
Klik tanda “Suka” dan tinggalkan komentarmu di post ini, ya, supaya aku semakin semangat menulisnya ❤️
Theo mengajak Vina ke sebuah tempat spesial untuk menebus kesalahannya yang dulu. Vina menerima permintaan maaf dari Theo. Tidak hanya itu, sang manajer juga ternyata berhutang budi pada karyawan barunya tersebut.
Penulis: Rea Rosetta
Ilustrasi cover: Kadek Heny Sayukti
Bab VI Boleran
12 Juni
17.14
“Tolong… tolong segera, ya Pak. Alamatnya di… di…” ujar Vina sembari sesengukan. Tangannya bergetar sambil memegang ponsel. Dia menyebut alamat kantor dengan terbata-bata.
“Udah? Lagi berapa lama katanya?” tanya Rizki. Dia menguntit Theo sepanjang sore karena takut sahabatnya itu sampai collapse di jalan. Benar saja! Dia mendapati Theo sedang berbaring di dekapan Vina, tampak hilang kesadaran.
“Sepuluh menit, Kak. Soalnya jam pulang kantor dan pasti macet. Apa gak sebaiknya naik mobil aja, Kak?"
Rizki menggeleng, “Kalo di jalan, ambulans jadi prioritas. Sementara kita gak mungkin ugal-ugalan meskipun lagi bawa pasien. Kita jaga aja dulu supaya badannya gak kedinginan.”
Mungkin langit tahu jika Vina membutuhkan sedikit keberuntungan. Tanpa disangka, tidak sampai tiga menit ambulans pun datang. Paramedis memeriksa keadaan Theo dan membawanya ke dalam ambulans. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Vina dan Rizki diam seribu bahasa.
“Elu 'kan? Lu Devi yang dimaksud Theo, temen chat-an dia di Tinder.”
“…”
“Gue denger semuanya tadi. Nama lu Vina, 'kan. Gue Rizki, sahabatnya dia.”
“Hmm.”
Tangan Vina menggenggam erat jemari Theo. Dia bingung harus berbuat apa. Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya? Rasa kesal karena kejadian kemarin seketika sirna dari hati gadis itu
“Gue ada di sana waktu itu, tapi gue gak berhak ngomong. Biar Theo sendiri yang bilang ke lu. Theo orang baik kok, Vin. Coba lu maafin dia dulu," ujar Rizki.
Air mata Vina pun berderai karena merasa bersalah. Sepanjang malam itu, dia menemani Theo di IGD hingga memasuki ruang rawat inap.
*
Kunang-kunang mulai bermunculan di antara mereka. Salah satunya hinggap di pundak Vina. Ekornya berpendar, menerangi leher jenjang gadis itu dengan cahaya temaram. Sekali lagi Theo tergoda untuk mencicipinya. Pikirannya melayang membayangkan lembut dan wanginya bagian tubuh itu. Namun, pria tersebut tak mau terhayut terlalu dalam. Dia berusaha keras mengalihkan fokus ke raut wajah Vina yang tampak syok.
Serangga kecil di pundaknya terbang, membuat Vina kembali tenang. Matanya mengikuti arah kunang-kunang itu pergi. Dia takjub dengan ratusan cahaya beterbangan di sekitar mereka.
“Mungkinkah ada maksud dari semua pertanda ini?” pikir gadis itu.
Theo terlihat berkilauan di antara para kunang-kunang pada malam itu, seakan-akan dia bukan berasal dari bumi. Vina ingin membuka mulutnya, tapi suaranya tercekat. Mengapa sulit sekali baginya mengatakan ‘ya’ pada pertanyaan Theo barusan?
“Kak Rizki yang cerita, ya?” tanya Vina.
“Gak, Rizki gak ada ngomong apa-apa.”
“Loh, kok Kakak tahu?”
Theo masih ingat jantung Vina yang berdetak cepat kala dia ada dalam dekapan gadis itu. Suaranya… suara yang bergetar ketika menelepon ambulans tersebut justru membuatnya merasa aman. Dia berada di tangan yang tepat. Lalu wangi tubuhnya… Theo tahu aroma parfum lili itu, mengingatkannya akan kejadian saat di pantry. Lalu irama jantungnya yang tak keruan itu… Pria tersebut enggan untuk mengatakannya, paling tidak untuk saat ini. Dia akan merahasiakannya hingga waktu yang tepat.
Theo pun menyeringai lalu berkata, “Ada deh!"
“Iiih!” Vina menyipratkan air danau ke arah Theo. Gadis itu tertawa puas. Theo membalasnya dengan menyipratkan lebih banyak air sambil terbahak-bahak.
Sementara itu, satpam jaga yang sudah diberikan pesan oleh Theo mengecek keduanya dari pinggir danau. Dia terperanjat melihat mereka justru sedang bermain air di atas perahu. “Orang-orang aneh!” pikirnya sambil geleng-geleng kepala.
*
17 Juni
Suara ketukan di pintu memecah keheningan apartemen Vina pagi itu. Dia terbangun karena ketukan tersebut tak kunjung berhenti. Siapa yang hendak bertamu sebelum matahari terbit ini?
Vina tampak awut-awutan dengan setelan piyama merah muda yang telah luntur oleh usia. Gadis itu menebak-nebak orang di balik pintu. Akhirnya, situasi kembali hening. Akan tetapi, ponselnya justru berbunyi. Ada nomor tak dikenal tertera di layarnya. “Kebetulan macam apa ini?” pikirnya.
Begitu panggilan tak terjawab usai, ketukan di pintu terdengar lagi, kali ini diiringi suara seseorang.
“Vina, tolong buka pintunya. Ini aku, Adrian!”
Deg!
“Vina, aku tahu kamu di dalam!”
Entah apa yang merasuki gadis itu, tangannya langsung menjulur ke arah kunci pintu dan memutarnya. Pintu mengayun terbuka, memperlihatkan sosok pria mengenakan kemeja marun dan ransel hitam sedang berdiri di hadapannya.
Adrian tampak letih, tetapi sorot matanya berbinar begitu melihat Vina. Air mata berderai membasahi kacamata pria itu.
“Akhirnya… Akhirnya aku ketemu kamu lagi, Vin!”
“Adrian, kamu gak boleh masuk.”
“Aku, aku tahu, Vin. Aku mohon satu hal ini, aja." Adrian lantas bersimpuh lalu berkata, “Aku mohon kita bahas semua ini baik-baik. Aku gak bisa tanpa kamu, Vin.”
“Fine. Kita ketemu nanti siang di taman apartemen," jawab Vina dengan nada dingin. Pintu pun ditutupnya dengan kasar. Namun setelahnya, kedua kaki Vina tidak mampu lagi berpijak. Dia terduduk lemas sambil membekap mulutnya, menahan jerit tangis yang telah lama terpendam.
Adrian menunggu di taman apartemen Vina. Hari ini dia sedang libur kuliah dan justru dimanfaatkan untuk bertemu mantannya itu. Panggilan telepon dari Nayra tidak dijawabnya, tapi kemudian wanita itu mengirimkan pesan.
Kalo udah bangun, telpon aku ya, Beb <3
Pria itu mendengar suara langkah kaki dan melihat Vina mendekatinya dengan marah. Satu tamparan mendarat di pipi Adrian hingga dia tersungkur.
“Kamu… Kamu tahu dari mana aku di sini, hah?! Udah aku bilang 'kan, semuanya udah berakhir!”
Adrian merasa kesakitan, tapi dia paham bahwa tamparan itu pantas diberikan kepadanya. “Aku… aku minta tolong Sisi. Jangan marahin dia, please.”
“Bener-bener, ya, anak itu!”
“Vin, gak apa-apa kalau kamu marah-marah sama aku, tapi jangan kabur lagi. Kamu gak tahu rasanya jadi aku. Setengah mati aku nyariin kamu, ternyata kamu pindah kota!”
“Kamu sendiri ngapain di sini?”
Adrian menghembuskan napas panjang. “Setelah kejadian itu, aku pindah biar dekat sama Nayra. Mamaku minta aku jagain dia, jadi aku daftar spesialis di kota ini.”
“Mamamu gak mungkin biarin aku hidup tenang kalau dia sampai tahu aku juga di kota ini! Pikir, dong!"
“Aku juga gak tahu ternyata kamu ada di sini. Kerja di tempat yang sama pula dengan Nayra. Pasti ini bukan kebetulan, Vin! Ini takdir!”
“Udah… please menjauh dari aku, Adrian. Aku gak mau terlibat apa pun dengan kehidupan kamu yang sekarang, dengan siapa pun itu. Apalagi sama Mamamu. Aku udah capek, apa kamu gak capek?”
“Vin, enam tahun… Udah enam tahun kita bareng-bareng. Biarpun selama dua tahun kamu menghilang, aku tetap nganggap kamu ada. Bulan depan anniversary kita! Masa iya kamu mau menyia-nyiakan masa-masa itu?”
Vina menggeleng, matanya memerah menahan tangis. “Enam, tujuh, atau delapan tahun pacaran juga gak ada artinya lagi kalau kamu sendiri gak prioritasin perasaanku. Sia-sia! Selama ini cuma aku yang berusaha! Memang dari awal, kamu gak bisa ngelindungin aku di depan Mamamu."
*
Januari Dua Tahun Lalu
“Kamu udah bilang sama Mama kamu?” tanya Vina.
“Bilang apa?”
“Loh, 'kan kamu ngajak aku ke dinner keluargamu. Mamamu tahu?”
“Gak perlulah kasi tahu,” ujar Adrian enteng. “Aku mau kasi mereka kejutan!”
Vina cemberut lalu bertanya, “Kalo orang tuamu gak suka sama aku gimana?”
Adrian terkekeh sambil mencubit pipi gadis itu. “Gak mungkin Mamaku gak suka sama cewek semanis kamu, Yang.”
Pria itu kembali fokus pada sederet soal di hadapannya. Tidak lama lagi dia akan mendaftarkan diri untuk melanjutkan studi sebagai dokter spesialis. Dia berharap agar bisa masuk ke universitas terbaik di kotanya.
Vina pun mengalihkan pandangannya ke arah jam di tangan. Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan menemui ibu dari pacarnya tersebut. Kisah cinta backstreet mereka selama empat tahun mungkin akan berakhir saat dinner nanti.
“Sudah selesai!” seru Adrian sambil menutup buku latihan soalnya dengan keras. “Yuk, jalan sekarang.”
Mereka berangkat menuju sebuah kafe khas Nusantara. Lampu-lampu berwarna kuning di kafe tersebut memberi kesan hangat di sore yang mendung dan basah oleh hujan siang tadi.
Adrian dengan tas selempangnya menggandeng lengan Vina. Wajahnya semringah meski hatinya berdebar-debar. Setibanya mereka di sana, Vina mendapati kafe tersebut terisi oleh kerabat dekat pacarnya saja tanpa ada pengunjung lain. Seluruh bagian kafe itu ternyata sudah direservasi oleh Mama Adrian. Mereka semua duduk di sebuah meja panjang oval dan sibuk memilih hidangan di buku menu.
Seorang perempuan paruh baya dengan rambut dicat hitam dan bergaun batik merah memperhatikan kedatangan kedua sejoli itu dan mendekati Adrian dengan senyuman lebar. Wanita berwajah cerah nan awet muda tersebut memeluk lelaki di samping Vina dengan erat.
“Apa kabar, Sayangku?” tanya wanita itu. Nada suaranya begitu riang.
“Baik, Ma. Gimana liburannya?"
Wanita itu mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Duh, capek! Di Tiongkok 'kan banyak tangga tuh. Lumayan sih buat latihan kayak kata dokter, tapi ya itu... lutut Mama gemeteran. Sekarang berdiri aja gak bisa lama-lama.”
“Nanti juga biasa kok, Ma. Oh ya, kenalin…”
Mama Adrian melirik Vina sekilas, lalu gadis itu pun tersenyum sopan. Namun, wanita tersebut tampak acuh dan tidak tertarik dengan kehadirannya.
“Oh, temen kamu?”
“Bu-bukan, Tante. Saya pacarnya,” ujar Vina memperbaiki kekeliruan ucapan Mama Adrian sebelumnya. Adrian mendelik ke arah Vina seolah-olah gadis itu telah berkata lancang.
“Hmm, pas Mama izinin kamu ngekos, kamu malah sibuk pacaran juga rupanya. Mending fokus studi dulu atau pulang ke rumah sekalian.”
“Mama bahkan belum tahu namanya. Dia Vina, Ma. Anak Manajemen Keuangan di kampus aku.” Adrian dan Vina sama-sama merasa canggung. Mama Adrian yang tak kunjung kembali ke mejanya setelah menyapa Adrian membuat anggota keluarga lain mendongak dari buku menu dan menatap ketiganya dari jauh dengan tatapan heran.
“Oh, Vina… Fakultas Ekonomi, ya? Gampang 'kan, ya, masuk ke sana? Udah lulus belum?”
Vina menelan ludah dan akhirnya menjawab, “Sudah, Tante. Tahun lalu barengan sama Adrian.”
“Hmm, gitu. Iya sih, anak Tante bisa selesai kedokteran 4 tahun karena otaknya encer, padahal kedokteran susah, 'kan, ya?”
Adrian menutup perbincangan itu dengan berkata, “Aku lapar, Ma. Yuk, makan.”
“Yuk, tapi temenmu gak bisa ikut bareng sama kita. Gimana, dong? Gak apa-apa, kan? Harusnya sih, gak apa-apa. Dia toh gak diundang.”
Mama Adrian pergi sambil menggandeng Adrian yang terkejut dan terdiam membisu. Laki-laki itu menyeret kakinya dengan lunglai dan menyapa para kerabat yang datang dengan senyum terpaksa.
Air mata Vina tertahan di pelupuk mata. Suaranya tercekat. Dia mengambil kursi di meja terjauh dan duduk di sana tanpa memesan apa pun. Para pelayan mencuri pandang ke arahnya, tapi juga tidak bisa berbuat apa pun. Saat itu, Vina justru ingin membuktikan bahwa dia bukan gadis sembarangan. Namun, di saat yang bersamaan, dirinya merasa terpukul melihat Adrian tidak membela dirinya dan justru menikmati makan malam yang hangat.
Ketika waktunya pulang, para kerabat Adrian hanya melirik ke arah Vina dengan tatapan bosan. Mama dan Papa Adrian melengos begitu saja melewati gadis tersebut. Tidak terbayangkan rasa sakit yang dirasakan oleh Vina karena diperlakukan seperti sampah. Dia melewati malam itu dengan menangis di pelukan Adrian.
*
Kini Vina sadar bahwa seharusnya dia meninggalkan Adrian sejak pertemuan pertamanya dengan keluarga laki-laki itu. Apa yang dia harapkan dari Adrian jika kelakuan orang tuanya saja sudah meresahkan dari awal? Mengapa dia harus berusaha membuktikan kepantasannya kalau akhirnya dia lelah sendiri?
Terlalu banyak momen menyakitkan terlintas di benak Vina ketika matanya menatap Adrian. Namun, marah bukan menjadi pilihannya saat ini untuk meluapkan emosi meski ada bara api panas di dadanya. Energinya telah habis untuk menampar lelaki itu tadi.
“Aku gak bisa kalau gak sama kamu, Vin. Inget apa cita-citaku dulu?”
“Jadi dokter… di pedalaman?”
Adrian semringah sambil mengangguk. “Kesempatan yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga!"
“Maksudmu?”
Adrian menggenggam tangan Vina dan melanjutkan, “Ayo, kita pergi sama-sama. Pergi jauh dari mereka.”
“K-kamu? Kamu mau ke pulau di ujung timur sana? Gila! Sekolahmu gimana?”
“Aku selesai. Aku gak mau lanjut sekolah. Semua ini… demi kamu. Semua orang juga nganggap aku gila. Tapi, aku bakal lebih gila lagi kalau aku gak pernah mencoba.”
“Wah! Sinting kamu, Adrian!” Vina memegang dahi dengan kedua tangannya. Dunianya berputar. Bukan sekali ini dia mendengar keinginan tak wajar dari anak keturunan keluarga dokter itu. Adrian selalu bermimpi untuk membangun daerah terpencil dengan kemampuannya. Dia benar-benar ingin membaktikan diri tanpa mengharap imbalan jasa. Gadis itu bahkan tidak tahu seberapa besar ternyata priviledge yang dimiliki Adrian selama empat tahun berpacaran. Sebab, lelaki itu hidup sederhana dan tidak suka menghamburkan uangnya untuk hal-hal yang berlebihan.
Namun, ketulusannya hatinya membuat Vina jatuh cinta pada lelaki itu. Wajah gadis tersebut menghangat, bulir-bulir air mata pun jatuh membasahi kedua pipinya.
“Selama ini, impianku untuk bisa hidup sama kamu gak pernah pudar, Vin. Justru selama dua tahun kamu menghilang, aku semakin yakin buat melawan takdir yang ditentuin sama orang tuaku. Kamu masih inget, 'kan? Kamu janji mau ikut aku ke mana pun aku pergi.”
Gadis keras kepala itu pun luluh. Meski Adrian kini telah bertunangan, rupanya sosok Vina masih lekat di dalam hati pria tersebut.
“Kapan?” tanya Vina.
“Akhir tahun ini, Vin. Aku ikut program relawan dokter buat ngisi kekosongan di puskesmas sana."
Vina tersentak dan berkata, “Cepet banget?! Berarti kamu daftarin diri sebelum ketemu aku, dong? Kalau misalnya kamu gak berhasil nyari aku… atau sekarang aku nolak, gimana?”
Adrian menarik napas dalam-dalam lalu menjawab, “Aku bakal tetep pergi, Vin. Kalau aku belum ketemu kamu, aku masih akan nyariin sampai kapan pun. Untuk sekarang, yang penting aku bisa jauh dari Nayra dan orang tuaku. Aku gak bisa bayangin hidup sama dia.”
“Ini gak bener… gimana perasaan Nayra kalau dia tahu semua ini?”
“Aku aja gak pedul, Vin. Kenapa kamu harus peduli?”
“Karena aku perempuan! Kamu nyakitin Nayra dan dia gak akan maafin kelakuan kamu yang kayak pecundang itu. Gak cukup kamu nyakitin aku?”
Adrian mulai tidak bisa menahan kegelisahannya dan mulai mondar mandir di hadapan Vina. “Aku harus gimana supaya kamu mau, Vin?”
“Bilang… bilang ke keluargamu dan Nayra juga. Aku mau ikut pergi sama kamu, tapi kita bilang ke mereka baik-baik. Kita gak bisa hidup terasing sambil memendam benci dan rasa takut. Mau sejauh apa pun kita pergi, hati kita gak akan pernah damai."
Pria itu mendekati Vina, kemudian memegang wajah gadis itu dengan kedua tangannya. “Vin, aku bingung, kenapa sih kamu masih baik sama mereka?”
Tanpa basa basi, pria tersebut mengecup bibir Vina dengan lembut. Jantung Vina berdebar seolah belum pernah berdetak sebelumnya. Getaran di dada wanita itu membangkitkan asmara yang telah lama terlupa. Dua tahun sudah dia menomorduakan perasaannya sendiri, seakan-akan cinta tidak lagi berarti.
Namun, pada detik bibir mereka bersentuhan, Vina berharap agar sang waktu sedikit memelankan ritmenya sehingga dia bisa menikmati kecupan itu. Setetes air mata jatuh di pipi Adrian. Pria tersebut merasakan gelora yang sama dahsyatnya. Tak sampai di situ saja, tangan Vina otomatis memeluk leher Adrian agar semakin mendekat. Pria itu menjawabnya dengan merangkul pinggang pujaannya tersebut. Mereka tampak enggan melepas momen berdua dan hendak menikmatinya selama mungkin.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
