Gara Gara Mahar 5 Milyar (Bab 1 - Bab 5 Gratis)

0
0
Deskripsi

Gara-gara Mahar Lima Milyar.

"Nggak terasa ya, Bang. Dua minggulagi kita nikah." ucapku pada calon suami saat kami sedang duduk makan bakso di warung Bu Sri.

"Iya, dek. Rasanya udah dag dig dug ser, bayangin saat mengucapkan ijab qobul."

"Rencananya, kalau udah nikah, aku masih harus kerja, atau berhenti Bang?" tanyaku pada Bang Jali, untuk masa kedepannya.

"Ya, harus kerja dong. Kan biar kita bisa cepat bangun rumah sendiri. Sementara sebelum punya rumah, ya kita numpang dulu di rumah orang tuaku."

"Terus, setelah menikah apa aku masih boleh kasih uang belanja tiap bulannya untuk ibu kan? " tanyaku lagi.

Ibuku adalah seorang janda. Ayah sudah lama dipanggil sang Maha pencipta. Meskipun usia ibu tak lagi muda. Ia tetap bekerja demi bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama ini, aku juga selalu memberinya sebagian gajiku, untuk meringankan sedikit bebannya. Tapi ya begitu, beliau sering menolak. Kadang diterima, tapi ia belikan untuk pakaianku.

"Dek, setelah menikah, seorang istri seutuhnya milik suaminya. Apapun yang dikatakan suami, istri harus menurutinya. Ingat, surganya istri ada pada suaminya. Maka istri harus berbakti sepenuhnya pada suami, bukan ibunya. Jadi, setelah menikah tak perlu lagi kamu beri uang pada ibumu. Apalagi tanpa sepengetahuanku. Dosa!"

"Iya, aku tau seorang istri harus berbakti pada suaminya. Tapi apakah tidak boleh memberi sedikit rejeki pada ibuku?"

"Kamu ini bagaimana sih. Setelah menikah, maka otomatis tanggung jawab atas dirimu berpindah padaku. Bahkan dosamu, aku juga ikut menanggungnya. Jadi, untuk masalah akhirat saja aku yang ikut menanggung, bukan orang tuamu. Maka, kamu tidak perlu lagi memberikan apapun padanya. Ibarat kata, istri itu sudah dibeli oleh suaminya."

'Dibeli' seperti rendah sekali istri di matanya. Sampai bisa dibeli.

"Terus, kalau untuk ibumu bagaimana?"

"Nah, ini yang harus kamu mengerti. Surganya anak laki-laki, ada pada ibunya. Meskipun sampai dia menikah. Jadi, anak lelaki tetap harus berbakti pada ibunya. Dan kamu sebagai istri tak boleh cemburu jika aku memberi sebagian gajiku padanya. Karena apa?"

"Surga anak lelaki ada pada ibunya," jawabku cepat.

"Pinter calon istriku. Kamu lihatkan, sekarang aku sudah menjadi guru. Semua ini berkat kerja keras ibu bapakku. Dari SD aku disekolahkan. Sampai menjadi sarjana, dan kini sudah menjadi guru. Sangat harus kamu bersyukur, apalagi aku sudah bukan lagi guru honorer alias negri. Pasti kamu sangat bangga jika ada yang bertanya apa profesi suamimu. Kamu mendapatkan aku tinggal terima jadi dan menikmati hasilnya. Bayangkan, sudah berapa banyak uang kedua orang tuaku untuk sampai aku menjadi seperti ini?"

Aku hanya terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Jadi, begitukah pemikirannya tentang istri? Harus patuh dan taat kepada suami dan melupakan ibunya? Baiklah Bang, kita lihat saja seperti apa kedepannya.

"Jadi intinya, keluargaku adalah keluargamu. Dan ibuku, sebagai pengganti ibumu. Jangan pernah kamu menganggapnya orang lain. Karena syrgaku ada padanya, dan surgamu ada padaku."

Aku dan Bang Jali, sebenernya belum lama saling mengenal. Baru dua bulan yang lalu. Saat itu, aku sedang berkunjung ke rumah teman. Yang kebetulan bertetangga dengannya.

Saat sedang duduk-duk di teras, lelaki yang kini telah menjadi tunanganku itu, datang menghampiri kami. Lalu berkenalan denganku. Kebetulan sekali, saat itu aku sedang tak memiliki kekasih. Begitupun juga dia. Wajah, yang lumayan tampan membuatku jatuh hati padanya, begitu juga dengannya.

Saat sudah berkenalan dan saling bertukar nomor handphone, dia mengatakan perasaannya. Dan dia juga tak ingin berpacaran, melainkan langsung menikah. Usianya yang kini sudah menginjak dua puluh sembilan tahun, membuatnya tak ingin lagi bermain-main dalam urusan asmara. Begitu juga denganku yang sudah dikatakan cukup umur untuk menikah karena sudah dua puluh lima tahun.

Seminggu kemudian, dia bersama orang tuanya datang untuk meminangku. Kami pun bertunangan saat itu juga. Karena sama-sama suka.

Semua sifatnya, aku belum tahu betul. Dan saat ini, sedikit aku sudah mengetahuinya. Sebelumnya, kami tidak pernah membahas masalah keluarga seperti ini. Karena bagiku, nanti juga kami akan sama-sama menjalaninya. Tapi, hari ini hatiku merasa tak tenang dan ingin tahu bagaimana tanggapannya  tentang aku yang masih tetap ingin membantu ibu setelah menikah. Dan jawabannya sungguh di luar dugaan.

***

Sudah seminggu, sejak pertanyaanku pada Bang Jali. Dan hari ini dia bersama keluarganya datang untuk menanyakan mahar.

Makanan, beserta minuman sudah ibu sediakan untuk kedatangan keluarga mereka. Tetangga, dan saudaraku juga sudah berkumpul untuk melihat dan mendengar berapa mahar yang akan aku dapatkan.

Suara ramai menyambut kedatangan calon suamiku itu. Aku yang sedari tadi duduk di dalam kamar, kini keluar untuk menemui mereka.

Satu persatu keluarga Bang Jali kusalam. Lalu aku duduk lesehan bersama yang lainnya. Ya, semua para tamu hanya duduk beralaskan tikar karena aku tak memiliki sofa mewah.

"Jadi, berapa mahar yang kamu pinta, Nak?" tanya ibu Bang Jali, dengan tangan yang ia gerakkan hingga gemercing gelang memenuhi indra pendengaran kami.

"Apakah berapapun yang aku pinta, ibu dan keluarga akan menyanggupinya?" tanyaku dengan wajah serius.

"Ya, jelas dong. Bukankah seorang wanita berhak meminta maharnya?" Calon ibu mertuaku itu masih berbicara dengan pergerakan yang berlebihan.

"Baiklah ... Ekhemm ..." Aku sedikit berdehem untuk menghilangkan rasa grogi karena ditonton banyak orang.

"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang.

"APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan.

Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku.
 

***

 

Bab 2

"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang.

"APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan.

Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku.

Calon ibu mertua memegangi kepalanya. Aku tahu pasti dia pusing memikirkannya. Biarkan saja, toh setelah menikah, aku tidak akan lagi bisa membantu ibu. Jika mereka menyanggupinya maka uang itu sepenuhnya akan kuberikan pada ibu. Agar di hari tuanya ia tak lagi harus kesusahan mencari nafkah.

"Kamu ini apa-apaan toh, nduk!" bisik ibu di telingaku.

"Stttt ... Ibu diam aja. Pokoknya, terima jadi ajalah," balasku juga berbisik.

"Rani, apakah itu tidak terlalu berlebihan mahar yang kamu ajukan?" tanya Bang Jali berkeringat.

"Ya, tidak toh Bang. Malah kurasa, semua itu belum cukup untuk membayar jasa orang tuaku. Seperti kata Abang, setelah menikah aku harus berbakti pada suami. Karena saat ijab qobul diucapkan, maka tanggung jawab atas sepenuhnya diriku akan berpindah tangan pada Abang. Bahkan, orang tuaku sedikitpun tak ada lagi hak terhadapku. Aku juga dilarang untuk memberi sedikit gajiku pada orang tua. Aku ini, ibarat kata sudah 'Dibeli' oleh keluarga abang. Jadi, aku memberi harga lima Milyar saja. Tidak lebih dan tidak kurang," jawabku enteng.

"Tapi itu berlebihan, Ran! Di mana-mana, mahar paling banyak ratusan juta. Itu pun untuk seorang wanita yang berpendidikan tinggi dan sudah berprofesi sebagai dokter, dosen, bidan. Lah kamu, paling cuma tamat SMA, yang tak mengeluarkan banyak biaya," protes Bang Jali merendahkanku.

Emang dia pikir, hanya dokter, dosen, bidan, tentara, dan polisi saja, yang membutuhkan banyak biaya. Meskipun hanya tamatan SMA, yang digunakan orang tuaku tetaplah uang. Bukan daun jambu yang tumbuh subur tanpa di tanam, lalu memetiknya sesuka hati. Enak saja bibirnya kalau ngomong!

Katanya sekolah tinggi sampe jadi sarjana. Tapi kok pikirannya sempit, kaya semvak kekecilan!

"Siapa bilang hanya tamat SMA saja tidak banyak mengeluarkan biaya? Abang bayangkan saja. Dari satu hari aku di dalam kandungan ibu, dia sudah memberiku makanan dan minuman. Hitunglah berapa uang yang harus dikeluarkan perharinya hingga usia kandungan sembilan bulan sepuluh hari. Belum lagi saat aku dilahirkan. Berapa biaya persalinannya serta pakaian yang mereka beli. Terus, yang namanya melahirkan taruhannya nyawa. Masa orang yang sedang bertaruh nyawa untuk kehidupanku tidak diperhitungkan bayarannya? Belum lagi setetes Asi yang tiap harinya kuminum untuk membentuk darah dan dagingku. Bayangkan bila susu formula, satu kotaknya sepuluh ribu pada zaman dahulu. Sampai aku berumur dua tahun, berapa kotak yang telah kuhabiskan. Tapi, karena aku hanya meminum Asi, kamu tahukan harga Asi lebih mahal ketimbang susu formula. Maka kamu hitung tiap tetesnya dan di kalikan seribu rupiah. Aku yang baru dilahirkan, belum bisa melakukan apa-apa. Jadi saat aku pup, pipis, semua yang mengganti pakaian adalah orang tuaku. Tak peduli malam mereka terkantuk tetap saja pakaianku selalu diganti saat basah. Hitunglah biaya begadang mereka, dan anggaplah sebagai baby sister." Aku menjeda perkataanku untuk menarik napa panjang dan melanjutkan perhitungan.

"Jangan lupa, hitung juga ilmu yang mereka berikan padaku. Anggap saja sebagai guru yang harus dibayarkan gajinya. Dari aku mulai belajar angkat kepala, telungkup, merangkak, berdiri, jalan dan berbicara. Semua orang tuaku yang mengajarkannya. Jangan lupa pendidikanku dari mulai TK, SD, SMP hingga SMA, sudah berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk makan, biaya sekolah -"

"Cukup! Saya tidak mau lagi mendengar rincian kamu!" ucap calon ibu mertua menghentikan perhitungku.

Kipas yang kini berada di tangannya, ia kipaskan dengan begitu keras. Sepertinya dia sedang emosi.
Hmmm, inilah akibat dari ulah anakmu, Bu!

"Seperti ucapan anak saya, kami tidak pernah mendengar mahar sebesar ini!" ucapnya ketus. Wajahnya sudah berubah, dari yang awalnya datang dengan ceria serta memamerkan gelangnya. Kini, seperti cacing kepanasan yang dari tadi gerak kesana kemari tidak jelas.

"Ya, makanya kali ini ibu dengar dari saya. Kan tadi ibu sendiri yang bilang, bukankah seorang wanita wajib meminta mahar pada calon suaminya. Makanya, aku meminta dengan jumlah yang pas dengan pengorbananku  nanti setelah jadi istri Bang Jali," sahutku santai.

"Iya, memang benar. Tapi, wanita yang baik adalah yang meringankan maharnya,"

Nah, kalau sudah begini, baru ingat wanita yang baik yang meringankan maharnya. Lalu bagaimana dengan lelaki yang baik? Apakah yang menelantarkan mertuanya, setelah menikahi anaknya?

Bukankah lebih baik, jika suami istri saling membantu dan adil terhadap orang tua dan mertuanya?

Meskipun anak lelaki harus berbakti pada ibunya sampai kapanpun. Karena sang ibu telah melahirkan dan membesarkannya. Seharusnya, suami juga paham, jika istri juga dilahirkan oleh seorang ibu. Bukan lahir dari kedebok pisang!

"Ya, kalau maharnya ringan. Orang tua saya nggak balik modal dong membesarkan saya! Kan Bang Jali sendiri yang mengatakan istri itu ibarat kata 'Dibeli'. Makanya saya memberi harga yang cocok. Bayangkan saja, ibu saya harus kehilangan anaknya yang selama dua puluh lima tahun dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Setelah menikah, anaknya tak boleh lagi, memberinya uang belanja, atau pun mengunjunginya. Sepertinya semua itu nggak seberapa. Cuma lima Milyar loh. Pasti nggak ada apa-apanya  bagi kalian. Itu hanya seujung kuku!"

"Rani, sebenarnya kamu mau mempermalukan keluargaku di sini kan? Dengan meminta mahar yang fantastis?"

"Siapa yang mau mempermalukan abang? Aku, seumur hidup loh, hidup dengan Abang dan harus bekerja juga membantu keuangan. Bayangkan uang yang akan aku hasilkan selama sisa hidup. Pasti lebih banyak ketimbang Mahar itu. Jadi, Abang nggak akan rugi."

"Tapi tidak segitu juga kali!"

"Oh, begitu. Menurut Abang itu masih kurang? Baiklah, genapkan saja menjadi sepuluh milyar!" ucapku enteng dengan senyuman tanpa salah dan dosa.

"Pak, kayaknya Ibu butuh oksigen!" Calon Ibu mertuaku seperti kekurangan oksigen. Napasnya menjadi tersengal-sengal sambil memegangi dadanya.

 

****

Bab 3

"Jangan keterlaluan kamu, Rani! Jika maharnya sebesar itu, mana ada lelaki yang mau jadi suamimu!" ucap Bang Jali, meninggikan suaranya.

"Hush! Jangan ngomong begitu! Kalau persyaratan menjadi istrimu juga seperti itu, nggak akan ada yang mau jadi istrimu!" jawabku masih santai. Meladeni orang seperti dia, tak perlu dengan emosi juga. Dengan begini saja, pasti dia semakin kebakaran jenggot.

"Kamu tidak tahu saja, banyak yang mengantri untuk menjadi istriku. Apalagi pekerjaanku sudah mapan. Seharusnya kamu bersyukur, karena beruntung akan menjadi istri seorang PNS!"

Beruntung apanya? Yang ada malah buntung. Mending dapat suami buruh tani, tapi mau bekerja sama dan saling membantu untuk orang tua. Daripada dapat PNS, maunya menang sendiri.

"Ya, karena mereka yang antre, belum tahu kehidupan seperti apa yang nantinya akan dijalani setelah menikah. Makanya mereka sampai rela antre. Coba kalau sudah tahu akan dijadikan romusha, pasti mereka semua kabur satu persatu."

"Romusha bagaimana maksudmu?"

"Ya, itu! Kerja beresin rumah, kerja bantu cari duit juga. Terus kapan istri istirahatnya? Punya suami kok kayak dijajah Jepang!"

"Sudah menjadi tugas istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga!" Dia terus saja kekeuh pada pendiriannya.

"Dan sudah menjadi tugas suami mencari nafkah!" balasku tak mau kalah.

"Istri bekerja mencari uang, hanya untuk membantu keuangan suaminya, agar bisa cepat memiliki rumah sendiri. Emang mau selamanya menumpang dengan mertua?"

"Sandang, pangan, papan, itu adalah tanggung jawab suami, bukan istri. Tanggung jawab istri, menjaga harta suami, mendidik anak. Tak ada mencari nafkah agar terpenuhi papannya."

Bang Jali terdiam. Hidungnya kembang kempis seperti menahan amarah.

Jika tak sanggup untuk memenuhi segala kebutuhan istri, untuk apa menikah coba? Aku juga tak sebodoh yang dia pikirkan. Mana mungkin mau menjadi babu plus-plus. Bukannya dapat gaji, malah kerja bakti. Sorry, dory strawberry!

Suasana yang awalnya adem ayem, kini berubah rusuh. Acara lamaran berubah menjadi acara debat sengit. Bang Jali, seakan merasa paling benar, dengan segala pemikirannya. Dan aku merasa semua pemikiran lelaki itu salah dan harus dibenahi.

Sebenarnya, aku juga akan meringankan beban suami dengan tidak mempersulit mahar. Tapi, karena calon suami seperti Bang Jali, makanya aku akan minta setinggi langit dan seindah bulan.

"Rumah butut, pekerjaan hanya sebagai buruh pabrik, tapi mahar minta milyaran rupiah. Nggak tahu malu! Daripada mengeluarkan uang banyak, dan dapat istrinya kamu, lebih baik aku melamar Ayu ting-ting! yang sudah jelas dalam segala hal!" sungut Bang Jali.

Geli sekali melihatnya seperti itu. Baru bekerja sebagai guru yang kebetulan sudah negri saja, sok mau melamar artis. Paling berapalah gaji dia sebulannya. Kurasa gajiku sebagai mandor di pabrik sama besarnya dengan dia.

Ternyata lelaki jika sudah kalah telak, akan menghina sampai ke akarnya. Aku pikir, wanita saja yang bisa seperti itu.

"Ya, silahkan Bang. Lamar saja Ayu ting-ting. Palingan, masih sampai pintu gerbangnya, abang sudah diusir," ucapku cekikikan. Dan tentu saja membuat lelaki itu semakin marah. Wajahnya sudah merah padam seperti tersiram air mendidih.

"Ayo, Bu, Pak, kita pulang saja. Batalkan pernikahan ini. Jangan lupa, cincin tunangannya ambil kembali!" ucap Bang Jali sengit. Wajah kedua orang tua Bang Jali serta keluarganya juga tak kalah sengit.

Selain menahan malu, mereka juga pasti menahan pipis.

"Alhamdulillah ... " celetukku lantang dan membuat semua orang memandangku dengan aneh.

Bagaimana tidak aneh, biasanya wanita yang gagal menikah akan menangis tersedu-sedu. Sementara aku, malah mengucapkan syukur.

Ibu menyenggol lenganku pelan. Saat tersadar spontan mengucapkan hamdalah, aku langsung menutup mulut dengan kelima jari.

Kulepaskan cincin di jari manis yang sempat disematkan oleh calon ibu mertua.

"Dengan senang hati, kukembalikan cincin pertunangan kita, Bang!" Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Tangan ini langsung menyerahkan sang cincin tepat di telapak tangan mantan calon suami. Tak lupa senyuman termanis kuberikan padanya, sebagai salam perpisahan.

"Kukembalikan dengan ikhlas," bisikku, yang pasti didengar olehnya.

"Ingat, tidak hanya satu cincin, tapi dua cincin yang harus dikembalikan sebagai denda karena pertunangan ini putus!" ucapnya ketus.

"Hey, Bang PNS, yang mutusin kan situ! Rani ya nggak harus balikin dua kali lipatlah. Malah seharusnya, cincin itu hangus alias jadi milik Rani karena Abang yang membatalkannya!" celetuk, Murti tetangga samping rumahku.

Semua tetanggaku, memanggilnya Bang PNS, karena saat berkenalan dia selalu saja mengucapkan gelarnya sebagai guru yang sudah negri.

"Enak saja! Kegagalan pernikahan ini, kan disebabkan oleh dia!" tunjuknya yang tepat di keningku.

"Gara-gara dia meminta mahar yang tak masuk akal, makanya pertunangan ini putus. Jadi, dia harus mengganti rugi dua kali lipat!" lanjutnya, melirik sinis ke arahku.

"Udah Bang, pulang saja! Malu sama gelar sebagai PNS, tapi pertunangan putus, minta ganti dua kali lipat. Macam orang nggak mampu aja, Abang ini!" celetuk Misnah, dan berhasil membuat Bang Jali terdiam.

Bukan karena tetangga mereka membelaku. Tapi karena, semua yang mereka lihat dan dengar makanya semua berada di pihakku. Kecuali keluarga mereka.

Kadang suka heran. Mereka, punya anak perempuan. Apa mau, anaknya diperlakukan seperti itu nantinya? Atau memang sudah begitu adat istiadat keluarga Bang Jali? Entahlah. Malas memikirkannya.

"Sudah miskin! Tidak tahu diri. Untung anakku tidak jadi menikah denganmu!" ucap mantan calon ibu mertua sewot. Sesak napasnya sudah hilang. Berganti dengan keangkuhan.

Calon Bapak mertua juga ikut berdiri. Tapi ia tak mengeluarkan kata, sepatah ataupun duapatah. Hanya wajahnya saja, yang memperlihatkan kekesalan yang begitu besar.

Tak ada lagi ucapan salam, atau pun saling berjabatan tangan. Mereka semua pergi tanpa permisi.

"Daaa ... Selamat mendapatkan mantu Ayu Ting-ting!" teriakku sambil melambaikan tangan.

***

Bab 4

Bukan hanya anaknya beruntung tidak jadi menikah denganku. Tapi aku lebih sangat beruntung karena tak jadi memiliki suami seperti anaknya. Tidak bisa kubayangkan hidup tanpa Ibu, yang sudah melahirkan dan membesarkanku.

Sampai kapan pun, tidak ada anak yang bisa membalas jasa ibu dan bapaknya. Meski dunia dan seisinya ia berikan.

Aku tidak akan pernah dibutakan oleh yang namanya cinta. Saat lelaki tak bisa menerima keluargaku terutama ibuku. Maka aku tidak akan melanjutkan hubungan itu. Untuk apa aku berbahagia di atas penderitaan ibu.

Mencari suami, bukan hanya melihat tampang, jabatan, dan uang. Tapi, harus yang ikhlas menyayangi dan menghormati ibu kita seperti ibunya sendiri.

Jika seorang lelaki berpikir, bahwa surganya ada pada ibunya sampai kapan pun, karena sang ibu lah, yang melahirkan dan membesarkannya. Lalu apa bedanya dengan wanita? Mereka juga dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya. Mereka juga dididik dan disekolahkan dengan hasil jerih payahnya. Jadi, jangan pernah berat sebelah terhadap orang tua.

Jika ibumu harus diperlakukan baik oleh istrimu. Maka, perlakukan baik jugalah mertuamu seperti ibu kandungmu sendiri. Karena semua ibu di dunia ini sama derajatnya. Dan semua ibu juga ingin yang terbaik untuk anaknya. Jika ia masih mampu bekerja, maka ia tak akan pernah menengadahkan tangan pada anak-anaknya.

"Kenapa toh, Nduk. Kamu minta mahar sebesar itu?" tanya ibu, membuatku tersadar dari lamunan.

Tangan keriputnya menyentuh tanganku lembut. Tangan ini, yang selalu membelaiku penuh dengan kash sayang. Tangan ini, yang dengan sabarnya menyuapiku saat aku masih kecil. Tangan ini, yang begitu ringannya bekerja keras, demi bisa menghidupkan dengan layak. Apa bisa aku membalas semua kebaikan yang diberikan oleh tangan ini?

Kuusap lembut, tangan keriput ibu, lalu menciumnya. Tak hentinya aku berdoa dan berterimakasih pada Tuhan karena memberiku seorang ibu dengan tangan baja.

"Ya, karena itu sesuai dengan jasa ibu padaku," jawabku, memejamkan mata sambil terus memegangi tangan ibu dan menaruhnya di pipi.

"Ibu, tidak pernah meminta apapun darimu. Yang penting hidupmu bahagia. Tidak kekurangan apapun, Nak!"

Aku tahu, Bu! Aku tahu, jika hanya kebahagiaanku lah yang ibu inginkan. Tapi aku, juga ingin kebahagiaan untuk ibu.

"Kalau ibu ingin melihatku bahagia. Maka aku lebih, lebih, lebih ingin melihat ibu bahagia."

"Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dengan meminta mahar sebesar itu. Apa nanti kata orang? Pasti berita ini akan cepat menyebar luas. Setelah itu, laki-laki akan takut melamarmu. Ibu nggak mau kamu jadi perawan tua."

Itu pasti yang akan ditakutkan oleh seorang ibu. Melihat anaknya sudah berumur, tapi tak kunjung mendapatkan jodoh. Padahal, semua yang terjadi pada manusia, itu sudah menjadi kehendak tuhan.

"Bu, takdir ada di tangan Tuhan. Jangan takut dengan bayangan. Belum tentu semua yang didengar oleh para lelaki akan ditelan mentah-mentah. Bisa saja mereka mencari tahu mengapa sampai aku meminta mahar segitu besarnya."

Aku memang belum menceritakan pada ibu alasan mengapa meminta mahar begitu besar. Selama mendengar ucapan Bang Jali seminggu lalu, aku tidak mengatakan apapun pada ibu. Hanya tetangga yang bisa kupercaya saja yang mengetahuinya. Sementara mahar lima Milyar, mereka semua sama sekali tidak tahu. Itu murni rencanaku yang sudah kupikirkan selama berhari-hari.

"Nduk, manusia jaman sekarang, jarang yang mau mencari tahu kebenaran. Apa yang mereka dengar, itulah yang akan dipercaya," ucap Ibu mengingatkan.

"Bu, percaya saja dengan jalan hidup yang sudah diberikan Allah. Jika aku tidak menikah sampai ajal menjemput, maka itu sudah takdir Allah. Untuk apa dipusingkan."

"Amit-amit jabang bayi! Jauh-jauh, Nak! Jangan sampai kamu menjadi perawan tua seumur hidup!"

"Itu kan, cuma seandainya, Bu."

"Kamu, pun. Ada-ada saja meminta maharnya. Meskipun mereka kaya, mana mngkin mau memberi mahar sebesar itu!"

"Ya, percuma kaya tapi pelit, Bu. Mahar segitu aja nggak bisa dikasih!"

"Setelah ngasih kamu mahar segitu, mereka langsung jatuh miskin, Nduk!"

"Wong kaya kok bisa miskin toh, Bu!"

"Lah, mereka kan kayanya masih nanggung. Belun kaya banget. Jadi wajarlah."

"Ya, terserah ibu ajalah."

"Coba ngomong yang sebenarnya sama ibu, alasan kamu minta mahar segitu."

"Jadi, ceritanya begini ... "

Semua mengalir begitu saja dari bibirku. Ibu mengangguk-angguk sambil berseru, trilili lili lili lili ...

Hush! Bukan lagu burung Kutilang!

"Kalau begitu, seharusnya minta saja 50 Milyar! Enak saja, dia mau mendapatkan anak gadisku. Ibarat buah tinggal panen hasilnya, masih mau dia sengsarakan dengan ikut kerja mencari nafkah dengan alasan agar cepat punya rumah sendiri. Anakku dinikahi, bukan untuk disengsarakan hidupnya. Ibu saja yang melahirkan dan merawatmu dari kecil, selalu berusaha membahagiakanmu. Ini dia, sudah tinggal panen, mau ngajak susah. Kalau tau itu laki-laki berbicara begitu padamu. Pasti tadi langsung ibu, skak biar enyah dari muka bumi ini!" ucap ibu berapi-api. Selama ini, aku hanya melihat ibu yang lemah lembut. Baru kali ini sisi lainnya yang garang, seperti preman pasar menagih uang keamanan. Ternyata, lebih seram lagi emakku emosi ketimbang mereka.

"Sabar, Bu. Nanti kolesterolnya naik loh!"

"Ibu mana yang bisa sabar, jika anaknya akan dijadikan budak. Daripada punya suami begitu, lebih baik kamu menjadi perawan tua saja, Nak. Tak perlu memikirkan urusan rumah tangga. Tak perlu, mengurusi suami. Hidupmu pasti jauh lebih tenang."

"Iya, Bu. Iya. Kan pernikahannya memang batal!"

"Syukur alhamdulillah, Nak. Nanti kita bikin syukuran karena kamu nggak jadi menikah dengan lelaki seperti itu! Bila perlu, tujuh hari tuju malam. sebagai ucapan rasa syukur kita."

"Memang ada uang, untuk syukuran tujuh hari tujuh malam, Bu?"

"Enggak!"

****

Bab 5

Semua makanan yang tadi sempat kami persiapkan, sudah dibagikan ke tetangga. Karena tamu, keburu pergi padahal belum sempat menikmati hidangan yang kami sediakan. Mungkin mereka terlanjur kenyang mendengar mahar, yang kukatakan. Hingga tak sempat lagi mengisi perutnya.

Tidak apa, semua masih bisa kusedekahkan pada tetangga. Meskipun tak jadi syukuran tujuh hari tujuh malamnya.

"Wes, gagal mangan degeng kita! (udah,gagal makan daging kita)" celetuk Bi Parni sambil membungkus jajanan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang.

"Halah, ora popo. Seng penting, dino iki kita intok panganan gratis. Mangan dageng pun, yo harus eneng salam tempel. (Halah, nggak papa. Yang penting hari ini kita dapat makanan gratis. Makan Daging pun, ya harus ada salam tempel)." sahut Bude Yati, mencomot kue bolu dan melahapnya.

"Iyo, juga yo!"

**

Para tetangga sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Saatnya aku meluruskan pinggang, yang sedikit bengkok karena kebanyakan duduk.

Ibu juga sudah masuk ke dalam kamarnya. Tak ada raut sedih di wajahnya, melihat anak perempuannya gagal menikah.

Aku hanya dua bersaudara. Kakak laki-lakiku telah berumah tangga, dan tinggal di kota. Mereka jarang sekali pulang kampung. Mungkin terkendala ekonomi, atau karena terlalu sibuk.

Meskipun laki-laki, ibu membebaskan dia untuk tinggal di mana pun yang ia dan istri inginkan. Tak pernah memaksakan kehendak, agar anak lelakinya itu tinggal didekatnya. Bagi ibu, kebahagian dan ketenangan anak mantunya adalah yang utama. Ibu tidak mau menantunya tertekan bila dipaksa tinggal bersama ataupun berdekatan. Karena ibu tau, sebaik-baiknya orang, pasti akan ada saja masalahnya.

Setiap menelpon kakakku, Ibu hanya menanyakan kabar mereka. Tak pernah sekalipun mendesak untuk pulang. Bukan karena tak peduli. Tapi, ibu takut mereka tak punya uang dan kepikiran untuk berhutang agar bisa pulang kampung.

Jika dikatakan rindu, sudah pastilah sangat rindu. Apalagi dengan anak sendiri. Tapi apa hendak dikata, jika rezeki belum ada.

Ibu selalu mengatakan, video call saja sudah bisa mengobati rasa rindunya.

Saat kakak menawarkan untuk mengirim uang pada ibu, beliau selalu menolaknya. Takut jika kehidupan anaknya masih kekurangan.

(Tunggu pembalasanku, Rani! Aku tau kamu mau mempermainkan dan mempermalukanku di depan umum!) pesan dari Bang Jali, baru saja masuk ke ponselku. Sepertinya dia belum terima dengan apa yang baru saja terjadi.

Pasti dia merasa harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang PNS, terinjak-injak. Apalagi permintaannya untuk aku mengganti cincin tunangan dua kali lipat tak kesampaian, dan malah diejek oleh tetanggaku. Sangat yakin, jika dia merasa sangat marah. Dan jika bisa meledak, maka dapat dipastikan dia sudah hangus menjadi arang.

Tidak perlu dibalas, biarkan saja dia dengan pikirannya sendiri.

(Akan kubuktikan padamu, jika aku bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik, dan lebih baik darimu. Sedangkan kamu, tak akan pernah mendapat suami PNS sepertiku. Uang maharmu, juga paling mentok satu juta. Wanita sepertimu, tak pantas untuk dihargai lebih dari segitu!) pesan kembali masuk, setelah beberapa saat.

Mungkin dia sedang memancing emosiku karena pesannya tak kunjung kubalas.

Berapapun maharnya, aku tak peduli. Yang terpenting, suamiku menyayangi ibu, seperti ibunya sendiri. Meskipun tak akan pernah sama, setidaknya suamiku nanti bisa berusaha adil. Bukan malah seperti ingin memisahkan dan menelantarkan seperti ucapan Bang Jali tempo hari.

(Ya, carilah Bang. Semoga beruntung. Semangat berjuang. Tak apa jodohku, hanya sanggup memberi mahar satu juta. Bahkan 10ribu pun, tak masalah. Yang penting dia waras dan tidak gila, seperti anda!) balasku agar dia tak lagi mengganggu.

(Dasar wanita sombong! Aku sumpahi, tak akan pernah kamu mendapatkan jodoh!) balasnya lagi semakin emosi.

Aku langsung memblokir nomornya. Malas berurusan dengannya lagi. Yang ada bikin sakit kepala sebelah, dan mata berkunang-kunang, kaki kesemutan, bibir pecah-pecah.

***

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti biasa, setelah sholat subuh pergi ke warung untuk membeli sayur.

Sudah banyak para ibu yang berkumpul mencari sayuran, serta bergosip ria.

"Iya, nggak tahu diri banget. Memang siapa dia minta mahar lima Milyar? Rumah hampir roboh, tanah tak punya kebun tak punya, tapi gayanya itu loh selangit!" celetuk Bi Badriah dengan semangat. Dari suaranya yang cempreng, aku sudah bisa menebak kalau itu dia. Meskipun belum melihat wajahnya.

Jika sudah menyangkut mahar lima Milyar, pasti mereka sedang membicarakanku. Aku menghentikan langkah, dan terus saja mendengarkan obrolan para ibu tersebut dari bawah pohon mangga yang kebetulan berjarak lima meter.

Yang namanya hidup di kampung, pasti ada saja orang yang tak suka pada kita. Dan akan selalu mencari keburukan kita untuk dijadikan bahan gossip. Tidak hanya di kampung sih, di kota pun sama. Tapi biasanya lebih parah di kampung. Karena banyak ibu-ibunya tak ada kegiatan. Jadi, nggosiplah kerjanya.

"Ayu, yo ora! Tapi kok kemayu. (Cantik, ya enggak! Tapi kok sok cantik)" Bi Atun menimpali.

"Dibandingkan anakku yang bidan, jauh lebih cantik anakku. Udah cantik, berpendidikan pula!" Kini Bu Samini yang ikutan bicara, sekalian membanggakan anaknya.

"Aturnya Si Rani itu bersyukur. Dapat suami PNS, bukannya malah minta mahar selangit. Emang dia pikir, dia bidadari. Bisa minta mahar sesuka hati. Masih untung ada yang mau." sambungnya sambil mengunyah kacang panjang mentah, seperti embek!

"Udah sampean kenalkan aja Mas PNS itu sama anakmu yang bidan. Siapa tahu jodoh," usul Bi Atun.

"Iya, Bude Samini, kan lumayan dapat mantu PNS. Lagian, anakmu dan Mas PNS itu, cocok. Sama-sama berpendidikan, ganteng dan cantik pula," ucap Bi Badriah mendukung.

Perlahan tapi pasti, aku berjalan menghampiri mereka. Kacang panjang yang sempat dikunyah Bu Samini pangkalnya, aku langsung ambil ujungnya. Kebetulan ia biarkan menjunjtai ke bawah, dan tak dipegangi. Lalu kumasukkan kedalam mulut, dan ikut duduk di sampingnya sambil ikut mengunyah.

"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya," ucapku nimbrung percakapan mereka.

Mendengar suaraku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.

Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Gara Gara Mahar 5 Milyar
0
0
Bab 6 sampai 10, bisa dibaca gratis
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan