
Part 11-15
Terima kasih untuk dukungannya. Oya siapin hati untuk mengikuti cerita selanjutnya. Karena cerita First Love bakal menguras perasaan dan air mata hehehe
11 : MANTAN
Seperti foto usang yang akan memudar, begitupun cintaku padamu yang telah tersamar. Meskipun tak bisa ku pungkiri jika kenangan itu masih terus mengekang setelah ikhlas untuk melepaskan.
***
Keesokan harinya Fahri dan Nabila memutuskan kembali ke Jombang sedangkan Hisyam memilih tinggal di rumah untuk beberapa hari lagi. Sebenarnya malamnya setelah perbincangan mereka bertiga Hisyam sudah pamit kepada Arumi untuk kembali ke pesantren tapi ternyata Fahri kakaknya malah lebih dulu berpamitan jadi Hisyam memutuskan mengalah karena jika mereka kembali di hari yang sama tak menutup kemungkinan Haidar, ayah mereka akan curiga karena Hisyam tidak ikut satu mobil bersama Fahri dan Nabila sedangkan tujuan mereka sama.
Sepanjang perjalanan Nabila merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Fahri. Pria itu lebih banyak terdiam dengan pandangan fokus pada jalan raya di hadapannya.
"Kenapa Sayang?" Ucap Fahri saat mobilnya berhenti di rambu-rambu merah lalu lintas. Tentu saja Fahri bisa mengartikan arti tatapan istri kecilnya itu.
"Apa ada masalah Mas?" Nabila memberanikan diri bertanya.
Nabila sedikit terkejut saat Fahri tiba-tiba mengubah rencana yang awalnya mereka akan tinggal beberapa hari di rumah orang tua pria itu dan mengajak dirinya berkeliling kota. Tapi dengan mendadak Fahri mengajaknya pulang pagi ini. Nabila memang masih muda tapi ia tidak bodoh. Ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda pada suaminya.
"Nggak ada apa-apa, maaf ya klo Mas membuat kamu khawatir, Mas ada pekerjaan penting di kampus. Tapi Mas janji 5 hari libur yang tersisa Mas akan full time menemani kamu." Ungkap Fahri lalu meraih jari jemari Nabila. Ia kaitkan jemari lentik milik Nabila pada sela jemarinya yang kokoh.
"Kamu tahu Sayang, ini apa artinya?" Fahri mengangkat tangan mereka yang tengah bertaut. Nabila seketika menggelengkan kepala sebagai jawaban jika ia memang jujur tidak mengerti maksud perkataan Fahri.
Tin... Suara klakson sukses membuat kedua tangan itu terlepas. Fahri segera menginjak gas lalu melajukan mobil yang dikendarainya. Mobil Innova hitam itu melaju perlahan hingga tampak jalanan lancar Nabila segera menggeser posisi duduknya. Ia duduk miring menghadap Fahri.
"Apa Mas?" Nabila menuntut jawaban pada Fahri.
Fahri kembali menggenggam jemari Nabila lalu membawa ke bibirnya untuk ia kecup.
"Itu artinya sepasang suami istri itu harus saling melengkapi. Dari karakter dan kepribadian yang berbeda itu kita harus bisa saling mengisi, mengasihi, dan mengerti. Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Allah menciptakan kita dengan karakter kita yang unik. Seperti saat ini, selain kehadiran kamu sebagai penyempurna agama Mas, kamu juga adalah penyempurna hidup Mas," terang Fahri yang seketika sukses menghadirkan semburat jingga di pipi Nabila.
Nabila segera mengembalikan posisi tubuhnya dengan menahan senyuman. Perutnya seketika merasa geli seperti ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Fahri tergelak lalu mencubit pipi Nabila dengan gemas.
"Setiap melihatmu tersenyum Mas merasa kembali muda Dik."
"Ih gombal!" Nabila mencubit lengan Fahri dengan tersipu malu. Sumpah Nabila tak pernah menyangka jika ustadz galaknya itu bisa berkata-kata dengan begitu manis.
"Udahan ah Mas gombalnya, nanti bisa-bisa aku terkena penyakit diabetes karena mendengar rayuan manis Mas Fahri terus setiap saat!" Ucap Nabila asal yang seketika sukses membuat Fahri tertawa keras. Sepertinya Fahri telah melupakan salah satu sifat Nabila. Ceplas-ceplos.
"Kamu makin lucu Dik!" Ucap Fahri di sisa tawanya seraya menggelengkan kepala. Suasana romantis yang telah ia bangun seketika ambyar. Jadilah sepanjang perjalanan mereka isi dengan bercanda. Tepatnya saling mengingatkan bagaimana sikap menyebalkan mereka berdua dulu. Saat masih berstatus sebagai guru dan murid.
***
Lima hari yang tersisa benar-benar Fahri manfaatkan untuk menemani istrinya. Entah itu hanya berkeliling ke pusat kota Jombang di malam hari lalu duduk berdua di tengah alun-alun kota untuk menikmati jagung bakar dan tentu saja es cappucino favorit Nabila. Bahkan Fahri sudah berhasil mengajari Nabila memasak. Olahan masakan sederhana yang bisa dengan cepat Nabila kuasai. Hal sederhana tapi menciptakan kebahagiaan yang luar biasa.
"Besok Mas Fahri sudah mulai ngampus ya?" Gumam Nabila yang kini tengah berada dalam pelukan Fahri. Mereka tengah menikmati waktu berdua di ruang tengah sambil menonton acara televisi.
"Iya Dik, kamu juga kan udah masuk," balas Fahri sembari memainkan rambut panjang Nabila dengan menggulung dengan jari-jarinya.
"Setiap hari kan kita juga pulang pergi kampus bareng. Masak udah kangen?" sambung Fahri lagi dengan menahan senyuman geli. Fahri justru sangat menyukai sikap manja Nabila seperti saat ini.
"Rasanya pengen libur aja terus! Malas ngampus!" Gerutu Nabila yang seketika mendapatkan cubitan di ujung hidungnya dari Fahri.
"Mas repot Dik nggak bisa nemanin kamu 24 jam lagi mulai besok. Yah klo besok kamu kosong bisa main ke ruangan Mas. Bantuin kerjaan Mas," terang Fahri pada istri kecilnya. Fahri selalu menyebut Nabila dengan sebutan istri kecilnya. Selain memang postur tubuh Nabila yang kecil, gadis itu memiliki wajah yang imut. Jadi misalkan Nabila mengaku jika ia masih usia remaja SMA pun tidak ada akan yang mengira jika gadis itu sudah menyandang status sebagai istri.
Dengan entengnya Fahri mengangkat tubuh Nabila ke atas pangkuannya. Kedua kakinya terbuka dengan posisi menghadap Fahri. Tangan Nabila terangkat, menelusuri garis wajah pria di hadapannya. Lalu berhenti di dagu berbulu tipis milik Fahri. Dengan menyeringai Fahri meraih jemari Nabila yang bermain-main di wajahnya. Ia kecup ujung jari itu satu persatu dengan tatapan mata mengarah pada bibir ranum milik Nabila.
Tak lepas dari wajah ayu di hadapannya, tangan Fahri terangkat membelai pipi Nabila lalu beralih ke belakang kepala gadis itu. Menekan tengkuk Nabila hingga kedua bibir mereka bertemu. Nabila masih terdiam saat bibir Fahri mulai melumat bibirnya dengan lembut. Mata Nabila perlahan terpejam saat merasakan kehangatan dan kenikmatan yang Fahri berikan padanya. Nabila selalu luluh setiap menerima perlakuan lembut Fahri. Membuat dirinya terlena dan candu. Sebuah rasa baru yang selalu hadir setiap kali mereka tengah memadu kasih.
Deru napas keduanya terdengar saling memburu kala ciuman itu menuntut balas dan meminta lebih. Fahri mengurai tautan bibir mereka sejenak untuk menghela oksigen. Ia tatap ke dalam sorot bola mata cantik yang tengah berkabut gairah di hadapannya. Fahri mulai membuka kancing baju Nabila satu persatu. Melepaskan dari lubangnya tanpa memutus kontak mata mereka. Pergulatan panas nan candu itu berakhir di atas sofa. Masih dengan sisa napasnya yang berkejaran setelah menyelesaikan percintaan panas itu Fahri segera memungut sarung yang tadi dikenakannya, menutup tubuh polosnya. Lalu memungut pakaian milik Nabila untuk menutup sebagian tubuh polos istrinya.
"Kita lanjut lagi di kamar!" bisik Fahri seraya mematikan televisi yang sedari tadi menjadi saksi percintaan mereka.
Malam itu mereka kembali mengulangi kegiatan panas dan mendebarkan itu di kamar.
***
Fahri menahan tangan Nabila yang hendak turun dari mobil. Menatap wajah istrinya yang semakin hari semakin bertambah cantik. Rasanya Fahri masih belum rela jika mereka harus berpisah. Berpisah hanya untuk sementara waktu karena pekerjaan yang telah menanti Fahri. Begitupun Nabila yang harus memasuki kelas di hari pertama semester 5.
"Apa Mas?" ujar Nabila menatap Fahri heran.
Pria itu tergelak seraya menyodorkan pipinya ke arah Nabila. "Dasar dosen mesum!" kesal Nabila tapi menuruti permintaan Fahri. Ia kecup pipi Fahri bergantian. Lalu tanpa Nabila duga Fahri menarik dagu Nabila dan berhasil mencuri kecupan di bibir wanita itu. Fahri segera turun dari mobil tak mengindahkan gerutuan istri kecilnya.
"Udah masuk kelas sana!" ucap Fahri sembari menyodorkan tangan kanannya untuk di cium Nabila, "Nanti begitu selesai kelas langsung keruangan Mas ya!" sambung Fahri lagi lalu segera meninggalkan Nabila.
Nabila menyusuri lorong kampus seraya mengedarkan pandangan mencari teman sekelasnya. Tak jauh dari sana tampak sahabat baiknya, Kalila sedang berjalan bersama Luluk, teman sekelasnya juga.
"Apa kabar kalian?" Pekik Nabila dengan kedua tangan memisahkan dua gadis yang tengah berjalan bersama itu. Nabila mengambil posisi di tengah dengan kedua tangannya mendarat di bahu kedua temannya tersebut.
"Wow... Pelanin dikit kenapa suaranya? Kita nggak budek tahu!" Kesal Luluk dengan tangan menutup telinga.
"Wah pengantin baru. Pasti bau sampho nih!" Goda Kalila sambil menghirup hijab Nabila yang memang beraroma sampo bahkan terlihat jilbab segiempat yang dikenakan Nabila terasa lembab karena rambut basahnya.
"Sirik aja kalian. Buruan deh nikah. Gue aja nyesel..." jeda Nabila dengan senyuman penuh arti. Kedua temannya itu menatap Nabila penuh perhatian.
"Iya aku menyesal kenapa nggak nikah dari dulu. Seru dan asyik!" Nabila tertawa keras yang langsung dibungkam tangan Kalila saat beberapa mahasiswa mulai memperhatikan mereka bertiga.
"Kagak ingat pas mewek-mewek dulu!" Gerutu Kalila yang tak diacuhkan oleh Nabila. Obrolan seru mereka bertiga berlanjut hingga sampai di depan kelas fakultas psikologi.
Fahri segera masuk ke dalam ruang khusus dekan. Setelah itu baru menyapa para rekan dosen lainnya di ruang sebelah ruangan dekan miliknya untuk sekedar beramah tamah setelah liburan semester.
"Pak Fahri ada dua dosen baru di fakultas kita semester ini," ujar Yunus salah satu rekan dosen yang juga teman sekelas Fahri saat menempuh pendidikan S1 dulu dengan senyuman tersirat.
"Iya saya tahu," balas Fahri dengan santai sembari mengambil posisi duduk di sofa sebelah Yunus. Pria itu mengambil air putih yang selalu tersedia di atas meja ruang dosen tersebut lalu meminumnya.
Alis Yunus saling bertaut melihat ekspresi Fahri. "Apa Pak Fahri belum melihat berkas biodata kedua dosen tersebut?" Tak bisa menahan rasa penasaran akhirnya Yunus kembali melontarkan pertanyaan.
"Pak Yunus ini gimana sih! Namanya juga pengantin baru, mana sempat mengecek data dosen baru," Goda Edi, rekan dosen lainnya.
"Assalamualaikum." Sebuah suara familiar menyapa indera pendengaran Fahri. Pria itu otomatis menoleh ke arah pintu masuk ruangan.
"Itu dosen barunya!" Yunus menyenggol lengan Fahri yang seketika membeku.
"Wa'alaikumsalam," jawab serempak seluruh dosen yang berada di dalam ruangan tersebut.
"Pak Fahri!" bisik Yunus lagi. Fahri segera berdeham lalu memasang ekspresi wajarnya.
"Mari masuk Bu Aqila!" sapa Bu Yesi dengan ramah seraya mempersilakan Aqila untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya.
Aqila Nafeeza Zahra, cinta pertama Fahri yang dengan tega meninggalkan dirinya di hari acara ijab kabul akan segera berlangsung. Mempermalukan Fahri dan keluarga besarnya 8 tahun lalu hanya demi kembali dengan mantan kekasih wanita itu.
"Silahkan masuk Bu Aqila, semoga betah di sini!" Sapa Fahri ramah dengan sebisa mungkin mempertahankan ekspresi wajahnya. Fahri segera pamit kepada rekan dosen yang berada di sebelahnya untuk segera kembali ke ruangannya. Ia butuh waktu sendiri sekarang. Ia butuh ruang dan waktu untuk menenangkan debaran jantungnya yang kembali bergejolak saat bertemu wanita dari masa lalunya.
*****
12 : NABILA DAN AQILA
Tak ada yang perlu disesali dari sebuah pertemuan karena sesungguhnya perpisahan akan selalu menjadi sebuah pilihan. Kita cukup mengenang tanpa melibatkan perasaan karena takdir kebersamaan kita hanya sebatas persimpangan jalan.
***
"Astaghfirullahal'adzim," sebut Fahri berulang kali dalam hati.
Pria itu terduduk pasrah di kursi kerja miliknya. Pertemuan tak terduga selama 8 tahun berpisah membuat dirinya tidak siap sama sekali. Kehadiran Aqila yang secara tiba-tiba itu bagai belati tajam yang menguliti semua kenangan bersama perempuan itu. Fahri tak pernah menyangka disaat kebahagiaan baru saja direguknya bersama sang istri ia harus dihadapkan pada kenyataan pahit dari kisah masa lalunya.
Glek glek glek... Fahri meneguk dengan cepat air mineral botol di atas mejanya hingga menyisakan separuh. Membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering kerontang. Lalu ia segera membuka layar pipih di hadapannya. Menyibukkan diri agar melupakan semua kenangan bersama Aqila yang mulai berputar ulang di otaknya tanpa dimintanya. Selagi menunggu progres laptopnya menyala Fahri mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana lalu membuka kunci layar. Foto mesra dirinya bersama Nabila terpampang di sana. Ia belai wajah Nabila seraya mengingat waktu yang telah mereka lalui bersama. Fahri hanya memastikan jika Nabila lah yang kini bertahta di hatinya. Bukan Aqila, perempuan tak berperasaan yang tega meninggalkan dirinya di hari pernikahan mereka.
Jemari Fahri mulai membuka aplikasi WhatsApp lalu menuliskan sebaris kalimat manis untuk sang istri tercinta. Tak lama sebuah pesan balasan diterimanya.
"Miss you to My Hubby."
Seketika senyuman tipis tersamar di wajah tampannya seraya meletakkan ponsel di atas meja. Ia mulai membuka folder, lalu mengklik salah satu file penting, memilih pekerjaan mana yang akan ia dahulukan. Saking seriusnya, Fahri tak menyadari jika waktu sudah berlalu begitu saja hingga suara ketuk pintu mengusik indera pendengarannya. Fahri menilik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan hampir waktu dzuhur. Lalu dengan lantang ia mempersilakan masuk seseorang yang sedang mengetuk pintu ruangannya.
"Silahkan masuk!" Ujar Fahri tanpa mengalihkan fokus pada layar laptop di hadapannya. Fahri benar-benar serius karena ingin segera menyelesaikan pekerjaan dan pulang lebih awal bersama Nabila. Tadi Nabila sudah mengatakan jika kelasnya akan berakhir sekitar jam 11 siang tapi perempuan itu juga pamit ingin berkumpul sebentar bersama teman-temannya sebelum pulang. Jadi Fahri memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya hingga Nabila datang.
Srekk... Suara decit kaki kursi di seberang meja masih tak berhasil mengalihkan perhatian Fahri dari laptopnya.
"Maaf, permisi! Apa boleh saya bicara sebentar?" Sapa perempuan itu dengan ramah, perempuan yang tadi pagi sempat mengusik hatinya.
Bagai bom molotov, jantung Fahri seketika berdebum keras saat melihat siapa yang tengah duduk di hadapannya. Perempuan yang tadi pagi sempat membuat hatinya kacau balau dan sekarang perempuan itu dengan seenaknya tersenyum manis padanya.
Jemari Fahri yang sedari tadi menari dengan lincah di atas keyboard seketika terhenti. Pria itu membeku di tempat. Tampak Fahri menghela napas panjang lalu menahannya sejenak di dada sebelum memberikan jawaban.
"Silahkan Bu Aqila, apa yang bisa saya bantu?" Fahri mengulas sebuah senyuman. Ekspresi wajar yang biasa Fahri tunjukkan pada rekan sesama dosen.
Aqila tersenyum seraya menelisik penampilan fisik Fahri yang semakin terlihat tampan dan berkharisma. Seperti dulu, laki-laki itu selalu berhasil membuatnya terpesona. Ternyata 8 tahun berpisah tak membuat perasaan Aqila pada laki-laki itu berubah. Aqila masih mencintai Fahri dengan porsi yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Bahkan pagi tadi Aqila seolah memiliki semangat baru saat mengetahui jika dekan fakultas PAI adalah Fahri. Yang artinya ia akan bertemu Fahri setiap hari.
Ehem... Fahri berdeham untuk mengusir rasa asing yang mendadak menguasai ruangan berukuran 3X3 m bernuansa biru putih tersebut.
"Maafkan aku Fahri!" Lirih Aqila tanpa memutus kontak mata mereka. Terlihat Fahri tersentak mendengar ucapan maaf Aqila. Ucapan wanita itu terdengar lucu dan sarkas di telinga Fahri. Delapan tahun menghilang tanpa kabar dan kini mendadak datang untuk meminta maaf.
"Maaf Bu Aqila, jika hal yang akan Anda bicarakan adalah menyangkut urusan pribadi, saya mohon maaf. Ini di kantor, tidak sepantasnya Anda mengatakan hal tersebut," tegas Fahri masih menatap tajam perempuan cantik dengan style modern tersebut. Penampilan perempuan itu memang sejak dulu terkenal fashionable dalam setiap kesempatan, pun saat ini. Usia matang membuat perempuan di hadapannya semakin terlihat cantik dan menawan. Mendadak sepasang netra milik Aqila terlihat berkaca-kaca. Tidak ada lagi tatapan lembut dan penuh cinta dari sepasang iris hitam milik Fahri kepadanya. Untuk menahan desakan air mata yang hendak bergulir Aqila segera mengerjapkan mata secara berulang. Tak seharusnya ia mempermalukan diri sendiri di hadapan laki-laki yang jelas-jelas sangat membencinya.
"Silahkan ke....."
"Aku minta maaf atas perbuatan bodohku dulu. Aku berharap masih ada pintu maaf darimu Fahri!" Potong Aqila masih memaksakan diri untuk mengungkapkan maksud kedatangannya. Fahri adalah salah satu alasan dirinya mau menerima tawaran menjadi dosen di kampus ini.
"Silahkan ke luar dari ruangan saya sekarang!" usir Fahri. Pria itu menggeser kursinya ke belakang lantas berdiri mempersilakan Aqila ke luar dari ruangannya.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi aku mohon Fahri beri aku kesempatan sekali ini saja untuk memperbaiki kesalahanku dulu," sambung Aqila sembari berdiri dari tempat duduknya. "Aku sudah bercerai dari Raffi," jujur Aqila yang tetap tak mengubah pendirian Fahri. Bagi Fahri semuanya telah berakhir di mana Aqila pergi bersama mantan kekasihnya di hari pernikahan mereka.
Di balik pintu yang sedikit terbuka itu Nabila berdiri mematung. Nabila bisa mendengar dengan jelas perbincangan suaminya dengan perempuan yang Nabila tebak sebagai mantan kekasih Fahri.
Nabila segera menggelengkan kepala kala pikiran negatif mulai memenuhi benaknya. Nabila sadar, dirinya pun memiliki masa lalu yang sama. Pernah merasakan jatuh cinta pada laki-laki lain. Bahkan hingga detik ini Nabila masih belum mampu melupakan Ezhar sepenuhnya.
"Assalamualaikum," ucap Nabila dengan senyuman terkembang, dengan kedua tangan memegang tas selempang yang dikenakannya Nabila berdiri di ambang pintu.
Hening untuk beberapa detik.
"Maaf, apa saya mengganggu?" sambung Nabila karena tak ada jawaban dari kedua orang di hadapannya. Tubuh Fahri seketika membeku sedangkan Aqila tampak biasa saja. Perempuan itu hendak berbicara tapi Fahri segera tersadar.
"Wa'alaikumsalam, sini masuk Sayang, kebetulan sekali kamu datang," ucap Fahri lalu melangkahkan kaki mendekati Nabila.
"Perkenalkan ini Bu Aqila dosen baru di fakultas PAI. Beliau juga alumni sini. Adik tingkat Mas Fahri dulu," terang Fahri sembari merangkul bahu Nabila lalu menuntunnya mendekat ke tempat Aqila berdiri.
Aqila masih mematung. Pandangannya tak lepas dari sikap lembut Fahri pada mahasiswi di hadapannya sembari mencerna tiap ucapan Fahri pada gadis itu.
"Perkenalkan ini istri saya, Nabila!"
"Istri," gumam Aqila dengan kedua kakinya yang mendadak terasa lemas. Netra Aqila menelisik penampilan sederhana gadis muda di hadapannya. Aqila tak menyangka Fahri bisa menikahi gadis yang menurutnya masih terlalu muda untuk Fahri.
"Saya Nabila!" Nabila mengulurkan tangan pada Aqila yang masih tak percaya dengan kenyataan yang ada di depan mata. Bukankah baru 4 bulan lalu ia mendapatkan informasi dari sahabatnya jika Fahri masih sendiri. Tapi mengapa tiba-tiba Fahri mengakui mahasiswi di hadapan mereka sebagai istrinya?.
"Eh iya. Perkenalkan saya Aqila!" Aqila segera menerima jabatan tangan Nabila lalu segera pamit dan ke luar dari ruangan Fahri dengan cepat.
Fahri menatap kepergian Aqila dengan sorot tak terbaca dan semuanya itu tak luput dari perhatian Nabila.
Bukan Nabila namanya jika memilih diam dan menyimpan sendiri semua rasa penasarannya. Perempuan itu langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Fahri tercengang.
"Bu Aqila itu mantan kekasih Mas Fahri ya?" ucap Nabila dengan santainya sedangkan Fahri yang masih menatap arah kepergian Aqila seketika terdiam, Fahri berdeham lalu menatap layar laptop yang hendak dimatikannya. Setelah memastikan laptop off Fahri beralih menatap Nabila. Ada senyuman menggoda di sana. Bukan senyuman sinis atau ekspresi marah layaknya seorang isteri cemburu saat melihat suaminya bersama sang mantan.
"Ih berarti bener kan tebakanku? Cantik banget mantan kekasih Mas Fahri!" Puji Nabila yang semakin membuat Fahri bingung.
"Mas Fahri santai aja, aku nggak bakal cemburu kok. Lagian aku yakin Maz Fahri sekarang cintanya ma aku aja!" sambung Nabila lagi. Kali ini Fahri tak tinggal diam. Laki-laki itu meraih tubuh Nabila lalu memeluknya erat.
"Terima kasih kamu udah percaya sama Mas. Mas Fahri janji tidak akan pernah menyakiti hati kamu," bisik Fahri bangga dengan istri kecilnya. Fahri tak menyangka jika Nabila bisa bersikap dewasa.
"Ayo pulang Mas, aku lapar nih!" Protes Nabila karena pelukan Fahri yang semakin mengerat.
"Ok." Fahri segera mengurai pelukannya lalu menutup layar laptop dan memasukkan ke dalam tas miliknya.
Sepanjang perjalanan pulang Fahri hanya bisa menahan senyuman geli. Semua di luar ekspektasinya. Padahal Fahri yakin tadi obrolan dirinya dan Aqila pasti telah didengar oleh istri kecilnya tersebut mengingat jam kelas Nabila berakhir bersamaan dengan kedatangan Aqila ke ruangannya.
Fahri melirik Nabila yang tengah asyik menirukan lirik lagu-lagu lawas milik band Kahitna, Soulmate dengan lancar. Fahri baru tahu jika suara Nabila begitu merdu.
"Dik kamu kok hapal lagu-lagu lawas ini?" ujar Fahri dengan heran karena dari album lagu milik Kahitna tak satupun yang tak dihapal oleh istri kecilnya tersebut.
"Siapa dulu. Nabila! Lagu siapa yang nggak aku hapal." Bangga Nabila lalu kembali mengikuti lirik lagu yang sedang mengalun.
"Oh jadi selama ini yang dihapal cuma lagu-lagu? Pantesan setiap pelajaran Mas kamu nggak pernah lancar hapalan," kekeh Fahri lalu mengusap puncak kepala Nabila dengan gemas.
Kedua bola mata Nabila seketika melebar mendengar sindiran Fahri. Namun laki-laki itu tak acuh dengan tatapan kesal istri kecilnya. Masih dalam pandangan fokus menyetir Fahri tergelak. Semakin hari sikap Nabila semakin terlihat menggemaskan. Tak lama mobil Honda Jazz berwarna silver itu memasuki halaman luas sebuah rumah minimalis bercat putih berpadu silver yang baru mereka tempati 4 hari yang lalu. Rumah dari hasil tabungan Fahri selama mengajar. Untuk furniture dan seluruh isi rumah, kedua orang tua mereka lah yang sepakat mengisinya sebagai hadiah pernikahan. Dan mobil Honda Jazz RS silver yang masih mereka tumpangi itu adalah salah satu hadiah dari keluarga Fahri.
"Kita masak apa ya Mas siang ini?" Oceh Nabila saat mereka sudah berada di dalam rumah. Fahri meletakkan tas ransel miliknya di atas meja lalu meraih pinggang ramping Nabila. Dibawanya duduk tubuh kecil itu ke atas pangkuannya.
"Mas mau menu yang berbeda," lirih Fahri dengan senyuman menyeringai yang sudah Nabila hapal. Dengan cepat Nabila menggelengkan kepala lalu mengelus perutnya mencoba mengalihkan keinginan Fahri. Namun, Fahri justru tergelak lantas menggendong tubuh kecil Nabila menuju kamar mereka tanpa mengindahkan rengekan tak jelas perempuan itu. Lalu menenggelamkan ocehan Nabila dengan bibirnya hingga wanita itu benar-benar bungkam dalam buaian.
*****
13 : BEST FRIEND
Untukmu yang harus kulepas
Luka telah mengajarkan aku tentang ikhlas
Rindu dan cinta ini biarlah terhempas
Bersama lara yang abadi membekas
***
Jakarta, 20.40 WIB
Seperti malam-malam sebelumya Ezhar akan merenungkan segala hal yang terjadi padanya sebelum beranjak tidur. Melupakan Nabila adalah suatu kemustahilan. Hatinya telah tertawan oleh gadis berbadan mungil yang telah mengingkari janji mereka tersebut. Ezhar ingin belajar membenci gadis itu demi mengobati luka di hatinya. Tapi Ezhar tak sanggup melakukannya. Semakin membenci, rasa cintanya justru semakin bertambah berkali-kali lipat.
Tes... Buliran kristal jatuh di pipi Ezhar. Seketika purnama di hadapannya tampak mengabur. Cahaya terang itu tersamar oleh buliran kristal yang mulai berjatuhan bersama kawanannya. Tubuh Ezhar meluruh ke lantai. Tangisannya pecah untuk kesekian kalinya setelah kunjungannya dari kota Jombang. Tangan Ezhar mengepal kuat lalu terangkat, dengan keras kepalan tangan itu memukul dadanya secara berulang demi meredam rasa sakit yang tak terkira di sana. Mengapa hanya karena cinta dirinya begitu lemah? Mengapa hanya karena gadis tomboy itu hidupnya terasa kosong? Nabila adalah tujuannya. Lantas sanggupkah Ezhar bahagia sedangkan tujuan hidupnya telah sirna bersama dengan pengkhianatan gadis itu?.
"Nabila aku tidak akan pernah sanggup membencimu, rasa sakit ini sungguh menyiksaku. Tolong bebaskan hatiku yang telah tertawan olehmu. Tahukah kamu betapa hancurnya aku dengan pengkhianatanmu? Aku sakit Nabila, aku sakit...." rintih Ezhar dengan air mata yang terus menderas.
"Ya Allah salahkah hamba karena mencintai hamba-Mu sedalam ini? Jika hamba boleh meminta pada-Mu maka kembalikan Nabila pada hamba," adu Ezhar dengan hatinya yang pedih.
Cukup lama Ezhar menangis hingga pada akhirnya menyerah. Ezhar bangkit lalu masuk ke dalam kamar. Dengan tangan bergetar ia membuka laci nakas, mengambil rokok yang dibelinya sepulang dari kuliah tadi. Satu batang ia loloskan dari wadahnya lalu memantik api. Ezhar mulai menghisap batang rokok itu dengan memejamkan mata. Menikmati ketika rasa hangat yang menjalari kerongkongannya. Berharap barang berbahan dasar tembakau itu mampu menenangkan pikirannya. Sudah hampir dua minggu ini Ezhar mulai kecanduan merokok. Padahal sebelumnya Ezhar tidak pernah menyentuh barang berbahaya itu sedikit pun. Nasihat dari Mama dan Papanya pun tak diindahkan lagi oleh Ezhar. Saat ini Ezhar hanya membutuhkan waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya. Menyingkirkan semua tentang Nabila dari setiap sendi kehidupannya.
****
Jombang, 09.30 WIB
Flashback On....
"Ezhar besok nonton yuk? Ada film horor baru nih," ajak Nabila pada Ezhar. Saat ini mereka berempat tengah berada di kantin sekolah. Menikmati semangkuk mie ayam beserta es teh manis favorit mereka.
"Ogah ah, klo film action aku mau," balas Ezhar dengan santai yang langsung disetujui oleh Lufti dan Kalila.
"Mumpung besok tanggal merah nasional," rajuk Nabila dengan kesal. "Ya udah deh klo kalian nggak mau aku berangkat sendirian aja," sambung Nabila dengan ekspresi memelas agar ketiga sahabatnya mau menemaninya.
"Yakin?" sahut Kalila dengan tersenyum geli. Sahabatnya satu ini memang lucu dan unik. Penakut tapi sukanya mengajak nonton film horor.
Nabila mendelik lantas membalas, "Yakin lah, kali aja nanti di bioskop aku nemu pacar ganteng. Pokoknya Lutfi dan Ezhar lewat!" balas Nabila yang sukses mengundang tawa ketiga sahabatnya berderai.
"Ajakin Pak Hisyam aja Bil, kan beliau suka tuh sama kamu, pasti nggak bakal nolak," goda Ezhar di sela-sela tawanya.
"Asemm... Kalian semua, nggak asyik ah," umpat Nabila kesal. "Udah jangan ngomongin beliau, kasihan entar pas makan kesedak-sedak," sambung Nabila. Sejak gosip Pak Hisyam, kepala laboratorium IPA menyukai dirinya tersebar di sekolahan Nabila selalu menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya terutama ketiga sahabatnya Kalila, Ezhar, dan Lufti.
"Maaf ye aku nggak suka yang tua-tua, daripada sama Pak Hisyam mending sama kamu Fi," ucap Nabila lagi seraya menatap Lutfi yang langsung tersedak makanan.
Lutfi langsung meraih gelas minuman di hadapannya dan langsung menenggaknya dengan cepat. Sejenak Lutfi menatap Ezhar dengan penuh makna. Sebagai sahabat tentu saja Lutfi tahu perasaan Ezhar terhadap Nabila seperti apa.
"Mana ada cowok yang mau sama cewek geje alias nggak jelas kayak kamu kecuali aku Nabila," sela Ezhar dengan santai seraya menikmati berbagai ekspresi Nabila yang selalu direkamnya dalam ingatan. Kelak ekspresi itu pasti akan selalu Ezhar rindukan.
"Isshhh, PD amat, ogah aku punya pacar suka gombal kayak kamu Ezhar, noh udah berapa cewek yang kamu gantungin, kasihan tuh anak orang. Kamu ambil satu gih!" tukas Nabila dengan cepat.
Kembali tawa Ezhar berderai. Refleks tangan Ezhar terulur lalu mengacak puncak jilbab putih Nabila dengan gemas.
Flashback off....
"Bil... Nabila... " panggil Kalila yang tetap tak berhasil mengusik lamunan Nabila.
"Woi! Sadar woi!" Pekik Kalila hingga Nabila tersadar.
"Apaan sih kamu La," kesal Nabila sembari memukul bahu Kalila dengan keras. Sontak Kalila memegangi bahunya yang terasa sakit karena pukulan Nabila yang benar-benar keras.
Tiba-tiba Kalila menyeringai. Senyuman menjengkelkan itu mengurai di wajah manis Kalila.
"Aku tahu aku tahu, pasti kamu lagi ngelamunin sang mantan yang saat ini nan jauh di sana kan?" tebak Kalila dengan jari menunjuk ke arah wajah Nabila. Sontak Nabila menarik tangan Kalila untuk berdiri. Meninggalkan kantin kampus dengan cepat sebelum ada yang mendengar obrolan absurd mereka.
Langkah mereka terhenti di salah satu deretan kursi kampus yang tampak sepi.
"Aku pengen ngomong serius sebentar," ucap Nabila seraya menekan kedua bahu Kalila untuk duduk secara paksa.
"Apa?" tanya Kalila dengan ekspresi menyebalkan.
"Apa Ezhar masih sering menghubungimu?" pertanyaan Nabila sukses melenyapkan ekspresi menyebalkan gadis itu.
Kalila menggaruk kepalanya yang terhalang jilbab. Bibirnya melengkungkan senyuman getir dan hambar.
"Kamu mau aku jawab jujur atau bohong?" tukas Kalila dengan ekspresi serius. Sejujurnya menjadi Kalila itu sangat berat. Dirinya berada di tengah-tengah antara Nabila dan Ezhar. Kedua sahabat yang sangat disayanginya.
"Jujur dong!" kesal Nabila karena Kalila terkesan bertele-tele.
"Masih, kita masih sering berkomunikasi dengan baik," balas Kalila menuruti permintaan Nabila meskipun Kalila yakin setelah dirinya berkata jujur Nabila akan kembali bersedih.
Nabila mengubah posisinya dari yang menghadap ke arah Kalila kini menjadi menatap lurus ke depan. Seketika mata Nabila berkaca-kaca kala mengingat pertemuan terakhir mereka. Tatapan terluka itu begitu melekat dalam ingatan Nabila. Bagaimana dirinya menghancurkan harapan dan janji yang mereka berdua sepakati saat kelulusan sekolah dulu.
"Semua ini nggak mudah buat aku La," lirih Nabila merasakan sesak di dada. Dirinya memang sudah membuka hati untuk Fahri dan sedang belajar mencintai suaminya dengan sepenuh hati. Tapi untuk melupakan kenangan bersama Ezhar tentu tak mudah baginya. Biar bagaimana pun Ezhar adalah laki-laki pertama yang pernah singgah di hatinya.
Kalila menggenggam tangan Nabila dengan perasaan sedih. Ingin sekali Kalila menolong sahabatnya tersebut tapi dirinya pun tak berdaya. Semalam Ezhar juga curhat padanya. Lalu apa yang bisa Kalila lakukan selain memberikan support dan doa pada kedua sahabatnya yang sedang patah hati tersebut. Andai Kalila mampu kembali ke masa lalu tentu Kalila akan mencegah Ezhar pergi agar mereka bisa bersama. Tapi Kalila bisa apa jika semua sudah tertulis dalam suratan takdir.
"Terkadang tiba-tiba saja aku teringat Ezhar. Tak jarang juga dia hadir dalam mimpiku La, aku sangat jahat karena tega menyakitinya," ungkap Nabila sembari menahan desakan air mata yang hampir saja terjatuh. "Aku telah berdosa La. Mengkhianati hati Ezhar dan Mas Fahri sekaligus." Luruh sudah air mata Nabila dengan pengakuannya.
Kalila memeluk Nabila dengan erat. Bibirnya terkunci, tak mampu lagi untuk berkata-kata. Hanya itu yang saat ini bisa Kalila lakukan. Memberikan pelukannya untuk sekadar meringankan beban di hati Nabila.
"Nabila kita harus pergi, masih ada satu kelas lagi kita," bisik Kalila sembari mengusap bahu Nabila.
Gegas Nabila mengusap wajahnya dengan tisu lalu mengerjapkan mata untuk menghentikan laju air matanya yang seolah enggan untuk berhenti.
"Aku jelek kan?" Keluh Nabila saat melihat wajahnya dalam cermin bedak yang saat ini dipegangnya.
"Cepet deh beresin itu wajah. Aku nggak mau nanti Pak Fahri nuduh aku ngapa-ngapain kamu," gerutu Kalila lantas beranjak dari tempat duduknya.
Nabila mendengus sebal lalu segera memasukkan kembali cermin itu ke dalam tas setelah memoles sedikit wajahnya dengan bedak untuk menyamarkan bekas air mata di wajahnya.
Mereka berjalan menuju kelas bersama. Namun langkah Nabila segera melambat saat tanpa sengaja berpapasan dengan Aqila, perempuan yang Nabila ketahui sebagai mantan kekasih Fahri. Kalila yang memang tidak mengenal Aqila sama sekali tampak cuek. Menyadari langkah Nabila yang tertinggal darinya Kalila segera menarik lengan sahabatnya agar kembali berjalan beriringan.
Tanpa Kalila sadari Nabila sedikit menundukkan kepala sembari tersenyum menyapa Aqila dengan ramah. Biar bagaimana pun Aqila adalah dosen di kampusnya. Jadi sudah sewajarnya Nabila tetap bersikap santun seperti yang telah diajarkan oleh kedua orang tua. Namun Aqila bersikap sebaliknya. Perempuan itu tak mengacuhkan sapaan Nabila.
Nabila membuang napas kasar. Menyadari jika perempuan itu memang tidak menyukai dirinya. Nabila berharap kehadiran Aqila tidak akan menjadi pengganggu dalam rumah tangganya mengingat kemarin perempuan itu dengan terang-terangan mengatakan pada Fahri ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Seandainya kemarin Nabila tidak datang tepat waktu mungkin perempuan itu akan terus mengiba pada Fahri untuk berbaikan.
Setibanya di kelas mereka langsung duduk bersebelahan. Tak lama dosen pengampu mata kuliah datang dan kelas dimulai. Selama proses pembelajaran Nabila lebih banyak merenung. Tentu semua masalah yang datang secara bertubi-tubi padanya begitu berat bagi perempuan berusia 20 tahun tersebut. Usia yang seharusnya ia lalui dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan bersama teman-temannya. Tapi Nabila justru harus belajar lebih dewasa dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang baru dibangunnya bersama Fahri.
"Awas kesambet jin!" ucap Kalila di telinga Nabila dengan suara keras. Sontak tubuh Nabila terlonjak dan spontan memukul bahu Kalila dengan buku tulisnya.
"Ya Allah, sakit tahu," keluh Kalila seraya mengusap bahunya yang terasa sakit.
"Bodoh amat! Lagian jadi temen resek banget. Bikin kaget orang aja," kesal Nabila lalu memasukkan peralatan belajarnya ke dalam tas.
Tiba-tiba mata Nabila melotot saat menyadari jika kelas sudah dalam kondisi sepi. Hanya tersisa empat mahasiswa termasuk dirinya di dalam kelas.
"La yang lain ke mana? Kok kelas udah sepi?" Pertanyaan konyol itu terlontar begitu saja dari bibir Nabila dengan ekspresi innocent.
"Pergi ke planet Mars," balas Kalila dengan asal lalu segera melangkah ke luar dari kelas. Meninggalkan Nabila yang masih kebingungan.
*****
14 : PACAR HALAL
"Mas refreshing yuk?" ajak Nabila yang saat ini bersandar di dada Fahri.
"Kemana?" tanya Fahri balik seraya menatap Nabila sekilas lalu kembali menonton berita di televisi. Jemari Fahri juga masih tetap sibuk memainkan rambut panjang Nabila yang terurai.
"Ke alon-alon aja yuk?" tawar Nabila lalu mengangkat wajahnya. Menatap wajah tampan Fahri yang masih serius dengan acara televisi yang ditontonnya.
"Ok, tapi kita sholat isya' dulu ya? Nanggung setengah jam lagi udah adzan isya'," balas Fahri sambil menatap Nabila dengan tersenyum. Nabila menganggukkan kepala lalu beranjak dari pelukan Fahri. Menatap suaminya dengan perasaan ragu. Sejujurnya Nabila masih penasaran seberapa serius hubungan antara suaminya dengan Aqila dulu.
Pertemuan dirinya dengan Aqila tadi siang menyisakan rasa janggal di hati Nabila. Apalagi saat mengingat usia Fahri saat ini yang sudah lebih dari kepala tiga. Nabila yakin Fahri menikahi dirinya dulu juga karena terpaksa seperti dirinya. Memang semua itu sudah tidak penting lagi sekarang karena mereka telah disatukan oleh ikatan suci pernikahan. Tapi mendapatkan tatapan dingin dan sikap tak acuh Aqila membuat Nabila merasa tak tenang.
"Mas aku boleh nanya sesuatu nggak?" ucap Nabila seraya menatap Fahri dengan sorot tak terbaca.
"Nanya aja, selagi bisa jawab pasti Mas jawab," balas Fahri lalu membawa tubuh Nabila kembali ke dalam pelukannya.
"Mmm... Tadi siang aku berpapasan dengan Bu Aqila di dekat perpustakaan kampus," jujur Nabila yang tetap tak berhasil mengusik keseriusan Fahri pada layar televisi di hadapannya.
"Emang kenapa klo ketemu Bu Aqila?" Fahri melayangkan pertanyaan balik dengan sikap tak acuh.
"Masak aku sapa, Bu Aqila_nya cuek aja. Kayak nggak kenal aku gitu Mas," jujur Nabila yang seketika berhasil membuat Fahri mengubah posisi duduknya. Laki-laki itu mematikan saluran televisi lalu mengurai pelukan.
"Nggak boleh su'udzon Sayang, mungkin Bu Aqila nggak lihat kamu tadi," balas Fahri yang kini tengah memegangi kedua bahu Nabila. Sepasang mata sayu itu menatap ke dalam mata Nabila dengan sorot penuh cinta. Bibir yang selalu berkata lembut dan menenangkan itu juga melukiskan sebuah senyuman tulus yang siapapun melihatnya pasti akan meleleh dibuatnya.
"Nggak lihat gimana sih Mas, wong kita berpapasan deket banget kok. Udah rabun kali itu mata. Sayang cantik-cantik eh udah rabun aja itu mata," seloroh Nabila dengan asal.
"Huss nggak boleh ngomong jelek gitu! Ucapan adalah doa. Jadi kita nggak boleh ngomong yang buruk-buruk Sayang," tegur Fahri sembari meletakkan jari telunjuknya di ujung bibir Nabila.
"Udah nggak usah ngomongin lagi hal-hal yang nggak penting kayak gitu, pokoknya Mas cinta sama kamu Dek. Titik!" tegas Fahri yang langsung membuat bibir Nabila berdecak.
"Abisnya bikin kesel aja. Awas aja klo sampe ketemu lagi nggak bakalan aku sapa lagi," kesal Nabila setelah menyingkirkan jari telunjuk Fahri dari bibirnya.
Tawa Fahri berderai lalu mencubit ujung hidung Nabila dengan gemas. Tak hanya Nabila saja yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Aqila tapi dirinya juga. Bukan karena Fahri masih mencintai perempuan itu tapi karena Fahri khawatir dengan Nabila. Istrinya itu masih terlalu lugu dan polos untuk mengerti semua itu. Betapa memang tak semudah membalikkan telapak tangan untuk melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya. Mungkin Nabila dan Ezhar hanyalah kisah cinta anak remaja biasa tapi dirinya dan Aqila jauh berbeda. Aqila mengkhianati cintanya di saat Fahri telah memberikan seluruh hatinya.
Lantas Fahri menarik tangan Nabila untuk berdiri. Mengajak istrinya tersebut untuk salat berjamaah lalu berkencan layaknya anak muda. Meskipun Fahri tidak terlalu suka berada di tempat keramaian tapi demi istri kecilnya itu Fahri rela jika harus menuruti semua keinginannya.
Selepas waktu salat isya' Fahri dan Nabila bersiap ke luar rumah. Fahri juga harus menuruti permintaan Nabila untuk mengendarai motor. Fahri tentu tidak keberatan, hanya saja Fahri khawatir jika tiba-tiba turun hujan. Apalagi saat ini memang sedang musim penghujan.
"Klo mau naik motor kamu harus pakai jaket dulu Dek!" ucap Fahri lalu hendak masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil jaket.
"Nggak usah Mas, kan ada Mas Fahri yang nanti bisa ngangetin aku," celetuk Nabila yang hanya ditanggapi gelengan kepala oleh Fahri. Semakin ke sini tingkah laku Nabila semakin menggemaskan, mau tidak mau Fahri pun harus mengimbanginya.
"Kamu ini bisa aja Dek, ya udah klo gitu. Tapi Mas ambil jaket Mas dulu," pamit Fahri lalu bergegas masuk.
Sembari berjalan Fahri mengenakan jaketnya. Fahri mengeluarkan motornya dari garasi lalu mengambil helm milik mereka berdua. Dengan hati-hati Fahri memakaikan helm di kepala Nabila. Jika perempuan pada umumnya akan merona karena perlakuan manis dari laki-laki yang dicintainya, tapi bagi Nabila itu adalah hal wajar dan biasa. Perempuan itu hanya mengulas senyuman dan mengucapkan terima kasih padanya.
Tiba-tiba Fahri mengingat sosok Nabila saat masih duduk di bangku SMP dulu. Saat gadis itu masih menjadi siswinya. Mana pernah gadis itu merasa malu saat mendapatkan hukuman karena gagal menghafal ataupun tidak mengerjakan PR darinya, yang ada malah membuat Fahri semakin kesal. Siswi bandelnya itu justru berlagak layaknya artis yang berjalan di red karpet saat di suruh berdiri di depan kelas.
"Pegangan yang kenceng Sayang biar nggak jatuh!" ucap Fahri sembari menyalakan mesin motornya.
"Halah telat Mas," balas Nabila dengan santai tapi berhasil membuat kedua alis Fahri berkerut dalam.
"Maksudnya telat?" Fahri bertanya sambil menengok ke belakang.
"Kan aku udah jatuh ke dalam pelukan Mas Fahri. Jatuh cinta sama Mas Fahri juga," seloroh Nabila dengan wajah innocent -nya. Seketika tawa Fahri berderai sembari menggelengkan kepala lalu mulai menjalankan motornya.
Motor yang dikendarai Fahri berjalan dengan kecepatan sedang. Menikmati waktu bersama seperti saat ini tentu menjadi sesuatu yang spesial untuk mereka berdua. Kencan bersama pasangan halal pasti akan menjadi momentum yang tak pernah terlupakan.
Fahri menggenggam jemari Nabila yang kini melingkari perutnya dengan erat. Pun dengan Nabila yang saat ini menyandarkan kepala di punggung Fahri dengan nyaman. Tak lama mereka sampai di tempat tujuan. Fahri segera memarkirkan motor lalu melepaskan helm di kepala Nabila terlebih dahulu sebelum melepaskan helmnya sendiri.
Melihat jilbab Nabila yang sedikit berantakan karena terkena helm yang baru dilepaskannya Fahri segera merapikannya kembali. Kemesraan mereka pun tak luput menjadi perhatian para pengunjung alon-alon yang kebetulan melihat. Bahkan tukang parkir yang seharusnya memberikan nomor pada Fahri pun memilih diam di tempatnya hingga sepasang pengantin baru itu pergi.
"Yuk ke sana Mas!" ajak Nabila sembari menarik tangan Fahri menuju tengah alon-alon yang lumayan penuh para pengunjung.
Fahri menurut saja saat Nabila membawanya ke arah penjual jagung bakar. Nabila segera memesan dua jagung dengan varian rasa manis pedas dan original lalu duduk di rerumputan untuk menunggu pesanan mereka matang. Nabila juga memesan dua teh poci untuk menemani acara kencan mereka malam ini.
Tak ingin merepotkan penjual jagung tadi Fahri lantas berdiri untuk mengambil sekaligus membayarnya. Pun dengan teh poci yang memang bersebelahan dengan gerobak penjual jagung bakar.
"Mas mau rasa yang mana?" tawar Nabila kepada Fahri untuk memilih dua varian rasa jagung bakar tersebut sambil mengeluarkan tisu dari dalam tas selempang yang dipakainya.
"Original aja." Fahri menerima jagung itu lalu mulai menikmatinya selagi masih panas.
Dengan senyuman merekah Fahri tak henti memandangi wajah cantik istrinya yang saat ini terlihat asyik memperhatikan anak-anak kecil yang sedang berlarian sambil mengunyah jagung bakarnya. Setelah menghabiskan jagung bakar miliknya Fahri segera membersihkan tangannya dengan tisu kemudian melepaskan jaket. Lalu memakaikan pada tubuh Nabila agar tidak kedinginan. Nabila menatap Fahri dengan tersenyum geli.
"Ternyata nggak hanya ada di cerita di novel aja adegan romantis seperti ini," gumam Nabila dalam hati.
"Dek pulang yuk, udah malam ini. Anginnya juga mulai kencang," ajak Fahri saat jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 10 malam. Nabila segera menggelengkan kepala sebagai penolakan karena dirinya masih ingin berlama-lama menikmati suasana malam di alon-alon kota Jombang.
Fahri menghela napas panjang lalu meraih kepala Nabila agar bersandar pada bahunya. Kini mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Fahri yang tengah muhasabah diri, mengingat semua hal yang telah ia lalui selama 35 tahun usianya sedangkan Nabila justru menengadah, menatap langit malam yang tengah bertabur gemintang. Bola mata cantik itu mengedar mencari bintang paling bersinar yang selama ini selalu menemaninya. Di sanalah Ezhar menetap dengan sinar paling terang di angkasa.
Nabila segera tersadar saat mengingat siapa laki-laki yang saat ini bersamanya lalu mengucapkan istighfar dalam hati secara berulang. Nabila bangkit lalu mengulurkan tangan, mengajak Fahri untuk pulang. Fahri tersenyum lantas turut berdiri.
Mereka berjalan bersama dengan tangan Fahri merangkul bahu Nabila. Pun dengan tangan Nabila yang melingkari pinggang suaminya tersebut. Sembari melangkah Nabila memikirkan Ezhar. Nabila yakin Ezhar masih belum mengikhlaskan dirinya hidup bahagia bersama Fahri. Itu terbukti dengan perasaannya yang selalu merasa tidak tenang dan dihantui rasa bersalah setiap waktu. Nabila menghela napas panjang demi memberikan ruang hampa di dalam dadanya yang terasa sesak. Nabila ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang Ezhar lagi.
Bug... Tiba-tiba seorang anak kecil menatap Fahri dan Nabila dari arah belakang. Sontak mereka berbalik badan yang secara otomatis berhasil mengurai pelukan mereka. Nabila segera menolong gadis kecil itu untuk kembali berdiri lalu membersihkan bajunya yang terlihat kotor terkena tanah.
"Duh sakit ya Dek? Hati-hati ya klo lari?" ucap Nabila yang saat ini berjongkok demi menyejajarkan dirinya dengan gadis kecil berusia sekitar 6 tahun tersebut.
"Di mana orang tua kamu?" Kini Fahri yang ganti bertanya sembari mengusap puncak kepala gadis kecil berkuncir dua tersebut dengan lembut.
"Ya Allah Manda!" pekik seorang perempuan dengan suara yang jelas-jelas terdengar panik. "Maafkan putri sa...," ucap perempuan itu dengan tercekat saat melihat Fahri dan Nabila.
Kini mata mereka bertiga saling bertemu. Tak ada satupun dari mereka yang berniat membuka kata terutama Nabila yang memang sudah tak berminat berhubungan dengan perempuan itu. Awalnya Nabila menganggap kehadiran perempuan itu tidak akan menjadi masalah. Tapi sejak pertemuan mereka tadi siang Nabila menjadi enggan menyapa perempuan itu lagi.
"Bu Aqila."
*****
15 : HARAPAN FAHRI
Jatuh cinta itu hanya perkara soal waktu. Bersabar menunggu atau membiarkannya berlalu.
***
Fahri hanya mampu mengunci bibirnya rapat saat Nabila terus saja menolak untuk berpegangan padanya. Sesekali Fahri melihat Nabila yang tengah memperhatikan jalanan raya dengan kedua tangan bersedekap di dada melalui kaca spion motor. Rasanya Fahri ingin sekali menambah laju kecepatan motornya agar segera sampai di rumah. Tapi Fahri tak mungkin melakukan itu karena khawatir Nabila akan jatuh. Jadi Fahri mencoba menahan diri untuk sementara waktu hingga sampai di rumah dan barulah akan berbicara secara baik-baik dengan istrinya yang sedang merajuk tersebut.
Pertemuan tanpa sengaja mereka dengan Aqila dan putrinya di alon-alon kota tadi menjadi masalah baru dalam hubungan mereka berdua. Fahri sendiri tak menyangka jika suasana romansa di antara mereka harus hancur hanya gara-gara pertemuan dengan perempuan dari masa lalunya.
Setibanya di rumah, Nabila langsung saja masuk meninggalkan Fahri begitu saja. Tapi Fahri tetap bersikap tenang agar tidak sampai terpancing emosi. Fahri turun dari motor lantas mengunci gerbang rumah dahulu barulah memasukkan motornya ke dalam garasi. Setelah melepaskan helm dan mengunci pintu garasi Fahri bergegas menyusul Nabila ke kamar mereka. Fahri mulai melepaskan pakaian dan menyisakan bokser serta kaos putih tipis tanpa lengan di tubuhnya saat mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Lalu duduk di tepian ranjang untuk menunggu Nabila ke luar. Mereka harus duduk bersama dengan tenang dan kepala dingin untuk mengurai semua kesalahpahaman.
Tak lama Nabila ke luar dari kamar mandi dengan pakaian dress rumahan panjang selutut bergambar doraemon. Fahri melangkah mendekati Nabila, sedikit menunduk seraya memegangi bahu Nabila dengan mengunci kedua mata indah itu yang terlihat menyiratkan sebuah amarah. Lantas kedua tangan Fahri menurun hingga berhenti di jari-jemari Nabila. Menggenggam jemari lentik itu dengan erat.
"Jangan marah dong Sayang!" bujuk Fahri tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari wajah cantik di hadapannya yang tengah merajuk karena cemburu.
"Udah Mas Fahri ngaku aja klo masih cinta kan sama Bu Aqila?" sinis Nabila sembari menghentak kedua tangan Fahri dari genggamannya. "Jangan-jangan di kampus kalian sering berduaan!" tuduh Nabila dengan tatapan tajam. Untuk pertama kalinya Fahri melihat istrinya dibutakan oleh amarah.
"Astagfirullah Sayang, kamu ini su'udzon terus sama orang," ucap Fahri dengan terkejut karena tuduhan Nabila yang menurutnya tak berdasar tersebut. Fahri menatap lekat Nabila lalu mengusap puncak kepala istrinya mencoba menenangkan.
"Aku nggak su'udzon Mas. Nyata-nyata anak kecil tadi mengenali Mas Fahri. Gitu bilangnya Mas Fahri udah nggak ada kontak dengan Bu Aqila hampir 8 tahun," cecar Nabila mengungkapkan semua isi hatinya. Jujur, Nabila tidak menyukai cara Aqila menatap suaminya. Apalagi perempuan itu seperti tidak memiliki rasa malu dengan memanfaatkan anak kandungnya sendiri untuk mencari simpati dari Fahri.
Andai Aqila berniat mengusik rumah tangganya tentu Nabila tidak akan tinggal diam. Dirinya bukan perempuan lemah yang rela suaminya direbut perempuan lain. Tapi jika suaminya sendiri yang memberikan celah Nabila bisa apa. Yang jelas Nabila tidak pernah menerima adanya poligami dalam rumah tangganya. Nabila paham jika dalam islam seorang laki-laki diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri dan sah meskipun tanpa seizin istri sebelumnya. Tapi Nabila tidak akan pernah menerima akan hal itu dengan alasan apapun.
"Dengerin aku ngomong dulu Sayang," balas Fahri dengan lembut. Jemari Fahri meraih rambut Nabila yang terlihat berantakan, menyelipkannya ke belakang telinga. Fahri merapikan rambut yang memang sengaja diikat asal oleh pemiliknya itu dengan lembut.
"Tidak, aku nggak mau denger apa-apa. Aku mau tidur, ngantuk!" kesal Nabila lalu bergegas naik ke atas ranjang. Namun belum sampai keinginan Nabila terpenuhi Fahri menarik tubuh mungil Nabila, membawa ke dalam pelukannya.
"Terima kasih karena kamu cemburu. Tapi Mas berbicara serius, Mas nggak pernah bertemu dengan Aqila selain di kampus. Mas juga baru pertama kali bertemu dengan putrinya tadi," terang Fahri lalu menghujani kecupan di puncak kepala Nabila dengan sayang.
Nabila mematung. Perkataan gadis kecil tadi benar-benar membuat emosi Nabila meledak. Bisa-bisanya gadis kecil itu mengatakan jika foto-foto Fahri banyak berada di dalam galeri ponsel ibunya. Ditambah gadis kecil itu juga mengatakan jika menginginkan Fahri menjadi ayahnya. Tentu saja Nabila murka seketika mendengar perkataan gadis polos itu sedangkan Aqila sendiri justru terlihat bersikap santai seolah membenarkan semua perkataan putrinya. Andai yang di sampingnya tadi bukan Fahri tentu kondisi Aqila sudah babak belur dibuatnya. Nabila hanya berusaha menjaga marwah suaminya di hadapan orang lain. Seorang suami ibarat pakaian bagi istrinya, pun sebaliknya. Jadi mana mungkin Nabila bersikap buruk yang menunjukan kegagalan seorang suami dalam mendidik istrinya. Karena istri adalah cerminan dari suaminya. Segera Nabila menghela napas panjang lalu menghembuskan dengan kasar mencoba meredam emosi yang telah menguasai dirinya.
"Dia hanyalah masa laluku. Sekarang kamulah masa depanku. Perempuan yang akan menemani hingga akhir hayatku. Aku benar-benar mencintaimu Nabila, percayalah tidak akan ada siapapun yang mampu mengubah perasaanku padamu," ucap Fahri dengan sunguh-sungguh. Seketika air mata Nabila meluncur bebas di pipinya. Ingin rasanya Nabila mendorong tubuh Fahri agar menjauh darinya. Tapi justru sebaliknya. Logikanya memerintahkan untuk melakukan itu tapi hatinya menyerah dengan begitu saja.
Tanpa sadar kedua tangan Nabila terulur lalu memeluk tubuh Fahri dengan erat. Isak tangis Nabila lolos tanpa mampu dicegah.
"Mas Fahri nggak bohong kan?" lirih Nabila yang seketika berhasil menerbitkan senyuman di bibir Fahri.
"Untuk apa aku bohong? Bagiku menikah itu hanya cukup satu kali. Aku hanya ingin kamulah yang akan menjadi bidadariku baik di dunia maupun di surga kelak Sayang," balas Fahri lalu mengurai pelukan.
Fahri menatap ke dalam kedua mata Nabila yang telah basah oleh air mata. "Percayalah, hanya kamu yang akan menemani di sisa usiaku," ucap Fahri lagi lalu menyekap air mata di pipi Nabila dengan ujung jarinya. Kemudian Fahri tersenyum, sedikit menundukkan tubuhnya untuk mengangkat tubuh Nabila.
Setelah membaringkan tubuh Nabila di atas ranjang Fahri segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri seperti yang biasa dilakukannya menjelang tidur. Tak lupa Fahri juga mengambil air wudhu barulah naik ke ranjang. Senyuman merekah di bibir Fahri saat mendapati Nabila yang tengah serius menatap layar pipih di tangannya. Jejak kesedihan tadi sepertinya sudah menghilang sekarang dan hanya menyisakan mata yang sedikit membengkak.
"Udahan maen HP_nya," ucap Fahri sembari meraih ponsel dari tangan Nabila yang seketika merengut. Mematikan sambungan internetnya lalu meletakkan di nakas.
Sejenak Fahri terdiam sembari membaca doa dalam hati lalu merebahkan tubuhnya di samping Nabila. Ia bawa tubuh mungil Nabila mendekat demi memupus jarak di antara mereka. Kini mereka dalam posisi saling berhadapan. Saling menatap dalam diam. Jemari Fahri mulai menelusuri wajah Nabila mulai dari kening lalu menurun dan berhenti tepat di bibir ranum miliknya. Seketika Nabila menelan saliva dengan keras. Debaran jantungnya pun mulai berkejaran saat mengerti makna tatapan Fahri padanya. Kegiatan yang sudah sering mereka lakukan tapi tetap saja membuat Nabila gugup setengah mati.
"Dek, Mas boleh minta?" pamit Fahri sebelum memberikan nafkah batin pada istrinya. Selama ini Fahri tidak pernah melakukannya tanpa seizin Nabila. Jadi meskipun Nabila menolak karena alasan capek setelah seharian beraktivitas ataupun alasan yang lain Fahri tidak pernah marah.
Warna merah muda seketika menyemai di pipi Nabila. Perasaan gugup pun terlukis jelas di wajah cantik itu sembari mengangguk. Fahri menyambutnya dengan senyuman merekah lalu meraih dagu Nabila, menatap sepasang mata cantik itu sebelum menyatukan bibir mereka dalam ciuman lembut.
Untuk kesekian kalinya mereka menghabiskan malam penuh cinta yang begitu melenakan.
Masih dengan napas memburu dan peluh membasahi tubuh, mereka saling menatap dengan tersenyum. Lalu Fahri membawa tubuh Nabila ke dalam pelukan sembari berkata-kata, "Terima kasih Sayang." Kalimat singkat penuh makna yang selalu Fahri ucapkan sebagai penutup percintaan mereka.
Fahri menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka sambil mengucapkan doa dalam hati, semoga mereka segera dikarunia buah hati. Mendapatkan amanah indah dari Allah sebagai pelengkap dalam keluarga kecil mereka.
***
Dua Minggu kemudian....
Lamat-lamat Nabila mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari suara seseorang yang sangat dikenalnya. Secara perlahan Nabila mencoba membuka kelopak matanya yang terasa begitu berat. Nabila ingin bangun dari tidurnya tapi rasa sakit di bagian kepala membuatnya tak berdaya. Kembali Nabila memejamkan mata sembari menarik selimut untuk menghalau rasa dingin yang seolah membekukan tubuhnya. Tak lama suara adzan berkumandang yang seketika membuat Nabila kembali membuka matanya yang terasa panas dan berair. Lalu Nabila menilik jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 04.20 WIB. Nabila merasa heran karena tak biasanya Fahri membiarkannya terlelap dan melewatkan salat tahajud. Padahal setiap malam mereka telah membiasakan diri untuk melaksanakan salat sunnah tahajud bersama.
"Mas Fahri kenapa nggak bangunin aku?" lirih Nabila. Seketika Fahri mengakhiri nderes (membaca) Al-Qurannya.
Fahri segera beranjak dari atas sajadah dan meletakkan Al-Quran di atas nakas. Dengan sorot penuh rasa khawatir Fahri mendekati Nabila, duduk di tepian ranjang lalu menyentuh kening istrinya tersebut dengan punggung tangan.
"Ya Allah demam kamu makin tinggi Dek," ucap Fahri lalu segera bangkit untuk mengambil obat demam di kotak P3K.
Tak lama Fahri kembali ke kamar dengan membawa obat dan segelas teh hangat.
"Sekarang minum obatnya dulu Dek. Nanti kita periksa ke dokter," ucap Fahri setelah meletakkan gelas dan obat tersebut di nakas.
"Aku nggak papa Mas, habis minum nanti juga baikan," balas Nabila sembari bangun dengan bantuan Fahri.
"Ya udah terserah aja. Sekarang diminum dulu obatnya." Fahri mengambil obat dan teh hangat itu lalu membantu Nabila meminumnya.
Nabila kembali merebahkan tubuhnya dan Fahri segera menyelimuti tubuh Nabila yang menggigil karena suhu tubuhnya yang terlalu tinggi.
"Mas aku belum sholat subuh," lirih Nabila sembari menatap Fahri dengan mata berkaca-kaca.
"Nggak papa kamu istirahat dulu. Sebentar lagi klo demamnya sudah turun baru kamu sholat," balas Fahri sambil membelai kening Nabila.
Tak lama Fahri beranjak lalu ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah melaksanakan salat subuh Fahri kembali mengecek suhu tubuh Nabila.
"Mas sini!" Nabila menarik tangan Fahri, meminta laki-laki itu untuk tidur di sebelahnya. Fahri tersenyum lalu menuruti keinginan istrinya. Tanpa Fahri duga Nabila beralih posisi dengan menyandarkan kepala di dadanya. Hanya itu yang saat ini diinginkan oleh Nabila. Memeluk dan menikmati aroma khas tubuh laki-laki yang kini telah menguasai hatinya. Meskipun tak sepenuhnya tapi Nabila telah yakin dengan perasaan cinta yang tanpa ia sadari telah tumbuh di hatinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
