Sayap-sayap Plastik

54
4
Terkunci
Deskripsi

PROLOG

Sesuai kesepakatan awal. Siapa yang kalah, harus rela mutusin pacar! Pemuda itu berkata culas. Seringai licik tercetak jelas di bibir cokelatnya. Tubuh proporsionalnya bersandar santai pada pintu bagian luar sebuah mobil sport merah metalik berjenis Lamborgini. Tangan kanannya melingkar manis di pinggang seorang wanita cantik berpakaian seksi.

Tepat di depannya, berdiri seorang pria sebaya, bersisian dengan seorang gadis yang sudah berusaha menahan diri untuk tak memuntahkan protes sejak awal...

49,532 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
475
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Bukan Kisah Cinta
88
26
Prolog  Itu ... bukan Cinta.Sama sekali bukan.Cinta yang ia tahu, lembut. Menenangkan. Sedikit menggebu. Dan ... hangat.Bukan, bukan yang dingin, datar dan tak peduli.Raki menatap kosong kursi di seberang meja yang ditinggalkan istrinya beberapa saat lalu. Hawa hangat dari sana masih terasa. Seolah wanita itu tidak ke mana-mana. Belum pergi meninggalkannya.Lalu, apa katanya tadi?Bibir Raki menipis mengingatnya. Ia menarik napas. Berusaha melonggarkan tali tipis yang seolah membelit jantungnya begitu kencang hingga nyaris berhenti berdetak. Nyaris. Selama beberapa saat. Beberapa saat singkat yang anehnya menyiksa.Sejak kapan wanita itu memiliki pengaruh seperti ini. Seperti ... seperti apa? Raki bahkan tak sanggup menjelaskan. Ah, tidak. Yang benar, dia hanya tak ingin mengakuinya.“Nggak usah berbelit-belit, Mas Raki,” katanya hampir lima belas menit lalu.Dia bilang Mas Raki.Bukan Mas Madana.Dan bukan ... Buya.Kening Raki mengernyit samar kala sesuatu seperti jarum kecil, sangat kecil, dan tak kasat mata, serasa menusuk jantung atau hati? Entah. Yang pasti, Raki sempat kesulitan bernapas. Sejenak.“Cerai kan, yang kamu mau?” kalimat tersebut terucap begitu ringan, seakan tanpa beban. Seolah tak berarti apa pun. Kali ini bukan lagi kesulitan napas, tanpa alasan amarah Raki justru bangkit. Padahal, bukankah memang ini yang ia maksud sejak awal? Oh, tapi demi Tuhan, Raki tidak pernah berharap Cinta akan dapat menebak segamblang dan, ugh ... setenang itu.Menarik napas dan mengembuskannya dengan tatapan yang masih menyala, dia melanjutkan, tak menyadari satu tangan Raki terkepal di balik meja persegi yang biasa mereka gunakan saat makan. Detak jam dinding berbunyi nyaring di atas pintu yang mengarah ke dapur.Tek ... tek ... tek ....Raki menghitung dalam hati, dan--“Kamu mau ceraikan aku, silakan. Kamu mau nikah lagi dan poligami, oke. Kamu mau ambil hak asuh Flo setelah kita pisah, aku nggak masalah, kamu bapaknya. Atau kalau calon kamu keberatan sama Flo, aku masih bisa urus dia.” Cinta berhenti. Ekspresinya sama sekali tidak berubah. Masih datar dan, entah kenapa membuat Raki kesal. “Karena jauh lebih baik begitu daripada kamu selingkuh diam-diam.” Menelan ludah, tatapannya makin tajam. “Aku memang mencintai kamu. Dan ya, penghiatan kamu cukup menyakitkan. Tapi, hidupku jauh lebih penting ketimbang meratapi penghianatan kamu. Masih banyak hal yang harus aku lakukan yang bisa bikin aku bahagia. Bukan cuma kamu.” Kursi tempat duduknya berderit saat Cinta berdiri. Sejenak ia terengah. Raki memalingkan pandangan, membiarkan fokusnya menjelajah ke seluruh ruangan. Ke mana pun, asal tidak beradu pandang dengan istrinya dan memperlihatkan emosi Raki yang tak menentu.Sial. Raki mengumpat dalam hati. Kata-kata Cinta tidak seharusnya semenyakitkan ini. Tidak selama Raki tak mencintainya. Dia hanya mencintai Laura, sedari dulu. Dan akan selalu begitu. Takdir memang pernah membuat mereka terpisah di masa lalu, tapi di masa depan, tak akan Raki biarkan lagi.Saat derap langkah kaki terdengar, Raki menatap sosok Cinta dari belakang. Dia melangkah menjauh, namun sebelum sosoknya menghilang di balik lemari partisi yang memisah ruang makan dan ruang tengah, ayunan kaki Cinta berhenti. Tanpa menoleh, dia berkata lagi. “Mas Raki, maaf ... mungkin aku masih akan mencintai kamu, entah bagaimana pun pernikahan kita nanti, tapi aku nggak lagi bisa ngasih rasa hormat sebesar dulu.”Kemudian, sosoknya menghilang. Meninggalkan lubang kosong di suatu tempat. Tempat yang sialnya bahkan tak pernah Raki kira ada dalam dirinya.     Lembar Ke-1    Seharusnya, malam ini, semua baik-baik saja seperti waktu-waktu lalu. Cinta akan menunggu suaminya pulang di ruang depan sambil membaca, terkadang sampai ketiduran bila Raki lembur.Ah ... Raki memang sering lembur akhir-akhir ini, katanya. Namun makin ke sini, Cinta meragukan itu. Dan keraguan itu kian berkembang sejak suara perempuan lain mengangkat panggilan teleponnya kemarin malam. Di jam setengah satu. Pagi. Saat Cinta sedang tak bisa tidur karena terbelenggu rindu dan butuh hiburan. Justru kejutan tak menyenangkan yang ia dapat.Tidak. Tidak. Tidak.Cinta percaya pada suaminya. Yang mengangkat telepon malam itu kemungkinan besar klien atau siapa pun yang berhubungan dengan meeting di luar kota yang Raki hadiri.Namun, sekeras apa pun Cinta berusaha menyangkal firasatnya, kenyataan lama-lama akan terungkap jua.Jarum pendek jam tepat menunjuk angka setengah dua belas tengah malam saat deru mobil sedan putih Raki terdengar. Cinta langsung menutup buku setebal hampir lima senti yang bahkan belum sehalaman pun ia pahami lantaran pikirannya yang ke mana-mana hingga ia harus mengulang satu halaman berkali-kali agar bisa memasuki dunia fiksi yang biasa mampu mengalihkannya dari apa pun. Tapi, rupanya tidak saat ini.Meletakkan—nyaris membanting—buku bersampul hitam itu ke atas meja rendah berlapis kaca, Cinta bangkit berdiri. Bergegas, setengah berlari menuju pintu depan demi menyambut suaminya yang baru pulang.Raki pasti lelah. Cinta tidak akan bertanya macam-macam, terutama topik yang dapat memicu pertengkaran—seperti tentang perempuan lain. Yang harus ia lakukan dan pikirkan setelah ini adalah menuang air hangat dalam termos ke baskom untuk membasuh kaki Raki yang pasti engap setelah bersepatu seharian serta menghangatkan makan malam. Cinta sudah memasakkan makanan kesukaan lelaki itu sebagai bentuk penyambutan.Salah satu daun pintu utama rumah berlantai dua itu, Cinta buka bersamaan. Sosok Raki yang melangkah gontai dari garasi langsung tertangkap pandangan. Tampilan Raki cukup berantakan. Jas tersampir di bahu, dasi longgar serta lengan kemeja yang tergulung asal.Oh, dia sudah pasti lelah.“Assalamualaikum, Mas.” Cinta melepas dua tangannya dari gagang pintu. Bergerak maju hingga berdiri tepat di depan Raki yang spontan mendongak. Senyum termanis ia suguhkan, pun simpul hijab rapi serta pipi yang sudah ia poles dengan pemerah agar suaminya senang.Namun, Raki tidak tersenyum. Tak sama sekali. Awalnya. Sampai seolah tersadar, ia tampak menarik paksa satu sudut bibirnya membentuk seringai samar. “Waalaikumsalam.”Firasat Cinta makin buruk. Tapi Cinta berusaha menepis. Senyum lebarnya ia pertahankan seraya meraih tangan besar Raki—yang terasa dingin, barangkali karena terlalu lama dalam perjalanan—untuk ia cium sebelum meraih tas laptop yang laki-laki itu tenteng di tangan kiri.“Aku nggak nyangka kamu bakal semalem ini,” ujarnya lembut, “Kamu pasti capek banget. Tunggu aku siapin air hangat buat kaki kamu dulu ya, abis itu baru makan. Aku temenin.”Raki menatapnya beberapa saat dengan sedikit … ganjil. Lalu mengangguk sekali.Cinta berusaha tak mengambil pusing ekspresi dan tingkah aneh suaminya. Bahkan ia mati-matian menahan diri untuk tak mengingatkan Raki bahwa lelaki itu belum mencium keningnya. Barangkali Raki hanya terlalu lelah dan butuh segera tidur.“Flo tadi nunggu kamu loh. Kangen Buya, katanya. Pengen makan malem bareng.” meletakkan jas dan tas laptop Raki di sofa ruang tengah, Cinta mengikuti lelaki itu menuju meja makan. Menyiapkan air hangat seperti yang ia janjikan untuk merendam kaki sang suami. “Dia pikir kamu bakal pulang cepet.” Cinta berjongkok di bawah sofa. Memasukkan satu kaki Raki ke dalam baskom, pun kaki yang lain. Dipijit-pijit pelan sambil terus berkicau. “Tapi saat jam delapan kamu belum juga pulang, dia malah minta makan duluan. Keburu laper katanya,” Cinta terkekeh pelan sambil mendongak, hanya demi mendapati raut wajah Raki yang masih datar. Yang sukses memudarkan kekehannya perlahan. Dia mengedik pelan, “Kamu tahu kan, anak kita nggak pernah bisa tahan laper.”Raki masih belum menanggapi. Membiarkan Cinta berbicara sendiri.Sebenarnya dia kenapa? Pikirnya. Selama satu minggu di luar kota, dia hanya sekali menelepon ke rumah. Pun pesan-pesan Cinta yang dibalas singkat.Sesibuk itukah? Padahal tak begini biasanya.Mengusap kaki Raki sekali lagi, Cinta berdiri. Dua tangannya yang basah ia biarkan menggantung di sisi-sisi tubuh, sesekali menjatuhkan tetes-tetes kecil ke lantai ruang makan yang sunyi, hanya diisi oleh suara Cinta tanpa seorang menanggapi. Meski ada Raki di sini.Dia mungkin hanya lelah. Dan sisi baik Cinta masih berusaha membela.“Aku masak makanan kesukaan kamu loh, pakai resep yang dikasih Ibu kemarin,” ujarnya seraya berbalik. Berusaha sibuk dan fokus menghangatkan ayam goreng yang dimaksud. “Aku yakin kamu bakal suka. Rasanya hampir nggak ada bedanya sama masakan ibu.” Cinta terus mengoceh, mengabaikan bisikan samar yang menyuruhnya bertanya tentang sikap Raki yang berubah. “Tapi kalau Mas Madana ngerasa ada yang kurang, nanti kasih tahu aja, ya. Mas kan tahu, aku nerima masukan dengan senang hati.” Melengkungkan bibir sekali lagi, dia menoleh ke belakang. Pada Raki yang masih diam di kursinya. Bahkan sama sekali tak memerhatikan Cinta.Ingat, dia hanya lelah.–lelah berkepanjangan, karena bukan dimulai malam ini saja. Melainkan sejak dua minggu sebelum keberangkatan ke luar kota. Raki jadi jarang bicara. Pulang malam bahkan pernah sampai pagi buta. Melupakan Cinta yang tak akan makan malam sebelum memastikan suaminya tiba di rumah dan baik-baik saja.Apa dia punya salah?Cinta menggigit bibir untuk menahan diri. Dia selalu menahan diri. Ketenangan dan kedamaian adalah segala yang ia impikan dalam hidup. Tapi, apa salahnya?Ayam goreng kampung serta tumis kangkung kesukaan Raki menguarkan aroma nikmat di udara begitu Cinta menghidangkan menu tersebut di atas meja. Disusul makanan pendamping lain yang biasanya selalu berhasil menggugah selera Raki. Tapi, suaminya masih tak mengatakan apa pun. Termasuk pujian pada Cinta yang tampil cantik mengenakan dress baru semata kaki yang beberapa bulan lalu Raki belikan. Kala itu, Raki mengatakan dress bermotif abstrak ini akan sangat cocok memeluk tubuh istrinya yang ramping.Oh, tentu tak ada pujian. Tubuh Cinta kini lebih dari sekadar ramping. Nyaris tinggal belulang. Bobotnya turun  beberapa kilo lantaran terlalu memikirkan perubahan Raki yang tak lagi sama.“Selamat makan!” Cinta masih berusaha ceria. Duduk di kursi seberang meja usai memenuhi piring Raki dengan nasi lengkap dengan lauk pauk.Namun belum juga sesuap nasi masuk dalam mulut, Raki berhasil menghentikan ujung sendok Cinta tepat di depan bibir.“Maaf, Ta. Sebenarnya Mas sudah makan.”Bibir Cinta yang terbuka siap menyuap, terkatup. Gemuruh naga dalam perutnya teredam seketika. Pun sendoknya yang kembali jatuh ke atas piring, menumpahkan butir-butir nasi yang seharusnya mungkin sudah masuk lambung. Gumpalan kasar tak kasatmata yang mendadak menyumbat kerongkongan, ia telan paksa. “Oh,” resposnnya, kecewa. “Kenapa Mas nggak bilang?”Cinta yang belum makan. Terakhir tadi siang. Ia sengaja menunggu Raki pulang agar bisa bersantap malam bersama. Seperti biasa. Pun Flo, yang akhirnya menyerah makan jam delapan tadi karena sudah mengantuk. Putrinya yang cantik sangat menyayangi dan menghormati sang ayah.“Karena ….” Raki memainkan sendok hingga membuat tumpukan nasi di piringnya menjadi berantakan. Sejenak ia tampak ragu sebelum melepas sendok dari tangannya hingga gagang aluminium itu membentur pinggiran piring dan menimbulkan bunyi denting samar. Mendesah, Raki bersandar pada punggung kursi kayu jati berpelitur hitam yang diduduki sebelum mengepalkan tangan penuh tekad di atas pangkuan. “Aku ingin kita bicara,” lanjutnya dalam satu tarikan napas dalam.Nafsu makan Cinta sepenuhnya hilang, digantikan perasaan waswas. Waswas yang sama seperti malam lamarannya yang gagal. Bertahun-tahun silam.Ah, tidak. Dia dan Raki bahkan sudah menikah. Hal apa yang patut diwaswaskan—“Aku mau jujur sama kamu.”Cinta mengangguk, tangan-tangannya ia istirahatkan di atas pangkuan. “Tentang apa?”“Kamu ingat kan, alasan mengapa kita menikah?”Cinta mencelos. Alasan menikah? Keningnya mengernyit dalam.“Ya.” Apa yang Cinta harapkan dari pernikahan hasil keputusan bodohnya selain … kehancuran?Ya, hancur. Hatinya. Hidupnya. Semuanya.Menutup pintu kamar perlahan hanya agar tak menimbulkan bunyi. Ia melangkah menuju ranjang yang membentang sombong di tengah ruang besar yang empat tahun ini ia anggap surganya di dunia. Ia jatuhkan diri di ujung kasur sambil menarik napas panjang-panjang. Satu tangan yang masih gemetar, ia sanggakan di samping tubuh, sedang tangan yang lain mengusap-usap kening sebagai upaya penenangan diri.Pengkhianatan seharusnya bukan hal asing lagi bagi Cinta. Bukan. Karena, sepanjang hidup ia sudah melalui itu semua. Seharusnya. Namun, kenyataan kini menunjukkan bahwa … masih sesakit itu. Bahkan jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan Iron nyaris tujuh tahun lalu.Menarik napas sekali lagi, Cinta tarik ujung jarum pentul yang menyimpul kerudung hijau yang malam ini membungkus kepalanya secantik biasa. Lantas berdiri, yang kontan membuat kain halus persegi itu meluncur jatuh ke lantai, dan tak Cinta pedulikan. Karena sang empunya lebih tertarik mendekati cermin setinggi dua meter yang menjulang manis di samping meja rias.Aku cantik, pikirnya pilu. Meski bukan jenis kecantikan hedonis seperti yang Lumi, kakaknya miliki. Cinta punya mata yang tidak terlalu besar, alis hampir terlalu lebat, tulang pipi tinggi dan bibir sedikit lebih lebar dari Lumi, tapi tidak sepenuh milik sang kakak. Dan hidungnya … meski tak terlalu mancung, tapi mungil dan runcing, terpasang sempurna di wajahnya yang oval.Inikah alasan suaminya masih melirik perempuan lain?Bisa jadi.Padahal ia sudah berusaha sebaik mungkin melakukan berbagai macam perawatan diri. Hanya demi Raki.  Yang ia pikir … Cinta menggeleng pelan.Kepalanya pusing sejak beberapa hari lalu. Bahkan beberapa kali ia hampir jatuh pingsan lantaran kelupaan makan. Asam lambungnya juga sering naik hampir setiap pagi. Tapi, apa yang Raki lakukan?Dinas keluar kota katanya? Dinas bersama perempuan lain. Ah, dinas. Cinta tertawa satire. Menertawakan kebodohan sendiri. Menertawakan takdir yang seolah selalu mengajaknya bermain-main.Namun, sudahlah. Satu suara dalam kepala menyela. Ini bukan kali pertama. Jika dulu ia bisa melepaskan Iron dengan hati lapang dan penuh perdamaian, lantas apa bedanya kali ini? Dulu pun ia juga cinta. Sekarang sama saja.Tapi ada Flora. Dan satu suara yang terdengar lebih jauh dalam kepalanya ikut ambil bagian dalam kegalauan itu.Flora masih terlalu kecil untuk mengerti kesakitan ibunya. Dia juga belum bisa paham arti sebenarnya dari perpisahan. Dan bukankah ini lebih baik? Ya, semua akan baik-baik saja. Ia tidak sendiri. Tuhan tidak pernah tidur. Garis takdirnya bahkan sudah terarsir jauh sebelum ia dilahirkan.Lantas apa yang ia takuti?Membisikkan istighfar di antara bunyi detak jarum jam dinding yang seolah mengejeknya, Cinta bergeser. Menarik kursi meja rias dan menjatuhkan diri di sana. Ia melepas sanggul kecilnya hingga rambut ikal sewarna malam itu jatuh dengan lembut menyentuh bahu sebelum tergerai menutupi sebagian punggung ringkihnya. Cinta mulai menyisir perlahan. Seperti kebiasaannya sebelum tidur.Tapi, biasanya suasana tidak begini. Bukan seperti ini. Cinta menggigit bagian dalam bibir keras-keras. Berusaha tidak menangis.Malam-malam sebelum ini, setiap kali ia menyisir rambut di malam hari, cermin di depan sana bukan hanya memantulkan gambar wajahnya, tapi juga raut tampan Raki yang berbaring di ranjang. Tatapan mereka bertemu dalam kaca. Dan Cinta akan selalu tersipu malu setiap kali Raki mengedipkan mata sebelum bangkit dari kasur besar itu demi menghentikan aktivitas Cinta dan menggendongnya ke peraduan mereka. Lalu malam akan terasa jauh lebih panjang.Oh, itu dulu. Sebelum sikap Raki perlahan berubah.Tak kuasa dengan luapan memori masa-masa indah pernikahannya, Cinta banting sisir malang hijau itu hingga menabrak berbagai macam krim perawatan yang selama ini ia balurkan ke sekujur tubuh. Demi selalu memukau Raki. Suaminya yang … berkhianat.Bukan sekadar khianat. Dia bahkan sudah terang-terangan malam ini. Bicara berputar-putar di sela makan malam mereka yang sudah kemalaman. Menjelaskan betapa empat tahun ini Raki sudah berusaha sekuat tenaga belajar mencintai Cinta, tapi ternyata gagal.Gagal.Kenyataan tersebut bagai pukulan telak bagi Cinta yang bahkan sudah bisa menumbuhkan perasaan mendalam pada suaminya bahkan sebelum kelahiran anak mereka. Lalu pikiran-pikiran buruk pun susul-menyusul kemudian.Tentang kenyataan, bahwa selama ini Cinta mencintai sendirian. Tanpa balasan.Cukup sudah. Semua berakhir malam ini. Fakta bahwa Raki berbohong tentang kepergian dinasnya yang ternyata merupakan liburan terselubung dengan perempuan lain seharusnya sudah cukup membuat Cinta berhenti berharap. Alih-alih penjelasan yang ia dapat sepulang suaminya dari luar kota, justru pembenaran atas segala curiga yang sudah mulai tumbuh di hati Cinta sejak bermalam-malam lalu.Menatap pantulan wajahnya sekali lagi, Cinta memutuskan bahwa ia hanya butuh tidur.Persetan dengan Raki.Persetan dengan perselingkuhannya.Besok pagi, Cinta harus bangun dalam keadaan utuh dan mental yang lebih tangguh, karena membohongi diri butuh lebih banyak energi.Dengan langkah gontai, ia kembali menuju ranjang. Mengambil tempat di sisi kiri, kemudian berbaring menghadap kiri pula. Mulai malam ini, ia ingin membiasakan diri tidur tanpa menghadap Raki, sebelum keadaan yang memaksanya terbiasa. Namun belum juga alam mimpi merenggut kesadarannya, bunyi pintu yang dibuka tiba-tiba membuat punggungnya tersentak kecil, kaget. Sadar bahwa suaminya masih punya nyali tidur di kamar yang sama setelah pertengkaran terhebat mereka sepanjang sejarah perkawinan membuat satu tangan Cinta di bawah bantal terkepal. Tapi dia tetap menolak membuka mata.Begitu pintu kamar ditutup kembali, Cinta merasakan punggungnya seolah dilubangi selama beberapa saat. Seolah seseorang di belakang sana tengah memerhatikan lekat. Tapi, Raki tidak mungkin mau repot-repot melakukannya. Bukankah lelaki itu sendiri yang mengatakan bahwa selama ini tak pernah ada rasa yang lebih dari sekadar sayang seorang kakak terhadap adiknya pada Cinta. Tidak lebih—padahal seorang kakak tidak seharusnya dengan suka rela meniduri adik, kan?—Cinta yakin, Raki justru akan senang tidur tanpa harus berhadapan dengan istri—yang tidak dicintai—nya. Karena dia sudah terbebas dari keharusan sikap berpura-pura demi tak menyakiti wanita yang ia nikahi, pun mungkin secara terpaksa.Mengurai kepalan tangan yang mulai terasa menyakitkan pelan-pelan, Cinta menarik napas panjang entah untuk ke berapa kalinya malam ini, berusaha menghilangkan segala sesak di dada agar benar-benar bisa melangkah ke dunia mimpi. Dunia yang ia harap tak ada Raki di sana. Atau setidaknya, tak ada penghiatan lelaki itu.Namun sekali lagi, sesuatu kembali menginterupsi. Bunyi ponsel yang Cinta kenali sebagai milik suaminya menjerit-jerit. Membelah keheningan menegangkan yang tanpa komando membuat hatinya gelisah.Dan segala sumber kegelisahan itu terjawab kala suara berat Raki menyambut dengan sapaan hangat.“Halo.”Cinta makin meradang mendengar suara lembut suaminya, pun perut yang mendadak mual.Ah, benar. Asam lambungnya pasti naik. Ia belum makan lagi selain tadi siang.“Ini aku udah mau tidur.” suara Raki terdengar samar dan makin jauh ke arah jendela kamar di belakang sana. Dan Cinta tak lagi mampu menahan perut yang bergejolak.Tak kuasa, ia menutup mulutnya yang hampir muntah. Cinta mengakhiri aksi pura-pura tidurnya. Persetan dengan Raki dan lawan bicaranya di telepon. Cinta menyingkap kasar selimut, menyingkirkan kain tebal itu hingga jatuh menjuntai ke lantai. Ia berlari ke arah kamar mandi, melewati Raki yang menoleh padanya dengan wajah … terkejutkah? Atau mungkin heran. Cinta tak peduli. Dan tak mau peduli.“Ta,” Laki-laki itu menjauhkan ponsel dari telinga. Hendak menyusul Cinta ke kamar mandi tepat saat pintu persegi ditutup keras tepat di depan hidungnya.     Lembar Ke-2    Bunyi alarm yang melengking tajam membuat Raki mengerang. Manusia sialan mana yang membunyikan alarm senyaring ini? Bukan sekadar nyaring, karena bunyi menyakitkan itu bahkan terdengar seperti berada di dekat telinga.Dekat telinga?Oh, sial!Raki sontak membuka mata dan mendapati dirinya tidur menghadap sisi ranjang yang sudah kosong dengan seprai kusut. Bukti nyata bahwa seseorang sempat menempatinya. Tentu saja, Cinta. Wanita yang kurang lebih empat tahun ini selalu berada di sisinya. Istrinya.Merasa bunyi alarm masih enggan berhenti, Raki mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Si tersangka akhirnya didapat juga. Dengan tubuh kerdil gendut, berdiri tepat di meja nakas. Dua telinganya  bergetar setiap mendapat pukulan dari pentungan kecil di puncak kepala. Raki menatapnya lekat dan … dari mana datangnya hampa yang mendadak membuatnya merasa kehilangan. Entah apa.Menatap sisi tempat tidur Cinta sekali lagi, ia mendesah sebelum meraih si jam bulat kecil nan gendut itu untuk mencabut kasar baterai sebelum membantingnya hingga membentur dinding kamar, yang kontan meninggalkan bekas kehitaman samar di sana, kemudian jatuh bergelinding di lantai. Berhenti tepat di bawah kaki Raki yang telanjang. Seakan hendak mengejeknya.Demi Tuhan, jam weker itu sama sekali tak bersalah. Hanya saja, kenapa—Ah, tentu saja. Cinta tak akan lagi sudi membangunkan Raki—si suami tak tahu diri—dengan gelitikan mesra dan kecupan-kecupan basah di seluruh wajah seperti yang selalu wanita itu lakukan setiap menjelang subuh.“Sudah mau subuh, Mas. Ayo, Bangun.”Biasanya. Dengan suara lembut penuh rayu. Siapa yang tidak akan tergoda? Raki yang malang sontak akan bangun. Menggulingkan tubuh istrinya untuk satu ciuman panjang sebelum melompat turun dari ranjang. Bergegas membersihkan diri.Sejak  menjadi suami Cinta, Raki rajin salat. Bahkan ke masjid. Hampir setiap waktu. Karena dapat dipastikan, adzan kurang dari tiga puluh menit, istrinya akan selalu mengingatkan.“Dapatkan shaf pertama, ya!” pesannya walau jarang Raki turuti, karena ia sendiri lebih suka di shaf terakhir.Dan kini? Apa yang dia harapkan? Tentu saja ranjang yang dingin dan ketiadaan sosoknya.Menyugar rambut ke belakang dengan memberi tekanan pada setiap ujung jari demi meredakan denyutan keras di balik kulit kepala, Raki turun. Baru dua langkah dari kasur, suara penuh dosa dari balik telinga bertanya, kenapa ia masih harus menuruti kemauan Cinta saat keadaan rumah tangga mereka berada di ambang kehancuran?Raki sudah mengutarakan segala yang menurutnya perlu. Segalanya. Termasuk Laura yang … ingin ia jadikan … apa?Pengganti Cinta?Istri kedua?Oh, Laura tidak akan pernah mau menjadi nomor dua.Tapi, menceraikan Cinta?Batin Raki terluka atas tanggapan istrinya tadi malam.Ia mencintai Laura dengan segenap jiwa. Sejak dulu. Bahkan kebaikan dan kelembutan Cinta sama sekali tak bisa menghapus bayang-bayang romansa pertamanya. Hanya saja, melepas Cinta sama saja menunjukkan kekalahan pada dunia.Demi Tuhan … Cinta sama sekali tidak seperti yang ia pikirkan selama ini.Kemarahannya. Sorot emosi di matanya. Tekadnya. Malam tadi membuktikan bahwa Cinta tak selemah yang Raki kira. Bahkan kata lemah sama sekali tidak cocok disematkan pada sosok hawa yang beberapa jam lalu menatap Raki tajam.Mungkinkah wanita yang terluka bisa mendadak berubah secepat itu?Suara pintu yang mengayun terbuka, menarik perhatian Raki. Disusul azan yang berkumandang di kejauhan mulai sayup-sayup terdengar susul-menyusul. Sosok dengan kepala dibalut handuk putih melebarkan celah pintu kamar mandi. Pandangan mereka sejenak bertemu, tapi Cinta memalingkan wajah lebih dulu.Cinta sepertinya benar-benar tak lagi menaruh hormat sebesar dulu pada Raki. Lihat saja dia, melimbai santai menuju sajadah yang tergerai menghadap kiblat di pojok kamar. Padahal setiap kali pandangan mereka bertemu, tentu sebelum pertengkaran semalam, Cinta akan selalu tersenyum. Semburat merah jambu mewarnai pipinya, lantas melengos pelan ke arah mana pun, tapi seringnya tak pernah memutus pandangan lebih dulu.Dia bahkan tak bertanya, atau menyuruh Raki segera bergegas ke masjid kompleks.Oh, ayolah. Apa yang Raki harapkan?Cinta yang masih akan memperlakukannya bagai raja setelah ia mengaku mencintai wanita lain? Jangan bodoh!Namun, ini terasa salah. Benar-benar salah.Raki tidak berharap Cinta masih akan memperlakukannya dengan begitu agung. Ia hanya … hanya … apakah tidak ada kata permohonan agar pernikahan mereka punya kesempatan? Atau air mata? Benarkah Cinta rela melepasnya semudah itu?Cinta mencintainya. Raki yakin. Seharusnya wanita itu menangis, meminta Raki memikirkan kembali keputusan yang ia ambil. Atau … atau … apa pun. Apa pun yang mungkin Bisa membuat Raki berubah pikiran.Bukan bersikap acuh tak acuh dan luar biasa tenang.Mengencangkan rahang, Raki pun membuat keputusan. Tak akan ia biarkan hanya dirinya yang belingsatan di sini. Cinta pun harus.Memutar badan, ia kembali ke ranjang. Duduk dengan kaki disilang dan tangan disanggakan ke kasur tepat di sisi-sisi tubuhnya. Di pojok sana, Cinta sedang mengenakan bawahan mukena. Siap menjalankan qabliyah subuh saat Raki berujar dengan lantang, “Aku nggak akan ke mesjid.”Biasanya Cinta akan langsung melayangkan tatapan menegur, kemudian berceramah panjang tentang betapa eratnya hubungan masjid dan muslim laki-laki, seolah hanya hal itulah yang Cinta pelajari sejak dalam kandungan.Namun sekali lagi, suara berat dan keras Raki bagai desau angin pagi. Yang tak patut di hiraukan. Cinta bahkan tak menoleh padanya.“Kamu dengar, aku nggak mau ke mesjid. Aku nggak mau nurutin apa kata kamu lagi.” dan Raki memilih untuk tidak menyerah, meski kalau setelah ini Cinta masih tak mau acuh, entah apa lagi yang harus ia lakukan demi mengusik wanita itu—sebagaimana dia mengusiknya saat ini.Ah, mengusik sama sekali bukan kata yang tepat. Sebab Cinta sama sekali tak melakukan apa pun yang pantas dikategorikan dengan membuat gangguan apa pun. Wanita itu bahkan terlalu tenang untuk predikat istri yang diduakan.Syukurnya, kali ini Cinta mendongak. Menatap skeptis. “Aku dengar,” katanya tanpa ekspresi berarti, yang justru membikin Raki tambah senewen. “Dan itu sama sekali bukan urusan aku. Amalku nggak akan kamu yang dapat, juga sebaliknya.”Telak!Mulut Raki sontak menganga. Lebar. Ia bahkan yakin andai nyamuk ada di ruangan ini, makhluk kecil itu beserta seribu kawanannya akan sangat bisa masuk ke lambung Raki.Sial! Harusnya Raki yang tidak peduli, bukan Cinta.Harusnya Cinta yang terusik, bukan dirinya.Seharusnya Cinta yang merasa hampa, Bukan—siapa yang merasa hampa? Oh, tentu bukan Raki.Bukan.Meninju kasur keras-keras, ia keluar dari kamar. Berniat membanting pintu hanya agar Cinta kaget, jantungan kemudian pingsan. Tapi begitu melihatnya mengangkat kadua tangan dengan begitu khusyuk dan penuh penyerahan, ia tak tega juga. Raki mungkin laki-laki berengsek dan tidak bersyukur sudah dikarunia istri baik tapi justru berkhianat, namun ia bukan setan.  Dengan gontai, Raki melangkah keluar kamar. Berhenti sejenak di depan pintu bertuliskan nama putrinya. Flora. Lebih seminggu mereka tidak bertemu, dan Raki rindu bocah bawel yang menggemaskan itu. Tak bisa menahan diri, ia meraih gagang besi, memutarnya hingga daun persegi panjang yang memisahkan jarak mereka terbuka.Hati Raki melembut melihat sosok malaikatnya yang masih pulas. Raki ingin memeluknya, namun suara iqamah yang terdengar di kejauhan membuatnya mengurungkan segala niat.Mengumpat pelan, ia berbalik menuju kamar untuk mengambil wudu dan tentu saja berganti pakaian. Tapi tak akan cukup waktu mengejar salat berjemaah. Subuh hanya dua rakaat. Raki akhirnya benar-benar salat di rumah. Sialnya, semua terasa makin salah.Dan setelah melewati subuh yang buruk, Raki berharap sekali bisa menikmati pagi yang indah dengan secangkir kopi dan tangkup roti sebagai menu sarapan.Segelas kopi hangat, semoga bisa meredakan suasana hati jelek yang diawali bunyi jam alarm yang juga jelek. Raki sudah menyembunyikan weker bantet itu di gudang, berharap besok pagi tak harus bangun dengan lengkingannya yang nyaris merusak gendang telinga.“Pagi, Sayang!” sapa Raki pada Flora yang sudah duduk di kursi bayi. Gadis cilik itu tampak cantik dengan bedak cemong dan bando berbentuk halo di atas kepala. Raki yang terlalu gemas, mencium keras pipi sang putri sebelum ikut duduk di kursi yang malam tadi menjadi saksi pertengkarannya dengan wanita yang saat ini berdiri di seberang meja sembari mengoleskan selai pada roti panggang yang … kenapa warnanya gelap sekali. Jangan bilang—“Pagi, Buya!” Flora merentangkan tangan. Balas mencium pipi ayahnya dan memberi pelukan seerat tangan mungilnya bisa. “Flora kangen banget sama Buya! Oleh-oleh buat Flo ada, kan?”Raki mengedip. Ia mengalihkan perhatian dari roti panggang gosong di tangan Cinta kembali pada putrinya dan … nyaris mengumpat.Oleh-oleh, ya?Raki meringis pelan. Ia melirik Cinta yang juga menatapnya dengan satu alis terangkat.Alis terangkat!Raki tidak pernah ingat istrinya bisa melakukan itu. Tatapan lancang yang anehnya justru berhasil membuat Raki terbakar.Ugh! Apa sih, yang ia pikirkan? Laki-laki dan hormonnya memang luar biasa saat pagi. Dan suasana hati Raki makin terjun payung mengingat sudah seminggu lebih tak mendapatkan sesuatu. Pantas saja perasaannya sensitif sekali.Dia harus mencoba merayu Cinta untuk menyerahkan diri, atau perceraiannya perlu dipercepat agar ia bisa segera menikahi Laura, atau bahkan membujuk Laura agar mau menjadi istri kedua kalau memang  menceraikan Cinta tidak semudah itu. Toh Cinta sudah mengizinkan. Meski dengan terpaksa tentu saja. Oh, atau dengan senang hati? Bukankah istrinya sendiri yang bilang malam tadi, dengan Raki menikah lagi, Cinta tidak perlu terlalu repot dengan urusan rumah tangga ini. Dia akan punya lebih banyak waktu dengan diri sendiri. Tanpa harus direcoki oleh Raki dan segala nafsunya.Oke, Cinta memang tidak persis berkata demikian, tapi itulah yang Raki tangkap dengan sangat jelas.Dan Raki, tentu tersinggung. Hingga opsi perceraian ia kesampingkan dulu demi ego.Cinta tidak ingin berurusan dengannya, dan sebaliknya yang akan Cinta dapat.“Maaf, Sayang, Buya lupa.”Raki ingin sekali berbohong. Mengatakan oleh-oleh untuk Flora terbawa asistennya tadi malam karena terburu-buru. Tapi ibu Flo tidak mungkin percaya, dan kemungkinan Raki akan mendapat tatapan yang lebih merendahkan selain sorot skeptis yang membuatnya jengkel seperti saat ini“Yah, Buyaaa …” desah Flo sedih seiring dengus kasar dari wanita di seberang meja yang entah mengoles selai kacang dengan seni lukis apa hingga tak kunjung selesai. Oh, dan jangan lupakan roti di tangannya yang … gosong. Cinta tidak akan lancang memberikan roti itu padanya, kan?Namun, Cinta sudah lancang dengan bersikap: satu, membanting pintu di depan hidung Raki. Dua, bersikap tak acuh. Tiga, membangunkannya dengan jam weker. Empat, mendengus.Oh, Tuhan. Daftarnya sepanjang itu ternyata. Empat perilaku yang tak pernah Raki tahu bisa Cinta lakukan dengan sangat baik. Terlalu baik, hingga ia tersinggung sekali.“Buya kan janji mau beliin Flo boneka.”Ekspresi berkaca-kaca Flora cukup menyesakkannya selain … ah, lupakan tentang Cinta dan sikap tidak hormatnya pada suami. “Buya janji dinas selanjutnya—”“Jangan pernah membuat janji yang belum tentu bisa ditepati,” suara tegas itu menyela. Raki melirik dongkol.“Aku nggak pernah ingkar janji,” balasnya sengit. Makin tersinggung. Ingin sekali melanjutkan pertengkaran tadi malam, tapi ada Flo di sini. “Kamu tahu itu.”Alis tebal Cinta yang suka Raki usap saat wanita itu susah tidur, kembali terangkat. “Oh, iya. Aku lupa.” Nada sarkasmenya terlalu tajam, menghunus ego Raki makin dalam. Memang keputusan terbaik yang bisa ia ambil adalah dengan melepaskan diri dari pernikahan ini, agar ketenangan bisa kembali Raki dapat.“Janji mana yang pernah kulanggar?”“Dengan Tuhan, mungkin.” Cinta mengedikkan bahu santai. Terlalu santai hingga membuat tangan-tangan Raki gatal ingin menekannya kuat-kuat dan …. Oh, demi Tuhan. Kenapa pikirannya selalu mengarah ke sana!Raki membuka mulut, siap mencerca saat dengan polosnya Flo bertanya. “Janji apa yang bisa dilakukan sama Tuhan, Ma?” tampak sepenuhnya teralihkan dari topik oleh-oleh. Raki bingung, apakah harus bersyukur atau menangis. Karena, sungguh Flo masih terlalu kecil untuk paham tentang janji pada Tuhan.Mengencangkan rahang, Raki memejamkan mata erat-erat. Benar. Dia harus menahan diri selama ada Flo. Putrinya masih terlalu hijau. Dan Cinta tidak mungkin mengatakan—“Pernikahan.”Katup kelopak Raki membuka. Melotot tajam pada Cinta dengan geraman makin keras. “Cinta!” peringatnya. Tapi, Cinta seolah tak mendengar.“Pernikahan adalah janji dengan Tuhan, Sayang. Untuk saling menerima, menyayangi, mengasihi.” Saat mengatakannya, ia menyeringai penuh kepuasan pada Raki yang benar-benar merasa dikuliti.Di mana Cinta yang semalam menyambut Raki dengan senyum?Di mana Cinta yang selalu menatap penuh binar?Di mana Cinta yang memandangnya seolah ia manusia paling terhormat?Mungkinkah seseorang bisa berubah dalam semalam?“Kayak Umma sama Buya?” Flo kembali bertanya dengan polosnya. Mata bulat nan cantik itu menatap Cinta penuh sayang, yang Cinta balas hanya dengan senyum simpul. “Flo nanti juga mau nikah, Umma.”“Pastikan dengan laki-laki yang menghargai kamu, Nak,” katanya dengan suara tertahan sembari melangkah ke sisi Raki dan meletakkan piring sarapan berisi tangkup roti panggang yang … gosong.Oh, dan lima, dia sudah berani menyajikan sarapan tak layak makan! Persetan dengan ego. Pernikahan mereka benar-benar makin sulit dipertahankan.          Lembar Ke-3    Cinta menarik napas dalam begitu mobil hitam yang suaminya kendarai menghilang dari pandangan. Gerutuan lelaki itu seolah masih menggema dalam kepala, lantaran Cinta yag memasang dasinya terlalu kencang.Oh, maafkan kesengajaannya. Sungguh, Cinta hanya ... tidak bisa menahan diri sekeras apa pun ia mencoba. Rasa marah, geram, dan sesal membekukan akal sehat. Dia bahkan mulai merasa gila. Semalam nyaris tak bisa tidur dan saat menjelang pagi ia hampir mengurung diri di kamar mandi. Perutnya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Salahkan Raki yang merusak nafsu makannya malam tadi. Bahkan bubur ayam yang ia beli pun hanya sanggup dimakan dua sendok.Mencengkeram gagang pintu hendak menutupnya, suara pekikan riang dari gerbang mengalihkan perhatiannya.“Bundaaa ...!”Adalah Nana, putri sulung Gustav yang kini berlari ke arahnya dengan wajah luar biasa riang. Gadis cilik bergigi hitam, lantaran keseringan makan permen itu merentangkan tangan, persis burung pipit kecil yang sedang terbang tanpa beban. Rambut-rambut keritingnya tergerai dan melambai-lambai di setiap langkah. Melihat bocah itu, Cinta seolah ingin kembali menjadi anak kecil lagi.Anak kecil yang hanya bisa menangis ketika sedih dan tertawa saat bahagia.Namun, kenyataannya, bahkan sejak kecil Cinta sudah dipaksa untuk tidak pernah menangis. Karena setiap air mata yang jatuh dari ujung kelopaknya seharga satu pukulan untuk Lumi—yang dulu selalu dianggap biang masalah dalam keluarga mereka. Hasil dari sebuah pengkhianatan pertama yang Cinta kenal dalam hidupnya.“Bundaaa ...!”Suara lain dari belakang Nana dengan napas terengah, berhasil mengalihkan perhatian Cinta sekali lagi. Siapa pula kalau bukan Tita. Si sok dewasa serta menuruni sifat angkuh sang ibu dengan begitu sempurna.Begitu jarak mereka kian habis, buru-buru Cinta membungkukkan tubuh. Ikut melebarkan tangan untuk menyambut dua bocah itu dalam pelukan.“Ugh, hati-hati dong, Sayang. kalau jatuh, Bunda yang kena marah ayah kalian,” ujarnya, membawa tubuh mungil Nana saat berdiri. Membiarkan Tita—putri sulung Lumi—yang sedikit lebih besar memeluk pinggangnya.Resti yang malang masih tampak kewalahan mengejar tuyul-tuyul kecil ini. Wanita paruh baya itu berdiri, bertumpu pada pegangan pintu gerbang rumah Cinta sambil mendumel panjang pendek yang sayang tak bisa dengan jelas Cinta dengar.“Kangen!” Nana berujar seraya mengeratkan pelukan pada leher sang ibu susu. Yang Cinta balas dengan rotasi manik cokelat gelapnya. Baru kemarin sore mereka bertemu, bohong sekali kalau dia bilang rindu. Raki saja yang seminggu pergi, tak sekalipun mengucapkan kata itu.Ah, tentu. Kalau ada bidadari lain di sampingnya, Raki tidak mungkin akan merindukan Cinta yang ... dianggap adik?Adik, huh! Lalu Flo dia pikir siapa? Anak rasa keponakan begitu?Ugh!Cinta memejamkan mata erat-erat. Berusaha mengenyahkan Raki dan segala perselingkuhannya dari kepala. Karena sungguh, Cinta tak ingin lagi menyediakan sedikit pun tempat di kepala untuknya. Cukup di hati, dan jika bisa secepatnya akan Cinta usir pergi dari sana.“Bunda, Nana mau pelmen.”Cinta kembali membuka mata sambil mengayun tubuh Nana dalam gendongan, lantas membalas, “Nggak ada permen. Gigi kamu nanti tambah item.”“Tapi Flo ada permen kalau Nana mau.” Flora, yang seingat Cinta tadi ia tinggal di ruang makan, muncul dari balik lemari partisi dengan satu lolipop yang setara dengan dua gelas susu di tangan kanan.“Flo!” tegur Cinta yang membuat gadis cilik kesayangan Raki sontak cemberut.Gadis cilik kesayangan Raki. Ya. Dia bahkan jiplakan Raki sekali. Mulai dari bentuk jari kaki hingga rambut hitam yang sehalus kain sutra.Orang bilang, saat anak lebih mirip  suami, berarti cinta istri jauh lebih besar. Dulu Cinta tidak percaya. Tapi, kini, ia dipaksa menelan mitos tersebut mentah-mentah.Tentu rasa Cinta lebih besar. Jangan lupa, Raki hanya menganggapnya adik dalam tanda kutip.“Flo dikasih Buya tadi. Flo kan nggak suka permen, Nda. Flo sukanya es krim! Tapi, sama Buya malah dikasih ini.”Cinta menatap sendu lolipop dalam genggaman mungil Flo. Raki tidak suka permen, pun putri mereka. Bahkan seingatnya, Raki nyaris tidak pernah membelikan makanan jenis itu pada Flora.Permen itu tidak mungkin milik orang lain, kan?Milik selingkuhannya yang tertinggal di mobil?“Kalau Flo nggak suka, buat Nana aja!”“Kasih Tita kalau kamu nggak mau,” sambar Cinta, yang sontak membuat Nana cemberut berat.“Tita udah ada cokelat dong!” Wajah perpaduan Lumi-Iron itu menyeringai. Matanya yang segelap milik sang ibu mengerling jahil pada Nana sambil memamerkan batang cokelat kecil yang diambil dari kantong bajunya.Bocah-bocah cilik ini memang susah sekali diingatkan. Sedang Cinta, yang merangkap sebagai pengasuh lantaran dinilai paling tak memiliki kesibukan, sudah diberi banyak peringatan oleh para orangtua masing-masing. Nana yang ayahnya sibuk mengurus sang istri yang baru bangun dari koma. Pun Iron yang selalu membawa Lumi nyaris ke mana pun hingga jarang sekali ada di rumah, dengan alasan klise. Kesehatan. Padahal jelas Lumi sudah baik-baik saja. Dan mereka bahkan memiliki dua pembantu. Cinta yang tak punya sama sekali. Terkadang kalau memang kerepotan, dia hanya akan memanggil tukang bersih-bersih ke rumah. Urusan mencuci, mengemong anak, dan memasak, ia lakukan sendiri.Dan, salah. Cinta bukan sama sekali tak memiliki kesibukan. Hanya saja orang-orang tak satu pun mau repot-repot bertanya apa saja yang Cinta kerjakan di rumah selain mengemong anak.“Ya udah, kasih ke Nana.” Dan Cinta pun membuat keputusan kekanakan. Gustav sudah jelas melarangnya memberi Nana permen, tapi daripada permen—yang kemungkinan besar milik calon istri baru Raki—itu termakan Flora, lebih baik orang lain. Cinta, jelas tak sudi walau hanya melihatnya.“Mama bener-benar capek ngurus bocah-bocah ini!”Cinta menoleh ke sumber suara dan menemukan Resti yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. Buru-buru Cinta menurunkan Nana yang langsung berhambur ke arah Flo demi sebuah permen.“Assalamualaikum, Ma,” sapanya sebelum meraih tangan gemuk yang mulai keriput milik sang mama. Resti, yang kontan menjawab salamnya dengan napas terengah.Resti mengedip sekali, mengamati tubuh Cinta yang tampak berbeda. Ia lebih kuyu dari kemarin sore, serta bayang-bayang hitam samar di bawah kelopak mata. Kernyitan di kening Resti makin dalam kala melihat bibir pucat dan pecah-pecah si bungsu. “Kamu sakit?” tanya beliau begitu tangan mereka terlepas.Cinta menggeleng. Ia melebarkan celah pintu, menyilakan Resti memasuki rumahnya yang masih berantakan lantaran belum sempat dibereskan. “Aku nggak apa-apa, kok.” Ia melangkah lebih dulu sembari membereskan beberapa mainan Flora dari atas meja dan dimasukkan ke keranjang besar di sudut ruang depan. Tapi percuma, karena detik kemudian, Tita sudah menuang kembali mainan-mainan itu ke lantai sebelum dibuat berserakan oleh Nana yang sudah belepotan permen.Napas Cinta memburu. Lelah, kesal, dan segala rasa menyebalkan yang selama ini selalu berhasil ia tekan seakan berkumpul di puncak kepala. Hal terakhir yang ingin dilakukannya adalah mengulang-ulang aktivitas yang sama. Salah satunya membereskan mainan Flo yang tidak bisa dibilang sedikit mengingat suaminya terlalu memanjakan anak mereka.“Tita, Nana, jangan diberantakin gitu, dong! Kan baru Bunda beresin! Bandel banget sih, kalian! Mau Bunda pukul?!”Cinta tidak bermaksud membentak. Sungguh. Tapi, tubuh tiga bocah di depannya yang sontak membeku begitu ia tegur sebelum kemudian menangis meraung, membuat Cinta sadar nada suaranya ketinggian.Ya, Tuhan ... ia berseru pelan sambil meraba kepalanya yang mendadak pening. Tidak seharusnya ia melampiaskan amarah pada mereka yang tidak bersalah. Terlebih, ketiganya masih anak-anak yang tak mengerti apa-apa.“Sayang ....” Cinta bermaksud meraih salah satunya untuk meminta maaf, tapi baik Nana, Tita, bahkan Flo, menjauhkan diri. Lebih memilih mendekati Resti yang sudah duduk di salah satu sofa ruang depan dengan tatapan menegur.“Omaaa ...” ketiganya serempak mengadu, berhambur pada Resti dan berebut memeluk pinggang tambun itu. Lantas menangis dengan suara sengau.“Bunda nggak bermaksud marah, Sayang.” Cinta ikut berbalik, mengikuti gerak punggung anak-anak, “Flo ....”Yang dipanggil makin menyembunyikan wajah di ketiak Resti.“Ini akibatnya kalau kamu terlalu bersikap lemah,” Resti tidak sepenuhnya menyalahkan. Ia malah dengan santai menyandarkan tubuh pada punggung sofa hijau yang baru delapan bulan lalu menghuni ruangan ini. “Saat tiba-tiba marah, mereka sudah pasti takut.”Resti benar. Cinta mendesah. Ia tak lagi berusaha mendiamkan tangis tiga bocah, saat ia sendiri bahkan ingin menangis.Berusaha tak menampakkan emosi apa pun di depan ibunya, Cinta kembali sok sibuk dengan membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja, disusun sesuai warna. Pikirannya kacau. Hatinya bahkan mungkin sudah menjadi kepingan, berserakan seperti mainan-mainan Flo di lantai.“Kamu nggak lagi ada masalah, kan? Mama hampir nggak pernah lihat rumah kamu seberantakan ini.”Cinta tidak suka berbohong, pun tak tertarik melakukannya. “Masalah apa?” Dan pertanyaan yang dibalas pertanyaan tak bisa disebut kebohongan. Tatapannya ia fokuskan pada objek apa pun yang tangan-tangannya raih. Jangan sampai beradu mata dengan Resti. Karena telaga bening itu adalah cerminan hati yang paling jujur. Cinta tidak ingin seluruh dunia tahu kisah rumit rumah tangganya yang ... di ambang kehancuran. Kapal yang Cinta pikir telah ternahkodai dengan begitu baik, ternyata mengalami kebocoran di suatu sudut tersembunyi. Saat ia menyadari kebocoran itu, terlambat. Kapal mereka terancam karam. Rasanya sulit diselamatkan lagi. Air laut yang asin bahkan sudah hampir menelan seluruhnya.“Mungkin masalah rumah tangga.”Tangis Nana yang pertama mulai berhenti. Sulung Gustav itu melirik takut-takut pada Cinta yang masih sibuk menekuri mainan-mainan Flora. Membereskan lambat-lambat sambil mengelus sayang satu persatu. Sedang Tita dan Flora masih sesegukan di masing-masing sisi oma mereka. Flora yang paling manja, malah mulai menuntut elusan Resti di puncak ubun-ubunnya. Yang tentu wanita paruh baya itu turuti. Beliau terlihat sayang sekali pada ketiga bocah. Bahkan pada Tita yang notabene adalah anak Lumi, yang dulu begitu beliau benci.“Rumah yang berantakan nggak ada hubungannya sama masalah keluarga, Ma.”“Mungkin, tapi kondisi kamu—”“Cinta cuma lagi nggak enak badan dari kemarin. Kayaknya maagku kambuh lagi.” Selesai membereskan semua mainan Flora, ia menoleh pada Resti, menatap kening keriput sang ibu. Masih menghindari kontak mata secara langsung. “Mama mau minum apa?”“Air putih dingin, ya. Mama haus ngejar tuyul-tuyul ini.”Cinta mengangguk sekali, lantas berbalik ke belakang. Mengambilkan minum sesuai yang Resti minta.Air matanya yang sejak semalam ditahan, mengembun. Tangannya gemetar saat membuka pintu kulkas.Oh, Tuhan ... desahnya. Cinta tidak pernah membentak siapa pun, terlebih anak-anak—anaknya. Tapi pikiran Cinta benar-benar kacau. Pengkhianatan Raki, jauh melampaui apa yang sanggup ia tanggung ternyata.Tak semudah saat ia berucap terserah. Tak semudah saat ia sengaja menggosongkan roti yang setengah hati ia hidangkan. Dan tak semudah saat harus menahan diri agar tak membunuh suaminya dengan simpul dasi terlalu kencang.Sungguh, jauh lebih sulit dari yang ia sangka.Dulu, ia menganggap Resti terlalu berlebihan dengan membenci Lumi yang merupakan buah pengkhianatan ayah mereka. Tapi sekarang, ia tak kuasa menatap ibunya tanpa sorot iba.Karena memang ... sakit sekali.“Suami kamu sudah pulang dari dinas, kan?”Gelas yang Cinta letakkan berdenting di atas normal lantaran Cinta meletakkannya agak kasar di atas meja begitu kembali ke ruang depan. Disusul botol berukuran sedang agar Resti bisa menakar sendiri minumannya.“Ya,” jawab Cinta enggan. Ia menatap tiga bocah kesayangannya yang sudah berhenti menangis dan duduk diam di sisi Resti, seolah takut melakukan kesalahan dan kembali mendapat bentakan—atau mungkin pukulan—Cinta yang bahkan tak pernah berkata kasar, sekesal apa pun dia.“Jadi, kalian masih ngambek sama Bunda?” tanyanya dengan senyum sendu. “Bener-bener nggak mau baikan?”Nana, yang sejak kecil mengenal Cinta sebagai ibunya, mencebik, seolah ingin kembali menangis. Tapi kali ini ia menghambur ke pelukannya, menjauh dari perlindungan Resti. Flora yang tak terima ibunya dipeluk orang lain lebih dulu, ikut berhambur. Sedang Tita tetap keras kepala dengan duduk bersedekap di sisi neneknya. “Oma, Tita mau pulang!” Dia merajuk, tapi Resti abaikan. Tentu saja, Resti belum juga usai menata napas dengan benar, sudah diajak pergi lagi. Tulang lutut Resti tentu sudah mulai keropos.“Maag kamu kenapa bisa kambuh?” tanyanya pada Cinta yang mengelus ubun-ubun Nana dan mencium kening Flo. Rambut sang putri masih saja terikat rapi kendati diusel-usel gemas oleh hidung sang ibu. Persis sekali rambut ayahnya.Ayahnya yang pengkhianat.Lagi, jantung Cinta berdenyut nyeri.“Aku sering lupa makan, Ma.”Resti berdecak. “Apa sih, yang kamu lakukan sampai lupa makan? badan sampai sekurus itu.”Banyak. Banyak sekali yang ia lakukan. Terlebih akhir-akhir ini. Dan yang paling menyita waktu Cinta adalah bertanya-tanya sendiri. Kenapa selama empat tahun ini ia bahkan belum bisa merebut hati Raki?“Nggak separah itu sampai harus dikhawatirkan berlebihan kok, Ma.”“Maag bahkan bisa memicu kematian, Cinta. Kamu nggak boleh menyepelekan penyakit. Lagian sudah bertahun-tahun sejak maag kamu kambuh terakhir kali.”Ya, sudah bertahun-tahun. Cinta tersenyum kecil, sedikit dipaksakan. Terakhir maagnya kambuh adalah saat masih melanjutkan kuliah S2 di Australia. Dan pemicunya hampir sama. Patah hati. Pun oleh pengkhianatan seseorang yang ia kasihi.“Aku cuma sampe mual dikit, nggak seburuk yang Mama kira.”Tita yang tak terima diabaikan, bersedekap jengkel dengan dua alis saling bertaut. Sesekali melirik Nana yang anteng dalam dekapan salah satu lengan Cinta, sibuk menjilat permen lolipopnya. Sementara Flo memainkan ujung jilbab sang ibu.“Mual?” Resti menelengkan sedikit kepala. Ada percik harapan menyala di kedua telaga beningnya. “Kamu yakin karena maag?”“Maksud Mama?”“Kamu kelihatan agak sensitif pagi ini. Kamu nggak coba periksa ke dokter?”Cinta tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dan ia nyaris tertawa. Kemungkinan kecil Cinta hamil. Dan tidak perlu ke rumah sakit untuk membuktikan itu. Mualnya memang hanya karena maag, lantaran ia sering lupa mengisi perut gara-gara memikirkan lelaki yang bahkan hanya menganggapnya adik. Sensitif, tentu saja. Perasaan siapa yang tak akan sensitif saat hatinya terluka?Dan yang paling utama menguatkan keyakinannya, karena ia bahkan masih mengikuti program KB. Raki belum ingin punya anak tambahan sebelum Flora berusia lima. Tapi, sekarang ia tak yakin itulah alasannya. Mungkin Raki hanya tidak ingin memiliki anak lagi dengannya setelah kembali bertemu dengan cinta lama.Oh, manisnya!Namun, saat Resti bertanya, “Kapan periode terakhir kamu?”Semua kecamuk dalam benak Cinta buyar. Berganti kalkulator tak kasat mata yang seolah bekerja sendiri di balik batok kepala. Mengetikkan angka-angka, menjumlahkannya hingga menghasilkan total ... lebih lima puluh ... kening Cinta mengernyit. Ia mendadak panik.Melepaskan rangkulan dari Nana dan Flo, ia bangkit berdiri. Melangkah cepat hingga nyaris keserimpet rok megar semata kakinya saat mengarah ke meja kecil di sudut ruangan. Kalender duduk yang didapat dari perusahaan tempat Raki bekerja, ia angkat ke udara hanya untuk mencari tanggalan yang ia lingkari sebagai penanda periode bulanan yang biasanya selalu bertamu tepat waktu.Dan ... ya, Tuhan!Ini bahkan sudah lebih tiga bulan.Kalender itu nyaris lepas dari tangan.Apa benar ia hamil? Lantas, bagaimana program KB-nya?     Lembar Ke-4    Bel yang tergantung di pintu masuk kafe kecil itu berdenting saat Raki mendorongnya. Aroma ayam panggang, roti dan kopi panas langsung menyapa hidungnya, membikin naga dalam perut Raki makin menggeliat kelaparan.Mata Raki mengedar. Bukan mencari meja kosong, melainkan sosok cantik yang biasa hilir mudik mengantarkan pesanan.Senyum simpul Raki terkembang begitu mendapatinya di sana. Di meja nomor lima, tengah menata menu bagi pasangan muda. Gerak tangannya begitu lincah saat menurunkan gelas minum serta piring-piring berisi berbagai macam makanan untuk dihidangkan. Lengkungan bibirnya sempurna. Tampak tulus menyapa setiap pelanggan. Setelahnya, ia berucap singkat. Raki paham hanya dengan melihat gerak bibirnya kendati hanya dari samping.“Selamat menikmati.” Lalu menegapkan punggung dengan nampan yang ia dekap di depan perut. Lantas berbalik. Dan … senyum Raki melebar begitu tatapan mereka bertemu.Mengerjap dua kali, Laura menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga. Ia menoleh ke kanan dan kiri sekilas, seolah memastikan tak ada seorang pun yang memerhatikan sebelum melangkah mendekati lelaki yang menjulang di sisi pintu masuk berbahan kaca bening yang menampilkan hilir mudik kendaraan di jalan depan.“Hai!” Raki mengangkat tangan kanan. Melambaikannya penuh sayang.“Kamu ngapain ke sini?”“Mmm …” Raki mengerucutkan bibir miring. Tangan kanannya ia turunkan, dimasukkan ke dalam saku celana seraya berjinjit-jinjit seolah mengamati kafe kecil yang selalu ramai pengunjung itu. “Aku kira ini tempat makan.”Laura memutar bola mata. Memukul Raki pelan dengan nampan bulat yang masih ia bawa. “Serius, ih!”“Au!” Raki mengelus dengkulnya, pura-pura kesakitan. “Ini kulit loh, Sayang! Harusnya dielus bukannya dipukul.”“Mau aku pukul lagi?”“Oh, ayolah. Aku kangen. Harus banget ya, bukannya disambut malah kena sambit! Lebih dari itu, aku laper.”“Ya udah, cepet duduk.” Laura celangak-celinguk sekali lagi. Mengangguk pada salah satu pelayan berseragam sama dengannya—rok hitam selutut dan kemeja kuning berlengan pendek dengan name tag di bagian dada kiri—saat tatapan mereka bertemu. “Aku masih banyak kerjaan, kalau kamu bener mau makan, ayo,” ia berbalik. Mendekati salah satu meja di dekat jendela yang masih kosong. Di belakangnya, Raki melangkah membuntuti dengan senyum masih tersimpul. Mengamati figur belakang Laura yang ramping dan tinggi. Rambut panjangnya diikat bentuk ekor kuda. Ujung-ujungnya yang mengikal kecil berayun setiap kakinya bergerak.Ya, Laura bekerja sebagai pelayan di tempat ini. Katanya, sejak dua tahun terakhir. Tempat ini pula yang mempertemukan mereka kembali hampir enam bulan lalu saat Raki berhenti lantaran terjebak hujan. Kala itu mobilnya sedang masuk bengkel lantaran terserempet kendaraan lain saat Cinta kendarai, membuat Raki terpaksa naik motor ke kantor. Dan kini Raki mensyukuri itu sepenuh hati, pada rencana semesta yang sudah berhasil menyatukan mereka.Jangan tanya betapa senang dan kagetnya Raki kala itu. Ia bahkan sampai tak bisa berkata-kata saat pelayan cantik berwajah sendu menghidangkan kopi hitam pesanannya dalam keadaan mengepul. Tahun-tahun yang memisahkan mereka, membuat Laura tak langsung mengenalinya. Tentu saja, hampir sepuluh tahun tak pernah bersua, dan Raki akui dirinya memang sudah sedikit berubah. Bukan hanya penampilan, tapi juga bawaan diri. Ia tak lagi sekekanakan dulu, meski Cinta sering mengatakan tingkahnya masih mirip bayi.“Silakan dinikmati,” ujarnya ramah di antara riuh pengunjung yang juga ikut berlindung dari hujan. Tetes-tetes langit memukul jendela kafe yang berada tepat di sampingnya. Membuat kaca bening di sana dipenuhi ribuan mutiara cair yang perlahan turun mengikuti jejak gravitasi, diganti tetes-tetes lain yang sudah mengantre untuk singgah.Raki terpaku. Lidahnya mendadak kelu. Ia membuka mulut hendak menanggapi, hanya untuk dikatup kembali. Laura yang barangkali merasa tak ada lagi yang pelanggan ini butuhkan, memutuskan berbalik kembali ke belakang. Dan Raki yang tak rela ditinggalkan, Langsung menarik bagian belakang baju yang wanita itu kenakan.“Laura ….”Hanya dengan satu sebutan nama, percakapan pun mengalir. Laura sempat menelengkan kepala. Merasa asing. Tapi begitu Raki melepas kacamata anti radiasi dan mengacak-acak rambut cepaknya yang sedikit basah, Laura terkesiap kaget. Detik kemudian, tawa renyah wanita itu mengalun indah. Seindah yang Raki ingat.“Raki?”“Ya, ini … ini aku.”Dari sanalah kisah ini bermula. Dari pertemuan kembali yang tak disengaja. Dan Raki tidak berniat mengakhirinya. Tidak. Raki kenyang dengan luka yang dulu menggerogotinya. Pada kenyataan yang harus selalu ia hadapi dengan lapang dada. Toh, hati Raki memang tidak selapang itu.Hidup tanpa Laura sama seperti menjalani hari tanpa nyawa. Hanya keharusan bertahan yang tiada arti.“Mau pesan apa?” tanyanya sedikit galak. Memelototi Raki yang sudah duduk manis di kursi yang ia pilihkan. Bagai murid yang menurut pada sang guru, lelaki itu melipat tangan di atas meja. Kepalanya mendongak dengan senyum bodoh dan mata penuh binar. Menatap Laura. Menikmati ekspresi galak menggemaskan yang selalu Raki suka. “Cepet, Ki. Aku masih harus kerja, Aku nggak bisa fokus kalau kamu masih di sini.” Karena Raki akan selalu menggodanya.Yang diajak bicara mengangkat bahu tak acuh. Raki menyukai kenyataan keberadaannya berhasil mengusik fokus Laura. Seolah ia memiliki pengaruh sedahsyat itu. Sama seperti Laura yang selalu berhasil memengaruhinya.Dengan gerakan lambat-lambat, karena sumpah mati Raki tak ingin buru-buru pergi, ia mengangkat buku menu. “Aku makannya kayak biasa aja. Terus minumnya air putih. Sama kopi hitam, ya, Mbak!” Raki sengaja menekan sebutan ‘Mbak’ di akhir kalimat hanya untuk mengejek. Ia tidak pernah suka melihat Laura bekerja. Pun sudah meminta wanita itu mengundurkan diri, tapi Laura tidak mau.“Aku masih punya tanggungan, Ki,” adalah alasan yang selalu Laura gunakan saat ia membujuk.“Aku bisa memenuhi semua kebutuhan kamu. Kebutuhan Dinda juga.” Dan Raki yang berkeinginan keras, tak akan menyerah semudah itu.“Tapi kamu bukan siapa-siapa aku. Aku nggak bisa terus bergantung sama kamu.”“Belum,” Raki meraih tangannya. Jari-jemarinya yang lentik terasa agak kasar karena terlalu keras bekerja. Yang kini mencatat menu pesanan makan siang Raki. Ada yang berbeda di tangan itu sekarang. Di jari manis tangan kiri yang menopang buku catatan kecil lebih tepatnya.Cincin emas sederhana berumur puluhan tahun milik keluarga Raki melingkar anggun di sana. Cincin yang sudah ia poles lagi agar tampak mengilau dan kembali terlihat baru. Satu permata mungil menghiasinya. Senyum Raki melebar melihat itu, serta kenyataan bahwa cincin yang selalu ia simpan rapi dalam dompet sudah menemukan tempat.Maafkan Raki yang tak pernah sanggup memasangkan cincin itu di jari Cinta seperti pesan sang ibu, karena Raki selalu merasa salah bila melakukannya. Dan untuk mengelabui orang-orang, Raki terpaksa membuat duplikat yang persis sama seminggu sebelum pernikahan mereka empat tahun lalu. Untung tidak ada yang curiga, karena bentuknya memang persis sama. Hanya saja, tidak ada inisial nama keluarga Raki di balik cincin yang dipakai istrinya.“Aku bener-bener mau nikahin kamu, Ra. Aku serius. Aku nggak mau calon istriku bekerja.”Bukan Laura namanya kalau tidak membantah, “Setelah kita nikah, aku janji akan sepenuhnya mengabdi sama kamu.”Raki terpaksa harus puas dengan janji itu, dan ya, keras kepala Laura yang sejak dulu menawan Raki. Dia seperti memiliki pendirian atas setiap pendapat dan keinginannya sendiri, tidak terlalu manut seperti Cinta, yang selalu mengangguk dan mengiyakan semua yang Raki mau. Tak pernah ada bantahan.“Ini aja?” Tanya Laura setengah mendumel. Jelas tampak buru-buru ingin pergi. Ah, risiko punya kekasih terlalu profesional begini. Yang tercinta sekali pun dianggap gangguan bila datang di jam kerja.“Sebenarnya ada lagi,” Raki menutup buku menu dengan malas, “Aku mau nyewa satu pelayan cantik buat nemenin makan siang di sini.”“Plis, Ki!”Oh, calon istri yang sungguh manis! Raki memberengut. Detik kemudian ia meringis saat merasa tingkahnya benar-benar mirip bayi. “Oke, oke, Sayang. Silakan bawakan pesananku dan kamu boleh lanjut kerja. Tapi inget, nanti sore aku jemput.”“Siap laksanakan, komandan,” Laura membungkuk seperti pelayan kerajaan. Sebelum undur diri, dia sempat mengedipkan satu mata pada Raki yang sukses membuat lelaki itu tergelak pelan.Laura selalu bisa membuatnya merasa hidup dan bahagia. Yang sukses membuat Raki menyesal kenapa baru menemukan Laura sekarang, tidak sedari dulu sebelum ia terpaksa mengikat janji suci dengan wanita lain pilihan ibunya.Namun, Raki bertekad, tidak pernah ada kata terlambat untuk cinta. Senyum manis Laura membulatkan tekadnya. Ia akan benar-benar melepas Cinta. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kebahagiaan. Harga yang tidak murah. Flora sepadan dengan Laura. Raki bisa merelakan putrinya tumbuh di bawah pengasuhan sang istri. Raki tak akan merampas Flo serta dari genggaman Cinta. Cukup hubungan mereka saja.Raki tidak akan rela melihat Laura berbagi hati dengan wanita lain. Raki akan menjadi jaminan atas senyum manisnya. Juga Dinda yang akhirnya akan memiliki orangtua lengkap.Raki tersenyum. Membayangkan akan seceria apa rumah mereka nanti. Tapi lamunannya buyar saat merasakan getar pelan di saku kemeja.Raki mendesah. Pasti istrinya yang mengirim pesan.Jangan lupa salat. Jangan lupa makan. Jangan lupa bla .. bla … bla …Raki bukan anak kecil yang harus selalu diingatkan. Dia tahu apa yang harus ia lakukan. Termasuk kewajiban. Apalagi urusan sepenting makan.Berdecak dongkol, ia meraih ponsel lebar dari saku. Malas sebenarnya, tapi Cinta akan segera menelepon bila pesannya tak kunjung dibalas. Dan itu adalah keinginan terakhir Raki saat ini. Ia masih marah pada Cinta lantaran kelancangannya tadi pagi.Memasukkan pola layar untuk membuka kunci ponsel, Raki tercenung sejenak. Benar ada pesan WhatsApp. Dari seseorang. Dan bukan istrinya, melainkan asisten yang mengingatkan meeting jam dua nanti.Oh.Raki menelan ludah. Membalas chat sang asisten dengan huruf ye kapital, lantas keluar dari aplikasi. Kemudian mengantongkan ponselnya kembali.“Ini pesanan kamu. Aku langsung ke belakang ya, lagi rame banget ini kafenya,” Laura datang lagi dengan nampan penuh. Ia membungkuk sambil berbicara setengah berbisik, “Nanti kalau shift-ku berakhir, aku bakal hubungin kamu. Mungkin agak malem dikit nggak apa-apa, kan?”Raki lega. Ya. Dia mencengkeram ponselnya lebih erat.Tapi—Raki mengumpat, meraih kembali ponselnya. Membuka WhatsApp dan memeriksa sekali lagi.Chat Cinta ada di urutan satu, dua, tiga, … tujuh?“Raki, kamu dengar aku kan? Aku masih banyak kerjaan ini. Jangan main-main, dong.”Denyut nadi Raki mengencang. Ini rekor baru. Chat Cinta biasanya selalu berada di tiga teratas. Tak pernah tenggelam sejauh itu. Tujuh.Oh, apa dia mulai membangkang sekarang?Demi Tuhan, sarapan gosong—yang sialnya Raki habiskan—serta simpul dasi yang nyaris membuat nyawa melayang! Tapi, Cinta sama sekali tidak berniat meminta maaf. Huh!Menarik napas kencang, ia mengklik room chat terakhir dengan Cinta. Denyut nadinya makin cepat memompa saat melihat kapan terakhir kali perempuan itu mengirim pesan.Tadi malam. Jam delapan.Flo akhirnya makan duluan, Buya. Ngantuk katanya (Emot tertawa) Nanti kamu makan berdua aja sama aku gapapa, ya. Pacaran kita (Emot melet)Yang raki balas dengan hanya kata oke. Pun salah ketik jadi oje karena saat itu ia bahkan sedang menikmati makanan di pinggir jalan bersama Laura dan Dinda. Bocah perempuan yang memiliki senyum manis wanita yang Raki cintai itu tertawa kesenangan lantaran ibunya belepotan saus saat Raki sengaja menyuapkan sosis tepat melalui ujung bibir pada Laura.“Raki!” Kali ini Laura tidak menahan diri. Menegur lelakinya dengan cukup kencang lantaran terlalu gemas setengah kesal. Beruntung suasana kafe yang ramai membuat suaranya masih cukup teredam, tapi berhasil menarik perhatian Raki yang langsung mendongak dengan wajah linglung.“Eh, ya?”Laura mendelik. “Ada apa, sih? Penting banget ya sampe aku kamu abaikan gini? Dari tadi aku manggil-manggil tahu!”“Oh,” dia berkedip cepat, berusaha menguasai diri seraya meletakkan ponselnya dalam posisi terbalik ke atas meja. Raki mendongak dan berkata, “Maaf, Sayang. Mmmm … itu,” ia menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Asisten aku tadi ngabarin, ada meeting bentar lagi.”“Oh,” tanggap Laura pendek, kekesalannya mulai sedikit berkurang, “Ya udah, kamu makan aja. Terus langsung balik kantor nggak apa-apa. Aku juga lagi banyak kerjaan di belakang. Nggak bisa nemenin kamu lama-lama.”Raki mengangguk kecil. Senyum riangnya yang tadi terkembang, berubah sekaku kanebo kering. Tatapannya mengikuti gerak Laura sampai menghilang di pintu kayu pendek pemisah konter kasir dengan ruang pengunjung sebelum menghembuskan napas.Apa sih, yang ia pikirkan?Ah, ya. Meeting jam dua nanti dengan klien penting. Pasti itu.Raki membalik ponselnya dengan layar yang sudah menghitam. Menahan diri untuk tak menekan tombol on, tapi gagal. Layar pun kembali menyala dan masih tak ada notif apa pun dari Cinta. Syukurlah.Syukurlah.Raki mulai makan, tapi entah mengapa ia mendadak kenyang.Ah, sial!Apa dia benar-benar tidak ada niatan meminta maaf?Demi Tuhan ini sudah hampir jam satu.Ah, ya. Cinta pasti mulai latihan untuk tidak mengganggunya. Bagaimana pun, hubungan mereka hampir berakhir. Pasti berat bagi wanita itu. Raki harus bisa memaklumi. Raki beruntung memiliki Laura dan Dinda di sisinya, sedang Cinta cuma punya Flora.Ya, ya. Raki juga harus mulai terbiasa tidak diganggu. Dan ini bagus untuk rencana masa depannya.     Lembar Ke-5    Raki tak lagi berharap apa pun pada Cinta, oh … masih ada sedikit harapan sebenarnya, sampai mereka benar sudah berpisah, tapi ya sudahlah. Mereka memang sudah harus saling belajar lepas satu sama lain.Berat diakui, meski tak sama sekali mencintainya, Raki memang sudah terbiasa bersama Cinta. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Dengan sikap manis dan pengabdiannya yang luar biasa sebagai istri. Cinta memang istri yang sempurna. Tapi sesempurna apa pun seorang wanita, lelaki tetap butuh cinta dalam keluarga. Sebagai bentuk kedamaian hati dan kebahagiaan yang hakiki.Raki pernah belajar, berusaha sekuat yang ia bisa untuk melihat Cinta dari sisi yang lain. Namun ia tak menemukan sisi yang istimewa dalam diri wanita itu. Cinta terlalu monoton. Rasanya begitu … gampang diraih.Jangan salahkan Pangeran Charles yang tak bisa setia dengan pernikahannya, sebaik  dan secantik apa pun Putri Diana, tapi salahkan aturan masyarakat yang memandang rendah bangsawan yang menikahi rakyat jelata. Raki bukan bangsawan. Namun, ya Laura dianggap jelata oleh kedua orangtuanya. Hubungan mereka tidak mendapat restu di masa lalu. Laura diusir dan dihina, bahkan dilempari dengan segepok uang hanya agar Laura menjauhinya. Tentu tanpa Raki tahu.Terlilit hutang dengan seorang ibu yang sakit-sakitan, gadis malang yang kala itu baru hampir lulus kuliah tapi terpaksa berhenti menempuh pendidikan itu, menerima pinangan juragan kampung untuk menjadi istri kedua. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat perpisahan untuk Raki sebelum menghilang.Laura-nya. Cinta pertama yang Raki dapat dengan perjuangan keras, meninggalkannya. Padahal mereka sudah berencana menikah kendati tanpa restu orangtua Raki. Laki-laki tidak butuh wali untuk mengikat janji. Hanya saja … ah, sudahlah. Toh, Laura kini kembali. Raki tak peduli sekalipun dia janda.“Kamu nggak mau mampir dulu?” sambil melepas sabuk pengaman, wanita itu menoleh pada Raki yang berada di belakang roda kemudi.“Aku capek, mau langsung pulang. Salam aja buat Dinda, ya.” Raki tersenyum. Tangannya terulur, merapikan rambut Laura yang sedikit kusut, lantas mengelus puncak kepalanya penuh kasih.“Yaudah, kamu hati-hati di jalan.”Raki hanya mengangguk. Lelah. Senyumnya terus terpasang bahkan setelah pintu mobil kembali ditutup. Barulah setelah sosok Laura menghilang dari pandangan, ia mendesah. Dasinya yang serasa mencekik, ia longgarkan sedikit.Tas laptop di bangku belakang ia raih. Lantas membuka resleting hanya untuk mengambil sebuah folder dari sana. Folder berisi banyak berkas penting. Salah satunya surat permohonan cerai talak yang sudah ia persiapkan.Benar, keputusan Raki sudah benar-benar bulat. Bahkan ia telah berbicara pada pengacaranya tentang rencana untuk melepas sepuluh persen dari total dua puluh lima persen saham yang ia miliki di perusahaan sang paman, dialihkan atas nama Cinta. Tentu untuk Flo tersayang. Dan ya, keputusan Raki memang sudah sebulat itu.Menarik napas dalam, ia letakkan folder hijau itu di kursi penumpang tepat di sampingnya, yang semula Laura tempati. Malam ini, Raki akan kembali bicara dengan Cinta.Demi cinta.Sepanjang jalan setelahnya, kepala Raki penuh dengan skenario. Ia mencoba menyusun kalimat demi kalimat agar Cinta tak marah. Tapi, bila mengingat kemarahan sang istri malam kemarin … tidak terlalu buruk. Benar Raki terkejut, lebih dari itu Cinta tampak … menarik dengan sepasang alis tertaut serta napas memburu.Ah, kenapa ia malah memikirkan sosok itu? Seharusnya Raki kembali mereka-reka kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan nanti. Bukan lawan bicaranya.Raki tiba di rumah tepat jam delapan lewat seperempat. Belum terlalu malam. Masih ada waktu memberi Flora hadiah seperti yang ia janjikan. Janji yang justru Cinta ragui Raki mampu lakukan. Boneka keroppi dan es krim yang ia dapat dari supermarket pinggir jalan. Untung ingat, kalau sampai lupa ... Cinta pasti akan makin memandangnya penuh cela.Penuh cela? Sejak kapan Cinta punya tatapan itu?Meraih boneka keroppi bertubuh besar, bahkan lebih besar dari sang putri, yang ia dudukkan di atas folder hijau di kursi penumpang, Raki tenteng es krim dengan tangan kiri.Belum juga pintu mobil dibuka, sudut mata Raki mendapati sosok istrinya yang sedang menutup gorden jendela ruang depan. Rambut ikalnya yang nakal tampak menjuntai dan … basah. Tubuhnya yang terlihat makin kurus dibungkus daster panjang lusuh kesayangannya yang setengah tahun lalu Raki rencanakan untuk ia musnahkan saking kesalnya pada daster butut itu. Wajah Cinta, Raki tak bisa melihat lebih jauh lantaran gorden sudah tertutup sempurna.Raki keluar mobil, melupakan boneka, es krim, terutama surat gugatan yang hendak ia beri pada Cinta. Karena lebih dari itu, ada hal mendesak lain yang tiba-tiba terasa jauh lebih penting dari dunia dan seisinya.Memiliki Cinta sekali lagi.Hanya sekali lagi. P    intu depan yang memang belum dikunci, terbuka. Cinta tahu bahwa yang datang pastilah suaminya. Ia sudah mendengar deru halus sedan putih itu beberapa saat lalu.Berbalik untuk mengucapkan salam, yang sering Raki lewatkan, Cinta dikejutkan dengan terjangan Raki yang langsung memerangkap tubuhnya dengan belitan sepasang lengan yang sudah Cinta hafal mati.“Mas—” Ia terkesiap kaget, berusaha menahan dada Raki dengan tangan untuk menjauhkan diri dan mengingatkan lelaki tak setia itu, tapi bibirnya segera dibungkam oleh ciuman yang … Cinta enggan mengakui, tapi ia tak ingin munafik, dirinya menyukai rasa  Raki. Pelukannya. Ciumannya. Semua yang ada dalam dirinya.Namun, tidak. Cinta tak bisa memasrahkan diri saat hubungan mereka berada di tepi jurang. Cinta tak akan sanggup. Jadi saat Raki terus mendesak, bahkan nyaris membaringkannya ke sofa ruang depan dengan pintu utama yang masih setengah terbuka, Cinta mengatup bibir rapat-rapat, mendorong tubuh Raki makin keras hingga tubuh mereka memiliki jarak.Dengan napas menderu, Raki mengambil satu langkah mundur seraya menyugar rambutnya ke belakang. “Maaf,” katanya, “Aku lupa belum menutup pintu.”Apa katanya?Lupa menutup pintu?Demi—... bibir Cinta menipis lantaran geram, Dia bahkan kehilangan kata-kata. Maaf Raki bukan karena pemaksaannya, bahkan bukan untuk pertengkaran semalam atau untuk … perselingkuhan yang menyakitkan. Melainkan karena … rahang Cinta nyaris jatuh ke lantai saat melihat Raki berbalik. Melangkah ke arah pintu, menutupnya keras, lantas mengunci dengan gerakan tidak sabar. Setelah itu ia hanya bertanya, “Flora sudah tidur, kan?”“Ya—” Dan sebelum kalimat Cinta tergenapi, Raki kembali menerjang.Tidak. Tidak.Cinta mundur. Berdiri di balik sofa tunggal dan menumpukan satu tangan pada sandarannya, sedang tangan yang lain ia angkat ke udara sebagai isyarat agar Raki berhenti mendekat. “Tunggu, apa mau kamu?”Raki melepas jas. Melemparkannya ke sofa yang Cinta jadikan pelindung hingga tersampir di lengan sofa putih itu, kemudian menarik dasinya menjadi lebih longgar. “Kamu biasanya selalu bisa menebak apa yang aku mau.”Gigi Cinta bergemeletuk mendengar jawaban ringan itu, yang diutarakan tanpa beban. Seolah tak pernah ada pengkhianatan di antara mereka. Seolah pertengkaran semalam tak pernah ada. Tumpuan tangannya pada sandaran sofa berubah menjadi kepalan keras. “Kamu nggak mungkin berpikir kalau …” ludahnya yang terasa kelu, Cinta telan paksa, “kalau aku masih akan menyerahkan diri setelah semua hal yang kamu lakukan kan, Mas?”Raki yang mulai melepas kancing kemeja satu persatu, berhenti. Tangan kanannya jatuh kembali ke sisi tubuh, sedang tangan kiri berkacak setengah pinggang. “Maaf untuk itu.”Maaf. Dan dia baru mengucapkannya sekarang. Demi mendapat yang ia mau. Betapa egoisnya Raki. Andai maaf bisa menghapus ingatan. Andai maaf bisa menghapus pengkhianatan. Andai maaf seberharga itu, tak akan pernah ada torehan luka. Tak akan ada air mata.“Aku maafkan,” katanya. Dan memang semudah itu. Segampang itu berucap.Raki di depannya, tersenyum separuh. “Aku tahu,” katanya jemawa, yang makin melukai hati Cinta.Tangannya yang ditumpukan pada sandaran Sofa, ia tekan dalam-dalam. Tatapannya ia palingkan. Enggan menatap Raki. “Tapi, sulit untuk lupa.” dan mungkin tidak akan pernah.Raki mengangguk dua kali. Ada sebersit rasa bersalah dalam telaga cokelat terang yang selalu Cinta kagumi itu. Hanya sekilas. Cinta bahkan tak yakin benar melihatnya.“Kamu tahu aku benar-benar berusaha kan, Ta?”Cinta tidak tahu. Yang ia tahu, sepanjang pernikahan ini, Raki adalah suami yang cukup baik. Dia memperlakukan Cinta dengan layak. Tapi berusaha mencintainya? Cinta tak yakin.“Tapi perasaan memang nggak bisa dipaksa.”“Cinta memang nggak bisa dipaksakan, Mas.” dia mengangguk dua kali, “Cinta tidak datang karena terbiasa, tapi karena hati bersedia,” lanjutnya dengan nada pahit. Raki mungkin sudah berusaha, tapi dia tidak pernah bersedia menyediakan sedikit ruang di hatinya untuk Cinta singgahi.“Tapi, kamu masih istri aku.”Kening Cinta mengernyit. Ia kembali menoleh pada lelaki yang masih mengakui statusnya sebagai istri.Raki menatapnya penuh arti. Menilik dari ujung kepala hingga kaki, lantas menelan ludah pelan.“Kamu nggak bisa lakukan itu,” katanya cepat-cepat. Mengangkat kepala lebih tinggi dan menatap sang lawan bicara melalui puncak hidungnya yang agak runcing. Jari-jari kakinya menekuk saat Raki mengedip lambat seraya kembali membuka kancing kemeja satu persatu. Dasinya entah sejak kapan dilepas, karena kini, kain halus itu sudah teronggok malang di lantai, tepat di sebelah kaki Raki yang masih terbalut pantofel cokelat mengilat.“Kenapa nggak?” Raki mulai bergerak lagi, mendekati Cinta, memutari sofa tunggal yang jadi pemisah di antara mereka.“Kamu bisa mendapatkannya dari wanita baru kamu!”“Tapi kami belum menikah, Cinta.”Kenyataan bahwa Raki belum sejauh itu, sedikit melegakannya. Sedikit. Karena fakta bahwa Raki berani memasukkan wanita lain di tengah biduk rumah tangga ini masih semenyakitkan saat tahu pertama kali.Ah, nasib Cinta memang tak seindah namanya. Pun alasan konyol Resti memilihkan nama itu untuknya hanyalah bentuk upaya menipu diri sendiri bahwa Wandi mencintainya. Meski tidak demikian. Wandi tak pernah bisa melupakan cinta masa lalunya. Bahkan mungkin sampai detik ini.Dan kenapa kisah ini harus kembali terulang? Pada Cinta yang justru merupakan korban.“Aku nggak bisa,” katanya dalam bisikan tertahan, tepat saat jarak mereka tersisa dua jengkal.“Ini kewajiban kamu.”Kalimat Raki terdengar tidak asing. Tentu saja karena ia yang sering mengatakan itu pada sang suami. Tentang kewajibannya.“Kamu nggak bisa maksa aku, Mas.”“Aku bisa.” semua kancing kemeja Raki terlepas, termasuk kancing lengan. Cinta menggigit bibir kuat-kuat. Bibir yang masih bisa mengingat kehangatan Raki beberapa saat lalu. Dan ya, Raki memang bisa memaksanya.“Pernikahan kita—”“Kita masih menikah,” meski besok mungkin tidak lagi, “Dan aku mau kamu, Cinta. Sekarang.”“Aku nggak mau!” Cinta mengepalkan dua tangan. Memberanikan diri beradu tatap dengan Raki yang menghujam telaga beningnya penuh arti.“Malaikat akan melaknat kamu sampai pagi.”Lagi-lagi, Raki menyerang dengan kalimat yang sering ia gunakan saat Raki berusaha tidak memaksanya. Dulu.Bukankah sudah Cinta katakan, selama pernikahan mereka yang damai, Raki memperlakukannya dengan layak. Sangat layak. Dia mengerti saat Cinta lelah mengurus anak. Bahkan saat lelaki itu sangat menginginkan Cinta, Raki selalu berusaha mengerti dan menahan diri. Cinta yang tak tega padanya, justru menggoda lebih dulu.“Kamu lelah, Bunda. Aku nggak mau maksa.”“Tapi kamu butuh ini, dan kamu bisa maksa aku.”“Kamu bisa menolak, kan?”“Aku nggak mau malaikat melaknatku sampai pagi, Buya.”Dulu. Dulu sekali. Saat Flora berusia hampir setahun dan selalu rewel lantaran akan tumbuh gigi bahkan  demam tinggi berhari-hari. Cinta sampai kewalahan menghadapinya.Kini kala mengingat kembali, kenangan itu malah terasa seperti mimpi. Bagai tak pernah terjadi. Raki yang berdiri di hadapannya, adalah lelaki yang berbeda. Yang memaksa—oh, tentu, sudah seminggu lebih sejak kemesraan terakhir mereka—yang berkhianat, yang dengan tega jujur bahwa tak pernah ada rasa untuknya, selain kasih sayang seorang kakak terhadap adik.Tak lagi sanggup bertahan, kepalan tangan Cinta melonggar. Wajahnya ia palingkan. Dengan air mata menggenang, mengaburkan penglihatan, ia berucap lirih, “Pelan-pelan,” dengan penuh kehancuran.Tanpa sadar, tangan kirinya menyentuh bagian perut bawah. Tempat segumpal darah lelaki itu tumbuh. Yang keberadaannya pun baru Cinta tahu siang tadi. Yang mungkin di masa depan tak akan merasakan kasih sayang secara utuh dari ayahnya.      Lembar Ke-6    Embusan angin malam dari jendela kamar yang sedikit terbuka menyapa bulu kuduk Raki yang sontak meremang. Namun, laki-laki itu sama sekali tidak ada niatan bangkit dari ranjang walau hanya untuk menarik gorden yang kini melambai-lambai pelan, seolah menari dengan liukan erotis penuh ejekan.Tentu saja mengejek Raki, siapa lagi?Raki yang luar biasa terpuaskan dan … anehnya di saat bersamaan merasa sama sekali tidak puas.Benar. Kebutuhan biologisnya terpenuhi, tapi … Raki mengangkat satu lengan dan meletakkannya di atas kening. Matanya masih nyalang, menatap plafon kamar dengan rahang mengetat. Berusaha mencari. Sesuatu, apa pun yang kini membuat lehernya tercekik.Di sisi ranjang bagian kiri, Cinta tertidur memunggungi. Atau pura-pura tidur. Raki tidak peduli.Wanita itu … wanita itu … apa yang kurang dari seluruh usaha Raki untuk menaklukkannya malam ini. Alih-alih mengerang penuh kenikmatan seperti dirinya saat mendapat puncak, dia justru berpaling muka saat Raki meneriakkan nama Cinta di antara detik jarum jam yang tiada henti berdetak.Dan itu … luar biasa melukai ego Raki. Membuatnya langsung terkulai layu dengan jantung terpalu.Cinta marah. Raki tahu.Raki tahu. Sial!Hanya saja, haruskah Cinta menunjukkan segamblang itu bahwa dia sama sekali tidak menikmati percintaan mereka yang biasanya … selalu lebih dan lebih panas dari demam tertinggi Flo sekali pun. Tidak bisakah ia berpura-pura menikmati saja? Bukan hanya diam bagai manekin tak bernyawa. Membiarkan Raki bekerja sendiri, bahkan membukakan setiap kancing bajunya dan tanpa bantuan tangan lain sang istri yang lebih memilih terlentang pasrah. Bahkan saat Raki menciumnya, mata Cinta masih terbuka, bukan menatap terpesona, melainkan memandang kosong ke atas. Pada lampu kamarkah? Atau pada sosok bayangan hantu yang barangkali menghuni ruangan ini? Tapi, hantu tidak memiliki bayangan. Huh.Raki pikir, keahliannya akan membuat Cinta luluh lambat laun. Toh, Cinta tetap membuka diri untuknya. Namun saat tahu untuk pertama kali ia tak bisa menaklukkan sang istri, Raki kesal luar biasa.Kenapa Cinta menjadi begitu sulit sekarang?Memejamkan mata rapat-rapat, Raki berusaha menormalkan deru napas yang memburu. Alih-alih lebih tenang, bayangan wajah Cinta yang terbingkai rambut ikal berantakan saat berpaling darinya berputar makin jelas, bagai mengulang saat-saat itu sekali lagi. Dan rasa sakitnya sama sekali tak berkurang.Oh, cukup sudah. Raki tak bisa terus-terusan begini. Mereka butuh bicara.Raki bangkit. Mengubah posisi tidurnya, membuat selimut yang semula menutup tubuh hingga pertengahan dada, melorot hingga pinggang.“Aku tahu kamu belum tidur,” katanya, menyerong menghadap Cinta yang masih berbaring miring. Menyuguhkan pemandangan punggung kuning langsat yang selalu berhasil mengusik nafsu binatangnya. Bahkan kini. Tapi ingatan saat Cinta sama sekali tak menikmati kemesraan mereka—yang sama sekali tak cocok disebut kemesraan—membuatnya bekerja keras menahan diri.“Mari kita bicara, Cinta.” Lalu selesaikan segalanya. Raki bertekad. Kata talak bahkan sudah berada di ujung lidah. Siap ia ucapkan demi mengakhiri seluruh benang kusut yang tak bisa-bisa ia urai dengan sabar.Sebelumnya, Raki berharap bisa berpisah secara baik-baik demi Flora. Karena ia masih ingin bertanggung jawab atas putrinya sekalipun nanti Cinta mungkin akan menikah lagi dengan lelaki yang mampu menyuapi sang putri tanpa bantuannya lagi. Ugh ... membayangkan Cinta menikah lagi, cukup membuatnya gondok.Perempuan yang Raki ajak bicara, bergerak. Tubuhnya telentang dengan satu tangan menahan selimut di atas dada. Raki mengatup rahang makin ketat hingga bibirnya menipis.“Aku sudah hapal kamu luar dalam. Percuma kamu membungkus apa pun dengan itu.” Raki mengedikkan dagu tak acuh pada selimut yang Cinta kepit, berujar tanpa nada jenaka seperti dulu sewaktu menggoda Cinta. Cinta yang tak pernah berani menunjukkan diri secara terbuka padanya selain saat mereka melakukan aktivitas menyenangkan, yang biasanya selalu bisa mereka nikmati bersama, kecuali tadi.Ugh! Raki mengumpati dirinya. Meminta otak sialan itu berhenti memikirkan keengganan Cinta beberapa saat lalu.Mengedip lambat, Cinta ikut bangkit, menarik lebih banyak bagian selimut untuk membungkus tubuhnya yang molek, hingga Raki hanya kebagian sedikit hingga pahanya terlihat. Membuat angin malam yang bertiup kencang di luar rumah, makin leluasa membelai kulitnya, membuat Raki makin kedinginan. Tapi, begini lebih baik. Agar ia tidak kembali menerjang seperti binatang kelaparan.“Ya.” Cinta masih berwajah datar. Rambutnya yang mulai kering dan sangat kusut, ia sampirkan ke belakang telinga. Menolak membalas tatapan Raki. Melihatnya, tenggorokan lelaki itu mendadak kerontang.Uh, oh. Tadi ia hendak bicara apa?Ah … talak.Raki berdeham. “Aku udah buat keputusan.” dia berhenti. Berusaha mencari-cari ekspresi tegang dari raut sang lawan bicara yang masih tampak … tenang? “Tentang hubungan kita,” lanjutnya dengan desisan jengkel.Tebak reaksi wanita yang sudah Raki nikahi selama empat tahun.Dia mengangguk. Mengangguk malas. Kepalanya bergerak ke atas dan ke bawah tanpa beban seolah yang mereka bicarakan adalah cuaca di musim penghujan yang sudah pasti akan menggenangi Jakarta seperti tahun-tahun sebelum ini.Dan kenapa justru emosi Raki yang menegang. Sangat tegang. Urat-uratnya bahkan serasa hampir putus melihat Cinta yang semasa bodoh dengan nasib pernikahan mereka.“Aku tetap dengan niat awalku. Menikahi Laura.”“Sudah kuduga.” Cinta kembali mengangguk-angguk malas. Bahkan sambil menguap, seolah tidur jauh lebih berarti dari suaminya yang tergoda wanita lain.Dan demi Tuhan, dari semua kosa kata yang Raki tahu, 'sudah kuduga' sama sekali tidak ada dalam daftar jawaban yang akan Cinta utarakan, menurutnya.Sudah kuduga.Raki meremas kain selimut bercorak polkadot hitam putih yang baru pagi tadi diganti.Baguslah. Ia menelan ludah. Dengan begini semua akan lebih mudah. Raki membuka mulut, siap mengucap kata cerai untuk benar-benar mengakhiri segalanya saat Cinta kembali bicara dengan nada tanya.“Berarti kita akan segera berpisah, kan?”Seluruh silabel yang sudah berada di ujung lidah, kembali tertelan paksa hingga membikin lehernya tercekik.Ya.Ya.IYA.“Siapa yang mengatakan kita akan berpisah?” Mata Raki membeliak. Kesal pada pada dirinya sendiri yang justru balik bertanya alih-alih mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Cinta yang diutarakan seringan itu. Seakan menanyakan menu apa yang Raki mau untuk menu makan siang besok.“Oh?” barulah kali ini Cinta meliriknya dengan kepala dimiringkan, yang Raki balas dengan membuang muka sambil menyugar rambut. Seluruh tenaga ia pusatkan pada ujung-ujung jemarinya, berharap syaraf-syaraf kusut di sana mau kembali lurus dan berfungsi dengan benar. “Jadi, kita tetap menikah?”“Kalau iya, apa kamu nggak suka?” Raki kembali menatapnya, setengah berang.Cinta memainkan ikal rambutnya yang kusut dengan jari telunjuk, yang pasti akan membutuhkan usaha cukup keras untuk merapikannya dengan sisir. Raki tahu, karena ia sering melakukan itu. Dan sial, setiap gerak jari terkutuk itu sukses membuatnya … ingin kembali membaringkan sang istri yang mendadak nakal. “Nggak juga,” jawabnya sambil lalu.Raki makin menggigil. Bukan. Bukan karena jawaban Cinta yang … cukup mengejutkan. Pasti karena udara malam yang berembus kencang. Raki yakin sebentar lagi akan turun hujan.Apa sebenarnya yang ada dalam kepala cantik itu?“Aku akan menikahinya tanpa menceraikan kamu,” geram Raki, merasa sebentar lagi butuh penanganan dokter karena ia mendadak sesak napas, sedikit gemetar dan ingin memukul seseorang.Oh, semoga saja ini bukan gejala penyakit kronis yang bisa membuatnya mati di usia muda. Dan semoga bukan gejala kegilaan juga. Karena sungguh, Sikap Cinta belakangan ini benar-benar bisa membawanya ke rumah sakit jiwa dalam waktu dekat.Dan jawaban Cinta selanjutnya sama sekali tidak membantu.“Bagus.”Bagus!“Kamu tidak masalah punya madu?” tanya Raki tak percaya. Rahangnya terasa berat, kalau dibiarkan mengikuti tarikan gravitasi, pasti mulut sialan ini akan menganga seperti orang tolol. Dan Raki menolak tolol karena Cinta.Cinta mengangkat bahu. “Aku udah bilang kan, aku nggak peduli. Mau kamu cerai, kamu poligami, terserah.”Cinta berbohong. Raki yakin. Ada kilat luka dalam telaga beningnya yang sewarna cokelat susu hangat yang coba ia sembunyikan dengan baik. Tapi sorot ketegasan yang Raki dapat dari wanita itu detik kemudian, membuat Raki tak yakin bahwa Cinta benar-benar terluka.“Dengan kamu menikah lagi, aku bakal punya lebih banyak waktu untuk diriku sendiri,” katanya seringan bulu. Membalas tatapan Raki dengan binar cemerlang yang justru berhasil membuat Raki bungkam. “Istri kedua biasanya menjadi favorit suami untuk beberapa lama, dan itu justru bagus, kan? Aku bisa tidur lebih awal tanpa nunggu kamu pulang. Aku akan punya lebih banyak waktu untuk memanjakan diri. Bermain sama Flo, Nana, Tita. Kumpul bareng Mama-Papa. Dan masih banyak lagi. Istri kedua kamu akan meringankan tugasku. Itu bagus, kan?”Raki kehilangan kata.Cinta mungkin tidak masalah dimadu. Tapi, Raki tidak ingin memadu Laura. Hal termudah adalah dengan menceraikan Cinta. Tapi … Ego Raki tidak terima. Ia ingin tahu, bila benar Cinta ia madu, masihkah wanita itu akan tersenyum semanis ini dan benar-benar menikmati waktu tanpa merasa terluka?Sikap Cinta yang terlalu angkuh, terasa asing sekaligus … menantang harga dirinya. Dan Raki tidak suka dengan reaksi jantungnya yang menderu.Pembicaraan tengah malam yang Raki harap akan mengakhiri segalanya justru membuat ia makin kebingungan. Keputusan bulatnya tercerai-berai. Bagai bola pasir yang dilempar dari tepi jurang. Berhamburan. Raki takut dirinya benar-benar akan gila sebentar lagi. Kata talak yang seharusnya ia ucap, bersembunyi di balik harga dirinya yang terluka.Terluka, huh?Tidak mungkin.Cinta tidak berhak melukainya.“Kalau itu yang kamu mau.” Raki tidak bisa berpikir saat ini. Ia menjatuhkan kembali tubuhnya ke ranjang. Kepalanya sempat terpental beberapa kali di atas bantal. “Selamat malam.” ia berbalik. Memunggungi Cinta dengan mata terpejam. Berusaha tertidur meski gagal. Lelap enggan menyapanya yang galauDan semua ini gara-gara istrinya yang sialan. Di samping Raki, Cinta menurunkan kaki-kakinya yang tremor ke lantai. Pegangannya pada selimut terlepas. Apa yang baru saja ia katakan?Tidak masalah dimadu? Oh, munafiknya.Cinta berdiri, dan hampir terjatuh lantaran kaki-kakinya tak mampu menopang andai ia tak segera menumpukan tangan pada kepala ranjang. Membiarkan selimut yang membungkus tubuhnya merosot hingga teronggok di lantai.Raki sudah membuat keputusan. Cinta terlanjur mengikuti ego tanpa mempertimbangkan perasaan, maka ia sudah harus membuat rencana. Apa pun, yang dapat membuatnya berhenti memikirkan pengkhianatan Raki.Raki akan menikah lagi. Dengan wanita yang dia cintai. Satu-satunya. Dan dapat dipastikan wanita beruntung itu akan mendapat segala yang Cinta inginkan selama ini.Raki dan cintanya.Merasa kesulitan bernapas dengan hidung, Cinta menarik oksigen dengan mulut. Dadanya panas. Sesak. Berpura-pura bahagia tidak pernah semenyakitkan ini.Menggunakan tangan yang masih bergetar hebat, ia raih dasternya di kaki tempat tidur yang Raki lempar sembarangan. Cinta kenakan kembali sebelum pergi dari kamar yang tak lagi bisa membuat bahagia. Cinta menyesali malam ini. Menyesali keputusannya sendiri. Harusnya ia meminta Raki menceraikannya. Seharusnya ia bersikeras agar Raki menjatuhkan talak, tapi … Cinta tidak ingin kalah dalam perang ini. Perang dengan harga dirinya sendiri.Cinta hanya ingin membuktikan pada suaminya, ia tidak selemah itu. Kalaupun harus ada perpisahan, yang pasti bukan karena Cinta yang memohon dilepaskan. Bangun kesiangan dengan kepala pening adalah satu dari banyak hal yang Raki benci. Cinta yang sialan membuatnya tak bisa tidur semalaman. Setelah salat Subuh, barulah matanya benar-benar bisa terpejam.Raki meraba ponsel di nakas. Memeriksa jam analog di layar. Sudah pukul sembilan.Mengerang, Raki bangkit. Ia mundur beberapa senti hingga punggungnya bersandar pada kepala ranjang yang cukup empuk. Beruntungnya ini Sabtu. Dia tidak berkewajiban bekerja.Berusaha mengenyahkan percakapan sintingnya semalam dengan Cinta yang pasti juga sudah mulai sinting. Raki ingat ia ada janji dengan Laura dan Dinda jam sepuluh nanti.Oh, itu satu jam lagi.Satu jam lagi.Oh, Tuhan ....Raki segera turun dari ranjang. Setengah berlari menuju kamar mandi agar bisa siap sebelum satu jam. Membersihkan diri dan mencukur bakal janggut serta kumis hingga bersih. Cinta suka Raki berberewok tipis, tapi Laura lebih suka wajahnya yang mulus. Dan sejak berhubungan dengan wanita itu, Raki tak lagi membiarkan bulu-bulu halus menghiasi wajahnya.Selesai mandi, Raki sedikit kebingungan hendak menggunakan pakaian yang mana mengingat empat tahun terakhir ia tidak pernah memilih baju sendiri.Di mana Cinta? Pagi-pagi sudah tidak terlihat batang hidungnya. Seharusnya dia menyediakan pakaiannya seperti biasa. Bukan malah menghilang saat Raki butuh.Ah ya, dia meninggalkan memo di nakas. Ke pasar katanya. Dia bilang agar Raki menelepon bila menginginkan sesuatu.Huh.Raki bahkan tidak tahu apa yang ia inginkan.Cerai yang pasti. Tapi bila ia mengabulkan itu, sama saja membuat Cinta merasa di atas angin. Wanita itu bahkan tidak keberatan di talak.Mengingatnya lagi, sukses membuat suasana Raki memburuk.Setelah hampir lima belas menit berkutat dengan isi lemari, ia akhirnya memilih kaus abu-abu polos serta sweater dongker yang dipadu dengan jeans hitam, Raki siap menjemput kekasihnya ke rumah kontrakan yang ia pilihkan untuk wanita itu. Raki tidak rela Laura tinggal di rumah kos kecil seperti dulu.Jam sudah menunjuk angka sepuluh kurang seperempat saat ia turun ke lantai bawah. Merasa lapar, Raki mampir ke meja makan. Cinta bilang di dalam memo yang ditinggalkannya, dia sudah menyiapkan sarapan. Semoga bukan roti panggang gosong lagi. Atau mungkin kopi bersianida? Siapa tau wanita itu berubah pikiran, tidak mau dimadu dan lebih memilih menjadi janda yang ditinggal mati suami?Tapi, tidak mungkin. Cinta yang ia kenal bahkan tidak tega membunuh nyamuk yang menggigitnya.Dan syukurlah, yang terhidang di meja makan adalah menu layak konsumsi. Namun sebelum Raki sempat menggigit sandwich-nya, suara Cinta yang sejak kemarin tak lagi bernada lembut, terdengar beruluk salam.Raki menoleh dengan kening berkerut dan mendapati sang istri di dekat lemari, berdiri bersisian dengan Flo. Tumben pulang cepat dari pasar. Di mana belanjaannya?Raki berusaha tak menatap mata Cinta saat menjawab enggan, “Waalaikumsalam,” karena tak ingin mengingat kenangan semalam. Saat Cinta memalingkan muka. Ugh! Raki harus menyentuhnya lagi dan memastikan kali ini Cinta akan menikmati kemesraan mereka sebesar Raki menikmatinya. Kalau perlu, tak apa Raki tidak mendapat apa pun asal Cinta bisa luluh. Untuk membuktikan bahwa Raki masih bisa memengaruhinya sebesar itu, setinggi apa pun tembok tak kasatmata yang memisahkan mereka.Tembok besar dalam wujud cantik seorang Laura.Sial, dia ada janji beberapa menit lagi.“Kamu kenapa udah pulang?”“Aku mau minta tolong.”Minta tolong? Raki melihatnya ngeri. Jangan bilang sekarang?“Tolong jaga Flora. Aku mau ke rumah lama Bang Gus sebentar. Bisa?”Tidak bisa. Raki ada janji. Demi Tuhan! “Kenapa kamu nggak bawa Flo sekalian?”“Ini urusan penting dan … agak rumit.”Lebih rumit mana dari hubungan kita? tanya Raki yang sayang hanya bisa ia utarakan dalam hati.Kalau harus menjaga Flo, bagaimana ia bisa jalan-jalan dengan Laura dan Dinda?Tapi dasar Raki sialan, alih-alih menolak, ia justru mengangguk sambil menggigit kasar sarapannya sebagai pelampiasan.Sekarang dia bingung lagi, kan?“Dan … aku mau pinjem mobil kamu.”Sandwich yang sudah akan ditelan, nyasar ke saluran napas, membuatnya sontak tersedak. Dan Cinta yang dulu perhatian malah hanya berdiri diam di samping lemari partisi. Tidak menghampiriya dan bantu menepuk punggung Raki yang kini terbungkuk-bungkuk.“Air!” pintanya nyaris tercekik. Melihat Cinta yang masih berdiri dengan mata memerah saking kesalnya.“Ambilkan air buat Buya kamu, Flo.”Sialan wanita itu!Flo langsung menurut. Ia berlari, memanjat kursi ruang makan demi menuangkan air dari teko ke gelas sebelum menyerahkan pada ayahnya. Yang langsung Raki teguk kasar sambil melotot pada Cinta.“Kamu—” geramnya yang Cinta sela.“Boleh kan, aku pakai mobil kamu?” tanyanya lagi seraya menilik penampilan Raki yang sudah tampak rapi, dari ujung kepala sampai kaki. “Oh, kayaknya nggak bi—”“Pakai aja!” sembur Raki, setengah dongkol, setengah kesal dan luar biasa menyesal dengan kata-kata yang selalu keluar dari mulutnya tanpa lebih dulu diproses otak.Kalau Cinta memakai mobil itu, bagaimana janji dengan Laura?Tapi tatapan Cinta saat mengamatinya tadi, penuh cela dan … Raki benci mengakui ini, tapi dia benar-benar tidak suka Cinta menatapnya seperti itu.“Kuncinya di nakas, kan?”“Ya.”Cinta mengangguk sekali. Ia berbalik, mulai melangkah ke arah tangga saat Raki menyadari sesuatu.Di dalam mobil ada folder berisi surat permohonan cerai talak yang belum ia pindahkan. Shit!     Lembar Ke-7    “Kayaknya kunci mobil nggak di nakas deh!” buru-buru Raki menggerakkan kaki-kaki panjangnya, menyusul Cinta yang sudah berada di anak tangga kelima. “Aku lupa taruh di mana. Biar aku yang nyari, oke?” dia berusaha menahan ringisan dan mengganti dengan cengiran canggung yang pasti tampak aneh saat Cinta menoleh dengan sorot mata lebih tajam. Terserahlah, yang pasti, Raki harus bisa mendapatkan kunci itu lebih dulu dan masuk mobil, dan pura-pura berniat baik dengan memanaskan kereta besi untuk sang istri, dan mengambil boneka untuk Flo—sial, Raki lupa es krimnya yang pasti sudah meleleh—dan, yang paling penting dari segalanya ... surat permohonan talak cerai yang kemarin berniat ia tunjukkan pada Cinta sebelum memasukkan ke pengadilan agama.Masih dengan ekspresi datar yang menyebalkan, berbalik. Memang tanpa ekspresi, tapi seperti ada jutaan hujatan di kilas mata yang dulu selalu memandang Raki penuh perasaan. Wanita itu kembali meniti anak-anak tangga ke bawah, mengabaikan Raki yang setengah berlari menuju lantai atas. Raki yang jarang berolahraga, tentu saja ngos-ngosan begitu sampai di kamar, tapi ia tak bisa membiarkan dirinya beristirahat barang sejenak kendati jantung serasa akan copot dari rongga.Dia ada janji dengan Laura. Dan demi Tuhan, lima menit lagi, bisiknya pada diri sendiri seraya menghampiri meja nakas. Benar saja, kunci mobil tidak ada di sana, melainkan di laci. Hah, setidaknya Raki tak berbohong sepenuhnya.Sambil mendesah panjang, ia berbalik. Seperti rencana awal, mengatakan pada Cinta bahwa ia akan memanaskan mobil agar istrinya yang mendadak menjadi perengut bisa langsung tancap gas ke mana pun.Syukurnya, folder itu masih di tempat semula. Di bawah boneka beruang Flo. Begitu mesin mobil menyala, Raki memeriksa seluruh isinya. Masih lengkap. Berarti aman. Entah mengapa ia hanya belum siap Cinta mengetahui ini. Meski … Raki meringis, hasrat untuk menikahi Laura kian berkobar seiring bergantinya hari.Cinta yang pagi ini secantik biasa dengan kulot bermotif abstrak, tunik cokelat susu yang dipadu pashmina merah jambu, berdiri di teras. Dompet besar yang muat banyak barang termasuk parfum kecil dan ponsel, ditenteng di tangan kanan. Wajah malaikatnya terlihat tenang—tapi mematikan saat sorotnya memaku Raki yang langsung berpaling sambil berdeham canggung sebelum memutuskan mobil sudah cukup panas dan siap dikendarai. Sambil menenteng folder berisi nasib masa depan pernikahan mereka serta beruang cokelat Flo dan bungkus plastik es krim yang agak lengket, Raki keluar dari kereta besi kesayangannya. Ia sudah akan bicara, basa-basi mengatakan mobil sudah bisa dibawa saat mendengar Flora menjerit kegirangan sambil berlari riang ke arahnya.“Buya, itu buat Flo?” tanyanya dengan mata penuh binar. Raki mengerjap, menoleh dengan senyum terkembang. Ia berlutut, menyodorkan si beruang besar, sangat besar hingga kaki boneka itu menyentuh paving block halaman rumah mereka.“Iya, kan Buya udah janji.” pada kata terakhir, Raki sengaja memberi sedikit penekanan dan mengeraskan volume sambil melirik Cinta yang … apakah dia terkena kram wajah? Kenapa ekspresinya belum juga berubah?“Aaaa … makasih, Buya. Flo sayang Buya!” si bocah hendak memeluk sang ayah, tapi karena ada beruang besar di antara mereka, jadilah boneka lucu itu yang bisa Flo dekap. Tapi rasa hangat tangan-tangan mungil putrinya sampai ke hati Raki.Masih dengan senyum bahagia, Flora merebut si beruang besar, menyeretnya ke dalam rumah untuk  segera diajak bermain.Mendadak salah tingkah setelah ditinggal berdua, Raki berdiri, sok sibuk membersihkan lututnya yang sama sekali tidak kotor. Kemudian berdeham. “Mobilnya sudah bisa dipakai,” sambil menggigit bibir bagian dalam, menahan diri untuk tak mengumpat lantaran ponsel di saku baju sudah bergetar sejak tadi. Ugh, pasti Laura yang sudah menunggu. Kekasihnya memang terlalu tepat waktu.“Terima kasih,” kata Cinta pelan sembari melangkah turun dari teras. Menghampiri Raki dan mengulurkan tangan. Hendak pamit. Seperti biasa.Raki … sejenak terpaku. Bahkan lupa pada getar di dada kanannya. Hanya menatap tangan kecil Cinta yang … ia tidak tahu harus mengatakan apa.Cinta marah. Raki tahu. Dia bahkan tak lagi memandang Raki penuh hormat. Tapi, ah … Raki masih suaminya.Menelan saliva, Raki memindahkan folder serta plastik es krim ke tangan kiri sebelum balas dengan uluran tangan yang kemudian Cinta cium sekilas dengan pucuk hidung mungilnya. Pucuk hidung. Sekilas. Hanya itu. Tidak ada kecupan mesra seperti biasa di punggung tangan Raki yang kontan langsung terasa dingin begitu tautan tangan mereka terlepas. Genggaman Raki pada ujung folder menguat.Ah, satu lagi kebiasaan lain yang perlahan mulai ditinggalkan.“Aku berangkat. Assalamualaikum.” Cinta melewati tubuh Raki begitu saja dengan gerakan tubuh kaku. Masuk ke dalam mobil tanpa menoleh lagi.Dan … menghilang dari pandangan. Jantung Raki melambat satu denyutan, melihat sisa asap mobil yang samar-samar memenuhi udara halaman, sebelum menghilang di udara. Menyisakan Raki yang mendengus setengah jengkel.Ponsel di saku baju kembali bergetar. Raki mengangkatnya. Sesuai tebakan. Panggilan dari Laura.Menarik napas, Raki menempelkan benda pipih persegi itu ke telinga. “Iya, Sayang?”“Kamu ke mana aja sih, Ki?” semburan kemarahan, tentu saja. Raki sangat terlambat dari janji temu mereka. Ia melirik arloji. Jarum besarnya sudah mengarah ke angka tiga. “Aku udah nelepon kamu ratusan kali!” dan ini jelas kebohongan setiap kaum hawa. Benar Laura meneleponnya berkali-kali, tapi tak sampai seratus—hanya sembilan kali. Dan yah, itu bilangan yang bisa dikatakan banyak. Tapi, entah kenapa Raki kesal. Oh, yah … dia memang sudah kesal sejak semalam, sama sekali tak membaik pagi ini. Semoga saja nanti saat melihat senyum Laura, suasana hatinya bisa kembali.“Maaf.”Raki bisa membayangkan, di seberang sana Laura pasti sedang memutar mata jengkel. Terbukti dia tidak menanggapi permintaan maaf Raki, alih-alih langsung bertanya, “Jadi kan, kita jalan-jalan hari ini?”Genggaman Raki pada ponsel mengerat. Ia melirik ke arah jendela rumahnya yang terbuka. Flora sedang asyik berbicara sendiri dengan teman baru penuh bulu yang pasti sudah punya nama—entah siapa. Raki tidak mungkin bisa meninggalkan Flo sendirian di sini. Mereka tidak punya pengasuh anak atau pembantu tetap di rumah ini, Cinta mampu mengurus segala kebutuhan rumah tangga dengan sangat baik. Menitipkan Flo ke day care pun terasa salah. Raki tidak sebusuk itu sampai bisa menyerahkan pengasuhan anak pada pihak lain demi kesenangan pribadi.Ugh, sepenting apa sih, urusan Cinta sampai dia tidak mengizinkan Flo bersamanya? Toh, hanya ke rumah Gustav yang lama, yang memang sudah seperti rumah ketiga putri mereka saking seringnya mereka ke sana. Pun pasti ada Nana yang bisa Flora ajak bermain.Kalau begini, Raki pusing sendiri.“Ki, aku nanya loh, jawab dong. Dinda udah nangis karena kelamaan nungguin kamu!”Raki memejamkan mata sambil memijit tulang hidungnya, berharap pening dadakan di kepala sedikit berkurang. “Jadi kok, kapan sih aku pernah ingkar janji?” ujarnya dengan tanya, kemudian mengumpat pelan saat mengingat kalimat sinis Cinta kemarin pagi. Tentangnya yang mengkhianati janji pernikahan mereka. “Tapi,” Raki ragu-ragu melanjutkan, ia melirik Flo lagi, dan merasa tak memiliki pilihan lain, “aku boleh bawa anak aku juga, kan?”Yah, mungkin ini sudah saatnya, Raki membatin muram, memperkenalkan Flora dengan calon ibu dan saudaranya, Dinda. Meski Raki sebenarnya tidak terlalu yakin. Raki tidak banyak berharap dengan jalan-jalannya bersama Laura dan anak-anak akan berlangsung sebaik yang ia ingin, mengingat saat ini saja Raki kebingungan harus mengatakan apa pada si cilik yang duduk di sampingnya sambil berceloteh riang, sesekali menyanyikan lagu Pak Kusir. Nadanya mendadak meninggi begitu sampai pada lirik tak tik tuk tik tak tik tuk.Yah, pada akhirnya Raki meminjam mobil ibunya. Mengendarai motor yang biasa Cinta bawa ke pasar sampai kompleks perumahan yang ia tinggali semasa bujang demi bisa merealisasikan janji dengan Laura. Tak mungkin ia memakai motor dan bonceng tiga, bisa-bisa belum sampai mal sudah kena tilang.Raki memang tidak sekaya ipar-iparnya yang punya sederet mobil mewah di garasi rumah. Dia hanya keponakan bos perusahaan yang masih berkembang di Ibukota. Dua puluh lima persen saham yang dimilikinya adalah warisan dari almarhum ayah setelah dibagi dengan Rena, adik perempuannya. Tapi Raki masih mampu membeli dua atau tiga mobil lagi sejenis fortuner jika mau. Hanya saja, Cinta yang sederhana selalu mengatakan kalau semua itu tidak perlu. Toh, yang butuh mobil hanya Raki, sedang Cinta jarang ke mana-mana. Lebih baik ditabung, kata Cinta dulu. Bahkan saat Raki mengatakan ingin ganti mobil, Cinta belum mengizinkan, sedang mobil yang Raki punya saat ini sudah berusia hampir delapan tahun dan mulai sering keluar masuk bengkel.Tidak, Cinta bukan jenis wanita pelit. Dia justru sangat dermawan. Sejak menikahi Cinta, Raki menemukan dirinya sudah menjadi donatur tetap beberapa panti asuhan dan lembaga pendidikan serta badan sosial. Bahkan setiap Jumat, istrinya selalu mengingatkan agar Raki mengisi kotak amal di masjid. Hanya saja untuk barang-barang mewah, Cinta selalu berpikir seribu kali. Ah, bahkan seribu kali masih terdengar sedikit.Dan beginilah hasil dari kesederhanaan Cinta. Raki harus meminjam kendaraan hanya untuk kencan. Pemikiran tersebut sedikit membuat Raki gelisah. Mungkin kencan terdengar sangat tidak pantas mengingat ia masih terikat pernikahan. Baiklah, anggap saja sekadar keluar mengisi waktu luang. Itu terdengar sedikit lebih baik.Raki harus meminjam kendaraan hanya untuk keluar mengisi waktu luang. Kedengarannya tidak terlalu buruk.“Buya, nanti kita bisa jalan-jalan lagi kan sama Bunda sama Tita sama Nana?”Raki mengalihkan pandangan dari lampu lalu lintas ke arah putrinya yang menatap dengan mata bulat bening, persis milik sang ibu. Menunggu jawaban. Sudut bibir Raki terangkat kaku. Ia menyentuh puncak kepala Flo sebelum berujar, “Mungkin lain kali, Sayang.” Meski Raki tak yakin lain kali itu akan pernah ada mengingat hubungannya dengan Cinta saat ini yang berada di ujung tanduk.Flora yang mengartikan lain kali pasti datang, mengangguk antusias hingga rambutnya yang diikat bergoyang-goyang. “Iya. Ke Dufan ya, Buya!”Sekali lagi Raki hanya tersenyum sebelum kembali menoleh ke depan. Lampu sudah berganti hijau, dan ia pun menginjak gas. Membelah jalanan yang selalu padat. Jarak ke rumah kontrakan Laura sudah dekat. Di tikungan depan. Detak jantung Raki mulai berubah tempo, satu ketukan lebih cepat.Semoga saja, doanya, Laura bisa menerima Flo. Pun sebaliknya.“Papa ...!” adalah sambutan pertama yang ia dapat begitu keluar dari mobil. Dinda, buah hati Laura melambaikan tangan dari kursi teras seraya melompat turun. Dia tak kalah manis dari Flora pagi ini, dengan baju kurung kotak-kotak dan rambut dikepang dua. “Mama, Papa dateng!” adunya pada sang Ibu sambil berlari, bahkan nyaris melompat saat melewati anak-anak tangga teras. Raki melambai dengan denyut jantung makin keras mengedor rongga dada. Tatapannya nyalang menghadap Laura saat memutari kap depan mobil. Lantas membukakan pintu bagi tuan putri kecilnya yang mulai tampak kebingungan, barangkali merasa asing dengan tempat yang ayahnya datangi.“Buya, kita di mana?” tanyanya. Raki menggaruk pelipis, memutar otak mencari jawaban.Dinda yang sama bingung, terkejut. Langkah-langkah mungilnya terhenti begitu melihat sosok cilik lain keluar dari mobil seseorang yang ia kenal sebagai calon ayah baru. “Pa, dia siapa?”Uh, oh. Raki meringis. Ia menarik lembut tangan Flo, lantas menutup pintu mobil sambil bergumam.“Mmm ... begini anak-anak ...” Ia mengangkat pandangan, pada Laura yang melangkah anggun menujunya dengan tatapan memohon. Laura yang tak lagi marah setelah Raki memberi penjelasan tentang keterlambatannya, balas menatap geli.Geli. Ugh. Raki menggeram samar padanya. Demi Tuhan, Raki tak pernah berpikir akan pernah ada di posisi ini.Memperkenalkan anak kandung dengan calon anak tiri. Balita pula!Menarik napas, Raki membuka mulut. Hendak kembali melanjutkan kata-katanya saat Laura lebih dulu bersuara.Masih dengan langkah anggun, ia tersenyum. Tulus sekali. “Flora, ya?” tanyanya sambil menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga—gestur Laura yang paling Raki suka. Tiba di depan Flo, ia membungkuk dengan satu tangan ditumpukan di atas lutut, membuat beberapa helai rambut halusnya meluncur melewati punggung, jatuh dengan begitu lembut dan menjuntai di udara.Flora berkedip lambat. Genggaman tangannya pada jari telunjuk Raki mengerat seraya melirik sang ayah dengan dahi berkerut. Saat Raki mengangguk, ia pun menyahut. “Iya, Tante.”Dua langkah di belakangnya, Dinda cemberut. Barangkali bocah itu merasa terabaikan.“Kok, manggilnya Tante? Mama dong, Sayang.” di akhir kalimat, ia mengerling pada Raki yang mendadak kerongkongannya terasa kering.“Ra!” tegurnya, yang Laura balas dengan kedipan mata sok genit. Seolah berkata, santai aja. Tapi, bagaimana Raki bisa santai? Flora tidak tahu-menahu tentang hubungan mereka. Berbeda dengan Dinda. Flo bahkan belum mengerti apa-apa.“Mama?” ulang Flo tambah bingung. Mulutnya membentuk o besar seiring dengan matanya yang membulat lebar. Laura mengangguk beberapa kali.“Mama Laura,” lanjut calon istri ayahnya sambil mengulurkan tangan, yang Flo tatap cukup lama. Raki mengeluarkan suara sejenis geraman dari tenggorokan, berusaha menegur sekali lagi yang sama sekali tak Laura hiraukan.“Tapi ...” Flo kembali mendongak pada ayahnya, tapi Raki justru pura-pura menatap ke arah lain, “Flo kan udah punya Mama, Buya.”Raki menelan ludah. Tentu saja Flo sudah punya mama. Oh, Tuhan. Laura tidak seharusnya bertindak secepat ini untuk mengambil hati putrinya.“Cukup, Ra!”Laura mengangkat alis, pura-pura tak mendengar. “Kalau Mami?” Dia tampak tak ingin menyerah. Belum ingin menyerah.“Ra!”“Flo juga udah punya Mami.”Flora dan Raki berucap serempak. Jenak saat Raki menyadari kalimat putrinya, ia mengedip cepat, spontan menunduk.Dan ... ah, ya.Jadi maksudnya sudah punya mama ... mamanya Nana. Dan maminya Tita.Nyaris saja. Raki kira yang Flo maksud adalah Cinta. Merasa geli sendiri, Raki pun tergelak pelan. Bagaimana ia bisa lupa kalau putrinya punya tiga ibu? Empat sebentar lagi.Jelas tak mengerti, dua alis Laura mengkerut. Menciptakan huruf V di keningnya. Barangkali lelah terus mengulurkan tangan, ia tarik kembali ke sisi tubuh dengan ekspresi bingung yang tak ditutupi. Ditatapnya Flo dan Raki bergantian. Saat menyorot Raki, matanya menyipit curiga.“Kamu udah punya Mama sama Mami?” Laura bertanya setengah mendesis, yang tentu ditujukan pada Raki.Ah, dia pasti mulai salah paham. Raki saja nyaris salah paham.“Iya!” jawab Flo antusias.Laura kembali berdiri tegak. Menyilang dua tangan di depan dada. Menatap Raki galak. “Jangan bilang mereka dua orang yang berbeda.”Raki menyeringai. Tahu betul ekspresi cemburu kekasihnya. “Memang dua orang berbeda,” dia mengangkat bahu tak acuh. “Iya kan, Sayang?” lanjutnya sembari menggoyang tangan Flo yang memegang jari telunjuknya.Sekali lagi Flo mengangguk.“Mereka bukan—”“Ya nggak lah!” Gemas, Raki cubit pipi Laura yang mulai menggembung karena cemberut. “Dia manggil Mama ke istri abang ibunya. Dan Mami ke saudara perempuan ibunya.”“Terus, sama ibunya dia manggil apa?”“Umma. Kadang Bunda, ngikutin dua sepupunya.”“Oh.” satu pemahaman muncul dari raut wajah cantik Laura. Senyum manisnya kembali terukir. Ia membungkuk lagi. “Kalau gitu, panggil Mimi Laura? Oke?”“Mimi,” Flo berujar lagi, seolah kata tersebut adalah temuan baru dan sangat asing di lidah. “Buya?” adunya dengan tanya, seolah meminta persetujuan. Saat sekali lagi Raki mengangguk, Flo mengerjap. Menatap Laura lurus-lurus dengan tatapan polos. “Oke, Mimi Laura,” katanya dua detik kemudian. Membuat Laura memekik senang dan langsung merengkuhnya ke dalam pelukan.“Makasih, Sayang,” katanya seiring dengan bunyi bantingan pintu jauh di belakang. Membuat tiga manusia itu berjengit. Begitu menoleh, Laura langsung menepuk kening.Dinda!“Biar aku yang urus.” Raki menarik lengan Laura sewaktu hendak menyusul putrinya yang sudah pasti marah lantaran merasa diabaikan. “Dia pasti lebih dengerin aku daripada kamu,” tambahnya dengan nada sombong, yang Laura balas dengusan dongkol.Ah, setidaknya pagi ini semua berjalan lancar. Raki berpikir positif. Laura dan Flora akan bisa sedekat ia dengan Dinda. Setidaknya, kesan pertama mereka cukup baik. Sambil bersenandung, Raki setengah berlari menuju rumah kontrakan calon istrinya.     Lembar Ke-8    “... Mbok Nah yang sebenarnya lebih tahu sih, Mbak. Saya tahunya cuma sedikit. Tapi, memang awal-awal pernikahan Mas Gus dan Neng Pita tidak sehat. Sewaktu mereka masih tinggal bersama di rumah lama, mmm ... gimana yah, Mbak Cinta janji jangan bilang tahu dari saya masalah ini, ya. Sebenarnya, dulu Neng Pita pernah diperlakukan seperti pembantu di rumah. Dan para tetangga lama juga kenal Neng Pita sebagai pembantu, bukan istri Mas Gus. Neng Pita juga tinggal di kamar yang sama dengan kami.”Gustav lebih dari gila! Luar biasa gila. Memperlakukan istri seperti babu? Apa dia sehat? Ah, tidak. Orang gila memang tidak sehat.Oh, Cinta tahu pernikahan kakaknya memang tak beres. Sama sekali tidak beres, dan ia salah satu yang ikut andil dalam hal tersebut. Cinta mendesah, andai ia tidak pernah mencetuskan hal gila agar Gustav menikahi gadis itu.Cinta hanya ingin Gutav melupakan masa lalu dan membuka lembar baru. Tidak semua perempuan selicik yang Abangnya kira. Masih banyak wanita baik-baik di luar sana. Cinta hanya ingin membuktikan itu.Namun menyerahkan Pita ke tangan Gustav ternyata merupakan kesalahan yang fatal. Seharusnya ia dulu membiarkan saja Pita menikah dengan Wandi. Toh, apa yang salah? Pernikahan dan cinta sama sekali tak mengenal kata usia. Terlebih perbedaan umur hanya selisih angka. Sementara pernikahan tanpa cinta terbukti merupakan malapetaka. Salah satunya, perkawinan ayah dan ibunya yang kemudian berakhir di meja hijau. Ia dan Raki mungkin akan menyusul sebentar lagi, batin Cinta muram.Menginjak gas lebih dalam, Cinta melajukan mobilnya membelah Ibukota. Flora ia titipkan pada suaminya di rumah, biar saja lelaki itu kelimpungan dan tahu bahwa mengurus bocah tidak semudah membalikkan telapak tangan.Ah, lupakan tentang Flora dan ayahnya. Saat ini fokus Cinta hanya pada rasa bersalah pada Pita.Pita. Andai Wandi yang menjadi suaminya, dia mungkin tak akan mengalami hal-hal buruk seperti yang menimpanya belakangan ini. Tapi, mungkin ini juga sudah takdir. Cinta tak bisa melakukan apa pun selain memperbaiki segala kerusakan yang terjadi. Seperti ia yang gagal mempertahankan kesetiaan Raki.Tiba di kompleks perumahan Gustav yang lama, Cinta berbelok ke kanan. Rumah Gustav. Kediaman kakaknya merupakan salah satu yang paling besar. Berdiri angkuh, seangkuh yang punya di deret kanan. Gustav dan kemewahan bagai dua mata uang yang tak terpisahkan, persis ibu mereka. Sedang Cinta memang lebih banyak menuruni sifat Wandi, kendati keras kepalanya adalah warisan tak terelakkan dari Resti.Cinta menghentikan mobil tepat di depan gerbang. Merasa posisi itu tak akan mengganggu pengendara lain, ia masuk ke halaman, kebetulan gerbang dalam keadaan setengah terbuka. Memastikan mobilnya benar-benar terkunci, ia melangkah tergesa memasuki bangunan dua lantai yang hampir dua kali lebih besar dari bangunan yang kini Pita tinggali seorang diri.Suara tangisan Nana menyambutnya di pintu utama. Bocah itu terduduk di samping rak sepatu dengan rambut kusut dan pipi basah. Baju kurung yang dikenakan tersingkap lantaran posisi duduknya yang agak ngangkang.Cinta yang sudah menganggap bocah itu seperti anak sendiri, langsung menghampiri dan mengangkatnya ke dalam gendongan. “Nana, kenapa, Sayang?” tanyanya, sembari melirik Resti yang sedikit terkejut mendapati kedatangan si bungsu tanpa pemberitahuan. Wanita paruh baya itu berdiri di samping sofa. Mendesah lega saat tangis Nana memelan begitu berada dalam pelukan Sang Bunda.“Nda ...” bocah itu merengek, menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Cinta yang terbalut pashmina panjang. “Nana benci Papa,” adunya sambil terisak dengan suara sengau. “Nana nggak suka di sini. Nana mau balik lumah lama.” Lalu kembali mengeraskan tangisnya yang terdengar begitu pilu.Cinta mengelus sayang punggung Nana sambil menggerak-gerakkan badannya pelan agar Nana tenang dan mau berhenti menangis. “Udah, dong, Nana. Nana kan nggak cengeng. Nanti diledekin Flo kalau Nana cengeng.”Alih-alih diam, tangis Nana justru makin menjadi begitu mendengar nama salah satu saudaranya disebut. “Nana kangen Flo. Kangen Tita ... Nana ...” air mata bocah itu jatuh berurai, isaknya makin intens terdengar. Dia memeluk leher Cinta erat dan kembali berkata dengan nada lirih agar tak ada yang mendengar kecuali seseorang yang kini dipeluknya, “Nana kangen Mama yang itu. Papa jahat. Nana nggak mau tinggal di sini, Nda. Nana mau tinggal sama Bunda aja.”Menatap Resti datar, Cinta mendesah. Ibunya memalingkan pandangan salah tingkah. “Iya, Nana nanti ikut Bunda kalau Papa nggak mau balik ke rumah lama, oke?” ujarnya dengan nada yang sengaja dikeraskan agar Resi ikut mendengar. Mengingat cerita Bi Minar, Cinta ikut kecewa pada Ibunya. Kenyataan bahwa Lumi hampir mati karena sikap beliau di masa lalu, tak Resti jadikan pelajaran agar bisa bersikap lebih baik. Pada siapa pun, termasuk orang yang tak disukainya.“Sekarang Nana diem, ya. Bunda mau ketemu Papa dulu. Biar Bunda bujuk Papa balik, ya.”Nana menggeleng keras, makin mengeratkan pelukan dengan tangisnya yang mulai memelan. Sisi kerudung bagian kiri Cinta bahkan sudah basah akibat air mata sang ponakan. “Nana nggak mau ditinggal Bunda. Nanti Nda pulang,” rengeknya dengan suara serak, seolah hampir hilang. Entah sejak kapan bocah ini menangis. Bahkan berat badannya turun drastis dari terakhir kali Cinta gendong. Padahal baru beberapa hari dia di sini. Barangkali efek karena tak terbiasa tinggal jauh dari Flora dan Tita, mengingat mereka hampir tiap hari bermain bersama.“Sebentar, Sayang. Kalau Nana nggak mau turun, gimana Bunda mau ngomong sama Papa?” bujuknya lagi. Nana tak langsung menjawab. Bocah itu kembali terisak meski lingkaran tangan mungilnya pada leher Cinta mengendur, sebelum terlepas sepenuhnya.Saat Cinta menurunkan si bocah dan meletakkan di sofa panjang dekat Resti, dia memalingkan muka sambil melipat tangan di depan dada, seolah tak mau melihat sang oma.“Nana jangan gitu. Nggak sopan sama orangtua,” tegur tantenya yang Nana balas hanya dengan gelengan dan bibir mencebik, hendak kembali menangis, tapi berusaha ditahan. Entah apa yang terjadi. Tidak biasanya Nana bersikap seperti itu. Dia paling dekat dengan Resti setelah ayahnya.Cinta mendesah. Menyerah. Ia berpaling pada Resti, mendekat dan mengulurkan tangan. Meminta tangan keriput ibunya untuk diciumi.“Bi Minar pasti sudah cerita, ya?” tanya beliau.“Hem,” gumam Cinta pelan. Ia sebenarnya gatal ingin menambah, “Termasuk cerita tentang Mama yang memperlakukan Mbak Pita dengan sangat buruk,” tapi karena tahu hal itu tidak sopan, Cinta memilih diam. Urusan bagaimana cara Resti harus bersikap pada Pita, biar saja Cinta serahkan pada kakaknya nanti. Itu pun bila Gustav tak memilih untuk keras kepala. “Kak Gus di mana?” tanyanya kemudian.“Dia di kamarnya. Demam sejak kemarin pagi.”Tak menyahut lagi, Cinta melenggang menuju lantai dua. Menaiki anak-anak tangga. Tak sabar ingin mendamprat kakaknya yang ... Cinta membuka pintu kamar tanpa mengetuk lebih dulu. Ia dapati kamar sang kakak yang gelap dan pengap. Lampunya dimatikan, pun jendela yang dibiarkan tertutup.Cinta berdecak. Ingat kalau Bi Minar ditinggal di rumah yang satu kompleks dengan tempat tinggalnya, otomatis tidak ada pembantu di rumah ini kecuali tukang bersih-bersih yang biasa datang tiga hari sekali.Melintasi kamar besar itu, Cinta singkap tirai-tirai tebal yang nyaris menguasai satu sisi dinding hingga terbuka sepenuhnya, kemudian Cinta kaitkan gorden panjang itu ke cantolan  di masing-masing sisi. AC yang menyala ia matikan sebelum membuka kaca jendela untuk menghilangkan pengap.Saat berbalik, Cinta temukan kakaknya di sana. Duduk bersandar pada kepala ranjang dengan mata terbuka. Sesekali berkedip. Wajahnya pucat dan ada lingkar hitam di bawah matanya yang tampak samar.Cinta tak dapat memastikan apa yang menyebabkan kakaknya seperti ini, tapi kalau memang benar karena Pita, dia sudah benar-benar tidak tertolong lagi. Baru beberapa hari dan sudah sakit begini?Sekonyong-konyong, perut Cinta terasa melilit saat hatinya yang konyol mengajukan pertanyaan gila. Apakah nanti Raki akan begini jika ia tinggal? Dan pikiran Cinta yang masih waras, menjawab keras-keras. Tidak mungkin! Raki mencintai wanita lain. Saat perpisahan antara dirinya dan lelaki itu terjadi, Raki sudah pasti akan lebih dari sekadar bahagia.Menarik napas panjang untuk mengisi paru-paru yang mendadak menyempit, Cinta berbalik. Melangkah ke sisi sang abang.“Kak Gus!” serunya seraya menaiki ranjang Gustav yang berantakan. Seprai kusut serta selimut yang menjuntai ke lantai.Gustav menoleh malas. Rambut lelaki itu acak-acakan dengan jambangnya yang kian lebat lantaran belum menyentuh pisau cukur. Satu kakinya yang berbalut training putih panjang, ditekuk. Sedang kaki yang lain dibiarkan berselonjor. Kaus oblong abu-abunya sedikit basah akibat tubuhnya yang mengeluarkan keringat dingin. Sisa kompresan entah kapan dibiarkan begitu saja di meja nakas dengan handuk kecil yang tersampir sembarangan di sisi meja.“Aku mau nanya,” berusaha buta dengan keadaan kakaknya yang mengenaskan, Cinta melanjutkan, “Kak Gus mau mempertahankan pernikahan kalian, atau bercerai?” dan dia yang tak suka basa-basi, langsung melontarkan pertanyaan. Berhasil menarik atensi Gustav yang kini meliriknya tajam.“Jangan ikut campur kamu!” sergahnya kasar. Membuat Cinta sedikit sakit hati mengingat Gustav tak pernah berkata sekasar itu padanya.“Gimana aku nggak ikut campur saat aku yang memulai dari awal. Aku yang melempar Pita ke Kakak. Dan bukannya menjaga dengan baik, Kak Gus malah menyia-nyiakannya!”Geraham Gustav mengeras. Matanya memerah. “Kalau aku menyia-nyiakannya, aku nggak akan mempertahankan dia selama ini,” desisnya.“Pita nggak akan berkeras pergi kalau Kakak memperlakukannya dengan baik.”Tatapan Gustav tajam, mirip mata elang. Dan saat melirik Cinta, dua telaga hitam yang persis milik Lumi itu menghunusnya bak pedang. Jujur Cinta sedikit gentar, tapi bukan si bungsu Hutama namanya bila tak berani menghadapi Hutama yang lain.“Bagian mana dari sikapku yang tidak memperlakukannya dengan baik?”Satu alis Cinta terangkat. Dua tangannya dilipat di depan dada. Dua kakinya yang semula menjuntai dinaikkan. Bersila di ujung ranjang, menghadap Gustav yang tampak sangat kacau.“Memperlakukan dia seperti pembantu, misal?”Gustav mendesis. Matanya makin merah. “Jadi dia menceritakan semuanya sama kamu?”Cinta tak menjawab. Pita tak mengatakan apa pun, dan Bi Minar sudah membuatnya berjanji.Mendengus, Gustav tersenyum cemooh sembari membuang pandangan ke arah lain. “Apa dia juga menceritakan perjanjian sialan itu?”“Perjanjian?” kepala Cinta meneleng. Matanya menyipit curiga. “Kalian punya perjanjian apa?” dan dia balik berdesis pada kakaknya yang spontan mengumpat keras. Mereka menyebutnya sebagai anggota keluarga paling waras. Yang selalu bisa berpikir cerdas dan pemecah masalah jitu. Dan semua itu jelas bukan omong kosong belaka mengingat Cinta memang sering menjadi penengah di setiap masalah yang menimpa anggota keluarga Hutama.Karena Cinta, Iron bersedia menikahi Lumi.Karena Cinta, pada akhirnya Wandi dan Resti membulatkan tekat untuk berpisah—setidaknya, perceraian memang pilihan paling masuk akal saat itu mengingat keduanya selalu adu mulut setiap kali bersua.Karena Cinta, Gustav dan Resti mulai mau membuka hati untuk Lumi.Karena Cinta, Gustav dan Pita menikah.Dan lagi-lagi karena Cinta, keduanya kini hidup bahagia.Yah, tentu saja semuanya atas izin Tuhan, penulis skenario terbaik untuk semua makhluk—Cinta hanya perantara yang memiliki peran penting. Itu saja.Satu tetes bening jatuh dari sudut matanya saat melihat sang kakak memeluk erat istrinya setelah ia berhasil mengurai kesalahpahaman mereka. Dua manusia saling mencintai itu kini berguling di lantai, saling berpelukan. Bukan dalam konteks mesum tentu saja. Pita yang belum bisa berjalan sepenuhnya, menerjang Gustav  begitu mendengar lelaki itu mengatakan cinta.Oh …. Hati Cinta ikut berbunga. Terharu. Dan … iri.Tak kuasa, melihat kemesraan mereka lebih lanjut, ia menjerit, tepat saat Gustav mencium bibir istrinya penuh damba.“Mataku ternoda, Ya Salaammm ....” sambil lari terburu-buru menuju ruang depan. “Lain kali jangan lupa kunci pintu, Woy!” jeritnya penuh drama, semata hanya untuk menutup luka menganga di hatinya.Tugas Cinta sudah selesai untuk keluarga Hutama. Semua anggota sudah menemukan kisah bahagia masing-masing, dan mampu berdamai dengan masa lalu.Hanya Cinta yang mengira dirinya sudah sama bahagia seperti yang lain. Yang ternyata, kebahagiaan itu semu belaka.Ah, tak ada yang perlu diratapi. Cinta sakit hati, tapi ia yakin semua akan berlalu. Hanya butuh waktu. Tidak setiap hari ia merasa seburuk ini, jadi nikmati saja.Seperti laut. Kehidupan Cinta hanya sedang mengalami gelombang. Tak akan ia biarkan gelombang itu menenggelamkan sampannya. Cinta akan ikut bergoyang, mengikuti ke mana pun arus angin membawa, sambil berdoa semoga Tuhan melabuhkannya di pantai yang indah. Suatu hari. Entah kapan. Dan Cinta akan menetap di sana. Membentuk kehidupan bahagianya sendiri.Melirik jam dinding di ruang depan, Cinta yakin sudah waktunya untuk pulang. Flo harus dimandikan sebelum malam, dan ia tak yakin Raki mampu melakukan itu sebaik dirinya.Namun, sial. Mobil Cinta mogok di tengah jalan. Ia berdecak. Keluar dari balik kemudi. Mencoba mencari tahu masalah yang terjadi, kendati ia sama sekali tak mengerti mesin.Yah, seharusnya ia mengiyakan permintaan Raki untuk berganti kendaraan. Mobil yang ini benar-benar butuh adik baru segera. Hanya saja, keputusan ganti mobil selanjutnya mungkin bukan lagi ada di tangan Cinta. Raki sudah terang-terangan mengatakan ada wanita lain di hatinya.Mengikat ujung-ujung hijab ke belakang leher, ia membuka kap depan. Tak ada asap mengepul seperti yang ia tonton di film saat mobil pemeran utama mogok.Berdecak, ia terpaksa harus menelepon Raki. Oh, tidak. Cinta bisa berjalan kaki sampai rumah, toh kediamannya tidak jauh dari sini, hanya saja Cinta tak akan tenang meninggalkan mobil di tengah jalan, terlebih jalan kompleks, yang ada akan mengganggu pengendara yang lain. Paling menyebalkan lagi, ia tak menyimpan nomor bengkel langganan suaminya.Merogoh kotak persegi di saku celana, Cinta dikagetkan bunyi klakson mobil dari arah belakang. Menoleh, ia dapati Range Rover putih berhenti satu meter darinya.Kening Cinta mengernyit. Mobilnya tidak sebesar itu sampai menutup jalan kompleks. Kalau mau, Range Rover putih itu masih bisa lewat, kenapa pula dia harus berhenti?Dua detik kemudian, barulah pertanyaan Cinta terjawab dengan keluarnya sosok pemuda yang … cukup familier.“Halo Mbak Cinta. Long time no see.”“Steel?”     Lembar Ke-9    “Steel?” Cinta mengangkat satu alis, menatap lelaki yang seingatnya, dulu berambut mangkuk, berpenampilan terlalu rapi dan luar biasa sopan kini tersenyum separuh padanya. Senyum yang tak pernah Cinta sangka akan pernah bisa Steel tampilkan dengan tampang anak salehnya itu.Oh, tidak. Sepertinya tinggal enam tahun di Inggris berhasil mengubah Steel. Minimal dalam segi penampilan yang kini lebih tampak seperti anggota Boy Band Barat, serta ekspresi wajah yang tak lagi sepolos dulu. Dia kini berambut gondrong seleher dan setengah keriting yang diikat di belakang tengkuk. Ia mengenakan kaus hitam dan celana jeans berwarna dark blue yang robek-robek di bagian lutut. Berbeda jauh dengan lelaki muda yang dulu suka memakai kemeja yang dikancing sampai leher dan celana denim longgar.Ah, waktu memang mampu mengubah segalanya. Kecuali cinta yang terlalu dalam, atau cinta sejati mungkin? Ugh!Menarik napas panjang, Cinta menggeleng pelan. Kembali memfokuskan perhatian pada Steel yang kini mengangkat bahu pelan, “Ya,” sahutnya, “Belum lupa sama gue kan, Mbak?”“Kamu berubah. Nggak keliatan kayak Steel.” dan Cinta tidak mau repot-repot berbohong. Andai mantan calon adik iparnya tidak memiliki wajah yang hampir serupa Iron, bukan tidak mungkin Cinta benar-benar lupa.“Plis deh, Mbak.” Steel memutar bola mata, “Jangan ingetin gue sama cowok culun yang sok tahu kayak dulu.” dia menutup pintu mobilnya, mendekati Cinta yang masih berdiri di depan kap kereta besi hitamnya.“Aku lebih suka Steel yang sok tahu,” gelak Cinta pelan sebelum kembali menatap mesin mobilnya yang … benar-benar tak ia pahami. Harus ia apakan benda ini? Andai saja Gustav sedang tidak bermesraan dengan Pita setelah kesalahpahaman panjang mereka, mungkin Cinta akan langsung menyeret si sulung kemari.Menatap ponsel dalam genggaman sekali lagi, Cinta men-dial nomor Raki. Hendak melanjutkan niatnya semula untuk menghubungi lelaki itu tepat saat Steel sudah berdiri di sisinya dan bertanya, “Mobil Mbak Cinta kenapa?”Sambungan terhubung. Cinta mendekatkan benda pipih abu-abu itu ke telinga kanan. “Aku mana paham, Steel. Tiba-tiba aja mogok. Mau diperiksa, tapi aku nggak ngerti mesin.”Steel manggut-manggut sok paham. Ia sedikit membungkuk. Memerhatikan setiap jalinan kabel-kabel yang tak Cinta ketahui nama-namanya dengan ekspresi serius, hingga Cinta pikir adik ipar Lumi ini mungkin bisa membantu. Sedang panggilan teleponnya sama sekali tak mendapat jawaban dari Raki.Mendesah, Cinta tatap layar ponsel selebar enam inci itu dengan kening berkerut. Apa yang Raki lakukan sebenarnya? Hah, jangan bilang dia masih—apa sebutan bagi lelaki kenakan yang suka merajuk dan selalu merasa benar sendiri—kesal? Hingga sengaja mengabaikan panggilannya. Tidak tahukah dia, di sini Cinta tengah mengalami kesulitan?“Gimana? Apanya yang bermasalah?” tanyanya pada Steel. Cukup sekali mencoba menghubungi Raki. Dongkol karena tidak diangkat, Cinta memasukkan ponsel itu dengan sedikit kasar ke saku celana. Ia menarik napas, berusaha berpikir positif. Raki mungkin tertidur saat menidurkan Flo.Yang ditanya meringis sambil menegakkan punggung. Kepala yang tidak gatal Steel garuk pelan. “Gue sebenernya nggak ngerti mesin sih, Mbak.”Oh.Ooh.Cinta tersenyum maklum, melirik figur tinggi Steel dengan tatapan pengertian, meski merasa sedikit kecewa karena pada akhirnya tak ada yang bisa dimintai tolong. Yah, bagaimana pun, tidak semua kaum Adam menguasai hal-hal semacam ini seperti abangnya yang memang menggilai mobil sejak bisa berjalan. Cinta tentu tak bisa menyalahkan Steel atas ketidakmampuannya dalam bidang ini. Steel peduli padanya sampai rela bertanya saja sudah untung.“Tapi kalau Mbak Cinta mau, gue ada bengkel langganan. Gue bisa hubungi mereka buat ke sini. Nanti gimana-gimananya biar gue yang urus. Untuk Sekarang, Mbak Cinta biar gue anterin pulang.”Tampilan Steel mungkin berubah, tapi sikapnya masih sama. Dia selalu peduli pada orang lain.Berkedip pelan, Cinta tak langsung menyahut. Ia memerhatikan mobilnya sekali lagi sambil menggigit bibir dalam. Satu tangannya meraba saku celana. Berharap benda itu akan menjerit. Dari Raki. Tapi sampai hitungan kelima, ponsel Cinta masih sunyi. Ia akhirnya membalas tatapan Steel, tersenyum kecil, dan membuat keputusan.“Rumah Mbak cuma di blok sebelah kok, Steel. Jalan kaki paling cuma sepuluh atau lima belas menit dari sini.”“Gue nggak mungkin lah biarin cewek jalan sendirian, Mbak.”Cinta mendengus kecil, menatap adik mantan calon suaminya geli seraya menutup kap depan. Memutarinya kembali ke belakang kemudi demi mengambil dompet di kursi penumpang. Sebelumnya, Cinta mencoba memutar kunci sekali lagi, menekan starter dengan penuh harap, berharap ada sedikit keajaiban kereta besi itu akan kembali hidup. Tapi, nihil.“Di sini rame, Steel. Insya Allah aman juga.”“Kali aja Mbak Cinta butuh temen ngobrol?” keras kepala seperti abangnya.“Kamu punya nomor bengkel langganan yang kamu maksud, kan?” tanya Cinta begitu keluar dan menutup pintu. “Mbak aja yang hubungi sendiri, biar lebih gampang. Dan itu akan sangat membantu.”“Ada,” Steel pura-pura kecewa karena tidak bisa dipercaya untuk menangani mobil saudara kakak iparnya, “Tapi tukar sama nomor ponsel Mbak Cinta, gimana?” di ujung kalimat tanyanya, ia menaik-turunkan alis. Persis kebiasaan yang dulu sering Steel gunakan saat menggodanya. Yang mau tak mau membuat Cinta tergelak pelan.“Buat apa?” Alih-alih menjawab, Cinta malah balik bertanya. Usai memastikan mobilnya terkunci dengan benar, ia mulai melangkah. Waktu beranjak makin sore, sebentar lagi Magrib akan tiba dan ia benar-benar harus pulang.“Buat nakutin tikus di rumah,” jawab adik Iron asal. “Ya nggak lah.” ia mengikuti Cinta. Berjalan di sampingnya dengan sedikit jarak di antara mereka. Steel tidak mungkin tega membiarkan wanita pulang sendiri, lebih-lebih perempuan yang dikenalnya, kendati ia tahu jalan menuju rumah Cinta sangat aman mengingat kakaknya juga memiliki rumah di daerah ini, pun ia yang baru pulang dari sana, memberikan oleh-oleh kepada sang keponakan yang luar biasa menggemaskan. Hanya saja, Steel berpikir kalau Cinta akan butuh teman bicara selama perjalanan. “Tapi kalau Mbak Cinta nggak mau sih, nggak apa-apa. Tapi nomor ponsel doang loh, pelit banget sih.”“Nomor Mbak belum berubah, kok. Masih yang dulu.” Cinta berbicara tanpa memandang ke arah lawan bicaranya, hanya sesekali  melirik sekilas. Masih dengan lengkung bibir ramah yang membuat orang lain betah bicara dengan wanita itu. Dan di usia yang sudah menginjak awal tiga puluhan, Cinta tampak sama sekali tak mengalami perubahan yang signifikan dari tujuh tahun lalu. Cinta yang pernah Steel kagumi. Dan mungkin masih.Tak banyak wanita yang bisa menjadi seperti Hawa yang satu ini. Yang anggun dan berpendirian kuat di saat yang bersamaan. Yang lembut dan tangguh di saat yang lain.“Itu udah lama banget kali, Mbak.” Steel nyaris tersandung lantaran tak memperhatikan jalan. Tapi, jangan salahkan dia. Bagaimana Steel bisa fokus saat ada bidadari dunia di sampingnya? “Nomor Mbak Cinta hilang waktu aku ganti ponsel, dan itu udah bertahun-tahun yang lalu.”“Bilang dulu buat apa? Kalau alasan kamu bagus, mungkin Mbak bisa kasih.”Steel cemberut. Dua alisnya nyaris menyatu saat mencoba berpikir, berusaha mencari alasan yang bagus—seperti yang Cinta bilang. “Gue kan adiknya Bang Iron. Bang Iron suaminya Kak Lumi. Kak Lumi kakaknya Mbak Cinta. Itu alasan yang cukup bagus, kan?”Luar biasa bagus. Cinta tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Tawa lepas yang sejenak berhasil membuat Steel terpesona. Suaranya yang lembut mengalun, bersaing dengan bunyi satu, dua kendaraan yang lewat di jalan komplek itu. Dan ... tawa Cinta masih menular, karena Steel mendapati dirinya ikut tergelak, meski ia tak tahu bagian mana dari kalimatnya yang Cinta anggap lucu.“Jadi ini masalah penting yang kamu bilang sampai kamu nggak bisa ngajak Flora pergi?”Bunyi motor yang menderu halus, muncul di belakang mereka dan berhenti, disusul pertanyaan bernada tajam yang berhasil menyurutkan tawa Steel dan Cinta.Wanita itu praktis menoleh dengan sisa senyum di sudut bibirnya. Namun begitu menemukan sosok yang menatap penuh tuduhan, kebahagiaan yang sebelumnya membayang di raut wajah Cinta pun menghilang.Raki, dengan helm tanpa kaca depan duduk di atas jok motor matic yang biasa Cinta gunakan ke pasar. Di depannya, Flo tampak mengantuk, wajahnya dibalut helm merah jambu bunga-bunga yang tampak lucu. Rambutnya yang tadi pagi Cinta ikat rapi, berubah berantakan bagai terkena angin topan, beberapa helai bahkan keluar dari helmnya.Kening Cinta mengernyit samar melihat ekspresi suaminya yang … dia tidak mungkin cemburu, kan? Oh, tentu tidak. Barangkali marah karena dilimpahi tanggung jawab untuk menjaga Flora mengingat tampilannya tadi pagi yang terlihat siap pergi.Siap pergi. Pemikiran itu sontak membuat Cinta memperhatikan tubuh Raki lebih teliti. Dan benar saja, ia masih mengenakan baju serta celana pagi tadi.  Ah, mungkin dia hanya jalan-jalan dengan Flora. Terlihat jelas dari tampang putrinya yang tampak kelelahan dan setengah tertidur di boncengan depan sampai tak kuasa menyapa ibunya.“Mas-mas ini …” Steel berbalik badan, memerhatikan Raki sambil menelengkan sedikit kepalanya, seolah mencoba mengingat seseorang yang barangkali pernah dikenal.“Suami Cinta,” sambarnya bahkan sebelum kalimat Steel tergenapi.Steel ber-oh panjang kemudian. “Suami Mbak Cinta?” ulangnya dengan tanya seakan butuh kepastian dari yang bersangkutan yang mendadak bungkam. Bahkan pertanyaan seseorang yang mengaku sabagai suaminya, ia abaikan.Menoleh pada Steel untuk memberikan jawaban, raut Cinta berubah. Tak sedatar saat melihat Raki. Dia malah tersenyum. Senyum lebar yang tampak begitu tulus. Yang mau tak mau menumbuhkan kecurigaan dalam pikiran adik Iron itu. Dilihat dari pribadi Cinta, tidak mungkin dia bisa bersikap se tak sopan itu pada suaminya tanpa alasan.“Iya. Ini Mas Raki, suamiku,” katanya, lalu menoleh lagi pada suaminya. Dan senyum itu menghilang. “Mas, ini Steel, adik iparnya Lumi.”Uh, oh. Mereka sedang bertengkar kah? Atau Cinta hanya sedang marah karena panggilan teleponnya tadi tidak Raki angkat? Jiwa penasaran Steel kembali muncul. Ah, tapi ini jelas bukan urusannya. Dan ia harus puas dengan hanya berpikir mungkin mereka hanya sedang saling merajuk seperti pasangan suami istri lain di luar sana. Bahkan Lumi dan Iron pun sering begitu.Mencoba bersikap ramah, Steel mengulurkan tangan, hendak berjabatan sebagai tanda perkenalan resmi mereka. “Halo, Bang. Gue Steel,” ujarnya.“Raki.” tanpa membalas jabatan tangan itu.Satu alis Steel terangkat. Ia menatap tangannya yang terulur di udara, mengangkatnya makin tinggi hingga telapaknya tepat menghadap muka. “Oh, iya, gue lupa tadi sempet periksa mesin mobil Mbak Cinta, dan agak kotor emang,” katanya seolah bicara dengan telapak tangannya sendiri yang memiliki sedikit noda hitam. Lantas menurunkan kembali ke sisi tubuh tanpa sama sekali merasa tersinggung. Di sampingnya, Cinta mendesah pelan.“Maaf ya, suami Mbak kadang memang suka begitu,” ujar Cinta kemudian, jelas mencoba mencari alasan untuk suaminya. Tak peduli pada Raki yang merengut mendengar perkataan sang istri.“Santai aja kali, Mbak. Gue ngerti, kok.”“Kalau gitu Mbak pulang sama Mas Raki ya, makasih udah mau nemenin. Mbak hargai banget kebaikan kamu.”“Terus nomor ponselnya?” Steel mengeluarkan benda pipih dari saku jaket, mengingatkan Cinta tentang topik pembicaraan mereka sebelum ini. “Mbak Cinta belum ngasih ke gue loh. Mobilnya juga. Katanya mau minta nomor bengkel langganan gue?”Cinta membuka mulut, siap menjawab, saat lagi-lagi Raki menyambar lebih dulu. Kali ini nadanya makin tajam. Pun tatapannya yang seperti siap mencacah tubuh Steel hingga menjadi kepingan. “Saya bisa mengurus mobil kami. Dan saya tidak mengizinkan istri saya memberikan nomor ponselnya pada sembarang orang.”Alis Steel terangkat. Dilihatnya Cinta dan Raki bergantian. Serta aura permusuhan kental di antara suami-istri ini. “Okey.” Ia akhirnya mengangkat tangan sebatas telinga. Benar-benar sadar tak berhak ikut campur urusan rumah tangga mereka, walau rasa penasarannya seperti sudah memuncak hingga ubun-ubun. Meski bila dilihat dari raut wajah Raki, Steel jelas tahu kalau laki-laki itu cemburu.Tapi, cemburu padanya? Raki pasti bercanda.Steel boleh mengagumi Cinta, tapi dia tidak akan pernah mengambil istri orang lain. Dia tampan, banyak gadis lajang yang mau.Meski andai Cinta saat ini sudah janda, ia tentu akan mempertimbangkannya. Jangankan hanya baru anak satu, tiga pun Steel jabani. Bagaimana pun, perempuan seperti Cinta cukup langka. Dan yang memilikinya adalah orang yang sangat beruntung. Ah, pantas saja kalau Raki cemburu pada setiap Adam yang dekat dengan sang istri.Eh, apa yang Steel pikirkan?“Yaudah, gue pergi ya, Mbak! Sampai ketemu—”Raki meliriknya dengan rahang kaku. Satu tangannya mencengkeram setang motor seolah batang besi berbalut bantalan busa itu merupakan leher Steel yang siap dipatahkan. Sedang tangan lainnya memeluk tubuh sosok gadis mungil yang bersandar nyaman dengan mata separuh terpejam di depan perutnya. Steel sadar diri untuk tak melanjutkan apa pun yang sudah berada di ujung lidah.“Assalamualaikum ajalah,” katanya sebelum berlalu. Melangkah setengah berlari menuju mobilnya yang terlihat cukup jauh di sana. Meninggalkan pasangan itu yang tampak siap perang.“Pulang!”Steel berusaha tak menoleh lagi ke belakang saat mendengar nada perintah itu. Disusul bunyi mesin motor yang menderu makin jauh tak lama kemudian.     Lembar Ke-10    Cinta tertawa.Dia tertawa. Lepas. Sampai mendongak. Dan bersuara. Bukan mengikik pelan seperti biasanya. Lebih dari apa pun suara tawanya begitu renyah. Agak rendah. Mengundang setiap telinga yang mendengar untuk menoleh. Lalu ikut tertawa bersamanya. Terbukti, lelaki itu ikut mengekeh.Cinta tampak bahagia. Di samping pria lain.Sial!Raki mencengkeram setang motor dengan satu tangan. Tangan yang lain masih erat mendekap Flora yang mungkin sudah benar-benar tertidur di boncengan depan. Andai tak khawatir Flora akan jatuh, sudah pasti Raki akan menancap gas sekencang yang ia bisa.Raki geram. Demi Tuhan.Sejak kapan Cinta punya suara tawa seindah itu?Apakah kepalanya selalu mendongak setiap kali ia tertawa begitu lepas?Apa yang mereka perbincangkan hingga Cinta bisa sebahagia itu?Bibir Raki menipis memikirkannya.Ugh! Huh!Dengan pria lain. Cinta tertawa di samping pria lain. Raki ingin meninju sesuatu. Apa pun untuk melampiaskan rasa panas yang seolah membara di balik dadanya.Raki dan Cinta sudah menikah bertahun-tahun. Tapi, bahkan tak sekalipun Cinta pernah tertawa selepas itu saat mereka bicara. Selama ini, istrinya hanya tersenyum saat merasa terhibur. Dan mengikik pelan bila merasa ada yang lucu.Cinta yang Raki kenal begitu sopan. Sangat sopan dan menjaga sikap hingga terasa begitu membosankan. Siapa sangka ia bisa tertawa sebegitu riang. Seolah tak ada beban di kedua pundak kecilnya. Seolah baik-baik saja dengan hidupnya. Padahal semesta pun tahu, perkawinan mereka kacau. Di ambang kehancuran.Atau karena itu Cinta mulai membentang jaring baru? Untuk menjerat lelaki lain selepas perkawinan ini berakhir? Tapi mereka sama sekali belum berpisah. Surat talak cerai yang Raki buat bahkan belum diserahkan ke pengadilan. Dan Cinta sudah berani menggoda lelaki lain!Tiba di depan rumah yang selama empat tahun ini ditempatinya, Raki menarik rem kencang-kencang hingga motor matic yang dikendarainya berhenti mendadak. Flo ia dekap makin erat agar tidak jatuh, sedang Cinta yang kaget, sudah tentu terdorong ke depan. Lengannya yang terasa selembut yang Raki ingat, menekan tulang punggungnya yang menegang lantaran emosi.Raki marah. Sudah pasti. Siapa yang tak akan marah menemukan istrinya tertawa bahagia dengan pria lain? Tawa yang bahkan tak pernah Cinta bagi dengannya.Tanpa memprotes tingkah Raki yang mengerem tiba-tiba, Cinta turun dari boncengan. Wajahnya masih kaku. Dan dingin. Ia mengulurkan tangan begitu berdiri di samping motor, meminta Flora tanpa kata, yang Raki turuti. Bocah itu menggeliat sambil menggumam saat Raki angkat. Dan spontan terjaga dengan bibir mengerucut kesal.Cinta membantunya berdiri dengan benar seraya berusaha melepas helm merah jambu yang membungkus kepala mungilnya. Rambut-rambut halus Flora tak lagi terikat. Sudah tergerai, dan geraiannya berantakan, barangkali karena angin sore selama perjalanan.Dengan hati-hati, Cinta meletakkan helm Flo di bagian depan motor, tepat di bawah pengait. Sama sekali tak peduli sekalipun lengannya bersentuhan dengan betis Raki yang masih duduk di atas jok.“Flo udah bisa jalan sendiri, kan?” tanyanya pelan. Ia berjongkok di depan sang putri masih sambil berusaha merapikan rambut Flo yang mencuat ke mana-mana.Menguap kecil, Flora merengek. “Ngantuk, Umma …”“Udah mau Magrib, Sayang. Ayo dong, nggak boleh tidur jam segini.”Flora masih merengek, tapi tak lagi mengatakan apa pun. Hanya mengentak-entakkan kaki sebagai bentuk kekesalan.“Mandi yuk, biar ngantuknya hilang.” ia berdiri, siap melangkah ke dalam rumah saat Flora mengulurkan tangan ke atas, meminta digendong. Tapi sebelum Cinta meraih tangan-tangan mungil itu, tubuh putrinya sudah berada dalam gendongan sang ayah. Raki mengangkat tubuh kecil Flora dengan mudah dan ditempatkan di depan dadanya. Lantas berjalan mendahului Cinta.Di depan pintu, Raki merogoh saku celana bagian depan dengan susah payah hanya untuk meraih kunci rumah tanpa menurunkan putri mereka. Padahal kalau mau, Raki hanya tinggal meminta Cinta melakukan itu. Toh, Cinta memiliki kunci yang sama.Ah, Cinta lupa. Suaminya sedang dalam suasana hati yang buruk. Cinta mencengkeram dompetnya keras-keras. Membiarkan lelaki itu menggeram saat tak berhasil merogoh kunci. Dan Cinta sama sekali tak berniat menawarkan bantuan. Tetap berdiri satu langkah di belakangnya. Hanya ingin tahu, sekeras apa Raki akan berusaha tetap melakukan semua itu sendiri.Namun, Raki memang keras kepala. Dia menurunkan Flora dari gendongan demi bisa mengambil kunci yang barangkali terselip di kantong celana. Flo yang kantuknya mulai hilang, tak lagi merengek. Bocah itu berbalik menghadap Cinta dan memeluk lutut sang ibu untuk bersandar. Refleks, Cinta mengelus  ubun-ubun Flora pelan. Yang seolah mengingatkan bocah itu pada sesuatu karena dengan spontan dia langsung melepas pelukannya dan kembali berbalik ke arah sang ayah yang tengah memutar kunci pintu, sambil menyentuh puncak kepalanya.“Buya, bando Flo yang dikasih Mimi Laura ke mana? Kok nggak ada?”Punggung Raki mendadak menegang. Pun  Cinta yang serta-merta merasa tubuhnya menggigil sampai ke tulang, seolah disiram air es seember. Ia menunduk, menatap visual Flo dari belakang, dan fokus ke puncak kepala putrinya. Bagai ada tangan tak kasatmata menampar keras pipinya saat satu pemahaman hinggap dalam benak. Ikatan rambut sang putri sengaja dilepas—bukan terlepas—oleh … Mimi Laura?Cinta mual. Ia menyentuh perut bawahnya. Bibirnya menipis.Pintu terbuka. Dan tanya Flora sama sekali belum terjawab.“Flo ngomong apa sih, sayang?” alih-alih, Raki balas bertanya beberapa detik kemudian. Jeda sesaat yang  terasa selamanya. Seolah Raki sedang berpikir mencari jawaban yang tepat, tapi tak menemukan kalimat yang benar. Dia melirik Cinta sekilas sebelum menunduk pada Flo yang mendongak dengan mata bulatnya.“Tadi kan Flo pake bando halo yang dikasih Mimi Laura. Kembaran sama Kak Dinda. Masa Buya lupa?” Dan Flora yang polos, sama sekali tak paham kode mata yang coba ayahnya berikan. Bocah itu justru tambah kesal karena Raki bertingkah seolah ia hilang ingatan.Menarik napas panjang tak kentara, Cinta berusaha keras melepas kepalan tangan kirinya yang terbentuk tanpa sadar. Ujung-ujung bibirnya yang kaku, ia tarik paksa membentuk senyuman. “Mimi Laura?” tanyanya pada si bocah yang langsung kembali putar badan menghadap sang ibu dengan wajah cemberut berat. Suara geraman Raki yang terdengar samar, tak ia hiraukan.“Iya, Bunda. Mimi Laura. Temennya Buya. Tadi—”“Flo,” Raki menarik pelan pundak putrinya, berniat menghentikan segala ocehan bocah itu. Tapi Flora yang belum juga mengerti, tak mengindahkannya.“—Flo sama Buya jalan-jalan bareng Mimi Laura sama Kak Dinda.”“Udah sore, Sayang. Ayo mandi!” barangkali putus asa, Raki akhirnya mengangkat tubuh kecil Flora ke dalam rumah seolah anak itu seringan bulu. Tapi Flo tentu memberontak dan masih menanyakan bando halonya.Cinta mengekor di belakang mereka dengan pikiran semrawut. Ia hampir tersandung kakinya sendiri saat mengambil langkah pertama. Bahkan pintu yang ia niatkan untuk ditutup perlahan, terbanding tanpa sadar. Yang membuat berontakan Flora langsung terhenti, pun Raki yang menoleh padanya dengan tatapan … rasa bersalah? Ah, tidak mungkin. Tentu rasa bersalah yang membayang dalam telaga bening cokelat susu itu hanya harapan Cinta semata. Terbukti karena kini Raki lebih memilih memalingkan muka darinya seraya kembali menurunkan Flora.“Mimi Laura, baik Sayang?” ia kembali bertanya. Menekan perih yang tergores di dada. Luka tak berdarah yang nyaris menghilangkan kewarasannya.Seolah lupa pada bando halonya, Flo mendongak pada sang bunda. Kemudian mengangguk keras. Ekspresi senang luar biasa di wajah mungil itu sudah menjawab segalanya. “Mimi baik, Umma. Mimi kasih Flo es krim. Beliin Flo bando. Tapi diilangin sama Buya,” dan cemberut di akhir kalimat.“Flo suka Mimi Laura?” seolah berusaha menambah luka baru, Cinta kembali menanyakan sesuatu yang ia tahu betul bisa membunuhnya tanpa ampun.“Ta!” Raki menggeram pelan, yang tetap Cinta abaikan.“Suka banget, Umma!”Merasa tak tahan dengan obrolan mereka, Raki akhirnya menyuruh Flora naik ke atas. Ke kamarnya. Untuk melepas baju sebelum dimandikan sesaat lagi. Yang bocah itu angguki asal Raki berjanji akan menemukan bando halonya yang hilang.Bando halo baru yang sangat berarti bagi Flo.Oh. Mata Cinta terasa panas. Pun hati. Dan otaknya.Ya, Tuhan. Cinta butuh pegangan.Mengedip-ngedip untuk menghilangkan tirai bening tipis yang mulai bergumul di mata, ia melangkah menuju sofa tunggal di ruangan itu. Dompetnya ia tempatkan di atas pangkuan bersama dua tangannya yang saling terjalin, berusaha membentuk kekuatan.Raki masih di sana. Berdiri serba salah. Satu tangan di pinggang, sedang tangan lain menyugar rambut dengan kasar. Kemudian mendengus keras. Ingin menjelaskan sesuatu, tapi tak menemukan kata yang tepat.“Flora keliatannya suka sama calon miminya.” dan Cinta memulai. Tanpa sama sekali menatap Raki. Dia tak akan kuasa. Air matanya sudah pasti tumpah bila mereka berhadapan, hal terakhir yang Cinta inginkan. Aku bukan orang lemah, batinnya.“Ta, aku—”“Sepertinya dia orang yang baik.” dan Cinta menolak berhenti. “Kamu tahu, kan, Flo kita bukan anak yang mudah menyukai orang baru. Perasaannya peka. Tapi, dia kelihatan nyaman sama calon istri kamu.” Ia tahu setiap katanya akan menghancurkan diri sendiri, tapi … Cinta tidak bisa berhenti. Hanya tidak bisa meski dirinya lebih ingin berlari ke kamar. Mengunci diri di sana dan berteriak sekencang mungkin untuk mengusir segala sakit yang bercokol di dadanya. “Dia pasti akan menjadi ibu yang baik untuk Flo.”“Apa sih, yang kamu katakan?” tanya Raki dengan nada kasar. Kian marah mendengar setiap silabel yang lolos dari bibir Cinta.Tapi, Cinta jauh lebih keras kepala dari Raki. Dia sama sekali tak menanggapi teguran suaminya sama sekali. “Flo masih tiga tahun,” katanya. “Kalau kita bercerai, hak asuhnya otomatis jatuh ke tangan aku. Tapi kalau istri kamu cukup baik, Flo akan bisa lebih sering ketemu ayahnya, kan? Itu yang penting.” ia menjeda kalimatnya sejenak hanya untuk menarik napas. “Jadi, kapan perceraian kita akan kamu urus?” setelah yakin dirinya mampu, barulah Cinta mendongak. Membalas tatapan Raki yang justru … tambah membara. Tidak seharusnya Raki marah. Cintalah yang semestinya memaki. Tanpa izinnya, Raki lancang membawa Flora. Memperkenalkan malaikat kecil mereka yang masih begitu lugu pada calon pengganti ibunya.Kendati demikian, Cinta tidak akan melampiaskan amarah dengan gamblang. Luka itu biar ia sendiri yang telan. Tanpa Raki tahu. Raki tidak berhak mendapatkan kehormatan dengan melihat air matanya yang berharga. Pun, air mata tak akan membuat lelaki itu serta-merta menjatuhkan hati padanya.Resti dulu sering menangis terang-terangan di hadapan Papa. Tapi, cinta Papa masih milik ibu Lumi. Resti yang malang justru terlihat bodoh dan lemah di hadapan mereka semua. Dan Cinta tak ingin seperti itu. Seperti ibunya.“Kalau aku nggak mau ngurus perceraian kita?” Lagi-lagi, Raki menghindari jawaban dengan balik bertanya. “Aku udah pernah bilang kan sama kamu, Ta. Aku masih bisa menikahi Laura tanpa kita harus bercerai. Kenapa kamu ngotot banget kita pisah? Apa karena laki-laki itu?”Sejenak, Cinta linglung. Lelaki itu? Ia membuka mulut hendak bertanya, siapa lelaki yag Raki maksud, saat ingatan beberapa saat lalu hinggap dalam memori. Aah … Steel. Pikirnya.“Nggak ada laki-laki lain. Hanya wanita lain di antara kita. Kamu tahu itu.” Cinta menjawab pelan. Sama sekali tak terpancing dengan tuduhan suaminya.“Lalu laki-laki itu?” nada suara Raki makin sengit. Suara tarikan napasnya yang tajam bahkan terdengar. “Kamu bilang, kamu ada urusan ke rumah Bang Gustav. Luar biasa penting sampai kamu nggak bisa bawa Flora. Nyatanya apa? Kamu ketahuan lagi jalan sama laki-laki lain. Ter-ta-wa!” Di kalimat terakhir, ia mengeja penuh penekanan, seolah kata tertawa merupakan istilah asing yang menjijikkan.“Dia Steel. Yang cuma berusaha bantu aku karena mobil kita mogok di jalan.” Cinta memberikan penjelasan, meski menurutnya ini sama sekali tak dibutuhkan. Raki yang salah, kenapa justru ia yang harus mencari pembenaran? “Tolong jangan buat aku berpikir kamu cemburu, Mas. Karena kamu nggak mungkin cemburu, kan? Bagi kamu, aku seperti adik perempuan. Ingat?”“Bagi aku, kamu masih istriku, Cinta!”“Yang akan segera ditalak?”“Jangan terlalu banyak berharap.”Cinta menunduk. Jalinan jemarinya di atas pangkuan menguat. Cinta tidak pernah berharap akan ditalak. Sama sekali tidak. Mimpinya adalah menikah sekali seumur hidup. Tapi, sepertinya harapan itu terlalu tinggi hingga tak bisa terwujud. Hanya wanita beruntung yang bisa memilikinya.Berusaha tak menunjukkan ekspresi muram, Cinta tatap pot bunga kecil yang bertengger di atas meja kopi. Taplak yang terhampar di sana sedikit kusut. Ada noda teh yang tertinggal di bagian tengah. Ah, besok taplak itu sepertinya harus ia cuci lagi. Cinta menelan ludah sebelum kembali bicara, “Aku ingin menjadi satu-satunya istri sampai ajal menjemput. Tapi, aku juga bisa berusaha tegar berbagi kasih dengan wanita lain. Asal kamu, suamiku, meminta baik-baik. Bukan dengan berselingkuh di belakangku begini,” lanjutnya dengan ketegaran yang bahkan membuat Cinta kaget atas kalimatnya sendiri. Ia menarik napas dalam, berusaha menahan sakit di dadanya yang serasa makin menyempit. “Dan kalau kamu memang nggak bersedia melepaskan aku, sekarang pertanyaannya cuma satu, Mas.” Dia menoleh kembali pada Raki. Menatap tepat di matanya. “Apa Laura-mu, siap berbagi kasih denganku?”Pupil Raki membesar. Dan dia jelas terguncang dengan pertanyaan Cinta yang mengejutkan. Karena jangankan Raki, Cinta jauh lebih terkejut. Demi apa pun, ia tidak akan mampu tetap menjadi istri Raki bila lelaki itu benar memutuskan menikahi Laura. Tanpa menceraikannya. Ia tidak akan sanggup melihat banyak cinta di mata Raki saat menatap Laura nanti. Perasaan mewah yang tak pernah Raki miliki untuknya meski sudah empat tahun perjalanan rumah tangga mereka.“Atau sederhananya, apa kamu tega memadu wanita yang kamu cintai dengan aku?”  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan