
Dalam rumah tangga, pertengkaran sering kali terjadi karena adanya orang ke tiga.
Tidak jarang, orang ke tiga dalam rumah tangga bukanlah pelakor, melainkan keluarga sendiri.
Seperti di kisah ini. Pernikahan Melia dan Dendi harus berada dalam masalah, karena Dendi lebih berat sebelah. Adik yang sudah dewasa, selalu ia manjakan dengan menuruti semua permintaannya.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Ikuti terus cerita ini. Jangan lupa dukungannya.
ADIKMU BUKAN ADIKKU MAS
[Bang, kirimkan aku uang. Untuk beli ponsel]
Pesan masuk dari adik suamiku. Aku sengaja mengintip sekilas, saat Mas Dendi membuka pesannya di sampingku.
Enak saja dia meminta uang untuk beli ponselnya. Memangnya suamiku gudang duit!
Kulihat suamiku mengetik, mungkin balasan pesan untuk adaiknya. Wajah Mas Dendi sedikit berubah.
"Kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura penasaran.
"Mmmm, ini si Rama minta dibelikan hape baru," jawabnya sambil menggaruk tengkuk.
"Oh, Hape apa?" tanyaku lagi penasaran.
"Minta merk Samsul, yang ini." Dia menunjukkan gambar di ponselnya.
Uwawww... Ponsel seharga lima juta? Enak sekali hidupnya, ponsel semahal itu tinggal minta. Gaji abangnya sebulan juga bakal habis cuma untuk membelinya.
Aku hanya melihat sekilas, lalu kembali duduk ke posisi semula tanpa berbicara sepatah kata pun.
"Belikan, ya, Dek! Cuma lima juta, kok." pintanya memelas.
"Ya, terserah kamu. Kalau kamu ada uang, dibelikan. Kalau nggak ada uang mau bagaimana lagi?" jawabku santai.
"Uang, Mas. Kan uang kamu juga, Dek. Jadi bisa dong kamu belikan dulu."
Heeiii! Uangmu memang uangku. Tapi uangku, ya tetap uangku. Jika untuk keperluan kamu sendiri, aku masih oke, lah. Kalau untuk adikmu! Sorry dory strowbery.
"Enak saja kalau ngomong. Uangku nggak ada kalau sampai lima juta!" ucapku beralasan.
"Nggak mungkin! Kamu kan jualan online. Reseller kamu juga sudah banyak. Jadi mana mungkin nggak ada uang," desaknya.
"Uangku mau untuk modal. Lagian, kalau dia mau hape, beli sendiri napa!"
Sudah besar ini. Masa hape saja sampai minta dibelikan. Pacaran saja sudah bisa, giliran beli hape, cuma minta! Mau dikasih makan apa, anak orang nanti.
"Kamu kan tau, dia belum bekerja, Dek. Jadi, dia masih tanggung jawabku. Apa yang diingkinkannya harus aku turuti," ucapanya enteng.
"Ya, itukan tanggung jawabmu! Bukan aku! Jadi belilah pakai uangmu sendiri!" ujarku ketus. Enak saja adiknya juga jadi tanggung jawabku.
"Kamu, kan tau sendiri. Sekarang tanggal tua. Mana ada lagi uangku!" Wajahnya tampak kesal. Mungkin karena aku nggak mau tahu tentang adiknya.
"Kalau nggak ada uang, jangan sok sokan mau belikan adikmu hape baru!"
"Adikku, adikmu juga loh, Dek!"
"Tidak! Adikmu bukan adikku!"
"Kok gitu?"
"Bukannya selama ini dia nggak pernah menganggap aku ini kakak iparnya? Coba kamu ingat, apa pernah dia menelpon bertanya kabarku? Enggak kan!" jawabku ketus.
"Nggak tanya kabar, bukan berarti gak peduli, Dek!"
"Jadi, apa namany? Pokoknya, aku nggak mau ngeluarkan uang untuk beli hapenya."
"Kenapa sih! Kamu perhitungan sekali dengan keluargaku?"
"Loh, ya harus dong, Mas! Aku capek kerja, belanja segala jenis barang untuk kukirim sama resellerku. Naik motor sendiri, bawa barang sendiri. Tidak peduli hujan, tidak peduli panas terik. Aku tetap berjuang. Kok seenaknya saja mau dihamburkan!"
"Ini bukan dihamburkan, Dek! Ini untuk menyenangkan adikku!"
"Kalau mau nyenengin adikmu, ya, pakai uangmu sendiri. Jangan minta aku!"
"Dek! Aku harus bilang berapa kali. Aku ini nggak punya duit, lagi tanggal tua."
"Mas! Aku juga harus bilang berala kali. Kalau aku juga nggak punya uang untuk beli hape adikmu!"
"Kamu kenapa jadi keterlaluan begini sih, Dek?"
"Yang keterlaluan itu kamu, Mas! Hape aku aja cuma merk Opon dengan harga dua juta. Lah, dia. Udah minta, pake harga yang mahal lagi!"
"Itu karena dia belum kerja, Dek!"
"Makanya, disuruh kerja! Usia sudah 21 tahun, lelaki, sehat tanpa kekurangan. Masa apa-apa masih minta! Harusnya malu dong!" ejekku, dan langsung dapat pendelikkan dari Mas Dendi.
"Mau kerja apa? Dia cuma tamatan SMA, dek!" kekeuhnya
Lihatkan! Masih saja dibelain. Adik tidak tahu diri seperti itu. Tamatan SMA, bukan berarti harus menganggur di rumah. Banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan dari pada jadi pengangguran.
Tamatan SMA bukan sebagai alasan untuk tidak bekerja. Aku saja yang tamatan SMA, bisa mencari uang juga.
"Apa ajalah, dari pada jadi beban keluarga!"
"Kamu, kok nyolot sih, Dek?" tanyanya marah.
"Ya, iyalah. Siapa coba yang nggak bakal nyolot, kalau punya adik seperti itu. Minta hape seenak udelnya sendiri. Kamu harus bisa bedain, Mas. Mana tanggung jawab, mana bodoh! Tanggung jawab seorang laki-laki itu menafkahi anak dan istrinya. Orang tua dan adik juga termasuk. Tapi, adik perempuan yang sudah tidak ada bapaknya. Adik lelaki, yang masih kecil belum bisa bekerja! Lah adikmu itu? udah dewasa. Seharusnya bisa mandiri! Jangan malah tangan menengadah aja bisa-nya!" cerocosku panjang lebar.
Sebal rasanya. Adiknya itu sudah dewasa. Bukan lagi anak kecil yang belum bisa mencari nafkah, tetapi selalu saja meminta apapun pada suamiku.
Mungkin dia berpikir abangnya ini banyak duit. Jadi bisa diporoti uangnya.
Memang sungguh sangat keterlaluan.
"Dek! Suatu saat nanti juga pasti akan diganti!"
"Diganti dari mana? Adikmu itu, kerja aja nggak mau! Di rumah cuma makan, tidur, main!"
"Heii! Aku nggak terima adikku terus kau hina, ya!" teriaknya sengit.
"Aku bukan menghina! Ini semua kenyataan!" Aku pun meneriakinya tak kalah sengit.
Enak sekali dia meneriaki aku. Sudah bagus aku membantunya mencari nafkah. Agar kehidupan semakin meningkat. Eehhh seenaknya pula dia mau menghamburkan uang untuk adik lelakinya yang tak tahu malu itu.
"Memang, keterlaluan, Kau!" Tangannya melayang ke udara hendak menamparku.
****
Bab 2
Enak sekali dia meneriaki aku. Sudah bagus aku membantunya mencari nafkah. Agar kehidupan semakin meningkat. Eehhh seenaknya pula dia mau menghamburkan uang untuk adik lelakinya yang tak tahu malu itu.
"Memang, keterlaluan, Kau!" Tangannya melayang ke udara hendak menamparku.
"Apa? Mau menamparku, kau? Tampar nih!" Aku memiringkan sedikit kepala agar dia leluasa menamparku.
"Ayo cepat, tampar!" teriakku masih dengan posisi yang sama.
Aku tidak dapat melihat wajahnya karena posisiku masih miring. Karena tak kunjung ada pergerakkan darinya, aku mencoba untuk melihatnya. Wajahnya merah padam. Mungkin menahan emosi.
"Kau ingat ini! Sampai berani kau sentuh sedikit saja kulitku ini. Siap kau jadi duda!" teriakku tepat di wajahnya.
Tangan Mas Dendi terkepal kuat.
Bugh!
Dinding di sampingku ia tonjok dengan kepalannya. Aku jelas terkejut. Tapi segera kunetralkan, agar terkesan tidak tukut padanya.
Bagaimanapun dia lelaki, tenaganya pasti lebih kuat dibandingkan aku. Jika melawannya bisa dipastikan langsung kalah.
"Begini jika wanita sudah bisa mencari uang sendiri! Kelakuannya angkuh, tidak menghargai suaminya!" gerutunya. Matanya menatapku lekat.
"Siapa yang tidak menghargaimu? Aku hanya tidak suka kamu menghamburkan uangku hanya untuk adikmu yang tak tahu diri itu!" bentakku. Tak ada lagi kata lembut yang keluar dari mulutku.
Diri ini terlalu emosi dibuatnya. Dulu, saat keluargaku meminjam uang padanya, tidak pernah sepeserpun diberikan. Padahal hutang, yang pastinya akan di kembalikan.
Sedikitpun tak pernah dia peduli pada keluargaku, dan aku hanya bisa diam saja karena waktu itu belum memiliki penghasilan sendiri.
Tapi sekarang, aku akan membalas semua perbuatannya. Jangankan memberi orang tuaku uang secara cuma-cuma, memberikan hutang saja dia tak pernah.
Alasannya, orang tuaku bukanlah tanggung jawabnya.
Jika suatu saat nanti dia tiada, orang tuanyalah yang akan mendapatkan hak waris darinya. Karena orang tuanya yang melahirkan, membesarkan, dan menyekolahkannya, hingga dia bisa menjadi seperti sekarang ini.
Sementara orang tuaku, baginya orang lain yang kebetulan bertemu karena dia menikah denganku.
Begitu picik pikirannya, padahal aku juga dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang juga mengeluarkan biaya.
Tpi mau bagaimana lagi, pernikahan bukanlah mainan. Yang jika sudah bosan, dapat ditinggalkan.
Aku harus bersabar sampai dititik terendah.
"Jaga ucapanmu Melia!" bentaknya. Rahangnya mengeras, pertanda dia semakin marah.
"Kenapa? Nggak suka adikmu dikatain tak tahu diri, hah?" Aku semakin berani menantangnya. Sepertinya dia semakin kesal, mulutnya sudah terbuka. Pasti ingin berdebat lagi.
"Memang wanita egois!" umpatnya.
"Kau yang egois, Mas. Aku sudah mengalah hanya diberi gajimu satu juta dari lima juta lebih. Kamu pikir uang segitu cukup untuk keperluan hidup kita yang semuanya serba beli?" Aku tetap tidak mau mengalah. Jika selama ini hanya diam saja. Kali ini tidak akan. Aku akan menumpahkan semua unek-unek yang selama ini kupendam.
Selama aku bisa mencari uang sendiri, Mas Dendi hanya memberiku uang satu juta padahal gajinya lebih dari lima juta. Selebihnya, dia berikan pada orang tuanya, adik dan untuk diri sendiri.
Orang tuaku?
Jangan harap mendapat bagian darinya. Dia sungguh pelit jika untuk keluargaku.
Aku selalu merogoh kantung sendiri bila uang yang diberikannya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Bagiku tak masalah, karena dia anak lelaki yang harus berbakti pada orang tuanya. Selagi itu uang pribadi, aku membebaskannya untuk memberikan pada keluarganya. Kurang apa coba aku jadi istri?
Tapi, jika yang dia inginkan adalah uangku untuk memberikan adiknya barang yang dipinta, aku akan dengan tegas menolaknya. Kecuali keadaan darurat, mereka sakit.
"Kau ingat? Modal awalmu membuka usaha ini adalah uang gajiku!" ujarnya mengungkit.
Oh, sepertinya ada yang harus dia ingat juga.
"Kau juga harus ingat, emas yang kupunya sewaktu masih gadis, kau jual. Dan sampai sekarang belum dikembalikan!" Dia lupa, bahwa dulu pernah meminjam emasku lima belas gram dan belum dikembalikan hingga saat ini.
"Uang dari penjualannya juga untuk keperluan kita berdua, Melia!"
"Meskipun untuk keperluan kita berdua, tapi itu tetap menjadi hutang. Karena sesungguhnya mencari nafkah adalah tugas suami. Harta yang kubawa seblum menikah, tetap hartaku. Kau tidak ada hak karena aku mencarinya sendiri." Jelasku. Enak saja dia, sudah memakan uang hasil keringatku tapi melupakannya. Dan beralasan untuk kehidupan kami berdua.
"Dan ingat! Walaupun sudah menikah seperti ini, tetap saja uangku menjadi hakku sepenuhnya. Kau harus terima jika aku tidak mau memberikan untuk keluargamu, karena mereka bukan tanggung jawabku. Sama seperti orang tuaku yang bukan tanggung jawabmu," sambungku tegas.
"Kenapa kamu sangat keterlaluan, Melia? Beginikah caramu memperlakukan keluarga suamimu?" tanyanya, seolah tak percaya dengan apa yang barusan kukatakan.
"Jadi aku harus gimana? Kalau kamu mau, aku jadi pencetak uang keluargamu! Sorry, nggak sempat!" ejekku lalu duduk di sofa. Capek juga harus tarik urat sambil berdiri.
"Aaah! Memang Istri nggak guna!"
Praangg!
Bab 3
Meja kaca dihadapanku hancur lebur berantakan. Mas Dendi baru saja mengangkat dan membantingnya.
"Heiiii! Kamu marah jangan coba-coba banting barangku, ya! Kamu pikir belinya pake daun jambu?" teriakku.
Meja yang kubeli dengan jerih payahku harus hancur seperti ini!
Enak sekali dia.
"Aku, tak peduli!" pungkasnya. Dia lalu berjalan menuju kamar tanpa membereskan hasil perusakannya.
Enak saja dia! Sudah menghancurkan, main tinggal begitu aja. Emang dipikir aku sudi untuk membereskan ini semua?
Minta dibina ini suami. Jika tidak bisa dibina, maka harus dibinasakan.
Kuikuti dia masuk ke dalam kamar. Kita sambung perkelahian ini. Biar tahu punya istri macan sepertiku.
"Mas! Bereskan itu ulahmu!" teriakku di ambang pintu.
Kulihat dia bergeming.
"Mas, punya telinga nggak? Beresin itu hasil perbuatanmu," kataku lagi. Sekarang aku sudah berada di hadapannya.
Dia masih tetap diam, duduk di atas kasur. Kutarik pergelangan tangannya. Dia bangkit dan mengikutiku.
Setelah mencapai depan pintu, langsung saja kudorong tubuhnya agar lebih menjauh dari kamar.
Lalu aku berlari dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa mengunci pintu.
"Bereskan itu semua. Dan malam ini, kau tidur di luar bersama nyamuk-nyamuk nakal itu!" teriakku dari dalam. Agar dia mendengarnya.
"KETERLALUAN KAU MELIAAAA!" teriaknya frustasi.
Hahahah. Rasakan!
Berani membentakku dan hampir menamparku demi adiknya, maka harus siap tidur bersama nyamuk!
Aku berbaring di kasur. Tak kuhiraukan teriakkannya. Lebih baik tidur, besok harus bangun dan berbelanja orderan para reseller.
*
Pagi...
Sudah jam 7 pagi, aku juga sudah selesai memasak untuk sarapanku sendiri.
Untuk Mas Dendi, sengaja tak kusiapkan. Biarkan saja dia membeli makan menggunakan uangnya. Mulai sekarang, tidak akan ada lagi sarapan yang tersedia jika ia hanya memberikanku uang satu juta yang hanya bertahan sepuluh hari.
Jika dia bisa hura-hura untuk keluarganya, maka aku harus tega padanya.
Tadi aku sempat mengecek ruang tamu, dan ternyata serpihan kaca sudah bersih. Tak ada lagi berserakan di lantai.
Mas Dendi juga kulihat tidur nyenyak di sofa. Sebenarnya ada kamar yang satunya, tapi belum ada kasurnya. Jadi tidak mungkin dia mau tidur di lantai.
"Mana sarapanku?" tanyanya menatap meja yang hanya tersedia nasi goreng yang sedang kulahap.
Malas menjawabnya. Aku tetap diam saja. Pertengkaran tadi malam, membuat moodku memburuk.
"Kau, punya telinga kan, Mel?" bentaknya mulai emosi.
"Nggak ada sarapan. Uangmu nggak cukup untuk membeli bahan makanan sampai sebulan," ujarku santai.
"Kan masih ada uangmu? Pakai saja dulu untuk membelinya!" serunya.
"Sudah kubeli. Tapi hanya untukku, bukan untukmu. Karena tidak ada ceritanya istri menafkahi suami. Apalagi suaminya mampu seperti kamu!" sahutku, lalu kembali menyuapkan nasi.
"Akkhh. Aku lapar, mau berangkat kerja! Masa tidak sarapan sih!" gerutunya.
"Mau bagaimana lagi. Uangmu kan nggak cukup untuk membelinya." Aku kembali menyuapkan nasi goreng di hadapanku hingga tandas.
"Melia ... Kau memang benar-benar keterlaluan!" geramnya. Giginya sudah saling beradu. Mungkin emosinya sudah kembali ke ubun-ubun.
Sabodo!
Emang gue pikirin!
Lebih baik kutinggalkan saja dia.
"Melia Dwirahma...." Dia kembali berteriak lebih kencang. Mungkin meluapkan emosinya.
Aku mempercepat jalan menuju motor. Hari ini terlalu banyak barang yang akan kubawa. Tak sempat meladeni suami sepertinya.
Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Setelah satu jam lebih, aku sampai di tempat tujuan. Pasar Sambu, tempatnya berbelanja pakaian serba lengkap.
Semua barang yang kucari sudah kudapatkan, dan sudah kususun di atas keranjang.
Tidak punya mobil, jadi harus menggunakan kendaraan yang apa adanya. Meskipun muatan melebihi kapasitas. Menggunung tinggi, bahkan sama tinggi seperti posisi dudukku. Kanan kiri keranjang, sudah dipenuhi karung yang berisi pakaian.
Kadang, jika tidak bisa membawanya sekaligus, aku akan menitipkannya pada angkot, atau becak online.
Aku tidak melewati jalan raya, karena takut kena razia. Jadi dengan pelan-pelan kususuri jalan tikus yang berada di kota medan ini.
Tak masalah lambat, yang penting selamat.
Orang jawa bilang, "Alon-alon asal kelakon."
Saat sudah bermuatan seperti ini, aku akan mengendarai sepeda motor ini dengan kecepatan sangat pelan. Takut menyenggol para pengguna jalan yang lain.
Bisa habis aku kalau sampai melukai mereka.
Bokon9 rasanya sudah sangat panas, kebas. Untungnya aku sudah sampai lagi di rumah. Sudah jam satu siang. Ternyata aku berbelanja cukup lama juga.
Kulihat pintu rumah masih terbuka. Berarti Mas Dendi masih berada di rumah. Apakah dia tidak bekerja?
Motor kuparkirkan di halaman depan gudang tempatku mempacking barang. Kebetulan posisinya tepat di samping rumahku, berdempetan.
Sepatu siapa ini? Mas Dendi mana punya sepatu seperti ini.
"Udah, di sini aja kau. Nanti hapemu abang belikan." Suara suamiku sepertinya sedang berbicara dengan seseorang.
"Benar ya, Bang!" Itu suara Rama. Bisa-bisanya dia sudah sampai sini.
"Ekhem!" Pura-pura aku berdehem agar mereka tahu keberadaanku.
Rama dan Mas Dendi hanya melihatku sekilas. Bahkan adik iparku yang tampannya seperti Dude Harlino, jika dilihat dari lubang pipet, tidak menyapa ataupun menyalamiku.
Dasar! Tak tahu toge!
Aku berjalan melewati mereka yang sedang duduk di ruang tamu. Haus rasanya melihat kelakuan mereka.
"Mel, Rama mau tinggal di sini untuk mencari kerja-"
"Uhukk!" Aku langsung terbatuk saat dia belum menyelesaikan kalimatnya. Ternyata suamiku menyusulku ke dapur hanya untuk mengatakan ini.
Oh, kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada adik benalumu itu!
Enak saja main datang lalu numpang! Emang dia pikir di sini tempat penampungan?
Bab 4
Oh, kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada adik benalumu itu!
Enak saja main datang lalu numpang! Emang dia pikir di sini tempat penampungan?
"Kenapa harus tinggal di sini? Dia kan bisa ngekost!" protesku padanya.
Aku tidak bisa menerima adiknya untuk tinggal di sini. Malas jika harus direpotkan dengan kehadirannya.
"Rama belum ada uang, Mel. Makanya biarkan dia tinggal di sini dulu," jelasnya. Selalu saja mengatakan belum punya uang! Jadi selama hidupnya, apa saja yang sudah dilakukannya. Sampai-sampai tak punya uang!
Begini, jika terlalu dimanja. Baru kerja seminggu, tidak betah, langsung disuruh pulang.
Bekerja sedikit berat, langsung menyerah, dan mengatakan nggak sanggup.
Jika bisa sobek, kurasa sudah sobek mulut ini dari dulu karena menasehati suamiku. Padahal sudah kubilang, biarkan saja adiknya itu bekerja. Agar bisa lebih mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya dan pekerjaan. Tapi selalu saja dibela. Nggak abangnya, nggak Ibunya, nggak Kakaknya semua selalu memanjakannya.
Bagaimana kehidupannya nanti setelah memiliki jodoh, jika masih harus bergantung seperti ini pada ibu, bapak, abang dan kakaknya.
Untung adik ipar, kalau adik kandungku sendiri, sudah babak belur kubuat.
"Sampai kapan?" tanyaku ketus. Biar saja dia tahu bahwa aku tidak menyukai kehadiran adiknya. Sama seperti adiknya yang tak menyukaiku.
"Ya, sampai dia dapat kerjaan," ujarnya santai.
"Jadi, dia ke sini masih mau mencari pekerjaan? Belum pasti kerja? Gitu!" cecarku.
Sampai kapan harus menunggu adiknya mendapatkan pekerjaan. Sedangkan dia terlalu pemilih. Kerja ini nggak mau, kerja itu, nggak sanggup.
"Iya, lagi-"
"Wahhh. Luar biasa kamu, Mas! Aku bekerja pontang panting bantuin keuanganmu. Kamu malah seenaknya menambah benalu di rumah ini?" Kupotong ucapannya. Biarkan saja dia berpikir aku tidak sopan. Siapa suruh mendatangkan adiknya tanpa meminta pendapat padaku dulu.
"Mel, Rama adikku, bukan benalu!" protesnya. Wajahnya sudah sedikit tegang. Mungkin akan marah lagi. Biar saja, aku tidak takut.
Jika sudah menyangkut adiknya seperti ini. Selalu saja berujung dengan pertengkaran.
Muak sebenarnya. Tapi aku harus bertahan demi keutuhan rumah tangga. Pernikahan yang kujalani baru seumur jagung. Bila bercerai, maka pasti akan menjadi bahan omongan orang. Dan orang tuaku tidak akan menerima perceraian.
Selama ini, aku selalu menampilkan keharmonisan rumah tangga di depan orang tuaku. Mereka tak ada yang pernah tahu bagaimana kehidupan yang kujalani sesungguhnya.
Biarlah, hanya aku yang merasakan pahitnya. Jika sudah saatnya dan Mas Dandi tidak berubah, maka aku akan bertindak.
Jangan ajari ikan berenang!
"Jadi, apa namanya kalau bukan benalu? Lelaki sudah berusia 21 tahun, sehat, tidak bekerja. Jika menginginkan apapun tinggal minta! Dan sekarang menumpang di rumah kita!" cerocosku.
Rama masih terlihat duduk santai di sofa. Apakah dia tidak mendengar perdebatan kami? Dia masih dengan santainya duduk di sana sambil ongkang kaki.
"Kamu, jangan begitu dong, Mel! Rama sudah mau bekerja. Seharusnya kita bersyukur."
Bersyukur? Tidak salah dengar aku? Sudah dewasa loh, adiknya! Memang sudah seharusnya bekerja. Bukan malah disyukuri karena sudah mau bekerja!
Aku nggak ngerti sama pemikiran abang yang seperti ini. Apakah nanti jika adiknya menikah, dia juga yang akan memberi makan istrinya?
"Masih mau, bekerja Mas. Bukan sudah bekerja. Jadi apa yang harus aku syukuri?" tanyaku mengejek.
Memang benar, kan? Belum tentu Rama mendapatkan pekerjaan. Jika sampai seminggu, sebulan, bahkan setahun dia tidak dapat pekerjaan, bagaimana?
"Memang susah bicara denganmu, Mel. Kenapa sekarang kau menjadi begini?" sungutnya. Dia terlihat begitu lela.
Dari semalam bertengkar denganku. Bagaimana tak lelah!
"Ini semua karena ulahmu yang selama ini membodohiku."
"Membodohimu bagaimana?" tanyanya tak terima. Mungkin dia lupa, atau pura-pura lupa dengan semua kelakuannya yang selalu membedakan antara keluargaku dan keluarganya.
Belum lagi dia selalu memprioritaskan keluarganya dibanding aku.
Untung, aku belum memiliki anak. Jadi gampang untuk bekerja dan mendapatkan uang. Tak perlu lagi bergantung padanya.
"Pikir aja sendiri!" jawabku cuek. Kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya.
Aku harus segera packing barang. Nanti sore barang yang sudah dipesan akan diambil sebagian.
"Mel, tunggu!" cegahnya. Aku berhenti karena pergelangan tanganku dicekal olehnya.
"Apa lagi?" tanyaku ketus.
"Kamu, masak dulu untuk kami! Aku dan Rama sudah lapar," pintanya dengan wajah memelas.
Apa dia bilang? Masakkan untuknya dan adiknya? Enak sekali bibirnya berucap. Apa dia pikir aku b*bu?
"Aku capek! Kalau mau makan, ya masak sendiri dong! Pada punya tangan kan?"
"Tapi Rama adalah tamu, Dek. Yang harus muliakan!"
"Heiiii, muncun9 itu, kalau ngomong disaring dulu! Tamu seperti apa yang harus dimuliakan? Sedangkan aku masuk ke dalam rumah saja, dia tidak menyapa, ataupun menyalamiku. Dia sebagai adik ipar tidak menghargaiku! Untuk apa aku memuliakan dan repot mikirin perutnya? Mau lapar, mau keroncongan, aku tidak peduli!"
"Haaahhh. Sini uangmu! Biar kubeli makanan untuk kami. Jika kau tidak mau memasak!" Tangannya menengadadah padaku.
"Enak saja! Kalau mau makan! Ya, beli sendiri pakai uangmu! Aku tak sudi hasil keringatku dimakan oleh adikmu yang tak punya tatakrama itu!" tunjukku pada Rama yang sedang duduk di sofa, dengan kaki ditaruh di sofa lainnya.
Sudah seperti tuan raja saja apa-apa minta disediakan. Bertamu di rumah orang pun seenak ud*lnya sendiri, kaki di taruh ke atas begitu. Tak ada sopan santunya.
"Aku belum gajian, Mel! Tak ada uangku!" rengeknya.
"Terus, aku, harus peduli gitu?" tunjukku pada diri sendiri.
"Pikirkan, bagaimana caranya kalian berdua bisa makan, malam ini! Dan bilang sama adikmu. Kakinya jangan ditaruh di atas sofaku, nanti kotor dan terkena kuman parasit!" sambungku. Lalu pergi meninggalkannya.
Bab 5
Aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci gudang. Mas Dendi sudah tidak lagi mengikutiku.
Biarkan saja mereka berdua kelaparan. Masa lelaki tidak bisa berpikir dan berusaha untuk mengisi perutnya. Mau hutang kek, mau mencuri kek, terserah!
Entah pernikahan apa yang kujalani saat ini. Sepertinya sudah sangat jauh dari kata harmonis.
Setelah mengambil kunci, aku berjalan keluar melewati ruang tamu. Kebetulan pintu gudang hanya bisa dibuka dari depan. Bangunan berukuran 3x4 meter hanya memiliki satu pintu di depan. Cukuplah untuk menampung barang daganganku.
Mas Dendi dan Rama duduk dengan bibir dimonyongkan di sofa. Mungkin sebal karena tidak kuberi uang untuk membeli makanan.
Kulewati saja mereka setelah meliriknya sekilas. Pekerjaanku lebih penting dibandingkan mengurusi mereka berdua. Udah tua ini 'kan!
Aku membuka gudang lebar, agar bisa memaskukkan barang dengan leluasa. Di dalam juga sudah sangat banyak pakaian yang belum diambil oleh reseller. Mungkin sore ini mereka akaan mengambilnya.
Aku memakai sistem bayar dulu, baru ambil barang. Karena takut juga digelapkan. Zaman sekarang, semua butuh uang. Jangankan orang lain, saudara sendiri juga tega memakan kita.
Jika urusan uang, tak ada yang namanya saudara. Bisnis, ya bisnis. Memberi, ya memberi. Tidak bisa bisnis, dikaitkan dengan saudara.
Kadang ada saudara ambil barang sama kita, mereka bilang hutang dulu, nanti ada uang baru dibayar. Ditunggu sampai seminggu, sebulan, setahun. Tak ada kepastiannya.
Jadi, jika kita dagang, meskipun dengan saudara sendiri, jangan diberi hutang. Kecuali memang orangnya bisa dipercaya.
Ah, kok jadi ngelantur, sih!
Setelah membuka pintu, aku berjalan ke arah sepeda motor untk menurunkan barang.
Susah sekali, karena terlalu padat isi karungnya. Dengan susah payah aku menurunkannya. Beginilah perjuangan berjualan online.
Lihatlah suamiku yang paling tampan sedunia, sudah tau istrinya kesusahan, dia tidak mau datang membantu. Sama seperti adiknya yang hanya menonton aku kesusahan. Giliran uang saja, dia minta nomor satu. Haaahhh! Sabar Melia, orang sabar rezekinya lebar ... Bisik hatiku.
Kuseret karung yang sudah jatuh ketanah menuju gudang. Sampai semua karung berisi pakaian ini masuk kedalam gudang. Dan kedua benalu itu tidak ada berniat membantuku.
Ah, sudahlah. Menunggu bantuan mereka, bagai mengaharap hujan di musin kemarau.
Fiiuuuhh! Lelah ....
Kuseka keringat yang membanjiri dahiku. Sudah sama aku seperti janda. Apa-apa dikerjakan sendiri. Mencari makan sendiri, usaha sendiri, haahhh, pokoknya semua serba sendiri.
Sayup-sayup kudengar suara sepeda motor dinyalakan. Bergegas keluar, takut dicuri orang. Maklum, kota medan. Tidak pernah aman dari curanmor. Sebentar saja motor ditinggalkan di halaman, langsung dilarikan.
Bermodal kunci T, para kawanan pencuri bisa menggondol motor. Rumah makan, grosir, pasar, rumah ibadah, semuanya tidak ada yang aman bagi pemilik motor.
Bahkan, motor yang sedang dikendarai saja, bisa mereka rampok. Huufftt... Entah kapan kota medan ini aman dari curanmor.
Dan ... Ternyata, pelakunya mereka berdua.
"Mas! Mau dibawa kemana sepeda motorku?" tanyaku pada Mas Dendi yang sudah nangkring di atasnya bersama Rama.
"Mau pergi!" sahutnya tanpa melihat ke arahku.
"Pergi kemana? Naik motor kamu, sendiri 'kan bisa!" kataku, tak suka.
"Motorku habis bensin," sahutnya enteng.
Mas Dendi langsung melesat saat aku hendak mengejarnya. Padahal motor sudah ada sendiri-sendiri. Bisanya dia bawa punyaku. Alasan bensin habis.
Jadi, uang gajinya empat juta lebih selama ini dia kemanakan! Sampai bensin saja tidak bisa dibelinya.
Makin pusing aku memikirkannya. Kalau saja ada toko jual beli suami bekas, sudah kujual dia, tanpa pikir panjang.
*
Jam 7 malam, Mas Dendi dan Rama pulang. Entah kemana mereka membawa sepeda motorku. Tau-tau sudah habis bensin, saat aku hendak memakainya.
Andai aku punya sihir seperti peri dicerita cinderella, sudah kusihir mereka berdua menjadi sapi, lalu kujual agar bisa lebih bermanfaat.
Huuuhhh!
Jangan bayangkan betapa emosinya aku! Jika bisa meledak, maka sudah meledak isi kepalaku dibuat mereka.
"Rama, ayo makan!" seru Mas Dendi pada adiknya yang sedang berada di kamar.
Dia pulang membawa nasi dua bungkus. Bayangkan! Hanya dua bungkus. Sudah jelas, pasti itu untuk mereka berdua. Apakah suamiku ini tidak memikrkanku?
Minyak motor tidak diisi, makanan juga tidak dibelikan. Sungguh manusia pohon pisang! Punya jantung, tapi tak punya hati.
Rama datang, lalu duduk lesehan di lantai dapur. Maklum, aku belum punya meja makan.
Mereka berdua makan dengan lahap tanpa menawariku. Padahal aku berdiri di ambang pintu.
Wahhh, keterlaluan! Apa mereka pikir aku makhluk halus yang tak kasat mata?
Kutinggalkan mereka bedua yang sedang menikmati makanannya. Terpaksa jalan kaki untuk membeli makan malamku.
Nasib!
*
Pagi...
Piring berantakan di dapur, gelas, mangkuk, sendok, semuanya sudah tidak lagi pada tempatnya. Sudah pasti, ini kerjaan mereka berdua tadi malam.
Pakaian menggunung di samping kamar mandi. Tak terkecuali pakaian adik iparku.
Makin ngelunjak, ini benalu. Belum tahu dia mamak-mamak medan kalau marah! Bisa rata dengan tanah, satu kampung ini dibuatnya.
Kupisahkan pakaianku dari tumpukan tersebut. Lalu masukkan dalam ember lain.
Biarkan saja! Sampai membusuk pun aku tidak mau mencucinya! Sekalian, kuserakkan semua pakaian mereka di lantai.
Hahahah! Pembalasan.
Mulai hari ini, aku hanya akan mencuci pakaianku dan mencuci piring bekas makanku. Lainnya biar mereka yang mengerjakannya.
Biarkan saja rumah berantakan seperti kapal pecah. Jika mereka risih, pasti akan dibersihkannya.
"Melia!" seru Mas Danu. Aku sedang mencuci pakaian di belakang rumah. Mesin cuci sedang rusak, jadi harus manual.
"Melia!" panggilnya lagi. Karena tak ada sahutan dariku, dia pun ke belakang untuk menemuiku.
"Hei, Melia! Kau dipanggil, kenapa tidak menjawab?" tanyanya emosi.
"Nggak dengar! Masih ngebrus soalnya," jawabku masih terus mengebrus pakaian di tangan.
"Jadi kenapa cuma mencuci pakaianmu? Dan yang lainnya kamu biarkan berserakan begitu?" tanyanya.
"Lah, itu pakaian siapa?" Aku balik bertanya.
"Pakaianku dan Rama!" jawabnya enteng.
"Yang makai siapa?" tanyaku lagi.
"Ya, aku dan Rama juga."
"Berarti, yang mencuci juga, harus kamu dan Rama! Jangan suruh aku!" kataku, tanpa mengalihkan pandangan.
"Jadi, apalah fungsimu sebagai istri?" tanyanya kesal.
"Mencari uang, untuk diri sendiri," awabku santai.
"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
