Ch.06 Daddy Sean?

5
0
Deskripsi

Bab 6 dari Sugar Baby of The Mafia (Prequel Novel The Mafia Sugar Daddy yang tayang di Dreame) 

Tangan kekar Sean Maximilian Lycus membelai bibir keponakannya dengan perlahan. Ada debar tak bisa dijelaskan saat menyentuh kulit putih lembut. Dunia hitam telah membawanya bertemu dengan berbagai wanita yang tak lagi … murni.

Namun, di hadapannya, ada seorang Kitty Cat yang terlalu banyak membaca novel dewasa dan menonton film entah apa hingga begitu polos. Gadis yang selalu takut akan ditiduri oleh lelaki hidung belang.

Hanya saja, lelaki mana yang tak akan terpesona dengan sesuatu sedemikian bening seperti ini? Batin Sean merintih sendiri ketika melihat keponakan angkatnya di hadapan. Hanya memakai kaos ketat yang menampilkan liuk dada indah, ditambah celana pendek dan longgar yang memperlihatkan paha mulus berwarna putih.

Pun Ghea, lepas dari asrama khusus putri dalam usia 18 tahun, langsung fokus kuliah, ia belum pernah disentuh lelaki mana pun. Sang ayah sangat mewanti-wanti agar tidak mudah terlena bujuk rayu pemuda. Maka, ia menjaga diri sedemikian rupa meski teman-teman selalu mengatakan dia kolot dan berpikiran tidak terbuka.

Ghea selalu ingin malam pertamanya di atas ranjang terjadi secara sempurna. Bercinta dengan lelaki yang mencintainya sepenuh hati. Bersama lelaki yang juga ia cintai. Ingin mengenang kejadian istimewa ini seumur hidup dengan bibir tersenyum dan kalau bisa … tanpa penyesalan.

Disentuh sedemikian rupa oleh paman angkatnya sendiri malam ini membuat irama detak jantung Ghea kacau sesaat. Terheran dengan diri sendiri kenapa ada sebuah desiran yang tak bisa dijelaskan? Lelaki itu berusia hampir dua kali lipat dari umurnya sekarang.

Baru saja mengenal, dan ia tadi siang pun sempat merasakan ditodong pistol serta dibanting ke atas lantai mobil. Tentu saja dalam hal ini seorang Sean Maximilian Lycus adalah lelaki … red flag.

Akan tetapi, a bad man is so good to find, bukankah begitu?

Dua manusia larut dalam tatap tak terkatakan. Hanya saling memandang dengan perasaan yang terlalu sulit untuk dijelaskan. Berdebar, perut seperti diaduk, dan juga gamang. Meminjam peribahasa orang Barat, seakan ada kupu-kupu beterbangan di dalam perut dan menghasilkan rasa menggelitik indah.

Namun, semua yang terjadi harus berakhir karena seorang wanita bertubuh seksi dan montok mendadak ada di depan pintu, lalu memanggil dengan kalimat yang sangat mesra.

“Siapa dia, Sean Darling?”

Mendengar suara ini, Tuan Besar Lycus menurunkan lengannya yang ditumbuhi rambut-rambut halus dari wajah Miss Kingston. Tak lagi menatap, cepat mengalihkan pandang ke arah lain, bahkan mulai turun dari ranjang.

Ghea langsung menoleh, melihat ada seorang wanita seksi di depan pintu. Debaran tidak jelas akibat sentuhan sang paman telah hilang dari dalam dada.

Sekarang, ia hanya bertanya-tanya, ‘Siapa dia? Apa dia kekasihnya Paman Sean?’

“Masuklah, Abigail,” panggil Sean menapakkan kaki di atas lantai berlapis kayu cokelat tua.

Ia memandang keponakannya sekali lagi, lalu memberi botol obat sambil bertanya, “Bisa kamu oleskan sendiri obat ini di wajah dan bibirmu?”

Menerima botol tersebut, Ghea mengangguk. “Bisa, Paman.”

Lalu, Sean turun dari atas ranjang, berdiri tegap sambil mengencangkan handuk di panggul kekarnya, dan berjalan mendekati wanita yang ia panggil dengan nama Abigail di tengah ruangan.

“Ada berita apa?” tanya Tuan Besar Lycus.

“Tidak banyak. Hanya saja, aku barusan mendapat undangan untukmu. Gubernur New York Marrie Ann mengadakan pertemuan dengan para pengusaha hiburan malam. Kita harus berbelanja pakaian baru untuk menghadiri acara tersebut,” tandas sang wanita tersenyum.

Raut tatapnya menyelidik pada Ghea, lalu berjalan mendekati sang gadis. “Siapa namamu?” Ia bertanya.

“Ghea Kingston,” jawab gadis lugu tersebut meringis menahan perih di ujung bibir karena baru saja ditetesi obat.

“Aku Abigail Landon. Oh, ternyata ini yang bernama Ghea?” tawa Abigail menyungging senyum miring. “Aku kira kamu wanita yang biasa dibawa Sean dari klub ma—”

“Abigail!” potong Sean sedikit membentak dan memandang tajam pada sang wanita berambut pirang kecokelatan. Ia nampak keberatan dengan kalimat terakhir. Ghea tidak perlu tahu semua kebiasaannya.

Abigail tersenyum singkat dan cepat mengubah wajah salah tingkahnya menjadi ramah kembali. Lalu, ia duduk di sebelah tamu terbaru di rumah ini.

“Kamu tahu aku?” heran Ghea mengernyitkan kening.

Abigail melirik pada Sean yang berjalan menuju lemari pakaian. “Sean bercerita kalau dia akan menjemput seorang perempuan muda bernama Ghea. Jadi, ya, aku tahu kamu.”

“Hmm,” gumam Sean mendengar penjelasan wanita seksi berbokong besar dan padat berisi tersebut. Ia lalu kembali memasuki kamar mandi dengan menenteng dua buah pakaian.

Dua wanita menatap punggung Sean yang dihiasi tato bergambar dua ular saling berhadapan dengan badan meliuk bertautan. Satu hal yang makin membuat Tuan Lycus memiliki aura kejantanannya tersendiri adalah berbagai tato di atas kulit tubuhnya.

Mata Ghea tak berkedip melihat tato tersebut. Abigail melirik, melihat bagaimana gadis itu terpesona dengan tato di punggung Sean.

Setelah lelaki tinggi berkulit cokelat muda tersebut meninggalkan ruangan, Abigail duduk di ranjang sambil menatap Ghea. “Ada satu luka yang tertinggal di keningmu,” ucapnya menunjuk lecet kecil di bagian dahi sebelah kanan atas. “Sini, aku obati.”

Abigail mengambil botol obat dari tangan Ghea, menitikkan satu tetes di telunjuk, dan ia sentuhkan pada bagian yang lecet. Gadis itu kembali meringis perih.

“Selesai!” senyum Abigail menutup botol obat.

Ghea mengembus lega, penderitaan telah berakhir. Sorotnya larut menatap pada wanita dewasa yang ia perkirakan berusia sekitar 30 atau 35 tahun. “Kamu ... pacarnya Paman Sean?”

Terkikik sambil menggeleng dan mengendikkan bahu. “Apa kata Sean tentang aku? Apa dia mengatakan aku pacarnya?”

“Dia belum menyebut apa pun tentangmu. Kamu memanggilnya Darling, jadi aku kira kalian adalah sepasang kekasih?” jawab Ghea polos.

“Oh, begitu ... well ... kami bukan kekasih, tetapi kami juga bukan teman biasa. Aku adalah asisten pribadi, orang kepercayaan Sean Maximilian Lycus.” Abigai memberi penjelasan panjang lebar tentang siapa dirinya.

“Aku mengurusi semua kebutuhannya. Mulai dari membereskan berkas-berkas penting, mengatur janji temu dengan rekan bisnis, mendampinginya ke mana pun dia pergi, hal-hal seperti itu ….”

Ghea manggut-manggut. “Oh, jadi kamu mengurus semua keperluan Paman Sean.”

“Well, aku juga mengurusi keperluan ranjang Sean ...,” seloroh Abigail tiba-tiba.

“Hah?” pekik Ghea terkejut.

“Tapi, kami bukan kekasih!” gelak Abigail melihat keterkejutan di wajah keponakan angkat bosnya. “Sean memiliki trust issue dengan apa yang namanya hubungan berkomitmen,” lanjutnya berbisik.

“Tapi, kami berdua sama-sama menyukai aktivitas di ranjang. So, biarkan saja apa adanya.”

Bingung, tentu saja Ghea tidak paham. Berbagi ranjang, tetapi bukan kekasih? Lalu, apa namanya? Abigail tidak terlihat seperti wanita jalang. Sebaliknya, ia terlihat sangat berkelas dan ... sepertinya baik pula.

“Kamu sudah makan malam?” tanya asisten pribadi itu masih tersenyum, memandang perhatian.

“Belum,” geleng Ghea menjawab singkat.

“Oke, aku akan meminta pelayan untuk menyiapkannya. Sudah, kamu sudah selesai diobati dan bisa kembali ke kamar. Kalau nanti makanan sudah siap, aku akan memanggilmu,” lanjut pemilik rambut sepanjang tengah punggung itu tersenyum hangat.

Ghea mengangguk, “Terima kasih, aku kembali dulu,” pamitnya berlanjut dengan langkah kaki meninggalkan kamar.

Mata Abigail tidak berkedip memperhatikan tubuh mungil itu berlalu dari kamar. Ada sebuah rasa tak nyaman merasuki batin. Sean memang bercerita tentang seorang gadis bernama Ghea Kingston yang ditinggal mati orang tuanya.

Ia hanya tidak mengira perempuan muda itu terlihat cantik dan menggemaskan. Abigail tahu bagaimana tabiat Sean dengan wanita dan … ranjang. Dulu rumah ini hanya mengenal dirinya sebagai satu-satunya wanita yang ada di hidup Tuan Besar Lycus.

‘Akankah dia mengganti posisiku di hadapan Sean? Kuharap tidak …,’ harapnya mengembus panjang.

***

Tak seberapa lama, Sean keluar dari kamar mandi telah berpakaian lengkap. Memakai hem lengan panjang yang digulung sampai ke siku, membuka dua kancing paling atas hingga bulu halus di dada terlihat dan membuatnya semakin jantan berkharisma.

“Mana Ghea?” tanya lelaki itu singkat.

“Kembali ke kamarnya. Ah, kenapa kamu sudah berpakaian? Aku ingin melepas handuk itu dari pinggangmu, Sean,” goda Abigail menyapu bibirnya sendiri dengan lidah basah.

Kaki mulus menuruni ranjang, berjalan mendekat dengan tatap tak berkedip. Tujuannya hanya satu yaitu mencapai sosok gagah harum maskulin, lalu memeluknya. “Kiss me, Darling,” desah Abigail melingkarkan tangan di belakang tengkuk bosnya.

Sean tersenyum simpul, melirik pada dua bongkahan dada besar di hadapan. Ia biarkan Abigail melumat bibirnya dengan penuh nafsu dan desah tertahan. Tangan kekar sang lelaki sigap meremas bokong asisten pribadinya.

Namun, ciuman mereka tak berlarut menjadi sesuatu yang lebih panas karena Sean kemudian bercerita, “Tebak siapa yang aku temui saat menjemput Ghea.”

“Hmm, aku tidak suka tebak-tebakan. Siapa yang kamu temui?” Abigail menggeleng, masih melingkarkan tangan di belakang leher kokoh. Dua mata beradu pandang dalam satu garis lurus.

“Aku bertemu salah satu orang Klan Blast. Aku bertemu Javier Blast. Dia mau membeli keperawanan Ghea seharga $200.000. Ternyata, pamannya menjual keperawanan itu dengan harga sangat murah. Fucking asshole!” dengkusnya selalu emosi jika teringat pada Horace Kingston.

“Pamannya Ghea menjual keperawanan keponakannya sendiri? Lelaki menjijikkan!” kaget Abigail hingga memberi ekspresi wajah tak percaya. “Apa kamu sudah memberinya pelajaran, Darling?”

“Yeah, aku ingin menembak kepalanya saat itu juga. Tapi, aku tidak butuh drama dengan orang yang tidak penting. Aku mencekiknya, membayar sejumlah uang, dan membuatnya mengerti agar tidak mencari perkara denganku,” hela Sean mengembus kasar.

“Javier Blast saling todong denganku, kemudian dia takut sendiri, lalu pergi. Fucking pervert! Seakan wanita lacur di rumah bordil tidak cukup baginya, masih harus mencari yang perawan?”

Abigail tersenyum manis, terlihat hangat, lalu mengusapkan telunjuknya dengan lembut mulai dari kening, hidung, sampai ke bibir merah tebal lelaki tampan berwajah dingin di depannya.

“Siapa yang tidak takut dengan Sean Maximilian Lycus? The Black Cobra, pemimpin Klan Lycus yang dikenal memiliki anggota ratusan, bahkan ribuan orang di seluruh dunia,” desisnya setengah berdesah. Mendekatkan wajah, menyentuhkan bibir ke telinga lawan bicara.

“Seorang Javier Blast akan lari terkencing-kencing kalau berhadapan denganmu, Tuan Besar Lycus,” pungkas Abigail mengecup manja leher Sean.

Kelakuan mereka berdua persis seperti dua orang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Akan tetapi, Abigail telah mengatakan mereka bukanlah seperti itu. Kemesraan, desah manja di antaranya, tatap sendu, semua terjadi begitu natural walau tidak ada ikatan apa pun.

“Tidur denganku malam ini, Abigail. Aku lelah mengejar anak kucing itu sepanjang siang di belakang halte bus. Dia liar sekali dan mencoba kabur terus,” pinta Sean merayapkan tangannya di balik rok span mini yang dipakai sang wanita.

Telapak tangan membelai paha bagian dalam, naik sedikit ke atas, mengusap bagian tengah di antara dua kaki yang sontak membuat asisten piribadinya melenguh sensual.

“Lihat, ada bekas sepatunya di pipiku. Dia menendang wajahku!” lanjutnya mendengkus jengkel, menunjuk sebuah memar selebar kuku di bawah tulang pipi.

Abigail memperhatikan bagian yang ditunjuk. Lalu, ia berjinjit dan mengecup sisi tersebut. “Oh, my poor Darling. Akan kubuat nyaman setiap inchi tubuhmu malam ini, Sean Darling.”

Satu ciuman panas kemudian terjadi di antara dua manusia dewasa yang saling memeluk. Tidak ada sebuah ikatan apa pun selain kenyataan bahwa mereka adalah bos dengan anak buah, dan lelaki wanita yang sama-sama menyukai sentuhan satu sama lain.

Semerbak wangi yang menguar dari leher Abigail dihirup panjang oleh Sean. Ia menyukai bagaimana wanita itu selain menjadi orang yang paling dipercaya untuk segala urusan, tetapi juga sangat terpercaya untuk urusan memuaskannya di atas ranjang.

Terlebih, Abigail sangat mengerti posisinya sekarang. Tidak pernah menuntut apa pun dari sang Mafia berjuluk The Black Cobra tersebut. Tak ada tuntutan untuk menjadi Nyonya Besar Lycus, karena Sean tidak percaya akan janji suci pernikahan.

Pun, Abigail tidak pernah protes ketika ia tidur dengan wanita lain selain sang asisten pribadi. Bagi Sean, kehadiran seorang wanita seperti Nona Landon adalah sosok yang sempurna. Banyak membantu, tidak pernah merepotkan.

***

Meja makan di kediaman utama Klan Lycus kini tidak lagi hanya diisi Sean dan Abigail. Ada sosok Ghea di sana yang ikut makan bersama mereka. Untuk ukuran gadis berusia 20 tahun, wanita itu memang terlihat masih seperti anak berusia 15 tahun dengan kepolosan wajah serta tutur katanya.

Ia lebih banyak menunduk sepanjang makan malam, tidak tahu harus bersikap bagaimana di antara Sean dan Abigail yang sejak tadi berbicara bisnis. Apalagi, ia masih merasa sedikit perih di bagian tubuh yang luka-luka.

Perkataan Abigail mengenai ranjang juga masih terngiang. Masih tidak habis pikir kenapa bisa dua orang itu bercinta tanpa ada ikatan apa pun?

“Kitty Cat, kenapa diam saja?” tegur Sean tiba-tiba berhenti berbicara dengan Abigail dan menoleh ke arah keponakannya.

“Hmm? Aku? Kenapa, Paman? Maaf, aku tidak dengar,” gugup Ghea mendongakkan kepala.

Tatap mata sang gadis beradu dengan sorot lekat Sean, dan keduanya sama-sama terhenyak dalam sepersekian detik. Selalu begini kalau mereka saling memandang.

Mendadak, Ghea teringat bagaimana jari Sean menyentuh wajahnya. Juga bagaimana luar biasanya tubuh gagah sang paman angkat.

Pun ingatan yang sama menjalar di benak sang mafia menawan. Lembut kulit wajah Ghea yang tersentuh oleh jari-jari tangannya membuat ada desiran aneh yang ia sendiri tak tahu apa itu.

Abigail menyela dengan cepat, “Pamanmu ingin tahu kenapa kamu diam saja, Ghea? Apa kamu masih ketakutan? Atau kamu masih sakit?”

“Oh, itu ...,” sahut Ghea menoleh pada asisten pamannya, lalu menggeleng lirih. “Satu hari ini benar-benar seperti mimpi buruk bagiku.”

Tak ada lagi saling memandang satu sama lain.

“Aku paham, pasti mengerikan ketika paman kandung ingin menjual dirimu. Tapi, kamu sudah aman sekarang. Sean tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, benar, bukan?” Abigail melirik kepada bosnya.

“Hmm,” jawab Sean singkat, kembali menenggak Jack Daniels yang ia suka minum bersamaan dengan makan malam. “Abigail benar, kamu sudah aman.”

“Apa kegiatanmu selama ini, Ghea?” lanjut Abigail mencoba mengajak gadis itu dalam obrolan santai.

“Kuliah, hanya itu saja. Sesekali hangout dengan teman-teman,” jawab Nona Kingston tersenyum datar.

“No boyfriend?” kekeh Abigail menggoda. Membuat Sean spontan melirik, menanti jawaban dari bibir mungil keponakannya.

Menggeleng, wajah Ghea menunduk malu. “Aku tidak pernah punya pacar.”

Senyum kecil muncul di ujung bibir Sean mendengar jawaban tersebut. Mengisi gelas dengan Jack Daniels dan menenggak dua kali. Pura-pura acuh, padahal mendengar dengan seksama setiap obrolan dua wanita tersebut.

“Jadi, kamu sungguh-sungguh perawan?” pekik Abigail tak percaya, kemudian tertawa lepas.

Yang ditanya hanya diam tak menjawab. Kota New York adalah kota metropolitan. Bahkan, dikatakan sebagai kota tersibuk di seluruh dunia. The City That Never Sleeps. Begitu julukannya. Kegiatan percintaan di kota ini pun tergolong sangat sibuk di mana muda mudi banyak yang sudah tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan apa pun.

“Ghea, kamu sungguh-sungguh masih perawan? Serius? Ya, ampun!” Abigail masih terbahak tak percaya. Ia sendiri kehilangan keperawanan di usia 16 tahun saat masih kelas 11 Senior High School.

“Sudah, Abigail, jangan menggodanya,” tukas Sean tersenyum datar kepada sang asisten. Ia sendiri ingin tertawa geli kalau membayangkan Ghea dengan status perawannya.

Selesai makan, mengambil satu batang rokok, dan menyalakannya. Asap putih mengepul di udara. Sean terlihat semakin gagah ketika sedang mengembuskan asap rokoknya. Seakan dia mewakili definisi kejantanan seorang lelaki di seluruh dunia.

“Berikan satu batang padaku, Darling,” pinta Abigail dan ikut menyalakan sebatang rokok.

Ghea hanya diam memperhatikan dua manusia dewasa di hadapan. Berkata dalam hati kalau Sean dan Abigail nampak seperti soulmate dengan berbagai kesamaan. Kenapa mereka tidak menikah saja? Pikiran polosnya itu tidak bisa mencerna semua dengan baik.

“Kamu kuliah di mana?” lanjut Abigail menyesap anggur merahnya, bergantian dengan bibir menghisap sebatang rokok.

“NYU. New York University. Ehm, sebenarnya di dekat sana ada asrama untuk para mahasiswa. Harganya tidak terlalu mahal. Apa boleh aku tinggal di sana sa—“

“Tidak boleh!” potong Sean dengan cepat. Melirik hanya satu atau dua detik, kemudian membuang wajah. “Kamu harus tinggal di sini, dan aku tidak mau didebat!”

“Aku besok masih kuliah. Di rumah Paman Horace masih dekat dengan halte bus umum. Tapi, di sini jauh dari halte bus. Bagaimana caraku ke kampus?” Ghea menatap bingung.

“Aku akan membelikanmu mobil sendiri supaya kamu tidak lagi naik angkutan umum. Seorang Lycus tidak boleh naik transportasi masal,” senyum Sean melirik pada wajah yang sedang melongo tak percaya.

“Mobil? Aku tidak perlu mobil, Paman Sean.” Ucap Ghea dengan nada menolak, ia merasa tak perlu dibelikan mobil. “Aku belum bisa menyetir dengan baik.”

“Bahkan, aku tidak punya surat ijin mengemudi. Ayah tidak menyediakan mobil untukku. Ke mana-mana selalu dengan angkutan umum.”

Akan tetapi, Sean tampak tak mau menyerah begitu saja. Ia menoleh dan menatap Kitty Cat dengan tegas. “Ghea, kamu butuh mobil untuk keperluan sehari-harimu. Aku tak mau kamu kesulitan,” desaknya dengan nada meyakinkan.

Ghea tampak ragu, namun akhirnya ia mengangguk menyetujui. “Paman serius?” engah Ghea terbelalak. “Aku akan dibelikan mobil?”

“Iya, aku akan membelikanmu mobil. Jam berapa kamu besok selesai kuliah?”

“Jam dua belas siang.”

“Good, aku akan mengantarmu pagi hari. Lalu, siang akan kujemput dan kita ke showroom mobil,” angguk Sean kembali mengembus kencang asap putih dari bibir seksinya tersebut.

Lagi-lagi gadis itu memekik dengan kencang dan menutupi mulut dengan kedua tangan. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

Tengah proses pembahasan mobil, Abigail memandangi Sean dan Ghea dengan wajah yang tampak cerah seperti biasa. Namun, sesuatu tampak berbeda dari tatapan mata Abigail. Asisten pribadi itu tampak menahan rasa tidak suka ketika melihat Sean sedang berbincang akrab dengan Ghea. Ia merasakan sesuatu yang menusuk di dalam dadanya.

Abigail memperhatikan keduanya dari kursi tempatnya duduk, melihat betapa bahagianya Ghea. Dan itu, semakin membuat Abigail merasa iri. Sean, laki-laki yang selalu ia anggap miliknya, tampak begitu bahagia bersama gadis lain. Abigail menelan ludah, merasakan pahit di tenggorokannya.

Namun, meski hatinya terasa sakit, Abigail masih berusaha untuk tetap tenang. ‘Tenang, Abby. Ini hanya sebuah mobil dan dia belum 1x24 jam berada di rumah ini. Kamu sudah hampir 7 tahun membersamai Sean.’

Ia menarik napas panjang dan memaksakan senyum. ‘Ini hanya sebuah mobil. Ghea tidak akan bisa menggantikan posisimu di hadapan Sean.’

Abigail memperhatikan itu semua, kemudian memberi sanggahan. “Sean, apa tidak terlalu terburu-buru kalau membelikan mobil? Dia baru saja tinggal dengan kita dan masih butuh banyak penyesuaian. Ghea sendiri berkata belum bisa menyetir mobil dengan baik?”

Nona Landon teringat kala ia membutuhkan waktu dua tahun sebelum memiliki sebuah Porsche dari Sean untuk dikendarai. Jika Ghea baru beberapa jam sudah memiliki mobil, itu terasa tidak adil, bukan? Kalau bisa dicegah, tentu itu akan lebih baik.

Dari nada suara sang wanita, tidak terlihat ada kecemburuan atau apa pun. Namun, dari sorot matanya jelas terlihat ada ketidaksukaan dengan apa yang akan diberikan pada Ghea. Rasa iri, itu sudah pasti muncul di dalam hati.

“Tidak apa, dia sudah menjadi bagian keluarga,” tandas Sean menatap tegas. Kalau sudah begini, Abigail pun tahu bahwa bosnya telah membuat keputusan dan tidak ingin dibantah.

“Dia akan belajar mobil dulu sebelum membawanya sendiri,” tukas Tuan Besar Lycus kembali menegaskan.

Ghea menatap Sean dan Abigail secara bergantian. Ia seperti sedang melihat kedua orang tuanya berunding mana yang terbaik untuk dirinya.

“Oke, kalau menurutmu itu tidak masalah. Siapa yang harus aku hubungi? Ferrari, Lamborghini, Porsche?” senyum Abigail menutupi rasa kesal karena sarannya tidak digubris.

“Akan kupikirkan besok.” Satu embusan asap rokok kebali mengepul di udara.

Ghea bertepuk tangan seperti anak kecil yang teramat girang akan diajak ke taman hiburan. Sepertinya, tinggal bersama Sean tidak terlalu menyeramkan seperti yang ia bayangkan. Belum apa-apa, ia sudah akan dibelikan mobil?

“Besok boleh beli ponsel terbaru, Paman Sean? Ponselku ini retak saat jatuh di lantai waktu aku diseret oleh Paman Horace,” pinta Ghea membulatkan mata. “Aku seperti sedang merajuk kepada ayah ketika minta dibelikan barang baru,” kikiknya merasa lucu sendiri.

“Memang aku akan menjadi pengganti ayahmu. Apa pun yang kamu butuhkan, beritahu aku. Siapa pun yang mengganggumu, beri tahu aku. Paham?” sahut Sean memandang dan menyungging secuil senyum di wajah dinginnya.

“Siap, Daddy Sean!” Ghea tertawa dengan panggilannya sendiri.

Sean memicingkan mata dipanggil seperti itu. Akan tetapi, ia juga tidak menolaknya. Daddy Sean terdengar menggemaskan, pikirnya dalam hati.

“Dia paman angkatmu, bukan ayah angkatmu,” ingat Abigail tertawa kaku, pura-pura merasa lucu dengan panggilan tersebut. Padahal, dalam hati sedikit panas melihat bagaimana Sean ada perhatian pada wanita lain, selain dirinya.

“Aku tahu, aku hanya bercanda, Abigail.” Ghea masih tertawa, sama sekali tidak tahu kalau ada sedikit sentimen negatif tertuju pada dirinya. Untuk sesaat, ia bisa melupakan bayangan kelabu yang telah begitu banyak menimpanya hari ini.

Sean mengepulkan asap rokok. Di antara asap yang bergejolak, ia memandangi Ghea dengan seksama. Memeta ulang bibir yang tadi ia sentuh. ‘Daddy Sean sebenarnya bukan panggilan yang jelek. I kinda like it ….’

***

Malam telah menjadi larut, jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Ghea menggerak-gerakkan pelupuk mata tanpa disadari. Tidur yang semula nyenyak kini mejadi gelisah. Sepertinya, ia sedang bermimpi buruk.

“Jangan jual aku!” jeritnya kencang dan mendadak duduk dengan napas terengah serta tubuh berkeringat banyak. Melihat sekeliling, sadar kalau baru saja mengalami mimpi buruk.

Di dalam tidur, ia merasa ditarik oleh Paman Horace dan akan dijual lagi kepada Javier Blast. Akan tetapi, begitu sadar kalau ternyata hanya mimpi, napasnya berangsur normal.

Namun, saat diri mulai tenang, ada saja yang mengusik ketenangan tersebut.

“Aaah! Yes, Sean! I like it!”

Sayup-sayup suara wanita terdengar sedang menjerit sambil melenguh penuh desah. Ghea seperti kenal dengan suara tersebut. Keningnya mengernyit ....

“Faster! Faster! Aaah!”

Detak jantung Ghea sontak meningkat pesat. Ia memang masih perawan, tetapi cukup tahu dengan apa yang sedang ia dengar. Dadanya kembang kempis mendengar itu semua.

“Me-mereka sedang ... bercinta?”

BERSAMBUNG

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Sbotm
Selanjutnya Ch.07 Saat Ghea Tertidur
5
0
Bab 7 dari Sugar Baby of The Mafia (Prequel Novel The Mafia Sugar Daddy yang tayang di Dreame)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan