Untuk Visual tokoh bisa follow akun IG: @rein_angg dan TikTok: @rein_angg47. Mau seru-seruan menghalu bareng pembaca lain bisa join Grup Facebook: Rein Angg And Friends.

Menuruni tangga sambil bersiul riang dan semangat, gadis polos bernama Ghea Kingston langsung menuju ruang makan. Kulit putih khas keturunan Asia dan mata sipitnya sontak membuat Sean melirik saat ia memasuki ruangan.

“Hai, Paman!” sapanya ceria, memilih untuk duduk di kursi yang berseberangan dengan mafia dingin tersebut.

Mengangguk, Sean langsung membuka pembicaraan. “Cepat makan dan kita berangkat. Aku ada urusan.”

“Urusan apa?” spontan Ghea bertanya dengan raut wajah tersenyum penasaran. Mata bundar seperti anak kucing yang sesungguhnya memandang lelaki dewasa di seberang kursi.

“Bukan urusanmu!” tukas Sean datar.

Mereka terdiam, Ghea menunduk sambil menghela kekesalan karena paman angkatnya ini galak sekali. Sean melihat ekspresi tersebut dan tidak peduli karena memang dia ada urusan penting.

‘Diajak bercanda ramah tamah sedikit saja sudah cemberut dan bentak-bentak. Tapi, kalau dengan Abigail enak-enakan sendiri sampai aku tidak bisa tidur!’ kesalnya dalam hati.

Sean menangkap gesture cemberut sang gadis. Ia memandangi Ghea dan mengembus napas panjang.

“Kita akan membahas peraturan untukmu tinggal di rumah ini,” ucap sang lelaki dengan suara berat dan serak. “Dengar dan patuhi.”

“Siap, Komandan,” jawab Ghea asal.

“Dimulai dengan jangan asal menjawab,” tandas Sean menegaskan kalau dia tidak suka sikap barusan.

“Hmm ....” Ghea berdehem, menghela pasrah. “Maaf, Paman,” ucapnya setengah hati.

“Kamu tahu kenapa aku tidak mau kamu kabur?” Sean semakin lekat memandang.

Gadis itu mendongakkan kepala, mengadu pandang dengan sang paman, lalu menggeleng.

“Karena sekarang pasti musuh-musuhku sudah tahu kalau kamu ada bersamaku. Kalau kamu kabur, nyawamu dalam bahaya. Aku tidak yakin Javier Blast akan melepasmu begitu saja.”

Setelah tadi menggeleng, sekarang Ghea mengangguk. “Oke,” tanggapnya singkat.

Ketika Margareth pelayan membawakannya sarapan, ia cepat menyantapnya. Semua yang telah dikatakan Sean terkesan tidak dipedulikan.

“Aku serius, Ghea! Dengarkan aku!” bentak Sean antara geram dan gemas dengan gadis satu ini. Ucapannya sejak tadi seakan tidak ada yang diambil secara serius.

“Aku mendengarkan apa kata Paman! Tapi, aku juga lapar! Kenapa Paman marah-marah terus kepadaku?” erang Ghea mengendikkan bahu dengan bingung.

“Sudah kemarin membantingku, sekarang mengomel terus. Memangnya aku ada salah apa dengan Paman?”

Sean menarik napas panjang. Baru saja mau menjawab, ponselnya mendadak berbunyi. “Ya, Abigail?”

Mendengar nama Abigail, ingatan Ghea langsung berkelana pada tadi malam saat ia mendengar dua orang dewasa itu bercinta dengan liar hingga sang wanita berkali-kali menjerit nikmat. Sontak, dadanya mulai berdegup kencang.

Mata bundar gadis itu memperhatikan Sean yang terlihat begitu berwibawa sekaligus gagah. Hem lengan panjang yang dipakai tidak pernah dikancing secara sempurna sampai ke atas. Ada dua kancing yang dilepas hingga memperlihatkan sedikit dada bidang dengan bulu halus.

Sambil berbicara dengan Abigail di telepon, mata Sean menangkap gesture tubuh Ghea yang sedang mengamatinya dengan lekat. Ia ingin tersenyum, ingin tertawa, tetapi ditahan.

Dalam hati membiarkan kucing kecil memperhatikan dirinya, sang pemimpin organsisasi gelap paling menakutkan di kota New York.

“Ya, sudah, bereskan dulu berkas-berkasnya. Aku datang telat ke kantor. Ada urusan yang harus kuselesaikan di Dungeon,” pungkas sang lelaki kemudian mengakhiri pembicaraan mereka. Lalu, ia kembali memanggil keponakan angkatnya.

Dipanggil, Ghea menoleh, berhenti teringat kejadian semalam. Sorot matanya kembali beradu dengan Sean, lalu entah kenapa jantungnya makin berdebar tidak karuan.

Bayangan Sean dan Abigail kembali menggila di batin hingga ia tanpa sadar menggeleng kencang, seakan ingin mengenyahkan imaji tersebut.

‘Jangan jadi gila! Kenapa otakmu jadi begini? Jangan bayangkan Paman Sean dan Abigail bercinta! Apa kamu sudah hilang akal!’ amuknya pada diri sendiri.

“Kamu kenapa?” heran Sean melihat kelakuan Ghea yang dianggapnya ajaib.

Pertanyaan itu membuat Ghea berhenti menjadi resah dan cepat berakting seolah tidak ada apa-apa.

“Tidak ada apa-apa, Paman!” jawab sang gadis dengan cepat. Meremas sendok dan garpu untuk memaksa diri berhenti membayangkan dua manusia dewasa tersebut sedang bercinta.

“Lanjut dengan peraturan tadi, apa kamu sudah jelas kenapa aku tidak menginginkanmu kabur? Di luar sana berbahaya, paham?”

“Paham ....”

“Aturan selanjutnya. Urusanmu adalah urusanku. Tapi, urusanku bukan urusanmu,” tukas Sean terus memandang dengan tajam dan lekat hingga Ghea semakin salah tingkah.

Kening gadis itu mengernyit. “Kenapa Paman mau tahu urusanku?”

“Karena aku sekarang bertanggung jawab terhadap keselamatanmu.”

“Tapi, aku tidak boleh tahu urusan Paman? Itu tidak adil!” protes Ghea cemberut.

“Memangnya kamu bertanggung jawab terhadapku, hah? Otakmu itu dipakai sebelum berbicara!” ketus Sean, lalu menenggak red wine di gelas.

Ghea diam. Dalam hati ia sungguh kesal. Lelaki yang telah menyelamatkannya ini hanya terus marah dan marah.

Akan tetapi, semalam saat mereka berdua di kamar, ia seperti melihat sisi lembut Sean sewaktu mengobati lukanya. Tentu saja, itu sebelum Abigail datang dan paman angkatnya itu kembali menjadi dingin serta pemarah.

“Ketiga, jangan membantah perintahku. Aku tidak suka dibantah.”

“Ya, Paman.”

Sean menenggak red wine sekali lagi, lalu menoleh pada sang gadis. “Kamu sudah tidak punya orang tua. Aku yang akan menggantikan mereka.”

“Aku akan melindungimu, menggantikan posisi ayahmu. Oleh karena itu, kamu harus menurut kepadaku. Paham?”

“Paham, Daddy Sean.”

Meliriklah mata lelaki maskulin tersebut. Wajah tampan menawan bertanya kenapa ia dipanggil sedemikian rupa untuk yang kedua kalinya.

Ghea terkekeh, tahu bahwa Sean bertanya mengenai panggilan Daddy. Bibir merah menggemaskan miliknya kemudian menjelaskan dengan lugas.

“Tadi katanya Paman akan menggantikan ayahku? Aku biasa memanggilnya Daddy. Jadi, tidak salah kalau aku memanggil Paman sebagai Daddy, ‘kan?”

“Hmm,” tanggap Sean tidak mengiyakan, tetapi juga tidak menolak.

“Paman tidak mau kupanggil Daddy? Menurutku itu lebih cool daripada Paman,” kekeh sang gadis menatap dengan mata bundar yang berbinar.

“Kamu lebih suka memanggil aku apa?” tanya Sean datar dan tetap dingin. Padahal, dalam hati ia ingin menggigit Ghea saking gemasnya.

Melihat gadis itu benar-benar seperti melihat anak kucing jenis persia yang menggemaskan.

Panggilan Daddy membuat lelaki itu merasa konyol sekaligus berdebar pada saat yang bersamaan. Ingin menolak sekaligus menyukainya di detik yang sama.

Apalagi, Nona Kingston menjawab dengan lantang, “Aku lebih suka memanggil Daddy Sean saja. Seakan kita benar-benar keluarga!” tawanya riang.

“Fine, panggil aku sesukamu,” angguk Sean mengambil sebatang rokok. Meletakkan batang bernikotin itu di antara dua bibirnya yang basah terkena anggur merah.

Lalu, menyalakan ujungnya, dan menghisap lambat. Sambil mengembus asap, ia memanggil. “Ghea ....”

“Yes, Daddy Sean?” jawab Kitty Cat terkekeh sendiri dengan panggilan Daddy Sean.

Keduanya saling menatap. Mata Ghea berbinar ceria, sementara Sean teringat dengan moleknya tubuh gadis itu ketika sedang tertidur.

Namun, ada sesuatu yang sangat penting yang ingin ia tanyakan. Sorot mata itu berubah serius.

“Apa ayahmu meninggalkan sesuatu yang penting kepadamu?” tanya Sean beralih ke topik pembicaraan lain.

“Penting seperti apa?” jawab Ghea balik bertanya.

“Uhm ... berkas, data, atau apa pun itu,” tukas Sean memandang tajam, seakan sedang menyelidik.

“Mungkin Marcus pernah bercerita sesuatu kepadamu tentang beberapa hal penting? Sesuatu yang jangan sampai jatuh ke tangan orang yang salah?” lanjut Sean menjelaskan lebih detail.

“Orang yang salah?” Ghea membulatkan mata. Tak paham maksud Daddy-nya.

“Orang yang tidak berkepentingan dengan data itu,” tandas sang mafia kembali mengepulkan asap putih ke udara.

Diam sebentar, mengingat apakah ada peninggalan seperti itu dari ayahnya? “Sepertinya tidak ada, Paman, eh ... Daddy Sean. Tidak ada. Ayahku jarang bicara soal pekerjaannya. Aku tidak tahu apa-apa.”

Raut wajah sang mafia terlihat tidak puas dengan jawaban tersebut. Akan tetapi, memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. “Habiskan sarapanmu, cepat. Akan kuantar ke kampus. Kamu pulang jam berapa? Akan kusuruh orang menjemput.”

“Kita tidak jadi melihat-lihat mobil?”

“Lihat nanti. Kalau urusanku selesai, kita berangkat. Kalau belum selesai, cari hari lain,” tukas Tuan Besar Lycus datar.

“Aku naik taksi saja, Paman. Hari ini sepertinya aku akan hangout dengan teman-teman di cafe nanti sore,” jawab Ghea tersenyum santai.

“Terserah ....” Sean menanggapinya dengan dingin.

“Daddy Sean kenal ayahku dari mana?” tanya Ghea cepat menghabiskan sarapan.

Diam sebentar, Sean menarik napas dalam, lalu bercerita. “Aku mengenal ayahmu sudah sangat lama. Bahkan, sebelum kamu ada. Kami bertemu di sebuah pekerjaan. Kapan-kapan akan kuceritakan.”

“Untuk sekarang, aku masih banyak urusan dan tidak bisa bercerita lebih banyak.”

Lalu, tubuh gagahnya berdiri dari kursi, mematikan rokok, dan melangkah. “Aku tunggu di ruang tamu. Sepuluh menit lagi berangkat!”

“Oke, Dad!”

Sean memijat pelipisnya. Dari dulu tidak ada yang pernah memanggilnya Daddy atau Dad. Kenapa saat ini ia biarkan saja sang gadis memanggilnya begitu?

Namun, satu hal yang pasti, ia sungguh-sungguh saat mengatakan akan melindungi Ghea dari kejaran orang jahat. Pemimpin Klan Lycus tersebut tidak mau ada yang mengganggu Kitty Cat.

Ghea memandangi lekat ketika Daddy Sean meninggalkan ruang makan. Punggung tegap itu selalu indah untuk dipandangi.

Satu hal yang jelas baginya, bersama Sean terasa jauh lebih aman dan nyaman ketimbang enam bulan tinggal bersama Paman Horace yang sering mabuk dan memukulnya. Apalagi, paman kandungnya tersebut sampai hati untuk menjualnya.

***

Sean duduk di ruang tamu dan Claudio menghampirinya, “Tuan memanggil saya?”

“Hmm, sepuluh menit lagi kita berangkat. Antar Ghea kuliah terlebih dahulu baru ke Dungeon. Bagaimana kondisi mata-mata yang tertangkap kemarin?” angguk Sean, berucap datar dan dingin.

“Kondisinya babak belur, Tuan. Anak-anak sudah menghajarnya habis-habisan. Mereka mau eksekusi, tetapi menunggu Anda datang terlebih dahulu,” jawab kepala Bodyguard tersebut.

“Interogasi juga belum menghasilkan sesuatu yang jelas,” pungkasnya.

Terkekeh dengan sinis, mata Sean berkilat tajam. “Musuh mengira mereka bisa memasukkan mata-mata ke tempatku tanpa diketahui.”

“Sungguh bodoh! Fucking bastard! Marayan Brotherhood selalu cari masalah denganku!”

“Akan kukirim kepala mata-mata itu ke meja kerjanya Victor Marayan!” Sean menyungging senyum kejam.

“Siap, Tuan!” angguk Claudio. “Saya persiapkan anak buah untuk berangkat sepuluh menit lagi.”

“Claudio!” panggil Sean mendadak.

“Ya, Tuan?”

“Buat team untuk memata-matai Ghea. Aku mau tahu semua yang dia lakukan di luar sana. Tapi, satu hal, aku tidak mau dia tahu kalau aku memata-matainya,” perintah Sean dengan tenang, datar, tetapi tegas.

“Siap, Tuan Lycus!”

Sean tersenyum penuh makna. “Kalau kamu berbohong tentang data rahasia itu, aku pasti akan mengetahuinya, Kitty Cat!”

***

Berkendara dengan Sean di dalam Rolls Royce Phantom milik sang mafia, Ghea merasa rikuh sendiri. “Uhm, bisakah Daddy turunkan aku di ujung belokan saja? Aku akan jalan kaki menuju kampus, hanya sekitar sepuluh menit.”

Lirikan Sean kembali terlihat jengah. “Kenapa begitu?”

“Mobil ini sangat mewah. Orang akan memperhatikan kalau aku datang menggunakan Rolls Royce,” jelas sang gadis tersenyum gamang.

Sean diam, berpikir sejenak, lalu memutuskan. “Kamu turun di depan kampus, titik!”

“Tapi, aku takut jadi pusat perhatian dan diki—“

“Jangan membantah!” potong Sean teramat tegas, sedikit membentak. “Peraturan utama, dilarang membantah!”

Ghea beringsut cemberut. Bibirnya maju beberapa inchi ke depan dan membuang pandang ke jendela. Menggerutu dalam hati, mengumpat kepada paman angkat yang telah berubah jadi daddy angkat dan dirasa menjengkelkan saat ini.

Sementara Sean, ia melirik sesekali pada paras cantik polos yang sedang cemberut. Meski tidak diinginkan, hati mengakui bahwa Ghea Kingston memang sedemikian manis, terutama saat cemberut.

Tiba-tiba, ingatannya sekali lagi kembali pada bagaimana ranumnya buah dada sang gadis yang terpampang sedikit pagi ini. Berlanjut dengan pangkal paha putih mulus yang ....

‘Fuck! Jangan diingat terus!’ bentaknya kepada diri sendiri. ‘Ingat! Kamu berjanji untuk melindunginya, stupid shit!’

***

Di New York University, seorang pemuda baru saja memarkir Range Rover hitam miliknya. Turun dengan mengenakan hem lengan panjang hitam dipadu dengan kaos putih di dalamnya dan celana jeans hitam, penampilan Evander Xu benar-benar seperti anak kuliah.

Baru berjalan sekitar lima menit, tiba-tiba sebuah Rolls Royce melintas di samping, membuatnya mengerutkan dahi. ‘Siapa yang membawa mobil mewah begini ke kampus?’ pikirnya membatin.

Ia terus berjalan, sedikit dipercepat karena penasaran dengan penumpang di dalam mobil mahal tersebut. Ketika akhirnya kendaraan berhenti di depan, ia pun menghentikan langkahnya.

Seorang gadis berambut hitam kecokelatan turun dengan membawa tas dan dua buah buku di tangan. Mata pemuda itu terbelalak. ‘Ghea Kingston!’ pekiknya melihat target ada di hadapan.

Evander kembali melangkah cepat. Data yang diperoleh kemarin adalah bahwa Ghea tinggal dengan pamannya yang miskin setelah kedua orang tua meninggal. Kenapa tiba-tiba muncul dengan menaiki Rolls Royce?

Melintas di belakang Ghea, mata Evander cepat mencuri pandang ke jendela yang terbuka di mana seorang lelaki sedang berbicara pada si gadis.

“Jangan pulang terlalu malam!” ucap Sean mengingatkan.

“Yes, Daddy!” Ghea bergumam acuh dan pelan.

Semakin terkejutlah mata-mata pemerintah itu melihat siapa yang sedang berbicara dengan Ghea. Dalam hati ia langsung bertanya penuh keheranan, juga rasa khawatir.

‘Bagaimana ceritanya Ghea bisa bersama Sean Maximilian Lycus? Mafia hitam yang selalu diincar oleh pemerintah?’

BERSAMBUNG

Ch.08 Yes, Daddy Sean