
Cerita dimulai lima tahun kemudian setelah Aretha meninggalkan Lake Camp dengan menggunakan nama barunya, yaitu Aretha Queen.
BAB 1 ARETHA QUEEN – LIMA TAHUN KEMUDIAN (2.4K KATA)
Follow IG @rein_angg // FB Group: Rein Angg And Friends // FB: Rein Angg
*Prologue*
Namanya Aretha Queen. Ibu dari seorang anak yang ia beri nama Paris Maynard Queen. Sebenarnya, nama belakang itu bukanlah nama asli sang wanita. Ia hanya memilih untuk membuang nama dari keluarga sendiri, juga nama dari keluarga suami.
Ia membuangnya karena diri sendiri telah dibuang oleh dua keluarga tersebut. Lima tahun lalu, hidup penuh derai air mata di sebuah tempat bernama Lake Camp. Di sana, hati runtuh tak berbekas, hilang musnah dihanyut kehampaan.
Kekayaan pribadi habis untuk membantu suami melewati krisis keuangan, hanya untuk diceraikan di kemudian hari dengan alasan telah berselingkuh dengan mantannya sendiri. Padahal, hubungannya dengan sang mantan hanya sebagian dari usaha untuk menyelamatkan sang suami dari kebangkrutan.
Ditambah ketika ia syok berat saat Paris harus masuk ICU dan kartu asuransinya ditolak, ia membiarkan diri tenggelam dalam pelukan mantan tersebut yang terus berusaha untuk membantu dan membuatnya lepas dari jerat kesedihan.
Di mana pelukan itu dilihat oleh seorang wanita. Tidak lain istri sang mantan. Perasaan bersalah, perasaan hina, serta perasaan rendah menyelimuti seorang Aretha Lee, yang kemudian menjadi Aretha Major, dan kini berdiri sendiri menjadi Aretha Queen.
Nama Queen ia ambil dari bagaimana orang-orang sering menjulukinya demikian. Memiliki kecantikan luar biasa, paras sungguh menawan, mampu mematri mata semua lelaki hanya dalam satu kali pandang.
Hingga kini lima tahun berlalu, bayangan bagaimana ia diporakporandakan di Lake Camp masih sering menghantui malam, menjadi sebuah mimpi buruk. Meski ia sudah mendatangi istri mantannya tersebut, perasaan bersalah dan rendah kerap membelenggu hingga ke alam bawah sadar.
Tujuan hidup seorang Aretha Queen saat ini cukup simple. Bekerja di sebuah perusahaan berlian paling terkenal di dunia bernama Raymond & Co, ia hanya ingin mendapat gaji layak setiap bulan agar bisa menghidupi Paris dengan baik.
Berada di benua yang berbeda, wanita berambut hitam panjang tersebut menetap di sebuah kota bernama Los Angeles, Amerika. Lima tahun lalu, sahabatnya menawarkan pekerjaan di perusahaan berlian tersebut, di mana ia menerimanya dengan hanya bermodal nekat saja.
Toh, Lake Camp sudah bukan lagi menjadi rumah ternyaman baginya. Segala sesuatu yang ada di tempat itu hanya mengingatkan pada berbagai kejadian pedih. Kenapa tidak pindah ke negara lain yang jauh sekalian? Memulai hidup baru di sana.
Dan ini adalah kisah Aretha Queen dengan dunia barunya ….
***
“Kamu sudah mendengar kabar? Pewaris sah Raymond & Co akan kembali ke perusahaan setelah menghabiskan enam tahun lebih untuk belajar bisnis di luar negeri!”
Aretha mendengar percakapan dua temannya di meja samping. Sebagai seorang jewelry designer yang sudah lima tahun bekerja di perusahaan itu, dirinya terkenal pendiam. Hanya satu atau dua orang sahabat saja yang ia miliki di sana.
“Kata orang-orang, namanya Tuan Keenan Quillon Raymond, dan dia sangat tampan! Badannya tinggi, gagah, rambut hitam, pokoknya tipe lelaki yang bakal mengguncang para wanita di Los Angeles!”
Mendengar bagaimana karyawan di belakangnya bergosip, Aretha tertawa pelan tanpa suara. Di masa lampau, dia sudah pernah berhubungan dengan tipe lelaki yang juga mengguncang seluruh Lake Camp.
Bayangan lelaki itu melintas. Wajah tampannya, aksi kerennya saat sedang berada di dalam mobil Bugatti dan terjun di drag race, serta kekayaan yang membuat seluruh mata wanita menjadi hijau.
Delapan tahun dia menjadi kekasih tipe lelaki seperti itu. Hanya untuk berpisah di akhir karena diri tidak kunjung dinikahi. Jadi, mendengar para wanita memuji pewaris perusahaan yang segera kembali, terus terang Aretha tidak tertarik untuk ikut serta.
Jemari lentiknya terus menyempurnakan desain kalung berlian yang sebentar lagi harus ia serahkan sebagai koleksi musim dingin terbaru dari Raymond & Co. Kecintaannya pada berlian serta memiliki sertifikat pelatihan berlian dari GIA membuatnya terus bertahan di perusahaan ini, walau tidak semua sempurna.
Senyum dari bibir merahnya merambah wajah ketika dua jam kemudian selesai sudah sketsa model kalung terbaru buatannya. “Seperti biasa, setiap desainku selalu memiliki tema kekuatan. Seperti nama Maynard yang dimiliki Paris. Artinya adalah kekuatan.”
“Dan kamu selalu menjadi kekuatan Mommy ….”
Baru saja bergumam mengenai anaknya, ponsel berbunyi dengan nama Paris di layar. “Yes, Dear?” jawab Aretha sembari mematikan lampu kerja di mejanya.
Suasana di luar jendela sudah gelap, kantor pun telah sepi. Ini adalah pukul tujuh malam dan banyak karyawan yang sudah pulang. Ia tetap tinggal untuk menyelsaikan desain tersebut, karena besok siang akan dipresentasikan di depan para manajer.
“Mommy kenapa belum pulang?” tanya Paris yang kini telah berusia tujuh tahun. Bocah lelaki ini sangat tampan, sedikit banyak wajahnya mengikuti ketampanan sang ayah.
Ayah yang sejak ia masih bayi telah membuangnya, bahkan melarang nama belakang untuk dipakai olehnya. Akan tetapi, Paris tidak tahu cerita ini. Yang ia tahu hanyalah ayahnya telah meninggal, itu saja.
“Mommy lembur, Nak. Tapi, ini sudah seleai dan mau pulang. Apa Aunty Gracia sudah membuatkanmu makan malam?” jawab Aretha, lalu memasukkan sketsanya ke dalam laci, dan mengunci rapat.
Paris mengangguk, “Sudah, Mommy. Aku sudah makan malam. Tapi aku ada homework yang tidak bisa kukerjakan. Aku butuh bantuan Mommy,” tandas sang bocah.
“Oke, ini Mommy sudah menuju pintu keluar. Kita bertemu di rumah satu jam lagi, ya? Love you, bye.”
“Love you too, Mommy. Bye ….”
Menghela napas panjang, Aretha meninggalkan meja kerjanya, bergegas menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia cepat memasukinya dan menekan huruf L yang berarti Lobby.
***
Namun, saat dia sudah tidak ada lagi di kantor, mendadak ada seorang wanita berjalan menuju meja kerjanya. Sambil tersenyum culas, ia membawa sebuah kunci dan membuka laci meja Aretha.
Wanita berambut cokelat panjang tersebut mengeluarkan desain terbaru yang sekitar 10 menit lalu telah seleai dikerjakan oleh Aretha. Sambil terkekeh licik, ia bentangkan desain mewah tersebut dan mulai mengambil beberapa foto.
“Seperti biasa, desainmu selalu sangat bagus! Tapi, tentu saja aku akan membuatnya menjadi milikku! Terima kasih untuk inspirasinya, Aretha Queen!”
Wanita pencuri desain itu bernama Jenny Chan. Dialah alasan kenapa pekerjaan ini tidak sempurna bagi Aretha. Selama tiga tahun terakhir, desain miliknya sering dicuri dan diakui sebagai desain original perempuan tak tahu malu tersebut.
Dengan santai, jemari lentik Jenny mengembalikan sketsa Aretha dan kembali mengunci meja rekan kerjanya tersebut. Entah dari mana ia mendapatkan kunci serep untuk membuka laci dengan leluasa.
Yang jelas, kini ia kembali melenggang dengan santai keluar ruangan. “Aku sudah selesai melihat desain Aretha. Kembalikan posisi CCTV ke layar semula.”
Seorang lelaki di ujung sambungan telepon menjawab, “Okay, Jenny Love.”
***
Memesan taksi online, Aretha memandangi Los Angeles di malam hari. Lampu kota menawan, penduduk asli dengan rambut pirang atau merah mereka sedang bersenda gurau di sepanjang trotoar, lima tahun berada di sini seperti baru lima bulan. Begitu cepat waktu berlalu.
Memasuki komplek perumahannya yang berada di kawasan menengah ke bawah, kening Aretha mengerut saat melihat ada sebuah Bugatti Chiron berwarna hitam diparkir sekitar empat rumah dari pagarnya.
Bukan apa, mantan kekasihnya dulu selalu menyukai jenis kendaraan Bugatti Chiron. Tentu saja ini membuat hati terkesiap sekaligus takut kalau itu benar adalah dia yang datang. Sosok yang tak ingin lagi ia kenang.
‘Tapi, kalau itu Neil, kenapa dia berhenti di depan rumah kosong? Tidak, itu tidak mungkin dia! Kami sudah berpisah baik-baik! Dia juga sudah berkata tak akan menghubungiku lagi supaya rumah tangganya bisa diselamatkan!’
Aretha menggeleng sendiri, menepis pikiran bahwa itu mantannya yang datang. Walau hati diremat rasa pedih setiap mengenang segala sesuatu dari Lake Camp, tetapi ia menguatkan diri untuk segera mengakhiri perasaan tersebut.
Turun dari taksi, jam di tangan menunjukkan pukul 08.15 PM. ‘Semoga Paris belum lelah untuk mengerjakan homework-nya.’
Membuka pagar perlahan, melangkah masuk, mendadak terdengar suara rintihan dari balik deret tanaman yang ada di bagian samping rumah.
Aretha memekik tertahan, “Siapa itu!” engahnya berdiri membeku.
“Tolong … t-tolong … tolong aku!” rintih seorang lelaki kembali terdengar.
“Ya, Tuhan … ada apa ini!” Bundanya Paris semakin ketakutan. Napas terengah karena bingung harus berbuat apa. “Gracia! Gracia! Cepat keluar!” panggilnya menyebut nama sang baby sitter.
Seorang wanita berkebangsaan Mexico berlari keluar dengan tergopoh, “Ada apa, Nyonya!” serunya.
Aretha memanggil dengan ayunan tangan hingga wanita yang bekerja di rumahnya itu mendekat. “Ada lelaki di belakang bunga-bunga itu! Dia seperti kesakitan! Dia meminta tolong!” bisiknya panik.
Gracia makin terkejut, “Ada lelaki kesakitan? Tunggu! Saya akan mengambil senter dulu! Nyonya tunggu di sini dan jangan ke mana-mana!”
“Paris sedang apa? Jangan perbolehkan dia keluar!” pesan Aretha masih merasa panik dan takut.
“Paris sedang di kamar Nyonya menonton kartun. Saya akan melarangnya turun!” angguk Gracia, kembali bergegas untuk mengambil senter di dalam rumah.
Suara lelaki itu kembali terdengar merintihg. “T-tolong aku … please … help me …! Aku terluka … aku dise-se-serang … please … hospital ….”
Aretha makin terengah mendengarnya. Detak jantung mendadak terpacu kencang. Sejak meninggalkan Lake Camp, ia tidak pernah lagi berurusan dengan dunia hitam yang melibatkan kekerasan.
Gracia sudah kembali membawa senter. “Tunggu di sini, Nyonya! Biar saya yang mendatanginya!” desis asisten rumah tangga merangkap baby sitter, merangkap sahabat terbaik Aretha.
Mereka berada di usia yang tidak jauh berbeda. Jika Aretha berumur 35 tahun, maka Gracia sudah 37 tahun. Wanita Mexico itu sudah bekerja sejak awal kedatangan janda beranak satu tersebut ke Los Angeles.
Sambil berjingkat mengendap-endap, Gracia mendatangi sosok misterius. “Ya, ampun! Dia benar-benar terluka parah, Nyonya!” jeritnya ketika melihat darah membasahi baju berwarna putih sang lelaki.
“I’ve been shot … aku tertembak … please … bawa aku ke rumah sakit … please?” pinta lelaki itu memelas.
“Aku akan menelepon 911!” seru Gracia.
“No time … sekarang … berangkat sekarang! Aku sudah mulai kehabisan darah …kumohon …!”
Aretha berlari mendekat. Matanya terbelalak saat melihat kondisi pria itu. Sungguh mengenaskan dengan luka terbuka di bagian perut, masih mengucurkan darah segar.
Mata mereka bertatapan, dan sang lelaki asing kembali memelas. “Aku mohon, selamatkan nyawaku … bawa aku ke rumah sakit.”
Mengangguk, tak bisa berpikir panjang lagi, Aretha segera mengeluarkan ponsel. “Aku akan memanggil taksi!”
“No, no!” geleng sang lelaki. “Gunakan mobilku. Aku parkir di depan rumah kosong. Ini kuncinya …,” engahnya dengan tangan gemetar dan wajah pucat pasi. Ia memang sudah mulai kehabisan darah.
Tertegun, Aretha spontan bertanya, “Bugatti Chiron hitam itu milikmu?”
“Yes, yes, i-itu milikku … kamu bisa mengendarainya? Tolong, bawa aku segera ke rumah sakit. Ini ku-kunci … ini kuncinya,” ulang pemuda misterius itu berharap kunci mobilnya segera diambil.
Harapannya terkabul, Aretha cepat menyambar kunci mobil mewah itu dan berlari keluar pagar. “Bantu dia berdiri, Gracia!”
Baby sitter-nya Paris menurut. Tubuhnya yang tinggi besar itu mampu membantu pemuda asing untuk berdiri. Saat ia memapahnya, terdengar pintu terbuka.
“Paris! Apa yang Aunty katakan? Tunggu di dalam! Kembali ke dalam rumah!” seru Gracia saat melihat anak majikannya berada di teras rumah.
Mata Paris terbelalak ketakutan karena melihat darah membasahi bagian perut lelaki asing tersebut. “Oh, my, God! Is he dead?” pekiknya mengira korban tertembak telah mati.
“No! Dia tidak mati! Mommy akan membawanya ke rumah sakit!” jawab Gracia sambil terus berjalan menuju pagar. “Kembali ke dalam rumah! Sekarang!”
Saat itu juga, Aretha datang dengan menyetir Bugatti hitam. “Masukkan dia ke dalam mobil!”
“Mommy! Be carefull!” teriak Paris dari teras rumahnya. “Selamatkan dia, Mommy! Dia terluka parah!”
Aretha tersenyum lirih, lalu mengangguk. “Mommy akan mencobanya, Paris! Kerjakan PR-mu dengan Aunty Gracia, ya!”
Begitu Gracia selesai mendudukkan sang lelaki di kursi penumpang, Aretha segera memasangkan sabuk pengaman. “Bertahanlah, aku akan mengebut ke rumah sakit!” engahnya menatap wajah pucat.
“Kamu bisa menyetir Bugatti-ku? Hati-hati, ini sudah dimodifikasi …,” engah sang lelaki menyenderkan kepala serta punggung. Ia terus menekan luka di perut dengan jas yang sudah digulung tebal. Paling tidak, darah yang keluar bisa sedikit tertahan apabila ditekan begini.
Aretha tidak menjawab, ia hanya segera menginjak pedal gas dan mulai meluncur dengan kecepatan tinggi. Tidak perlu dijawab memang. Memiliki kekasih seorang pembalap yang juga selalu menaiki mobil Bugatti telah membuatnya lebih dari bisa untuk mengendarai sportcar tersebut.
Fokus ke jalan raya, Aretha menggocek kendaraan dengan sangat lihai. Ternyata, kemampuannya belum hilang. Ia bisa menangani berbagai tikungan tajam dengan sangat baik. Sesekali menerabas lampu merah yang baru saja menyala guna menghemat waktu.
“Lima menit lagi kita sampai di rumah sakit! Hang on! Bertahanlah! Aku tidak tahu siapa kamu, tapi bertahanlah, ya!” serunya kembali menggeber pedal gas saat berada di jalur lurus.
Lelaki itu mulai kehilangan kesadaran, tidak bisa lagi menjawab. Matanya hanya menatap satu, kemudian tertutup dan pingsan.
Sampai di IGD rumah sakit bernama Kindred Hospital Los Angeles, Aretha melompat turun dari kendaraan, lalu berteriak. “Tolong! Aku membawa korban tembakan! Dia mulai kehabisan darah!”
Sontak, beberapa petugas berlari kencang sambil membawa bed sorong. Perlahan mereka segera menangangi lelaki asing tersebut. “Dia masih hidup! Tapi, nadinya sangat lemah! Kita harus segera membawanya ke ruang operasi! Hubungi dokter bedah sekarang juga!”
Saat beberapa petugas medis membawa lelaki itu, Aretha berdiri terengah hingga seorang petugas rumah sakit menghampirinya. “Kami butuh data pasien. Nama, alamat, keluarga terdekat, asuransi apa yang dia punya, dan lain-lain. Bisakah Anda membantu?”
Menggeleng lirih, “Aku tidak tahu siapa dia. Aku … aku pulang kerja dan dia mendadak ada di halaman rumahku dengan kondisi seperti itu ….”
“Aku membawanya ke sini dengan menggunakan mobilnya. Bugatti di luar itu miliknya. Kalian tahan saja seandainya dia tidak memiliki asuransi. Aku tidak tahu siapa dia, tapi Bugatti itu jelas lebih dari cukup untuk membayar biaya perawatannya …,” engah Aretha.
Petugas rumah sakit mengangguk. “Baik, kalau begitu kami membutuhkan data Anda sebagai pengantar dan saksi utama. Kasus penembakan biasanya akan segera ditangani oleh polisi setelah kami melapor.”
“Anda dimohon untuk tinggal di sini sebentar dan memberikan pernyataan sebagai saksi. Apakah Anda bersedia?”
Mengangguk, Aretha hanya melakukan tugasnya sebagai warga negara yang baik. “Y-ya … aku akan di sini menunggu polisi datang. Aku … semoga dia selamat ….”
***
Satu jam lebih ia duduk di bangku luar ruang operasi sambil menyandarkan kepala di dinding. Di dalam sana ada sang lelaki asing yang sedang dioperasi. Daripada menunggu di IGD dan banyak melihat pasien datang dalam kondisi gawat darurat, lebih baik ia berada di depan ruang operasi tersebut.
Polisi baru saja selesai meminta informasi darinya. Ia diminta menunggu sementara dua petugas hukum tersebut meminta data lain kepada pihak rumah sakit.
Mendadak, suara derap langkah kaki banyak orang terdengar mendekat. Ia menoleh ke kanan, benar saja ada sekitar lima orang berlari tergopoh. Dua di antaranya wanita, sisanya lelaki.
Bersamaan dengan hadirnya mereka, dua orang petugas medis keluar dari ruang operasi.
“Bagaimana keadaan anakku! Apa dia masih hidup!” jerit seorang wanita sambil menangis.
Seorang lelaki yang terlihat sudah cukup berumur menanyakan pertanyaan yang sama. “Bagaimana kondisi Keenan, anakku? Dia berhasil diselamatkan? Dia masih hidup?”
“Tenang, tenang dulu, Tuan dan Nyonya. Operasinya berhasil. Meski Tuan Keenan kehilangan banyak darah, tetapi kami berhasil menyelamatkan nyawanya. Sekarang beliau masih dalam keadaan tidak sadar akibat obat bius.”
Kening Aretha mengernyit mendengarnya, ‘Keenan? Kenapa nama itu seperti pernah kudengar baru-baru ini?’
Ia memperhatikan wajah lelaki tua yang semakin jelas terlihat di bawah lampu rumah sakit. Begitu sudah jelas siapa yang datang, semakin terperangahlah dia.
‘Ya, ampun! Itu Tuan Philippe Raymond dan istrinya! Mereka pemilik Raymond & Co tempatku bekerja!’ jerit Aretha dalam hati.
Kemudian, matanya kembali menatap pintu ruang operasi, ‘Yang aku bawa ke rumah sakit ini adalah Keenan Raymond? Pewaris sah yang sudah kembali?’
BERSAMBUNG
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
