
Bab 6
"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya, sok pintar.
Ini, tipe orang yang sekolah hanya datang lalu pulang. Ilmunya nggak nyampe di benak. Bisa-bisanya mengatakan pekerjaan rumah tangga adalah kodrat wanita. Apa dia tidak tahu apa itu kodrat?
"What? Belajar ilmu agama dari mana kau rupanya?" tanyaku, melihat sinis ke arahnya. Aku menarik napas kasar. Menjelaskan padanya butuh tenaga ekstra. Apalagi dengan manusia sejenis kadal.
"Mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, itu bukan kodrat wanita. Keong sawah! Kodrat wanita itu, hanya ada 4. Menstruas*, hamil, melahirkan dan menyusui. Selebihnya itu, bukan kodrat!" imbuhku menjelaskan. Agar lelaki seperti dia tau mana kodrat, mana bukan.
"Nggak usah mengguruiku, kau!" sungutnya berkacak pinggang. Napasnya kembang kempis, sepertinya menahan amarah.
Mau berdebat sampai gimana, tetap gue jabani! Loe jual gue beli!
"Lah, kau itu o*n, atau beg*? Ngatain aku bod*h. Taunya diri sendiri yang bod*h. Kau tau apa itu kodrat?" tanyaku meremehkan. Mas Dendi diam tak menjawab, bibirnya terkatup rapat. Ya, pasti dia tidak tahu apa itu kodrat.
Kurasa dulu, waktu sekolah, dia tidur aja kerjaannya. Makanya, tak tau apa-apa.
"Kodrat itu, adalah sesuatu yang ditetapkan oleh tuhan yang maha esa, sehingga manusia tidak mampu untuk merubah atau menolaknya. Sedangkan mencuci, memasak dan membersihkan rumah, lelaki pun bisa melakukannya. Sampai di sini paham kau?" sambungku menjelaskan sejelas jelasnya. Agar dia tak salah tanggap lagi, dan terbuka juga mata hatinya, jangan tertutup terus oleh egonya.
"Ah, terserah kau lah itu. Yang penting cuci bajuku dan Rama. Terus bersihkan juga rumah!" ucapnya memerintah. Seperti bos, tak bisa dibantah.
Yang buat berantakan siapa! Yang suruh bereskan siapa!
Sabar Melia, perhiasanmu yang dijualnya belum dikembalikan. Buat saja dulu dia darah tinggi tiap hari, biar makin stres. Ujar sisi baik dalam hatiku.
"Eiiittsss. Berani bayar berapa kau? Aku pula disuruh bersihkan, kalian yang bikin berantakan!" seruku padanya, dan berhasil membuatnya membelalakkan mata. Mungkin dia kaget, melihatku tak mau menuruti perintahnya.
Kubuat dulu kau senam jantung tiap hari. Biar kena struk ringan, hahahah.
Baru setelah struk, kucampakkan!
"Jadi, apalah fungsimu di rumah?" tanyanya menggebu.
"Nggak usah kau tanya apa fungsiku! Pikirkan dulu apa fungsimu sebagai suami!" Aku membalikkan ucapannya dengan santai.
"Fungsiku, bekerja mencari uang," jawabnya semakin darah tinggi.
"Mencari uang untukmu dan keluargamu sendiri kan?" sindirku, dan berhasil membuatnya salah tingkah.
"Kan untukmu juga!" sanggahnya, berusaha mengendalikan diri. Pintar kali ngelesnya.
"Untukku sejuta itu? Kau pikir cukup untuk kita hidup? Belum lagi untuk bayar bulanan kredit rumah ini! Kau cari sajalah pembantu, untuk masak dan membersihkan rumah. Biar tau dulu kau berapa pengeluaran untuk semuanya." Aku udah muak melihatnya. Andai perhiasanku sudah dikembalikannya ... Hufttt...
"Untuk apa ada kau kalau sampai pake pembantu!" serunya galak.
"Apa bedanya sama kau? Untuk apa ada suami, kalau sampai aku cari uang sendiri? Udah cari uang sendiri, kalau belanja kurang, aku yang nambahi. Kerjaan rumah juga aku yang ngerjain, enak kali lah hidupmu itu!" Aku berhenti sejenak untuk menarik nafas. Naik pula gula darahku dibuatnya.
"Kalau nggak, kita tukar peran aja! Aku kerja cari duit. Kukasih kau uang satu juta untuk keperluan di rumah selama sebulan. Kau bersihkan rumah, masak mencuci, dan kerja untuk menambahkan kekurangan kita. Sekalian kau bayarkan uang kreditan rumah ini. Sanggup nggak kau?" sambungku menantangnya.
"Kau itu! Sebagai istri, selalu saja membangkang dengan ucapan suami. Apa kau lupa? Surga istri itu ada pada suami. Mau kau masuk neraka karena aku nggak ridho?" cerocosnya.
Beneran, deh! Pengen kulempar mulutnya pakai brus yang kupegang. Aku masih menghargainya sebagai suami. Jadi kuurungkan niat itu.
"Hey! Apa kau rupanya panitia surga? Sampai butuh ridho darimu untuk masuk surga! Lagian, surga istri memang ada pada suaminya. Tapi, suami seperti apa dulu! Kalau suaminya macam kau, yang ada aku ikut masuk neraka. Sholat, ngaji, amal aja nggak pernah kau! Tiap pulang kerja selalu ke warung tuak, bisa pula bilang surgaku ada samamu! Nggak malu kau sama kelakuan!" ejekku, wajah kubuat menjengkelkan.
"Durhaka kau sama suami!" hardiknya.
"Kau lebih durhaka sama istri," sahutku enteng.
"Ahhh! Udahlah. Mau kerja aku! Yang ada gila aku, meladeni kau bicara," ucapnya, lalu menghilang. Tak lagi kulihat dia di depan pintu.
Hahahah. Kehabisan kata-kata dia makanya menghindar. Mamak medan kau lawan! Habislah kubuat.
Mamak medan ini bung! Bukan kaleng, kaleng. Satpol Pp berteduh aja diusir, apalagi benalu macam kau!
Aku meneruskan pekerjaanku yang sempat tertunda akibat perdebatan sengit antara Mas Dendi dan aku.
Setelah selesai menjemur pakaian. Aku kembali masuk ke dalam rumah. Ternyata, masih sama seperti tadi pagi saat aku melihatnya. Berantakan!
Rama tiduran di depan tv, kaki dia taruh di atas loudspeaker kecil di samping tv. Rokok tak lepas dari bibirnya, abu dari rokoknya berserakan di tikar mahalku.
Berati dia belum bekerja. Bukannya pergi mencari pekerjaan! Ehhh, malah enak-enakan dia bersantai seperti di pantai.
Hemmhh. Cari masalah rupanya dia denganku. Dapur tidak dibersihkannya, pakaian hanya ditumpuknya kembali kedalam ember, ruang menonton tv penuh dengan sampah, kok bisa dia dengan santainya menonton. Kau lihat dulu jurus mengusir kuman parasit dari depan tv.
Gegas kuberjalan menuju saklar. Jika dimatikan dari sini, pasti dia bakal kabur dari ruang tv itu.
Ctak!
Listrik berhasil kupadamkan di rumah ini. Tv pun spontan mati. Kulihat Rama beranjak dari tidurannya. Dia pergi dan masuk ke dalam kamar.
BLAMM!
pintu kamar ditutupnya dengan sekuat tenaga.
"Wooiiii! Sopan sikit kau numpang di rumah orang!" teriakku dengan suara membahana. Tidak ada sahutan darinya.
Mungkin dia sedang meratapi nasib mempunyai ipar sepertiku. Biarkan saja aku bersikap seperti kakak tiri. Karena dia juga tak tahu diri.
Aku mengamankan tikar mahalku, bersihkan lalu masukkan kedalam gudang. Mulai sekarang, semua barang-barangku akan kuamankan ke dalam gudang. Agar tak dirusak oleh benalu itu.
Jangan tanya kenapa aku bertahan dengan suami dan adik ipar seperti itu. Karena jawabannya pasti cuma satu.
Perhiasanku belum dikembalikannya. Aku tidak ikhlas bila Mas Dendi tidak memulangkan hasil keringatku sebelum menikah.
Aku dengan susah payah mengumpulkan uang, bekerja pontang panting demi membelinya. Dan sekarang aku harus melepaskannya begitu saja! Maaf ferguzo. Hidup ini tak segampang yang kau fikirkan!
****
Bab 7
Klik berlangganan diawal, ya ...
Pov Rama.
Entah apa maksud Melia. Sedang asyik menonton tv, malah main matikan saklar saja. Apa dia merasa bahwa rumah ini adalah miliknya? Makanya berlaku sesuka hatinya? Tak sadar dia bahwa rumah beserta isinya milik abangku. Mana mungkin wanita sepertinya bisa membeli semua ini.
Sekolah juga palingan cuma tamat SD. Dia yang menumpang dengan abangku. Dia pula sok berkuasa di rumah ini. Ada ya, wanita tak tahu malu seperti Melia!
Kakak iparku itu, adalah wanita tidak tahu diri! Tidak bersyukur dia mendapatkan suami seperti abangku. Lelaki rajin, dan pekerja keras. Bahkan memiliki gaji besar. Masih saja disia-siakan.
Melihat suami hendak berangkat bekerja, bukannya dibuatkan kopi dan sarapan. Eehh, malah dia asyik mencuci pakaian dan membiarkan abangku berangkat bekerja dengan perut keroncongan. Bahkan lebih parahnya lagi, Melia hanya mencuci pakayannya sendiri, sedangkan punyaku dan bang Dendi diserak di lantai. Apa bisa dibenarkan kelakuan istri seperti itu?
Aku ini adalah tamu, dan sebagai adik dari suaminya. Seharusnya dia bisa lebih menghargaiku dong! Tanpa abangku, dia bukan apa-apa. Kurasa juga tak mungkin hidup nyaman seperti sekarang ini. Sudah memiliki rumah, bahkan perabot juga sudah lengkap. Aku yakin, semua ini dibeli oleh gaji abangku.
Dari awal bertemu dengan Melia, aku memang sudah tidak suka padanya. Wajahnya cantik, tapi terlihat sinis. Beberapa kali bertemu, kami tidak saling tegur. Entah kenapa ada rasa benci di hatiku melihatnya. Mungkin karena kami nggak selevel.
Ibu juga sebenarnya tidak suka pada kakak iparku itu. Tapi karena Bang Dendi sendiri yang memilih, makanya kami menerima. Daripada abangku tidak mau menikah selamanya.
Melia ini, baru memiliki usaha dagang online, sombongnya minta ampun. Padahal, uang yang didapatkannya tidak sebanding dengan gaji abangku. Mungkin perbulan daganggan online miliknya cuma menghasilkan uang sejuta. Cukup apa uang segitu?
Seharusnya dia mengerti. Jika abangku pemilik rumah ini, maka aku juga berhak sesuka hati di sini. Mau makan mau nonton seharian, mau jungkir balik, tak ada yang boleh melarangnya.
Tadi aku sengaja membanting pintu. Agar dia tahu siapa yang berhak berkuasa di rumah ini. Aku sebagai adik kandung yang sedarah dengan Bang Dendi, atau dia wanita yang bukan siapa-siapa jika tidak menikah dengan abangku. Bukankah darah lebih kental dari pada air?
Istri jika sudah bercerai, maka akan menjadi mantan yang berarti bukan siapa -siapa lagi. Sedangkan Adik, mau sampai kapanpun tidak ada yang namanya mantan. Sampai sini paham, dong. Jika akulah yang lebih berhak dari pada Melia.
Aku datang ke sini bukan berniat bekerja. Memang sengaja ingin membuat Melia pergi dari rumah ini. Untuk apa aku bekerja bila semua yang kuinginkan sudah dipenuhi oleh orang tua, abang dan kakakku. Aku ini anak bungsu, mana mungkin tega mereka melihatku kesusahan bekerja. Jika bisa minta, kenapa harus usaha?
Ponsel yang kuinginkan juga belum dibelikan oleh abang. Jadi nggak salah dong aku tinggal di sini. Dan Melia, tidak layak untuk menolak, karena rumah ini mutlak milik abangku.
Aku masih punya ponsel yang dibelikan oleh orang tuaku. Tapi sudah ketinggalan zaman. Aku ingin yang keluaran terbaru seperti milik teman yang lain. Pemuda tampan sepertiku tak boleh ketinggalan zaman.
[Bang, istrimu itu. Aku masih menonton tv, dia seenaknya main matikan saklar lampu.] send. Sengaja kuadukan semua kelakuannya pada abangku. Biar tahu rasa dia.
Aku harus memikirkan cara. Bagaimana Melia pergi dari rumah ini. Apa perlu kuundang ibu sekalian ke sini?
Ah, entahlah. Lebih baik aku tidur dulu.
*
Sore.
Jam 6, Bang Dendi baru pulang bekerja. Mungkin dia lembur, makanya pulang terlambat. Kakak iparku juga dari tadi tak kelihatan. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk berbicara dengannya.
"Baru pulang kerja, Bang?" tanyaku membuka percakapan.
"Iyalah. Masa pulang main sih!" jawabnya seraya tersenyum.
Abangku ini, selalu tersenyum meski beban hidupnya berat. Memiliki istri seperti Melia, pasti dong beban tersendiri baginya.
Hingga detik ini, aku tak pernah dimarah olehnya. Dia sangat sayang padaku, karena adik paling bungsu.
Kami tiga bersaudara, Bang dendi pertama, Kak Laras kedua, dan aku yang terakhir. Makanya, apapun yang kuinginkan, pasti diturutinya.
Biasanya, tiap bulan Abangku ini mengirimkan uang ke kampung dua juta rupiah. Sejuta untuk ibu, sejuta lagi untukku. Baik sekali bukan abangku ini?
Kalau Kak Laras, jarang diberikan uang, karena sudah menikah juga. Hanya jika dia sedang ada keperluan saja, barulah meminta bantuan pada Bang Dendi.
Dengan senang hati, abang akan membantunya. Apalagi jika berkaitan dengan keponakanku yang baru berusia satu satun. Pastilah dia langsung cepat tanggap.
Mungkin karena dirinya belum memiliki anak. Makanya dia sangat menyayangi Siva, anak kak Laras.
Aku jadi heran, kenapa Ban Dendi masih bertahan dengan Melia. Padahal, sudah tiga tahun menikah, mereka belum memiliki keturunan. Bukankah tujuan menikah adalah untuk memiliki keturunan?
Jangan-jangan istri abangku ini mandul. Makanya sudah lama menikah, tapi tak kunjung hamil.
"Ram, kenapa melamun!" tanyanya, menepuk pundakku.
Aku langsung tersadar dari lamunan, tentang hidupnya.
"Ah, iya. Banyak pikiran aku," jawabku ngasal.
"Mikirkan apa?" tanyanya, lalu duduk di sofa.
"Mikirin hape baru," jawabku sekenanya.
"Tenang aja. Besok abang gajian. Kita beli ponsel untukmu," katanya masih dengan senyuman dibibirnya.
Wahhh, mataku langsung berbinar mendengarnya. Akhirnya, yang kuinginkan akan segera kumiliki.
"Beneran, Bang?" tanyaku lagi, meyakinkan.
"Ya, bener loh. Oh, ya, Melia kemana?" tanyanya. Mungkin karena dari tadi tak melihat istrinya tersebut.
"Nggak tau. Mungkin pergi keluyuran. Aku dari tadi siang gak lihat dia," jawabku sekenanya.
Memang dari siang aku tak melihatnya. Karena tidak keluar kamar sih.
"Huuufftt. Udah cape. Istri nggak di rumah lagi," keluhnya seraya membuang napas kasar.
"Biarkan aja sih, Bang. Ngapain juga terlalu dipikirin."
"Abang capek, seharusnya dia di rumah kayak biasanya. Nyediakan kopi sama makanan untuk abang."
"Mungkin sekarang dia nggak peduli sama abang, karena udah ada lelaki idaman lain." Aku nyeletuk asal. Biarkan saja abangku ini kesal. Terus pisah sama perempuan ular itu.
"Kok bisa, kamu, bilang begitu?" tanyanya penasaran. Wajah Bang Dendi juga sedikit berubah. Mungkin khawatir, apa yang aku katakan ini benar.
"Ya, siapa yang tau, sih, Bang! Istrimu itu kan sering kali berpergian," ujarku menerka.
"Dia pergi, karena belanja untuk jualan online."
"Tapi masa sampe setengah harian?" tanyaku menggoyahkan hatinya.
Bang Dendi terdiam. Sepertinya dia sedang berpikir.
"Udahlah, nggak usah dipikirkan. Sekarang abang mandi dulu, terus kita pergi jalan. Bosan kali aku di rumah terus," saranku.
Kesempatan. Kapan lagi jalan-jalan. Tiap hari cuma di rumah, membuat pikiran jenuh.
Sekali-kali keluar melihat cewek cantik, kan segar mata.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
