Gara Gara Mahar 5 Milyar

0
0
Deskripsi

Bab 6 sampai 10, bisa dibaca gratis

Bab 6

"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya."

Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.

Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.

"Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap

"Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius.

Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah pasti, kalau ada orang di hadapannya, mereka akan membicarakan yang baik.

"Gosip apa?" tanya Bi Badriah lupa ingatan. Ia sudah berdiri, meskipun pinggangnya encok akibat terjatuh.

"Ya, gosip yang kalian bicarakan tadi."

"Mbak Juni, total belanjaanku berapa?" tanya Bi Atun pada pemilik warung Ia mencoba melarikan diri.

Seperti pencuri yang ketahuan warga, para ibu-ibunya julid tersebut menjadi salah tingkah dan mencoba lari dari kenyataan.

"Mau kemana, Bi Atun? Belum siap ini loh gosipnya. Ini loh, wong seng ora ayu tapi kemayu, sudah ada di depan mata. Yuk, kita ngerumpi bersama."

"Heheh, Bibi lagi sibuk, Ran! Mau masak untuk bekal Lek Tuhi ke ladang. Pamit dulu ya!"

Bi Badriah dan Bu Samini, juga mengikuti langkah seribu Bi Atun. Tanpa permisi, mereka lari terbirit-birit. Emang kalian pikir, aku Jin Iprit!

"Kasihan kamu, Ran! Jadi bahan gosipan satu kampung, gara-gara mahar."

"Ya, biarkan saja Bude. Mereka kan nggak tahu alasan sebenarnya kenapa aku minta mahar segede itu."

"Lah, opo toh alasannya?" tanya Bude Juni kepo.

"Panjang kalau diceritakan, Bude. Biarlah hanya waktu yang dapat menjawabnya."

"Hmmm. Senengane kok nggawe penasaran toh, Ran! (Senangnya kok bikin penasaran toh, Ran!). Jadi, kalian resmi batal nikah?"

"Iya, Bude. Mungkin memang belum jodoh. Aku ra popo."

"Mudah-mudahan lah, Ran. Jodohmu nggak akan susah. Karena biasanya, kalau sekali gagal tunangan, pasti susah dapat jodoh. Tu kayak Mas Paino, dulu waktu mudanya banyak yang antre. Tapi cuma satu wanita yang berhasil mendapatkan hatinya, Yaitu Sulastri. Pas udah tunangan, Mas Paino tertarik lagi dengan wanita lain bernama Asri, terus dia  memutuskan pertunangnnya. Si Sulastri sakit hati, terus pergi dari kampung ini. Akhirnya, Mas Paino dan Asri juga nggak jadi menikah gara-gara Asri ketahuan selingkuh dengan lelaki lain. Akhirnya, sampai saat ini Mas Paino tidak mendapatkan jodoh. Padahal usianya sudah 50tahun."

"Itu berarti, Pak Paino kuwalat sama Bu Sulastri. Makanya nggak dapat jodoh. Kalau aku, kan beda ceritanya Bude."

"Tapi sama aja, Ran. Sama-sama gagal!"

"Percaya sama yang maha Kuasa aja lah, Bude."

"Sak karepmu lah! Yang penting Bude udah ingatkan."

"Nggeh, Bude."

Hari gini, mitos kok dipercaya. Biar sajalah, mereka dengan kepercayaannya dan aku dengan kepercayaanku.

"Berapa semuanya, Bude?" tanyaku pada semua belanjaan yang sudah kukumpulkan.

"30 ribu." Aku menyerahkan uang pas, lalu berjalan kembali pulang.

Saat berpapasan dengan para tetangga, pandangan mereka jadi agak aneh padaku. Apa karena gosip mahar 5 Milyar sudah menyebar luas di kampung ini?

Padahal baru tadi malam kejadiannya, tapi sudah secepat kilat menyambar, telinga para warga.

Ah, masa bodoh. Ternyata benar yang dikatakan ibu. Jika, orang zaman sekarang, hanya percaya dengan yang mereka dengar tanpa mencari tahu kebenarannya.

Tapi aku tak peduli. Toh dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, para bujangan di kampungku tak ada yang tertarik padaku. Karena menurut mereka, aku adalah gadis miskin. Mereka tak tahu aja, biar miskin begini, keluargaku tak punya uang. Eh, maksudnya Hutang!

Lirikan-lirikan mata manusia julid terus saja mengikutiku hingga sampai di depan rumah. Bahkan ada yang terang-terangan berbisik saat aku melewatinya.

"Assalamu'alaikum, Bu! Ini, sayurnya." teriakku begitu sampai ruang tamu. Tapi ibu tak kutemukan  di seluruh penjuru ruangan. Hingga ...

'Bugh!'

"Rasakan ini! punya mulut itu, harus dijaga. Jangan sampai kujadikan bibir geprek!" teriak ibu dari luar dapur.

Apa yang sedang terjadi? Aku harus segera berlari. Pasti Ibu sedang bertengkar dengan tetangga, jambak-jambakan, tendang-tendangan, karena tak terima putrinya yang paling cantik ini diolok-olok mereka.

"Ibu! Sudah, jangan bertengkar lagi. Aku tidak apa dan sudah terbiasa diolok-olok mereka!" teriakku, ngos-ngosan karena berusaha secepat kilat berlari menemuinya. Dan ternyata, apa yang ibu lakukan sungguh di luar dugaan.

Wanita renta yang kukira lemah, ternyata sedang memegangi kepala Kambing. Ia berusaha melakban mulut kambing tersebut dengan kesusahan. Suara hentakan kaki kambing meronta, membuat gaduh, seperti orang yang sedang bertengkar.

"Kamu kenapa, Nduk?" tanya ibu polos. Tangannya masih memegangi kambing tersebut. Sementara wajahnya seperti orang kebingungan.

"Nduk! Kenapa kamu teriak-teriak?" tanyanya lagi karena tak mendapatkan jawaban dariku.

Duh, Ibu. Ada aja tingkah lakunya. Pake kambing dilakban segala mulutnya.

Sudah berprasangka buruk terhadap tetangga. Ternyata ibu, melakukan hal yang tak terduga.

"Hish, ini sayurannya udah Rani, beli. Kok malah main peluk-pelukan sama kambing sih!" ucapku kesal meninggalkan ibu yang masih memegangi kambingnya.

"Embeekkkk ... "

Tak lama ibu masuk dan duduk di hadapanku.

"Kenapa kambingnya ibu lakban mulutnya?" tanyaku masih kesal dengan ulahnya.

Ada-ada saja. Masa kambing sampai dilakban. Kalau nggak bisa makan gimana? Kan kasihan. Bukannya moto kambing adalah Hidup untuk makan? Makanya jarang sekali aku melihat mulut kambing tidak mengunyah. Kecuali tidur.

"Iya, habis ibu emosi. Entah kambing siapa pagi-pagi di lepas liarkan. Kut-ang ibu yang baru aja selesai dibilas, dan ditinggal sebentar, langsung digondol dan dikunyah. Karena nggak bisa ditelen, eh langsung ditinggalkan begitu aja. Mana udah bolong-bolong kena giginya lagi! Makanya dia harus tanggung jawab!"

Aku hanya bisa menepuk jidat. Jangan ditiru kelakukan ibuku, saudara-saudara!


Bab 7

"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu.

Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya.

"He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya.

"Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u

"He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi.

"Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku.

Belum tau aja dia, kalau yang lebih nggak masuk akal itu, adalah tetangganya.

Es teh di gelas sudah tandas kuminum, lontong sayur juga sudah habis dan hanya menyisakan piring bersih berkilau. Ini saatnya membuka suara agar Sinta tak salah paham seperti yang lainnya. Kalau aku diam aja, nanti semua orang berpikir buruk tentangku. Walaupun aku bukan orang yang baik, setidaknya orang lain tidak memandang buruk tentang diriku ini.

"Semua itu tak seperti yang kau bayangkan, Sinta!" ucapku, mengusap mulut pakai tisu.

"Maksudmu?"

Aku menarik napas dalam. Ngomong sama Sinta, harus secara jelas. Biar dia ngerti. Karena kadang, ot*knya suka eror.

"Kamu bayangkan aja. Siapa wanita yang mau diperistri oleh lelaki yang maunya menang sendiri? Masa setelah menikah, aku nggak boleh kasih uang gajiku sedikit pada ibu. Belum lagi, aku harus tetap bekerja demi membantu keuangannya, dengan alasan agar cepat punya rumah. Sementara dia, boleh saja memberi ibunya uang karena surganya ada di telapak kaki ibunya, dan dia harus patuh karena sudah dilahirkan dan dibesarkan. Terus juga dia bilang kalau istri harus patuh sama suaminya karena ibarat kata sudah 'Dibeli'. Ya udah, kalau menurutnya dibeli, ya aku kasih harga yang sesuai dong," ucapku menjelaskan semuanya panjang lebar.

"Oh, begitu ceritanya. Gayanya aja selangit. Tapi punya istri mau dijadikan babu. Enak banget dia! Kalau aku jadi kamu, udah langsung tak hih, itu mulutnya."

"Itulah, makanya kuberi mahar yang nggak masuk akal. Biar batal sekalian nikahannya. Karena aku yakin mereka nggak akan sanggup. Dan ternyata benar. Mereka nggak sanggup. Kamu tau, apa yang terjadi habis aku katakan jumlah maharnya?"

Sinta menggeleng.

"Mereka mengataiku. Ibunya ngatain aku nggak tau diri, rumah mau roboh dan lain sebagainya. Anaknya ngatain lebih bagus nikahin Ayu ting-ting ketimbang diriku yang pasti lebih dari Ayu ting-ting ini," ucapku percaya diri.

Iya, lebih hancur maksudnya. Bukan lebih cantik, ya! Kalau cantiknya, sudah pasti aku kalah. Perawatan ratusan juta dengan ratusan rupiah.

"Halah, gayanya aja selangit. Sok mau ngelamar artis. Diminta iuran masjid aja mencak-mencak, kayak manusia paling terzolimi di muka bumi!" sungut Sinta.

"Itulah tetanggamu!"

"Sebenernya, keluarganya itu, memang terkenal sombong. Apalagi karena Si Jali PNS. Behhh ... Makin menjadi sombongnya. Udah berasa paling kaya di kampung, pokonya. Kamu tau? Gelang yang dipakai ibunya, dari lengan sampe pergelangan tangan. Belum lagi kalungnya gede-gede kayak rantai kapal, cincin dari jempol sampe kelingking, tiap hari selalu pamer. Kemana-mana udah kayak toko emas berjalan. Tapi pelitnya, na'uzubillahiminzalik! Ada orang kesusahan, bukannya ditolongin, ehh malah direndahin. Untung nggak jadi mertuamu!"

"Udah tau gitu, nggak kamu larang pula aku tunangan sama dia! Seharusnya, sebagai teman yang baik, dari awal mencegah temannya terjerumus ke dalam lubang kegelapan!" ucapku sewot.

Kalau dari awal tahu semua tentang keluarganya, pasti pertunangan itu nggak akan terjadi. Ibarat nasi, udah menjadi lontong, nggak akan pernah kembali jadi nasi lagi.

"Ya, mau gimana. Aku melihat di matamu penuh cinta. Makanya, diri ini hanya bisa tutup mata rapat-rapat,"

"Halah! Bilang aja kamu mau menjerumuskanku ke dalam jurang yang berisi harimau sekandang kan?"

"Tidak seperti itu, Roma!"

"Ah, sudahlah, Hani!" ucapku menirukan serial drama jadul.

"Mmmmm, kalau kukenalkan sama yang lain, mau nggak?" tanya Sinta, menaik turunkan alisnya.

"Ah, nanti sama aja dengan Bang Jali."

"Enggak, ini beda. Dia udah lama nanyain kamu terus. Dari nama, tempat tinggal, usia, sampe nomor be-ha!"

"Idungmu! Terus kamu kasih tahu nomor be-haku?"

"Enggaklah, kan aku nggak pernah ngintip kamu mandi! Jadi nggak tau ukurannya."

'Plak!'

Kutampar pahanya, agar dia tersadar dari kerasukan jin dari timur tengah.

"Aduh! Sakit, gi-la!" makinya sambil terus mengusap pahanya.

"Ini serius loh, ada yang mau kenalan sama kamu. Tapi, ya cuma petani. Bukan PNS kayak mantanmu."

"Aku nggak pernah masalah, mau petani, pelaut, pemulung, atau pe yang lainnya. Yang penting, sayang sama aku, dan ibu. Tidak pilih kasih antara orang tua dan mertua."

"Ya, kalau masalah sayang sama mertua atau enggak, aku nggak tau. Kan dia belum pernah nikah sama aku. Kalau dia mantan suamiku barulah aku tau mendetail tentangnya!" ucapnya sok polos.

"Hiihh, memang pikiranmu itu, sesempit lubang hidung! Maksud aku itu, nggak masalah kenalan dengan siapapun gitu. Bukan harus tau mendetail tentangnya juga, SINTA, yang tak punya RAMA!"

"Eh, tapi aku tau kok ukuran semvaknya. L kalau nggak salah!"

"Memang perlu dikasih kaporit, ot-akmu itu! Biar putih bersih, seperti bayi baru lahir!"

"Heheh. Beneran loh, Ran. Kemarin, pas aku lewat di bawah jemurannya, ada semvak laki-laki di sana. Makanya-"

"Makanya kamu kena sawan!" potongku cepat. Bisa makin edyan kalau ngomong sama Sinta. Jarang banget dia warasnya. Sering kumatnya.

Daripada ketularan sawan, lebih bagus kutinggalkan aja dia sendiri di kantin.

"Rani, tungguin! Aku belum siap makan nih!" teriaknya saat kakiku sudah menjauh darinya.

"Aku ogah nungguin kamu! Yang ada makin sarap!" teriakku meninggalkannya.

 

Bab 8


Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku.

"Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran.

"Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat.

"Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!"

"Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!"

"Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata.

"Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang.

"Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan."

"Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor.

Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasil kerja keras selama ini. Dibeli secara cash, walaupun second. Daripada baru tapi kredit, aku lebih memilih cash, walaupun bekas. Alasannya karena malas mikirkan hutang. Kalau dikalikan, juga ruginya banyak. Udah kaya, makin kaya lah dealer motor di Indonesia ini. Sementara aku, semakin melarat mikirin kreditan.

"Perhitungan banget sih jadi orang! padahal, kan searah."

"Iya, arah kampungmu ke kiri, kampungku ke kanan!" gerutuku.

"Ya nggak apa lah! Hitung-hitung cari pahala. Sekalian nanti, aku kasih tau lelaki yang naksir sama kamu!"

"Ck! Itu lagi bahasanmu!"

"Siapa tau jodoh. Orangnya baik, kok. Pekerja keras juga."

"Kenapa nggak sama kamu aja!"

"Ck! Aku sih mau aja. Tapi dianya yang nggak mau sama aku. Bayangin aja, kalau ketemu di jalan, yang ditanyain kamu terus, sampe bosen dengernya. Gimana ada celah untuk kutikung hatinya coba?"

"Itu semua, karena dia cuma penasaran sama aku. Nanti kalau udah deket, pasti dia bosen dan cari yang baru."

"Makanya jangan lama-lama kenalan, langsung nikah!"

Enak aja dia kalau ngomong. Nggak tau kalau aku masih trauma dengan Bang Jali. Baru kenal dua minggu udah mau diajak tunangan. Ujung-ujungnya putus di tengah jalan.

"Kamu pikir, menikah segampang itu? Baru kenal langsung ngajak nikah. Kan belum tahu sifatnya. Kalau sama dengan yang udah-udah gimana?"

"Oalah, Ran! Yang namanya sifat asli, semua orang nggak akan pernah tau. Meskipun udah bertahun-tahun pacaran. Karena setiap orang, pasti nyembunyiin sifat aslinya sampai dia menikah. Kamu lihat kan, yang pacaran bertahun-tahun tapi usia pernikahannya cuma beberapa bulan. Itu semua karena sifat aslinya baru ketahuan pas udah jadi pasangan suami istri. Pacaran lama juga nggak menjamin kamu tau sifat asli lelaki. Yang ada cuma nambah dosa aja pacaran terlalu lama. Tiap jumpa pegangan tangan. Tiap jalan berhenti di gelap-gelapan ci*uman. Pikirkan udah berapa banyak dosa yang ditumpuk. Lagian, nggak ada manusia sempurna di muka bumi ini. Setiap kelebihan, pasti ada kekurangan. Termasuk diri kita sendiri. Nih, ya. Kalau aja ada yang mau langsung melamar aku. Pasti langsung kuterima. Asal sesuai dengan kriteria."

Bener juga yang dibilang Sinta. Meskipun ot*knya agak miring, kalau ngomong asal ceplos, tapi kadang pemikirannya ada benernya juga.

Banyak juga kok yang ta'aruf, tapi pernikahan mereka langgeng. Padahal, mereka tak saling kenal dan tau sifat masing-masing dari pasangannya. Sedangkan yang berpacaran lama, hanya beberapa bulan aja usia pernikahannya. Ya, walaupun nggak semuanya begitu.

"Kadang, ot*kmu bener juga, Sin. Aku sempet nyesel baru kenal langsung mau diajak tunangan loh. Karena kejadian ini."

"Ngapain disesali yang udah terjadi. Anggap aja itu sebagai perjalanan hidup."

"Iya, juga ya. Tapi, tetep aja. Aku kan belum ketemu dan kenalan sama orangnya. Ngapain berpikiran sejauh itu."

"Hmmm ... Orangnya ganteng, loh. Cuma agak hitam aja, terpanggang sinar matahari. Kalau dibandingkan sama Si Jali, jelas kalah telak dia gantengnya. Si PNS itu, kan cuma menang putih aja."

"Nggak usah sebut namanya lagi, bisa! Eneg aku dengarnya."

"Iya, nggak akan kusebut namanya lagi."

Lima belas menit sudah berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman Sinta.

"Sttt! Itu orangnya, Ran!" bisik Sinta, melirik ke jalan. Aku spontan mengikuti pandangannya.

Ternyata benar, ada seorang lelaki muda yang sedang melintas sambil memperhatikan kami. Dia tersenyum saat bertemu pandang denganku Tak ingin dikatakan sombong, aku pun ikut senyum sebagai balasannya.

Ternyata memang wajahnya cukup tampan. Seperti aktor twilight, yang jadi srigalanya itu. Si Jacob, kalau nggak salah. Tapi ini versi Indonesia. Jadi, nggak terlalu berotot.

Lelaki itu, terus saja melihat ke arahku, tanpa memperhatikan jalannya.

"Eh, Bang Juna! Awas, di depan ada parit!" teriak Sinta pada lelaki itu.

'GRASAK!'

Tak sempat menghindar, akhirnya dia nyungsruk ke parit.

"Tuh, kan! Makanya, kalau lagi jalan, yang dilihat jalannya Bang. Bukan malah jelalatan!" teriak Sinta lagi, tanpa berusaha menolongnya.

Mungkin karena malu, lelaki yang dipanggil Juna tersebut oleh Sinta, tak lagi melihat ke arah kami. Ia berusaha keluar dari parit dan pergi begitu saja.

Bukannya simpati, Sinta justru tertawa terbahak-bahak, sambil memegangi perutnya. Bahagia sekali dia melihat orang kesusahan.

"Heh, udah! Kasihan, tu orang malu, kamu ketawain."

"Habis lucu sih. Bisa-bisanya nyungsep di parit. Karena terpesona kecantikanmu!" Aku juga jadi ikut tersenyum mengingat kejadian yang barusan terjadi.

"Ehemm. Tuh, kan. Langsung kesemsem! Baru lihat orangnya, udah senyum-senyum sendiri,"

"Apaan sih. Itu tadi, karena dia duluan yang senyum. Makanya aku bales senyum. Nanti dikatain sombong pula!"

"Halah, alasan! Tapi ... Ganteng kan?"

"Lumayan," sahutku keceplosan.

"Cuiitt, cuiitt. Nggak butuh waktu lama untuk move on nih!"

"Apaan, sih! Udahlah, aku mau pulang dulu."

"Oke, makasih ya! Mau nitip salam nggak sama yang tadi? Salam tempel gitu misalnya!"

"Sak karepmu! Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan. Kalau jatuh, jangan lupa bangun!" teriak Sinta saat aku sudah melajukan sepeda motor.

 

Bab 9


Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal.

Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal.

Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu.

"Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar  belum?" tanyanya sewot.

Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong orang tua kok malah pergi.

"Alhamdulillah, belum Bu. Ibu gimana. Udah datang melamar Ayu ting-ting belum? Keburu disambar pengusaha kaya loh, calon mantunya. Anak ibu yang PNS dan masih pas-pasan pasti ketikung sama yang kayanya udah Sultan," jawabku santai.

Jika ada orang emosi, kita nggak boleh emosi juga. Ibaratnya, kalau ada api membakar rumah, maka kita harus ambil air untuk menyiramnya.

Kedua orang yang sedang berdiri di dekat mantan camer hanya bisa tersenyum geli. Mereka berdua melihatku biasa saja. Tak ada raut wajah tidak suka. Mungkin karena sudah tau dengan sifat asli ibu Bang Jali.

"Kurang aj-ar kamu ya! Kamu nggak tau siapa keluarga kami?" bentaknya semakin darah tinggi.

Sementara itu, kedua ibu-ibu itu tampak kaget mendengar suara bentakan ibu Bang Jali. Kasihan, kalau sampai jantungnya copot gimana coba?

"Tau lah, Bu. Mantan calon ibu mertua yang gagal menikahkan anaknya karena mahar!" Aku masih tetap sabar, menjawabnya tanpa beban.

Aku tahu maksud dia mengatakan siapa keluarga kami. Itu karena ia ingin membanggakan keluarganya. Ingin pamer jika keluarganya adalah orang paling kaya di kampung ini.

Jadi manusia kok sombongnya minta ampun. Padahal, semua yang ia miliki adalah titipan Tuhan, yang kapan saja bisa diambil oleh sang Maha pencipta.

"Heh, bocah! Jangan bahas lagi soal mahar. Bukan kami nggak sanggup kasih mahar 5 Milyar. Tapi untuk apa buang-buang duit kalau dapatnya menantu seperti kamu. Keluarga ningrat kami, akan jatuh harga dirinya. Sudah tak berpendidikan, bukan keturunan darah biru lagi. Apa coba yang bisa dibanggakan dari kamu!" ucapnya merendahkanku.

Sabar Rani. Sama orang tua nggak boleh kasar. Jawab aja yang lembut tapi menusuk. Ucap hati baikku.

"Lah, Bu. Gimana ceritanya ada manusia berdarah biru? Itu manusia apa Alien? Setauku, dari zaman pra sejarah, semua darah berwarna merah. Kecuali Ayam cemani yang darahnya hitam."

"Memang, ngomong sama kamu itu, cuma bikin emosi aja! Untung sekali tak jadi mantuku. Kalau sempat jadi, udah kupites kamu kayak kutu!" ucapnya sengit.

"Lah, yang nyuruh ibu ngomong sama aku juga siapa? Udah bener aku melajukan motor mau pulang, ehh malah diberhentikan. Aku juga beruntung loh, Bu. Sampean nggak jadi mertuaku. Kalau sempat jadi, udah darah rendah aku setiap hari," jawabku tak mau kalah.

Bayangkan aja kalau punya mertua seperti dia. Bisa habis makan hati, tiap hari mendengar omelannya.

"HAAAAA!" teriaknya seperti orang kesetan*n.

Sepertinya dia mulai stres menghadapiku. Padahal dari tadi, aku nggak pernah berkata kasar.Selalu kujawab pertanyaannya penuh dengan kelembutan seperti molto pewangi.

"Lagian, ngapain coba kamu masuk kampung ini? Bukan warga sini juga!" tanyanya masih sewot.

"Ya suka-suka saya dong, Bu. Emang ada larangan untuk diriku datang ke sini? Enggak kan? Kayak kampung ini, punya buyutnya ibu aja!"

"Halah, bilang aja kamu menyesal minta mahar kegedean. Terus mau cari perhatian anakku lagi kan? Jangan Mimpi bisa dekati anakku lagi!"

"Mencari perhatian anak anda? Hahahah, mimpi, di paret-paret! Seandainya di dunia ini laki-laki hanya tinggal dia. Saya lebih memilih tak memiliki pasangan sampai mati!"

"Kurang aj-ar, kamu! Anak saya juga nggak akan pernah mau sama kamu. Seandainya wanita di dunia ini hanya ada kamu, aku yakin juga dia lebih memilih lembu ketimbang kamu yang mata duitan!"

"Nggak papa mata duitan, Bu. Daripada mata keranjang. Nanti untuk main basket pula sama orang!"

"Kamu itu ya! Dari tadi, menjawab terus bisanya. Apa ini yang diajarkan oleh orang tuamu?"

"Iya, Bu. Kata orang tua saya, jika ada orang tua yang ngajak ngomong. Ya harus dijawab. Jangan sombong, nanti berdosa, kalau berdosa bisa masuk neraka. Neraka itu kan panas, kayak api-"

"CUUUUKKUUUPPP! Lama-lama bisa gila aku ngomong sama kamu!" teriaknya lagi. Hobi sekali ibu satu ini teriak-teriak. Untung telingaku dan kedua ibu itu ada saringan hawanya. Jadi bisa tahan dengan gelombang suara yang memekakan telinga.

"Huusshhh. Tenang, Bu. Tenang. Tarik napas ... Hembuskan. Tarik napas ... Hembuskan. Sudah tua, jangan marah-marah, nanti bisa stroke loh!"  Aku mencoba menenangkannya. Daripada nanti dia pingsan, di sini. Kan bisa gawat. Mana badannya subur, seperti tanaman yang dipupuk ta-i lembu lagi. Mau gimana coba angkatnya? Diseret nggak mungkin. Pasti nggak ke tarik. Dibiarkan nanti dipikir orang sapi ma-ti. Kan jadi serba salah.

"Oh, Tuhan! Apa salah dan dosaku, sampai bertemu manusia seperti dia!" geramnya, sambil menarik urat leher.

"Apa salah dan dosaku sayang, cinta suciku kau buang, buang, lihat jurus yang kan kuberikan, jaran goyang, jaran goyang  ... Hassyyekk, tarreekk mang!" ucapku sambil menggoyangkan kedua jempol. Kedua ibu yang berada di samping ibunya Bang Jali juga ikutan bergoyang.

"Diam kalian berdua! Mau ikut-ikutan sint-ing kayak dia!"

"Udah, Bu. Sabar. Daripada makin darah tinggi jantungan, mata berkunang-kunang, wajah jerawatan, hidung mampet, lebih baik saya permisi dulu. Jangan lupa, setelah ini makan timun satu kilo. Sepertinya darah tinggi ibu, kumat itu!" ucapku, menyalakan mesin motor lalu meninggalkannya. Tak lupa melambaikan tangan agar ia semakin darah tinggi.

Kedua wanita di samping ibu Bang Jali, hanya bisa mengelus-elus dadanya. Mungkin agar wanita tambun itu bisa melapangkan dada menghadapiku.

"Lepaskan! Apa-apaan kalian ini! Memang kamu anak ***$$###*** "

Entah apa lagi sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Karena aku tak peduli dan tetap melajukan sepeda motor menjauh.

Masih bisa kulihat dengan jelas, Ibu Bang Jali menghentak-hentakan kaki, sambil terus mengomel.
Sedangkan kedua ibu-ibu di sampingnya hanya bisa tertawa cekikikan.

***

 

Bab 10

Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.

Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.

Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.

Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu dijadikan alat.

Nah, kalau Bi Badriah beda lagi. Dia tidak menyukai keluargaku, karena iri. Entah apa yang membuatnya iri. Yang penting, setiap apapun yang kami lakukan Selalu menjadi sorotan di matanya. Dan sudah pasti tidak ada benarnya. Alias selalu salah.

"Udah denger gosip belum, Ran?" Tanya bude Juni saat aku sedang berbelanja ke warungnya sore hari.

Yang namanya gosip, pasti deh tim emak-emak nomor satu mendapatkan beritanya dan cepat menyebar luaskannya.

"Gosip apa, Bude?" tanyaku sedikit kepo. Ya, siapa tau gosipnya menguntungkan diriku. Kan lumayan.

"Itu, Si Putri anaknya Samini. Katanya mau dilamar sama mantanmu si PNS itu!" beri tahunya dengan wajah serius.

Jadi ini pembalasan yang dikatakan si Jali. Dia akan mendapatkan wanita yang lebih dariku. Memang, Si Putri ini lebih segalanya dariku. Lebih berpendidikan, lebih putih, meskipun waktu kecilnya hitam. Lebih lemah lembut. Dan satu lagi, kelebihan berat badan. Sungguh paket lengkap, Bang Jali mendapatkan istri.

"Lah terus, apa hubungannya sama aku, Bude?" tanyaku pura-pura tak peduli. Walaupun sesungguhnya kepo. Hanya kepo, ya! Bukan cemburu.

"Ya, nggak ada sih. Cuma mau ngasih info, bosku!" ucap Bude Juni, tersenyum tak enak hati.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Bak memiliki kontak batin. Bu Samini juga datang berbelanja bersama gengnya.

"Eh, ada kamu Rani! Kebetulan sekali kita ketemu di sini. Jadi, begini. Rencananya, hari rabu malam kamis, Si Putri mau dilamar. Kamu datang ya? Sebagai pendampingnya gitu," ucap Bu Samini merasa bangga.

Sepertinya dia ingin memamerkan calon menantunya yang PNS itu. Huhhh, dapat bekas aja bangga!

"Gimana ya, Bu. Kalau aku nggak sibuk, ya!"

Malas sebenarnya datang. Untuk apa coba, menghadiri lamaran mereka. Nggak ada untungnya juga.

"Sibuk apa kamu toh, Ran? Paling kerjaan cuma rebahan di rumah. Main hape, cari lelaki sugeh! (kaya)" celetuk Bi Atun.

"Ya, palingan sibuk meratapi nasib! Mantannya udah dapat pengganti, ehh dianya masih sendiri." sambar Bi Badriah. Mereka bertiga tertawa puas.

Tidak bisa dibiarkan. Akan kubuktikan pada mereka jika aku sama sekali tak menyesal karena gagal menikah dengan Bang Jali.

"Nggak level, ngeratapi nasib, cuma karena ditinggal lelaki macam Si Jali. Dapat Calon mantu bekas aja bangga!" celetukku mengejeknya.

"Mulut aja bisa bilang nggak level. Tapi hati pasti nyesel!" ucap Bi Atun makin nyelekit.

"Heh, jangan asal ngomong ya, Bi! Untuk apa disesali yang telah terjadi. Nggak penting!"

"Kalau nggak nyesel, dan kuat menghadapi kenyataan. Seharusnya, ya datang saat diundang."

"Oke! Aku akan datang. Tapi aku mau ingetin untuk Bu Samini. Si Jali itu, nanti setelah menikah dengan Si Putri. Pasti nggak akan pernah datang melihat atau pun menjenguk sampean. Jangan harapin dikasih uang belanja. Uang jajanpun nggak akan diberikan sepeser limper sama sampean. Karena itu yang pernah dia ucapin saat kutanya tentang kasih nafkah untuk orang tuaku. Dia nggak setuju."

"Halah, bilang aja kamu iri, Ran! Akhirnya yang dapat suami PNS Si Putri. Bukan kamu. Mana mungkin Si Jali pelit. Orang tuanya aja kaya raya. Belum lagi, pekerjaan Jali udah mapan. Untuk apa lagi uangnya kalau nggak untuk bantu mertua." Sela Bi Atun.

"Iya. Benar kata Atun. Jangan Coba-coba kamu menghasut kami dengan memfitnah Jali. Kami nggak akan percaya sama sekali dengan omonganmu. Jadi manusia itu, hatinya jangan iri dengki dong! Kalau kamu martel, ya jangan mengkambing hitamkan orang!" sambar Bi Badriah.

"Matre, Bad, bukan martel(palu)!" ucap Bude Juni mbenarkan.

"Ya udah kalau nggak percaya. Terserah kalian aja. Tapi inget, jangan nyesel nanti kalau udah kejadian," ucapku mencoba memperingatkan.

"Halah, omonganmu itu. Udah Kayak paling bener aja!" Bu Samini melirik tak suka padaku.

Huuh, kesel banget. Padahal aku kasih tahu biar dia nggak terjerumus, ke dalam jurang. Tapi bukannya di dengerin, ehh malah dilirikin. Emang susah ngomong sama orang ndableg. Nanti kalau udah kejadian, baru menangis, merana, meratap.

Anak satu-satunya yang seharusnya bisa menjaga orang tua. Setelah menikah malah melupakannya. Tunggu aja kejadian, baru kelabakan.

"Eh, Samini. Berapa mahar yang diminta Si Putri?" tanya Bude Juni menyela perdebatan kami.

Aku tau kalau sebenernya bude Juni nanya itu, biar aku nggak terus dipojokkan sama Bu Samini and the gank. Makanya dia mengalihkan pertanyaan, dengan urusan mahar.

"Karena anakku bidan, jadi maharnya ya besar. Mungkin 100juta. Masih masuk akal kan?"

"Ya, masuk akal banget. Yang nggak masuk akal itu, kalau mintanya pakai Milyar. Emang siapa diri ini, sampai minta sebanyak itu," Sindir Bi Badriah.

"Iya, apa lagi si Putri udah jadi bidan. Emang biasanya segitu yang diminta. Kalau cuma tamatan SMA dan kerja pabrik, biasanya cuma 5juta." ucap Bi Atun juga menyindir.

Kita lihat aja nanti. Apa bener maharnya sebesar itu. Apalagi kata Sinta, saat ibunya Bang Jali dimintai iuran masjid malah mencak-mencak. Aku yakin maharnya di bawah 100juta.

Tekadku udah bulat. Aku harus tetep datang ke acara lamaran Si Putri untuk menyaksikan dengan kepala dan mataku sendiri. Kejadian macam apa yang akan terjadi.

Kalau sampai tak sesuai harapan. Aku akan tertawa paling keras di sana nanti. Biar sekalian malu mereka.

"Bi Atun, kalau nyindir langsung ngena di hati ya! Terus apa kabar dengan anak perempuan sampean yang SMP aja nggak lulus karena lebih milih kabur sama pacarnya? Kira-kita, nanti kalau dilamar mahar yang cocok berapa?" tanyaku balik menyindir.

Mak jleb, Bi Atun tak bisa lagi berkata-kata. Mulutnya menganga, matanya berkaca-kaca.

Udah jadi rahasia umum kalau Si Andini, nggak mau sekolah karena lebih milih pacaran. Karena dilarang orang tuanya, dia lebih memilih kabur. Meskipun sekarang udah pulang tapi si anak tetep nggak mau ngelanjutkan sekolah.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Gara Gara Mahar 5 Milyar
0
0
Kamu bisa baca tiga bab sekaligus hanya dengan harga 3,500.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan