Ch.05 Pasti Itu Obat Perangsang!

4
0
Deskripsi
post-image-6691fed32febd.jpg
Bab 5 dari Sugar Baby of The Mafia (Prequel Novel The Mafia Sugar Daddy yang tayang di Dreame) 

Untuk Visual tokoh bisa follow akun IG: @rein_angg dan TikTok: @rein_angg47.

Ghea melangkah di lorong dengan pikiran bertanya-tanya, apa yang diinginkan pamannya? Kenapa mengajak bertemu di kamar tidur? Akan tetapi, ia masih mencoba untuk berpikir positif bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang diluar batas kewajaran.

‘Mungkin Paman Sean hanya ingin berbicara mengenai kejadian tadi siang? Atau mengobrol sesuatu? Semoga dia tidak jahat seperti Javier Blast atau Paman Horace!’ harapnya dalam hati.

“Silakan, Nona. Saya permisi dulu,” pamit Margareth saat sudah berada di depan pintu kamar tidur Tuan Besar Lycus.

Begitu masuk ke ruang istirahat seorang Sean Maximilian Lycus, hati Ghea terkesiap. Kamar tidur ini besar sekali dan terlihat sangat mewah. Ranjang sangat lebar mungkin berukuran 200cm x 200cm terlihat rapi dengan  selimut tebal berwarna merah tua.

Di atas ranjang tersebut ada pigora besar dengan gambar Sean sedang berdiri. Di belakangnya ada seekor serigala dengan ular kobra seakan menjadi lambang kekuatan yan sekarang hidup di dalam diri sang mafia.

Terus melangkah mendekat, aroma segar jantan sang paman menguar di udara, Sedikit banyak hal ini membuat hati Ghea kian berdebar.

Apalagi, di dekat ranjang, lelaki itu sedang berdiri menatapnya tak berkedip dengan ceruk mata tajam. Dada Sean yang begitu bidang nampak basah dengan sisa air dari kepala. Ditambah otot keras berjumlah enam buah pada bagian perut, sesaat Ghea seperti melihat foto model majalah dewasa.

“Duduk,” perintah Sean singkat melirik ranjang.

Mengangguk, tubuh mungil gadis itu duduk di sisi peraduan. Ia memandangi Sean dengan pikiran yang tidak tenang. Berpikir bagaimana dalam usia yang sudah hampir menginjak kepala empat, fisik sang lelaki masih terlihat begitu sempurna.

“Buka bajumu,” lanjut Sean tetap singkat, datar, dan dingin. Matanya pun terus menatap seakan ingin menerkam tubuh mungil bercelana pendek di hadapan.

“A-apa?” Mata Ghea terbelalak lebar. Napasnya memburu cepat dan kedua tangan reflek terlipat di depan dada sambil jemari meremas-remas kulit lengannya sendiri. Ia sedang melindungi bagian atas tubuhnya karena enggan membuka baju.

“Kurang jelas? Buka bajumu,” ulang Sean berkacak pinggang. “Jangan bilang aku harus membantumu buka baju seperti anak usia tiga tahun,” kekehnya bertampang smirk.

“Untuk apa buka baju? Paman mau berbuat apa kepadaku? Paman sama saja dengan Javier Blast! Kalian lelaki bejat! Semua ingin meniduriku!” teriak Ghea. Karena takut, ia mendadak melompat turun dari atas ranjang.

Kaki putih mulusnya berlari menuju pintu. Berusaha menyelamatkan diri dari terkaman singa jantan di belakang yang sedang memijit kening dan menggelengkan kepala. Lagi-lagi, gadis itu kabur darinya.

“Ghea!” panggil Sean menghela napas kesal. “Ghea, berhenti kabur dariku! Shit!”

“Aku benci kalian semua!” jerit Ghea tidak mau menoleh sama sekali. Terus berlari menuju pintu seakan nyawanya sedang berada dalam bahaya. “Aku mau pergi dari sini!”

Suara langkah kaki sedang berlari di belakangnya terdengar berat. Ia menoleh dan mendadak tubuh gagah Sean sudah ada di belakang teramat dekat. Pinggang tiba-tiba terasa direngkuh kencang, tertarik ke belakang, bersamaan dengan kaki yang mulai terangkat dari atas lantai.

Perbandingan tubuh di antara keduanya memang cukup jauh. Sean yang tinggi besar tidak mengalami kesulitan untuk mengejar dan menggeret keponakan angkatnya dengan cara seperti sekarang.

Ia dekap punggung Ghea di dadanya, mencengkeram pinggang ramping dengan kedua lengan kekar, dan kembali berjalan menuju ranjang. “Otakmu itu harus di-reset!” dengkus Sean menggeleng sebal.

“Otak Paman itu yang harus di-reset! Kenapa kalian suka sekali meniduri anak muda perawan sepertiku!” Ghea menjerit kencang, tepat di dekat telinga Sean hingga membuat sakit.

“Diam!” bentak lelaki berjanggut kotak. Berpikir dalam hati apa benar keponakan satu ini masih perawan?

“Lepaskan aku!” ronta Ghea semakin tubuh mungilnya mendekati ranjang.

Akan tetapi, lengan berotot Sean tidak bisa digerakkan sama sekali. Sangat kuat mencengkeram dan ini menjadikan Ghea kian ketakutan. Walau sekuat apa dia meronta, tetap saja tidak ada perubahan.

Sorot mata gadis itu terheran saat mereka menuju sebuah rak kaca di sebelah lemari pakaian. Tertegun saat ada satu botol kaca setinggi jari telunjuk diambil dari dalam sana. “A-apa itu?” Bertanya dengan napas terengah.

Sungguh, yang ada di pikiran Ghea adalah itu pasti obat perangsang untuknya! Dia sudah sering melihat film dan membaca cerita tentang bagaimana seorang gadis diberi obat-obatan mulai dari obat tidur hingga obat perangsang. Kemudian, yang terjadi setelah itu adalah hilang keperawanan.

“Obat!” jawab Sean hanya satu kata dan semakin menguatkan dugaan Ghea bahwa dirinya akan dibuat tak sadarkan diri, lalu ditiduri.

Maka, gadis itu semakin kencang meronta. Tangannya memukuli tangan Sean yang merengkuh pinggang, tetapi lelaki tersebut sama sekali tak terpengaruh. “Jangan perkosa aku, Paman! Jangan ambil keperawananku!” teriaknya mengiba dan mulai menangis.

“Crazy girl!” dengkus Sean menggeleng, lalu menghempaskan Ghea ke atas ranjang. “Kabur lagi, aku akan menembakmu! Lihat senjataku sudah siap di situ!” tunjuk Sean pada Revolver di meja kecil sebelah lemari.

Ghea menggeleng, wajah menjadi pucat pasi. Antara ditembak atau ditiduri? Pilih mana? Dia tentu tidak bisa memilih. Lama kelamaan air mata turun lagi di pipi putihnya.

“Menangis lagi? Oh, my God! Kamu benar-benar seperti balita! Dibentak sedikit menangis! Apa maumu, hah? Fuck!” dengkus Sean mengembus kasar.

Terisak sedikit, “Mauku, jangan perkosa aku, Paman. Jangan tiduri aku,” lirihnya mengusap air mata.

“Kalau aku mau menidurimu, dari tadi kamu sudah telanjang dan merintih nikmat di kasur ini! Got that?” bentaknya melotot, dan napas terengah. “Aku tidak akan menidurimu! Kenapa kamu berpikir aku ini mesum, hah?”

Ghea mengendikkan bahu, “Aku hanya takut, Paman ….”

“I’m so fucking good in bed, Kitty Cat! Kalau aku ingin bercinta denganmu, sudah sejak awal kamu kuikat di ranjang!” lanjutnya menyugar rambut basah ke belakang. “Dan saat itu terjadi, kupastikan keperawananmu hilang dengan cara yang sangat menyenangkan!” tatapnya tersenyum nakal.

“Lalu? Paman mau apa? Kenapa menyuruhku membuka baju?” Ghea mendorong tubuhnya mundur hingga mengenai sandaran ranjang. Bagi gadis itu, memang Pamannya selain memiliki aura kebengisan, tetapi juga ada aura ranjang yang entah kenapa jelas terlihat.

Senyum nakal barusan kembali membuatnya merinding sendiri.

“Mau memberikan obat ini!” jawab Sean menunjukkan botol di tangannya. “Ayo, buka bajumu!”

“Pasti itu obat perangsang, ‘kan? Atau obat tidur? Paman sungguh tidak punya nurani kalau membiusku dengan cara itu!” isak Ghea menggeleng ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar karena tahu ia tidak akan bisa lolos dari lelaki gagah di hadapan.

“Katanya tadi tidak akan meniduriku?” engah pemilik rambut hitam panjang mengusap kembali satu tetes air mata.

“The fuck?” umpat Sean menggeleng. “Dari mana kamu dapat ide gila begitu, hah? Kamu pikir aku lelaki macam apa?”

“Da-dari ... dari film, dari n-novel .... Bi-biasanya begitu, b-bukan? Laki-laki menggunakan obat untuk bisa meniduri wanita yang dia mau?”

“Ini obat untuk menyembuhkan luka, Kitty Cat! Aku ini ingin mengobatimu!” seru Sean mengusap wajah dengan kedua tangan, lalu memandang jengah. Berpikir demi apa dia terjebak dengan seorang gadis seperti Ghea.

“Buku apa yang kamu biasa baca, heh? Otakmu itu kotor sekali!” cibir Sean menggeleng kesal.

Ghea tertegun, memandang ulang pada botol bening di atas ranjang. Sean mau menyembuhkan luka-lukanya? “Lalu, kenapa aku diminta b-buka ... buka baju?”

“Punggungmu pasti penuh luka karena siksaan Marcus saat menyeretmu menemui Javier. Benar atau tidak?” erang Sean ingin mengetuk kepala keponakan angkatnya.

Dalam hati menambahkan, juga karena ia banting di mobil tadi. Akan tapi, ia tidak mau mengakui perbuatannya tersebut.

Lalu, ia melihat sorot ketakutan dan trauma di wajah Ghea. Menarik napas dalam-dalam, mulai menyadari bahwa niat baiknya disampaikan dengan cara yang salah. Bukannya terkesan membantu, justru terlihat ingin meniduri.

Apalagi, ia hanya memakai handuk saja. ‘Fuck! Apa semesum ini aku terlihat di mata dia?’

“Maaf, kalau aku sudah membuatmu takut. Ini hanya obat luka yang akan kuolesi di punggungmu. Makanya kusuruh buka baju,” ulangnya mengutarakan niat sambil mengembus jengah.

“Aku tidak biasanya meminta maaf kepada siapa pun. Jadi, jangan cerewet dan turuti apa kataku!” tegas Sean kembali membuat mata dan bibirnya membentuk garis lurus.

Ghea menghapus air mata dari pipinya, menatap ragu pada Sean. Belum berani percaya sepenuhnya. “Paman tahu dari mana punggungku luka-luka?”

“Aku sering menyeret orang. Jadi, aku tahu kalau punggung mereka pasti luka setelah kuseret di lantai,” kekeh Sean menyeringai dingin.

Ghea teringat bagaimana ia sempat ditodong pistol saat di mobil karena mendendang dan membuat jengkel pamannya tersebut. Paham bahwa yang diseret pasti musuh-musuh sang lelaki. Semakin merinding, ia memandang lelaki matang itu.

“Paman mafia, ya?” tebaknya takut-takut.

“Bukan, aku sales door to door!” ketus Sean enggan menjawab. Apa iya harus ditegaskan bahwa dia seorang mafia? It’s like harus menjelaskan bahwa matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Sesuatu yang sudah jelas, tidak perlu diungkap lagi.

“Balik badan, angkat bajumu, sini aku obati. Look, aku tidak pernah menikah, tidak juga punya anak. Aku tidak tahu cara menghadapi anak kecil sepertimu. Aku takut lukamu infeksi, hanya itu!”

“Aku bukan anak kecil. Umurku 20 tahun,” tukas Ghea tidak mau dianggap anak kecil.

Sean tertawa lepas. “20 tahun dan masih perawan?” Pandangnya memicing, tidak percaya.

“Memangnya kenapa? Apa yang salah?” Ghea mendelik tersinggung.

“Kamu tidak suka lelaki?” tebak Sean mengerutkan kening. Bukannya segera mengobati, mereka justru terlibat dalam percakapan yang tidak berfaedah mengenai sexual preference Ghea.

“Paman yang benar saja! Aku suka lelaki! Hanya saja, ayah dan ibu menempatkan aku di asrama khusus wanita! Lokasinya di pinggir desa."

"Aku di sana hingga berusia 18 tahun. Dan aku tidak punya pacar sampai sekarang!”

“Kenapa tidak pacaran? Dan kenapa tidak pernah bercinta? Making love itu enak,” kikik Sean culas, menahan rasa ingin terpingkal ketika mengetahui keponakannya ternyata masih perawan.

“Kamu yakin sudah 20 tahun? Bagiku, kamu terlihat seperti anak 15 tahun!” gelaknya tertawa hingga perut liat dengan enam otot kotak bergelinjang pelan.

Ghea mendengkus kasar, menatap jengkel pada lelaki dewasa yang bertubuh aduhai tersebut. Ia membuang wajah, merasa malu kalau harus membahas masalah ranjang dengan orang yang baru dikenal beberapa jam lalu.

“Jadi mengobatiku atau tidak?” kesalnya melirik sekali sambil cemberut. “Kalau tidak jadi, aku kembali saja ke kamar.”

“Buka bajumu, Kitty Cat!” Sean merayap naik ke atas ranjang, lalu duduk di sisi Ghea. “Aku ini pamanmu, mana mungkin ingin meniduri, apalagi memerkosamu,” gumamnya pelan.

Ghea mengembus pasrah, membalikkan badan, lalu mengangkat kaos bagian belakang. Mata Sean tidak berkedip saat melihat satu garis kain mungil dengan sebuah pengait di bagian tengah. Biasanya, ketika melihat bagian bra yang ini, tangan akan aktif bekerja melepas kaitan tersebut, lalu meremas dua benda bundar di bagian depan.

Namun, kali ini tujuannya adalah mengobati. Maka, satu tarikan napas sangat dalam, dan ia jauhkan pikiran nakal tersebut. Berpegang teguh pada omongan barusan, ia adalah pamannya Ghea -meski angkat. Mana mungkin meniduri sang gadis?

“Luka lecetmu ada banyak,” tandas Sean perihatin begitu memandangi punggung keponakannya.

Tiba-tiba, Ghea mengangguk, terisak, dan menangis pelan. “Paman Horace menyakitiku sepanjang hari. Ia membantingku ke lantai berkali-kali. Menampar, menyeret, memaki. Dia seperti orang kesetanan!”

Sean mendengar itu, hati sang mafia menjadi panas. Bayangan meledakkan kepala Horace mendadak melintas begitu saja. Berpikir dalam hati, ia pun orang dari dunia hitam, tetapi tidak pernah menyakiti wanita tak berdosa seperti ini.

“Aku sudah membalas dengan mencekiknya. Aku juga sudah membayarnya lebih dari cukup. Dia tidak akan menyakitimu lagi. Kamu aman di sini.”

Telunjuknya diletakkan pada ujung botol bening, menuangkan beberapa tetes obat. “Ini akan menjadi sedikit perih, tahan, ya?”

“Aduuuh!” Memang perih sekali. Punggung Ghea yang luka terasa seperti disayat selama beberapa detik.

“Dia memang perih, tapi cepat menyembuhkan. Besok pagi, lukamu sudah kering. Aku akan mengoleskan ke luka yang lain. Tahan, oke?”

“Aduuuh!” jerit Ghea makin kencang hingga ia harus meremas pilar sandaran ranjang sebagai pelampiasan rasa sakit di punggung. Seluruh tubuhnya menegang saat obat tersebut masuk ke dalam pori-pori dan jaringan kulit.

“Kurang sedikit lagi,” ucap Sean terus mengoleskan obat mujarab tersebut ke punggung keponakannya. Sekitar lima menit berlalu, luka terakhir sudah terolesi obat. “Done!”

Setelah selesai, Sean menarik turun kaos keponakannya. Kembali menutup punggung putih berhias tali bra berwarna merah muda. “Balik badan, aku mau melihat wajahmu,” ucapnya terdengar teduh, perhatian.

Ghea memutar tubuh perlahan. Matanya basah dengan air mata trauma sekaligus perih akibat obat barusan. Sean menatap bola mata hitam di wajah yang polos tanpa make up. Hati terenyuh melihat bagaimana banyak bekas tamparan di sana.

Tanpa disadari, ia usap pelan luka-luka lecet tersebut dan keduanya hanyut dalam diam selama beberapa detik. Mata sipit dan pipi merona merah di kulit wajah yang putih membuat Sean terkagum dengan kecantikan sang gadis.

“Saat aku melawan, Paman Horace memukuliku. Dia bahkan melempar sepatu ke mukaku,” kenang Ghea tersengal dan berlinang air mata pahit.

“Kamu sudah aman bersamaku. Tidak ada yang berani macam-macam dengan Klan Lycus,” tegas Sean mengembus napas berat. “Berhentilah menangis, dan jadi gadis yang kuat setelah ini.”

Sebuah senyum yang tidak sedingin sebelumnya, terlontar berbarengan dengan usapan lambat di wajah Ghea.

“Memangnya Paman ditakuti banyak orang, ya?” tanya Ghea masih sedikit terisak dengan sisa kesedihan siang tadi. Bertanya demikian sambil menahan debaran kencang karena wajahnya disentuh oleh tangan besar dan kokoh milik pemimpin Klan Lycus.

‘Kenapa dia membelai wajahku begini? Usapannya terasa lembut, tapi dia juga begitu kasar denganku tadi. Uh, aku kenapa jadi berdebar dan gugup? Apa karena aku masih takut dengannya?’ bingung Miss Kingston berpikir keheranan.

Menatap lekat, mengendikkan bahu, lalu Sean tertawa singkat mendengar pertanyaan barusan. Apakah dia ditakuti banyak orang? Lagi, sama saja seperti menjelaskan kalau matahari itu terbit dari Timur.

“Yang jelas, musuh-musuhku harus berpikir sepuluh kali sebelum mereka berniat menyerangku. Jadi, kamu aman di sini. Tidak akan ada yang mengasarimu lagi, Kitty Cat. Kamu adalah seorang Lycus sekarang.”

“Tapi, tadi Paman tadi mengasariku? Paman menodongku di mobil? Sudah lupa, ya?” dengkus kucing kecil tersebut melirik protes. Bibirnya cemberut dan mata memicing hingga terlihat makin sipit dari yang sudah ada.

“Itu karena kamu menyebalkan. Kamu kabur, membuatku mengejarmu. Kamu buat mata perih dan terakhir kamu menendang wajahku. Kamu pantas kuberi moncong pistol,” tandas pemilik rumah mewah tersebut sambil tertawa.

Ghea terbungkam, tak bisa menjawab karena memang di awal tadi mereka sempat banyak berselisih paham. Kalau tahu dia akan dirawat seperti ini, mungkin dari semula akan menurut.

“Aku akan mengobati bibirmu. Berhentilah berbicara,” lanjut Sean.

Ghea mengangguk. Bersiap untuk merasakan perih yang luar biasa di wajah. Ia menatap paras tampan Sean yang berjarak kurang dari setengah meter dengan wajahnya sendiri.

Berdekatan dengan lelaki asing yang masih memiliki bau segar dari shower gel menghadirkan desiran tersendiri bagi sang gadis. Ia menahan engah napasnya terus menerus.

Dua pasang mata saling beradu sorot .... Ada garis pandang yang tak bisa dijelaskan artinya.

Sean menyentuh dagu keponakan angkatnya, mendongakkan sedikit, dan menyapu bibir kenyal merah muda dengan ibu jari secara perlahan. Niat awal adalah mengobati bibir tersebut, tetapi sejak tadi tidak ada satu tetes obat pun diletakkan di telunjuknya.

‘Damn, kamu cantik, Kitty Cat!’ engahnya dalam hati yang mulai bergemuruh perlahan.

Gelegar di dalam dada Ghea bertalu tidak karuan saat disentuh sedemikian rupa. Bingung harus bersikap bagaimana. Maka, ia hanya memejamkan mata, dan mengembus napas gugup. Sapuan jari Sean di bibirnya membuat tulang-tulang serasa lunglai.

Sementara sang lelaki, dalam hati kembali berucap, ‘Dipandang dari dekat, kamu ternyata sangat cantik ....’

Mendadak, suara seorang wanita terdengar dari pintu. “Sean Darling, siapa dia?”

Secara reflek, Sean menarik tangannya dari bibir Ghea, di mana gadis itu spontan membuka mata, dan menoleh ke arah pintu dan terkejut.

Dalam hati Ghea langsung bertanya-tanya, ‘Siapa wanita cantik dan seksi ini? Apa dia pacarnya Paman Sean?’

BERSAMBUNG

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Sbotm
Selanjutnya Ch.06 Daddy Sean?
5
0
Bab 6 dari Sugar Baby of The Mafia (Prequel Novel The Mafia Sugar Daddy yang tayang di Dreame)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan