
Bab 10 dari Sugar Baby of The Mafia (Prequel Novel The Mafia Sugar Daddy yang tayang di Dreame)

Untuk Visual tokoh bisa follow akun IG: @rein_angg dan TikTok: @rein_angg47. Mau seru-seruan menghalu bareng pembaca lain bisa join Grup Facebook: Rein Angg And Friends.
“Hai, aku Evander Xu, siapa namamu?” ucap Evan mengulurkan tangan, mengajak gadis cantik di sebelahnya untuk berkenalan. “Orang biasa memanggilku Evan.”
Ghea menoleh, menatap pada paras -yang tak bisa dipungkiri- tampan. “Aku Ghea Kingston,” jawabnya menjabat tangan kokoh dan mereka bersalaman.
Satu senyum polos, “Orang biasa memanggilku Ghea.”
“Hmm, Ghea berarti bumi dalam bahasa Yunani. Pemilihan nama yang bagus,” puji Evan tersenyum ringan.
“Ya, mendiang orang tuaku pada saat itu memang bersungguh-sungguh untuk mencari nama yang terbaik,” jawab Ghea sambil tersenyum lirih.
“Oh, sorry, orang tuamu sudah meninggal? Aku turut berduka,” lanjut Evan seakan dia tidak tahu.
Mengangguk, senyum lirih itu berubah menjadi ekspresi kehilangan. “Tidak apa-apa.”
“Mereka meninggal karena apa?” lanjut sang mata-mata mengangkat obrolan di antara mereka.
“Enam bulan lalu, mereka meninggal di kecelakaan jalan raya. Sebuah truk menabrak mobil orang tuaku.”
Evan mengembus prihatin. “Aku yakin mereka tenang di atas sana. Dan aku harap sopir yang menubruk mendapat hukuman berat,” utasnya menghibur.
Ghea menggeleng pelan, “Sopirnya kabur, tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Tapi, kamu benar. Aku yakin ayah dan ibuku bahagia di atas sana.”
Tarikan napas panjang diambil oleh Evan. Ia teringat berkas yang dibaca di file bertuliskan Highly Confidential saat masih di kantor pemerintah.
Di situ memang tertulis bahwa kasus kematian orang tua Ghea masih belum ditutup sampai sekarang karena orang yang bertanggung jawab belum ditangkap. Jawaban jujur dari sang gadis membuatnya tersenyum datar.
Keduanya kemudian terdiam sejenak. Evan memperhatikan garis tepi di wajah oval Ghea. Kulit putih dan mata sipit sama sepertinya. Manis, menarik, itu yang terpikir dalam benaknya.
“Orang tuamu juga keturunan Asia?” kembali bertanya seakan dia tidak tahu apa-apa mengenai asal-usul gadis itu. Padahal, sudah tahu ibunya Ghea bernama Aleena Yang dan jelas orang Asia.
“Ibuku keturunan Chinese, sementara ayahku orang Amerika. Jadilah aku seperti sekarang,” kekeh Ghea merentangkan tangan, menggoyangnya ke kanan dan ke kiri seakan sedang memamerkan sesuatu, yaitu … wajah cantiknya.
Senyum manis menguar di wajah tampan agen rahasia pemerintah tersebut. Ia sungguh gemas dengan cara Ghea mengobrol. Keceriaan gadis itu sungguh natural.
Namun, tatap terhenti pada beberapa bekas luka serta lebam tipis di wajah Nona Kingston. “Kenapa wajahmu luka-luka?”
Ghea tertegun sejenak, mencari alasan, lalu menjawab tenang. “Aku memang kadang ceroboh. Aku terpeleset di jalanan berpasir. Jadilah wajahku seperti ini,” tawanya berdusta.
“Kamu jatuh dengan wajah menghadap jalanan?” heran Evan dengan kening mengernyit. Sedikit tidak percaya dengan cerita tersebut.
Terutama, karena ia sudah melihat Ghea bersama seseorang yang sangat berbahaya. Mulai mengira adalah Sean yang berbuat kasar.
Ghea mengangguk, kembali merangkai alur fiktif. “Ada banyak pot tanaman di pinggir jalan. Wajahku menabrak salah satu pot tanaman,” kekehnya menutupi semua yang terjadi.
“Hmm, lain kali kamu harus lebih hati-hati dalam melangkah,” ucap Evan memandang sendu.
Lalu, ia kembali mengobrol dengan mulai mengorek informasi.
“Orang tuamu sudah meninggal, sekarang kamu tinggal dengan siapa?” tanya Evan tersenyum santai.
“Aku diasuh oleh pamanku sekarang ini,” jawab sang gadis singkat kemudian melambai ke arah pintu masuk. “Mia! Aku di sini!” panggilnya pada seorang gadis lain.
Sosok berambut kecokelatan tua berlari kecil, langsung duduk di sebelah Ghea. Tas sang gadis diangkat, dikembalikan pada pemiliknya. “Thanks sudah menjaga kursi untukku,” ucap Mia agak terengah.
“Kamu baru saja berlari menaiki tangga, ya?” kikik Ghea melihat teman baiknya bernapas cepat.
“Aku kira pelajaran sudah dimulai, ternyata dosen kita belum datang,” angguknya mengusap peluh. Saat menoleh kepada Ghea, mata Mia menatap pemuda tampan yang ada di sebelah sang sahabat.
Sontak, bibir merah terang bertanya, “Siapa dia?”
“Oh, hai, aku Evander Xu. Panggil Evan saja,” jawab Evan menjulurkan tangannya.
Mia tidak berkedip menatap lelaki yang aslinya berusia 28 tahun tersebut. Di mata sang gadis, sosok Evan begitu memukau. Gagah dan jantan, tak seperti pemuda yang biasa ia temui.
“Hai, Evan. Aku Mia Chadwick. Senang berkenalan denganmu,” balas Mia mengulas suara merdunya. Kerling tak bisa beralih dari Evan.
Sementara Evan, karena sekarang sudah kedatangan orang lain, ia tidak bertanya lagi soal Sean Lycus. Terlalu banyak bertanya akan menimbulkan kecurigaan.
Tangan Mia mencolek Ghea, lalu berbisik. “Apa dia anak baru? Dia tampan sekali!”
Mengendikkan bahu, Nona Kingston menoleh ke kiri. “Evan, kamu mahasiswa baru, ya? Sepertinya aku baru kali ini melihatmu di kelas?”
Evan tersenyum pada dua gadis cantik di sampingnya. “Iya, aku pindahan dari Miami.”
Mia terus menatap dengan pandangan terkagum. Ia seperti sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. “Hey, uhm … Evan, kamu berarti baru saja tinggal di New York?”
“Tidak juga. Masa kecilku cukup lama sekitar 10 tahun di sini. Kenapa?” sahut Evan balas menatap hingga wajah Mia merona merah.
“Uhm, tidak apa-apa. Hanya saja, aku dan Ghea nanti sore akan hangout bersama beberapa teman di café, apa kamu mau ikut?” tawar Mia tersenyum manis, penuh harap.
Ghea mendelik saat mendengar penawaran temannya. Ia pura-pura batuk, mendekati telinga Mia, lalu berbisik, “Kita baru saja mengenalnya! Bisa-bisanya kamu sudah mengajak dia pergi! Kita tidak tahu apa pun tentang dia!”
Namun, Mia tidak peduli. Ia melihat Evander Xu, merasa sebuah ketertarikan, dan ingin mengenal lelaki itu lebih jauh lagi. Sama sekali tidak menggubris omongan Ghea, justru kembali menawarkan.
“Kita akan pergi sekitar jam empat sore saat jadwal kuliah sudah selesai. Mau ikut?” ulangnya mengajak Evan.
Cepat mengangguk! Tentu saja pemuda itu mau ikut! Di mana ada Ghea, di situ dia akan berada demi mencari informasi mengenai keberadaan flashdisk berisi data rahasia.
“Aku mau ikut. Kalian akan berada di café mana? Aku tidak ada jadwal kuliah setelah ini. Biar aku menyusul ke sana,” balas Evan memamerkan deretan gigi putih bersihnya dalam satu senyum menawan.
Rasanya Mia ingin berteriak dalam hati karena pemuda tersebut bersedia pergi ke café bersamanya. Akan tetapi, ia tutupi lonjakan senang itu dengan seelegan mungkin.
“Kami akan ke Café House Rock. Aku bisa mengirim lokasinya kepadamu. Boleh minta nomor telepon untuk aku chat?” Mia mengeluarkan ponsel.
Ghea yang berada di tengah hanya diam dan merasa konyol. Ia tahu kalau sahabatnya memang tergolong agresif jika menyukai seorang lelaki. Hanya saja, ia tidak menyangka sampai seperti ini.
“Sure, ini ponselku, tulis nomormu di sana, Mia.” Tangan kekar meletakkan benda pipih di atas meja. “Nomormu sekalian, Ghea, kalau boleh?” lirik sang agen rahasia pada targetnya.
Namun, Ghea tertawa gamang dan menggeleng sangat pelan. “Uhm, nomornya Mia saja sudah cukup untuk kita berkomunikasi nanti, benar? Aku … uhm … aku tidak ingat berapa nomor teleponku,” tolaknya secara halus.
Ia tidak tahu siapa Evan, tidak mau terlalu cepat memberikan nomor ponselnya kepada siapa pun yang baru saja ia kenal. Sudah bertemu dengan lelaki macam Javier Blast, lalu ada pamannya Sean Lycus.
Sedikit banyak gadis itu makin antipati terhadap lelaki. Berpikir apakah masih ada lelaki baik di dunia ini? Lebih baik hati-hati seperti pesan mendiang ayahnya.
Evan tersenyum kecut, tetapi tidak mengapa. Masih banyak hari lain untuk dia bisa mendapatkan nomor telepon sang gadis. Kembali melirik pada Mia yang sedang bersemangat menulis nomor ponselnya di sana.
“Ini, sudah, Evan!” Mia sangat sumringah dan bersemangat. Lalu, mengembalikan ponsel kepada sang pemilik.
“Okay, thanks. Aku pasti akan datang, terima kasih sudah mengundangku.”
Sesosok lelaki cukup berusia masuk dari pintu ruangan. Dosen mereka telah datang dan waktunya untuk berhenti berbicara, mulai mengikuti pelajaran.
Evan bergumam sendiri dalam hati, ‘Damn! Aku sangat benci berada di bangku kuliah dan harus belajar seperti ini!’ gerutunya mengeluarkan napas dengan kasar.
Namun, ekor mata kembali melirik pada Ghea yang justru sebaliknya terlihat sangat bersemangat.
Tak sadar, netranya memperhatikan dengan seksama hingga batin kembali bermonolog sendiri. ‘Cantik juga ….’
***
Selepas kuliah, Evan segera kembali ke apartemen. Mengeluarkan sebuah koper kecil berbentuk kotak. Menekan angka-angka yang tertera pada panel di bagian atas. Dengan kombinasi yang benar, koper tersebut terbuka.
Di dalamnya ada seperangkat alat komunikasi yang terlihat sangat canggih. Mirip dengan laptop, tetapi memiliki kabel-kabel khusus berwarna hitam di sisi sebelah kanan dan kiri. Di bagian tengah ada deretan angka yang kemudian ditekan oleh Evan.
“Evander Xu! Berikan kabar baik padaku!” sambut Bower begitu menerima telepon dari agen terbaiknya. Mereka berkomunikasi dalam sebuah saluran yang sangat private dan rahasia.
“Aku sudah bertemu Ghea Kingston. Sudah berkenalan dengannya, dan kamu tahu siapa yang aku temui sedang berada di satu mobil dengannya?” lapor Evan tanpa menunda lebih lama lagi.
“Hmm, aku selalu jelek dalam tebak-tebakan. Mari kita menghemat waktu dan segera katakan siapa yang bersama Ghea? Jangan katakan kalau Marcus Kingston bangkit dari kubur dan membersamai putrinya!” gelak Bower tertawa, malas menebak.
“Ghea bersama Sean Maximilian Lycus,” tandas sang agen rahasia dengan suara datar dan tegas.
“What the fuck? Kamu yakin? Kamu tidak salah lihat?” Bower sampai melompat berdiri dari kursi kerjanya.
“Kenapa Ghea Kingston bisa bersama dengan Sean Maximilian Lycus? Goddamn! Gadis itu tidak tahu apa yang sedang mengancamnya!”
Cerocosan Bower membuat kening Evan mengernyit. “Apa maksudmu mengancamnya? Memangnya Sean sudah pasti ingin menyakiti Ghea?”
Evan merasa aneh dengan jawaban Bower. Seakan pimpinannya itu sudah yakin hidup Ghea akan terancam jika bersama Sean.
“Selain fakta bahwa Sean Lycus adalah The Black Cobra, dan bahwa dia adalah mafia paling berbahaya yang diinginkan oleh pemerintah, apakah ada fakta lain yang aku tidak tahu?” pungkas Evan meminta informasi lebih.
Ganti Bower yang mengerutkan kening, “Aku tidak paham maksudmu. Terang saja Sean Lycus adalah orang yang sangat berbahaya. Siapa pun yang bersamanya pasti akan berada dalam bahaya!”
“Ghea bilang ia tinggal bersama pamannya. Apakah Sean Lycus dan Marcus Kingston memang ada hubungan saudara?” selidik Evan menanti jawaban.
“Hell no! Mereka tidak ada hubungan apa pun!” sembur Bower. “Tunggu, ya. Aku akan meneleponmu lima menit lagi. Aku harus menyampaikan kabar ini kepada pimpinan dan menunggu instruksi selanjutnya.”
“Hmm,” sahut Evan kemudian menghentikan telepon rahasianya.
Otak yang cerdas sedang berpikir, mencari benang merah tentang hubungan Sean Lycus dengan Ghea Kingston. Serangkaian rencana penyelidikan telah mulai dirancang di dalam benak.
Mendadak, telepon berdering. “Ya, Bower?” jawab Evan cepat.
“Kamu mendapat tugas tambahan,” tandas bosnya terkekeh.
“Yaitu?”
“Masuk ke dalam Klan Lycus melalui Ghea Kingston.”
“The fuck? Apa kamu gila? Apa kamu tahu apa yang dilakukan oleh Sean Lycus kepada pengkhianat? Rumor mengatakan dia memotong lidah mereka!” kaget Evan.
“Kamu takut?” ketus Bower.
Menggeleng lirih, “Bukan takut, hanya saja untuk memasuki organisasi Klan Lycus tidak semudah masuk pasat malam!” balas Evan kesal.
“Tugas adalah tugas, Evan,” lanjut Bower berubah menjadi nada yang jauh lebih serius. “Sejak kapan kamu mulai menolak tugas?”
“Kalau aku hendak masuk ke Klan Lycus, harusnya sejak awal aku sudah menyamar menjadi gangster! Bukan menjadi anak kuliahan!” geram Evan menghela napas panas.
“Bagaimana aku bisa masuk ke sana dan mengetahui isi organisasinya? Aku sudah salah start dengan menjadi mahasiswa, Bower! Itu akan menjadi tidak masuk akal!”
“Pacari saja Ghea! Kalau perlu nikahi gadis itu! Dia lumayan cantik, bukan?” tawa Bower santai. “Katamu tadi Ghea tinggal dengan Sean? Kalau kalian menikah, kamu juga akan tinggal di sana.”
“Dengan begitu kamu pasti bisa terhubung dengan Sean Lycus,” usul Bower mengembus asap rokok dengan santai.
“Atasan tidak peduli walau harus menunggu sampai lima tahun asal Sean Lycus bisa dijatuhkan. Operasi besar memang tidak pernah sebentar,” pungkas atasan tersebut menegaskan dengan serius.
“Ah, fuck!” jengkel Evan karena disuruh menikahi Ghea. “Dia masih 20 tahun! Bagaimana aku bisa menikahinya?’
“Pacari dulu, satu atau dua tahun, lalu ajak menikah. Kamu tampan, wanita menyukaimu!” kekeh Bower..
Evan ingin membanting telepon rahasia ini ke atas lantai. Sebagai agen rahasia, ia lebih baik menyamar menjadi seorang preman kejam daripada harus menikahi seorang wanita muda.
Menikah tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Terlebih, ia telah memilih pekerjaan yang sangat berbahaya untuk memiliki keluarga.
“Kamu pasti akan menemukan caranya! Kami percaya kepadamu! Masuklah ke dalam dunia Sean Lycus, selidiki organisasi rahasianya!” Bower kembali menegaskan.
“Berikan kepada kami bukti-bukti yang bisa membuat The Black Cobra masuk dalam penjara. Mengerti?” titah sang atasan semakin tegas, tak terbantahkan.
Ingin rasanya Evan memukulkan gagang telepon yang ada di tangannya ke atas meja sebagai bentuk pelampiasan kejengkelan. Akan tetapi, seperti kata Bower, tugas adalah tugas.
“Selamat bekerja, Evan. Bermainlah dengan cantik, dan berhati-hatilah. Aku tunggu laporanmu selanjutnya.”
“Hmm, ya, ya, aku bukan agen baru. Aku sudah tahu harus berhati-hati,” sahut sang mata-mata pasrah.
“Apa langkah pertamamu sekarang?”
Menarik napas panjang, lalu berbicara sambil mengembuskannua cepat. “Aku akan ke rumah mendiang Marcus Kingston. Aku akan mencari flashdisk itu di sana. Siapa tahu ada tempat rahasia yang bisa aku temukan.”
“Oke, happy hunting. Bower out!”
Telepon berhenti, dan Evan kembali menutup koper canggih tersebut. Ia letakkan di bawah ranjang agar tidak terlihat oleh siapa pun jika suatu hari nanti ada orang yang datang ke apartemennya.
Lalu, tangannya mengambil kunci sebuah sepeda motor Ducatti. Berjalan ke kamar, meraih jaket kulit serta helm berwarna hitam. Siap menuju rumah lama Ghea yang sudah tidak lagi ditinggali sejak kedua orang tuanya meninggal.
“Semoga aku bisa menemukan sesuatu di sana.”
***
Di gedung sebuah perusahaan bernama Percepta, Inc, Sean sedang duduk termenung dan berpikir. Benaknya tidak bisa berhenti mencari solusi untuk menemukan data rahasia yang dipercaya bisa menjatuhkannya.
Abigail ada di depannya, kemudian tersenyum. “Memikirkan apa? Kamu terlihat murung?”
“Data rahasia Marcus. Di mana kira-kira dia menyembunyikannya? Ghea berkata dia tidak tahu. Aku harus mendapatkan data itu sebelum klan lain yang memilikinya terlebih dahulu!” desis Sean mengembus kasar.
Asisten pribadi yang seksi mendekati dari belakang. Melingkarkan tangan di pundak, lalu turun masuk ke balik hem yang dipakai Sean. Ia mengusap dada bidang yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Sebuah sapuan lidah yang mesra hadir di telinga sang mafia.
“Sean Lycus selalu menemukan solusi, aku percaya itu,” bisik Abigail memompa semangat bosnya. Usapan yang dilakukan di dada kian lama kian diiringi suara mendesah.
“Apa kamu ingin kupijat, Darling? Maksudku tentu ... pijatan yang ... itu di bawah," kikiknya nakal.
“Hmm,” sahut Sean tersenyum setengah hati. Hiburan dari Abigail memang selalu menyenangkan, tetapi saat ini pikirannya tersedot kepada data rahasia yang entah di mana keberadaannya.
Namun, satu jilatan manja di telinga dan leher membuat desiran darah Sean cukup meningkat. Apalagi, sekarang jemari wanita itu mulai meremas sensual kejantanannya dari arah atas.
Napas Tuan Besar Lycus memburu. Wajahnya perlahan berubah memerah dan pinggang tak bisa diam. Tangan merayap ke atas, mencari bundaran kenyal di dada sang asisten pribadi, lalu meremasnya lambat.
“Coba pikir, Sean Darling. Di mana kira-kira Marcus akan menyimpan benda sepenting itu? Tidak mungkin dia asal meletakkan, bukan?” ucap Abigail sedikit mendesah dan terus membangkitkan gairah bosnya.
Berpikir sambil dirangsang secara sensual begini sudah biasa bagi Sean dan Abigail. Mereka memang pasangan yang benar-benar saling memahami kebutuhan biologis satu sama lain.
“Di suatu tempat yang tersembunyi?” sahut Sean mengernyitkan kening. Desah Sean kian terdengar di antara helaan napas berat.
“Kalau kamu ingin menyembunyikan sesuatu yang rahasia, di mana kamu akan melakukannya?”
“Entahlah, di rumahku?” jawab Sean asal berbunyi. Aliran darah berdesir lebih cepat. Sesuatu di antara kedua kakinya mulai bereaksi.
Namun, mendadak ia seperti mendapatkan ide yang cemerlang! “Fuck! Aku belum memeriksa rumah Marcus sama sekali sejak berita data rahasia itu muncul!” serunya kemudian berdiri.
Menarik lengan Abigail, menghadapkan raga seksi pada tubuhnya, ia lumat bibir merah terang sang asisten pribadi sekaligus meremas dua bokong sintal. “Aku akan pergi seharian. Urus semua kerjaan kantor.”
“Dengan syarat nanti malam aku tidur di ranjangmu,” goda Abigail mengedipkan sebelah mata. “Kita selesaikan apa yang tertunda siang ini, Darling?”
“Sure thing! Datanglah nanti malam ke rumahku! Aku akan membuatmu menjerit lagi seperti kemarin!” kekeh Sean kemudian melangkah keluar. “Claudio!” panggilnya kencang.
“Siap, Tuan Lycus?” jawab sang bodyguard tergopoh mendatangi.
“Siapkan pasukan sekitar tiga mobil. Kita akan ke rumah Marcus Kingston. Aku akan mencari data rahasia itu di sana!”
“Baik, Tuan!”
Sean menyeringai, berharap ia bisa menemukan data rahasia tersebut.
Sang mafia menuju rumah lama Ghea. Evander Xu juga sedang menuju lokasi yang sama. Akankah mereka bertemu?
BERSAMBUNG

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
