
Dendam membuat Melati harus mempertanggung jawabkan kesalahan dengan mendekam di penjara selama bertahun-tahun. Lantas setelah keluar dari tembok derita, bagaimana ia bertahan hidup saat sosok masa lalu hadir kembali mengusik dirinya yang seorang mantan narapidana?
Image; Pinterest
Edit; Canva
*.*.*.
Mantan napi
Selalu saja kata-kata itu yang ia dengar ketika keluar dari rumah. Meski sudah sebulan berlalu sejak hari kebebasannya. Tapi orang-orang seakan tidak pernah lelah untuk terus mengolok-oloknya sebagai mantan napi, pembunuh tak punya hati.
Padahal, kalau boleh membalas. Ia ingin bilang kalau ia tidak pernah, dan memang belum pernah menghilangkan satu nyawa pun.
Anaknya meninggal karena kondisi yang buruk beberapa jam setelah dilahirkan. Dan adik kandung yang ia benci setengah mati hanya sempat menerima tamparan juga jambakan di rambut saat ia sandera. Tetapi dirinya jadi tersangka dan mendekam di ruang berjeruji besi itu bertahun-tahun karena tidak memiliki kuasa, baik uang maupun pengacara.
Setelah bebas pun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tak memiliki pekerjaan karena catatan kriminal di belakang namanya. Dikucilkan oleh orang-orang sekitar tempat ia tinggal.
Hanya satu hal yang tersisa. Gubuk kecil yang ia tinggalkan selama hampir lima tahun masih tetap berdiri kokoh walau ada beberapa bagian yang rusak tak terawat. Tapi cukup untuknya berteduh dan menyembunyikan diri dari dunia luar.
Tidak ada keluarga, tidak ada saudara. Ia bukan hanya sebatang kara tetapi juga tak berharga. Satu-satunya manusia yang memiliki darah yang sama dengannya sudah hidup bahagia bersama keluarga yang menyayangi dan melimpahi dengan kekayaan.
Ia tidak iri. Tidak lagi setelah ia sudah mencoba merebut tempat sebagai menantu keluarga kaya raya pemilik rumah sakit swasta di kota ini namun tak berhasil dan harus menanggung akibat dari perbuataannya dengan mencelakai adik kandungnya pada saat sedang hamil.
Ia mendekam bertahun-tahun di dalam penjara. Tempat yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya untuk dihuni. Menjadi bulan-bulanan ketika awal masuk oleh penghuni yang lebih dulu ada di sana dan selalu berlaku sewenang-wenang. Tapi sebagai perempuan yang selalu berusaha menjadi nomor satu juga sifat angkuh yang tak luntur, ia bisa dengan mudah membalik keadaan dalam sel.
"Berapa saja, Pak. Asal bisa langsung dibayar."
"Ya, itu tadi. Saya cuma bisa bayar tiga ratus ribu, bagaimana?"
Tidak ada pilihan lain, ia butuh uang untuk bertahan hidup. Sejak dulu pun ia juga begitu. Hidup untuk uang karena hanya uang yang mampu mendatangkan segala kebahagiaan.
"Yaudah, nggak masalah Pak."
Meja kayu yang dulu dibeli mahal dan jadi barang kesayangan ayahnya, hanya mampu dijual kembali dengan harga tiga ratus ribu.
Setelah menerima uang yang disodorkan oleh Sugeng, ketua RT di rumahnya ia bisa sedikit tenang. Akhirnya ia bisa membeli sabun mandi dan persediaan untuk makan yang mulai menipis meski sudah ia irit-iriti.
"Mbak Melati, tawaran saya waktu itu masih berlaku kalau Mbak Melati mau. Mungkin memang tidak besar gajinya, tapi cukuplah untuk makan dan kebutuhan beli listrik. Kalau Mbak mau terima tawaran itu, nanti bilang saja sama saya."
Hah~
Helaan nafas berat nampaknya jadi salah satu luapan saat hati dan pikirannya terlalu berat. Sejak bebas dari lapas, ia hidup dengan menjual barang-barang yang ada di rumah hingga kini rumahnya terasa semakin kosong karena terus berkurangnya perabotan.
Tawaran Sugeng tadi, adalah menjadi petugas kebersihan di kampungnya. Sempat ia tolak awalnya. Karena gengsi dan keangkuhan hati yang tidak terima jika ia yang berijazah Diploma Tiga juga mantan perawat di Rumah Sakit besar harus menjadi tukang sampah setelah bertahun-tahun berada di tempat pengasingan.
Namun beberapa hari ini, setelah ia tidak mampu lagi membeli sabun mandi dan memilih menggunakan sabun colek berharga murah untuk cuci piring dan baju sebagai sabun mandi. Otaknya mulai berpikir kalau menerima tawaran Sugeng tidak ada salahnya. Toh ia bisa bekerja saat malam hari, ketika orang-orang tidur hingga tidak perlu mendengar ocehan juga hinaan mereka.
*.*.*.*.
"Nanti tugasnya, Mbak Melati nyapu dari gang depan sampai rumahnya Pak Romli, setelah itu bersihkan aula desa Mbak."
Melati mengangguk mengerti mendengar arahan dari Sugeng.
"Tapi ... Mbak yakin mau melakukan kerjaan ini malam-malam? Maksud saya-"
"Saya yakin, Pak." Potong Melati cepat. Ia sudah menerima pekerjaan ini asal diperbolehkan melakukan tugasnya sesuai jam yang ia kehendaki. "Jam setengah empat udah masuk pagi, Pak. Nggak lama pasti orang-orang bangun."
Sugeng mengangguk pelan. Tetap tak enak hati karena perempuan yang umurnya sepantaran dengan anak tertuanya menerima tawaran sebagai petugas kebersihan pada jam yang tak semestinya.
"Yasudah, saya pulang Pak. Besok pagi saya mulai kerja."
Melati pamit pulang dari rumah ketua RT tersebut diiringi tatapan kasihan oleh Sugeng yang meski tak membenarkan masa lalu Melati, tetapi tetap saja merasa sedih atas kisah hidup wanita itu.
*.*.*.
Terjaga pada malam hari bahkan dini hari sudah biasa buat Melati. Karena saat bekerja sebagai perawat dulu, ia juga sering mendapat shift malam.
Tapi kali ini ia harus keluar dini hari untuk membersihkan lingkungan desa. Hal yang tidak pernah sekalipun terlintas dipikiran menjadi penyapu dan pembersih sampah hanya untuk menyambung hidup.
Ya, setidaknya bayaran dari pekerjaan ini bisa ia gunakan untuk membeli beras dan telur, menggantikan mi instan yang selalu jadi menu andalan setiap harinya. Atau kalau mungkin, ia ingin pergi keluar dari desa ini untuk mencari pekerjaan di tempat yang tidak mengenal atau mengetahui kasus kriminalnya.
Dirinya juga tidak tahu sejak kapan kerumitan hidupnya terjalin. Sejak kecil kah? saat ia yang hidup serba dimanja tiba-tiba harus mengalah karena hadirnya Mawar adiknya yang lahir dengan kelainan jantung dan harus mendapatkan perhatian juga uang ekstra hingga ia mulai tersisihkan, lalu memilih bergaul dengan teman-teman yang membawa pengaruh buruk.
Setiap pulang ke rumah ayah akan selalu memarahinya, bahkan tak segan memukul ketika ia ketahuan mencuri di rumah tetangga bersama teman-temannya.
Setahun setelah pemukulan yang paling parah padanya, ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan motor. Tinggallah ia bersama Mawar yang masih berusia 10 tahun juga nenek yang meski sudah renta tetap mampu memandang benci pada dirinya.
Anak nakal, begitu nenek memanggilnya.
Tidak adanya orangtua membuat keinginan Melati untuk pergi ke kota semakin besar, berbekal emas peninggalan ibu yang ia curi dari lemari, Melati pergi dari desa untuk melanjutkan SMA di kota dengan bantuan salah satu kenalannya.
Hidup di kota dengan harta yang bergelimang adalah salah satu cita-cita. Jadi tidak aneh rasanya kalau ia selalu menjadi pacar atau simpanan lelaki kaya raya hingga ia bertemu kembali dengan adik juga nenek yang sudah bertahun-tahun tidak ia ketahui kabarnya.
Adalah Ren seorang dokter muda yang sempat menjadi incaran Melati di Rumah Sakit ternyata jatuh cinta pada Mawar yang tak lain adalah pembantu di rumah keluarga dokter muda tersebut. Bahkan Ren berniat menikahinya.
Dua tahun ia berusaha mendekati Ren, namun sama sekali tak berhasil hingga ia menyerah dan memilih merayu Dokter Rion, sepupu Ren yang dengan mudah jatuh ke pelukannya walau sudah punya tunangan.
Sialnya, hubungan dengan Rion menghasilkan kehidupan baru dalam rahimnya dan karena tidak ingin nama baik juga tunangannya tahu, lelaki itu memintanya untuk menggugurkan bayi tak berdosa itu. Lalu hubungan mereka selesai begitu saja.
Tanpa Rion tahu, Melati tetap melanjutkan kehamilan dan memilih mengambil cuti saat mendekati waktu persalinan. Ia pulang ke desa dan melahirkan sendirian di rumah masa kecilnya yang juga sudah ditinggalkan oleh Mawar dan neneknya entah berapa lama. Tapi sayang bayi malang yang tercipta tanpa cinta itu tak bertahan.
Kondisi emosional yang tidak stabil serta Merasa tujuannya untuk hidup bergelimang harta sulit tercapai membuat Melati benci pada keadaan sang adik yang hidupnya berubah drastis. Berbanding terbalik dengan dirinya yang sudah tidak mendapatkan uang dari Rion, Mawar malah hidup bergelimang harta juga kasih sayang dari keluarga Ren.
Perasaan benci itulah yang membuat Melati menculik Mawar dan menyekapnya. Dendamnya semakin membara saat melihat perut Mawar yang besar karena mengandung anak Ren.
Belum genap lima hari, Ren dan polisi menangkap Melati. Anehnya entah siapa yang memberitahu, saat di pengadilan ia juga dituntut atas pembunuhan bayi yang ia lahirkan. Bersikeras membela diri, namun tanpa adanya bukti dan saksi, Melati tidak bisa apa pun dan terpaksa menerima vonis.
*.*.*.*.
Melati benci hidup susah. Tapi kini hidunya lebih dari susah.
Ia bahkan tidak berpikir dua kali menerima tawaran Sugeng untuk membantu membersihkan rumah lain milik pria paruh baya itu yang akan digunakan sebagai tempat tinggal seorang tamu penting dari kota.
Asal diberi uang tambahan Melati pasti bersedia.
Sugeng bilang, tamunya akan datang untuk meninjau fasilitas puskesmas baru di desa mereka serta ikut dalam kegiatan puskesmas untuk satu bulan ke depan. Kemungkinan tamu tersebut adalah orang dari KEMENKES, batin Melati tak mau tahu.
"Saya tidak tahu kalau Pak Dokter datang lebih cepat dari perkiraan saya."
Suara Sugeng di halaman rumah membuat Melati buru-buru merapihkan peralatan bersih-bersihnya dan berniat keluar menyambut tamu ketua RT tersebut. Tapi ... belum sempat ia menyapa, senyum yang ia buat seramah mungkin surut dari wajahnya.
Sesempit apa dunia ini, hingga mereka kembali bertemu?
"Ini Mbak Melati, beliau yang bantu bersih-bersih rumah ini selama Pak Dokter tinggal di desa kami." Keramahan Sugeng yang memperkenalkan Melati pada tamunya tidak sama sekali membuat senyum terukir antara mereka.
Baik Melati maupun si tamu malah sibuk menenangkan hati juga memikirkan respon apa yang harus diperlihatkan.
"Rumahnya sudah rapih, kan Mbak Melati?"
Pertanyaan Sugeng mengembalikan atensi Melati. Tenang ia menjawab, "sudah Pak. Kalau begitu saya pamit dulu, ya Pak. Mari."
Rion memperhatikan dalam diam punggung Melati yang menjauh. Nampaknya wanita itu lebih kurus dari yang terakhir ia ingat.
"Pak? Pak Dokter?"
"Eh, iya Pak? Kenapa?"
Sugeng terkekeh kecil menyadari tamunya begitu intens memperhatikan Melati membuat Rion tak enak hati.
"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud apa-apa. Cuma wajah perempuan tadi mirip sama salah satu petugas Rumah Sakit tempat saya kerja."
"Ia Pak Dokter, nggak apa-apa." Jawab Sugeng berusaha menenangkan tamunya.
"Mbak Melati sebenarnya sudah lama sekali tidak tinggal di desa ini Pak. Tapi setahu saya memang Mbak Melati pernah kerja di Rumah Sakit sebagai perawat." Terang Sugeng kembali.
Pura -pura terkejut Rion bertanya, "oh ya? Kenapa bisa sama ya? petugas rumah sakit itu juga sudah lama keluar Pak. Mungkin sekitar lima tahunan, dan sampai saat ini tidak ada yang tahu kabarnya."
Saat Sugeng mengajak Rion untuk masuk dan melihat tempat tinggal sementaranya, dokter muda itu menolak. Beralasan ingin mengetahui latar belakang orang yang akan membantunya mengurus rumah Sugeng agar lebih tenang selama mempekerjakan orang lain, ia meminta ketua RT itu untuk menceritakan tentang Melati.
"Mbak Melati kembali ke desa ini sekitar lima tahun yang lalu Pak, sendirian dan dalam keadaan hamil. Beberapa hari setelahnya Mbak Melati minta salah satu warga yang biasa mengurus jenazah untuk menguburkan bayinya. Tidak ada yang tahu Mbak Melati melahirkan kapan dan bagaimana anaknya meninggal."
Tanpa sadar Rion menahan nafas. Jadi benar bayi itu terbunuh. Tapi oleh siapa?
"Belum juga saya dan warga bertanya, Mbak Melati kembali pergi ke Kota. Entah berapa lama, yang pasti saat dia kembali lagi ke desa, Polisi datang dan menangkapnya. Yang saya tahu salah satu polisi memberikan surat tugas untuk melakukan penangkapan menjelaskan bahwa Mbak Melati telah melakukan penculikan yang di sertai kekerasan, juga pembunuhan."
Rion tahu. Bahkan ia turut serta saat proses pembebasan Mawar istri Ren yang menjadi sandera. Sayangnya saat itu Melati sudah kabur. Dan setelah itu ia tak pernah melihat Melati sampai hari ini.
Desas desus berita Melati menjadi gosip yang tak pernah usai berbulan-bulan lamanya di Rumah Sakit hingga ia menikah.
*.*.*.
Melati bukanlah seseorang yang bermental ciut atau takut mengahadapi siapa pun. Hanya saja untuk saat ini menghindar adalah hal yang paling baik untuk dilakukan.
Ketika Sugeng yang sudah menugaskannya untuk membersihkan dan membantu Rion selama lelaki itu tinggal di desa, sebisa mungkin Melati mencoba tak terlihat olehnya.
Namun pagi itu, untuk pertama kalinya setelah tiga hari tak pernah saling bicara, Rion memintanya untuk pergi membelikan sayur dan bahan makanan lainnya.
Akhirnya, setelah tiga hari hanya dapat memperhatikan diam-diam, ia memiliki alasan untuk bicara pada Melati. Meski wanita itu tidak bicara melainkan hanya mengangguk saja, Rion tetap saja tak kecewa.
Setelah satu jam berlalu, Rion mulai gelisah karena Melati tak kunjung kembali ke rumahnya, sedangkan dia sudah kelaparan. Berbekal penjelasan dari warga sekitar ia pergi menyusul pemiliki nama salah satu bunga itu.
Saat sampai di sebuah warung Rion melihat beberapa lelaki yang sepertinya mencoba menggoda Melati.
"Coba aja waktu itu kamu pergi ke saya, meskipun kamu hamil besar pun saya masih mau kawinin kamu, hahaha ..."
Salah seorang laki-laki dengan perut buncit bicara pada Melati yang hanya diam sembari memilih barang-barang yang harus ia beli.
"Ketimbang kamu bunuh itu bayi karena nggak jelas bapaknya lalu masuk penjara, kan lebih baik kamu mohon sama saya buat di kawinin."
"Atau kalau nggak, jadi simpenan boleh lah ..." seseorang lainnya menimpali, lalu mereka tertawa.
Tidak suka mendengar Melati yang terus dijelek-jelekkan Rion datang dan menegur mereka.
"Bapak-Bapak tolong bicaranya di jaga. Di tempat umum seperti ini bicara hal yang tidak pantas dengan perempuan apa tidak malu?"
Semuanya melihat tidak suka pada Rion. Melati sendiri terkejut akan kehadiran Rion yang tiba-tiba membelanya.
"Bapak-bapak pasti sudah punya istri dan anak, malu lah kalau kata-kata seperti tadi didengar oleh keluarga sendiri."
Melihat Melati yang diam saja, Rion lalu mengajak perempuan itu untuk segera pergi.
"Kamu kenapa diam saja?"
Melati tak menyahut namun tetap berjalan di samping Rion.
"Melati?"
"Saya harus bicara apa Pak Dokter? Toh, saya tidak perduli sama apa pun yang mereka bilang."
Akhirnya Rion dapat kembali mendengar suara Melati.
"Tapi mereka sudah melecehkan kamu dengan kata-katanya."
"Lalu apa bedanya dengan anda Pak Dokter yang terhormat? Bukannya Anda juga melakukan hal yang tidak baik dengan salah satu perawat di Rumah Sakit dulu, padahal status anda saat itu sudah punya tunangan dan akan menikah?"
Rahang Rion mengeras mendengar sindiran itu. Setelah sekian lama. Bukan hal ini yang ingin Rion dengar kembali.
"Kenapa cuma masalah itu yang kamu ungkit sekarang?"
Pertanyaan bernada dingin itu tak membuat Melati takut. Ia dengan santai menaruh semua kantong belanjaan di meja teras depan rumah yang Rion tinggali lalu berpamitan.
"Semua yang Pak Dokter pesan, sudah saya belikan. Kalau begitu saya pulang dulu."
Rion mencekal lengan Melati, "Kamu tidak boleh kemana-mana. Saya sudah kasih kamu uang lewat Pak Sugeng, jadi kamu tidak boleh pergi sampai semua tugas kamu saya anggap selesai."
Tangan Melati terkepal, dulu ia memang selalu melakukan apapun yang Rion mau demi uang lelaki itu. Bahkan saat Rion memintanya tutup mulut akan hubungan terlarang yang mereka jalin dibelakang tunangan Rion, ia menurutinya juga, padahal saat itu ia mengandung anak mereka.
"Apa bedanya Anda dengan orang-orang tadi? Menggunakan uang sebagai kuasa untuk membuat wanita tunduk di bawah kaki kalian." Melati menatap tajam ke dalam mata Rion.
"Jangan karena saya pernah jadi simpanan Anda, lalu sekarang Anda kembali memaksakan kehendak pada saya yang dulu selalu Anda limpahi uang. Anda sudah membuang saya, jadi mari kita lupakan apa pun yang pernah terjadi. Anggap kita adalah orang yang baru kenal di sini."
Melati lalu melepas cekalan tangan Rion yang mengendur dan melangkah pergi.
*.*.*.*.
Melati tetaplah Melati. Wanita cantik yang tangguh, ambisius, angkuh dan tidak peduli hal lain selain dirinya sendiri.
Sekiranya begitulah kesan yang Rion ingat saat awal mereka bertemu.
Saat itu Ren sepupunya meminta perawat yang visit bersamanya diganti dengan perawat yang lain atau kalau bisa perawat yang sudah berumur. karena Ren bilang tidak ingin bekerja dengan wanita yang bisa membuat calon istrinya salah paham.
Karena itulah akhirnya, Melati dipindahtugaskan menjadi perawat yang mendampinginya saat visit pasien.
Rion tahu kalau Melati berusaha menunjukkan ketertarikannya pada Ren. Tapi sayang Ren sama sekali tak merespon. Anehnya, ia yang saat itu sudah memiliki tunangan malah tertarik dengan sisi Melati yang lain. Mereka menjalin hubungan rahasia sampai membuat wanita itu hamil.
Terkejut sudah pasti. Malam-malam yang mereka lewati bersama malah membawa Rion pada hal yang mampu membuat citranya sebagai dokter berprestasi juga keponakan pemilik rumah sakit rusak jika Melati membongkar hubungan mereka.
Malam itu di apartemen yang ia hadiahi untuk Melati, mereka bertengkar. Rion memutuskan hubungan mereka setelah menentukan nasib janin dalam tubuh kekasih gelapnya. Dan ajaibnya, Melati menyetujui meski terlihat sangat marah.
Rion pikir, ia tidak akan melihat Melati lagi. Tapi esoknya saat jadwal mereka harus visit bersama, Melati tetap masuk dan bertingkah seperti rekan kerja pada umumnya. Namun Melati berubah menjadi lebih pendiam.
Jujur sedikit hati Rion merindukan sikap dan tatapan manja Melati padanya, tapi ia berusaha untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Ia ingin fokus pada pendekatan juga rencana pernikahan dengan sang calon istri pilihan orangtuanya.
"Ada lagi yang perlu saya kerjakan Pak?"
Suara Melati menginterupsi lamunan Rion. Meski kemarin sempat bersitegang, Melati tetap kembali ke rumah ini sesuai tugasnya.
Melihat telapak tangan Melati yang kemerahan membuat Rion sedikit iba, ia meminta perempuan ini untuk membersihkan kamar mandinya hanya untuk menahannya lebih lama.
"Saya ... mau kamu masak buat sarapan."
Memandang tajam, Melati mendengkus sebal. Ia tidak bisa sama sekali memasak. Dan lelaki di depannya ini tahu itu dengan sangat.
"Maaf Pak, tapi saya tidak bisa memasak dengan sempurna selain mie instan." Bahkan memasak Nasi dan telur saja pasti ada bagian yang kurang matang atau terlalu matang alis hangus.
"Tidak masalah. Buatkan saya satu mi instan yang kemarin kamu beli. Tambah sayur dan telur." Perintah Rion enteng. Tak ia pedulikan raut kesal di wajah perempuan yang hari ini mengikat asal rambutnya.
"Bapak harusnya membawa istri Bapak ke sini jika ingin ada yang memasaki." Gumam Melati membuat Rion menaikan satu alisnya heran.
"Baik. Saya akan masakan sarapan untuk Bapak." Ketus, Melati lalu melangkah ke dapur untuk memasak sesuai permintaan majikan sementaranya.
Ia tidak terlalu pendai memotong sayur hijau yang biasanya ada di dalam campuran mi ayam pinggir jalan. Ia juga tidak pernah mencampur telur ke dalam rebusan mi yang sedang ia masak.
Dan karena ketidaktahuan itulah busa dari telur meluap keluar panci membuat Melati reflek menghalau dengan tangan kosong hingga akhirnya tangannya melepuh. Melati menjerit tertahan terkejut akan sengatan rasa panas di tangannya.
Rion sejak tadi bermaksud mengecek Melati buru-buru menghampiri.
"Kamu kenapa?" Saat melihat sebagian punggung tangan Melati yang kemerahan Rion menarik tangan Melati untuk di aliri air dari keran Wastafel setelah mematikan kompor.
"Tunggu sebentar, biar saya ambil obat."
Melati tak menyahut, ia membiarkan air mengaliri punggung tangannya. Padahal sejak dulu ia sudah tahu jika luka bakar harus cepat-cepat dialiri air, tetapi bodohnya tadi ia hanya diam saja sembari meringis.
"Sini, saya bantu obati." Rion menuntun Melati duduk di meja makan namun Melati menolak dan berjalan sendiri.
"Kenapa kamu kurang hati-hati? jadinya tangan kamu terluka."
Tidak menyahut Melati memilih membuang muka ke samping hingga tak sadar Rion yang mengolesi obat pada tangannya menatap sendu. Dalam pikiran lelaki itu, membandingkan jari-jari kurus Melati dengan beberapa tahun lalu.
Tak disangka, Rion menunduk lalu mengecup tangan Melati hingga wanita itu terkejut dan menarik tangannya.
"Apa-apan ini?!" Teriak Melati marah seraya bangkit dari kursi.
"Jangan karena kita hanya berdua, Bapak bisa melecehkan saya seenaknya. Mentang-mentang saya cuma pembantu di sini, Bapak bisa bertindak kurang ajar sama saya!"
"Mel Tenang, saya tidak bermaksud apa-apa." Rion berdiri mendekat.
Bagi Melati sendiri responnya juga agak sedikit berlebihan. Hanya saja ia tidak bisa menampik perasaan emosional yang selalu meluap-luap saat berdekatan dengan Rion.
"Saya-" Rion menghela nafas lalu kembali bicara, "saya ... mau kita bicara Mel. Ada hal yang belum usai antara kita berdu-"
"Tidak! Semuanya sudah selesai lima tahun lalu. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan Pak Dokter yang terhormat."
"Belum Mel. Semua belum tuntas. Yang paling utama kamu masih punya hutang penjelasan sama saya, kenapa kamu masih mempertahankan janin itu? Anak kita?" Tanya Rion sendu.
Anak?
Melati berubah kaku nafasnya terasa sesak lalu kegelapan mengambil alih semuanya.
*.*.*.*.
Air mata tidak berhenti mengalir dari kedua mata Melati saat perempuan itu sadar. Saking lemahnya, ia tidak mampu mengusir Rion yang duduk di samping ranjang tempat ia berbaring.
"Aku di sini Melati. Jangan sedih. Kamu bisa bagi semua rasa sedih kamu itu sama aku."
Kini Rion tidak bisa lagi menggunakan bahasa formal. Tidak saat ia melihat seseorang dari masa lalunya begitu rapuh dan menyedihkan.
"Anak itu tidak diinginkan siapa pun. Bahkan sebagai ibunya, saya juga tidak mengharapkannya."
"Bapak mau tahu kenapa saya pertahankan dia?" Tanya Melati pada Rion.
"Saya bermaksud menuntut Bapak saat dia lahir. Menjadikan kehadirannya kehancuran untuk Bapak setelah mencampakkan saya. Tapi berjalannya waktu ..."
Menghirup nafas dalam, Melati mencoba menenangkan diri saat bayangan menjalani kehamilan yang sangat ia rahasiakan itu kembali menyeruak. Kenangan nyata saat pertama kalinya janin itu bergerak. Dia seakan menyapa pada sang ibu yang sudah susah payah mengandungnya.
"Tapi berjalannya waktu ..." air mata kembali mengalir dari sudut mata Melati, dan Rion dengan lembut menyekanya. "Saya ingin mempertahankan dia karena ingin. Niatan saya untuk menuntut Bapak mulai goyah. Dan saat menjelang persalinan saya kembali ke desa ini. Saya tahu kalau rumah orangtua saya sudah lama ditinggal oleh nenek dan adik saya. Jadi saya bisa tinggal leluasa di desa ini meski warga lain pasti mempertanyakan status saya yang hamil seorang diri."
"Dan malam itu ... harusnya dia lahir. Saya berjuang untuk dia tapi dia malah meninggalkan saya hiks" terisak sedih Melati menutupi wajah dengan kedua tangannya. Kata-katanya mulai tak jelas karena bercampur tangisan.
Tak tega Rion pun ikut merebahkan diri di samping Melati seraya memeluk erat perempuan itu.
"Perut saya sakit dan tidak ada yang mendengar permintaan tolong saya. Sebisa mungkin saya melahirkan seorang diri, tapi dia tidak menangis. Dia tidak bersuara nyaring seperti bayi yang lahir pada umumnya. Sa-saya-" Tersendat Melati bercerita.
"Sudah Mel. Cukup. Jangan teruskan lagi." Rion mendekap wajah Melati ke dadanya dan ikut menangis meski tanpa suara. Membayangkan Melati yang harus melahirkan seorang diri di tengah malam tanpa bantuan siapa pun membuat ia ingin membunuh dirinya sendiri.
Membayangkan nasib bayi mereka pun tak kalah teragis. Kemungkinan anaknya mengalami asfiksia atau kemungkinan buruk lainnya yang tak tertangani karena kondisi lemah sang ibu serta tidak adanya tindakan medis segera.
"Dia mati Rion. Bahkan dia belum sempat kasih tahu aku bagaimana suaranya." Melati meraung sedih dalam dekapan Rion. Menanggalkan semua sikap formal pada laki-laki yang dulu pernah menjadikannya prioritas. "Aku nggak pernah bunuh siapa pun termasuk dia."
Rion hanya mengangguk sebagai reapon kalau ia percaya pada apa yang Melati katakan. Membiarkan Melati mengatakan apapun yang ingin wanita itu katakan.
*.*.*.*.
Entah berapa jam terlewati, yang jelas langit terlihat keorenan saat Melati memandang ke arah jendela.
Ia pingsan, sadar, meluapkan semua emosi sembari menangis, lalu setelahnya jatuh tertidur. Rion yang ikut tertidur sepertinya mulai terbangun.
"Kamu udah bangun?" Tanya Rion dari belakang tubuhnya. Tak tinggal diam kedua tangan lelaki itu memeluk erat tubuhnya.
"Saya mau pulang Pak. Tolong lepasin." Pinta Melati datar.
"Pak, Pak! Memang saya bapak kamu? Tadi kamu udah manggil Rion kenapa sekarang berubah lagi, hmm?"
"Lepas Pak atau saya teriak, biar orang-orang tahu kalau Pak Dokter mau melecehkan saya! Ingat anak istri di rumah Pak. Jangan sampai karena kasihan dengar cerita saya Bapak jadi merasa bersalah atau mengulang kesalahan Bapak sama saya dulu."
Melati terus memberontak namun tidak mudah untuk lepas dari Rion, apalagi saat ia mendengar kata anak dan istri dari mulut Melati.
"Anak dan istri yang mana, Mel? Kamu mau jadi istri saya?"
Mendengar pertanyaan absurd itu membuat Melati jengkel dan mengigit tangan Rion hingga ia bisa bangun dari kasur melihat Rion yang kesakitan.
"Jadi Bapak mau mengulang kesalahan lagi di belakang istri Bapak? Dulu saat belum dinikahi anda main gila dengan perempuan lain, sekarang setelah menikah pun anda tidak tobat juga. Benar-benar kurang ajar!"
"Stop!" Balas Rion menghentikan kemarahan Melati.
"Kamu cemburu kalau saya punya istri?" Tanya Rion kalem. "Kamu nggak mau kalau saya memiliki kamu saat saya punya hubungan dengan orang lain, begitu?"
"Saya tidak cemburu. Saya hanya ingin memberi an-"
"Aku nggak punya istri Mel. Pernikahan antara aku dan istriku berakhir."
Tercengang, Melati tidak tahu mesti percaya atau tidak.
"Hanya satu tahun, dan kami sama-sama tidak bisa bertahan. Kami memiliki orang lain yang kami suka masing-masing."
"Mantan istriku sudah menikah kembali dan punya anak. Tapi aku nggak bisa Mel. Setiap mau memulai hubungan yang baru hatiku selalu menolak. Ada perasaan hampa yang tidak bisa diisi siapa pun. Tapi setelah melihat kamu kembali beberapa hari lalu, aku yakin kalau kamu memang takdirku. Hati ini cuma milik kamu Melati."
Melati menggeleng pelan. Lagi-lagi tidak tahu harus merespon apa pernyataan dari Rion.
Mengerti akan keraguan Melati, Rion mendekat, manarik kedua tangan perempuan yang matanya masih sangat sembab untuk ia genggam. "Perasaan kita tidak pernah salah Melati, baik dulu maupun sekarang. Hanya saja saat itu kita memulai hubungan kita pada waktu yang tidak tepat. Aku punya tunangan dan kamu hanya menjadikan aku pelarian dari Ren."
"Saya tidak menjadikan Bapak sebagai pelarian." Sangkal Melati cepat.
"Awalnya, Melati." Koreksi Rion lembut. "Aku tahu pada akhirnya kamu benar-benar punya perasaan sama aku. Dan kamu menaruh besar harapan pada hubungan kita, hanya saja aku mengecewakan kamu."
Melati tahu yang dimaksud, ketika Rion memutuskan hubungan mereka demi mempertahankan citra dan reputasi baiknya.
Tersadar sesuatu Melati pun bertanya, "Dari mana Bapak yakin tentang perasaan saya?"
"Dari Mawar. Saat kamu sekap dia, kamu sempat cerita, kan rasa frustasi kamu. Dan Mawar akhirnya ceritain semuanya ke aku. Cuma baik aku atau dia, tidak ada yang tahu tentang kejelasan nasib bayi kita."
"Saya masih bingung Pak. Semua ini terlalu cepat buat saya."
Dalam keadaan bingung Melati tak menolak saat Rion memeluk dan mengusap punggungnya.
"Kita mulai pelan-pelan dan dengan cara yang baik Mel. Percaya sama aku, kalau kali ini kita berada di waktu yang tepat. Aku ingin menjadikan kamu cinta terakhir dalam hidupku. Aku ingin kita menikah Mel."
"Bapak yakin, mau nikah sama saya? Bagaimanapun saya seorang mantan napi dan punya masa lalu buruk."
"Sstt ... bagiku itu cuma masa lalu cukup jadikan itu pelajaran supaya kehidupan kita nanti semakin baik." Merenggangkan sedikit pelukan mereka tanpa terlepas, Rion menatap tepat pada mata Melati, "jadi, Melati. Maukah kamu menikah denganku? Jadi istri dan ibu dari anak-anak kita nanti?"
Tersenyum haru. Melati berusaha menahan lelehan panas di kedua matanya, sebelum menjawab.
"Saya-"
Krukkk
Baik Melati dan Rion tidak bereaksi saat bunyi keras yang berasal dari perut dokter tersebut sangat nyaring hingga menginterupsi momen ke duanya. Membuat Rion dan Melati tertawa dengan perasaan lega di hati setelah bertahun-tahun memendam kesakitan hati masing-masing.
Sepertinya tidak diisi dari pagi membuat Perut Rion berontak di saat yang tidak tepat.
*END*
See you di cerita pendek lainnya yak^^
Gomawo~๐
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
