
Semudah apapun jalan jika bukan takdir maka tak akan pernah terjadi. Namun sekeras apapun jika memang takdirnya maka akan terjadi
Aku tidak tahu apa yang menjadi motivasiku untuk terus bekerja keras seperti ini. Mengantuk, lelah, dua hal ini tidak sama sekali membuatku putus asa dan berhenti. Malah membuatku semakin bersemangat untuk olimpiade. Bukan untuk membuktikan kepada Bu Grace, teman-teman, atau sekolah. Tapi aku harus belajar menghargai diriku, aku harus belajar mengenal diriku, aku harus...
HARGAI PROSES
Setiap insan miliki garis liku masing-masing. Hidup, rezeki, jodoh, maut sudah ditentukan. Semudah apapun jalan jika bukan takdir maka tak akan pernah terjadi. Namun sekeras apapun jika memang takdirnya maka akan terjadi. Caraku menguatkan hati dalam menghadapi candaan dunia yang tersusun rapi.
Tahun ini aku sudah menduduki kelas dua SMA. Biasanya disemester pertama akan ada pemilihan perwakilan sekolah untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional berbagai bidang mata pelajaran. Para guru masing-masing bidang sedang mencari siswa yang ahli ditiap bidang mata pelajaran. Dan kebetulan Bu Grace adalah guru fisika, tiba-tiba memasuki ruang kelasku.
“Hey, Bu Grace menanyakan yang bersedia mengikuti olimpiade sains nasional bidang fisika, bukankah tahun kemarin kamu yang mewakili olimpiade fisika?”. Arfa memecahkan lamunanku.
“Saya Bu”. Tanpa berpikir panjang diriku mengacungkan tangan kananku
Namun jawaban Bu Grace serasa memecahkan duniaku. Seketika pusat perhatian teman-teman tertuju kepadaku. “Serius kamu Kerly?, Ibu tidak bertanggungjawab jika kamu gagal lagi seperti tahun sebelumnya”.
Tatapan serasa kosong, tangan kanan berdiri tegak serasa serba salah dan menyesal. Apa yang dikatakan Bu Grace mungkin saja benar. Mengikuti olimpiade bukanlah sembarang orang karena akan membawa nama sekolah dan siapa aku berani mengajukan diri tanpa berpikir dua kali. Aku sudah mengikuti OSN Fisika ditahun sebelumnya dan aku gagal total.
“Apa aku mundur saja? Tapi sudah terlanjur mencatat namaku. Namun apa aku salah untuk mencobanya lagi?”. Teriakku dalam hati
Dilema? Pasti. Sebenarnya untuk apa diriku spontan mengajukan diri, hebat juga tidak, bahkan pintar juga masih banyak yang lain. Aku sudah memalukan duniaku sendiri bukan hanya di hadapan Bu Grace, tapi juga teman-teman kelas bahkan hal ini akan membawa reputasi sekolah.
“Wahai OSN Fisika, bisakah kita tetap mempertahankan harga diriku?”. Lirihku setiap malam di depan tembok kamar
Ajang perlombaan masih tersisa 1 bulan lagi. Hari sabtu adalah hari tersantuy disekolahku. Namun yang ada di dalam kepalaku hanyalah tentang bagaimana caranya aku bisa menang dalam Olimpiade Sains Nasional SMA Tingkat Kabupaten tahun ini.
“Ker, ikut Ibu kekantor sekarang”. Bu Grace menepuk pundakku dari belakang dan aku mengikutinya tanpa sepatah kata pun
“Ibu tidak bisa memberi banyak, tapi paling tidak apa yang ibu ajarkan bisa kamu mengerti dalam olimpiade nanti”. Ucap Bu grace sambil menunjukkan kumpulan buku fisika dan mulai menjelaskan materi apa saja yang kemungkinan dilombakan.
Dalam hati berkata “Ternyata Bu Grace ikut mendukung diriku untuk persiapan olimpiade”. Lantas apa yang membuat diri ini masih berpikir panjang tentang bagaimana menang. Bukankah seharusnya aku juga membuat persiapan pada diriku untuk berlajar dan menunjukkan pada diriku sendiri, bahwa aku akan memenangkan olimpiade ini. Pasti!
Disepertiga malam aku terbangun untuk melaksanakan sholat malam lalu berdoa agar aku bisa memenangkan olimpiade tahun ini. Kedua orang tuaku mengetahui apa yang sedang ingin aku lakukan dan mereka selalu mendukung yang terbaik untukku. Dan juga memulai diriku untuk belajar dari berbagai sumber dan mencari contoh soal-soal olimpiade sebelumnya untuk dijadikan gambaran. Dan disetiap hari sabtu aku belajar di sekolah bersama Bu Grace.
Siklus yang aku jalani untuk memenangkan OSN kali ini terasa berat karena aku harus membuang waktu mainku dan mengurangi waktu tidurku. Namun kesibukan persiapan olimpiade tidak membuatku melepaskan tanggungjawabku sebagai seorang siswa SMA. Bahwa aku akan tetap memprioritaskan pelajaran di kelas juga.
Aku tidak tahu apa yang menjadi motivasiku untuk terus bekerja keras seperti ini. Mengantuk, lelah, dua hal ini tidak sama sekali membuatku putus asa dan berhenti. Malah membuatku semakin bersemangat untuk olimpiade. Bukan untuk membuktikan kepada Bu Grace, teman-teman, atau sekolah. Tapi aku harus belajar menghargai diriku, aku harus belajar mengenal diriku, aku harus belajar menggali potensi diri, aku harus belajar memperjuangkan suatu hal yang menjadi impian. Agar aku bisa berdamai pada diriku sendiri. Maka tekadku, aku akan menghargai prosesku, urusan hasil akhir aku serahkan pada yang kuasa. Walau sesekali dihati tersirat harapan. Namun aku yakin “Hasil tidak akan mengkhianati Usaha”
Persiapan ini tidak hanya aku, namun juga dari teman-teman yang ikut mewakili sekolah dalam olimpiade sains tahun ini. Hingga waktu ajang perlombaan pun tiba. Aku dan teman-teman perwakilan berangkat menuju lokasi OSN menggunakan kendaraan bermotor. Selama perjalanan aku menggenggam tanganku yang kosong. Seolah aku sedang menggenggam sesuatu. Ya, aku menggenggam doa dan tekadku. Berharap usahaku tidak sia-sia. Saat tiba di lokasi olimpiade,
“Hey Kerly, santai saja jangan terlalu gugup”. Ucap Arfa dan teman lainnya
“Kita hanya mewakili dan hanya menyelesaikan soal-soal olimpiade nanti. Tidak ada yang berpengaruh bagi diri kita. Sekalipun menang hanyalah untuk sekolah dan jika kalahpun tidak merugikan siapapun. Kecuali bagi yang sudah bekerja keras dan banyak berharap sih”. Sambung salah satu peserta olimpiade dan disambut cekikikan teman-temanku
“Ya ada baiknya aku menyembunyikan apa yang aku rasa”. Lirihku dalam hati
Di dalam ruang olimpiade tiap bidang yang diujiankan telah tertera identitas peserta. Dan aku mendapatkan posisi meja di tengah dan urutan kedua dari depan. Di dalamnya aku bertemu banyak peserta yang tidak ku kenal, karena berasal dari sekolah yang berbeda. Namun sebagian dari mereka ramah dan sebagiannya hanya terdiam dan mungkin saja merasa gugup.
Saat panitia seleksi OSN datang dan membagikan kertas soal dan diminta untuk dioporkan kebelakang dan ternyata di urutanku kekurangan kertas soal. Sehingga panitia tersebut memintaku untuk menunggu kertas soal dan mereka mengambilnya keluar. Aku membutuhkan waktu hingga 10 menit menunggu soal olimpiade tiba. Entah mengapa dihatiku tidak merasa khawatir saat yang lain telah mengerjakan 10 menit yang lalu, sedangkan aku baru mendapati kertas soalku. Akupun dengan tenang mengerjakannya hingga waktu berakhir.
“Gimana-gimana? Soalnya sulit-sulit bukan?”. Ucap Sisfia yang mengikuti olimpiade biologi
“Iya bener banget, untung aja aku ga ada belajar jadi ga terlalu stres deh, hehe”. Jawab Arfa
“Iya sama kita, hehehe”. Lanjut yang lainnya
Tak terasa seiring waktu olimpiade telah berlalu sebulan. Kami pun tetap beraktivitas seperti biasanya dan tak satupun membuka suara mengenai olimpiade. Kecuali hati dan akal pikiran ku yang selalu bertanya pada diri. “Kenapa tenggelam begitu saja setelah perjuangan panjang?”.
Dalam keheningan, teman sebelahku Arfa memecahkan suasana “Kayanya engga ada hasil dari olimpiade kemarin, dan memang pada dasarnya di antara kita tidak mampu untuk sampai ketahap itu, ya sudahlah jangan banyak berharap pada yang tak pasti”.
Yaps. Apa yang dikatakan Arfa benar sekali. Berhenti berharap dan fokus kedepan. Setidaknya pernah berjuang. Saatnya aku menghargai proses, bukan berpatok pada bagaimana hasil.
Seiring berjalan waktu, hari demi hari, sepekan terlewati, ingatan tentang olimpiade pudar, fokus dan tetap menjalani hari tanpa beban sekalipun tugas menggunung. Ceria bersama teman. bercerita, bercanda dan keharmonisan bersama guru.
Saat sedang asyik belajar bersama guru bahasa Indonesia dan panas terik jam 13.00 siang tak membuat aku lelah. Karena selain guru yang asyik, belajar dengan teman sebangku yang aktif juga menyenangkan. Tiba – tiba seorang guru bagian kesiswaan datang mengetuk pintu kelas.
“Maaf Pak Rifko mengganggu jam belajarnya, saya mau minta izin untuk membawa Kerly karena kepala sekolah ingin bertemu dengannya”. Ucap Bu Welly
Permintaan Bu Welly disetujui oleh Pak Rifko dan entah mengapa seisi kelas pada berbisik “Jangan-jangan Cuma Kerly yang menang olimpiade kemarin”. Seakan-akan mereka tahu tujuan Bu Welly memanggil ku. Sedangkan aku hanya bengong dan mengikuti tanpa tahu apa hal sebenarnya.
Setibanya di kantor, Bu Ramda sebagai kepala sekolah menghampiriku dengan wajah tersenyum lebar sambil memegang selembar kertas dan menunjukkannya kepadaku dan berkata “Lihat Kerly, namamu tercantum urutan pertama disini, kamu berhasil meraih juara 1 Olimpiade Sains Fisika tahun ini. Selamat ya”. Sambil memelukku. Aku yang masih bingung dan terdiam hanya bisa mengangguk
Dalam hatiku “Inikah hadiahnya Ya Allah?”. Mungkin awalnya dipandang tak mampu, tapi ternyata aku berhasil menemukan. “Menemukan harga diriku kembali”. Hadiah kecil ini bukan untuk membuktikan kepada siapapun, tapi untuk diriku, ternyata aku mampu memberi penghargaan untuk diriku sendiri karena telah mau berdamai bersama menghargai sebuah proses dengan ikhlas.
Dua hari telah berlalu, Bu Grace memanggilku untuk datang ke kantornya dan menyerahkan sertifikat hasil olimpiade, sambil berkata “Kerly, kamu jangan senang dulu, Ibu sudah mengecek lembar jawaban kamu pada panitia olimpiade kemarin, dan kamu hanya beruntung bisa mengisi penuh jawaban walau masih banyak yang salah. Kamu bisa mendapat juara satu juga karena di antara peserta lomba tidak mampu menjawab soal dengan sepenuhnya”. Akupun mengangguk paham.
Apa yang dikatakan Bu Grace benar, aku benar-benar tidak mampu untuk hal ini yang hanya sekedar bermodal tekad. Tapi aku percaya hasil ini tidak mengkhianati usaha dan proses yang kujalani. Tidak untuk berhenti dan diratap. Melainkan aku harus memaksimalkan usaha demi sebuah impian. Pesan singkat yang datang menghampiri adalah masukan untuk kerja keras dan cerdas serta pundak yang harus dikuatkan.Terkadang sesekali kita harus pura-pura tuli agar tidak menyakiti diri sendiri dengan sebuah ucapan.
Namun juga sesekali tidak, karena bisa saja sebagian ucapan orang ada yang membangun diri kita untuk berubah. Minimal menunjukkan pada diri sendiri sudah sejauh mana kita berproses atau diam di tempat tanpa membawa perubahan. Kini aku belajar tentang arti menghargai diri sendiri. Orang luar belum tentu sepenuhnya memahami diri kita, tapi paling tidak kita yang harus terlebih dahulu memahami diri sendiri, mengenal lebih dalam dan mengetahui kekuatan yang tersembunyi. Belajar positif dengan tenang dan nyaman, Menghargai setiap proses Tanpa menuntut hasil akhir dengan kejam.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰