Kurang Tepat

2
0
Deskripsi

Kumpulan Cerita pendek yang ditulis oleh Ratuqi.

*Semoga dapat mengobati kejenuhan pembaca akan cerita lain dari saya yang lama diupdate^^

Cover edit; Canva

Untuk kalian yang sudah baca cerita-cerita di 'Short Story By Ratuqi' mungkin merasa kalau cerita di sini terlalu singkat dan ending menggantung. Tapi memang begitu adanya. Ide terlintas begitu saja dan langsung saya tulis sebisanya. Karena ini short story sudah pasti cerita akan sedikit dan minim konflik.

Tidak semua cerita di 'Short Story By Ratuqi'  ada lanjutannya di Short Story Vol.2 'kisah yang belum usai'. Karena tidak semua ide cerita bisa 'saya' kembangkan.

Saya juga sadar betul kalau tema yang sering saya gunakan di cerita saya adalah 'Married Life' πŸ˜… jadi jangan berekspektasi terlalu banyak pada cerita yang saya tulis. Kalau tidak suka bisa di skip saja^^

Sekiranya ada salah, atau ada hal yang tidak berkenan di hati kalian, saya minta maaf ya, karena manusia sejatinya tidak lepas dari lupa dan salahπŸ™

Dan terima kasih untuk para pembaca setia di akun iniπŸ’›πŸ’›

*.*.*

Kurang Tepat
Story By Ratuqi

.

"Makanannya tidak enak?"

Fiona menggeleng lemah.

"Kamu tidak selera? Mau ganti makanan yang lain?" Tanya Smith perhatian.

"Tidak." Jawab Fiona singkat.

"Kamu mual?"

"Tidak."

Smith mengernyit bingung, ada apa dengan sikap Fiona? sejak tadi berubah aneh.

"Kamu kenapa?"

"Tidak apa-apa." Nada wanita itu berubah ketus.

Menghela nafas, Smith meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. "Sebenarnya ada apa Fin? Kamu mendadak aneh setelah pulang dari studio tadi. Ada sesuatu yang mengganggumu?"

Fiona menggeleng, "aku bilang tidak apa-apa. Tidak mau makan bukan berarti ada suatu hal yang menggangguku." Jawab Fiona sewot.

"Kamu tidak usah marah jika memang hanya tidak mau makan. Tapi harus kamu ingat kondisi kamu sekarang. Kamu makan bukan untuk dirimu sendiri tapi juga kandunganmu. Berhentilah bersikap kekanakan."

Fiona berdiri seketika hingga kursi makan berderit ke belakang. "Ya, aku memang kekanakan. Aku tidak mau makan meski aku tahu aku harus makan. Tapi aku tidak peduli aku tidak mau makan, apalagi makan satu meja dengan kamu!"

Terpancing mendengar amarah sang istri yang muncul hanya karena masalah makanan Smith ikut berdiri dan menatap marah pada wanita hamil di hadapannya.

"Mau kamu itu apa sebenarnya? Aku hanya memintamu makan. Tapi kamu marah-marah seakan aku baru saja menyeretmu paksa untuk makan makanan yang mengandung racun. Kamu berlebihan." Smith tak habis pikir.

"Iya, memang! Selain kekanakan aku juga berlebihan. Semua hal buruk ada padaku, tidak ada satu pun hal baik yang aku miliki."

Smith mendengkus, ia menggeleng samar mendengar ucapan melantur Fiona. Aneh sekali. Pembahasan mereka malah melebar seperti ini.

"Bagus lah, kalau kamu sadar diri."

Ucapan Smith menusuk nyeri ke hati wanita hamil dengan baju terusan selutut berwarna merah muda itu. Meski sudah tahu hal tersebut benar, tapi diakui secara langsung tetap lebih sakit ternyata.

Smith berbalik keluar dari ruang makan, namun sebelum menghilang, ia kembali berkata, "bereskan semua makanan itu, jika kamu tidak mau makan buang saja semuanya. Sekalian dengan peralatan makannya."

Lalu laki-laki itu menghilang meninggalkan Fiona yang menunduk dengan tangan terkepal. Bulir air matanya menetes.

*.*.*

"Kamu kenapa bisa nikah sama asistennya? Kamu 'kan sukanya sama Clarisa, nikahnya malah sama Fiona."

Smith yang sedang membereskan peralatan kameranya menoleh, "memang kenapa?"

"Ya ... kurang tepat saja, masa yang dikencani bosnya, yang dinikahi malah babunya. Beda level juga." Wanita yang mengajaknya bicara terkikik.

Smith menggeleng. "Mau bagaimana lagi. Sudah takdir mungkin."

"Takdir apa terpaksa?" Tanya satu orang lain. Dua wanita itu lalu tertawa bersama.

"Kalau saja kamu CEO perusahaan, pasti, ayah Clarisa tidak akan menolak kamu untuk jadi menantunya."

"Sayangnya aku hanya seorang tukang foto yang tidak pantas bersanding dengan Clarisa."

**..**..**..**

Smith tidak pulang semalaman. Dan Fiona tak bisa tidur karena memikirkan pernikahan mereka yang sepertinya tidak akan berhasil ini.

Pernikahan karena terpaksa. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mempertahankan. Hadirnya bayi dalam kandungan tidaklah sekuat yang ia kira. Pernikahan itu masihlah tentang dua orang dewasa yang benar-benar mau bersama saling menerima, melewati, dan mempertahankan. Bukan terpaksa karena keadaan.

Sepertinya, memang cukup begini. Ia tak mungkin menyiksa lelaki baik seperti Smith. Mungkin mereka lebih pantas sebagai teman atau rekan kerja seperti sebelumnya ketimbang pasangan suami istri.

*.*.*.

"Kamu mau ke mana?"

Fiona yang sedang kesusahan menarik koper mendongak. Ia tersenyum tipis melihat Smith berdiri di pintu masuk apartemen mereka.

"Kamu pulang?" Tanya Fiona pelan.

Smith tak menjawab dia melangkah dan berhenti di depan Fiona, "kamu mau ke mana dengan koper itu?"

Menunduk Fiona menarik nafas mengumpulkan keberanian untuk mengatakan keputusannya.

"Sebaiknya kita ... berpisah saja, Smith."

"Apa?!" Alis Smith terangkat tinggi, berusaha memastikan telinganya tidak salah dengar ia bertanya, "Berpisah, katamu?"

Fiona mengangguk, "iya, aku sudah memikirkannya, sepertinya kita memang tidak bisa memaksakan pernikahan ini."

"Siapa yang bilang memaksakan? Kalau ini tentang aku yang semalam memintamu makan hingga kesal, aku minta maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi. Tapi tolong jangan berpikiran untuk berpisah."

Menggeleng, "bukan. Bukan karena masalah malam tadi, aku hanya merasa kalau sulit bagi kita menemukan kecocokan. Karena pada dasarnya kita bukanlah orang yang tepat untuk menyatu dalam sebuah pernikahan. Dan soal semalam aku sadar aku juga salah."

Smith menggeleng, "tidak Fin. Kita sudah sepakat kalau kita akan berusaha pelan-pelan menjalani hubungan ini. Kamu tahu, meski kita tidak saling mencintai, tapi kita memiliki tanggung jawab sebagai orangtua. Kamu tidak mau kan, anak kita mempunyai orangtua tidak lengkap?"

Fiona tersenyum miris, dalam hati ia menyangkal, bahwa yang tidak memiliki cinta hanyalah Smith sedangkan ia sudah sejak dulu jatuh hati pada lelaki itu meski sekali pun tak pernah mata pria itu tertuju padanya.

"Dia tetap punya orangtua lengkap, Smith. Dia punya aku sebagia ibu, dan kamu sebagai ayahnya." Fiona menyentuh tangan Smith dan menempelkan telapak tangan itu ke perutnya.

"Tapi tidak akan sama jika kita berpisah Fin." Smith memandang penuh permohonan.

"Aku tetap ingin berpisah. Setidaknya lebih baik kita akhiri dengan baik lebih awal. Daripada berakhir nanti tapi lebih sakit."

Smith menggeleng saat Fiona kembali menarik kopernya untuk keluar dari apartemen. "Fin, jangan pergi."

"Maaf Smith."

*.*.

"Kamu itu bodoh atau apa? Ada laki-laki yang dengan gentleman mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan menikahi kamu malah kamu sia-siakan begini! Mau ditaruh di mana muka kita kalau orang-orang tahu kamu pisah dengan suami kamu padahal baru menikah? Kamu tidak berpikir ke arah situ?"

"Aku tidak mau menyiksa dia, Kak. Dia berhak bahagia. Dan bahagianya dia bukan denganku." Fiona memilin jari-jarinya di atas meja makan.

"Lalu dengan siapa? Mantannya?! Mantan yang sudah menikah dengan laki-laki lain itu? Kamu itu sekali saja coba pakai otakmu untuk berpikir. Mau siapa pun orang yang dia cinta di masa lalu, sekarang dia suamimu. Ayah dari bayi yang kamu kandung. Bahagia atau tidak ini sudah jadi resiko kalian karena berbuat hal di luar batas hingga menghadirkan seorang anak yang tidak bersalah.

"Sekarang kamu pulang. Kembali ke apartemenmu. Aku tidak manerima kamu tinggal di sini. Apa kata tetangga nanti melihat perut kamu sudah besar padahal baru satu bulan menikah." Fania, kakak dari Fiona bertolak pinggang dengan wajah marah.

"Kenapa Kakak jahat sekali, padaku. Kalau aku tidak boleh tinggal di sini, aku harus tinggal di mana, Kak?"

"Tinggal di mana suami kamu ada. Karena di situlah tempat istri seharusnya berada. Jangan menangis. Akan Kakak pesankan taksi online."

Fania lalu memesan taksi dari ponselnya. Beruntung ada taksi online yang sepertinya berada tak jauh dari titik lokasi rumahnya.

"Kak ... aku mohon. Biarkan aku tinggal bersama Kakak sementara. Aku janji nanti akan mencari pekerjaan kembali." Mohon Fiona sedih.

"Tidak. Sekali Kakak bilang tidak ya, tidak. Itu, bawa kembali kopermu!" Fania menunjuk koper sang adik yang berada di pojok ruangan. "Ayo! Taksinya sudah ada di depan." Ucap Fania melihat langkah berat adiknya.

Ia kasihan sejujurnya. Fiona sedang hamil dan harus ia usir malam-malam begini. Tapi mau bagaimana lagi, sebab kelakuan sang adik yang kabur sedari pagi hanya karena masalah sepele membuatnya gemas sekaligus kesal akan pemikiran Fiona.

"Kakak jahat!" Fiona menghapus air matanya kasar menarik kopernya melewati sang kakak yang berdiri melipat tangan di samping pintu terbuka.

"Pulang sana! Jangan kembali ke mari sebelum urusan kalian selesai secara baik."

Blam!! pintu di tutup ketika Fiona sudah di luar.

"Perlu bantuan?"

Suara itu? Fiona yang kesusahan menyeret koper, mendongak. Matanya membesar karena terkejut.

"Smith?!"

"Ya." Smith tersenyum lembut. Maju beberapa langkah untuk menghapus sisa air mata di pipi sang istri. "Aku mengirim pesan pada Kakakmu, dan dia berkata bahwa aku harus membawamu pulang. Kamu ... mau kan pulang ke apartemen kita, lagi?"

Tatapan lembut Smith malah membuat Fiona kembali menangis.

"Kamu kenapa masih sebaik ini padaku?" Fiona sudah menyusahkan Smith sejak kejadian yang membuat sesosok janin hadir dalam rahimnya. Semalam bahkan Fiona membentak lelaki itu hanya karena kesal mendengar pendapat orang lain tentang hubungan mereka.

"Kalau aku baik, kamu tidak akan kabur ke sini." Menyelipkan helai rambut Fiona di balik kuping, "aku juga salah semalam sudah terbawa emosi. Padahal seharusnya aku sadar kalau wanita hamil terkadang suasana hatinya cepat berubah-ubah. Maafkan aku." Smith mengenggam kedua tangan Fiona.

"Jangan menangis," direngkuhnya tubuh berisi Fiona dengan lembut.

"Smith ..." Fiona menarik diri namun tidak sampai terlepas dari lingkar tangan suaminya, Smith berada di sini untuk menjemputnya pulang, jadi sebelum ia kembali pada lelaki di hadapannya ini, biarkan ia mengakui sesuatu, "aku mencintaimu. Bahkan sebelum malam itu, aku sudah jatuh hati padamu. Aku tahu, kamu mungkin tidak memiliki perasaan yang sama denganku, tapi aku mohon. Maukah kamu mencoba untuk terus menjalani pernikahan ini, bersamaku dan anak kita? Apa kamu bersedia?"

Smith masih termangu dengan pernyataan Fiona. Melihat kejujuran dan harapan dalam kedua bola mata sang istri membuat hati Smith meyakini satu hal. "Sejak aku menikahimu, aku sudah berikrar bahwa aku akan menerimamu apa adanya, berada di sampingmu apa pun terjadi sampai maut memisahkan. Jadi, tanpa kamu minta, aku akan mempertahankan pernikahan kita selagi kamu juga mau mempertahankannya. Mungkin aku belum bisa berkata bahwa aku juga mencintaimu. Tapi percayalah kesetiaanku telah kuletakkan padamu sejak kita mengucap janji di altar."

Fiona tersenyum, tidak apa-apa meski Smith belum membalas 
Pernyataan cintanya. Semua tentu perlu proses. Tapi yang pasti ia percaya Smith akan menepati kata-katanya.

Kesetiaan lelaki itu untuk pernikahan mereka.

~End

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya Pernikahan Kedua
6
0
Kumpulan Cerita pendek yang ditulis oleh Ratuqi.*Semoga dapat mengobati kejenuhan pembaca akan cerita lain dari saya yang lama diupdate^^Cover edit; Canva
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan