First Love 6-10

2
0
Deskripsi

Part 6-10

6 : KUNJUNGAN EZHAR

Kegelisahan tiba-tiba merajai hati Nabila tanpa alasan, sejak semalam ia tidak bisa memejamkan mata meskipun hanya sejenak, barulah setelah bangun salat malam bersama Fahri Nabila bisa terlelap. Tanpa Nabila sadari Fahri tersenyum menatap wajah Nabila yang tertidur pulas, ia tidak menyangka bisa tergila-gila pada gadis belia yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu dalam waktu yang singkat, benteng hati yang selama 8 tahun ia bangun dengan kokoh seketika roboh hanya dengan hitungan minggu saja. 

Sambil menunggu adzan subuh berkumandang Fahri mengambil mushaf dari atas meja lalu membacanya dengan khusuk. Allahuakbar Allahuakbar, terdengar sayup suara adzan subuh Fahri segera mengakhiri bacaan Al-Quran yang tengah ia lantunkan lalu kembali mengambil air wudhu agar merasa segar kembali, ia kecup kening Nabila cukup lama sebelum masuk ke dalam kamar mandi. 

Ia lipat sajadah yang terhampar di atas lantai lalu meletakkkan di bahu kirinya, kali ini ia pergi berjamaah salat subuh ke masjid sendiri karena tidak tega mengganggu tidur Nabila. Fahri tahu semalaman Nabila gelisah dari tidurnya, ia berencana akan menanyakan langsung penyebab Nabila gelisah nanti seusai ia pulang dari masjid.

***

"Kamu kenapa Sayang? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Ucap Fahri saat masuk ke dalam kamar melihat Nabila sedang melamun menatap luar jendela. 

Terlihat dari balkon kamarnya jalanan mulai ramai dengan aktivitas warga yang berlalu lalang di jalan raya. 

"Nggak ada apa-apa Mas," balas Nabila singkat sambil mengalihkan pandangannya ke arah Fahri yang kini sudah berdiri di sisinya. 

Fahri melirik ponsel di tepian jendela milik Nabila yang tampak berkedip, di layar pipih itu tertera nama Kalila di sana, seketika alis Fahri terangkat sebelah karena merasa heran. Tak biasanya sepagi ini sahabat istrinya itu mengirimkan pesan. 

"Ada apa sepagi ini Kalila mengirimkan pesan?" tanya Fahri penasaran. Lalu tanpa diduga Nabila menunjukkan pesan Nabila padanya yang tidak dibalasnya. 

"Nabila entar pulang kampus kita berencana rujakan di rumahku. Si Della dan Santi ngajakin tuh, kamu ikut kan?"

Fahri tersenyum membaca pesan dari Kalila lalu membelai rambut Nabila. "Apa kamu kangen ibu dan ayah?" Tanya Fahri dengan lembut mencoba menerka kegelisahan istrinya. Tanpa Fahri sadari jika pesan sahabat istrinya tersebut mengandung pesan tersirat. 

Perlahan Nabila menatap Fahri dengan rasa haru, ia tak menyangka Fahri mengerti isi hatinya. Nabila menganggukkan kepala lalu tersenyum lebar sembari melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Fahri. 

"Bilang saja kalau kamu menginginkan sesuatu, jangan dipendam sendiri," ucap Fahri sambil mengeratkan pelukannya, ia hirup kuat-kuat aroma orange dari rambut panjang Nabila, Aroma yang kini selalu ia rindukan saat berjauhan dengannya meskipun hanya sebentar saja. 

"Maaf Mas aku nggak enak mau bilang, Mas kan sibuk dan pasti kerjaannya banyak setelah PAS gini, apalagi gantian bentar lagi MTs tempat Mas ngajar juga mau ujian," terang Nabila malu-malu, ia sungguh tak enak hati jika harus merepotkan Fahri. 

"Kamu ini lucu Dek, rumah ibu dan ayah kan dekat kalau mau pulang bilang saja pasti Mas antar, kan bisa Mas antar trus ke kampus entar pulang Mas jemput lagi," terang Fahri dengan lembut, hatinya tergelak mengetahui sifat istrinya yang masih polos dan pemalu itu. 

"Entar pulang kampus kita pulang sekalian nginep sana, kan setelah menikah ini kita juga belum pernah menginap di sana," jawab Fahri sambil mencubit ujung hidung Nabila dengan gemas. 

***

Dengan senyuman mengembang Ezhar mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru pesantren yang tak banyak berubah sejak ia boyong 2 tahun yang lalu, hanya saja beberapa gedung sedang dalam pengerjaan renovasi, ia sedang menunggu di gazebo depan gedung adiknya Mirza Al-Rasyid yang baru mondok setahunan ini. Sambil menunggu ia berbincang dengan dua teman seangkatannya Fauzi dan Latif yang masih di pondok sambil berkuliah, mereka mengabdi sebagai pembina bagi santri-santri yang masih bersekolah di tingkat SMP dan SMA. 

Al mengucapkan terima kasih kepada dua temannya itu terutama Fauzi sebagai pembina kamar adiknya, setelah Mirza datang. Ezhar memeluk Mirza dengan sayang setelah Mirza meraih tangan dan mencium punggung tangannya. 

"Alhamdulillah kamu sudah kerasan Dek," ucap Ezhar sambil menelisik penampilan Mirza yang jauh dari gaya metropolitan, kini Mirza berpakaian ala santri dengan peci, koko putih, dan sarung, Ezhar berdecak kagum, dulu ia juga berpenampilan seperti adiknya tersebut. 

"Iya A' enak di sini banyak temannya, oya liburan semester gue di sini aja ya entar liburan lebaran aja gue baliknya," balas Mirza dengan tersenyum sambil menatap kakak yang selalu dengan sabar menasehatinya saat ia nakal dulu. 

"Terserah Lo ajalah, nanti Aa' bilang ama Mama dan Papa, oya ini dari Mama, pesen Mama belajar yang rajin, video call aja gih! Mama pasti seneng," ucap Ezhar sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas ranselnya. 

Mirza begitu bahagia saat wajah Riana mamanya muncul di layar ponsel Ezhar. Ezhar membiarkan Mirza berbicara dengan mamanya sampai puas, membiarkan mereka melepas rindu sedangkan dirinya kembali mengamati bangunan pesantren yang dulu pernah ditinggalinya selama 3 tahun. Sekelebat kenangan bersama teman-temannya saat masih menjadi santri dulu berputar mulai dari saat mengantre mandi, makan jabo (jasa boga), atau pun setoran hafalan surat-surat penting dan juz amma berhasil menerbitkan senyumannya. Terkadang saat di rumah hal yang selalu ia rindukan adalah kegiatan sederhana itu, kegiatan yang penuh makna dan tidak akan pernah terlupakan sepanjang masa. 

Ezhar menggeleng melihat adiknya menangis setelah berpamitan dengan mamanya, ia tepuk bahu Mirza untuk menenangkan remaja itu. Ia dulu juga seperti Mirza setiap kali disambang atau ditelepon oleh kedua orang tuanya. Ezhar juga menangis tak mempedulikan di mana pun ia berada. 

Meskipun Pondok Pesantren Al-Amin menyediakan kamar khusus tamu untuk wali santri yang sedang berkunjung, Ezhar lebih memilih tidur di kamar adiknya Mirza sekalian melepaskan rindu dengan adik kesayangannya itu. Ezhar tiga bersaudara dan ia sebagai anak sulung harus selalu bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya, makanya setelah Mirza lulus SMP Ezhar mengusulkan kepada kedua orang tuanya agar Mirza belajar di pondok pesantren seperti dirinya dan nanti adik bungsunya, Arin yang sekarang masih duduk di bangku kelas 8 SMP juga akan mengikuti jejak kedua kakaknya untuk belajar di pondok pesantren setelah lulus. 

Karena kebetulan hari Kamis kegiatan pengajian kitab di pondok pesantren Al-Amin sedang libur, Ezhar bisa menghabiskan malam dengan bercengkrama bersama teman dan adiknya hingga larut malam dengan dilengkapi secangkir kopi dan cemilan yang ia bawa dari Jakarta. Namanya santri sebanyak apapun makanan pasti menjadi rebutan, tadi setelah jamaah salat isya hanya butuh waktu 5 menit oleh-oleh untuk Mirza sudah habis tak tersisa oleh teman sekamarnya. 

Keesokan harinya pukul 8 pagi Ezhar pamit pada adik dan teman-temannya. 

"A' kok buru-buru sih kan nanti jadwal keretanya masih jam 1 siang?" tanya Mirza dengan wajah sendu, rasanya ia masih ingin berlama-lama bersama kakaknya. Namun saat ia teringat niat dan tujuannya belajar di pondok pesantren Mirza segera menyeka air mata yang hampir jatuh lalu memeluk Ezhar. 

Setelah melepas pelukannya Mirza melihat seberkas sinar kebahagian dalam netra Ezhar. Deg... Mirza baru teringat kakaknya berkunjung ke Jombang pasti akan menemui Nabila juga, Mirza memang tidak mengenal Nabila tapi ia sering melihat foto-foto Nabila di laptop dan ponsel kakaknya dulu. Mirza membeku sesaat. Namun memilih diam tidak memberitahu kakaknya bahwa Nabila adalah istri Ustadz Fahri yang tak lain adalah ustadz pembina kamar Ezhar sewaktu masih di pondok pesantren dulu. 

"Aa' ingin bertemu teman Aa' dulu, lo baik-baik dan jaga kesehatan di pondok ya?" balas Ezhar sambil mengacak rambut Mirza dengan sayang. 

Setelah berpamitan pada Mirza rute selanjutnya adalah menemui gadis pujaan hatinya, Nabila. Gadis yang berhasil memenjarakan hatinya. Cinta pertama dan akan menjadi cinta terakhirnya. 

***

Seperti biasa Ezhar akan mampir ke rumah Lutfi sahabatnya untuk bersilaturrahmi sekagus meminjam motor untuk berkunjung ke rumah Nabila. Lutfi adalah sahabatnya sejak ia mondok hingga sekarang mereka tidak pernah lepas kontak, Ezhar sendiri sudah dianggap seperti anak sendiri oleh orang tua Lufti sehingga Ezhar sendiri tak pernah absen mampir saat kebetulan bermain ke Jombang. Namun Ezhar merasa ada yang aneh dengan gelagat Lutfi kali ini, Lutfi seperti menghalang-halanginya untuk ke rumah Nabila, Ezhar berusaha mengelak rasa curiganya lalu segera pergi menuju rumah Nabila yang hanya berjarak 2 km dari rumah Lutfi. 

Hati Ezhar luar biasa bahagia saat melihat rumah besar dengan halaman luas itu kini terpampang nyata di hadapannya. Ia berjalan pelan sambil memandangi deretan bunga-bunga mawar yang sedang bermekaran, bunga jenis aglonema dan anggrek pun tak bisa dibilang sedikit dan tentu saja Ezhar tak yakin jika yang merawat bunga di taman itu adalah Nabila, gadisnya itu tak pandai merawat bunga seperti ibunya. 

Semakin mendekati rumah Nabila jantung Ezhar semakin berkejaran, rindu yang menyesakkan dadanya sebentar lagi akan segera terobati. 

Ting... Tong... 

Suara bel rumah mengagetkan kegiatan Nabila yang sedang menata pakaian yang hendak ia bawa ke rumah kontrakannya bersama Fahri.

Dug.. "Aduh," keluh Nabila meringis karena kesakitan saat kakinya terantuk sudut ranjang dengan menahan rasa sakit dan jalan terpincang ia meraih jilbab instan yang tersampir di kursi meja rias.

Deg.. Deg.. Deg.. Nabila mencengkeram dadanya yang tiba-tiba berirama kencang. Perasaan gelisah seperti kemarin tiba-tiba datang kembali, kegelisahan yang tak beralasan. Seandainya ia tidak di rumah sendiri pasti ia tidak perlu repot-repot membukakan pintu karena ia yakin pastilah tamu yang datang adalah tamu untuk ayahnya. 

Klek.. Pintu terbuka, sesosok laki-laki bercelana jeans hitam dan berkemeja jungkis putih berdiri membelakanginya dengan tas ransel yang Nabila kenali pemiliknya. Deg.. Seketika tubuh Nabila membeku dengan jantung beritme kencang saat aroma maskulin yang sangat ia kenal menyapa indera penciumannya. 

Laki-laki itu berbalik badan dengan senyuman khasnya, "Hai Nabila endut!" sapanya masih dengan senyum khas itu. Nabila seperti terhipnotis mengamati wajah yang masih selalu ia rindukan itu, penampilannya jauh berbeda. Ia tampak lebih dewasa dengan bulu-bulu halus mengitari rahangnya dan tubuh atletis yang jelas terbentuk dari kemeja jungkis putih yang dikenakannya. 

Ezhar tergelak sambil melambaikan tangannya ke arah depan wajah Nabila, sungguh ekspresi Nabila membuatnya gemas. 

"Nabila, aku Ezhar kekasihmu bukan hantu," tegur Ezhar yang seketika menyadarkan lamunan Nabila. Wajah Nabila mendadak berubah pucat pasi saat benar-benar meyakin jika pria yang berdiri dengan tersenyum di hadapannya kini adalah Ezhar Al-Rasyid, kekasihnya.

"Ma maaf aku hanya terkejut, seperti mendapat prank aja," balas Nabila mencoba menetralkan suasana meskipun terkesan kaku lalu mempersilahkan Ezhar duduk di kursi yang berada di teras, Nabila tidak berani menyuruh Ezhar masuk ke dalam rumah karena ia sedang sendirian, ia tidak ingin kedatangan Ezhar menjadi fitnah nantinya karena statusnya yang kini sudah bersuami. 

Cukup lama mereka dalam diam, Nabila segera menundukkan kepala saat tak sengaja kedua netra mereka bertemu, kini Ezhar mulai merasakan perubahan dalam diri Nabila. 

"Dapat salam dari Mama dan Papa, ini oleh-oleh dari Mama." Ezhar menggeser kotak berwarna biru dan sebuah paper bag berwarna coklat di atas meja ke arah Nabila yang duduk berseberangan dengannya.

"Terima kasih Ezhar," balas Nabila singkat dengan suara bergetar. 

Ezhar semakin memperhatikan tingkah laku aneh Nabila, biasanya setiap ia datang Nabila akan menyambutnya dengan riang. Namun kali ini mengapa ia menangka p kepedihan dari sepasang netra Nabila yang tadi sempat beradu dengannya. Ia masih menatap Nabila yang masih menundukkan kepala lalu beralih melihat kedua tangan Nabila yang saling bertaut dan meremas, kebiasaan Nabila bila kekasihnya itu sedang gugup. 

Deg... Tubuh Ezhar seketika membeku saat melihat cincin bermata putih melingkar di jari manis Nabila. Dunia Ezhar seolah berhenti berputar detik itu juga. 

Sunyi dan senyap.

*****

7 : BROKEN HEART

Dulu kita saling mencinta ternyata hanya untuk memberi duka lara

Dulu kita mengikat janji ternyata hanya untuk mengingkari

Dan kita pernah saling berpelukan ternyata hanya untuk sebuah kenangan

***

"Assalamualaikum.. Oh ternyata ada tamu," ucap Fahri yang seketika membuat Nabila mengangkat wajahnya begitu juga Ezhar yang seketika menoleh ke arah sumber suara dengan menjawab salam secara bersamaan. 

Kedatangan Fahri membuat kegugupan Nabila semakin bertambah, laki-laki dari masa lalu dan masa depannya kini berada tepat di hadapannya dan ia tidak tahu harus bersikap, seandainya ia memiliki kemampuan untuk menghentikan waktu pastilah sudah ia lakukan sekarang juga, menghilang. 

"Ustadz Fahri?" Sapa Ezhar dengan wajah terkejut. Namun ia segera berdiri dari tempat duduknya dan menyalami Fahri dengan tawaddu'. Gemuruh di hati Ezhar semakin terasa kuat saat menatap Nabila lalu beralih kembali ke arah Fahri. Mencoba mengaitkan hubungan di antara mereka berdua. 

"Kamu Ezhar? Ezhar Al-Rasyid kan?" tanya Fahri kembali, ia ingat Ezhar adalah santri yang rajin dan cerdas, selama membimbingnya Fahri tidak pernah kerepotan bahkan Ezhar tipikal santri yang mandiri dan kreatif. 

"Iya Ustadz, saya Ezhar," jawab Ezhar singkat. 

"Sayang tolong ambilkan ponsel Mas sebentar, tadi Mas lupa, sepertinya tertinggal di kamar, di atas nakas ya!" ucap Fahri lembut, Fahri menangkap sesuatu yang berbeda dari istrinya, Nabila tampak gugup dengan wajah memucat.

Deg.. Fahri teringat, Nabila pernah mengigau dalam tidurnya memanggil nama Ezhar, apakah mungkin Ezhar yang kini berdiri di hadapannya adalah Ezhar cinta masa lalu istrinya? Fahri menatap kembali Ezhar yang sedang menatap nanar punggung Nabila yang sedang berjalan masuk ke dalam rumah, Fahri tahu itu bukan tatapan biasa. Hati Fahri sakit bagai ditikam belati, ia cemburu karena ada laki-laki lain yang mencintai istrinya begitu besar. Namun Fahri juga tidak bisa mengelak bahwa dulu ia adalah orang ketiga di antara hubungan Nabila dan Ezhar. 

Untuk mencairkan suasana Fahri mengajak Ezhar duduk kembali, sambil menanyakan kabar dan kesibukan Ezhar di rumah setelah ia boyong dari pondok pesantren. Ezhar juga memberitahukan bahwa adiknya Mirza saat ini tengah mondok di pesantren Al-Amin. Ezhar menjelaskan bahwa dulu ia dan Nabila adalah satu angkatan di SMA A. Dahlan. Seketika senyuman getir terlukis di bibir Fahri kala menyakini jika laki-laki yang saat ini tengah berbicara adalah kekasih istrinya. 

"Makasih Sayang," ucap Fahri saat Nabila memberikan ponsel miliknya, Nabila masih menundukkan kepala sedangkan Al masih menatap Nabila lekat dengan mata sendu. Panggilan Sayang yang ke luar dari bibir Fahri berhasil menghancurleburkan hati Ezhar menjadi berkeping-keping. 

Ezhar segera tersadar saat mendengar panggilan sayang Fahri untuk kedua kalinya, gadis pujaan hatinya kini telah dimiliki oleh laki-laki lain. Tangan kanan Ezhar mengepal kuat di bawah meja hingga buku-buku jarinya memutih, ia tahan kuat-kuat agar mampu menahan rasa kecewa dan amarahnya, ia berusaha tersenyum lalu segera berpamitan sebelum perasaannya meledak. Mendengar Ezhar berpamitan Nabila segera menatap ke arah Ezhar dengan mata berkaca. Ia masih merindukan laki-laki berlesung pipi yang kini menatapnya dengan gemuruh lara yang telah ia torehkan.

Nabila menelan salivanya dengan susah payah lalu memaksakan diri untuk tersenyum pada Ezhar, ia pandangi punggung Ezhar menjauh dari pandangannya hingga menghilang bersama motor yang ia kendarai. Dan semua sikap Nabila dan Ezhar tak luput dari perhatian Fahri, meskipun hatinya juga terluka tapi ia berusaha bersikap tenang dan dewasa. Ia pernah merasakan sakitnya patah hati seperti yang Nabila dan Ezhar rasakan dan tentu saja hanya waktulah yang mampu menjadi penyembuh luka itu. Fahri berjanji akan melakukan apapun agar Nabila benar-benar jatuh cinta padanya dan segera melupakan cinta masa lalunya. 

"Sayang, Mas ke kampus dulu ya?" pamit Fahri yang seketika menyadarkan Nabila yang masih mematung menatap arah kepergian Ezhar. 

"Ngeh Mas hati-hati di jalan," balas Nabila dengan gugup, Nabila seperti tak kuasa menahan debaran hebat jantungnya saat kedua laki-laki terpenting dalam hidupnya bisa bersamaan berada di hadapannya tadi. Bahkan tadi Nabila sempat menumpahkan tangisnya sejenak sambil mencengkeram dadanya saat masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel milik Fahri.

Fahri membelai pipi Nabila lembut dengan berusaha tersenyum untuk menutupi rasa sakit di hatinya lalu melenggang pergi dengan membawa kepingan luka yang kembali menderanya. 

Mungkin dulu Fahri mengalah membiarkan cinta pertamanya pergi bersama kekasih lamanya tapi untuk kali ini ia pasti akan memenangkan cinta yang telah terikat janji suci di hadapan Allah, Fahri yakin apa yang telah dipersatukan oleh Allah adalah suratan takdir, dan Nabila adalah takdirnya. Bukankah semua selalu diawali dengan yang pertama? Begitupun Fahri dan Nabila. Mereka bersatu setelah berlayar dan berlabuh di dermaga yang lain. Dan kini biarkan waktu yang menjalankan perannya sesuai suratan takdir.

Setelah berada di dalam kamar Nabila menangis sekuatnya, bagai jutaan belati menikam dadanya, sakit tak berdarah namun perihnya mampu menghentikan dunia Nabila seketika. 

"Astaghfirulllohaladzim..." Tak henti Nabila mengucap istighfar saat kembali mengingat tatapan sendu Ezhar yang mengoyak hatinya. Nabila tahu ini dosa besar tapi ia sendiri tidak mampu menipu hatinya. Ia masih mencintai Ezhar. Laki-laki itu jauh lebih terluka dibandingkan dirinya. 

"Maafkan aku Ezhar," desis Nabila disela-sela tangisannya. 

Nabila duduk di tepian ranjang sambil memeluk bantal untuk meredam tangisnya yang belum juga mereda, ia gigit sekuat tenaga ujung bantal agar suara tangisnya tak terdengar ke luar, ia khawatir jika tiba-tiba ibu dan ayahnya pulang dari pasar lalu melihatnya seperti ini. 

"Nabila?" Suara panggilan ibunya berhasil membuatnya terkejut, ia segera berdiri lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya. 

Ia pandangi mata sembab dari balik cermin di hadapannya, hembusan nafas berat Nabila menyatu bersama suara gemiricik air shower yang kini mengguyur tubuhnya, kembali tangis Nabila pecah dengan tubuh meluruh di atas lantai. 

***

Suara decitan lokomatif yang bergesekkan dengan rel tak berujung pun tidak berhasil mengusik kebekuan Ezhar. Hatinya seperti tercabut dari rongganya, tak berasa. Kini sebelah sayapnya patah, hidupnya goyah tak seimbang. 

"Nabila tak punya pilihan Ezhar dengan perjodohan itu, ia tidak sampai hati untuk memberitahukan padamu, aku adalah saksi bagaimana ia berjuang dalam keterpurukannya. Nabila tidak bisa menolak karena ayahnya sudah menerima lamaran orang tua Fahri 3 tahun lalu, ia tidak bisa mengecewakan kedua orang tuanya apalagi kehormatan ayahnya dipertaruhkan. Sebenarnya Nabila dijodohkan dengan Hisyam adik Fahri namun karena kakaknya belum menikah jadilah Nabila menikah dengan Fahri."  

Wajah sendu Nabila memenuhi pelupuk mata Ezhar sembari ujung jari menuliskan nama Nabila dalam kaca berembun di sampingnya saat penjelasan Kalila berdengung kembali dalam ingatannya. Ia usap kembali air mata yang menetes di pipinya, tak memperdulikan penumpang kereta yang duduk di kursi seberang. Ia bahkan tak perduli jika harus menjadi bahan tontonan penumpang lain yang mungkin melihatnya menangis. Terdengar helaan nafas kasar sebelum Ezhar menyandarkan kepalanya pada punggung kursi lalu memejamkan mata untuk meredam sakit di dalam dadanya. 

***

"Dek ayo makan dulu tadi Mas beli nasi goreng di depan kampus," ucap Fahri sambil membelai bahu Nabila yang sedang melamun menatap luar jendela kamar. Pandangannya fokus mengikuti ritme gerimis yang menyapa dedaunan.

Tiga hari setelah pertemuannya bersama Ezhar Nabila lebih banyak melamun dan merenung dan Fahri sengaja tidak mengusiknya, membiarkan Nabila melawan sendiri perang batin yang berkecamuk dalam hatinya karena Fahri yakin Nabila pasti akan memenangkannya. Memberikan ruang dan waktu adalah cara terbaik satu-satunya yang bisa Fahri lakukan. 

"Oh iya Mas," balas Nabila sambil membalikkan tubuhnya setelah menyeka air mata yang bergulir di pipinya. 

"Mas Fahri, Maafkan aku?" Ucap Nabila dengan terbata sambil menghambur dalam pelukan Fahri, tangisnya kembali menderas, Nabila sadar ia telah mendzolimi suaminya.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan Sayang, sudah jangan menangis, mari kita mulai semuanya dari awal," balas Fahri lalu melepaskan pelukannya, ia tatap kedua netra Nabila dalam sambil tersenyum, ia kecup kening dan kedua mata Nabila yang membengkak secara bergantian. Ia belai bibir pink Nabila lalu memagut bibir itu sesaat dengan lembut.

Fahri menggandeng tangan Nabila menuju ruang makan lalu menarik kursi untuk Nabila. Fahri mengambil sendok dan piring untuk mereka berdua lalu memakan nasi goreng tersebut bersama, sesekali Fahri menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut Nabila. Sejak malam itu hubungan Fahri dan Nabila mulai menghangat.

Malam itu dengan hati lkhlas dan lega Nabila melayani Fahri, ia curahkan segala rasa hanya untuk suaminya. Mereka memadu kasih menikmati malam pengantin yang sesungguhnya, tidak ada lagi merasa terpaksa karena suatu kewajiban yang harus Nabila jalankan. Nabila lega setelah menceritakan semua kerisauan hatinya dan berterima kasih karena Fahri mau bersabar dengan memberikan waktu untuk dirinya berpikir dengan jernih. Dan sekarang Nabila yakin Fahri adalah jodoh terbaik yang dikirim Allah untuknya. 

"Terima kasih Ezhar karena kamu pernah hadir dalam hidupku, semoga Allah segera mempertemukanmu dengan perempuan yang jauh lebih baik dariku karena aku tau kau adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupku," gumam hati Nabila sambil memeluk Fahri dengan erat. Melepaskan segala beban di hatinya. 

***

Pagi itu setelah berbelanja kebutuhan dapur, sayuran dan berapa ikan segar Fahri berencana memasak bersama istrinya sambil berlahan mengajarinya. Fahri memaklumi istrinya itu masih muda dan manja, kedua mertuanya sudah memberitahunya bahwa Nabila memang tidak suka pekerjaan dapur ia lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamarnya untuk menggambar di waktu senggangnya. 

Fahri pernah melihat gambar-gambar hasil kreasi Nabila di laci meja kamarnya, ia akui gambar Nabila sangat bagus bahkan seperti nyata, pantas saja di meja belajarnya penuh dengan pencil warna, krayon, dan cat air. Hampir keseluruhan hasil kreasi tangannya berupa bunga dengan berbagai jenis dan warna. 

Fahri membeku sesaat kala mengingat akronim EA di setiap sudut gambar hasil kreasi Nabila. Namun ia segera mengenyahkan pikiran negatif di otaknya saat mengingat komitmennya bersama Nabila untuk memulai lembaran baru. Biarlah semua menjadi kenangan Nabila ia tidak berhak mengusiknya lagi. 

Dengan antusias Nabila mengikuti instruksi Fahri membuat ayam crispy, setelah mencuci bersih, ayam tersebut dicampur dengan bumbu yang sudah dihaluskan lalu dibiarkan untuk beberapa menit agar bumbu merasuk ke dalam daging ayam. Sembari menunggu Fahri menyuruh Nabila untuk mengupas kulit bawang merah dan bawah putih untuk membuat tumis daun bayam sedangkan dirinya yang menyiapkan sayur bayamnya. 

"Aduh," rintih Nabila saat tak sengaja pisau mengiris ujung jarinya. 

"Kamu nggak papa?" Tanya Fahri panik sambil meraih jari Nabila yang berdarah dan menekannya, lalu ia hisap dengan bibirnya secara perlahan. 

Nabila menggelengkan kepala sambil meringis menatap Fahri yang tanpa rasa jijik menghisap darah yang masih ke luar dari jarinya. Setelah bersih Fahri segera mengambil obat di kotak P3K lalu memberi betadine dan plester untuk menutupi luka di jari Nabila. 

"Maaf ya?" Ucap Fahri dengan rasa bersalah sambil membawa tangan Nabila ke bibirnya, mencium ujung jari Nabila yang sudah tertutup plester. Tanpa Fahri duga kedua tangan Nabila membingkai wajahnya lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir laki-laki itu. 

"Terima kasih Mas," balas Nabila dengan tergelak saat melihat Fahri mematung dengan ujung jari menyentuh bibirnya. 

*****

8 : MASA LALU FAHRI

Jakarta, 07.05 tiga hari lalu. 

Sampailah Ezhar di ibu kota Jakarta tanah kelahirannya yang tak pernah absen dari kata macet, seperti sekarang ini lalu lintas mengekor panjang di pusat kota saat ia menuju tempat kerjanya. Ia pandangi sesaat langit biru cerah lewat celah-celah helm sportnya, tak ada rasa kantuk atau letih meskipun ia baru sampai tadi subuh tapi ia memilih tetap masuk bekerja. Sambil menata serpihan-serpihan rasa yang berserakan di hatinya, Ezhar bertekad akan menyelesaikan kuliah dan lebih menfokuskan mengejar karirnya, tujuannya sekarang hanya satu, membahagiakan kedua orang tua yang telah membesarkannya dan membuat mereka bangga atas prestasi yang diraihnya

Baginya kebahagiaan Nabila adalah kebahagiannya dan Ezhar yakin Fahri akan menyempurnakan hidup Nabila, Ezhar bersyukur karena pernah menjadi bagian dalam hidup Nabila dan pernah mengukir cerita cinta indah bersama. Kini dirinya pun akan berbahagia dengan caranya sendiri. Membiarkan waktu melakukan perannya untuk menyembuhkan luka hatinya dan mungkin saja cinta baru akan menghampirinya, Ezhar berharap jika saat itu terjadi hatinya telah terbuka untuk cinta yang lain. 

***

Kesempatan liburan semester kali ini Fahri ingin menghabiskan waktu hanya bersama Nabila, ia berharap dengan menghabiskan lebih banyak waktu bersama, Fahri bisa mengikat hati Nabila seutuhnya dan memudarkan seluruh rasa yang mungkin masih tersisa di sudut hati Nabila untuk Ezhar. Sakit memang saat mengetahui bahwa istri yang ia cintai ternyata masih memikirkan pria lain, bukankah kapal setelah mengarungi laut lepas selalu berlabuh dibeberapa dermaga dahulu sebelum sampai di tempat tujuannya, begitupun Nabila dan dirinya. 

Fahri memiliki waktu 7 hari yang benar-benar bebas sebelum disibukkan dengan persiapan memasuki semester baru, Fahri mengajak Nabila berkunjung ke rumah orang tuanya di Sidoarjo, ia berniat melepas rindu pada kedua orang tuanya sekalian berniat mengajak Nabila berkeliling ke tempat-tempat menarik di sekitar Sidoarjo. 

Dengan antusias Nabila menyambut rencana Fahri tersebut, rasanya sudah sangat lama ia tidak pergi jalan-jalan apalagi kali ini ia ditemani pacar halalnya. Imam dalam hidup yang nantinya akan mengajak melangkah ke jannah-Nya. 

"Dik?" Bisik Fahri sambil melingkarkan kedua tangannya ke perut Nabila dengan posesif, ia sandarkan dagu berbulu tipisnya di bahu Nabila. 

"Mmmm," gumam Nabila dengan masih mencuci piring dan gelas bekas makan mereka berdua. 

"Usia Mas kan udah 35 tahun, teman-teman Mas juga sudah pada punya anak, bahkan tak sedikit yang sudah memiliki 3 anak," terang Fahri sambil mengelus perut rata Nabila dengan ragu.

Nabila bergeming mendengar perkataan Fahri, ia paham ke mana arah pembicaraan suaminya, kalau boleh jujur Nabila pasti akan menjawab ia belum siap bahkan ia belum terpikir untuk memiliki seorang anak untuk saat ini. Rasanya aneh saja diusianya yang masih 20 tahun ia harus menikah dengan gurunya sendiri yang terpaut usia 15 tahun lalu sekarang ia harus hamil dengan tubuh mungilnya, pasti sangat merepotkan, seketika terlintas di benaknya gambaran dirinya yang sedang memegang perut besarnya lalu bagaimana susahnya menjalani 9 bulan masa kehamilan hingga melahirkan kemudian rempongnya mengurus balita ditambah lagi kuliahnya yang belum lulus, sama rumitnya dengan rumus fisika yang pernah ia pelajari dulu saat masih duduk di bangku SMA, jauh dari ekspektasinya, apa yang ia rencanakan selama ini kini hanya tinggal kenangan. 

Menikah di usia 25 tahun dengan karir cemerlang plus calon suami tampan yang sudah mengikat janji bersamanya saat kelulusan sekolah. Manis sekali... tapi apalah daya garis tangannya tak menuntunnya ke sana. 

"Ya kita jalani aja dulu Mas, kan baru 2 bulan juga kita menikah aku ingin kita menikmati masa pacaran dulu," jawab Nabila sehalus mungkin agar tidak menyinggung perasaan suaminya. 

"Emang kalau kamu hamil kita nggak bisa pacaran?" tanya Fahri mencoba mencerna ucapan Nabila yang menurutnya tersirat.

"Setahu aku Mas orang hamil itu seperti orang sakit tapi sehat," ucap Nabila sekenanya. 

"Maksudnya Dik?" Fahri semakin bingung dengan ucapan Nabila dengan kening berkerut. 

"Orang hamil itu kan ada acara morning sickness, sering pusing kepala, dan ngidam, Mas bakalan repot deh," terang Nabila sambil melepas pelukan Fahri lalu mengeringkan kedua tangannya dengan kain lap. 

"Repot?" ucap Fahri sembari tak lepas menatap sosok Nabila. 

"Mas siap repot 24 jam untuk istri dan anakku tercinta," jawab Fahri sambil mengangkat tubuh Nabila lalu mendudukkannya di atas meja makan. Ia tatap kedua netra Nabila lekat, Fahri tahu Nabila pasti belum siap memiliki momongan diusianya yang masih belia. 

"Ok, terserah Mas kalau gitu, aku nurut aja asalkan Mas janji akan selalu nemenin aku," balas Nabila pasrah dengan menghembuskan nafas keras. Nabila sadar dengan posisinya sekarang, ia sekarang bukan gadis kecil nan manja lagi tetapi seorang istri, ia tidak boleh egois hanya untuk memenangkan keinginannya karena kini ada hati yang harus ia jaga perasaannya. 

Fahri tersenyum penuh kemenangan dengan menatap wajah Nabila lekat. Ia selipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Nabila ke belakang telinga. Seringai tak terbaca menghias wajah tampan Fahri saat menatap bibir pink Nabila, bibir manis itu selalu ingin ia cecap tanpa ada bosannya. Tubuh Nabila seketika menghangat dengan tatapan teduh Fahri. Kini kedua pasang mata mereka saling mengunci sesaat sebelum Fahri menyatukan bibir mereka dengan lembut, pagutan demi pagutan membawa keduanya dalam kenikmatan panjang, tanpa sadar kedua tangan Nabila mengalung ke belakang kepala Fahri dan kedua kakinya melingkar di perut pria itu. 

Fahri melepas ciumannya saat nafas keduanya mulai tersengal, ia tersenyum saat melihat Nabila membuka matanya perlahan, terlihat kilat gairah yang mulai terbakar di sana, tanpa menunggu lama Fahri menyatukan bibir mereka kembali dengan tangannya menekan belakang kepala Nabila untuk semakin memperdalam ciumannya. Fahri bisa merasakan deru jantung mereka menyatu saat Fahri menggendong Nabila menuju kamar tanpa melepas ciumannya dengan posisi kaki Nabila melingkari perut Fahri. 

Setelah meletakkan tubuh Nabila di atas ranjang Fahri berdiri memejamkan mata sejenak untuk membaca doa agar mereka diberikan keturunan yang sholeh dan sholehah oleh Allah, keturunan yang kelak sebagai penolong kedua orang tuanya di akhirat. 

Rinai hujan pagi itu adalah saksi di mana dua sedjoli itu memadu kasih, saling menyalurkan kehangatan untuk menghalau rasa dingin.

"Dik, kita harus sering-sering bertempur biar cepat jadi," goda Fahri sambil mengelus perut Nabila yang masih berada dalam pelukannya. 

"Ih Mas Fahri mesum deh," balas Nabila dengan semburat merah menghiasi wajah ayunya. 

"Mesum sama istri sendiri itu nggak papa Dik malah dapat pahala gede loh, apalagi bila istri dengan suka rela menawarkan dirinya, Allah akan menjamin dirinya masuk surga, pahalanya juga sebesar pahala haji dan umroh, ditambahkan lagi 200 kebaikan dan terangkat derajatnya di surga," terang Fahri semakin menggoda Nabila dengan antusias. Kini semburat merah itu tidak hanya menghiasi wajah Nabila tetapi menjalar hingga ke leher putih dan mulus Nabila yang semakin menggemaskan bagi Fahri. 

"Ah modus," jawab Nabila dengan malu-malu. Sebenarnya ia tahu tentang itu semua tapi baginya meminta duluan pastilah sangat memalukan. Ia akan lebih memilih cara lain untuk mendapatkan pahala dari suaminya, salah satunya ia akan belajar memasak dan merias diri tentunya, hal paling mudah yang terlintas di benaknya saat ini.

"Kok modus, menjadi seorang istri itu enak Dik, apapun yang ia lakukan dan ia kerjakan untuk suaminya akan menjadi ladang pahala baginya asalkan semuanya ia lakukan dengan rasa ikhlas," lanjut Fahri seraya membelai pipi Nabila dengan lembut. 

Nabila terkejut saat tiba-tiba Fahri mengangkat tubuh polosnya menuju kamar mandi, "Kita cari pahala lagi yang lebih asyik dan romantis Dik," bisik Fahri sambil mengerlingkan sebelah matanya dengan seringai mesum lalu menurunkan tubuh Nabila tepat di bawah shower. Nabila terperanjat saat shower menyala dan membasahi tubuh mereka berdua. Ada rasa asing berdesir di sudut hatinya saat melihat air menetes di tubuh Fahri, apalagi saat melihat rambut ikal Fahri yang basah menutupi sebagian mata Fahri, seketika jantung Nabila seperti menabuh genderang perang. 

"OMG, apa ini yang dinamakan seksi?" Jerit hati Nabila sambil mengagumi seluruh tubuh Fahri, dan Nabila baru menyadari bahwa pria di hadapannya begitu tampan dan terlihat jauh lebih muda dari usianya. 

"Pantesan mahasiswi di kampus banyak yang mengidolakannya, ternyata suamiku ganteng dan seksi," tak henti Nabila mengagumi paras tampan suaminya sembari menyelesaikan kegiatan mereka.

Sorenya mereka berkunjung ke kediaman orang tua Nabila untuk meminta izin berkunjung ke Sidoarjo dan menghabiskan waktu beberapa hari di kediaman orang tua Fahri. Dan tentu saja kedua orang tua Nabila memberikan izin sambil menitip salam dan oleh-oleh untuk besan mereka.

Malam itu Nabila dan Fahri menginap di kediaman orang tua Nabila karena besok pagi mereka akan berangkat langsung dari sana dengan mengendarai Innova hitam milik ayah Nabila, karena sungkan Fahri sempat menolak tawaran ayah mertuanya. Namun kedua orang tua Nabila memaksa akhirnya Fahri tidak bisa beralasan lagi. 

Karena Nabila sedang membantu ibunya mengemas oleh-oleh yang akan ia bawa besok, Fahri pamit masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Netra Fahri tiba-tiba menangkap sebuah paper bag kecil berwarna biru tua yang masih tertutup rapat tergeletak di atas meja belajar Nabila. Ia beranjak dari atas ranjang lalu beralih duduk di kursi meja belajar Nabila, perlahan ia buka pengait paper bag itu. Deg.. Perasaaan Fahri seketika tidak menentu saat membaca tulisan To : My Love, Nabila di atas kotak berbahan beludru berwarna hitam tersebut. Ia buka berlahan kotak tersebut, sekilas kilat cahaya menabrak retinanya saat perhiasan dengan case berwarna silver berbahan stainless steel itu terkena sinar lampu kamar. 

Fahri kenal dengan merk perhiasan ternama itu dan tentu saja harganya lumayan mahal, merk yang sama dengan merk jam tangan perempuan yang pernah mengisi hatinya selama 8 tahun, Aqila Nafeeza Zahra. 

*****

9 : SURAT DARI EZHAR

Kenangan adalah ribuan coretan berwarna di atas kertas, sekeras apa pun kau mencoba menghapusnya hasilnya akan tetap membekas.

***

Deg.."Aqila," desis Fahri bersamaan dengan denting jam dinding kamar yang berdenting, kenangan bersama Aqila kembali berputar bagai film dokumenter, klise demi klise bergulir tanpa bisa ia cegah. Fahri mencoba menghalau perasaan tak jelas yang tiba-tiba melesak cepat bagai busur panah, tangannya bergetar dengan jantung berirama cepat lalu memasukkan kembali jam tangan itu ke dalam tempatnya.

Fahri masih mematung di tempat saat sebuah kertas berwarna ungu dengan lipatan berbentuk hati jatuh dari paper bag tersebut, ia pungut kertas itu dengan gemuruh hati yang tak bisa Fahri deskripsikan, seperti cubitan kecil dalam hati terdalamnya saat mengetahui istrinya memiliki cinta lain selain dirinya. Hati Fahri meronta tak terima meskipun ia sadar nama Aqila pun belum sepenuhnya terhapus dari memorinya. Perlahan ia buka lipatan kertas itu.

Dear My Love,

Hari ini aku berjanji Nabila, aku akan menjadikanmu ratu dalam hidupku bahkan sebelum kau memintanya kau telah lama bertahta dalam hatiku, dua langkah sudah kulalai dan sekarang kita hanya menunggu waktu menyatukan kita dalam ikrar suci. Insyallah jika Allah menghendaki 2 tahun lagi aku akan menjemputmu bersama keluargaku. Kuharap janji setia kita masih terpatri kuat saat waktu itu tiba.

Ezhar Al-Rasyid

Fahri segera melipat kertas itu seperti semula lalu memasukkan kembali ke tempatnya, Fahri tak menggubris perintah hatinya untuk menyingkirkan semua itu, meskipun menyakitkan Fahri akan bersabar hingga Nabila sendiri yang memilih membuang semua kenangannya bersama Ezhar dan menyerahkan seluruh rasa padanya, meskipun ia tahu akan terluka.

Tiba-tiba seulas senyuman tersungging di kedua sudut bibirnya saat melihat tumpukan hasil karya istrinya, Nabila memiliki bakat menggambar yang luar biasa, banyak sketsa gambar yang belum ia warnai. Ia buka lembaran itu satu persatu. Namun pada lembar ke 5 ia baru menyadari bahwa di setiap ujung gambar itu terdapat inisial huruf EA, inisial huruf yang pernah membuatnya penasaran saat awal mereka menikah. "Ezhar Al-Rasyid," gumamnya sambil menahan hantaman keras tepat mengenai dadanya, masih dengan rasa penasaran ia membuka laci meja belajar milik Nabila.

Deg..matanya membulat seketika saat ia melihat tumpukan kertas warna-warni dengan lipatan-lipatan berbentuk hati, ia buka dan membacanya sekilas, hanya coretan puisi ala remaja biasa. Namun ada sesuatu yang mengusik hatinya saat semua kertas itu tertera inisial huruf EA dan bunga-bunga yang sudah mengering menyertainya. Fahri memejamkan mata sejenak mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh sembari beristighfar berulang kali.

"Mas lagi ngapain?" Suara Nabila seketika mengejutkan dan membuat matanya terbuka sempurna.

"Maaf Dek, aku lancang telah membuka barang-barang pribadi milik kamu," jawab Fahri sembari menatap Nabila dengan sendu, tak bisa dibohongi bahwa hatinya semakin terluka saat melihat ekspresi wajah Nabila.

Nabila bergeming, ia mematung melihat barang pribadi miliknya berserakan di atas meja belajarnya, bukan karena marah tetapi ia khawatir jika suaminya salah paham, Nabila bukannya sengaja menyimpan semua kenangan bersama Ezhar, hanya saja ia belum sempat membersihkan semua itu, ia sudah berjanji akan menjaga janji suci pernikahan mereka dan Ezhar hanya akan menjadi sebuah kenangan di sudut hatinya karena kini Fahri adalah imam yang akan menjadi masa depannya.

"Mas, aku bisa jelasin semuanya," ucap Nabila dengan mata nanar, ia bisa melihat sorot terluka dari kedua netra Fahri.

"Aku paham Dek, ada pria lain di hatimu sebelum aku hadir," balas Fahri singkat lalu memasukkan kembali barang-barang Nabila seperti sedia kala. Wajah dingin dan datar yang dulu selalu Nabila lihat kini melekat di sana. Membuat nyalinya menciut untuk sekadar mendekati Fahri.

Fahri bangkit dari duduknya lalu melepas baju koko dan menyisakan kaos dalaman berwarna putih dan sarung, ia naik ke atas ranjang tanpa berucap lalu memejamkan mata dengan posisi membelakangi Nabila. Nabila mengikuti naik ke atas ranjang lalu menatap langit-langit kamarnya, untuk kesekian kalinya ia menoleh menatap punggung Fahri yang tampak tenang. Tak ada candaan, tak ada kecupan dan tak ada pelukan yang selalu menenangkannya. Perasaan bersalah kian menyesakkan hatinya kala Fahri masih saja diam seribu bahasa.

Kembali Nabila mencoba memberanikan diri untuk menyentuh bahu Fahri namun ia segera menarik tangannya kembali saat tubuh Fahri bergerak, kenangan saat Fahri dulu memarahinya di depan teman-temannya di sekolah bagai sebuah klise. Takut, itu yang dirasa Nabila sekarang, Fahri tak segan-segan membentak dan memukul jika siswa itu berani melawannya, meskipun itu hanya berlaku hanya pada siswa putra. Apa mungkin Fahri akan bersikap kasar padanya?.

Hingga pukul 2 dini hari Nabila masih saja terjaga, lelah karena Fahri masih saja mendiamkannya, Nabila tahu Fahri juga belum tertidur seperti dirinya, hembusan nafas keras lolos dari bibirnya saat ia berpindah posisi turut membelakangi Fahri, air matanya mengalir deras tanpa bisa ia bendung lagi. 

Fahri mendengar isak tangis lirih Nabila yang terasa seperti sayatan tajam menggores hatinya namun ia masih bertahan dalam diam, terlalu sakit mengetahui istrinya masih menyimpan semua kenangan bersama sang mantan kekasih. Sejam lebih akhirnya Fahri berpindah posisi menghadap Nabila, ia tidak tega melihat istrinya menangis semalaman seperti itu apalagi posisi mereka sedang berada di rumah kedua orang tua Nabila, bagaimana ia nanti akan menjawab pertanyaan kedua mertuanya saat mereka melihat mata bengkak Nabila namun yang ia dapati justru nafas Nabila yang teratur menandakan ia sudah terlelap. Istrinya pasti tertidur karena kelelahan menangis. Terdengar helaan nafas panjang sebelum Fahri bangun lalu mengambil air wudhu.

Hati Fahri merasakan ketenangan setelah melaksanakan salat malam, ia puas setelah berkeluh kesah dengan Sang Pencipta. Masih duduk di atas sajadahnya yang terbentang di atas lantai Fahri menatap wajah teduh istrinya yang sedang memeluk guling dengan erat, tampak sisa air mata masih membekas di pipinya, perlahan ia sadar bahwa sikapnya salah, Nabila masihlah remaja labil yang butuh bimbingannya. Dan itu adalah tugasnya sebagai kepala keluarga, tidak pantas jika ia malah ikut bersikap kekanak-kanakan hanya karena rasa cemburu.

Dengan perasaan bersalah Fahri kembali naik ke atas ranjang lalu memeluk Nabila dari belakang, ia kecup puncak kepala Nabila dengan sayang.

"Maafkan aku Sayang," bisik Fahri sembari memejamkan mata.

Nabila terkejut saat mendapati sebuah tangan besar melingkari perutnya, ia rasakan hembusan nafas hangat nan tenang menyapu puncak kepalanya. Ia terdiam tanpa berani bergerak sekaligus mengobati rasa rindu di hatinya, padahal hanya semalam saja ia tidur tanpa pelukan sang suami tapi rindu itu berhasil menyiksanya.

Berlahan Nabila melepaskan tangan Fahri dari atas tubuhnya saat kumandang adzan subuh sayup terdengar.

"Sebentar lagi Sayang, kita jamaah salat subuh bersama," ucap Fahri masih dengan mata terpejam yang seketika membuat tubuh Nabila membeku.

"Maafkan Mas, Sayang," bisik Fahri saat tak ada tanggapan dari Nabila.

"Aku yang salah Mas, seharusnya aku yang minta maaf," balas Nabila sembari beralih posisi menghadap Fahri. Seketika mata Nabila berkaca menatap netra suaminya yang juga menatapnya dengan lembut.

"Maafkan Mas karena membuatmu menangis." Fahri mendekap tubuh mungil Nabila sembari menghujani wajah Nabila dengan kecupan.

Nabila mengangguk dengan air mata menderas lalu membalas pelukan Fahri dengan erat.

"Cup cup...jangan menangis lagi," ucap Fahri lalu melepas pelukannya, ia seka air mata Nabila lalu mencium kedua kelopak mata Nabila bergantian.

Senyum Nabila merekah saat tiba-tiba Fahri menggendongnya ke arah kamar mandi, "yuk kita salat dulu, setelah itu...," Ucapan Fahri menggantung dengan seringai mesum yang sudah Nabila hafal.

Nabila mengangguk dengan malu-malu bersamaan dengan pipinya yang bersemu merah.

***

Kini keluarga Nabila sedang sarapan bersama dalam suasana hangat yang diwarnai dengan obrolan ringan seputar kegiatan masing-masing. Namun, Akbar memilih lebih banyak berdiam diri, hanya memberi jawaban singkat saat ada pertanyaan yang menghampirinya, ia sedang kesal saat melihat mata sembab Nabila, ia yakin rumah tangga adiknya sedang ada masalah dan Akbar tahu pasti penyebabnya adalah kedatangan Ezhar beberapa hari yang lalu.

"Oya Nabila sampaikan salam terima kasih Ayah pada temanmu Ezhar karena sudah jauh-jauh membawakan oleh-oleh untuk kami, Ayah jadi merasa bersalah karena tidak bertemu dengannya saat ke sini," ucap Mansur tanpa menyadari raut terkejut semua orang yang berada di ruang makan tersebut.

Nabila membeku dengan kepala menunduk, lidahnya kelu hanya sekadar untuk menanggapi ucapan Mansur ayahnya. Nabila paham maksud ucapan ayahnya yang memang tidak tahu-menahu soal hubungannya dengan Ezhar, hanya pada Fitri, Nabila menceritakan tentang perasaannya terhadap Ezhar. Rencana perjodohannya dengan Fahri pun sempat menjadi perdebatan antara Mansur dan Fitri. Karena tidak ingin melihat kedua orang tuanya berselisih Nabila menyetujui perjodohan itu meskipun dengan berat hati.

"Insyallah nanti saya sampaikan Ayah, kebetulan saya mengenal Ezhar sudah lama, dia dulu santri bimbingan saya sewaktu masih di pondok pesantren," terang Fahri dengan santai sembari tangan kirinya menggenggam erat tangan Nabila yang berada di bawah meja. Nabila tersentak sambil menatap Fahri yang masih menatap Mansur dengan tersenyum. 

"Syukur kalau kalian sudah saling mengenal, Ezhar dulu sering main ke sini bersama Kalila sahabat Nabila," lanjut Mansur setelah meneguk sisa air putih dalam gelas di hadapannya.

Fitri dan Akbar hanya bisa membisu sembari memperhatikan sikap salah tingkah Nabila.

"Ayah, Ibu aku berangkat kerja dulu ya dan kamu Dek, Mas Akbar sayang sama kamu," ucap Akbar setelah menyalami kedua orang tuanya lalu mengecup puncak kepala Nabila dengan sayang. Tanpa sengaja Akbar melihat kedua tangan mereka saling bertaut di bawah meja. Namun ia segera mengalihkan perhatiannya saat mendengar suara dehaman dari Fitri.

Ehem...Fitri berdeham meminimalisir keadaan agar Akbar segera pergi lalu berucap, "Maaf Nak Fahri, ya gitu tingkah Akbar kalau sama adiknya, akhir-akhir ini Akbar lebih banyak diam karena tidak ada yang ia usili lagi sekarang," terang Fitri yang seketika membuat Fahri tergelak.

"Saya paham Bu, emang adiknya sudah saya rebut," balas Fahri ramah.

"Mas Fahri nitip Nabila ya? Jaga dia baik-baik," sela Akbar sembari mengulurkan tangan ke arah Fahri.

"Pastilah Mas, saya akan selalu jagain Nabila dengan baik, oya kenapa Mas Akbar manggil saya Mas? panggil Dek atau Fahri saja," pinta Fahri dengan ramah.

Akbar tersenyum lalu mengangguk, ia tepuk bahu Fahri pelan sembari mengedipkan sebelah matanya. Kini Akbar merasa lega saat melihat pendar cinta dalam netra Fahri, Akbar hanya ingin menyerahkan adik kesayangannya dengan tenang pada orang yang tepat.

*****

10 : RAHASIA HISYAM

Jantung Nabila tiba-tiba berdebar kencang saat langkahnya terhenti tepat di depan teras rumah megah dengan pilar-pilar besar di sisi kiri dan kanannya, untuk kedua kali ia menginjakkan kaki ke dalam rumah bermodel modern klasik itu.

Ia tarik nafas dalam-dalam sebelum ia ikuti langkah Fahri. 

"Assalamualaikum...," ucap Fahri sembari membuka pintu kayu jati besar dengan ukiran yang mengelilingi tiap sisinya. 

"Waalaikumsalam..." Terdengar suara balasan dari arah dalam rumah.

Tak lama muncullah wanita berusia sekitar setengah abad yang masih menyisakan jejak-jejak kecantikan di masa senjanya. Wanita dengan wajah bulat, putih, dan cantik itu masih tampak lincah dengan pakaian daster batik kesayangannya. Tampak guratan-guratan halus itu tertarik membentuk sebuah senyuman lembut.

"Loh pengantin baru pulang, kok nggak bilang-bilang dulu sih Le, kan ibu bisa masak spesial buat kalian," ucap Arumi ibu Fahri dengan tatapan sendu bergelung rindu.

Fahri dan Nabila segera meraih tangan Arumi dan mencium punggung tangannya bergantian.

Mereka ngobrol sebentar saling menanyakan kabar.

"Bu saya dan Nabila ke kamar sebentar ya? Naruh tas dulu," pamit Fahri setelah meletakkan dua kardus oleh-oleh titipan dari orang tua Nabila.

"Iya sana masuk dulu, ibu bantu Bi Mirah nyiapin makan siang dulu ya?" Balas Arumi sembari mengelus bahu Nabila dengan sayang saat Nabila menawarkan diri akan membantu Arumi.

"Kita istirahat sebentar sekalian sholat dzuhur dulu Dik," terang Fahri yang seketika mendapat anggukan kepala Nabila.

"Mas, aku sungkan sama ibu, beliau masak aku malah santai di kamar sih," ujar Nabila yang sudah duduk di tepi ranjang.

Klik. Fahri menyalakan AC kamarnya untuk menghalau udara panas setelah perjalanan jauh, karena sudah lama tinggal di Jombang kini saat ia berada di kota kelahirannya justru ia tidak betah karena udara panasnya.

"Ada Bi Mirah yang membantu ibu," balas Fahri lalu melepas jarum pentul di jilbab Nabila, ia lepas jilbab Nabila lalu meletakkannya di atas meja rias. Fahri merebahkan tubuhnya lalu disusul Nabila yang bersandar di dadanya.

"Kita bersantai dulu, bentar lagi ayah pulang dari toko, dan sepertinya Hisyam sedang di rumah juga," terang Fahri sambil membelai rambut Nabila, tanpa Fahri sadari perkataannya membuat Nabila gugup seketika.

Nabila belum siap bertemu Hisyam setelah acara pernikahannya dan Fahri waktu itu. Nabila bukanlah gadis lugu yang tidak tahu mengenai perasaan seseorang padanya. Apalagi Hisyam pernah menyatakan perasaannya sewaktu ia masih duduk di bangku kelas 12 SMA, dan Nabila pun baru tahu jika kepala Laboratorium IPA_nya itu adalah adik kandung Fahri, suaminya.

"Oya Mas lupa terus mau nanya, kamu udah kenal Hisyam kan? Dia kan karyawan di sekolah kamu dulu," ucap Fahri yang semakin membuat Nabila bingung harus menjawab apa.

"I iya Mas, Pak Hisyam dulu kepala Lab IPA di sekolahku," jawab Nabila berusaha bersikap senormal mungkin. Nabila hanya takut Hisyam akan mengacuhkannya seperti dulu. 

Flashback On

"Nabila kamu mau nggak jadi calon istri saya?" Tanya Hisyam sewaktu mereka hanya berdua di ruang laboratorium.

"Hahaha, Pak Hisyam bisa aja nanti di kira orang pedofil loh," tawa Nabila membahana dalam ruangan yang hanya berpenghuni mereka berdua.

"Ya nggaklah Nabila, usia kamu 18 tahun dan saya baru 25 tahun, cuma selisih 7 tahun, saya tunggu sampai kamu lulus kuliah nggak masalah kan?" terang Hisyam tanpa menoleh ke arah Nabila yang kini menatapnya dengan seringai jail. Hisyam masih serius membereskan dan menata peralatan lab ke dalam lemari kaca setelah dipakai praktikum anak kelas Nabila.

"Kepala Pak Hisyam nggak habis kepentok pintu kan? Atau tadi sebelum berangkat ke sekolah salah minum obat, atau kesambet jin penghuni lab, hayo!" goda Nabila dengan ekspresi ngeri dibuat-buat, Hisyam tergelak, gadis di sebelahnya memang unik dan menggemaskan.

"Nggaklah Nabila, saya serius suka sama kamu," ucap Hisyam dengan kesal sembari menatap Nabila tajam. Seketika Nabila mengerjapkan mata lalu memukul pipinya bergantian memastikan kesadarannya.

"Berarti saya yang salah minum obat dong Pak, jadi telinga saya ngaco gini dengernya," ucap Nabila lalu segera pergi. Hisyam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Oya Pak, dapat salam dari Ranti, fans berat Bapak," ucap Nabila sambil melongok kan kembali wajahnya di balik daun pintu lalu berlari dengan tawa nyaringnya.

Sejak pernyataan itu Hisyam sering memanggil Nabila tanpa alasan yang jelas, lama-kelamaan Nabila sendiri merasa risih dan memilih menghindarinya. Dan tentu saja semua itu diketahui oleh dua sahabatnya, Kalila dan Ezhar.

Flashback Off

"Salat Yuk!" ajak Fahri saat mendengar kumandang waktu dzuhur.

"I iya Mas," jawab Nabila dengan terbata yang seketika membuyarkan lamunannya.

Setelah salat dzuhur mereka ke luar kamar, Nabila bisa mendengar suara obrolan orang-orang dari arah ruang makan. Rumah orang tua Fahri memang tidak seperti rumah orang kaya kebanyakan, rumah itu di desain dan menggunakan interior yang sederhana namun elegan, kesan kejawen jelas tercipta dalam rumah megah ini. Semua pintu dan jendela terbuat dari kayu jati berukiran, ukurannya pun jumbo serta berlapis. Di ruang tengah berdiri tegap jam dinding kayu dengan suaranya yang nyaring saat waktu menunjukkan ketepatan waktu. 

Haidar tersenyum menatap Fahri dan Nabila yang berjalan beriringan dengan tangan bergandengan, hatinya lega karena putra sulungnya akhirnya menemukan tambatan hatinya, Haidar yakin kini mereka bahagia meskipun diawal pernikahan mereka tidak saling mencintai.

Fahri mencium punggung tangan Haidar bergantian dengan Nabila.

"Ayo makan dulu," ajak Haidar sembari menggandeng Nabila untuk duduk di sebelahnya.

Deg..Nabila menoleh ke arah Hisyam yang tengah duduk di seberangnya, di samping Arumi. Setelah bersalaman dengan Fahri, Nabila menganggukkan kepala dan tersenyum menyapa saat pandangannya bertemu dengan Hisyam. Hisyam tersenyum tipis lalu fokus ke arah makanan di hadapannya.

Obrolan hangat menemani makan siang mereka, Nabila pun sesekali menanggapinya dengan ramah. Kecuali Hisyam, ia lebih banyak diam dan sesekali melihat layar ponselnya.

"Kalian udah nikah dua bulan kan? Apa Nabila belum ada tanda-tanda?" Tanya Haidar dengan senyum merekah, ia sudah tidak sabar untuk menimang cucu. Rona merah seketika menyapu wajah ayu Nabila, Fahri tergelak lalu menggenggam tangan kiri Nabila.

"Semoga segera diijabah oleh Allah Ayah, kami juga sudah berusaha," terang Fahri dengan wajah berseri menatap istrinya yang tertunduk malu di sampingnya.

Binar bahagia jelas tercetak pada wajah kedua orang tua Fahri. 

"Maaf, izin angkat telpon dulu," pamit Hisyam tanpa basi-basi, hatinya panas melihat kemesraan kakak dan gadis yang ia cintai. Jika saja ia dulu bersikap egois pastilah Nabila menikah dengannya bukan dengan Fahri.

Sesampainya di kamar Hisyam melempar ponselnya ke atas ranjang, hatinya mendidih, hampir dua bulan ia berhasil menghindari pertemuan dengan Nabila dan sekarang tiba-tiba mereka tinggal satu atap untuk beberapa hari. Seandainya ia tau Fahri dan Nabila pulang pastilah ia memilih tetap di pesantren saja. Ia bisa melepas rindu bersama kedua orang tuanya dilain waktu. 

Hisyam mengusap wajahnya dengan kasar sembari mengucap istighfar berulang kali. Ia duduk di tepi ranjang, pandangannya fokus menatap layar ponsel dengan mata nanar. Tanpa Hisyam sadari Arumi tengah berdiri di samping Hisyam sembari menatap foto Nabila yang terpampang di ponselnya.

"Astaghfirullah Le, kenapa kamu masih menyimpan foto Nabila di ponselmu?" Ucap Arumi yang seketika membuat Hisyam menjatuhkan ponselnya di atas lantai karena terkejut.

Dengan cepat Arumi mengambil ponsel Hisyam,"Bu, please mana ponselku." Hisyam mengiba, netranya nanar menatap netra Arumi yang basah. 

"Ibu harus menghapusnya, ikhlaskan Le, dia sekarang menjadi Mbak ipar Kamu," peringat Arumi tegas. Ia tidak mau melihat putra bungsunya masih saja memikirkan Nabila. Walaupun Arumi tahu kesalahan bukanlah pada putranya melainkan dirinya dan suaminya.

"Aku akan melakukannya Bu, tapi tolong Bu jangan paksa aku..." Suara Hisyam serak karena menahan gemuruh di dadanya.

"Bu hentikan!" cegah Hisyam saat Arumi mulai men_deleted foto-foto Nabila dari galeri ponselnya satu persatu.

Air mata Arumi mengalir deras dengan Hisyam yang duduk di bawah sembari memeluk kakinya, tubuhnya bergetar kala mengingat permintaan Hisyam untuk melamar Nabila saat gadis itu masih duduk di bangku kelas 2 SMA dulu. Hisyam sudah jatuh cinta pada Nabila saat pertama kali mereka bertemu, saat itu Hisyam tidak sengaja ikut showan ke kediaman Ayah Nabila untuk bersilaturahim. Hisyam sendiri waktu itu sudah tahap penyusunan skripsi.

"Apa aku salah Bu? ibu melamar Nabila untuk aku tapi malah menikahkannya dengan Mas Fahri, Mbak Aqila pergi saat akad nikah segera dimulai apa salah aku juga? Lalu Ibu dan Ayah beralasan jika aku tidak boleh menikah sebelum Mas Fahri menikah, katanya pamali, dan....," terang Hisyam dengan senyum sarkas, kerongkongannya tercekat tak mampu berkata-kata lagi.

Tubuh Fahri bergetar mendengar perbincangan ibu dan adiknya dari celah daun pintu. Tadi dengan hati berbunga Fahri ingin berbagi cerita kebahagiannya dengan Nabila pada Hisyam. Namun justru tamparan keras yang ia peroleh. Ia tidak tahu jika karena dirinyalah adik kesayangannya terluka.

"Maksudnya apa Bu, Syam? Katakan!" Ucap Fahri sambil melangkah masuk ke dalam kamar Hisyam. Arumi dan Hisyam terkejut seraya menoleh ke arah Fahri dengan perasaan bingung.

"Mas Fah..," ucap Hisyam tercekat, mengapa ia bisa berbicara seceroboh ini. 

Arumi terduduk kembali di tepi ranjang dengan air mata berlinang, ia tidak bermaksud pilih kasih dengan kedua putranya, ia hanya ingin yang terbaik untuk kedua putranya, Arumi pun tak menyangka jika Hisyam begitu mencintai Nabila, setahunya mereka tidak saling mengenal.

Melihat Ibunya bersedih hati kedua putranya pun ikut hancur.

"Maafkan aku Bu," Hisyam memeluk kaki Arumi dengan berlinang air mata. Fahri ikut terduduk lalu menatap Arumi lembut sembari mengusap air mata yang mengalir di pipi wanita itu, "Maafkan aku Bu, karena aku Ibu dan Ayah sampai melakukan ini semua untukku, Maafkan aku Dek mengapa kamu tidak pernah cerita sama Mas?" Ucap Fahri bergantian menatap Arumi lalu ke arah Hisyam.

"Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kalian," balas Arumi sembari kedua tangannya membelai puncak kepala kedua putranya.

"Aku sudah ikhlas Bu, aku ikhlas," tangis Hisyam pecah, tangannya memeluk erat kaki Arumi. Sungguh Hisyam tidak pernah berniat buruk apalagi sampai membuat ibunya bersedih seperti ini.

"Apa Nabila tahu soal ini Bu?" Pertanyaan yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos dari bibir Fahri. 

"Nabila tidak tahu apa-apa Mas, jadi tolong tetap rahasiakan ini semua, aku tidak mau ada salah faham di antara kita, Mas Fahri tidak perlu memikirkan aku, aku bahagia jika Mas juga bahagia." Hisyam berganti memeluk Fahri dengan erat. Hatinya lebih terluka jika harus melihat orang-orang yang ia sayangi bersedih.

"Terima kasih Dek," balas Fahri singkat. Pikirannya masih berserakan seperti kepingan puzzle, berusaha menyatukan kepingan-kepingan itu kembali hingga kenyataan itu bisa ia terima secara logika.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
First Love
Selanjutnya First Love 11-15
2
0
Part 11-15Terima kasih untuk dukungannya. Oya siapin hati untuk mengikuti cerita selanjutnya. Karena cerita First Love bakal menguras perasaan dan air mata hehehe
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan