan Katya. Katya siap menjadi pengantin perempuan untuk Om Alex."
***
1. Akad nikah
Katya yakin ia tengah bermimpi sekarang ini. Ketika melihat Alexander Dananjaya menjabat tangan wali hakim dan menyebut namanya, mengucap kalimat ijab kabul dengan suara lantang dalam satu tarikan napas dan nada yang terlalu merdu. Salah satu suara yang menggetarkan hingga ke dadanya.
Ketika kata 'sah' menggema di hall hotel pagi ini, setetes bulir air mata lolos dari sudut mata Katya. Ada banyak perasaan yang menyesaki dadanya, namun yang pasti ia merasa sangat bahagia.
Setelah bacaan do'a selesai, Katya menoleh ke arah Alex yang mengulas senyum tipis dan mengulurkan tangan padanya. Katya menyambut jabatan tangan lelaki itu dengan sedikit gemetar lalu mengecupnya.
Hal berikutnya yang Alex lakukan adalah mengecup keningnya, begitu lama. Membuat setetes bulir air mata lainnya lolos dari sudut mata Katya, merasakan keharuan itu meluap dari dadanya.
Lalu, ingatan tentang beberapa saat sebelum acara akad ini berlangsung, membayang di benaknya.
"Katya, ini bukan waktunya bercanda!" bentak Alex dengan suara cukup keras setelah mendengar ajakan menikah dari Katya. Perempuan muda itu mengatakan jika ia akan menjadi pengantin pengganti. Lelucon macam apa lagi, ini.
Katya bertahan memandang Alex, tidak tergoyahkan, meski jelas, ia merasakan sedikit sengatan tidak nyaman di dadanya saat Alex membentaknya barusan. "Katya enggak bercanda, Om," ucapnya penuh keyakinan.
"Kamu sadar apa yang kamu katakan?" tanya Alex, memandang sosok perempuan muda yang berlutut di hadapannya dengan berbagai macam perasaan.
Dia baru saja mendapat kabar jika calon istrinya melarikan diri, beberapa saat sebelum akad nikah mereka berlangsung. Dan sekarang, ia mendapati keponakan manis yang selalu ia jaga sepenuh hati menawarkan diri untuk menikah dengannya.
Apakah ada yang lebih lelucon dari ini?
Tidak, sepertinya. Hanya Alex yang mengalami.
Katya menarik napas panjang dan menghelanya begitu pelan. Dia tahu, memang respon seperti ini yang akan Alex berikan. Justru akan sangat mengherankan jika lelaki itu langsung menyetujui penawarannya menjadi pengantin pengganti. "Katya hanya berusaha memberi solusi untuk kekacauan pagi ini."
"Itu bukan solusi, justru memperkeruh keadaan." Alex menimpali. Penawaran dari Katya sangat tidak masuk akal untuknya.
"Ini hanya pernikahan kontrak, pernikahan bisnis pada umumnya, Om." Katya tidak ingin kalah, dia memang harus segila ini karena berani mengambil langkah awal untuk melamar Alex.
Di dalam kepalanya, jika bisa menjadi istri Alex meski hanya untuk satu hari, maka Katya akan melakukannya, bagaimana pun caranya. Dan ketika kesempatan itu terbentang begitu lebar di hadapannya, ia berusaha tidak melewatkannya sedikit pun.
Anggap ia memang gila.
Sejak ia tahu ia jatuh cinta pada Om-nya sendiri, sejak itu, ia memang sudah kehilangan kewarasannya.
Alex membuang tatapannya ke samping. "Keluar sekarang, Katya. Enggak ada gunanya kamu bicara." Mendengar semua ucapan melantur Katya, hanya menambah pening di kepalanya semakin menyebar. Menyiksanya.
Katya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak akan beranjak sedikit pun sebelum Alex benar-benar menerima lamarannya. Kesempatan dan keberanian yang ia miliki kali ini mungkin tidak akan pernah ia dapatkan lagi di kemudian hari.
Dan kalau pada akhirnya Alex sungguhan menolak dirinya, maka cinta untuk lelaki itu memang tidak bisa diselamatkan lagi.
"Om Alex, tolong dengarkan Katya dulu. Katya melakukannya bukan hanya ingin membantu Om Alex, tapi juga untuk perusahaan."
"Perusahaan?" tanya Alex dengan kening mengernyit.
Merasa mendapat atensi, dada Katya mengembang bangga, dia memang harus menggunakan kata-kata untuk membuat Alex terprovokasi.
Ya ampun, dia pasti terlihat begitu licik.
Katya menegakkan tubuhnya untuk duduk di samping kursi yang Alex duduki. Dia menarik napas panjang sebelum memulai aksinya memerangkap Alexander Dananjaya untuk jatuh ke pelukannya. Semoga kedua orang tuanya di surga enggak akan kecewa padanya karena melakukan hal ini pada Alex.
"Perusahaan pasti akan terkena dampaknya jika Om Alex gagal menikah," ucap Katya dengan keyakinan di atas rata-rata. "Besok pasti kegagalan pernikahan Om Alex akan jadi headline di portal berita, dan karena berita tidak menyenangkan itu, perusahaan akan jadi bahan pembicaraan. Belum lagi jika masyarakat membicarakan si pengantin perempuan yang kabur, mereka enggak akan serta merta menyalahkan pengantin perempuan, melain Om Alex. Mereka akan menuding Om Alex sebagai pria yang buruk sehingga patut ditinggalkan."
Kali ini Katya membenarkan pujian teman-temannya yang mengagumi public speaking dan kehebatannya memainkan kata-kata. Karena ia tengah melakukannya di depan Alex.
"Berita itu akan sangat berimbas pada perusahaan, terlebih kita akan ekspansi produk ke luar negeri. Enggak menutup kemungkinan jika kompetitor perusahaan kita memanfaatkan kegagalan kita sekarang."
Membawa perusahaan dalam pembicaraan, Katya sangat meyakini jika usahanya ini akan berhasil. Alex enggak akan membiarkan perusahaan furnitur di bawah pimpinannya akan jatuh dan merugi.
"Katya enggak ingin perusahaan yang Papa rintis dari bawah harus terimbas karena masalah seperti ini."
Oh, Papa, Katya minta maaf karena menyeret Papa dalam masalah ini. Papa tahu bukan, hanya Om Alex satu-satunya yang Katya miliki setelah Papa pergi.
Katya menggumamkan permintaan maafnya begitu tulus pada sang ayah di langit.
Seolah memang tidak ingin membuat Alex berpikir matang-matang, Katya kembali bersuara, "Ini pernikahan bisnis. Anggap, Katya sebagai pemilik perusahaan sedang memperjuangkan kelangsungan hidup perusahaan. Dan Om Alex sebagai pimpinan tertinggi menjadi tonggak untuk memutuskan, membiarkan perusahaan hancur atau enggak."
Katya tahu, dia memang cukup keterlaluaan.
Simpan semua caci maki itu, sampai Katya mengakhiri usahanya mendapat persetujuan dari Alex.
Alex menggeleng lemah. "Enggak semudah itu, Katya."
Satu senjata terakhir memang harus Katya keluarkan. "Om, pernikahan kita nanti hanya akan berlangsung selama enam bulan. Setelahnya, kita bisa menjalani hari-hari seperti biasa. Om mengurus perusahaan, dan aku akan kembali ke Jerman."
Untuk satu kalimat panjang yang Katya suarakan, Alex terdiam beberapa saat. Tampak menimbang usulan itu dengan matang.
"Jika Om Alex mempermasalahkan respon orang-orang tentang pengantin perempuan yang berganti, harusnya Om lebih dari sadar kalau pengantin perempuan yang kabur itu enggak pernah dipublikasikan. Hubungan kalian tertutup rapat hingga hari ini."
Selama ini, Katya pun tidak mengetahui hubungan Alex dengan Selena. Maka dari itu, ketika ia tiba di Indonesia dan mendapat kabar pernikahan Alex, ia sangat terkejut. Saat ia bertanya pada Satrio, asisten Alex, Katya baru mengetahui jika hubungan Alex dan Selena memang disembunyikan. Hanya kabar pernikahan mereka saja yang santer dibicarakan namun tidak dengan identitas si pengantin perempuan. Selena sangat menutup diri dengan media.
"Om setuju, bukan? Ini adalah kerjasama bisnis demi menyelamatkan nama baik Om dan perusahaan."
Katya berkedip pelan ketika Alex melepaskan kecupannya di kening. Ketika kehangatan dan kelembutan bibir Alex tidak lagi terasa di keningnya, Katya merasa begitu kehilangan, meski debar di dadanya tak kunjung mengurai.
"Kamu enggak boleh menangis," bisik lirih dari Alex dan sentuh lembut jemari lelaki itu di pipi Katya, menghapus cairan bening di sana, membuat Katya merasa semakin terharu. Dia masih tidak menyangka jika sekarang ini ia telah menyandang status sebagai istri Alex.
Alex selalu menyayanginya hingga sekarang, tidak berkurang sedikit pun, meski saat ini lelaki itu terjebak dalam pernikahan kontrak dengannya.
"Pengantin perempuan harus tersenyum, Katya," kata Alex lagi masih dengan bisik lirihnya,
Menuruti ucapan Alex, Katya mengulas senyuman samar, dan mengangguk. Dia mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali untuk kemudian mempertemukan tatapannya dengan bola mata Alex yang kini berselaput bening. Entah keharuan karena bahagia atau kesedihan.
Namun satu yang pasti, Katya harus tersenyum sepanjang hari ini karena inilah mimpinya.
Menjadi pengantin seorang Alexander Dananjaya.
2. Awal yang buruk
Suara tamparan yang terayun keras menggema di ruang tunggu pengantin laki-laki. Alex merasakan pipi kirinya seperti tersengat, menjalarkan panas. Bahkan ia cukup yakin jika sudut bibirnya robek karena hantaman keras itu.
"Kamu gila, Alex!" seru Fardi, lelaki berusia kepala lima yang masih tampak gagah meski sebagian helai rambutnya memutih.
"Bapak, aku bisa jelaskan," lirih Alex, seraya menatap sang ayah yang masih diliputi amarah.
Fardi mengedikkan dagunya, menantang. "Jelaskan yang seperti apa? Kamu bilang ingin menyelesaikan masalahmu pagi ini. Tapi apa, kamu malah membuat masalah lain."
Alex menghela napas begitu berat. Dia diseret oleh sang ayah untuk bicara secara pribadi setelah akad nikahnya dengan Katya usai. Dan di sinilah Fardi memilih tempat agar tidak ada yang bisa mencampuri urusan mereka.
Di ruangan itu tidak hanya diisi Alex dan Fardi saja, melainkan ada Kurnia, ibunda Alex yang sedari tadi sudah mengarahkan tatapan penuh kekecewaan padanya, tidak ada lagi tatapan hangat penuh kasih sayang yang tertinggal di bola mata cokelat kehitaman itu. Malahan, Alex menemukan jika bola mata itu kini berselaput bening, siap untuk tumpah kapan saja.
Alex sadar dia telah mengecewakan kedua orang tuanya. Karena keputusan amat gegabah yang ia ambil pagi ini.
"Kamu diberi mandat oleh Sena untuk menjaga Katya, bukan menikahinya." Fardi kembali berucap masih dengan nada lantang penuh kemarahan. "Bapak dan Ibu sangat kecewa padamu Alex. Bagaimana bisa kamu mengorbankan Katya hanya untuk menyelamatkan nama baikmu sendiri."
Alex tertunduk lesu, menerima dengan hati lapang semua amarah yang orang tuanya luapkan. Dia memang cukup pantas untuk mendapatkan semua kemarahan. Karena pikiran pendek yang entah datang dari mana, hingga dia begitu berani melangsungkan akad nikah dengan Katya.
Dan, ya, seperti yang ayahnya katakan, dia seharusnya menjaga Katya, bukan memanfaatkan perempuan itu untuk kepentingannya sendiri.
Demi apa pun, ia telah merawat dan mengasihi Katya sejak remaja, seperti saudarinya sendiri. Namun, ketika perempuan itu dewasa, dengan sembrononya, Alex malah mengikatnya dalam sebuah pernikahan penuh kepalsuan. Hanya untuk kepentingannya sendiri.
Seperti yang ayahnya katakan, pernikahan ini memang hanya untuk menyelamatkan nama baiknya. Katya tidak mendapat keuntungan apa pun dalam kesepakatan yang dia buat pagi ini.
"Ada banyak cara lain bagimu untuk menyelesaikan masalah yang perempuan itu lakukan. Bapak benar-benar enggak habis pikir, kenapa kamu bisa seberani ini?" Fardi membuang napasnya kasar, sekali lagi. Lalu mengiringinya dengan kepala menggeleng pelan. "Kalau sudah seperti ini apa yang harus kita lakukan?"
Satu tanya itu berdenging di kepala Alex. Benar, apa yang akan ia dan Katya lakukan setelah ini?
Pada akhirnya, yang bisa Alex lakukan pagi ini untuk bisa meredam semua amarah orang tuanya, dan agar tidak membuat kegaduhan lebih banyak lagi, Alex mengakui kesalahan.
"Aku memang bersalah."
Tapi, Fardi tidak ingin menyudahi amarahnya dengan cepat. "Kalau kamu sadar kamu bersalah, lalu kenapa kamu melanjutkan rencana bodoh itu?"
Alex berkedip pelan, entah sudah berapa kali ia menghela napas hanya untuk sedikit mengurai sesak di dadanya, meski tetap saja, ada yang mengganjal di dadanya. "Aku minta maaf, Bapak, Ibu," lirih Alex.
Bagaimana pun ia cukup sadar, mengemukakan alasan dan pembelaan apa pun untuk dirinya sendiri sekarang, tidak akan cukup berguna. Bagi Ayah dan Ibunya, ia tetaplah salah. Meski, ya, Alex tidak memungkiri itu. Dia memang bersalah.
"Bukan pada Bapak dan Ibu seharusnya kamu meminta maaf, tapi pada Katya," sahut Kurnia, dengan suaranya yang rendah dan dalam. Tampak sangat berusaha untuk tidak terbawa emosi dan meluapkannya pada sang putera seperti yang suaminya lakukan.
Belum juga Alex memberi balasan, Fardi sudah menyambar. "Minta maaf saja tidak cukup. Setelah ini kamu harus segera mengurus perceraianmu dengan Katya."
Bola mata Alex membulat sempurna, begitu juga dengan Kurnia. Keduanya tampak sangat terkejut dengan apa yang baru saja Fardi suarakan.
"Bapak--"
"Kenapa?" Fardi kembali menyambar, memotong ucapan Alex di detik itu. "Kamu tidak ingin menceraikan Katya?"
"Bukan seperti itu," balas Alex. Dia melirik Ibunya untuk beberapa saat, sebelum kembali membalas tatapan sang ayah. Dia tentu tidak berpikir, pernikahannya dengan Katya adalah hubungan yang serius. Dia memang sudah berniat membicarakannya dengan Katya. Tapi, apakah harus hari ini juga, di mana ia dan Katya baru saja melangsungkan akad.
"Perceraian kalian harus dilakukan diam-diam. Jangan biarkan orang luar mengetahui kekacauan pernikahanmu. Agar pengorbanan Katya tidak sia-sia," ucap Fardi begitu mantap. "Dan satu yang pasti, selama proses perceraian itu, kalian tidak boleh tinggal bersama."
Alex berkedip pelan. "Maksudnya?" Pikirannya terasa kosong detik itu. Dari mana Ayahnya mendapatkan begitu banyak jawaban untuk pernikahannya dengan Katya di waktu yang singkat ini.
"Kamu dan Katya yang tidak tinggal di satu rumah adalah solusi yang paling tepat, Alex. Bagaimana pun, saat ini kalian sudah menikah. Entah didasari apa pernikahan itu, tetap saja, kamu, dan kita semua tidak ingin ada hal-hal tidak terduga yang terjadi di antara kalian," kali ini Kurnia angkat bicara, menyetujui pendapat sang suami.
Alex baru saja membuka bibir, ingin mengemukakan pendapatnya, namun terinterupsi suara benda terjatuh dari depan pintu terdengar. Serempak, ketiga orang di ruangan itu menoleh ke arah pintu dan baru mereka sadari jika daun pintu di sana tidak menutup sempurna.
Dengan cepat, Alex bangkit dari duduknya. Karena sudah jelas ada yang tengah menguping pembicaraan antara dirinya dan kedua orang tuanya. Akan jadi masalah lain jika pembicaraan panas tadi tersebar keluar.
Namun, sedetik saat ia mencapai ambang pintu dan melirik sisi kanannya, ia tertegun di sana. Menemukan Katya yang tertunduk dengan dua tangannya yang lunglai. Ponsel perempuan itu tergeletak di lantai.
"Katya," panggil Alex lirih, dengan suara tercekat.
"Aku--- aku--"
Suara Katya yang terbata membuat Alex segera mendekati perempuan itu, dan berdiri tepat di depannya.
Jemari tangannya terulur untuk menggamit dagu Katya membuatnya mendongak karena wajah perempuan itu bertahan tertunduk.
Ketika akhirnya tatapannya bersinggungan dengan bola mata Katya yang berselaput bening, Alex merasakan satu sengatan nyeri di dadanya.
Sudah segila apa dia, hingga menjadikan gadis yang ia jaga dengan baik selama hidupnya harus terluka seperti ini, karena dirinya.
***
Katya tahu, segalanya tidak akan berjalan baik seperti yang dia harapkan. Perasaannya tidak akan pernah mendapat balasan setimpal. Dan kebahagiaan yang ia dapatkan pagi ini tidak akan berlangsung selamanya.
Tapi, apakah harus secepat ini sirna?
Haruskah sedikit kebahagiaan yang ia miliki menguap hanya hitungan menit saja.
Tidak bisakah bertahan sedikit lebih lama.
Atau setidaknya genap satu hari ini. Hanya satu hari. Dia tidak masalah.
Katya bertahan memaku kakinya di samping pintu, berhadapan dengan Alex yang kini menatapnya begitu menelisik. Dia tidak akan menyembunyikan seberapa kecewanya dia pagi ini, pada lelaki dewasa yang menatapnya begitu teduh.
"Katya, kenapa kamu di sini?"
Jemari tangan yang kokoh dan besar yang mengapit dagu Katya terasa seperti ujung jarum tajam yang siap melukainya, bukan malah melindunginya.
Namun, sudah tahu seperti itu, Katya tetap bertahan, membiarkan rasa sakit itu semakin menguasainya. Membiarkan sayatan luka di dadanya kian menganga. Dia mengabaikan segala kepedihan itu.
Setelah berkedip, menyingkirkan selaput bening di bola matanya, Katya menarik sudut bibirnya membentuk seulas senyum manis. Dia tidak akan terbata seperti sebelumnya. "Alex," sebutnya lirih.
Katya akan melupakan semua hal yang sempat didengarnya tadi. Dia hanya akan menunjukkan kebahagiaannya di depan Alex. Lelaki itu tidak dia perbolehkan menemukan lukanya. Tidak sama sekali.
Sebelah alis Alex terangkat naik, keheranan dan terkejut mendengar panggilan Katya barusan. "Kenapa kamu memanggilku seperti itu?"
Kali ini senyuman di bibir Katya mengembang semakin lebar. "Aku mencarimu, karena orang-orang di hall sudah bertanya-tanya, diculik ke mana pengantin lelaki hingga tidak kunjung kembali."
Katya akan menjelma menjadi gadis ceria dan sempurna seperti biasanya.
Dan dia lebih suka mengalihkan pembicaraan daripada membahas panggilannya untuk Alex barusan. Katya tahu jika Alex akan mempermasalahkan panggilannya pada lelaki itu yang tanpa embel-embel apa pun.
"Kamu enggak ingin kembali ke hall?" tanya Katya ketika Alex tak kunjung memberi respon.
Alex menghela napas pelan, menurunkan jemarinya dari dagu Katya untuk kemudian ia alih tugaskan dengan merengkuh kepala Katya lalu memeluk perempuan itu. Satu gerakan ringan yang cukup berhasil membuat wajah Katya memerah dan degupan jantung yang memburu. "Syukurlah kamu tidak mendengarnya," lirih Alex. Dan memang itu harapnya, Katya tidak mendengar semua obrolan yang terjadi antara dia dan orang tuanya tadi. Tidak untuk hari ini.
Bisik lirih Alex dibalas cepat dengan dua lengan Katya yang terulur merengkuh punggung lelaki itu--si pemilik hatinya yang kini sah menjadi suaminya. Sesulit apa pun, ia akan mempertahankan status hubungannya dengan Alex selalu seperti ini. Sebagai suami dan istri.
Bagaimana bisa Katya melepaskan lelaki sebaik ini?
Rasanya ia ingin mengunci Alex untuk dirinya sendiri saja, tidak dengan yang lainnya lagi. Dia tidak akan membiarkan siapa pun merusak hubungannya dengan Alex yang sudah seperti ini. Satu kesempatan yang tidak akan pernah dia dapatkan lagi di lain waktu.
Dia akan terus berbahagia di sisi Alex, sebanyak apa pun luka yang akan ia dapatkan di masa depan karena keputusan yang ia ambil sekarang ini.
"Kita harus ke hall sekarang," ungkap Katya berusaha mengurai pelukan Alex, setengah hati, dan bertemu tatap dengan lelaki itu. "Bukankah kita harus memainkan peran ini dengan sangat baik, hingga usai hari ini?" Diakhir kalimatnya, ia mengedipkan sebelah mata.
"Kamu yakin, tidak masalah dengan semua rangkaian acara. Kita bisa membatalkannya jika itu membebanimu." Alex menjumput anak rambut Katya yang turun ke dahi perempuan itu, dan menyelipkannya di belakang telinga.
Katya menggeleng tegas lalu tersenyum manis. Dia benar-benar mengubur semua hal yang ia dengar sebelumnya, menggantinya hanya dengan kebahagiaan. "Aku enggak masalah sama sekali. Lagipula, akan sayang jika semua rangkaian acara dibatalkan begitu saja. Persiapannya sudah jauh-jauh hari. Dan semua orang yang terlibat di dalamnya akan sangat kecewa jika usahanya berhari-hari harus dibatalkan begitu saja."
Ah, Katya yakin, dia sudah tampak seperti perempuan dewasa yang begitu bijak. Tidak seperti gadis kemarin sore yang hanya bisa merengek, bukan?
"Begitu?" tanya Alex lirih.
"Ya. Bunga-bunga di sana sangat cantik dan wangi," sahut Katya bersemangat.
Untuk kali ini, Alex tidak bisa menahan senyumnya. "Jadi kamu menyukai dekorasinya?"
"Sangat." Katya menyambar cepat. Satu tangannya segera melingkar di lengan Alex, mendekap lelaki itu. "Ayo, kita harus ke hall, sebelum orang-orang bosan dan pulang."
Alex hanya menurut ketika Katya menariknya untuk kembali masuk ke hall, tempat di mana bunga-bunga yang indah dan wangi tertata cantik, seperti kata Katya.
Dalam ayunan langkahnya, Alex tidak melepas tatapan sedetik pun dari sosok perempuan di sampingnya, yang berjalan dengan langkah mantap.
Tidak seperti pasangan pengantin lainnya, yang di akadnya mengenakan beskap dan kebaya berpasangan. Maka, ia dan Katya berbeda. Yah, pada dasarnya, pernikahannya dengan Katya pun berbeda. Mereka bukan pasangan yang sesungguhnya.
Alex mengenakan tuksedo broken white dengan sneakers yang berwarna putih. Begitu juga dengan Katya yang mengenakan setelan jas dan celana berwarna broken white, juga highheels berwarna senada. Perempuan itu tidak berias macam-macam. Tidak ada mahkota di atas kepalanya. Rambutnya bahkan hanya dicepol biasa saja, dengan poninya yang disisir ke samping dan diselipkan di belakang telinga. Hanya ditambah dengan veil putih bertumpuk di atas ikatan rambutnya.
Jangan ditanya, siapa yang membuat konsep minimalis seperti ini di waktu yang amat singkat. Katya, tentu saja.
Perempuan itu mengetahui jika akan ada tuksedo putih yang Alex kenakan, sehingga Katya langsung meminta lelaki itu untuk mengganti pakaiannya. Sedangkan setelan jas broken white yang Katya miliki, itu adalah jas baru yang hendak ia kenakan untuk bekerja, kata perempuan itu.
Sesampainya di hall, mereka disambut tepukan tangan oleh semua tamu undangan di sana. Katya dan Alex saling bertatapan untuk beberapa saat dengan lengan yang masih terjalin, sebelum akhirnya mengayun langkah melewati karpet merah yang penuh dengan taburan bunga.
Siapa sangka, hari ini begitu penuh dengan kejutan tidak terduga. Ada hati dengan luka menyayat yang amat menyakitkan. Namun, ada juga senyum terulas penuh kebahagiaan.
***
3. Kepulangan
Satu minggu sebelumnya
Untuk pertama kalinya, Katya sangat menyesali kepulangannya ke Indonesia, setelah bertahun-tahun memilih tinggal di luar negeri. Jika dia bisa memutar waktu ke satu hari sebelum ini, tentu saja dia ingin memilih rebahan di kamar apartemennya, dan mengabaikan permintaan siapa pun untuk pulang ke Indonesia. Termasuk permintaan Alexander Dananjaya, lelaki menyebalkan yang nahasnya tidak pernah bisa ia singkirkan dari hatinya.
Jika bisa mengumpat, Katya pun akan meluapkannya detik ini juga, di depan Alex. Namun, perempuan itu sadar diri jika situasi saat ini tidak memberikannya kelonggaran untuk meluapkan kekesalan.
Dengan gigi bergemelatuk dan jemari tangan yang mengenggam erat di atas pahanya, Katya melempar tatapan menghunus pada tautan jemari di depannya. Jemari milik Alex dan calon istri lelaki itu.
Katya sangat paham jika situasi seperti ini memang akan terjadi, cepat atau lambat, di mana Alex-Om yang telah merawatnya selama ini akan bersanding dengan perempuan lain dan membina rumah tangga, jelas bukan dengan dirinya.
Namun, sekeras apa pun Katya mempersiapkan diri, dia tetap merasa tidak rela membiarkan Alex bersama perempuan lain. Melihat lelaki itu menggenggam jemari calon istrinya saja membuat Katya begitu ingin untuk meremas dan mematahkan ruas-ruas jari perempuan sok cantik yang berdandan menor sekali dengan gaunnya yang ketat.
Ketika kekesalan dan kecemburuan itu terasa memuncak di ubun-ubun kepalanya, Katya merasakan usapan lembut di punggung tangannya yang terkepal, dan satu bisik lirih yang menenangkan.
"Katya, tenangkan dirimu."
Praktis, Katya mengikuti bisikan itu, dia menghela napas kasar dan mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang duduk di sampingnya dan baru saja menyentuh punggung tangannya. Ada senyum manis yang ia dapatkan di wajah dengan tatapan teduh itu.
"Sebentar lagi kita sampai di rumah," sambung Ratih, perempuan yang begitu setia menemani Katya ke mana pun Katya pergi.
Katya membalas dengan desisan lirih. "Aku lebih suka kita enggak pulang."
Ya, sepanjang jalan yang ada di pikirannya adalah keinginan untuk pergi, tidak perlu pulang, atau kembali ke rumah lamanya. Dia selalu merasa jika bukan di sini tempatnya hidup.
Ratih bertahan mengulas senyuman manis, kali ini diiringi dengan kepalanya yang terangguk pelan. Dia paham betul, kenapa Katya bereaksi sekesal ini sekarang. Itu adalah ekspresi yang sangat pantas untuk ditampilkan.
Bagaimana tidak, ketika Katya akhirnya kembali ke Indonesia, dia disuguhkan pemandangan paling menyakitkan. Lelaki yang Katya cintai ternyata menjemput kepulangannya dengan membawa serta perempuan yang diperkenalkan sebagai calon istri.
Sebelumnya tidak ada kabar apa pun, sehingga satu perkenalan itu seperti petir di siang bolong yang menyambar ubun-ubun kepalanya.
Ratih merasa sangat bangga karena Katya bisa terus tersenyum tanpa meneteskan bulir air matanya sedikit pun.
Dan baru sekarang, saat ia dan Katya sudah di dalam mobil, sedangkan Alex dan Selena, calon istri Alex yang duduk bersisian di depan, Katya menunjukkan kekesalannya yang teramat.
"Katya, kamu masih ingat jalanan ini?"
Pertanyaan yang Alex suarakan membuat Katya menoleh segera ke arah lelaki itu. Untuk beberapa saat, tatapan mereka bertemu di kaca spion tengah, dan dengan cepat Katya membuang tatapannya ke sisi kanan, melihat jalanan yang Alex katakan tadi.
"Sejak kapan ada gedung apartemen di sini?" gumam Katya, memorinya terlempar ke masa beberapa tahun silam. Dia cukup yakin jika ia sudah hampir sampai di rumah, namun, ia tidak mengingat ada gedung apartemen yang menjulang tinggi ke langit.
Aex meloloskan tawa pelan. "Ternyata, kamu memang sudah berada begitu lama di luar negeti."
Katya tidak bisa memungkiri itu. Dia memang tinggal begitu lama di negeri orang, dan tidak sekali pun kembali ke Indonesia. Tidak ada keluarga yang ia miliki membuat ia memutuskan untuk tidak pernah pulang ke rumahnya sendiri.
Benar, tidak ada keluarga.
Hanya Alex yang ia miliki. Sedangkan tanpa ia pulang, Alex dan orang tuanya bisa mengunjunginya ke Jerman.
"Alex bilang kamu pergi sejak lulus SMA, apa kamu enggak merindukan rumahmu sama sekali?"
Kali ini, Katya menoleh ke arah Selena yang baru saja mengutarakan tanya, perempuan itu menoleh ke belakang barang sejenak untuk menatap Katya, sebelum beralih menatap ALex di sisi kanannya dan mengulas senyuman manis.
Bibir Katya berkedut pelan, menahan segala gelegak perasaan yang menyumpal di dadanya. "Rumah tidak pernah berarti untukku," tandasnya lirih.
Karena bagi Katya, rumah hanya tempat segala kenangan tersimpan. Tidak ada masa depan di rumah. Tidak ada kebahagiaan. Dia hanya menemukan sepi dan kekosongan. Kembali mengingat semua kenangan yang berakhir membuat dadanya terasa amat menyakitkan.
Satu-satunya yang ingin ia jadikan rumah, memilih mencipta jarak, dan sebentar lagi akan benar-benar melepas ikatan dengannya.
Melarikan diri adalah cara paling cepat dan mudah yang bisa ia jangkau.
Setidaknya, dalam pelariannya di tempat asing, ia bisa membangun dunia yang ia inginkan. Meski harus merasakan dada yang menyesakkan.
***
"Kamu masih ingin di sini? Tidurlah, kamu pasti lelah karena perjalanan jauh."
Katya tidak memilih untuk tidak memberi balasan, dia hanya menyandarkan tubuh ke punggung sofa di belakangnya, dan berselonjor kaki, membiarkan kakinya bertumpu ke atas meja kecil di hadapannya.
Dia sedang duduk di taman belakang rumahnya, memperhatikan deretan bunga-bunga yang terlalu rapi dan rerumputan hijau yang terawat. Tidak ada kolam renang. Tidak ada gemerisik air mancur.
Malam ini terasa amat sepi. Di hatinya. Di sekitarnya.
"Katya,"
Ratih tidak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Katya dan mengusapnya. "Kamu tahu, kamu enggak bisa seperti ini."
Katya berkedip pelan. "Kamu bisa tidur lebih dulu, Ratih. Aku akan menyusul." Sebelum Ratih memberi balasan, ia lebih dulu menoleh ke arah perempuan itu dan mengulas senyuman manis. "Percaya padaku, aku akan kembali ke kamar dan tidur. Aku ingin sendiri, please."
Tidak ada yang bisa Ratih lakukan lagi. Dia hanya menghela napasnya begitu pelan. Semua kalimat bujukan yang ia suarakan tidak mempan sama sekali pada Katya. "Oke, aku ke kamar lebih dulu."
Setelah itu, Ratih mengayun langkah masuk ke rumah, hingga panggilan Katya menginterupsi langkahnya.
"Ratih--"
Seketika, Ratih menoleh ke arah Katya dan mengulas senyuman manis. Dia berpikir, Katya berubah pikiran dan ingin kembali ke kamar bersamanya. Namun sayang, tidak seperti yang ia pikirkan.
"Tolong matikan lampunya," kata Katya menunjuk lampu di atasnya. "Sisakan lampu taman saja, ya." Dia mengakhiri ucapannya dengan kelopak mata berkedip pelan, memohon.
Lagi-lagi tidak ada bantahan yang bisa Ratih suarakan. Dia mengiakan apa pun yang Katya inginkan.
Ketika akhirnya lampu teras padam, Katya segera merebahkan tubuh di atas sofa, berbaring miring mengadap taman belakang. Seperti yang dia inginkan lampu taman belakang dibiarkan menyala.
Sendirian di tengah keremangan lampu, membuat ingatan Katya terlempar ke masa-masa silam. Dulu, rumah ini cukup ramai, ada dia, Ayahnya, dan Alex. Mereka tinggal bertiga di rumah besar ini. Ah, tentu saja ada Bibi yang merawat rumah, karena Ayahnya dan Alex selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor.
Katya remaja berpikir hidupnya saat itu adalah masa-masa paling indah yang akan berlangsung selamanya. Namun, takdir berjalan sangat berbeda dari yang dia inginkan. Ayahnya, satu-satunya orang tua yang ia miliki pergi meninggalkannya begitu cepat. Tertinggal hanya dirinya seorang dengan perasaan asing dan ketergantungan pada Alex.
Dia memilih menyadarkan dirinya sendiri, dan membuat jarak yang membentang.
Katya berkedip pelan, memeluk dirinya sendiri, meringkuk. Merasakan udara malam menyapa tubuhnya yang hanya berbalut piama sutra lengan pendek.
Andai sang ayah masih ada, Katya pasti tidak akan merasa begitu sendiri seperti sekarang ini. Ayahnya akan selalu berada di sampingnya, menemaninya, mendukungnya. Dan dia masih memiliki keluarga.
Seperti perkiraannya, pulang ke rumah selalu berhasil menyingkap memori kepedihan di dalam hatinya. Membuatnya terasa semakin sesak dan melelahkan.
"Ayah, Om Alex akan segera menikah," lirih Katya sembari menggenggam kalung putih yang melingkar di lehernya. Kalung dengan liontin berbentuk bulat pipih yang di baliknya tertulis namanya. Kalung pemberian sang ayah di hari ulang tahunnya yang ke lima belas. Dan menjadi hadiah terakhir yang ia dapatkan dari sang ayah.
"Katya tahu, Om Alex berhak memiliki kehidupannya sendiri. Tapi, apakah harus sekarang?" sambungnya, masih berbicara dengan dirinya sendiri. "Katya akan benar-benar sendirian jika Om Alex menikah. Tidak akan ada lagi yang menyayangi Katya."
Setelah luapan singkat itu, Katya memejamkan mata, masih dengan jemarinya yang menggenggam liontin, hingga ia jatuh tertidur.
Perempuan itu tidak menyadari sama sekali jika sejak lampu dipadamkan, ada seorang lelaki yang bertahan berdiri di ambang pintu, mendengarkan bisik lirih yang terembus angin malam.
Sebelum akhirnya, lelaki itu beranjak masuk ke kamarnya sendiri hanya untuk mengambil selimut dan menemui Katya yang telah tertidur.
Untuk beberapa saat terlewat, Alex hanya memperhatikan wajah Katya yang terlelap, tampak sangat lelah. Baru kemudian, dia membungkus tubuh perempuan itu dan mengambil duduk di tepian sofa.
Ada sengatan nyeri yang menyapa dadanya saat mendengar bisikan Katya sebelum ini. Bisikan itu terdengar begitu mengganjal di dadanya. Mencipta satu perasaan aneh di sana.
"Om enggak akan pernah meninggalkanmu sendirian," Alex mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Katya. "Kamu enggak perlu khawatir untuk itu. Dan aku akan selalu menyayangimu, Katya," sambungnya.
Bagaimana bisa, Alex tidak menyayangi Katya, ketika separuh hidup perempuan itu Alex selalu mengiringinya.
Meski berjarak, Alex tidak pernah absen untuk mengunjungi Katya, di hari-hari penting perempuan itu terutama. Seperti ulang tahunnya.
Tatapan Aex kemudian tertuju pada liontin yang sedari tadi Katya genggam, jemarinya telah terkulai. Liontin yang cantik. Dan dia sangat mengingatnya. Ketika ia memilih liontin itu bersama Sena, ayah Katya.
4. Malam Pertama
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun mengenal dan bersama Katya, baru kali ini Ratih mendapati sang sahabat yang sudah menjadi saudaranya ini memancarkan wajah super bahagia. Begitu bercahaya. Sesekali, ia bahkan merasa silau karena Katya yang teramat cerah hari ini. Tapi, bibirnya gatal jika tidak menggoda Katya. "Bibir kamu bisa diem enggak sih?"
Katya segera menoleh ke arah Ratih yang malam ini membantu dirinya membersihkan riasan, dengan bibir yang terus mengulum senyuman. "Aku diam dari tadi, kok," katanya yakin.
Ratih berdecap sebal. Sedari tadi, Katya memang tidak mengoceh apa pun, tapi senyuman di bibir perempuan itu tidak kunjung meluruh, hanya sesekali menipis, sebelum akhirnya kembali melebar. Dia sendiri bertanya-tanya, apakah mulut Katya tidak sakit karena sedari tadi mengulas senyuman terus menerus. "Kamu memang diam," timpalnya cepat.
"Lalu?"
"Tapi enggak senyum terus dari tadi, bisa, kan?"
Bukannya menuruti perkataan Ratih, yang Katya lakukan justru menarik sudut bibirnya kian melebar.
Oh, ya ampun, Ratih gemas sendiri. Tapi, meski begitu, ia pun tetap mengulum senyuman, karena dengan Katya tersenyum, itu artinya perempuan itu hanya dipenuhi kebahagiaan. Meski harus menjalani satu hari ini yang tidak terduga ini.
"Kamu pasti enggak sabar banget buat malam pertama?" tanya Ratih menggoda.
Kepala Katya terangguk pelan.
"Memang apa yang akan terjadi di malam pertama kalian?" Dan Ratih lebih suka menambahi godaannya.
Katya mengedikkan bahunya. "Entahlah, mungkin hal yang indah." Diakhir kalimatnya, ia tertawa pelan dengan rona merah yang menjalari wajahnya. Padahal, ia sadar sejuta persen jika tidak akan ada hal indah yang terjadi di malam pertamanya. Hanya saja, wajahnya terus memerah dan bibirnya tidak lelah tersenyum karena sadar, ia dan Alex akan tidur satu kamar di malam ini.
Atau tidak?
Astaga, jangan hancurkan kebahagiaannya.
Karena satu hari ini pun, Katya sudah berusaha amat keras menyingkirkan semua pembicaraan tentang perceraian yang ia dengar pagi tadi. Dia mencoba menulikan telinga dan menganggap semua pembicaraan itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Pokoknya, yang Katya inginkan hanya menikmati hari-harinya yang berstatus sebagai istri Alex. Ia sadar, waktunya mungkin tidak banyak. Jika dia hanya merenung dan murung karena kemungkinan terburuk di masa depan, maka ia menyia-nyiakan waktunya yang berharga.
Dan satu yang pasti, ia paham betul siapa Alex. Lelaki baik itu tidak akan membiarkan dirinya terlantar di pernikahan mereka yang pura-pura ini.
Meski Alex tengah patah hati karena ditinggal calon istri kesayangannya, Katya yakin, Alex akan tetap memperhatikan dan menyayangi dirinya seperti Alex yang biasanya. Karena memang itu lah yang Alex lakukan bertahun-tahun ini, dengannya.
Tawa Ratih pecah detik itu juga. Perempuan itu harus menutup mulutnya dengan satu tangan agar tawanya tidak membahana.
"Kamu meledekku?" Katya mendongak, menatap Ratih yang berdiri di belakangnya dan sedari tadi disibukkan dengan jemari yang membantunya mengeringkan rambut. Yap, benar, Ratih datang ke kamar hotel di mana Katya dan Alex akan tempati untuk bermalam.
Katya yang meminta Ratih untuk datang dan membantunya mengeringkan rambut, sekalian untuk menemaninya barang beberapa saat sebelum Alex masuk ke kamar. Katya tidak akan bisa mengontrol degup jantungnya jika hanya di kamar sendirian menunggui Alex.
Dan lelaki itu, beberapa saat lalu pamitan keluar untuk menemui teman-temannya yang datang terlambat ke acara pernikahannya. Meminta Katya untuk tetap tinggal di kamar dan membersihkan diri. Sedangkan Alex sudah lebih dulu membersihkan diri, dan mengenakan pakaian rapi.
"Mana berani aku meledek permaisuri pangeran," kelakar Ratih.
Katya tergelak pelan. Dia memang sudah menjadi permaisuri, dan pangerannya adalah Alexander Dananjaya.
"Jadi, menurut kamu, apa baiknya yang harus kulakukan malam ini?" tanya Katya setelah reda tawanya.
"Melakukan apa?" Ratih berbalik tanya.
Katya mendesis pelan. "Tentang aku dan Alex, haruskah aku menyeretnya ke tempat tidur dan mendekapnya sepanjang malam atau--" Ucapannya sengaja menggantung, dia mengedip pelan, penuh goda.
Ratih menggeleng pelan. Dia mematikan hairdyer dan menyerahkannya pada Katya, setelah itu, ia mengambil sisir dan menyisir rambut hitam Katya. "Kamu enggak perlu melakukan apa pun," katanya lirih.
"Kenapa begitu?"
Jemari tangan Ratih mengusap ubun-ubun kepala Katya begitu lembut. Lebih dari apa pun, ia paham betul situasi seperti apa yang terjadi antara Katya dan Alex sejak pagi. Keputusan mendadak tentang pernikahan karena pengantin perempuan yang asli melarikan diri.
Katya memang berbahagia hari ini, namun, Ratih pun tahu, kebahagiaan itu mungkin terselip kegetiran.
Yang tidak pernah dia sangka adalah, Katya yang memilih menceburkan diri dan mengambil keputusan impulsif. Ratih tahu, Katya memang terkadang segila itu. Dan sayangnya, Ratih tidak bisa mencegah keputusan Katya pagi tadi.
"Ini mungkin berat, Katya. Tapi kamu harus ingat, Alex adalah lelaki patah hati," lirih Ratih, mengungkap kebenaran. "Dia mungkin menebar senyumannya seharian ini, namun, siapa yang tahu sehancur apa hatinya sekarang."
Senyuman yang sedari mengulas di bibir Katya, meredup perlahan. Yang Ratih ucapkan memang benar adanya, dan sudah seharusnya ia disadarkan untuk itu.
***
Alex sengaja masuk ke kamar hotel tempatnya menginap di pukul sebelas malam. Menghabiskan waktu berjam-jam di luar kamar untuk bekerja.
Di hari pernikahannya, dia sangat totalitas sekali menyelesaikan pekerjaannya.
Yah, mau bagaimana lagi, dia tidak mungkin masuk ke kamar tempat ia dan Katya menginap di awal malam, lebih tidak mungkin lagi jika ia menghubungi salah satu temannya dan menemaninya mengobrol sambil ngopi hingga tengah malam.
Yang ada, dia akan tampak sangat dicurigai, bukan?
Dengan langkah terayun pelan, Alex memasuki kamar yang nyala lampunya temaram. Katya tampaknya sudah tertidur di ranjang yang dipenuhi taburan bunga.
Alex sempat berpikiran untuk memesan satu kamar lain yang akan ia tempati sendiri, sehingga, ia dan Katya akan tidur terpisah malam ini. Tapi, apa yang akan orang-orang katakan jika di hari pertama menikah, pasangan suami istri sudah tidur terpisah.
Pasangan suami istri?
Satu sebutan asing yang mampir ke gendang telinganya, membuatnya tanpa sadar mengulum senyuman tipis.
Entah harus berapa kali lagi dalam satu hari ini, dia mengutuk kegilaannya.
Lalu, haruskah ia tidur di ranjang yang sama dengan Katya?
Pertanyaan itu membuat Alex mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Ada sofa cukup besar di sudut lain, yang meski sempit pasti cukup untuk menampung tubuhnya, menjadi alasnya terlelap malam ini.
Benar, dia akan tidur di sofa saja.
Namun, gerak kakinya yang ingin tertuju ke arah sofa justru berbalik arah. Dia mengambil duduk di sisi ranjang kosong, menaikkan dua kakinya ke atas ranjang, lalu memperhatikan Katya yang sudah terlelap.
Ada ratusan kali bagi Alex melakukan hal seperti ini, memperhatikan Katya yang terlelap. Sejak dulu, sedari Sena masih ada, bahkan hingga saat ia mengunjungi Katya di Jerman.
Gadis kecil yang sangat ia kasihi dan perhatikan tidak terasa sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cerdas dan cantik. Ya, cantik. Alex tidak akan memungkiri untuk itu. Wajah Katya memang sangat cantik, pembawaannya yang anggun dan selalu tampil feminin membuat banyak lelaki ingin menjadikan perempuan itu miliknya.
Namun, siapa yang sanga, gadis cantik itu kini memilih mengorbankan diri untuk menyelamatkan nama baik Alex, hanya untuknya.
"Tidak seharusnya kamu menawarkan dirimu, Katya," gumam Alex. Seperti hal yang sering ia lakukan, ia mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Katya. Merasakan helai rambutnya yang terasa amat halus di jemarinya. "Dan tidak seharusnya aku kehilangan akal hingga membuat keputusan bodoh itu."
Dia memang patah hati. Dadanya masih terasa amat menyakitkan ketika mengingat perempuan yang berjanji membina rumah tangga untuknya memilih mengingkarinya, dan melarikan diri.
Namun, Alex juga cukup sadar jika ia tidak bisa menunjukkan lukanya secara transparan pada siapa pun. Terumata pada Katya. Cukup pagi tadi gadis itu melihat keputus asaannya.
"Sudah seharusnya aku menjagamu, bukan menjadikanmu berada di ranjang yang sama denganku," kata Alex lagi. Dia menatap wajah terlelap Katya semakin lekat, hingga tanpa sadar, ia menundukkan wajah, dan memberi kecup di pelipis perempuan itu. Hanya sedetik, karena setelahnya, lelaki itu terperanjat terkejut dan segera menegakkan tubuh.
Hal berikutnya yang Alex lakukan adalah bangkit dari duduknya, berjalan cepat ke arah sofa, tempat ternyaman untuknya terlelap malam ini.
Kegilaan apalagi yang dia lakukan.
Kenapa dia begitu berani mencium Katya.
Alex menggeleng-geleng. Pikirannya seketika berkecamuk.
Tidak. Mencium Katya bukanlah hal gila. Dia seringkali mencium pelipis perempuan itu, dan bahkan memeluknya.
Tapi tidak ketika Katya terlelap di ranjang pengantinmu, Alex.
Suara lain di kepalanya, menghardik pelan.
Alex menyugar rambutnya. Dia menyandarkan punggung di sofa dengan tatapan terus tertuju pada Katya yang bertahan telelap di atas ranjang. Perempun itu tampak tidak terusik sama sekali dengan kegaduhan yang Alex perbuat.
Sayangnya, apa yang Alex lihat, amat berbanding terbalik dengan yang terjadi di atas ranjang.
Katya mengerjapkan mata, mengeratkan jemarinya untuk mendekap selimut. Dia terjaga sejak Alex memasuki kamar. Bunyi klik pintu saat terbuka membuat dia memasang sikap waspad. Katya cukup sensitif untuk bunyi kecil apa pun itu, terlebih ketika suasana tampak begitu tenang dan sepi.
Perempuan itu sudah akan membuka kelopak mata dan menegakkan tubuh, namun terhenti ketika merasakan ranjang di sampingnya terasa melesak. Dan gumaman Alex yang terdengar menyapa gendang telinganya.
Dan napasnya hampir tercerabut saat merasakan kecupan lembut nan hangat di pelipisnya, meski begitu singkat.
Pernikahannya dengan Alex mungkin adalah hal gila bagi semua orang terdekatnya, namun tidak bagi Katya.
Baginya, menikah dengan Alex, sesulit apa pun itu, adalah sebuah keajaiban.
Satu keajaiban yang akhirnya mendekapnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
