
Deskripsi
1,299 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Padma
Selanjutnya
Tempt the Afternoon
60
8
BAB 1
Naren berdiri di samping jendela kamarnya yang terbuka siang itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapannya turun ke bawah, pada halaman rumah yang cukup luas dan asri. Beberapa tanaman hijau menghiasi setiap sudut, jejak-jejak sentuhan ibunya yang kini entah di mana. Ibu tidak kelihatan sejak pagi, barangkali menyambangi kediaman Syafiq Muiz, kakak Naren, seperti biasa. Beliau sedang dalam upaya menjodohkan sulungnya itu sekarang.
Tidak, Naren bukan sedang memerhatikan tanaman-tanaman itu, melainkan mobil hitam mengilat yang baru memasuki pekarangan rumahnya. Ferrari. Naren mengangkat sebelah alis. Tamu kehormatan mereka sudah tiba. Akira, putra sahabat baik Papa.
Ah, Naren mengusap tengkuk sambil mendesah setengah frustrasi. Dia tidak terlalu mengenal Akira meski sejak kecil mereka sudah saling mengetahui satu sama lain. Akira terlalu ... angkuh. Jenis seseorang yang Naren blok hitam dari daftar temannya.
Tapi, tapi, tapi, dia punya proyek yang melibatkan lelaki itu. Proyek pribadi. Atau bolehkah Naren menyebutnya proyek rahasia antara ia dan Papa?
Menurunkan satu tangan dari lipatan, Naren sentuh terali besi jendela seraya lebih melongokkan kepala ke bawah. Si beruntung yang terlahir dengan sendok emas di tangannya itu—sebutan Naren untuk Akira—keluar dari mobil dengan gestur setengah enggan, lantas menutup pintu mobil dengan kasar. Dia tidak langsung melangkah, melainkan masih meneliti sekelilingnya dengan seksama. Barangkali berusaha memastikan bahwa dirinya tidak salah rumah, tebak Naren sok tahu.
Lalu pada detik itu pula mobil kedua memasuki pekarangan, berhasil menarik perhatian Akira yang untuk beberapa saat memakukan pandangan. Bukan Ferrari. Bukan Audi, apalagi Lamborgini, melainkan ... Naren menyipitkan mata berusaha mengenali. Eh, benarkah itu sejenis mobil sejuta umat yang biasa ditemuinya di jalan raya?
Seingat Naren, tamu ayahnya siang ini hanya dua orang. Akira dan bininya, Nara. Nara tidak mungkin datang ke sini dengan kendaraan mura—
Pintu penumpang bagian belakang mobil sejuta umat itu terbuka. Dan Naren ternganga saat wanita ramping berambut ikal sepunggung keluar dengan gaya dramatis. Kaca mata hitam besar bertengger di atas tulang hidungnya yang mancung. Rambutnya yang dikeriting gantung berayun-ayun. Gaun merah—Nara, nama perempuan itu, suka warna merah kalau tidak salah—jatuh dengan lembut di sekitar lututnya.
Oh, Naren mengembuskan napas yang tanpa disadari telah ia tahan selama seper sekian detik. Istri sultan datang dengan mobil sejuta umat, yang kembali melesat pergi setelah penumpang cantiknya turun.
Taksi, rupanya.
Baiklah. Narendra maju setengah langkah hingga ujung kakinya menabrak dinding, hanya untuk menyaksikan drama yang lebih seru dari serial Suara Hati Bini kesukaan Inem—pembantu di rumah ini—yang mungkin akan berlangsung.
Dan benar saja, begitu Nara mendapati sosok suaminya, gadis itu (Nara masih gadis, kan? Naren yakin dia belum mau Akira sentuh, atau justru Akira yang enggan mengambil haknya, mengingat sejarah pernikahan mereka yang membutuhkan pihak ketiga untuk mendekatkan keduanya. Dan dalam kasus ini, pihak ketiga yang cukup sial adalah Naredra sendiri) langsung menaikkan kacamata hitamnya ke atas kepala, lantas bersedekap dengan satu alis terangkat.
Ini pasti akan jadi tontonan yang sangat seru, pikir Narendra, tepat satu detik sebelum suara ramah ayahnya terdengar.
“Akira, Nara, kalian sudah datang? Kenapa berdiri saja di luar? Mari, masuk.”
Naren berdecak kecewa. Ini seperti ia sedang menonton bola, lalu saat salah satu pemain favoritnya menendang ke arah gawang untuk mencetak gol, listrik seketika padam. Padahal kan, Naren ingin tahu sapaan pertama sepasang suami istri yang jarang bertemu itu.
Apakah, hai? Halo? Apa kabar? Senang bertemu lagi denganmu?
Yang kesemuanya seperti tidak mungkin. Karena kalau memang mereka masih sudi saling menyapa satu sama lain, Naren tidak harus menjadi mak comblang menyedihkan. Bagaimana bisa tidak menyedihkan, ia sendiri belum menikah. Lebih dari itu, ia jomlo sejak lahir. Status yang sejauh ini sangat Naren banggakan meski sering dijadikan bahan tertawaan oleh teman-temannya.
Okelah, waktunya mandi, lalu berganti pakaian rapi. Biarkan saja tamu-tamu mengobrol dulu dengan Papa. Naren akan turun tepat pada saat makan saja. Oh, dia bukan keberatan menyapa Nara, tapi suaminya. Melihat tampang angkuh lelaki itu, mulut Naren gatal ingin nyinyir.
*** “Jadi, kamu udah punya kafe sekarang?”
Neren batal menyuapkan sendok yang sudah terisi nasi serta secuil daging saat suara feminin yang berasal dari seberangnya bertanya. Mendongak, tatapannya langsung bersirobok dengan mata bulat Nara yang memandangnya penuh binar.
Melirik Agung, ayahnya yang menceritakan hal tersebut dengan nada bangga, Naren mengangguk sebagai jawaban. “Iya, udah agak lama kok, sejak lima setengah tahun lalu,” jawabnya, kembali hendak melanjutkan laju sendok yang tertahan beberapa senti di depan bibir.
“Dan akan segera buka cabang?”
Naren menyukai Nara. Dia ceria, ramah, meski agak sombong sejak menikah dengan Akira. Dia juga agak bawel, salah satu sifat yang dulu membuat gadis itu terlihat menarik di mata Narendra remaja. Dulu. Tapi, sekarang Naren hanya ingin menghabiskan sisa nasi di piringnya yang tinggal seperempat bagian. Akira saja sudah mengelap mulut dengan tisu, tanda bahwa ia sudah selesai bersantap. Dan demi rasa kesopanan, Naren tetap tersenyum sebelum kembali menjawab. “Rencananya begitu.”
“Di Bali?”
Narena mengangguk, tak ingin memperpanjang percakapan sebelum nasinya habis. Ia pun cepat-cepat memasukkan sendok ke dalam mulut, lantas mengunyah. Nara tidak bertanya lagi, hanya menatapnya penuh arti seraya ikut lanjut menyuap sisa makanannya, lalu mengunyah dengan kepala menunduk ke bawah meja.
Tepat saat Naren hendak menelan hasil kunyahan yang sudah halus, ponselnya yang diletakkan di samping piring berdenting pelan. Tanda munculnya notifikasi baru. Awalnya, Naren tidak tertarik memeriksa. Namun saat yang muncul di screen head adalah nama Nara, ia pun tak bisa menahan diri.
Melirik wanita di seberangnya yang mengunyah setengah tersenyum itu, Naren akhirnya membuka lock ponsel. Lalu membaca pesan yang dikirim salah satu tamunya. Kalo lo ke Bali, gue ikut, ya! Dan Naren pun tersedak.
Itu ... merupakan sebagian kecil dari acara makan siang yang tidak terlalu menyenangkan setelah sebelumnya Naren tidak begitu dilibatkan dalam percakapan. Agung lebih sering bertanya pada Akira, meski ujung-ujungnya, yang menguasai percakapan adalah Nara. Akira hanya menjawab seadanya setiap kali Agung mengajukan percakapan. Berbeda dengan Nara yang langsung menjelaskan panjang lebar.
Akira dan Nara, pasangan yang serasi sebenarnya. Satu agak diam, satu seperti petasan banting. Satunya tampil elegan, satunya agak sedikit norak. Mereka bisa saling mengisi satu sama lain. Hanya saja, keadaan yang sejak awal memaksa Nara dan Akira menikah, telah menimbulkan jurang yang dalam di antara keduanya. Jurang yang cukup dalam, hingga untuk saling menyapa pun mereka enggan. Jadi pantas saja, di akhir penjamuan, Akira memilih langsung pamit pulang tanpa repot-repot menawari Nara tumpangan, kendati lelaki itu tahu pasti istrinya datang mengendarai taksi.
Dan atas dasar rasa kasihan, Naren menawarkan diri mengantarkannya pulang, sekalian ia berangkat ke kafe—lupakan arah mereka yang berlawanan—yang akhirnya cukup disesali Naren lantaran Nara makin gencar membujuknya ikut ke Bali.
“Maaf, Ra. Aku ke Bali buat kerja.”
“Berangkatnya doang kok bareng, di Bali gue bisa jalan-jalan sendiri. Dijamin gue nggak akan ngerepotin. Gue Cuma takut di pesawat sendirian, terus gue kan nggak pernah ke luar kota, di dalam rumah aja mulu kayak burung dalam sangkar. Pliiiss sampai Bali gue bisa sendiri. Lo nggak perlu khawatir.”
Tidak usah khawatir? Tanya Naren pada dirinya sendiri, tak habis pikir. Bagaimana bisa ia tidak khawatir membawa istri orang ke Bali, terus meninggalkannya? Lebih dari itu, kalau sampai Akira tahu, yang ada ia makin enggan berdekatan dengan Nara. Ini jelas bukan ide yang bagus.
“Sekali lagi, maaf banget deh. Aku nggak bisa.”
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan halaman kediaman nara yang bagaikan istana. Berdiri megah dengan dua lantai meski sedikit jauh dari pusat kota Jakarta. Oh, tentu saja. Dia istri dari seorang Akira. Seburuk apa pun hubungan mereka, tetap saja Nara hidup dengan fasilitas lengkap. Meski fakta Nara ke rumahnya menggunakan taksi daring masih merupakan misteri.
“Pelit!” tudingnya sebelum membuka pintu, lantas turun dan menutup pintu mobil setengah membanting.
Terserah Nara mau menyebutnya apa, toh ini demi kebaikan gadis itu sendiri.
Setelah memastikan Nara menghilang di balik gerbang besi rumahnya yang tinggi, Naren sudah akan melajukan kembali kendaraannya saat ponsel yang ia letakkan di dasbor kembali berdenting. Ia mengambilnya dan memeriksa notifikasi yang ternyata berasal dari instagram.
Berliana.pratista menerima permintaan mengikuti dari Anda
*** Fakta bahwa Naren memiliki akun instagram sekarang, sungguh masih sangat mengejutkan mengingat ia lebih suka berkecimpung di dunia twitter—itu pun hanya untuk update berita terbaru dari seluruh dunia. Juga kadang melihat jokes-jokes yang lucu saat pikirannya penat. Namun, demi menjadi mak comblang secara totalitas, Naren rela melakukan ini. Untuk Agung. Demi membuat ayahnya yang baik hati tenang.
Jadi, begitu ia mendapat notifikasi itu, hal pertama yang Naren lakukan adalah segera melaju menuju kafe. Sampai di sana, alih-alih menghitung pengeluaran akhir bulan seperti yang ia rencanakan dari awal, ia justru ... memelototi setiap unggahan seorang pelakor—perebut laki orang. Satu fakta lagi yang sulit sekali ia terima.
Berliana Pratista cantik. Sejujurnya, satu tingkat lebih cantik dari Nara. Wanita itu berambut pendek setengkuk, dengan tubuh mungil dan mata sipit. Berbeda dari Nara, Berlian tidak suka berdandan tebal. Dia seringnya tampil natural di setiap foto. Dari gambar yang diambil secara close up, Naren tahu wanita itu memiliki bulu mata lentik—entah alami atau hasil keritingan salon. Tampilannya elegan.
Dan inilah beberapa hasil memata-matai Berliana nyaris setengah harian di kafe.
1. Cantik, sudah pasti. Bila ada uang, rupa bisa disesuaikan dengan keinginan.
2. Anak orang kaya—sering mengambil foto di mobil mewah atau jet pribadi
3. Lahir 2 September—yang berarti hari ini, di instastory-nya, dia mem-posting ucapan selamat ulang tahu dari banyak orang yang diucapkan baik di dm IG ataupun chat WhatsApp. Yang jadi pertanyaan Naren, apa perempuan itu tidak lelah men-capture setiap pesan masuk kemudian mengunggahnya di media sosial, memasukkan ke sorotan pula!
4. Tiga bersaudara, dia paling bungsu
5. Makanan kesukaan: bakso—untuk jenis santapan favorit, ia ternyata cukup merakyat.
6. Ini yang penting. Tempat makan favoritnya adalah ... kafe ini! Naren melotot saat pertama kali melihat salah satu unggahan yang menampilkan sosok Berliana di depan rak berisi susunan buku-buku bacaan yang berdiri di pojok lantai dua. Lalu ada pula foto saat Berlian makan menggunakan sumpit, di belakangnya merupakan susunan bata merah dengan gantungan gambar-gambar yang didesain khusus atas permintaan Naren sebagai hiasan kafenya. Juga beberapa foto lain, salah satu caption-nya mengatakan ‘makan di kafe kesukaan dengan orang kesukaan’. Orang kesukaan yang dimaksudnya pasti suami Nara.
Pertanyaannya, kalau Berlian sesering itu datang ke kafe ini, kenapa mereka tidak pernah bertemu? Yah, kenyataan ruang kerja Naren berada di lantai bawah dan dia yang jarang ke lantai dua seharusnya bukan halangan, kan? Atau itu memang penghalang.
Penasaran ingin mencocokkan gambar-gambar dalam unggahan berlian, Naren memutuskan untuk naik saat salah satu stafnya menghalangi di bawah tangga.
“Maaf, Bos. Lantai dua sedang di-booking oleh salah satu pelanggan kita untuk merayakan ulang tahun pacarnya,” kata lelaki bertubuh kurus tinggi dengan model rambut cepak yang biasa disapa Anang itu.
“Di-booking untuk perayaan ulang tahun?” tanya Naren, mencari tahu lebih pasti. Ia ingat, manajernya Minggu lalu mengonfirmasi hal tersebut. Tapi memikirkannya sekali lagi saat ini, terasa berbeda setelah ia tahu di hari yang sama merupakan hari ulang tahun selingkuhan objek proyeknya.
Anang mengangguk. “Candle light dinner, Bos. Lantai dua disulap jadi cantik banget pake lampu-lampu gantung gitu. Pokoknya romantis, deh!”
“Atas nama Akira Arundapati?”
“Iya. Bos kenal?”
Naren hanya mengibaskan tangan sebagai jawaban sebelum dengan keras kepala menyuruh Anang memberinya jalan.
“Tapi, Bos, mereka udah ada di atas. Nggak sopan kalau diganggu.” Seolah Naren perlu diberi peringatan saja.
“Anang, saya tidak tertarik mengganggu. Saya hanya ingin memeriksa dari jauh.”
Anang akhirnya menyingkir, memberi Narendra jalan menuju lantai dua tempat bunyi alunan biola berasal.
Makan malam itu dilakukan di bagian ruang terbuka. Meja-meja lain disingkirkan. Hanya menyisakan satu meja bulat di tengah-tengah. Dua orang laki-laki bersetelan hitam dengan dasi kupu-kupu sedang memainkan musik. Lampu-lampu utama dimatikan, hanya lampu hias kuning yang digantung cantik di setiap sisi. Dua bintang utama sore itu sedang berdansa.
Akira dan Berlian.
Perempuan itu bergerak luwes dalam rengkuhan suami orang. Ujung gaun kuning pucatnya bergoyang-goyang mengikuti gerakan. Lalu saat Akira melepas wanitanya dalam gerakan berputar, Narendra yang berdiri di pojok dekat tangga, setengah tersembunyi di balik tanaman sintesis setinggi dua meter, terpaku.
Berliana Pratista lebih cantik dari foto-fotonya di instagram.
2nd Temptation
“Selamat ulang tahun, Sayang.” Akira berbisik di telinganya dalam gerakan dansa sebelum mengencangkan jalinan tangan mereka di tengah-tengah iringan irama musik yang mengalun.
Lian mendongak. Tubuhnya mengikuti setiap gerakan Akira. Ke kiri dan ke kanan. Tekanan salah satu tangan pria itu di punggungnya terasa posesif dan hangat. “Terima kasih,” balasnya. “Ini kejutan yang luar biasa.”
“Untuk seseorang yang juga luar biasa.” Si tampan dalam balutan setelan resmi itu menyentak tubuh Lian dalam putaran dansa. Lian tertawa. Gerakannya anggun. Ujung gaun kuningnya yang tampak serasi dengan kulit Lian yang putih pucat berkibar-kibar.
Malam ini indah. Sangat indah. Berlian tidak menyangka kekasihnya akan memberikan kejutan semanis ini. Akira bukan tipe laki-laki romantis. Oh, jauh dari kata romantis sebenarnya. Dia kaku. Di awal hubungan mereka terjalin, Akira bahkan lupa hari ulang tahunnya. Lalu tahun lalu, dia hanya mengirim bunga dan kotak hadiah yang ditutup dengan makan malam bersama. Begitu saja, Lian sudah merasa istimewa.
Namun, kini?
Berlian nyaris tak bisa berkata-kata saat baru sampai di kafe favoritnya. Siang tadi Akira mengiriminya pesan ajakan makan malam. Lian sudah menyangka untuk perayaan ulang tahunnya yang ke-24. Tapi tidak pernah menduga Akira mau repot-repot mengosongkan lantai dua hanya untuk mereka. Dan para pemain musik itu? Hiasan-hiasan ini? Lian jadi harap-harap cemas seraya bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah Akira mau melamarnya?
Kalau benar demikian ... tenggorokan Lian tersekat membayangkannya. Kalau benar demikian ... Akira menarik tubuh ramping gadis itu kembali ke pelukan. Dia mengangkat tangan kiri Lian sedikit lebih tinggi dengan tangan kanannya yang kuat. Lalu sesuatu yang dingin terasa meluncur di jari manis.
Lian seketika membeku. Dia berhenti menari demi melihat sesuatu yang melingkar apik di salah satu jemari tangan kirinya.
Platina bertahta berlian.
Tangan kanannya yang disandarkan di bahu Akira ia tarik spontan demi menutup mulut yang ternganga. Cincin. Akira memberinya cincin berlian. Batu berlian yang berpendar-pendar indah di bawah bias cahaya lampu itu seolah mengerling padanya.
“Kamu suka?” tanya Akira, masih setengah memeluk tubuh Lian yang mendadak membeku. Menatap mata hitam Lian seolah mencari-cari sesuatu.
“Suka?” Lian mengulang tak percaya, setengah histeris dan setengah tertawa kering. “Aku bahagia, Akira!” serunya sembari berjinjit dan mengalungkan tangan ke leher lelaki itu. Memeluknya dengan air mata yang nyaris tumpah. “Makasih.”
Akira balas memeluknya sambil tertawa rendah, sesekali mencium puncak kepala Lian. “Kebahagiaan kamu, kebahagiaan aku, Lian. Jangan pernah ragukan itu.”
Lian mengangguk-angguk. Masih berusaha menahan tangis.
Sejujurnya, ia tidak butuh kejutan semacam ini. Dengan adanya Akira di sisinya, itu sudah cukup, saat ayahnya sendiri malah lupa. Tapi, kalau boleh berharap, hal selanjutnya yang ia mau adalah ... Akira berlutut dengan satu kaki dan memintanya menjadi istri.
Namun, hal tersebut tidak terkabul. Alih-alih, Akira melepaskan pelukan mereka dan membimbing Lian kembali ke meja. Tenderloin steak dengan tingkat kematangan medium, salah satu menu yang Lian suka di kafe ini, terhidang di meja dengan jus lemon. Lian berusaha untuk tidak kecewa. Ia menggigit lidahnya pelan untuk tidak bertanya, kapan mereka akan meresmikan hubungan.
Meresmikan hubungan? Satu suara yang berasal jauh dari dalam kepalanya bertanya satire. Apa yang bisa diresmikan dari laki-laki yang masih resmi berstatus suami orang? Lian duduk di kursi yang Akira tarikkan untuknya dengan bertumpu pada meja, berusaha menerima kenyataan pahit bahwa saat ini dirinya tak lebih dari sekadar kekasih gelap.
Namun, kekasih gelap mana yang dikenalkan pada keluarga?
Akira tidak mencintai istrinya, itu yang cukup Lian tahu. Pernikahan itu ada karena dipaksakan keluarga. Dan Akira masih bertahan karena terpaksa. Laki-laki itu hanya sedang menunggu istrinya bosan dengan status gantung mereka, lantas mengajukan perceraian. Tapi, kapan? Sudah bertahun berlalu, tapi tak juga ada kejelasan.
Lian sudah pernah mengatakan, ia punya impian menikah muda agar selirih umurnya dengan anak-anak tidak terlalu jauh. Anak perempuan pertama—bila Berlian beruntung memilikinya—akan menjadi teman menyenangkan untuk di ajak ke salon dan berbelanja baju. Lalu anak laki-laki menyusul kemudian. Membayangkannya saja, Lian sudah tidak tahan.
Berapa tahun lagi yang Akira butuhkan untuk menyingkirkan Nara? Satu? Dua? Lima? Saat ini saja Akira sudah memasuki usia kepala tiga. Apa lelaki itu tidak pernah memikirkan anak-anak? Keluarga yang sebenarnya?
Meraih garpu dan pisau, Lian mulai memotong lembar steak yang menguarkan aroma nikmat itu. Cincin berlian baru di tangan kirinya sesekali tampak berkilau mengejek. Memasukkan satu suap ke dalam mulut, Lian mulai mengunyah daging empuk bercita rasa khas itu di mulut. Perpaduan daging dan bumbu rahasia K(af)E REN—nama tempat makan ini—memang berbeda. Tapi kali ini Lian tidak bisa meresapi kenikmatan di mulutnya. Ia seperti mengunyah serbuk gergaji.
Menelan daging yang belum halus terkunyah dalam mulutnya, Lian tak bisa menahan diri lagi. “Gimana kabar istri kamu?”
Istri kamu. Rasanya saat kata itu diolah dalam kepala, Lian merasa seperti wanita jahat yang berusaha merebut suami orang. Benar dia berusaha merebut Akira, tapi dirinya bukan wanita jahat. Hanya seorang perempuan yang jatuh cinta. Justru Nara lah yang jahat, mempertahankan pernikahan demi bisa hidup nyaman padahal dia dan Akira tidak saling jatuh cinta. Tidak saling membutuhkan. Bahkan tidak saling berhubungan.
Nara melakukannya semata-mata hanya demi uang—kata Akira dulu. Dan Lian memercayai itu, karena ibu Akira lebih menyukainya daripada Nara. Wanita itu bahkan diasingkan ke pinggiran kota.
Mendapat pertanyaan tentang istri yang tidak diinginkannya, Akira mendesah. Seolah topik tentang Nara merupakan hal yang begitu ia hindari. “Tadi siang kami bertemu,” jawabnya kemudian, berhasil membuat gerakan Lian yang kembali berusaha memotong daging, terhenti. Gadis itu mendongak, memandangnya dengan ekspresi terkejut yang tak ditutup-tutupi.
“Bertemu?” Dia mengencangkan genggamannya pada gagang garpu dan pisau di masing-masing tangan. “Kamu mengunjunginya?” tambah Lian dengan nada penuh tudingan. “Kamu bilang, satu-satunya acara siang tadi Cuma makan bareng keluarga temen papa kamu!”
“Jangan marah dulu. Aku nggak mungkin ketemu dia kalo nggak perlu. Kami ketemu di rumah Om Agung. Aku nggak tahu kalau dia juga diundang.”
“Seandainya kamu tahu dia ikut diundang, apa kamu bakal tetep dateng?” Dalam hubungan ini, Lian memang pihak yang cemburuan dan ... posesif. Terlebih, bila menyangkut apa pun tentang Nara. Akira memang tidak mencintai istrinya, tapi kenyataan bahwa Nara memiliki hak yang lebih tinggi, membuat Lian tidak terima.
“Lian,” Akira melepas garpunya, meraih tangan Lian di seberang meja untuk digenggam, “Om Agung udah kayak papaku sendiri. Aku nggak mungkin mengabaikan undangan beliau.”
“Bahkan demi aku?”
“Kamu tahu posisi kita sulit.”
“Kamu yang membuatnya sulit, Ki. Kamu!”
“Lian—”
“Kamu bisa aja menceraikan Nara dan membiarkan dia membusuk dengan seluruh uangnya!”
“Uangku!” ralat Akira dengan nada menggeram. “Uang keluargaku!” imbuhnya. “Dan kamu tahu aku nggak bisa melakukan itu.”
Lian mengernyit merasakan pegangan Akira pada tanganya menguat hingga terasa sakit, tapi dia belum mau berhenti. “Kamu bisa. Kamu yang nggak mau!”
Alunan biola yang sejak tadi mengiringi mereka mulai melambat, barangkali para pemain musik menyadari ketegangan mereka. Dan Lian tidak peduli.
“Lalu membiarkan dia menguasai sebagian harta keluarga kami?”
“Kamu bisa mendapatkan yang lebih. Kamu hanya harus lebih berusaha. Kamu cerdas, Akira. Kamu punya tangan seperti Midas. Apalagi yang kamu butuh?”
“Pengertian dari kamu untuk bersabar.”
Lian menarik lepas tangannya dengan kasar, dan Akira membiarkan. “Sampai kapan?” raung gadis itu dengan nada melengking, membuat alunan musik di sekitar mereka benar-benar berhenti. Dua lelaki pemain biola, saling tatap penuh arti satu sama lain, bimbang harus melanjutkan atau pergi. Sampai kemudian Akira mengibaskan tangan dan mereka pun mundur perlahan. “Apa kamu bisa memberi batas waktu? Sampai kapan aku hanya menjadi simpanan kamu?!”
“Kita berdua tahu kamu bukan simpanan! Jangan nilai diri kamu serendah itu!”
“Lalu apa?”
“Kamu gadis yang aku cintai.”
“Yang kamu cintai tapi nggak berhak memiliki kamu?”
“Kamu sadar, kamu sudah mulai banyak menuntut!”
Lian menyentuh bagian kepalanya, lantas menyugar rambut dengan gerakan frustrasi. Dia frustrasi menghadapi sikap Akira yang kurang tegas pada Nara. Dia frustrasi menghadapi situasinya yang tidak menyenangkan. Dia frustrasi memikirkan ada wanita lain yang lebih berkuasa atas lelaki yang dicintainya. Akira miliknya. Dan hanya ia yang berhak atas lelaki itu seharusnya. “Aku berhak melakukan itu, kan?”
Akira hanya menatapnya. Tajam. Dan Lian sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
*** Naren menatap kertas tagihan itu dengan puas. Ah, bukan karena lembar tagihan sebenarnya, melainkan kenyataan bahwa makan malam romantis Akira dan Berlian yang berakhir berantakan.
Oh, kalau boleh dilanjutkan, sangat berantakan. Mereka bertengkar, lalu Akira yang marah meninggalkan wanita itu sendirian di lantai dua dengan lampu-lampu hias yang masih berpendar.
Yang paling menyenangkan dari semua itu, ternyata asisten Akira belum melunasi biaya booking lantai dua, pihak mereka baru membayar separuh. Lalu sekarang lelaki itu pergi. Pulang lebih dulu, meninggalkan Lian yang malang seorang diri meratapi nasibnya di atas sana. Ah, perumpamaan Naren terlalu mengenaskan, tapi Naren puas membayangkan perebut suami orang menderita. Sepadan saja rasanya. Fakta bahwa Lian yang harus menutupi sisa pembayaran lebih menyenangkan lagi. Dan coba tebak yang lebih dan lebih membuat Naren ingin tertawa sambil berguling-guling?
Tas Lian beserta isinya, yang memang sengaja wanita itu tinggalkan di jok belakang mobil Akira, mungkin agar tidak mengganggu acara makan malam romantis mereka, sudah Akira bawa pergi. Barangkali saking marahnya, Akira sampai tidak menyadari bahwa ia meninggalkan kekasih yang katanya dicintai tanpa uang sepeser pun di kafe Naren.
Ini benar-benar hari yang menyenangkan.
“Suruh dia cuci semua barang kotor di dapur kalau tidak bisa membayar,” intruksinya pada Joni, manajer K(af)EREN yang berdiri di tengah ruang kerjanya untuk melapor.
“Tapi, Bos, Mbak Berlian merupakan pelanggan setia kafe kita. Dia meminta keringanan untuk membayar kekurangannya besok. Apalagi biaya booking tidak murah. Mencuci semua stok piring bahkan membersihkan seluruh kafe ini saja tidak akan cukup.”
Naren menjalin jari jemarinya di bawah dagu dengan binar kepuasan di wajahnya yang membuat Joni agak bingung. Lebih-lebih, bosnya justru tersenyum geli. “Karena mood saya lagi baik sekarang, dia cukup melunasi semua kekurangan baya dengan hanya mencuci piring.”
Karena Narendra tahu, Lian jenis betina yang seumur hidup tidak pernah menggunakan tangannya yang halus untuk pekerjaan domestik. Naren yakin, wanita itu bahkan tidak bisa membedakan vetsin dan garam.
“Bos yakin?”
Naren berdecak. Ia mengibaskan tangan untuk menyuruh Joni melakukan apa yang ia perintahkan. Manajer itu hanya mengembuskan napas lelah sebelum berbalik pergi hanya untuk kembali lima menit kemudian.
“Mbak Berlian menolak. Dia menggadaikan anting-antingnya sebagai jaminan.”
Sepatu Berlian jelas bukan dari merek abal-abal. Kalau dijual lagi, Naren bisa mendapat untung banyak. Tapi, tidak. Ia melirik sepatu yang berhak luar biasa tinggi itu yang kini teronggok di atas meja kerjanya tanpa minat. Ia lantas berdiri, menyerahkan tugas ini pada Joni yang tidak mengerti niat Naren untuk mengerjai Lian, tentu tidak akan berakhir seperti yang ia mau.
Bangkit dari kursi kebesarannya, Naren ambil sepatu itu. Ia tenteng heels berbahan kulit asli dengan tangan kirinya seolah benda tersebut tidak berharga. Oh, memang tidak bila benda ini kepunyaan wanita keji perebut suami orang. Naren benci wanita yang yang rela menjadi simpanan meski demi cinta. Seolah cinta bisa menghalalkan segalanya.
“Biar saya yang tangani dia. Kamu urus saja yang lain,” instruksinya sebelum melenggang keluar ruangan dengan perasaan puas yang tak ditutup-tutupi.
Tiba di puncak tangga lantai dua, Naren dapati wanita bertubuh kecil sedang membelakanginya. Dia berdiri di samping terali, menatap ke atas, pada langit gelap Ibu Kota yang gelap gulita. Ujung gaun kucingnya melambai pelan ditiup angin malam.
Naren mengernyit. Lantai ini kosong, hanya ada wanita itu saja. Tapi, tidak mungkin dia Berlian. Berlian tak semungil itu seingatnya. Dan tampak rapuh dari belakang.
Tidak, tidak ada wanita perebut yang rapuh, karena mereka harus tangguh untuk berjuang naik tahta dari yang kedua menjadi yang utama. Rapuh hanya kedok mereka di depan target.
Menurunkan pandangan, Naren lihat kaki wanita mungil itu yang telanjang, lantas melirik heels yang ditentengnya. Ah, jadi tinggi karena ini, pikirnya masam. Lian bahkan sedikit lebih pendek dari Nara.
Melangkah kian mendekat, Naren berdeham, berusaha menarik perhatian.
Berhasil. Berlian memutar tubuh menghadapnya.
Berlian cantik. Harus berapa kali Naren ulang kata itu di otaknya sampai ia terbiasa dengan kenyataan itu sehingga tidak harus selalu terpaku setiap kali menatap wajah simpanan Akira ini. Kulitnya pucat, dan tampak bercahaya. Pasti perawatannya mahal. Rambutnya yang dipotong sebahu, diblow. Warnanya hitam legam. Sangat hitam hingga tampak berkilau di bawah bias lampu. Entah berapa rupiah yang sudah wanita ini buang untuk memiliki penampilan sempurna. Seperti potretnya di instagram, wanita ini berdandan sederhana. Bulu mata lentik. Alisnya lurus seperti yang sedang tren. Matanya agak sipit. Tulang pipi tinggi. Bibir tipis agak lebar. Hidung kecil mancung. Dia mengenakan gaun sepaha berkerah Sabrina, memamerkan tulang selangkanya yang menonjol. Secara keseluruhan, Naren ulangi sekali lagi dengan berat hati. Wanita ini cantik. Wajahnya terlihat begitu muda dan kerling matanya bagai gadis tak berdosa. Tapi, siapa yang coba Berlian kelabui dengan tatapan polos itu? Dia lebih daripada sekadar berdosa.
“Mbak Berlian,” sapanya.
Yang namanya disebut berkedip, “Ya?” dengan nada tanya. Ia lantas melarikan pandangan ke bawah, pada tangan Naren, lantas menaikkan alis dengan angkuh dan berseru, “Oh. Itu jaminan saya, ujarnya, seolah sepatunya begitu berharga, bahkan sisa pembayaran yang harus dilunasinya sama sekali tidak ada seujung kuku dari harga sepatunya. Membuat Naren muak. Saya langganan di sini. Saya janji besok akan melunasi—”
Naren melempar sepasang heels berwarna nude itu ke depan. Jatuh tepat satu langkah di depan Berlian dengan bunyi pluk pelan, berhasil memangkas kalimat Berlian yang belum tergenapi.
“Jaminan Anda ditolak. Kebijakan kafe ini, bayar tunai atau debit. Dan atau, kalau tidak mampu,” Narendra sengaja menekan kata terakhir untuk menghina, “anda terpaksa harus cuci semua barang kotor di dapur.”
Lian mengangkat pandangan dari sepasang heels-nya yang malang dengan mulut ternganga. Menatap Naren tidak percaya.
Naren menahan diri untuk tertawa. Wanita itu jelas kehilangan kata-kata.
3nd Temptation
Ah, kesenangan ini terlalu cepat berlalu.
Naren mendengus jengah, menatap punggung pasangan paling memuakkan abad ini yang melangkah menjauh dari pandangannya sambil bergandengan. Oh, mesra sekali mereka, pikirnya jijik.
Lian seharusnya belum menyelesaikan hukuman. Sama sekali belum. Seharusnya dia mencuci piring sampai—minimal—jam tiga pagi, andai Akira tidak bersikap sok kesatria yang datang kemalaman.
Ya. Akira datang. Menjemput Lian yang sedang mencuci piring kotor. Mengakhiri segala kesenangan yang baru beberapa saat Naren rasakan. Huh, ini bahkan belum sampai dua jam!
Menurunkan tangan-tangannya kembali ke sisi tubuh, Naren berbalik, melangkah menuju bak cuci. Lantas berhenti tepat di depan pecahan piring yang berserakan di lantai. Buah karya terbaik seorang Berlian. Naren berjongkok, mengambil serpihan beling paling besar, dan tak bisa menahan diri tersenyum geli kala mengingat ekspresi Berlian saat ia menyuruhnya melakukan tugas rendah ini.
Wanita manja itu menolak awalnya, tentu saja. Ia berkacak pinggang, mendongak tinggi demi bisa menatap Naren penuh ancaman dengan matanya yang agak sipit, barangkali bermaksud mengintimidasi yang sayangnya gagal. Naren jelas tidak mungkin terintimidasi oleh kurcaci yang bahkan tidak setinggi bahunya!
“Gue nggak mau!” ujarnya keras dengan napas memburu penuh emosi.
“Saya tidak memberi pilihan.”
“Terserah. Gue tetep nggak mau. Gue pelanggan di sini, dan pelanggan adalah raja. Sedang lo ... siapa lo?”
“Saya Narendra.” Naren masih menanggapi santai. Terlalu santai hingga membuat Berlian kian berang. Lihat saja gerahamnya yang kecil itu mengencang, juga mata malangnya yang dipaksa melotot kian lebar. Dasar cantik, mau berekspresi seperti apa juga, dia tetap terlihat luar biasa. Fakta yang sungguh Naren benci.
“Gue nggak peduli apa pun nama lo. Yang perlu lo tahu, kalo lo berani macem-macem, gue bisa bikin lo jadi gelandangan detik ini juga!”
Oh, sombongnya! Naren memutar bola mata jengah.
“Gue ...” Berlian yang terhormat melanjutkan aksi menyombongkan dirinya. Kali ini sambil menuding diri sendiri, “Berlian Pratista—”
“—simpanan Akira Arundapati, saya tahu,” sela Naren masih dengan nadanya yang terdengar jengah dan menyebalkan.
Berlian jelas terkejut. Tentu saja. Terlihat jelas dari pupilnya yang agak menyecil dan bibirnya yang sedikit terbuka. Dia kembali kehilangan kata-kata. Menarik napas, wanita itu membasahi bibir bawahnya, berusaha membalas Naren, tapi sayang hanya bisa menutup mulut kembali sebelum mengerang. “Siapa sebenarnya lo?” tanyanya kemudian dengan suara yang lebih rendah, dan terdengar lebih tajam. “Akira pacar gue. Calon suami gue! Dan gue jelas bukan selingkuhannya!”
“Mengingkari kenyataan tidak ada gunanya.”
Tangan-tangan mungil Berlian yang lentik, yang semula terkepal di pinggang, turun kembali ke sisi tubuh. Kali ini dia menatap Naren waspada.
“Siapa pun lo,” desisnya, “dari mana pun lo tahun tentang gue dan Akira, yang perlu lo tanam di otak lo adalah bahwa, pernikahan Akira selain sama gue hanya sebuah kebohongan!”
“Kebohongan yang nyata.”
“Senyata apa pun segala sesuatu yang tidak dibarengi dengan kesungguhan, hanya lelucon!”
“Lalu, kalau pernikahan Akira dan istrinya hanya lelucon, lalu hubungan Anda dengan Akira bisa kita sebut apa?” Berlian pendek, Naren lelah harus menunduk lama-lama demi bisa memandang matanya yang berpendar penuh emosi itu dalam-dalam. Sialnya, pesona tersembunyi di mata itu membuat Naren tidak jera. Berlian memiliki mata yang gelap dan penuh misteri, seperti samudra yang tampak pada malam hari. Kelam. Dalam. Menyesatkan. Dia juga memiliki wajah belia yang menipu. Andai Naren dari awal tidak mengetahui bahwa gadis ini—atau mungkin sudah bukan gadis lagi—perebut suami orang, Naren pasti berhasil dikelabui wajah malaikatnya yang bersemayam dalam jiwa keji.
Berlian mendengus. Sesaat ia memalingkan pandangan dari Naren sebelum menjatuhkan tudingan. “Lo pasti antek-antek Nara, kan!”
Satu alis Naren terangkat. Ia sedikit menegakkan punggungnya. “Kalau iya?”
“Bukan salah gue pernikahan mereka berantakan. Gue ada di tengah-tengah mereka dua tahun setelah janji itu terucap. Dan hubungan mereka sudah bobrok dari awal.”
“Lalu Anda hadir, memperparah segalanya.”
“Pondasi yang sudah bobrok, tetap akan runtuh sekali pun tanpa goncangan.”
Gadis ini cerdas, pikir Naren tambah muak. Sejauh ini, dia selalu bisa membalas kata-katanya dengan pilihan kata yang bagus.
Cantik. Cerdas. Terlahir dari salah satu keluarga yang berpengaruh. Bibit, bebet, bobotnya jelas. Bagaimana bisa perempuan semacam ini merelakan dirinya menjadi orang ketiga? Inikah yang disebut kebodohan hakiki oleh orang-orang?
“Dan Anda adalah goncangan itu sendiri.” Tapi, Naren tidak ingin kalah.
“Ya,” dan dia tidak repot-repot menyangkal. “Gue ingin menggoncang hubungan mereka dan menghancurkannya, kalau saja gue bisa!”
“Jahat!”
“Apa junjungan lo nggak?!” Dia belas menyerang dengan pertanyaan menusuk yang membuat Naren geram. “Nara lebih jahat dari gue! Dia membiarkan Akira terkantung-kantung dalam pernikahan semu yang nggak bisa memberikan kebahagiaan apa pun!”
“Dan apa anda kira Nara menyukai keadaan semacam itu?”
“Dari awal Nara punya dua pilihan. Berjuang atau melepaskan. Lima tahun. Dia punya waktu sebanyak itu. Tapi dia memilih diam. Lalu salahkah Akira memilih yang lain?”
Untuk pertama kalinya Narendra terdiam. Dalam hati, ia sedikit membenarkan kata-kata wanita gila ini. Namun, meski demikian, bukan berarti seluruhnya salah Nara. Akira juga bersalah. Mereka berdua bersalah. Membiarkan ikrar suci terbengkalai.
Andai nara mau berjuang, andai Akira mau menurunkan egonya, pernikahan mereka mungkin saja berhasil. Atau bahkan dua manusia tolol itu sudah punya beberapa anak yang lucu. Naren tidak perlu menjadi mak comblang, dan Berlian tidak harus berada dalam posisi hina sebagai orang ketiga.
Tapi, tetap saja ini salah. Dan Naren jelas tidak mau membenarkan pilihan Berlian. Orang ketiga adalah penghancur. Paling tidak, pemicu.
“Meski begitu, Anda tetap akan mencuci piring malam, ini!”
Naren mengakhir perdebatan mereka. Ia berbalik dengan tangan yang masih terkubur dalam saku celana. Meninggalkan Berlian yang menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Mulutnya melontarkan sumpah-serapah dan berbagai ancaman.
Dan coba tebak hasil dari sesuatu yang Naren anggap hukuman, justru ia yang ketiban sial. Berlian benar-benar tidak bisa melakukan kegiatan domestik. Ia mengernyit jijik saat tangan halusnya menyentuh busa penggosok. Menggeram rendah saat gaunnya terciprat air dari keran. Mencak-mencak saat hiasan kuteknya rusak. Menyumpah-serapah begitu ujung-ujung jarinya mengerut. Sukses menjadi tontonan para karyawan yang harus Naren ancam agar berhenti memperhatikan wanita itu dan melanjutkan pekerjaan. Cukup Naren saja yang mengawasinya seperti mandor.
Yang membuat Naren luar biasa kesal, Berlian berhasil memecahkan dua piring dan satu gelas. Salah satunya adalah piring tembikar eksklusif yang biasa Naren gunakan saat makan di sini. Piring yang Berlian banting dengan sengaja begitu melihat kekasihnya datang menjemput. Sialan memang.
Mereka baikan lagi. Secepat itu.
Mengembalikan serpihan tembikarnya ke posisi semula dengan tatapan nyalang, Naren memanggil Asep, salah satu pelayan yang bertugas di dapur untuk membereskan segala kekacauan yang terjadi.
Kafe masih buka sampai tengah malam nanti, tapi Naren memutuskan untuk pulang lebih awal. Kepalanya mendadak pening lantaran berurusan dengan berlian.
Hendak berbalik ke lorong yang mengarah ke ruangannya, langkah Naren terhenti begitu mendapati Syifa, koki kepala di kafe ini, partnernya membangun bisnis.
Gadis itu duduk di meja panjang ruang karyawan, masih lengkap dengan seragam putih kebesarannya. Narendra memutuskan mendekat.
“Mau pulang bareng?” tanyanya.
Syifa yang semula memainkan ponsel, mengangkat pandangan, lantas tersenyum setengah mendengus. “Sayangnya, saya bukan Bos yang bisa pulang pergi sesuka hati. Pekerjaan saya belum selesai.”
Naren berdecak. Ia menyandarkan salah satu bahunya ke dinding, kakinya disilang. Posisi enggan khasnya yang sudah diketahui seluruh karyawan. “Sudah berapa kali gue bilang, nggak usah sok formal sama gue, Syif.”
“Tidak bisa. Ini kebiasaan. Dan memang seharusnya.”
Keharusan yang sungguh tidak Naren sukai. Memang apa yang ia sukai? Pikirnya masam. Ia tidak suka menjadi mak comblang. Ia tidak suka mencampuri hubungan orang lain. Terlebih, ia sama sekali tidak suka berurusan dengan Berlian.
Yah, Narendra tidak memiliki banyak kesukaan, salah satu dari sedikit hal yang cukup ia nikmati adalah pekerjaannya. Posisi saat ini sangat ia hargai, dan semua itu berkat Agung. Dia yang tahu benar karakter putra tirinya—yang sama sekali tidak suka bekerja pada orang lain—memberikan modal usaha yang tidak tanggung-tanggung begitu Naren berhasil menyelesaikan strata satunya dan bingung harus melakukan apa. Uang yang Naren anggap pinjaman, yang juga sudah berhasil ia kembalikan meski Agung sempat menolak. Ia menggunakan uang-uang itu, pertama-tama untuk membuka bengkel, mengingat dirinya lumayan suka otomotif, lebih-lebih yang berhubungan dengan kendaraan antik—seantik vespa kesayangannya, hadiah ulang tahun ke 21 dari Ibu.
Tapi bengkel itu tidak bertahan lama. Hanya dua tahun, kemudian tutup karena manajemen yang buruk dan kalah saing. Lalu Naren memutuskan membuka tempat makan—karena hal selanjutnya yang ia suka setelah vespa dan senja adalah makan—lebih-lebih, ia mengenal seseorang yang pintar memasak dan selalu membuat menu-menu baru.
Namanya Asyifa Nur Jannah. Dia putri sulung pembantu keluarga mereka yang Naren kenal sejak ia menginjakkan kaki di rumah Agung yang cukup besar. Syifa yang kala itu menjadi salah satu koki magang di salah satu hotel, langsung digaetnya sebagai partner.
K(af)EREN semula hanya tempat makan kecil, yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat lantaran menu-menunya yang sederhana tapi dengan bumbu yang berbeda. Modal yang kian bertambah membuat Naren memiliki dana lebih, yang kemudian dia gunakan untuk membeli tempat ini. Bagunan dua lantai dengan desain menarik dan instagramable. Menu enak, lokasi strategis, dan tempat nyaman serta desain menarik merupakan daya tarik utama bagi pelanggan. Naren berhasil membangun tiga hal tersebut hingga kafenya cukup dikenal dan beberapa kali menjadi tempat syuting acara makan-makan yang be-rating tinggi di salah satu stasiun teve swasta. Dan kini, ia memiliki niat melebarkan sayapnya sampai ke Bali dengan menggandeng salah satu teman semasa kuliah.
“Keharusan yang mestinya dihilangkan. Lo partner gue, Sif.”
Syifa hanya tersenyum. Senyum manis dengan lesung pipit menarik.
Ah, Syifa. Naren sebenarnya menyukai gadis itu. Gadis 26 tahun berhijab biru yang selalu bersikap formal lantaran tak bisa berhenti melihat perbedaan posisi mereka. Bi Iyem, pembantu Agung, ibu Syifa, bahkan sudah dianggap keluarga. Dan Naren harap akan benar-benar menjadi keluarga nanti.
Nanti. Saat Naren sudah siap memantapkan hati dan memilih seseorang. Seseorang itu adalah Syifa.
Syifa merupakan wanita yang baik. Sama seperti Naren, dia jomlo sejak lahir. Dan Naren pikir, jelas mereka cocok. Sangat cocok. Jomlowan dan jomlowati sejak memakai popok. Tapi, tidak sekarang. Naren masih menikmati status ini. Dia juga belum mau mengikat Syifa dalam hubungan apa pun. Kalau pun siap, maka ia akan langsung meminta Syifa pada ayahnya. Lalu bila Syifa bersedia, mereka akan menikah. Pernikahan sungguhan. Bukan fondasi bobrok seperti kata Berlian. Mereka akan membentuk keluarga yang sempurna atas dasar rasa hormat dan saling percaya, cinta menyusul kemudian. Cinta yang datang perlahan dan bertahan sepanjang usia.
Lagi pula, sekali pun ingin, Naren belum bisa menikah dalam waktu dekat ini, mengingat 2020 sudah dipatenkan Ibu untuk menjadi tahun pernikahan Syafiq, abangnya, dengan Ayumi, gadis manis yang berhasil merebut kekaguman Naren dari pertemuan pertama mereka.
Syafiq jelas beruntung mendapat wanita itu. Yang kalem dan sepertinya penurut. Tutur katanya halus, bahasa tubuhnya bagus. Ah, dia sempurna untuk abangnya yang alim itu. Ibu memang mak comlang yang luar biasa, berbeda dengan Naren yang langsung sakit kepala mendapati gelar yang sama.
“Aneh aja rasanya, Bos. Kebiasaan tidak bisa diubah dalam sekejap. Harus bertahap.”
“Dan tahap pertama bisa dimulai dengan memanggil gue Naren,” ujar lelaki itu yang anehnya, berhasil membuat pipi Syifa merona. “Bisa, kan?”
“Mmm ... saya usahakan, Bos—eh, maksud saya, Naren.”
Naren mendesah, pura-pura kesal. “Dari dulu kenapa, sih?”
Yang dijawab Syifa hanya dengan cengiran. Cengiran semanis gula aren. Syifa memang berkulit gelap. Kulit gelap yang eksotis. Bukan kuning langsat seperti Nara, dan tidak sebersinar kulit Berlian. Ah, ya. Faktor keturunan, latar, dan keberuntungan mereka berbeda.
Belum juga puas berbicara dengan Syifa, ponsel di saku jaket Naren bergetar. Berdecak tak suka,ia ambil benda itu demi melihat siapa sang penelepon.
Syafiq. Abangnya.
Ah, baru juga dipikirkan. Barangkali ini yang orang-orang sebut dengan ikatan batin. Kendati berpisah sejak kecil lantaran perceraian orang tua mereka—Syafiq ikut Bapak—hubungan keduanya tetap baik.
“Assalamualaikum, Naren,” sapa suara berat di seberang.
“Waalaikumsalam, Bang,” jawabnya seraya memberi isyarat pada Syifa untuk pergi, yang gadis itu iyakan dengan anggukan kecil.
Naren lantas berbalik. Melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti menuju ruangan. Lantas menjatuhkan diri pada kursi kerjanya yang berlengan.
“Lo sibuk?”
“Kebetulan lagi lowong. Cuma agak pusing.”
“Gara-gara perempuan, pasti!” tebak abangnya yang tepat sasaran. Naren tertawa menanggapinya. “Udah, kalau suka langsung lamar aja.”
“Kayak situ sama Mbak Yumi, ya?”
“Dari pada direbut yang lain, kan?”
Naren menggoyang-goyangkan kursi kerjanya. “Lo dulu lah, gue bisa nyusul entar-entar.”
Mereka melanjutkan obrolan sampai dua puluh menit kemudian, sebelum akhirnya Syafiq menguap dan mengatakan butuh tidur. Dia baru pulang sift jaga malam di bank tempatnya bekerja, dan masih harus kembali bertugas besok pagi, menghubungi Naren karena sedang suntuk dan butuh teman mengobrol—dan tunangannya jelas sudah terlelap jam segini.
Menutup panggilan telepon, Naren memutar-mutar benda pipih itu sebelum iseng-iseng membuka Instagram. Ada akun yang baru-baru ini diikutinya berisi konten-konten menarik seputar curhatan-curhatan netizen, yang sebagian kocak, rumit, bahkan tidak masuk akal.
Namun begitu membuka aplikasi, posting-an pertama yang didapatnya adalah kiriman Berlian. Dalam gambar yang perempuan itu unggah terdapat sepasang tangan yang saling bertautan di samping ponsel yang menyala, menampilkan tiket penerbangan yang sudah dipesan. Nama maskapai serta waktu keberangkatan disembunyikan oleh emoticon, tapi angka nol dan sembilannya tidak tertutup sempurna—masih bisa dilihat bila gambar diperbesar dan diteliti secara seksama (yang memang Naren lakukan). Di sana Berlian menyebutkan: Bali, soon.
Jadi, mereka akan liburan ke Bali tanggal sembilan nanti.
Hmm .... Naren terdiam sebentar sebelum menutup Instagram dan segera membuka chat. Dia harus cepat bertindak bila ingin misinya berhasil. Narasya
Ke Bali tanggal 9. Deal? Terkirim.
4th Temptation
Nara yang Naren kenal dulu, tidak semerepotkan ini. Sungguh. Dia bukan tipe perempuan yang akan heboh dengan penampilan. Oh, jangankan perihal pakaian, berdandan pun dulu dia jarang. Tapi, ini?
Naren menggeram di depan halaman rumah besar berlantai dua sambil mengecek kembali arlojinya untuk yang ke ... ya ampun, ini bahkan sudah satu jam. Dan apa kata pembantunya saat terakhir Naren bertanya nyaris lima belas menit lalu?
“Mbak Nara belum selesai mengeriting rambutnya.”
Mengeriting rambut!
Salah satu dari banyak alasan Naren mendambakan Syifa sebagai istri, saat nanti mereka ada acara, wanitanya tidak perlu repot-repot mengeriting rambut atau pusing memilih anting dan kalung mana untuk dicocokkan dengan pakaian. Cukup kenakan selembar penutup kepala, dan voila! Mereka siap pergi.
Empat puluh lima menit lagi pesawat lepas landas. Dan Nara belum selesai mengeriting rambut. Baiklah, persetan dengan status mak comblang. Naren mengambil ponselnya, mendial nomor Nara yang ... lagi-lagi tidak diangkat.
Keluar dari mobil, ia berderap memasuki istana cantik yang suram itu.
“Tami!” panggilnya tak sabaran. Oh, sabar adalah hal terakhir yang harus Naren prioritaskan saat ini, karena bila hanya mengandalkan sabar, tiket penerbangannya terancam hangus. Bukan hanya masalah biaya lebih besar yang harus dikeluarkan, melainkan juga waktu. Naren benci membuang waktu percuma.
“Tami!” panggilnya sekali lagi dengan nada lebih keras saat panggilan pertamanya tak mendapat tanggapan.
Seorang wanita muda dengan pakaian tak kalah modis dari majikannya melangkah setengah tergopoh menuruni tangga, menghampiri Naren yang menjulang di tengah ruang depan dengan dua tangan terkubur dalam saku celana.
“Maaf, Mas, tadi saya lagi bantuin Nyonya naikin resleting bajunya.”
Uh, oh. Dia bahkan belum selesai mengenakan baju? Lalu satu jam ini, apa yang Naren lakukan? Menunggu seseorang yang tak kunjung selesai mengurus diri? Apakah semua wanita selelet ini? Ah, ibu Naren tidak begitu. Syifa tidak begitu!
Menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar dalam bentuk dengusan, ia berucap penuh penekanan, “Bilang sama Nyonya kamu, dua menit dia belum selesai, saya tinggal!”
Tami membuka mulut, siap menyahut saat suara cempreng yang cukup menyakitkan telinga terdengar dari ujung tangga.
“Gue udah kelar, Ren. Kuy kita berangkat!”
Dengan wajah berdempul bedak, bulu mata lentik bermaskara, gaun merah selutut dan rambut berbentuk keriting gantung, Nara nyengir, mempertegas warna bibirnya yang senada dengan pakaian wanita itu. Heels setinggi entah berapa puluh senti yang barangkali belum sempat dikenakannya, Nara tenteng tinggi-tinggi, pun koper merah jambu nyaris setinggi tubuhnya berada di sisi yang lain.
Melihat wanita itu, Naren tercengang. Bingung sebenarnya. Nara ingin sekalian kabur dari Akira dan tinggal selamanya di Bali dengan koper sebesar meja kerja, atau ia hanya ingin mendatangi undangan pesta dengan penampilan seheboh itu?
Kini, bukan mulut Tami yang ternganga, melainkan Narendra.
“Tami, berhenti bengong dan cepet turunin koper saya!” perintahnya, tanpa kata tolong, seolah seluruh umat manusia memang harus mematuhinya. Sedang ia melimbai dengan kaki telanjang menuruni anak-anak tangga dengan gerakan super angkuh. Benar-benar asing. Dia jelas bukan Nara yang dulu Naren remaja kenal. Dan ia bersyukur, bukan dirinya yang dijodohkan dengan wanita ini, melainkan Akira.
Diam-diam, Naren bersimpati pada suami malang yang sudah Agung anggap anak sendiri. Akira begitu sial sampai harus memiliki Nara sebagai istri, dan Belian selingkuhan. Dua wanita itu sama-sama merepotkan. Sama-sama angkuh. Pendek pula, yang memaksa tinggi dengan sepatu berhak menakutkan. Dan kalau dipikir-pikir, kalau Berlian merupakan tipe ideal yang Akira inginkan, maka Nara sudah mengantongi segala persyaratan, tapi kenapa lelaki itu masih mencari orang lain?
Ah, ya, kecuali satu. Berlian anggun dan elegan, sedang Nara ... Naren meringis, terkena penyakit OKB—orang kaya baru—yang menjengkelkan.
Tiba di lantai bawah, wanita itu mengulurkan heels merahnya pada Naren dan berkata, “Pegangin sepatu gue, dong, Ren. Gue mau selfie dulu.”
“Kalau kamu mau foto-foto dulu, silakan, saya berangkat duluan.” Dan tanpa mau repot-repot meladeni Nara, Naren berbalik, melangkah panjang-panjang menuju pintu ganda rumah besar itu yang terbuka lebar. Empat puluh menit lagi, kalau tidak macet, ia masih bisa menyusul waktu. Tapi kalau macet ... kalau benar macet dan Naren ketinggalan pesawat, mungkin ia akan mencekik Nara.
“Eh, eh ... kalau lo berangkat duluan, gue sama siapa?” pekik wanita itu yang tetap Naren abaikan. Pada akhirnya, Nara menyusul, langsung masuk ke mobilnya tanpa permisi. Dia duduk di kursi penumpang depan. Sedang Tami dan Pak Sul kerepotan memasukkan koper besar Nara ke kursi belakang karena bagasi mobil nara tidak cukup menampungnya.
“Lo buru-buru banget sih, Ren? Buru-buru itu pekerjaan setan tahu, nggak boleh. Mau disamain sama setan? Ih, gue sih engga—”
“Diam atau aku turunkan?”
Nara langsung bungkam dengan bibir cemberut. Mendengus, ia memasang heels-nya. Naren yang mengira Nara akan terus diam sampai mereka tiba di Bali, harus mengelus dada memohon kesabaran, karena belum seratus meter keluar dari gerbang rumah, nara kembali menyerocos, menceritakan segala rencana kegiatan yang berniat dilakukannya selama liburan, tak peduli sekali pun Naren sama sekali tidak menanggapi.
Berkutat dengan kemacetan serta ocehan sepanjang jalan menuju Bandara, Naren merasa ia patut mendapat piagam penghargaan karena kepalanya masih utuh saat memasuki pesawat. Yah, sebuah keberuntungan besar mereka tepat waktu—Naren harus menyetir gila-gilaan dan nyaris menabrak pedagang kaki lima untuk ini, dan rasanya sepadan.
Dua jam lebih kemudian, ia memilih memejamkan mata, membiarkan Nara terus berceloteh meski sebenarnya Naren sedikit khawatir melihat wajah pucat wanita itu—barangkali karena ini kali pertamanya dia naik pesawat—sebagai bentuk dukungan, Naren hanya membiarkan Nara mencengkeram lengannya hingga lengan kemeja lelaki itu kusut. Naren lelah. Menunggu sejam penuh, nyaris ketinggalan pesawat, dan terjebak bersama istri orang, bukan pengalaman menyenangkan yang patut disyukuri. Dua detik setelah kelopaknya menutup, Naren berpikir, apakah Akira dan Berlian sudah tiba di Bali? Kalau iya, bagaimana caranya mempertemukan Nara dan suaminya di sela-sela waktu luang saat ia tidak harus survei lokasi dengan Rama?
Ah, tugas lain lagi. Naren benci kegiatan yang mengharuskannya banyak berpikir. Lebih-lebih memikirkan masalah yang bukan miliknya sendiri.
Tiba di Bali, Naren langsung memesan taksi, mengabaikan Nara yang merengek kelaparan dan mengajaknya makan dulu di kafe Bandara—entah di mana Nara yang pucat dan gemetaran di pesawat tadi.
“Kita bisa makan di hotel,” tolaknya.
“Kalau gue mati sebelum sampe di hotel gimana?”
“Gue kubur lo di pinggir jalan.”
“Ih, Naren kok jahat!”
Naren memutar bola mata seraya merogoh ponselnya di saku kemeja dan mematikan mode pesawat. Tidak kuasa ingin tahu apakah Akira sudah sampai di Pulau Dewata, ia membuka aplikasi instagram. Wanita sosial media macam Berlian pasti selalu mengunggah segala sesuatu yang bisa dipamerkan oleh dirinya.
Dan benar saja, instastory yang sudah seperti titik-titik saking panjangnya, berisi semua hal yang menceritakan sepanjang perjalanan dari Jakarta sampai Bali. Dia gambar terakhir, perempuan berambut pendek itu tampak menggunakan topi lebar, berpose merangkul leher Akira hingga kekasihnya harus menunduk untuk menyejajarkan wajah mereka di depan sebuah hotel—
“Putar balik, Bli, ke daerah Sanur,” ujarnya pada si sopir taksi. Cepat-cepat ia mencari nama hotel yang sama di sebuah aplikasi wisata untuk memesan kamar. Yah, setidaknya dengan ini ia tidak perlu repot-repot berpikir bagaimana harus mempertemukan Nara dan Akira. Cukup tempatkan mereka di penginapan yang sama, kalau semesta mendukung, dan bila takdir menginginkan dua manusia bodoh ini bersatu, maka segalanya akan dilancarkan.
Satu hotel, tidak mungkin tidak pernah bertemu, kan selama seminggu liburan? Kecuali mereka memang tidak berjodoh.
“Kenapa kita malah ke Sanur? Bukannya kamu bilang penginapan kita ada di daerah Kuta?” adalah pertanyaan Nara, yang bersambung dengan kalimat panjang selanjutnya, tak memberi kesempatan Naren menjawab, “Gue belum pernah ke Kuta, Ren. Pengen tahu pantai yang terkenal itu kayak apa. Katanya banyak banget turisnya. Terus gue mau belajar main surfing. Di Pantai Sanur, kata Google, ombaknya terlalu tenang. Terus ke Kuta jauh, kan? Ongkosnya mahal! Gue kemarin cuma dapet tambahan uang jajan sepuluh juta doang! Belum lagi buat belanja oleh-oleh.”
“Sanur lebih cantik dari Kuta. Percaya sama gue.”
Nara cemberut. Dia mendekap tangannya di depan dada dan memalingkan pandangan ke arah jendela.
Terima kasih kepada Berlian yang selalu membantunya memberikan clue apa yang harus ia lakukan. Untuk seorang selingkuhan, wanita itu entah terlalu bodoh atau terlalu pintar.
“Jadi, Bli,” ujar sopir menengahi, “kita ke Kuta atau Sanur.”
“Sanur.” Keputusan Naren final. Palu sudah diketuk. Mari sambut drama baru yang akan semesta suguhkan beberapa waktu lagi.
Naren dan Nara mendapat kamar di lantai tiga. Ruangan mereka bersebelahan. Kamar yang tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil juga dengan single bed. Naren mengamati kamar Nara dengan cukup puas. Kurang lebih, seperti ini juga kondisi kamarnya.
Lelaki jangkung itu sudah akan berbalik, menyambangi kamar sendiri dan istirahat sebentar—ia butuh mandi dan tidur—saat Nara menarik ranselnya hingga Naren nyaris terjengkang.
“Tas lo taruh sini dulu! Gue laper. Lo janji ajak gue makan! Traktir karena udah bohong. Bilang Kuta ujung-ujungnya Sanur!”
Naren mendesah. Berjanji pada nara seperti janji pada bocah. Selalu diingat dan ditagih. Menurunkan ranselnya, ia letakkan juga dengan koper kecil yang dia bawa di dekat pintu agar nanti tidak susah mengeluarkannya. Lantas mengikuti Nara yang melangkah cepat ke arah lift dengan ocehan panjang. Dia lalu memencet panel lift berulang-ulang dengan gerakan tak sabaran. Mungkin Nara sudah benar-benar kelaparan.
Pintu aluminium itu pun akhirnya terbuka. Disusul pekikan Nara kemudian.
Mengedip, Naren menelan ludah. Semesta terlalu cepat mengabulkan harapannya.
Di depan sana, di hadapan mereka, di dalam kotak aluminium, Akira dan Berlian sedang berangkulan mesra. Sejenak, Nara merasa waktu berhenti berputar saat mata sepasang kekasih di depannya membulat. Terkejut, pasti. Kalau dalam sebuah drama, adegan ini sudah ditayangkan dalam bentuk slowmotion serta latar musik menyebalkan.
Setelah sepersekian detik yang sunyi dan menegangkan, Akira memecah ketegangan itu dengan geraman. “Nara,” ia menurunkan tangannya dari bahu Berlian, “sedang apa kamu di sini?!”
Yang ditanya mengerjap. Ia menatap Akira cukup lama, kemudian Berlian, lalu Naren, dan ... kabur terbirit-birit.
Reaksi yang luar biasa mengingat Nara tadi merengek kelaparan.
Akira mengejarnya. Sesuatu yang tak Naren sangka. Lelaki itu keluar dari lift, meninggalkan Berlian yang berteriak memanggil.
Pemandangan langka. Naren menggeleng-geleng takjub. Merasakan perutnya keroncongan, ia pun masuk lift dan bersandar pada dinding belakang aluminium sembari menarik tas selempang Berlian yang hendak ikut mengejar kekasih yang mengejar istrinya. Ck, istilah macam apa ini. Mengejar kekasih yang mengejar istri. Kalimatnya tidak efektif sama sekali.
“Lepasin gue!” pekik Berlian, berusaha menarik tas selempangnya dari tarikan Narendra, tapi tidak semudah itu. “Lepas!” teriaknya lebih keras.
Naren mengedik, lantas mematuhi titah sang ratu yang menggeram marah bagai singa yang anaknya dilukai. Setelah lepas dari cengkeraman Naren, Wanita itu kemudian berbalik, hendak keluar, tapi terlambat. Pintu lift terlanjur menutup.
Welcome to the—
“Lo sengaja kan, ngalangin gue?! Dasar cowok sialan lo!”
—hell.
5th Temptation Naren mengangkat salah satu alisnya, setengah mendengus mengamati wanita Akira yang kini menatap ia tajam dengan mata sipit itu. Ah ... mata malang yang terlalu sering digunakan untuk melotot melebihi kapasitas yang mampu dilakukan. Malas menanggapi Berlian yang tak seberharga batu berlian sungguhan, Naren memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Kaki-kakinya ia silang membentuk pose santai. Tak mengacuhkan Berlian yang masih melotot dengan napas terengah karena marah.
Namun, rupanya wanita itu tak suka diabaikan. Dia menghadap Naren dengan tangan bersedekap. Perbedaan tinggi tubuh yang cukup jauh—meski dengan wedges putih setinggi tujuh senti di bawah telapak kaki Berlian—mengharuskan manusia pendek itu mendongak agar bisa mencapai mata sang lawan bicara.
“Ini pasti bukan suatu kebetulan, kan!” Jelas bukan pertanyaan, melainkan tudingan yang diarahkan langsung tanpa tadeng aling-aling.
Satu-satunya hal yang Naren lakukan sebagai sangkalan hanya, “Apanya yang bukan kebetulan?”
“Pertemuan kita! Lo sama Nara pasti udah niat ikuti kami!”
Terlalu percaya diri seperti biasa, meski ya, memang benar. Tapi, Naren tidak mau mengakui apa pun. “Mengikuti kalian? Apa untungnya buat saya?”
“Buat Nara, bukan buat lo. Lo cuma antek-antek nggak berharga, kayak anjing peliharaan yang mengikuti semua permintaan tuannya.”
Kejam sekali bibir tipis berlipstik nude itu. Dikata anjing, Naren jelas kehilangan sikap santai. Iya mengurai kakinya, berdiri menjulang di hadapan berlian dengan jarak satu langkah di antara mereka. “Kalau saya seperti anjing, lantas kamu apa?” Dengan kurang ajar, Naren menelusuri tubuh wanita itu dari ujung kaki sampai kepala. Berlian mengenakan gaun selutut bertali spageti dengan garis dada cukup rendah. Naren berlama-lama mengamati bagian itu hingga pipi Belian merona. Oh, dia masih bisa merasa malu rupanya. Namun ego yang terlalu besar membuat wanita itu tetap berdiri angkuh dengan dekapan tangan di depan dada yang kian dieratkan. “Babi montok?!” sinis Naren meski setelahnya ia harus menggigit lidah sendiri sebagai bentuk hukuman pada bagian tubuh tak bertulang itu.
Narendra benci mengumpat menggunakan nama hewan, terlebih dialamatkan pada manusia—terkhusus perempuan yang katanya merupakan mahkluk paling rapuh. Selama 29 tahun hidup, tepatnya sejak berusia 15, dia sudah menantang dirinya untuk menjadi manusia yang beradab. Agung pernah berkata, usai Naren ditemukan babak belur di puskesmas akibat bertengkar dengan teman sekolahnya hingga mendapat hukuman skorsing, “Manusia bejat banyak. Terlalu banyak hingga tidak ada yang spesial dari mereka. Tapi manusia beradab sedikit, karena menjadi beradab itu sulit,” ujar Agung dengan tatapan kecewa yang membuat dada Naren sakit. “Kamu boleh jadi bukan darah daging Papa, Naren, tapi Papa sudah menganggap kamu lebih dari itu. Papa mungkin tidak bisa menurunkan genetik apa pun buat kamu, tapi bersediakah kamu bila Papa hanya ingin menurunkan sikap yang patut? Tapi, kalau kamu keberatan, tidak apa-apa. Saya tahu, kamu mungkin menganggap Papa hanya suami ibu kamu.”
Manusia berhati mana yang tidak akan terenyuh mendengar kalimat tulus itu? Hati Naren yang keras lantaran masih memendam amarah pada temannya pun melunak. Dia menyayangi Agung. Baginya, sang ayah tiri bukan sekadar suami ibu, melainkan ayahnya juga, meski tidak menduduki derajat setinggi bapak kandung.
Namun, Berlian sudah mendobrak pertahanan diri Naren sedemikian rupa. Teman-teman Naren, boleh mengatakan ia terlalu kaku dan terlalu lurus. Mereka yang mengenalnya, seakrab apa pun, tidak akan berani menyebut ia anjing meski hanya sebatas bercandaan. Sedang Berlian, dia bahkan bukan teman, dan umpatannya dimaksudkan untuk mencela.
“Lo!” Berlian marah. Dia menurunkan tangan-tangannya ke sisi tubuh. “Berani lo nyebut gue babi?!”
“Kenapa tidak? Kamu menyebut saya anjing. Saya menyebut kamu babi. Dia dalam sini, kita mungkin memang sudah seperti dua hewan menjijikkan yang terjebak di kandang petani.”
Tangan-tangan kecil Berlian terkepal. Dia maju selangkah, bersiap meninju Naren, namun gerakannya langsung terhenti saat goncangan kecil terasa di kotak sempit itu, disusul angka di atas panel lift yang berhenti bergerak.
Bibir Naren menjadi kaku. Jangan bilang kalau ...
“Liftnya macet,” gumam manusia kecil di depannya dengan ayunan tangan yang berhenti di udara.
Narendra mengerang. Hal terakhir yang diharapkannya selama liburan ah, bukan, survei lokasi lebih tepat, adalah menyiakan waktu percuma dengan terjebak hal yang tidak penting. Dan terjebak bersama makhluk sejenis Berlian, benar-benar tak terbayangkan.
Lift mecet bisa memakan banyak waktu. Sangat banyak. Apalagi Narendra sedang lapar. Lebih dari itu, bisakah ia memilih orang lain yang terjebak bersamanya? Asal bukan Berlian, banci pun tak apa. Sungguh!
Mendesah, Naren Kembali bersandar pasrah pada dinding lift setelah menekan tombol alarm beberapa kali yang sialnya tidak langsung mendapat respon. Dia sedikit berusaha memalingkan pandangan, ke mana saja asal tidak pada makhluk lain di ruang yang sama. Tapi dasar ruang lift terlalu sempit, pergerakan apa pun yang dilakukan teman seruangannya akan tetap tertangkap.
Berlian, dengan wajah yang mendadak tegang—entah ke mana perginya tampang angkuh dan penuh amarah yang tadi ia tampilkan—merogoh ponsel di dalam tasnya. Paper bag yang tadi dijatuhkan Akira masih berserakan di lantai dan sama sekali tak Berlian hiraukan. Wanita itu malah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.
Narendra yang seakan tahu hal tak penting yang Berlian lakukan, mendengus jengah. “Jangan bilang kamu masih mau up date instastory di saat-saat seperti ini?”
Yang sama sekali Berlian abaikan. Wanita itu justru menggoncang-goncang ponselnya dengan gerakan panik. Dan ... Naren menyadari sesuatu. Tangan-tangan kecil itu gemetaran. Ia mengetik sesuatu lagi, lantas mendekatkan ponsel ke telinga hanya untuk menjadi lebih panik setelahnya.
“Nggak ada sinyal,” pekiknya, “Di sini nggak ada sinyal!” Dia menatap Narendra. Pupil matanya mengecil oleh ... rasa takut?
Wanita ini sebenarnya kenapa?
“Ponsel lo ada sinyal?” Akhirnya dia bertanya juga pada Narendra.
“Buat apa?”
“Lo bego atau apa? Kita terjebak di sini! Kita butuh bantuan secepatnya!”
“Kita nggak akan mati kalau pun hanya terjebak di sini selama beberapa menit.”
“Tapi lampu lift bisa aja mati!”
“Dan kenapa kalau lampunya mati?”
“Ponsel lo ada sinyal apa nggak? Tinggal jawab aja kenapa, sih?!”
“Kamu yang butuh, kenapa kamu yang ngotot?”
“Kalo di lo ada sinyal, hubungi Akira buat gue.”
Hubungi Akira buat gue.
Naren tidak bermaksud pelit. Ia bisa saja meminjamkan ponselnya pada Berlian, entah ada atau tidak adanya sinyal. Hanya saja, cara meminjam orang ini tak sopan sama sekali. Tidakkah saat kecil dia diajari tatakrama, diajari mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih pada orang lain?
“Saya tidak tahu ada sinyal apa tidak, tapi saya keberatan meminjamkan ponsel sama kamu.”
Berlian menelan ludah. Bibirnya menegang dan agak pucat, dia menatap Naren beberapa saat dengan pnuh tekad, lantas maju dengan serampangan dan ... coba tebak apa yang wanita itu lakukan?
Dia meraba kemeja Narendra dengan gerakan mencari-cari. Membuat laki-laki itu tersentak kaget tentu saja. Lantas bergeser menjauh menghindari Berlian yang terlewat berani. “Hey, hey! Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?!”
Bukannya menjawab, Berlian malah mengikuti setiap gerakan Narendra dan kini meraba bagian celananya.
Ya, ampun! Narendra laki-laki. Dan dia digerayangi seorang pelakor di lift sempit yang sedang macet. Demi apa, dia masih perjaka dan belum rela kehilangan status itu sebelum malam pengantin dengan Syifa.
“Jangan macam-macam kamu, Berlian! Saya bisa laporkan kamu ke polisi atas tindakan asusila!”
“Diam!” pekik wanita itu yang kini meraba kantong depan bagian kiri, ke kanan, rasanya agak ... geli. Sial! Naren menggeliat, ingin mendorong tubuh kecil itu tapi takut salah sentuh. Tubuh wanita terdiri dari: area sensitif, area sensitif, dan area sensitif! Apalagi Naren punya satu komitmen yang juga belum ingin dilanggarnya. Menyentuh perempuan sembarangan, karena kalau ibu tahu, ia bisa dipecat sebagai anak!
Tapi, ini godaan yang terlalu besar!
Apalagi saat ... saat ... Berlian meraba bokongnya, lantas memekik girang. Saku belakang jins Naren yang cukup dalam, Lian rogoh, membuat tubuh mereka menempel. Tidak keseluruhan, hanya sebagian, sebagian kecil yang sukses membuat jiwa pemangsanya terbagun paksa.
Narendra menggeram dengan napas tertahan selama tangan kecil itu bergerak turun, turun, turun, dan ... Naren tidak tahan lagi. Dengan gerak keras, Narendra dorong tubuh kecil itu menjauh hingga punggung Berlian menabrak bagian dinding lift yang lain. Tapi alih-alih marah, wanita itu malah menunjuk ponsel Naren yang berhasil diambilnya dengan tampang lega. Lantas mulai menekan tombol aktif.
“Perempuan macam apa sih, lo?” hilang sudah bahasa formalnya. Dia tidak mungkin bersedia bersikap formal pada wanita yang cukup murahan untuk bersedia meraba-raba lelaki yang dibenci dan bahkan baru dikenal!
“Gue Cuma mau pinjem ponsel.”
Cuma mau pinjam ponsel. Ringan sekali jawaban si Berlian menyebalkan. “Tapi, bukan seperti itu caranya. Kamu bukan meminjam, tapi mencuri!”
“Kodenya apa?” Dasar bebal, bukan menanggapi, dia malah menampakkan layar ponsel Naren yang terkunci. Narendra berusaha memanfaatkan itu untuk merebut ponselnya kembali saat dengan gesit berlian menjauhkan benda persegi itu dan menempelkannya ke bagian dada atas. “Kodenya apa?!”
Praktis membuat Naren langsung berhenti bergerak dan menggeram. Sungguh, ia ingin mengumpat dan mengabsen seluruh isi kebun binatang sekarang.
Makhluk ini benar-benar barbar!
“Jangan harap gue mau ngasih tahu!”
“Kodenya apa?! Atau gue banting ponsel lo!”
Banting? Berani dia membanting ponsel yang bahkan baru Naren beli Minggu lalu? Ya Tuhan, Narendra tidak bisa habis pikir. Manusia macam apa sebenarnya Berlian ini?
Pencuri. Pemaksa. Pengancam. Barbar. Menyebalkan. Licik. Selingkuhan. Murahan. Naren yakin, bahkan setan sekali pun mungkin akan kalah jahat dengan seorang Berlian. Ah, dia lebih cocok diberi nama batu kali dari pada Berlian. Berlian terlalu berharga. Berkilau. Tak tersentuh. Jauh sekali dari kesan yang ditampilkan wanita simpanan Akira.
Yang paling menyedihkan dari segalanya, Narendra tidak bisa menjadi beradab bila berada di dekat seorang Berliana Pratista.
“Satu satu satu satu satu sembilan,” desisnya setengah tak rela. Menatap penuh sayang pada benda pipih yang entah terlalu beruntung atau terlalu sial karena berhasil menempeli bagian kulit telanjang Berlian. Ah, setelah ini Naren harus membersihkan ponselnya tujuh kali dengan air, salah satunya harus air yang dicampur debu! Biar ponsel malang itu bisa kembali suci!
Tanpa berkata lagi, Belian langsung mengetik angka-angka yang Naren sebutkan, tepat saat lampu lift benar-benar mati.
Lalu detik kemudian, ponsel Naren yang semula berada dalam kuasa Berlian jatuh.
Jatuh. Ponsel baru yang belum genap berusia satu minggu itu jatuh. Atau dijatuhkan.
Marah, Narendra segera berjongkok meraih benda itu. “Lo niat minjem, nyolong, apa ngerusak sih?!” omelnya. Menggunakan pencahayaan layar ponsel yang tak seberapa, Naren berusaha mengecek bagian luar si mungil canggih, untungnya masih mulus, hanya ada bekas goresan sekidit di bagian pojok bawah yang cukup membuat hatinya sesak. Benda yang Naren perlakukan dengan baik dan cukup hati-hati, main dibanting-banting oleh orang lain. Orang lain yang sangat tidak disukainya.
“Gara-gara lo, ponsel gue kegores!” dumelnya seraya mengaktifkan lampu senter namun tidak berhasil lantaran daya baterai berada di bawah lima belas persen.
Merasa aneh lantaran suasana yang mendadak sunyi—Berlian yang ia tahu tidak bisa diam—Naren arahkan cahaya ponsel seadanya ke sekeliling ruang sempit itu dan mendapati tubuh kecil Berlian meringkuk di sudut lift dengan mata nyalang yang terbuka lebar-lebar. Pupilnya bergerak liar seolah mencari-cari.
“Berliana,” panggil Naren dengan nada hati-hati. Kondisi aneh Berlian berhasil membuat Naren lupa pada bekas gores di ujung ponselnya. “Katanya lo mau pinjam hape gue. Ini, ada sinyal tapi agak lemah.” Ia ikut berjongkok, menyodorkan ponselnya pada Berlian yang sama sekali tak bereaksi. “Mau gue bantu teleponin Akira? Tapi, gue nggak ada nomor dia.” Mengingat sesuatu, Naren meringis. Akira sedang bersama Nara sesuai misinya. Tapi, kalau Berlian memang butuh laki-laki itu sekarang, Naren tidak punya pilihan lain, kan? Jelas hanya Akira yang bisa menangani selingkuhannya yang mendadak aneh.
Apa wanita ini takut kegelapan? Haha ... konyol. Jiwa yang gelap takut gelap.
Ah, tidak lucu sama sekali.
Mendengar napas Berlian yang kian tidak beraturan, Naren mendadak panik. Ia menarik tas Berlian dan mencari ponsel wanita itu yang syukurnya tidak dikunci.
Nama Akira berada di daftar teratas kontak. Naren segera menghubungi lelaki itu secepat gerak jarinya bisa menari lincah di atas keypad.
“Halo, dengan siapa saya bicara?” sapa suara berat sang lawan bicara melalui speaker ponsel.
“Akira, ini gue. Naren.”
Terdengar dengus jengah di seberang saluran. “Ngapain lo hubungin gue?”
Narendra menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Harusnya ia yang mendengus, bukan si berengsek itu. “Denger, ini penting. Gue sama Berlian terjelab di lift.”
“Terjebak di lift?” ulang lelaki itu dengan nada ngeri yang kental, “Apa ... apa lampunya padam?”
“Iya.”
Terdengar umpatan sebelum sambungan telepon mati lantaran baterai ponsel Narendra habis.
6th Temptation
Ya sudahlah.
Naren mendesah setengah mendengus begitu sosok Berlian yang masih kaku dan pucat sudah ditangani oleh ahli—Akira, tentu saja—meski ia sedikit kesal lantaran ... apa dua manusia itu memang tidak mendapat pelajaran sopan santun? Narendra yang menolong wanita itu pertama kali—walau tidak bisa disebut menolong juga karena yang dilakukannya selama terjebak di lift dalam keadaan gelap adalah dengan terus berusaha mengajak Berlian bicara, sesekali menendang kakinya pelan untuk mencari respons—sama sekali tidak mendapatkan sesuatu walau sekadar ucapan terima kasih.
Apakah memang terima kasih, maaf, dan tolong sudah begitu langka di zaman ini?
Ya ampun, mereka memang pasangan yang serasi.
Namun, kalau Akira dan Berlian serasi, lantas Nara dengan siapa? Naren, begitu?
Oh, tidak. Biar kata nanti dia jadi janda perawan yang kaya raya dengan separuh harta keluarga Akira di kantongnya, Naren akan tetap memilih Syifa. Membayangkan menunggu Nara berdandan setiap kali mereka akan pergi, Naren sudah merasa ia akan gila.
Nara cantik, dibanding Berlian, tentu dia lebih baik. Dan kalau menjadi Akira, Naren sudah akan meninggalkan dua wanita itu. Dan Naren, terima kasih, dia tidak berminat berurusan dengan jenis wanita seperti Nara dan Berlian. Terlalu merepotkan.
Bunyi protes naga dalam perutnya terdengar. Naren kembali tersadar bahwa ia belum makan. Dan ini semua gara-gara Berlian.
Meraba perutnya yang keroncongan sambil mengembuskan napas panjang, Naren teringat teman seperjalanannya yang tadi mengeluh hampir mati karena kelaparan. Di mana dia sekarang? Apakah benar-benar sudah tewas lantaran kehabisan tenaga setelah kabur dari kejaran Akira tadi? Kalau iya, di mana Akira bisa menemukan jasadnya?
Menggeleng mengusir pemikiran gila semacam itu, Naren memutuskan untuk mencari Nara di kamarnya, sekalian memindahkan koper ke ruangannya sendiri saat ia berniat mengecek arloji yang melingkar di tangan kiri, lantas terdiam.
Ada bekas merah samar di jari-jemari kirinya. Bekas cengkeraman Berlian beberapa saat lalu. Keras sekali, bahkan Naren sempat merasa tulang-tulang di bagian itu hampir remuk.
“Lo sebenernya takut gelap apa kesurupan, sih?!” Ia bertanya kesal, berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Berlian, demi apa pun Naren tidak sudi bersentuhan dengan wanita ini, dalam keadaan tidak sadar sekali pun. Lebih-lebih, dia bekas Akira. Dan mungkin bukan hanya Akira.
Bukannya melepas, Berlian justru mengeratkan cengkeramannya. Kuat sekali. Naren yang laki-laki saja bahkan tidak yakin mampu mengeluarkan kekuatan sebesar itu. Berlian menggeleng, keras. Surai hitamnya yang sependek rambut Dora bergoyang-goyang. Matanya masih tampak tidak fokus. “Jangan tinggalin Berli. Jangan tinggalin Berli.” Dia berujar berulang-ulang, seperti bocah kecil ketakutan, masih meringkuk di sudut lift yang sempit. Dan Narendra mendapati dirinya tidak tega, muak juga. Jadi, sebenarnya dia muak apa tidak tega? Entahlah. Semua yang menyangkut wanita ini serba membingungkan.
Satu sisi, manusia jenis Berlian tidak pantas mendapat simpati. Tapi di sisi lain, hati Narendra tidak sekeras itu. Dia percaya, tidak ada manusia yang benar-benar hitam atau putih. Selalu ada sisi baik dan jahat di setiap hati. Robin Hood pencuri, tapi dia suka berbagi. Maleficent sangat jahat, tapi kasih sayangnya tulus pada sang tuan putri.
Dan Berlian perebut suami orang, apa kebaikannya ya? Naren ingin tahu, untuk meminimali rasa muaknya. Ia tak pernah memiliki ketidaksukaan sebesar ini pada orang lain.
“Gue nggak bakal ke mana-mana. Jadi, lepas tangan gue!” Naren berusaha sekali lagi, yang berakhir gagal.
Wanita itu kembali menggeleng. Dan terus menggeleng keras seperti boneka dasbor. Andai bukan ciptaan Tuhan, kepalanya pasti sudah copot dan menggelinding di sepanjang lantai lift ini, dan membayangkannya, berhasil membuat bulu kudu Naren berdiri. Demi apa, dia sedang terjebak di kotak aluminium sekarang, hanya berdua dengan Berlian yang bisa jadi benar kesurupan.
“Berli takut. Berli takut.”
“Harusnya gue yang takut, bukan lo, Bimbing!” Naren berusaha menarik lagi, hanya untuk mendapat sentakan lebih kuat yang membuatnya yakin setelah pencahayaan kembali, lengannya mungkin sudah tidak tersambung lagi dengan bahu. Sakit! Dan kalau pun Naren berhasil keluar dengan fisik utuh, ia harus segera mencari tukang urut. “Lo beneran hilang kesadaran apa cuma pura-pura buat ngerjain gue, sih?!”
Tak ada jawaban, hanya gumaman tidak jelas yang lolos dari katup bibir tipis itu. Lelah, Naren menurunkan satu tangannya yang masih memegang ponsel Berlian, menjaga agar layarnya tetap menyala.
Narendra sudah mencoba menghidupkan senter dari ponsel itu tadi, tapi langsung dimatikan begitu Berlian yang justru berpaling dari sinar sorotnya, memalingkan muka menghadap tembok lift dengan tubuh yang gemetar hebat dan napas tersendat-sendat, seolah berusaha untuk lari dan sembunyi. Tapi, dari apa? Dia takut gelap. Dia juga takut cahaya senter, lantas maunya apa? Dan kenapa harus Narendra yang terjebak bersamanya? Merepotkan sekali.
Beruntungnya, keadaan menyiksa itu tidak bertahan lama, meski Naren tetap merasa sedetik bersama Berlian sudah seperti seharian. Tim teknisi akhirnya berhasil mengeluarkan mereka. Namun Berlian tidak lantas sadar begitu mendapat cahaya. Dia masih meringkuk di sana, mencengkeram tangan Naren. Dan salah satu orang yang melihatnya bertanya, “Istrinya kenapa, Pak?”
Respons pertama Naren mendengar pertanyaan tak berakhlak itu adalah ... tercengang.
Apa katanya tadi?
Istri? Is-tri? Hidung Naren mengerut, ia melirik Berlian yang napasnya mulai teratur dengan jijik, lantas mengempas tangannya keras-keras yang anehnya berhasil lepas. “Bukan! Dia bukan istri saya!” jawabnya lantang dan cepat. Tangan kurus Berlian yang entah sejak kapan berubah lemas itu terlempar kasar ke dinding aluminium dengan bunyi ‘duk’ keras dan pasti sangat gilu. Andai dalam keadaan sadar, Berlian sudah pasti mengamuk padanya.
Naren sedikit merasa bersalah begitu melihat tulang di bagian pergelangan tangan kecil itu memerah akibat benturan tadi.
Bukan sih, bukan, Pak, celetuk suarayang entah siapa, tapi nggak usah dibanting gitu juga tangan mbaknya. Kasihan.
Ugh, andai mereka tahu siapa Berlian, tentu tidak akan ada yang merasa kasihan. Ah, kecuali sebagian para kaum Adam mungkin, yang ada malah terpesona.
Beberapa petugas lantas membantu Berlian berdiri. Wanita itu mulai mengerjap beberapa kali, seolah sedang berjuang, berusaha keluar dari lubang hitam yang telah berhasil menyedot kesadarannya. Naren hanya mengawasi. Melihat saat-saat Berlian terlihat sepeti wanita kebanyakan. Yang tampak kelelahan bersandar pada punggung sofa di lobi—tempat para petugas mendudukkannya. Wajah Berlian masih sepucat hantu. Sejenak dia menoleh kanan kiri, seolah berusaha mencari—Akira, mungkin—lantas menerima sodoran air putih dari perempuan yang entah siapa. Ia menegaknya seperti manusia kehausan. Air mineral dalam kemasan gelasan itu habis sekali minum. Beberapa tetes lolos dari bibirnya, membasahi dagunya yang lancip dan sebagian menetes ke atas pangkuannya. Saat ditawari kemasan air kedua oleh salah seorang resepsionis, Berlian menggeleng lemah.
Akira datang tak lama kemudian, yang langsung Berlian sambut dengan mata berkaca-kaca. Dipeluknya lelaki itu erat. Erat sekali, hingga Narendra yakin tulang rusuk Akira pasti linu bila mengingat betapa kuatnya sepasang tangan kurus itu.
Mendesah, Narendra memasukkan tangannya ke saku celana. Berlian sudah berada di tangan yang tepat. Tugasnya selesai sore ini, tapi misinya jumpalitan. Gagal total.
Seharusnya Berlian tidak usah takut gelap. Seharusnya sekarang Akira ada bersama Nara. Seharusnya Narendra makan sendirian dengan bahagia.
Mengepalkan tangan yang memerah, Naren menurunkannya ke sisi tubuh seraya meneruskan langkah menuju kamar Nara. Mengingat dirinya masih ngeri setelah terjebak dalam lift, ia memutuskan menggunakan tangga ke lantai tempat kamarnya berada. Untunglah hanya di lantai tiga, kalau sampai ia mendapat kamar yang lebih tinggi lagi, barangkali tulang-tulangnya benar-benar akan rontok.
***
“Terkilir?”
Nara mengangguk dengan bibir mencebik. Benar-benar mirip bocah yang sedang merajuk. “Iya. Ini gara-gara si makhluk astral itu. Tadi gue jatuh pas mau ngindarin dia, soalnya dia bilang kalau sampe liat gue lagi selama di Bali, gue bakal dikirim balik. Gue kan masih mau berenang di pantai. Liat-liat bule buat cuci mata. Eh, malah jatuh. Sakit, Ren. Pijitin.” Gadis itu bicara dalam satu tarikan napas. Naren menolak bersimpati, karena kalau masih cerewet, berarti Nara baik-baik saja. Justru kalau dia sudah sedikit bicara, baru Naren harus segera membawanya ... ke mana? Rumah sakit umum apa rumah sakit jiwa?
Yang pasti, ke suaminya.
Berdecak, Naren memperlihatkan bekas tangannya yang memerah. “Ini nggak bisa dipake buat mijit, tapi kalo cuma nyumpel atau nyekek, kayaknya masih mampu.”
Bibir Nara yang sudah maju seperti cocor bebek, makin mengerucut. Membuat Naren gemas ingin menguncirnya dengan karet gelang, biar sekalian permanen. “Lo kok jahat, sih sama gue? Padahal gue baik loh selama ini.”
“Lo punya laki buat apa?”
“Buat kesejahteraan hidup lah. Hidup gue terjamin karena gue punya laki.”
Naren memutar bola mata jengah. Menyesal mengajukan pertanyaan tadi. Seharusnya dia sudah tahu, Nara itu sinting. Naren bisa gila bila meladeninya. “Minta pijit dia aja sana. Gue laper.”
“Gue lebih mending kaki pincang daripada diurut dia. Yang ada nanti diamputasi sama tukang selingkuh itu!”
Naren melambaikan tangan, malas menanggapi. Berbincang dengan Nara hanya membuat geliat naga dalam perutnya makin gila. Ia pun memutuskan untuk memindahkan koper ke kamarnya. Namun saat menoleh ke arah seharusnya benda-benda miliknya berada, Naren dibuat mengangkat satu alis begitu mendapati posisi tasnya berubah. Jelas bukan karena kena senggol. Tas yang semula berada di dekat pintu, sekarang tengkurap malang di dekat lemari yang beberapa meter jauhnya. “Lo tendang tas gue?” tanya Naren penuh tuduhan pada pemilik kamar yang kini meringis menatapnya.
Menggaruk leher karena memang gatal atau hanya pengalihan isu, Nara nyengir. “Ditendang Akira, hehe.”
Tasnya ditendang Akira. Hidung Naren mengernyit. Berani sekali lelaki itu! Dia sudah menyusahkan hidup Naren dan ... menendang tasnya! Luar biasa!
Tapi, tunggu.
“Dia masuk kamar ini?” Ia menoleh dengan mata menyipit ke arah kanjeng ratu yang bersandar penuh kuasa di tengah ranjang sambil memelintir rambutnya yang dikeriting gantung.
“Makanya kalau orang cerita itu, dengerin, Naren. Dia tadi tuh ngejar gue,” Nara menjelaskan, kalimat terakhirnya penuh penekanan seolah Naren tidak melihatnya saat Akira keluar dari lift dan meninggalkan Berlian nyaris satu jam lalu. “Dan dia ngejarnya sampe sini.”
“Setelah itu, apa yang terjadi?”
“Dia ngasih ancaman, terus pergi.”
“kalau dia Cuma ngancem dan pergi, kapan dia sempat nendang tas gue?”
“Lo nanya udah kayak polisi.”
“Jawab aja kenapa, sih?”
Nara mendengus keras. “Pas dia mau keluar. Dia nggak suka ada tas lo di sini.”
Mata Naren makin sipit penuh spekulasi. Lalu, seulas seringai samarnya muncul. Sepertinya ada yang mulai cemburu.
Atau hanya sebatas ego.
Yang mana saja, ini jelas sebuah kemajuan. Kecil memang, tapi daripada tidak sama sekali. Naren hanya tinggal harus menjauhkan air dari tungkunya, lalu menambahkan bara. Ah, satenya akan segera matang. Lalu ia bisa makan dengan tenang.
7th Temptation
“Langsung pulang aja ya, setelah ini.”
Berlian mengangkat pandangan dari stik kentang yang tengah disantapnya. Saat ini mereka sedang berada di pinggir pantai, duduk di kursi malas berdampingan dengan Akira hanya terpisah meja kecil yang di atasnya terdapat buah kelapa muda yang dinikmati langsung dari kulitnya. Salah satu minuman favorit Berlian. Angin sore yang bertiup cukup kencang menggoyang-goyangkan rambut pendek Berlian serta cardigan panjang dari kain Bali yang tadi dibelinya dari salah satu pusat perbelanjaan. Cardigan berbahan dasar rayon khas Bali itu terasa sejuk di kulit, dan jatuh menjuntai ke bawah kursi panjang bersandar rendah yang tengah ia duduki.
“Langsung pulang?” tanyanya setelah berhasil menelan hasil kunyahan. Ia menoleh ke pantai, pada ombak yang mulai surut dan matahari yang tinggal seperempat. Berlian benci senja sebenarnya, karena di balik keindahan semburat jingga yang penuh pesona itu, terdapat pesan rahasia bahwa kegelapan akan segera tiba. Matahari yang kuat, dengan segala kegagahannya akan tetap kalah tertelan malam yang akan berkuasa. Tapi, Pantai Sanur selalu menjadi favoritnya. Berlian bisa berlama-lama di sini. Gelombangnya tenang, tidak sebesar Pantai Kuta. Angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah. Aroma asin air laut. Ini adalah tempat pelarian yang sempurna dari kerumitan dunia.
Namun, di sini pun sekarang Berlian tidak bisa lari. Bukan, bukan ia sebenarnya, melainkan Akira. Selama liburan, ah ... semenjak tahu Nara juga berada di sini, Akira tampak sedikit berbeda. Lelaki itu mungkin tidak menyadarinya, tapi Berlian tahu.
Akira menjadi lebih sering menoleh ke kanan atau ke kiri seolah sedang mencari-cari. Dia juga selalu ingin cepat pulang dari tempat-tempat yang mereka datangi. Seperti saat ini.
Berlian ingin marah. Oh, tentu saja. Ia di sini, tapi kenapa orang lain yang diharapkan? Berlian benci perasaan seperti ini, bahkan walau hanya sekadar memikirkannya.
“Iya. Aku capek, Sayang. Lagian masih ada beberapa hari lagi sebelum balik ke Jakarta, kan? Kita masih bisa jalan-jalan besok, lusa, dan hari berikutnya.”
Memulai konfrontasi saat ini, pasti hanya akan berakhir dengan pertengkaran besar seperti waktu itu. Dan pertengkaran merupakan hal terakhir yang Berlian inginkan saat ini. Jadilah ia hanya mengangguk kecil sambil kembali menikmati stik kentang yang mendadak terasa seperti serbuk gergaji di lidah.
“Kalau gitu, aku keluarin mobil dari parkiran dulu, oke?” Akira berdiri. Sebelum pergi, ia mengelus puncak kepala Berlian dengan gerakan lembut dan penuh kasih sayang. Yah, hal kecil yang sangat Berlian hargai, berhasil membuat gejolak amarah di balik dadanya kembali mereda, meski tidak sepenuhnya.
Tahu dirinya tidak akan bisa menikmati stik kentang sebaik tadi, ia pun meletakkan piring berbahan styrofoam dengan kasar ke meja hingga beberapa isinya tumpah. Ia lantas berdiri. Melangkah menjauh dari tempatnya duduk untuk menghirup udara segar banyak-banyak. Cardigan yang dikenakan ia tanggalkan di tempat duduk bersama barang-barang lain. Kakinya melangkah telanjang di atas hamparan pasir yang lembut dan terasa agak hangat akibat terpapar terik seharian—tidak mungkin menggunakan heels di atas permukaan pasir.
“Lian?” sapa suara berat dari arah samping yang semula tak terlalu ia hiraukan. “Berliana, kan?” tanya suara itu sekali lagi dengan nada mantap, berhasil menarik perhatian wanita itu. Ia pun menoleh dan mendapati sosok tinggi besar seseorang dengan banyak tato yang nyaris menutupi seluruh kulit aslinya yang tampak, kecuali wajah yang hanya tertutup oleh brewok.
Berlian mengernyit menatap si penyapa. Apa dia salah satu pengikut instagram yang mengagumi kecantikannya?
Bukan sombong, Berlian hanya menyadari bahwa ia memiliki bentuk fisik yang menarik. Dan tidak perlu munafik, kecantikan yang ia miliki memang membuat sebagian kaumnya iri dan kaum Adam terpesona.
“Saya bicara dengan siapa, ya?” balasnya, bertanya dengan nada kaku menyebalkan.
Lelaki bertubuh tinggi besar yang mirip Hulk itu mengernyit. “Sombong banget sih, Li, sekarang. Eh, tapi gue lupa. Lo kan emang sombongnya dari dulu.”
Seseorang yang menyebut Berlian sombong sejak dulu, sudah pasti pernah mengenalnya di masa lalu. Berlian mengedip lambat, sekali lagi memperhatikan lelaki itu, dan kembali gagal mengingat. Barangkali mengerti wajah bingung sang lawan bicara, si tinggi besar pada akhirnya mendesah dramatis. “Jeremi, Li. Jeremi. Yang di-DO bareng lo waktu kuliah. Ingat?”
Jeremi. DO dari kampus.
Ah, Berlian bahkan lupa dirinya pernah kuliah. Tapi, memang pernah. Hanya tiga atau empat semester kalau tidak salah. Lalu dia di-DO karena ... apa ya, kesalahannya waktu itu?
Oh, dia menyaksikan Jeremi ini—si salah satu mahasiswa abadi—sedang mengerjai mahasiswa lain sampai babak belur, bahkan gagar otak ringan katanya. Dan Berlian yang iseng, merekamnya—barangkali bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi nanti, kan?
Namun, ternyata mereka sedang sial. Siapa yang menyangka dewan mahasiswa akan lewat gudang belakang saat mereka memiliki markas sendiri yang berlokasi di arah yang berlawanan? Lalu, Jeremi dilaporkan atas tindakan kejahatan dan nama Berlian terseret dalam kasus itu lantaran ada di tempat kejadian dan barang bukti di ponselnya.
Berlian bisa saja berkelit. Toh, korban Jeremi nanti bisa menjadi saksi atas ketidakterlibatannya—yang saat itu dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar dan entah kapan akan pulih. Tapi, Berlian justru tidak melakukan pembelaan apa pun. Pun Jeremi tidak mau susah-susah membersihkan nama gadis itu.
“Saya memang ada di tempat kejadian dan merekam. Saya menyukai tindakan jantan Jeremi,” ujar Berlian waktu ditanya. Jeremi yang di sidang bersamanya bahkan tercengang. Kalimat terakhir Berlian sama saja dengan bunuh diri.
Mereka lanjut ditanya-tanya. Jawaban Berlian membuat teman kriminalnya geleng-geleng kepala.
Berlian tidak langsung dikeluarkan waktu itu. Dia hanya mendapat skorsing, tapi pihak keluarga korban yang mengira Berlian rekan Jeremi dari setiap jawabannya, berkeras agar dia juga dikeluarkan.
Dan tebak siapa korban yang dimaksud? Ketua salah satu organisasi ekstern kampus dengan banyak anggota. Pihak organisasi ikut menekan kebijakan itu, dan bila Berlian masih menjadi mahasiswi dengan almamater yang sama, mereka mengancam akan melakukan demo.
Di akhir sesi yang menurut Berlian melelahkan, Jeremi menyapanya yang saat itu berdiri kaku di lantai tertinggi gedung ekonomi. Menikmati pemandangan area tempat kuliahnya yang tidak terlalu berarti.
“Gue Jeremi.” Lelaki itu mendekat dan memperkenalkan diri tanpa tadeng aling-aling.
Berlian meliriknya dari balik bahu. “Gue tahu.”
Mendengar jawaban yang tidak disangka lengkap dengan gestur angkuh, Jeremi menelengkan kepala. Ia memerhatikan Berlian dengan saksama—barangkali mencoba menilai. “Kenapa lo nggak nyangkal kalau kenal gue? Toh, kita memang bukan teman, kan?”
“Jangan lupa, gue juga nggak membenarkan.”
“Tapi jawaban lo yang membingungkan mengarah ke sana.”
“Oh, ya?”
Jeremi mengangkat bahu. Mereka berdua tahu itu. “Gilang bisa menjadi saksi kalau lo nggak ada hubungannya dengan pertengkaran kami.”
“Dan kapan dia akan sadar?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, Jeremi hanya meringis. Sudah tiga hari ini Gilang, si korban, terbujur kaku di ranjang perawatan salah satu rumah sakit, sedang Jeremi bisa melenggang bebas. Oh, dia salah satu anak pejabat. Pihak korban sudah melaporkan tindakan kejahatannya ke polisi, tapi Jeremi hanya menjadi tahanan bebas.
“Kalau lo mau, gue bisa menjamin lo nggak terlibat.”
“Syaratnya?”
Oh, gadis ini pintar, pikir Jeremi saat itu. Cara bicaranya, gestur tubuhnya, raut wajahnya ... mengagumkan. “Jadi pacar gue.”
Berlian menoleh sepenuhnya. Seringai kecil muncul di sudut bibir tipis itu. “Gue lebih baik di-DO.” Kemudian, dia pergi. Begitu saja, meninggalkan Jeremi yang masih takjub oleh tingkahnya sendirian.
“Udah inget?” tanya elaki itu sekali lagi, berhasil menarik Berlian dari lamunan masa lalu mereka.
“Dulu lo nggak bertato,” dia mengedikkan bahu, “dan berewok setebal itu.” Tapi, sekalipun tanpa berewok dan tato, Berlian tetap tidak yakin dirinya akan mengingat Jeremi bila mereka bertemu. Karena sejujurnya, sejak dulu Berlian tidak benar-benar memperhatikan wajah Jeremi. Baginya, orang yang patut diingat hanya mereka yang bisa jadi menguntungkan di masa depan, atau justru menjadi sandungannya nanti. Lebih dari itu, tidak penting.
“Dulu kita mahasiswa dengan segudang aturan. Kalo tampilan gue kayak gini, masuk universitas pun gue nggak bakal lulus. Lagi pula, sekarang gue ada bisnis tato di sini.”
“Oh,” respons Berlian pendek. Sama sekali tidak tertarik.
“Kalo lo mau, khusus buat lo, tato gratis di tempat gue.”
“Di garis bikini, bisa?”
Sekali lagi, setelah bertahun-tahun, Jeremi kembali dibuat takjub. Dia tahu Berlian tidak bersungguh-sungguh dengan tato di garis bikininya. Pertanyaan itu sekadar ... apa sebutan yang tepat? Yang pasti, Berlian memang begitu. Dari kulitnya yang bersih dan mulus, Jeremi tahu Berlian bukan tipe perempuan yang suka menato kulit dengan gambar-gambar.
“Di tempat mana pun lo mau.”
Dan sekali lagi, Jeremi kehilangan kata-kata saat Berlian mengulurkan tangan meminta kartu nama. Wanita ini tidak serius, kan?
Setelah mendapatkan kartu nama dari Jeremi, Berlian langsung pergi. Begitu saja. Kembali ke arah tempatnya semula dengan langkah anggun dan rasa kepercayaan diri yang menguar dari setiap gerak tubuhnya.
Matahari sudah tenggelam, menyisakan jingga yang belum benar-benar hilang. Berlian memeriksa ponsel, berharap menemukan pesan atau panggilan telepon dari Akira yang butuh waktu terlalu lama untuk mengambil mobil. Apa memang area parkir sepadat itu?
Satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda Akira kembali. Dan firasat menyebalkan berbisik bersama angin pantai yang mulai menusuk tulang bahwa ... Akira lagi-lagi meninggalkannya sendiri.
Kalau benar demikian, Akira keterlaluan sekali. Atau mungkin dia kembali bertemu Nara, hingga membuatnya lupa bahwa Berlian ada bersamanya. Berengsek!
Berlian mengenakan cardigan panjangnya untuk menghalau dingin. Dia buka orang bodoh, dan tidak ingin tampak seperti manusia dungu yang menunggu termangu di pantai yang mulai sepi. Kerlip satu dua bintang yang mulai menampakkan diri terlihat saat ia berdiri. Laut mulai berubah warna menjadi biru pekat, lalu menghitam seiring berkurangnya cahaya. Berlian benci hitam. Ia harus lekas pergi dari sini. Dengan atau tanpa Akira sekali pun.
Namun, sebesar apa pun rasa kesalnya pada lelaki itu, Berlian masih saja berharap Akira benar berada di parkiran, sedang berkutat dengan mobilnya. Yang tentu saja tidak. Parkiran tampak lega. Tidak ada lagi mobil sewaan Akira di sana. Berlian mengepalkan tangan. Ia benci perasaan diabaikan yang kini menusuknya.
Menghentak-hentakkan kaki yang sudah dibungkus dengan sneakers bersol tebal, ia melangkah menjauh dari parkiran. Lokasi penginapannya memang tidak terlalu dekat dengan pantai, tapi tidak terlalu jauh juga. Berlian memutuskan tidak mau repot-repot memesan ojek atau taksi. Lebih-lebih, belum tentu ia mendapat driver dengan kendaraan yang bagus.
Namun belum cukup jauh melangkah, Berlian sudah merasa kelelahan. Padahal ini baru beberapa meter dari area parkir. Menyebalkan.
Berlian lelah, butuh mandi, dan ditinggal sendiri. Malang sekali nasibnya!
Menendang kerikil berukuran cukup besar di trotoar, Berlian mendengar ringisan kesakitan setelahnya. Mendongak, ia dapati lelaki menyebalkan lain satu setengah meter di depan sana.
Narendra, siapa lagi? Dan Berlian mendapati perasaan puas tendangan kerikilnya mengenai si antek-antek Nara.
“Sekarang lo nggak bisa ngelak. Lo bener-bener ngikutin gue!” tudingnya.
Narendra menatap dengan wajah mengejek yang membuat Berlian makin geram. “Heloooo .... sori ya, Mbak, Mbaknya nggak sepenting itu buat saya.”
“Kalau emang nggak ngikutin gue, terus ngapain lo di sini? Jangan bilang kebetulan. Kebetuan kok keseringan.”
Narendra mengangkat satu alisnya yang setebal ulat bulu. Dia menelengkan kepala. Menatap Berlian seolah wanita itu orang gila. Lantas menunjuk ke atas. Pada papan tanda masuk area mesjid, yang praktis membuat sepasang pipi tinggi itu merona.
Berlian berkedip, mendadak kehilangan kata-kata. Saat menatap Narendra sekali lagi, ia baru sadar bahwa sebagian rambut lelaki itu basah. Ah, wanita itu meringis. Seharusnya ia melihat tempat tadi.
“Gue ber-Tuhan, jadi butuh meluangkan waktu buat ibadah. Entah sama lo.”
“Menstruasi!” Berlian mengangkat dagu tinggi, agak sakit hati dengan kalimat terakhir Narendra yang seolah menuduhnya tidak ber-Tuhan. Berlian memang bukan hamba yang taat, tapi bukan berarti antek-antek Nara bisa menyebutnya sekasar itu.
Narendra mendengus mendengar pembelaan dirinya, padahal Berlian sedang tidak berbohong.
Wanita itu kembali membuka mulut untuk melontarkan kalimat pedas lain, tapi Naren lebih dulu mendahuluinya. “Sekarang terbukti kan, gue nggak ikutin lo, Bimbing!”
Berlian berkedip. Seluruh kosa kata yang sudah berada di ujung lidah, berhamburan mendengar dua silabel terakhir Narendra. “Bimbing?” ulangnya. Kebingungan. Apa itu bimbing? Sejenis umpatan baru atau—
“Kalau cowok menyebalkan diejek dengan sebutan Bambang, kalau cewek berarti Bimbing, kan?” jawab si lelaki menyebalkan sambil mengedikkan bahu.
Sialan. Dia korban instagram. Berlian mengumpat dalam hati. “Nama gue Berlian, bukan Bimbing!”
“Gue suka Bimbing. Masalah buat lo?”
Kenapa dia menyebalkan sekali? Berlian mencengkeram tali tasnya erat-erat. Ingin memukul mulut yang tersenyum separuh itu. “Terserah!”
“Emang terserah gue.” Dia mendengus, lantas berbalik pergi, hendak meninggalkan Berlian sendiri.
“Lo mau ke mana?” Berlian bertanya dengan nada ketus seperti biasa. Oh, dia tidak sudi beramah-tamah ria dengan teman Nara yang suka ikut mencampuri urusannya.
“Balik lah,” sahut Naren bahkan tanpa menoleh. Lelaki itu menyeret kakinya beberapa jengkal dan berhenti di dekat sepeda ontel yang diparkir di bawah pohon dekat trotoar. Bocah kecil berbaju lusuh duduk di sampingnya, yang Naren beri uang dua puluh ribu kemudian. “Makasih udah jagain sepeda Kakak, ya,” ujarnya halus pada bocah tersebut.
Si bocah mengangguk. Tersenyum lebar menatap lembar hijau di tangannya. Pemandangan yang ... sama sekali tidak menarik.
“Lo pulang naik ini?” Berlian kembali bertanya, menunjuk sepeda ontel yang mulai Naren naiki setengah jijik. Itu kemungkinan sepeda ontel sewaan dengan dudukan tinggi dan beberapa bagian yang mulai berkarat meski secara keseluruhan masih tampak bagus.
“Kalau iya, masalah?”
“Gue ikut!” kata Berlian spontan yang berhasil membuat Naren ... nyaris menjatuhkan rahangnya ke bumi.
Yah, menolak memesan taksi atau ojek daring, dan berakhir memaksa berbonceng pada Naren, Berlian tahu ia terdengar plinplan. Tapi jarak penginapan ternyata tidak sedekat itu. Hanya beberapa ratus meter memang, tapi ternyata sangat melelahkan bila berjalan kaki. Dan memesan taksi atau ojek, sama saja ia harus menunggu sampai driver datang, sedang ia tidak sesabar itu. Kantuk sudah berada di ujung bulu mata lentiknya.
“Sori, gue nggak menawarkan tumpangan!” Narendra langsung mengayuh sepedanya pergi. Meninggalkan, benar-benar meninggalkan Berlian yang tercengang seorang diri di pinggir trotoar. Menatapnya yang makin menjauh ... jauh, lalu menghilang di tikungan depan.
Demi ... demi apa Berlian ditinggalkan?
Ditinggalkan!
Sialan, tidak pernah ada seorang pun yang pernah menolak seorang Berliana Pratista. Tidak pernah! Apalagi dari golongan kaum Adam!
Narendra benar-benar!
8th Temptation Apa kata wanita itu? Mau ikut Naren kembali ke hotel? Bah, seolah ia sudi saja membonceng seorang Berlian yang bahkan menatap sepeda ontel sewaannya dengan tatapan jijik. Siapa pula dia? Seenaknya meminta bantuan tanpa kata tolong. Dan Naren yakin, kalau pun tadi ia menyanggupi, Berlian pasti akan duduk bak ratu di besi belakang dengan punggung setegak papan kayu dan posisi tangan terlipat anggun di pangkuan. Lalu setelah sampai, ia akan turun kemudian pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih, seolah Narendra semacam jin tak terlihat yang mampu mengabulkan tiga permintaannya. Tapi, seorang Berlian tidak akan cukup dengan hanya tiga permintaan. Pun jelas, ia bukan meminta melainkan memaksa atau menekan. Tapi, maaf maaf saja, Naren bukan tipe pria yang bisa buta oleh pesona Hawa. Logika berada di urutan yang lebih tinggi dari nafsu belaka.
Menggeleng untuk melupakan si pelakor tidak tahu diri dan entah apa yang sedang dilakukannya sekarang—ngesot, merangkak, berlari, berjalan, atau menaikkan rok sepaha atas untuk menghentikan kendaraan sebagai tumpangan demi bisa sampai di hotel tanpa tetes keringat yang akan mengurangi pesonanya—Naren melangkah memasuki lobi hotel. Kamera DSLR yang memang dibawanya dari Jakarta masih tergantung manis di leher dengan puluhan atau bahkan ratusan gambar yang berhasil dijepretnya sejak tiba di Bali.
Beberapa meter dari lift, Naren dapati sosok sepasang manusia yang berdiri bersisian menunggu pintu aluminium yang akan membawa mereka ke lantai atas. Narendra menyipit. Pasangan yang sama sekali tak serasi itu tidak lain adalah Akira beserta istri yang tak dianggap. Nara.
Tunggu, kalau Akira di sini ... lalu Berlian?
Naren sempat mengira Berlian dan Akira bertengkar, lalu si pelakor memilih pulang sendiri karena marah dan meninggalkan Akira kelimpungan di pantai. Namun, sepertinya dugaan Naren salah.
Jelas salah, si tukang selingkuh tidak seharusnya di sini, kan? Kecuali, lagi-lagi kalau ia melupakan kekasihnya.
Uh, oh. Ini luar biasa. Si pelakor yang malang. Ditinggal pacar dan berjalan pulang sendirian. Ah, Naren jadi sedikit merasa bersalah meninggalkannya. Tapi tak apa, sesekali dia memang butuh diberi pelajaran hanya agak sedikit lebih tahu diri saja.
Memasukkan dua tangan ke dalam saku celana, Narendra mendekati posisi mereka dan berhenti di belakangnya sambil bersiul-siul. Kalau Akira selalu begini, misi Naren akan dengan mudah terselesaikan.
Barangakali mendengar siulannya, Nara menoleh. Awalanya sekali, tapi begitu mengenali sosok Naren, gadis itu menoleh lagi lantas memutar badan menghadap putra si putra tiri Agung. Matanya yang besar dan agak kemerahan berkedip-kedip. “Ren,” rengeknya dengan suara yang gemetar, membuat Narendra praktis berhenti bersiul. Lebih-lebih, Naren baru menyadari wajah Nara pucat pasi, juga rambutnya yang berantakan.
Melihat kondisi mengenaskan gadis itu, tatapan tajam Naren langsung tertuju pada Akira yang ikut berbalik dan menatapnya jengah. “Lo apain Nara?”
Satu alis Akira terangkat. “Seolah gue sudi ngapa-ngapain dia,” katanya seketus biasa.
Mendengar jawaban Akira, bibir pucat Nara mengerucut kesal. Ah, setidaknya bila sudah bisa berekspresi seperti cocor bebek, kondisinya tidak separah itu. “Gue dirampok Ren,” adunya dengan mata berkaca-kaca. Dua tangannya saling bertaut di depan perut dengan bibir mencebik menahan tangis. “Hape, uang tunai sama seluruh isi tabungan gue abis. Gue nggak punya duit lagi sekarang. Gue harus gimana?” Nara maju setengah langkah, menarik ujung baju depan Narendra seperti bocah yang sedang mengadu pada ayahnya. “Niat liburan ke Bali buat seneng-seneng, harta gue malah abis, Ren.”
Oh, coba lihat ekspresi Akira sekarang. Tubuh lelaki itu menegang. Tatapannya tajem tertuju pada tangan Nara yang memelintir ujung baju depan Naren hingga kusut.
Narendra mendesah, bukan saatnya memikirkan urusan percomblangan. Nara sedang butuh dihibur. “Tapi, lo nggak apa-apa, kan?”
“Gimana lo bisa bilang gue baik-baik aja saat semua yang gue punya hilang gitu aja!”
Naren berusaha menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Demi apa, ia ingin berkata, uang masih bisa dicari, Ra. Alih-alih yang keluar dari katup bibirnya justru, “Asal dia nggak ngapa-ngapain lo. Asal lo masih utuh. Itu yang terperting.”
Sejenak Nara menatapnya. Lalu berkedip lambat. Satu air mata lolos dari ujung kelopaknya sebelum dengan cepat gadis itu hapus. Membuat hati Naren terenyuh juga. Semenyebalkan apa pun Nara, dia tetap temannya. Seseorang yang sudah Angung anggap seperti anak sendiri. “Gue nggak apa-apa. Cuma masih agak terguncang aja.”
“Lo inget siapa yang rampok? Atau posisi waktu itu apa ada cctv? Kali aja kita bisa ngusut ini.”
Nara menggeleng lemah. “Dalam mobil kan gelep, Ren. Gue jadi nggak bener-bener bisa lihat wajahnya. Tapi yang jelas dia masih muda, putih orangnya tiba-tiba di pantai tadi nawarin taksi.
Mendengar jawaban Nara, Naren yang mulai berspekulasi menelan ludah kelat, mendadak tersekat.
Beberapa jam lalu, ia melihat Berlian berbicara dengan pria seperti preman. Apakah Berlian meminta pria itu untuk mengerjai Nara?
Meski dari deskripsi orang yang Nara jelaskan tak seperti pria bertato yang ia lihat bersama Berlian tadi, tapi bisa jadi yang mencelakai Nara adalah anak buah preman itu.
Sial, kalau memang benar, Berlian bukan hanya perebut suami orang dan tidak tahu diri, tapi juga licik dan jahat. Bahkan mungkin lebih buruk dari iblis itu sendiri. Mimpi buruk apa ia sampai harus berurusan dengan jenis wanita terkutuk semacam Berlian?
Menarik napas untuk meredakan emosi yang mendadak berkobar dalam dadanya, Naren memejam sejenak. Saat kelopaknya membuka lagi, ia tersenyum penuh penghiburan. “Nggak apa-apa. Anggep aja itu bukan rejeki lo. Percaya aja, Tuhan akan mengganti dengan yang lebih baik,” ujarnya bijak, yang Nara angguki setengah hati. “Ayo, gue anter lo ke kamar,” tambahnya seraya hendak menghela tubuh kecil Nara yang tampak kuyu ke arah lift yang sudah kembali tertutup setelah sempat terbuka untuk menurunkan penumpangnya yang juga mereka abaikan beberapa saat lalu saat Akira justru mendorongnya menjauh dari wanita itu.
“Nara pulang sama gue!” geramnya dengan pelototan yang sama sadis dengan tatapan kesal Berlian. Barangkali mereka memang jodoh. Si berengsek dengan si licik.
Eh, tapi kalau Akira berjodoh dengan Berlian, kasihan Nara. Jangan sampai lah! Percuma juga nanti perjuangan Naren untuk membantu Agung menyatukan mereka.
“Dan kenapa kalau lo yang pulang sama Nara?” tanya Naren tak habis pikir. Perlukan dia juga menyatakan, gue nyaris pulang baren selingkuhan lo? Ah, tapi tidak. Ia tak mau terlibat pertengkaran konyol dengan anak sabahat ayahnya.
“Jadi gue juga yang berhak anterin dia ke kamarnya. Gue suaminya!”
Naren mengangkat dua alisnya tinggi. “Baru inget kalau udah punya bini? Dari kemarin ke mana aja?”
“Lo!” Akira marah. Dia merengsek maju untuk menghajar Naren yang dengan gesit mundur ke belakang seraya mendengus.
“Sori, gue bukan manusia barbar yang mau berantem di tempat umum. Silakan anterin istri lo sampai ke kamar. Gue mundur.” Seperti ucapannya, Naren mengambil satu langkah ke balakang dengan senyum penuh ejekan. Sebelum berbalik, ia sempat mendengar Nara mendebat suaminya dan mengatakan ia lebih suka diantar Naren ke lantai tiga, toh posisi kamar mereka berdampingan, yang Akira balas dengan geraman kasar, berhasil membuat Nara yang barangkali masih terguncang bungkam.
Oh, lupakan pasutri yang tak pernah harmonis itu. Naren punya tugas lain sekarang. Tugas yang lebih penting. Ia tidak ingin segalanya sia-sia dengan batu sandungan besar semacam Berlian. Dia berusaha menyatukan Akira Nara, sedang wanita itu melakukan sebaliknya.
Tentu saja, siapa kandidat yang lebih sepurna dijadikan suami dari segi fisik dan materi selain Akira?
Tapi, Berlian juga kaya raya. Dia anak salah satu konglomerat kenamaan tanah air. Ayahnya cukup dikenal masyarakat karena juga berkecimpung di dunia politik. Meski tanpa Akira, dia tetap akan hidup nyaman sampai tutup usia.
Cantik. Anak orang berada. Dan dari cara bicaranya, Naren tahu Berliana Pratista tidak bodoh. Wanita itu bukan jenis manusia yang mau dibutakan perasaan perasaan feminis bernama cinta. Tidak. Lantas, kenapa ia berkeras dengan Akira yang sudah beristri, saat dengan campur tangan ayahnya, Berlian bisa mendapat lelaki sebagus Akira?
Keluar dari hotel, Naren menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak tampak sosok Berlian di mana pun. Naren kemudian memutuskan menunggu si licik di depan pintu masuk. Bersandar di dinding dengan dua tangan terkubur dalam kantong celana sebetisnya.
Tak sampai setengah jam kemudian, wanita itu muncul. Kedatangannya yang dilatari lampu sorot kendaraan di belakang sana, sekilas membuat Berlian terlihat seperti dewi malam yang mendadak datang dari ujung kegelapan. Kulitnya yang pucat tak pernah gagal terlihat bersinar, bagai mutiara yang keluar dari permukaan samudra, menarik perhatian setiap mata memandang. Tapi sayang, kecantikan fisik semacam itu tidak dibarengi sifat yang baik. Mungkin ini yang disebut iblis dalam raga malaikat. Atau mungkin serigala berbulu domba. Ah, yang kedua sepertinya lebih cocok.
Makin dekat sosoknya, Narendra tahu wanita itu pulang dengan berjalan kaki. Napasnya ngos-ngosan, pun titik-titik keringat yang memenuhi bagian atas keningnya, membuat sebagian rambut pendek sehitam dosa itu lembab.
“Tuan putri kita akhirnya tiba dengan selamat,” sambut Naren dengan nada penuh cemooh. Tangan yang semula terkubur dalam saku, kini terlipat rapat di depan dada. Suaranya yang berat dan dalam langsung menyita perhatian Berlian yang spontan menoleh ke arahnya dengan mata sipit yang disipitkan hingga tinggal segaris.
“Lo!” tuding sang ratu dengan napas terengah. Ugh, dia pasti kelelahan sekali. Ratu jahat yang malang. “Sialan lo! Ngapain lo berani muncul di hadapan gue! Mau ngejek karena akhirnya lo bisa nolak dan mengolok gue yang terpaksa jalan kaki?!”
Uh oh, kenapa yang ada di kepalanya selalu tuduhan dan prasangka buruk? Senyum palsu Naren menghilang secepat datangnya. Ia menjauhkan punggung dari tembok bercat putih yang mulai kusam itu, lantas mendekat pada Berlian yang berdiri bagai prajurit di medan perang. Dua tangan kecilnya terkepal erat, pun kepala yang mendongak tinggi. Ada kobar di matanya yang sehitam jelaga.
Tanpa mau repot-repot menjawab tuduhan, Narendra balik menuding. “Lo kan yang ngerjain Nara?”
Berlian berkedip cepat. Sejenak, kobar di matanya mengecil seiring timbulnya kerut samar di kulit halus antara dua alis lurus itu. Seolah sedang berusaha berpikir. Atau pura-pura berpikir. “Kenapa?” tanyanya kemudian, masih dengan nada angkuh yang sama. “Apa junjungan lo dijahati seseorang? Kalau benar, bagus lah. Dia pantas mendapatkan itu!”
“Jadi benar, kan? Lo dalang di balik semua ini?!”
Berlian tersenyum separo. Tampak begitu keji dan tak punya hati. “Dengar Pak Sok Suci, dosa gue mungkin jauh lebih banyak dari lo, tapi bukan berarti segala kejahatan yang terjadi pada orang-orang yang gue benci, dilatarbelakangi oleh dua tangan ini.” Berlian mengangkat dua tangannya yang tak lagi terkepal ke udara, menonjolkan cincin berlian besar hadiah ulang tahun dari Akira nyaris dua minggu yang lalu.
“Dan lo pikir gue percaya? Gue punya buktinya.”
Berlian mendengus jengah. “Bukti apa?”
Naren mengangkat kamera yang tergantung di lehernya. Lalu membalik menghadap Berlian, memperlihatkan sebuah gambar yang menampilkan sosok mungil wanita itu tengah berbicara dengan laki-laki bertubuh besar dengan gambar tato nyaris memenuhi seluruh kulitnya kecuali wajah. “Beberapa saat lalu lo ngobrol sama preman, dan setelahnya Nara dirampok. Kebetulan yang pas.”
Berlian menatap gambar itu nyalang selama beberapa saat sebelum menggeser gulir matanya, menusuk tepat netra cokelat Narendra. “Apa semua orang bertato itu preman dan jahat?”
“Kedok lo udah ketahuan, Bimbing. Lo nggak bisa ngelak lagi sekarang.”
“Buat apa mengelak dari sesuatu yang bahkan nggak gue lakuin, Bambang?!”
Naren menyerigai. Kilat di matanya kian tajam, menatap Berlian kejam seolah bisa mencabik-cabik kulit sebening mutiara itu. “Gue bakal tunjukin gambar ini sama Nara. Kami bisa melaporkan lo sama polisi.”
“Apa ini ancaman?” tanya Berlian tanpa rasa takut. Wanita itu balas menatap Naren dengan sorot polos dengan dua alis terangkat dan kening berkerut. Dia lalu mengedik. “Lakuin aja. Sayangnya gue sama sekali nggak takut, Pak Sok Suci.”
Sial. Wanita ini tidak gampang digertak. Naren mengumpat dalam hati. Oh, sejak mengenal wanita ini, dia jadi hobi sekali mengumpat. Berlian memang pengaruh buruk. Sangat buruk. “Ini bukan Cuma gertak sambal.”
Berlian tertawa dibuat-buat. Gigi gingsulnya terlihat memikat. “Lakuin apa pun yang lo mau. Tapi, sebelum menunjukkan kebodohan ke seluruh dunia, gue saranin lo satu hal.” Dia merogoh sesuatu dalam tas selempangnya yang berbentuk kotak kecil dengan merek mahal yang terpampang di bagian depan. “Ini,” ia mengulurkan kertas kecil kaku dengan sederet tulisan sederhana di dalamnya, yang Naren terima dengan kasar.
“Jeremi ....” ujar wanita itu setengah menggantung dengan kepala meneleng, seolah sedang berusaha mengingat, “gue lupa nama belakangnya. Nggak penting juga sih. Dia kakak tingkat gue waktu kuliah. Seperti tuduhan lo, dia preman, tapi waktu di kampus. Entah kalau sekarang. Tadinya ngaku Cuma punya bisnis tato di Bali. Mungkin dia bohong dan memang punya bisnis ganda. Dia yang tadi ngobrol sama gue. Tapi kalau lo ketemu dia nanti, tanya baik-baik aja ya, jangan main tuduh. Dia anak mantan pejabat penting. Salah-salah, lo yang dilempar ke penjara,” tambahnya dengan nada ringan penuh kemenangan. Menyeringai setengah mendengus, si licik itu melanjutkan langkahnya setelah memberi tepukan remeh di bahu Narendra. “Lain kali, tolong berpikir jernih sebelum menjatuhkan tuduhan, Pak Sok Suci. Dan gue baru tahu kalau lo sekagum itu sama gue sampe ngambil potret gue diem-diem.” Lalu benar-benar pergi. Melangkah seanggun ratu menuju lobi hotel yang masih cukup ramai.
Naren meremas kartu nama di tangannya lantas melempar kertas kaku itu ke bak sampah terdekat. Jadi, Berlian tidak ada hubungannya dengan masalah ini? Huh! Padahal Naren berharap wanita itulah dalangnya agar ia bisa mengancam Berlian menjauhi Akira.
Lalu, harus dengan cara apa ia menyingkirkan si ular berbisa dari sisi Akira setelah ini? Akira sudah mulai menunjukkan rasa peduli walau hanya secuil pada Nara, tapi percuma kalau masih ada lintah darah yang selalu menempelinya!
9th Temptation
Nara akan dipulangkan hari ini oleh Akira lantaran insiden kemarin. Yah, Naren tidak bisa menyalahkan suami tukang selingkuh itu. Nara memang tidak bisa dilepas seorang diri. Tapi, memulangkannya juga bukan pilihan yang benar. Nara bahkan belum sempat melakukan semua rencananya selama liburan di Bali. Tapi, ya sudahlah, Naren tidak bisa ikut campur lebih jauh.
Sebagai bentuk penghiburan bagi gadis itu Naren berencana menteraktirnya sarapan pagi ini sebelum Nara kembali ke Jakarta.
Siapa sangka masih ada kesempatan untuk melakukan misi. Lihat di sudut sana, Akira sedang bersantap ria bersama selingkuhannya. Dan hanya dengan sedikit dipanas-panasi, Nara langsung terbakar dan menyeretnya ke sisi meja sang suami, hendak bergabung tanpa undangan dengan dua manusia itu.
Naren berusaha untuk tidak berdecak jengkel saat gadis itu mengempas tangannya yang main diseret paksa begitu mereka sampai di sisi meja Akira dan Berlian hingga membuat lengan kemejanya kusut masai saking eratnya dia mencengkeram. Dasar teman tak ada akhlak memang gadis yang sudah dianggap anak sendiri oleh Agung ini. Andai sedang tidak dalam misi, Naren mungkin sudah akan mencekiknya.
Pagi ini, Narendra juga ada janji temu untuk survei lanjutan. Ia tampil santai mengenakan celana pendek selutut berwarna khaki, kaus putih berlengan pendek yang dilapisi kemeja biru dengan kancing depan yang dibiarkan terbuka. Niatnya, setelah menemani Nara sarapan, ia akan langsung berangkat. Siapa mengira mereka akan bertemu dengan pasangan selingkuh di restoran hotel? Dan godaan untuk mengompori Nara sama sekali tak terelakkan.
Kita duduk di sini? Naren bertanya sok polos, bersikap seolah tak ada orang lain di meja itu yang sontak menghentikan kegiatan begitu mendapati sosok yang tak diharapkan datang mengganggu. Yang Nara jawab dengan manis
Menarikkan kursi untuk Nara duduki di bawah tatapan tajam Akira dan Berlian, Naren menunduk rendah. Ia berbisik—tidak bisa disebut bisikan juga karena ia sengaja sedikit mengeraskan suara agar kalimat lembutnya bisa didengar dua pasang telinga lain di meja yang sama.
“Gue ambilin sarapan kita dulu, ya,” yang diangguki Nara. Setelah berbalik, seringai licik Naren tak bisa ditahan. Ia sempat melirik Akira dan melihat lelaki itu sedang menatap penuh permusuhan.
Uh, oh, ini seru. Lebih-lebih Berlian dan Nara yang langsung siap dalam mode perang. Bisakah Naren langsung pergi saja dari sini dan menemui temannya?
Tentu saja bisa, asal setelahnya nanti ia harus bersedia mendapat omelan panjang dari Nara yang cerewetnya kadang bikin pusing. Tidak lah, terima kasih. Lagi pula, kapan lagi ia bisa menyaksikan perang mata istri sah dan selingkuhan secara langsung, kan? FTV ikan terbang pasti kalah seru.
Saat kembali ke meja dengan nampan berisi sarapannya dan Nara, Naren mendengar desisan ular betina yang duduk di samping Akira. “Apa aku memintamu duduk di sini?” Dua tangannya yang seputin porselen mencengkeram gagang garpu dan sendok. Tatapan tajam yang ia layangkan pada Nara sukses membuat bulu kuduk Naren berdiri.
Kenapa selingkuhan selalu lebih sadis dari istri sah, sih?
Berusaha mengabaikan adu laser dua wanita Akira, Naren menarik kursi untuk dirinya sendiri, lantas menaruh piring sarapan Nara di depan gadis itu. Nara bukan tipe manusia pemilik perut yang bisa dikompromi hanya dengan sepotong kue. Sarapan, makan siang, dan makan malamnya tak ada beda. Pokoknya harus pakai nasi. Hanya saja, untuk menjaga harkat dan martabat Nara di depan sang rival yang cara makannya saja begitu elegan, Naren sengaja memesankan Nara panekuk.
“Apa aku perlu izin untuk duduk satu meja dengan suamiku?” Nara membalas seraya melirik Naren jengkel. Entah jengkel karena dipaksa duduk satu meja dengan Berlian, atau karena sudah dipesankan kue bulat yang pasi tak akan membuat perutnya kenyang. Atau mungkin dua-duanya.
Namun lebih dari itu, Naren merasa cukup salut karena ternyata gadis ini berani juga menghadapi Berlian. Yang memang sudah seharusnya.
“Dasar kamu, tidak tahu malu!” serang sang orang ketiga yang barangkali sudah tak lagi bernapsu menyantap wafelnya, dan lebih suka melumat harga diri Nara, yang untungnya gagal.
Gadis bergaun merah cabe—ugh, Naren tidak terlalu suka dengan gaya fesyen teman seperjalanannya ini—berdecih. Ia dengan gerakan anggun dibuat-buat, mulai memotong panekuk, menusuk dengan garpu, lantas memasukkan ke dalam mulut. Sengaja mengunyah pelan dan lama sebelum menelan dan memberi serangan balasan. “Lalu, perbuatan apa yang tidak memalukan? Duduk di samping suami orang?”
“Nara!”
Ah, si suami tukang selingkuh angkat bicara. Naren meliriknya, lantas mengambil gigitan besar sandwich dengan santai seolah dia makhluk tak kasatmata.
Mendengar pembelaan itu, si ular betina tersenyum penuh kemenangan. “Lihat? Yang kamu sebut suami bahkan tidak menerima kamu di sini.”
“Bagian mana yang bisa disebut tidak menerima? Akira hanya menyebut nama istrinya.” Tersenyum manis, Nara menoleh pada lelaki yang duduk di seberangnya, bersisian dengan si wanita simpanan. “Kenapa, Sayang?”
Bravo! Naren ingin berteriak sambil mengepalkan tinju ke udara, tapi terpaksa menahan diri dan tawa dalam kunyahan besar. Uh, uh, dia suka adegan ini!
“Pergilah,” ujar Akira tajam dengan mata menyipit kesal. Pisau dan garpu sudah terlepas dari tangannya, seolah kehadiran Nara dan Naren yang tanpa undangan sudah membuat ia kekenyangan.
Nara yang memang asngat menjengkelkan kadang-kadang, bahkan agak memalukan di lain waktu, berkedip manja. “Tapi, aku lapar,” rajuknya seraya kembali menusuk sepotong panekuk dan melahapnya. Sambil mengunyah, ia menatap Berlian yang tak lepas memandangnya penuh amarah, juga Akira bergantian. “Kenapa malah diam? Ayo makan? Ini menunya enak loh!” menurunkan pandangan, Nara berkedip pelan menatap menu sarapan Akira yang baru habis separuh, lalu tanpa permisi, ia mengambil bagian yang sudah terpotong dengan garpu, lantas memakannya serta. “Hmm, ini juga enak!”
Serbet, mana serbet? Atau paling tidak majalah, koran atau apa pun? Narendra butuh sesuatu untuk menutup wajahnya demi menahan malu. Tak bisakah Nara sejenak saja bersikap lebih elegan dari Berlian, alih-alih menampilkan tingkah kampungan macam itu!
Dan diperparah dengan ...
“Kamu udah kenyang apa gimana?” tanyanya pada Akira yang bersandar dengan dua tangan terlipat erat di depan dada. Jelas dia marah. “Kalau kamu nggak mau, biar aku yang makan ini, ya. Mubazir kan kalau dianggurin aja.”
Seharusnya tadi Naren benar-benar memesankan Nara nasi saja. Dua piring kalau perlu. Sudah jelas panekuk degan lelehan madu tak akan cukup membuat naga dalam perut Nara diam hingga ia berkelana ke piring orang lain. Di depan calon madunya pula yang kini menatap gadis itu dengan pandangan ngeri dan jijik.
“Rakus!” komentar Berlian tajam, dan Naren tidak bisa menyalahkannya meski ia ingin sekali menyumpal mulut wanita itu dengan kaus kaki. “Bahkan anjing jalanan tidak bertingkah semenjijikkan itu.” Dia kemudian ikut melanjutkan makan, lalu mengambil sedikit bagian untuk disuapkan pada Akira, yang si berengsek terima dengan senyum kecil di bibirnya. Bah!
Akira tersenyum pada selingkuhan yang menyebut istrinya lebih menjijikkan dari anjing jalanan. Manusia macam apa sebenarnya dia? Seharusnya Akira yang Berlian sebut anjing, bukan Nara!
“Kalau mengambil makanan suami disebut rakus, lalu perebut suami orang sebutannya apa?” Nara menelan kunyahan dalam mulutnya, ia mendongak menatap Berlian yang duduk setegak papan kayu dengan tatapan menantang. “Maruk? Serak—ah!” kata-katanya terputus saat Berlian yang sudah pasti mulai kesal menyiram si malang Nara dengan air minum. Yang sudah tentu berhasil menarik perhatian para pengunjung lain. Bahkan Naren tersedak dibuatnya. Tak menyangka Berlian akan bersikap barbar di depan umum.
“Lian, apa yang kamu lakukan?” Akira bangkit berdiri, menegur kekasihnya yang hilang kesabaran. Atau bahkan mungkin sudah hilang akal. “Jangan sembarangan kamu!”
Tak terima disalahkan, Berlian berbalik ke arah kekasihnya dengan wajah merah padam. “Kamu bela dia?!”
Naren yang dilema antara butuh minum secepatnya tapi kasihan melihat Nara basah kuyup seperti kucing tercebur got, pada akhirnya lebih memilik mengambilkan tisu dan menyerahkannya pada istri yang tak dianggap itu. Yang justru ditolak. Ditolak! Nara malah bangkit berdiri.
“Aku tidak perlu dibela!” geramnya.
Naren butuh minum. Terserah sekali pun mereka mau perang. Terbatuk sekali lagi, ia menjulurkan tangan untuk meraih jus jambunya, tapi kalah cepat dari Nara. Naren yang malang hanya bisa meraih angin, sedang minumannya yang belum tersentuh itu, Nara siramkan pada Berlian.
“Nara! Apa-apaan kamu!” Tegur Akira yang barangkali tak terima kekasihnya disiram. Tapi Nara yang terlanjur marah, lebih memilih pergi dari sana yang langsung suaminya kejar. Meninggalkan Berlian yang ternganga tak percaya dirinya dipermalukan.
Naren ikut ternganga. Sudah pasti. Dia berkedip, bingung antara harus tertawa atau menangis. Tapi bagaimana cara tertawa saat tenggorokannya serak? Peduli setan dengan milik siapa minuman yang tersisa, Naren mengambil dan langsung meneguk rakus. Setelahnya, ia mendesah lega dan bersandar pada punggung kursi. Lalu menyadari bahwa Berlian masih di sana. Berdiri di seberang meja dengan tangan-tangan terkepal, menatap pada kejauhan. Ke arah Akira dan Nara menghilang.
Uh, uh. Lagi-lagi si pelakor ditinggal sendirian. Ah, bukan. Jelas tidak sendiri tapi dengan Narendra yang sial.
Tapi, maaf saja, dia tidak mau menghibur wanita ini. Jadi jalan teraman adalah ... Naren bangkit berdiri, siap melipir pergi saat Berlian meraih tasnya lebih dulu dengan kasar lantas keluar dari balik meja. Dia melangkah penuh amarah ke arah pintu hingga tidak memerhatikan pelayan yang sedang membawa nampan pesanan, lantas menubruknya. Membuat semua isi nampan jatuh berhamburan dengan bunyi denting keras.
Berlian yang sejak pertengkarannya dengan Nara sudah menyita perhatian semua pengunjung, makin mengundang perhatian hingga semua mata menatap ke arahnya. Dan itu tentu memalukan sekali. Tapi, Naren ragu wanita itu merasa malu, karena wanita yang masih punya urat malu tidak akan merebut suami orang.
“Lo punya mata nggak sih?” Alih-alih minta maaf, Berlian malah membentak pelayan perempuan yang ditubruknya.
“Maaf, Mbak. Mbaknya tadi yang jalan nggak liat-liat.”
“Oh, jadi lo nyalahin gue?”
Pelayan itu menunduk, posisinya tidak menguntungkan. Pelanggan adalah raja, dan ia yang tahu diri memilih diam. Tapi Berlian yang sepertinya butuh pelampiasan atas amarah yang terlanjur berkobar, berteriak memanggil pelayan lain yang hendak kembali ke ruang belakang.
“Panggil manajer restoran ini sekarang juga!”
“Tapi—”
“Sekarang!”
Menatap kawannya yang berdiri menunduk di hadapan Berlian, pelayan laki-laki yang diperintah seenaknya oleh tamu tak tahu diri itu hanya bisa menurut. Sedang pelanggan sialan yang sudah membuat kekacauan, berdiri bertolak pinggang bagai ratu kejam, seolah tak peduli penampilannya mirip gembel dengan rambut serta pakaian basah dan tampak lengket oleh jus jambu.
“Ya, Mbak, ada yang bisa saya bantu?” Manajer restoran ini merupakan laki-laki berperawakan tinggi kurus dengan rambut kelimis. Ia menghampiri Berlian dengan senyum sopan yang tak pantas wanita itu dapatkan, ada kernyit samar di keningnya. Barangkali dia bingung bagaimana Berlian bisa tampil sekacau itu.
“Saya mau pelayang yang ini dipecat!”
Tak hanya sang manajer yang kaget dengan perintah seenak jidat itu, Naren pun demikian.
Apa katanya? Berlian meminta si pelayan tak bersalah itu dipecat? Berlian benar-benar keterlaluan.
“Tapi, Mbak,” si manajer yang jelas masih punya hati, tentu tak langsung menurut, “boleh kami tahu apa salahnya?”
“Dia nggak becus kerja! Dia sudah menabrak saya sembarangan. Kalau sampai saya jatuh dan kepala saya terbentur meja, apa kalian mau tanggung jawab?!”
Mulut manajer itu terbuka. Ia melirik Berlian, lantas menatap pegawainya untuk mencari pembenaran. “Betul kamu melakukannya?”
“Mbaknya ini yang jalan nggak lihat-lihat, Pak,” jawab si pelayan takut-takut.
“Jadi kamu menyalahkan saya?” Berlian menyalak tak terima. “Lihat, betapa tidak sopannya dia!”
Naren yang jengah dengan pemandangan penuh penindasan di depan matanya, tidak tahan. Ia pun melangkah mendekati posisi mereka yang menjadi pusat pergatian para pengunjung lain. Naren tahu tidak seharusnya ikut campur, tapi Berlian sudah keterlaluan! “Emang lo yang salah. Lo yang nabrak dia. Lo yang bikin pesanan yang dibawanya jatuh!”
Mendengar nada penuh tuduhan itu, Berlian menoleh. Naren tertegun saat bukan kobar amarah yang ditemukannya dalam telaga bening yang sehitam malam itu, melainkan sesuatu. Sesuatu yang tidak terlalu ia pahami.
“Nggak usah ikut campur!”
“Bagaimana bisa gue nggak ikut campur saat ada orang nggak bersalah yang lo zalimi!”
“Zalim?” ulang Berlina setengah histeris. “Dia yang nggak becus bekerja! Dia sudah menabrak pelanggan. Memecahkan piring dan gelas restoran ini! Lo mikir nggak sih, kalau setiap hari pelayan semacam ini melakukan hal yang sama, berapa kerugian yang harus restoran ini tanggung!”
“Seolah lo peduli sama restoran ini!”
“Gue emang nggak peduli,” sahut Berlian terang-terangan. “Tapi gue juga liat kemarin pelayan yang satu ini,” ia menunjuk pelayang wanita berseragam hijau itu dengan jari tanpa rasa hormat, “juga melakukan hal yang sama pada pelanggan yang lain!”
Naren membuka mulut, siap mendebat, mengatakan pada Berlian untuk tidak asal bicara. Namun Naren terpaksa mengatupkan bibirnya kembali saat mendengar desah panjang sang manajer yang membenarkannya.
“Ini yang ketiga dalam Minggu ini,” katanya sambil menatap si pelayan dengan pandangan lelah. “Kami akan menindak lanjuti laporan Anda,” tambahnya pada Berlian dengan senyum sopan seperti sebelumnya. “Maaf untuk ketidaknyamanan ini. Sebagai bentuk ungkapan permintaan maaf kami, Anda bisa makan gratis siang nanti.”
“Baguslah!” Wanita jahat itu tersenyum penuh kemenangan pada Naren, lantas mengibas rambut pendeknya yang basah sebelum berbalik. Pergi dari sana dengan langkah anggunnya yang menyebalkkan.
Bagaimana bisa dia masih tampil percaya diri dengan penampilannya yang mengerikan? Dan bagaimana bisa seseorang membuat Naren kesal di setiap pertemuan.
Ya Tuhan ... Naren merintih dalam hati, jauhkan hamba dari manusia semacam Berlian.
10th Tamptation Terserah.
Berlian meminta putus dan Akira bilang terserah?
Jadi, begini akhir hubungan yang sudah mereka jalin selama tiga tahun?
Berlian tertawa setengah histeris. Lalu, apa arti tiga tahun ini bagi Akira? Atau memang sejak awal tidak ada artinya. Harta berarti segalanya bagi lelaki itu. Hanya separuh harta, yang bahkan bisa didapat kembali dengan mudah menggunakan otaknya yang cerdas itu.
Namun, pada akhirnya tetap Berlian yang harus mundur, kan? Pada akhirnya, dia tetap pihak yang kalah.
Kalah. Berlian mengepalkan dua tangannya di samping tubuh. Kukunya yang panjang dan terawat menekan kulit tengah telapak putihnya hingga terasa perih. Akira sudah memutuskan. Tidak ada masa depan untuk mereka. Sejak awal tidak pernah ada. Seharusnya Berlian memang tidak perlu harus mencoba sampai sejauh ini. Membuang-buang waktu selama bertahun-tahun demi apa?
Hanya pertaruhan konyol yang sedari dulu hasil akhirnya sudah dipastikan.
Tidak harta yang memang sudah menjadi hak lahirnya. Tidak juga keluarga sendiri yang sejak dulu dia inginkan.
Berlian pikir, dengan Akira dua hal itu akan bisa terwujud. Nyatanya, lelaki ini adalah bentuk kehancuran yang lain.
Jadi, kamu lebih memilih Nara? tanyanya bahkan tanpa menatap wajah lelaki itu yang kini bahkan membuatnya muak. Muak pada Akira. Muak pada keputusan bodohnya di masa lalu. Muak pada garis takdir yang selalu ... selalu seperti ini. Berlian mengepal tangan lebih erat hingga rasa perih di telapaknya kian tajam.
Kamu tahu, aku nggak ada dalam situasi bisa memilih, Lian. Aku nggak punya kebebasan sebesar itu! Akira memerhatikannya dari ranjang dengan tatapan yang dulu selalu berhasil membuat hati Berlian luluh. Dulu. Tidak lagi sekarang.
Tiga tahun sudah membuktikan betapa bodohnya Berlian. Dan lebih dari itu, berarti dia benar-benar dungu bila masih bersedia menunggu. Waktu terlalu berharga untuk dibuang percuma, apalagi hanya karena laki-laki yang tidak bisa tegas atas pilihannya.
Kamu punya, Akira. Kamu selalu punya kebebasan memilih. Menarik napas panjang untuk meredakan emosi yang meledak-ledak dalam dirinya, Berlian melangkah kaku ke arah jendela, lantas berdiri di sana. Dua tangannya tak lagi terkepal. Emosi yang berkobar, ia lampiaskan pada besi terali dalam cengkeraman erat hingga urat-urat tangannya menonjol. Tapi sejak awal, aku memang nggak lebih berharga dari harta kelurga kamu, gerahamnya mengeras, atau mungkin dari Nara.
Jangan pancing aku, Lian! Kamu tahu, kamu jauh lebih berharga dari wanita itu! Karena Berlian bahkan lebih peduli tentang dirinya, tentang semua pekerjaan yang menguras lelahnya di banding Nara yang selalu memikirkan uang dan uang.
Oh ya? Nada remeh dan menyebalkan itu sudah pasti berhasil membuat kekasih, ah ... mantan kekasihnya kesal. Berlian menoleh sedikit ke belakang, sebatas bisa menangkap sosok Akira yang duduk kaku dengan rahang terkatup dan bibir menipis lantaran emosi.
Ya, Akira memang harus marah. Berlian tidak terima bila dirinya terbakar sendiri di sini.
Jangan egois, Li! Ada Mama dan adik-adikku. Mereka lebih berhak atas harta Papa ketimbang Nara!
Dengan separuh harta keluarga Arundapati, mama dan adik-adik kamu akan hidup makmur selamanya. Dia tetap bisa melakukan apa pun. Jangan bodohi aku, Akira. Arundapati bukan keluarga yang bisa diremehkan. Dalam dunia bisnis, nama itu tertoreh menggunakan tinta perak. Yang berarti sangat diperhitungkan. Karenanya Harry, ayah Berlian bersedia menyiapkan taruhan besar hanya untuk bisa menjadikannya menantu. Fio juga sudah akan menikah. Kamu kenal calon suaminya. Tanpa harta keluarga kalian, dia akan tetap sama kaya dengan hari ini. Berlian mengernyit saat memaparkan fakta tersebut langsung dari bibirnya. Menyadari bahwa ... Arundapati memang sekaya itu. Seperempat dari aset yang mereka miliki masih terlalu banyak. Tapi, bahkan Akira tidak bisa mengorbankan sedikit untuk dirinya. Entah dia yang terlalu cinta dunia, atau tidak pernah berani kehilangan Nara.
Harta tidak seberarti itu seharusnya, kan? Tidak. Namun begitulah keadaannya. Harta selalu membuat orang buta. Mereka bahkan rela hidup tersiksa sepanjang usia. Atau mengikuti persyaratan gila demi bisa mendapatkannya.
Seperti Akira. Nara. Dirinya. Dan mungkin seluruh umat manusia atau paling tidak sebagian besar.
Namun Berlian hanya menginginkan hak lahirnya. Sendok emas yang memang sudah ia genggam sejak menghirup udara. Satu-satunya alasan ia dilahirkan.
Bila bara di tangan kanan tidak bisa dipadamkan, maka sendok emas di tangan kiri harus dipertahankan, bukan?
Berlian tertawa kering dan pahit. Kenyataannya, sendok emas itu sudah ia gadaikan sebagai taruhan dengan harapan kemenangan akan diperoleh.
Namun, saat permainan tinggal babak terakhir dan Berlian hanya butuh dua langkah untuk menang, dadu yang dilemparnya bergulir dan memberi hasil mengecewakan.
Satu angka yang dia dapat. Yang berarti kalah.
Kalah.
Sendok emasnya!
Berlian tertawa kering dan keras. Kemarahannya makin berkobar bagai si jago merah di tengah hutan belantara yang terik. Embusan angin hanya membuatnya kian membesar.
Dan ucapan Akira adalah angin itu sendiri. Seandainya kamu di posisi aku, apa yang akan kamu lakukan?
Pertanyaan gila!
Berlian melepas cengkeramannya dari birai, lantas berbalik menghadap Akira masih dengan tawa histerisnya. Kalau aku jadi kamu? Wanita itu menuding dirinya sendiri, menusuk-nusuk dadanya keras dengan jari telunjuk. Matanya yang merah memerangkap Akira dalam tatapan emosi yang tak ditutup-tutupi. Aku bahkan rela mempertaruhkan segalanya untuk menjadi kamu, Akira. Segalanya. Nyawa sekali pun bila diperlukan!
Seolah aku seberuntung itu!
Kamu memang beruntung. Sangat beruntung! Berlian ingin berkata demikian, tapi ia berusaha untuk tetap berpikir waras dan menggigit lidahnya keras-keras. Hubungannya dengan Akira sudah berakhir. Resmi berakhir siang ini. Perdebatan panjang mereka akan percuma saja. Tidak akan mengubah hasil apa pun.
Papa tidak cukup menyayangi dan mempercayaiku untuk menyerahkan sepenuhnya harta keluarga kami ke tanganku dan adik-adik Berlian. Dan itu bukan suatu keberuntungan.
Berlian mendengus jengah. Ia berbalik ke arah meja di samping ranjang. Mengambil tas selempang bermerek luar edisi terbatas yang dibelinya dengan uang sang ayah seharga gila-gilaan dan membuat Harry marah waktu itu. Tas yang kemudian ia cap sebagai kesayangan meski bentuk dan model sama sekali bukan seleranya.
Kamu punya keluarga besar, Akira. Mereka sangat mencintai kamu.
Karena itulah aku berusaha mati-matian mempertahankan harta keluarga kami! Tapi kamu tidak mau mengerti.
Satu alasan lain lagi. Berlian lelah selalu bertengkar karena alasan ini. Lantas berbaikan dengan alasan lainnya. Pada akhirnya ia akan tetap kalah. Tiada bedanya menyerah hari ini atau besok. Akira tidak akan melepas Nara dengan dalih harta keluarga Arundapati, dan Nara tidak akan melepas Akira sebab ingin hidup nyaman. Dua manusia itu bahkan rela mengabaikan masa depan karenanya.
Lucu sekali, kan?
Memakai tas dengan tangan gemetar lantaran amarah, Berlian tatap tajam vas kecil yang luput dari amukan tadi. Berharap tatapan itu akan bisa membuat si tembikar malang hancur. Dan saat yang ditunggu tidak terjadi, Berlian robohkan meja nakas sekali bantingan. Sukses membuat vas itu terpental sebelum akhirnya pecah berkeping-keping. Menimbulkan bunyi denting menyakitkan yang beradu dengan debum keras saat sisi samping meja menghantam lantai. Akira yang tak menyangka Berlian akan bertindak segila itu, terlonjak kaget dibuatnya.
Berlian! Dia berusaha menegur, tapi mantan wanitanya hanya berbalik badan dengan gerak anggun yang dipaksakan.
Aku akan pindah kamar, katanya dengan napas yang masih setengah memburu.
Akira berdiri. Berkedip. Lantas menyugar rambut ke belakang. Biar aku yang pindah. Kamu di sini saja.
Dan membiarkan kamu membayar kamar yang kutiduri? dengusnya. Maaf, bukan cuma kamu yang punya banyak uang untuk dihamburkan di sini. Dia pun melangkah, menjauhi Akira, menuju pintu kamar dan membukanya. Lantas berhenti di sana saat teringat sesuatu. Oh, aku hampir lupa. Ini milik kamu. Ia melepas cincin berlian besar di jarinya, melempar ke arah sang mantan, lalu pergi dari kamar. Juga dari hidup Akira. Laki-laki yang sangat ia perhitungkan tapi pada akhirnya hanya menjadi batu sandungan di masa depan.
Kini, Berlian harus mencari cara lain mempertahankan sendok emas juga untuk mencapai mimpinya. Mimpi yang sekarang terlihat begitu jauh. Sangat jauh. Seolah mustahil diraih. ¤¤¤ Maaf, Mbak. Kartu ATM-nya tetap tidak bisa. Ini sudah percobaan yang ketiga kali dan tetap tertolak. Mohon hubungi bank Anda untuk konfirmasi.
Ini tidak mungkin.
Berlian menerima kelima kartu ATM tak berguna itu dengan tangan setengah tremor dan pikiran mengerikan.
Panik, ia segera membuka ponsel. Memeriksa dua akun bank berisi tabungan pribadinya dan ... gagal masuk. Kode salah, padahal ia tidak pernah mengubahnya.
Ya ampun, jangan sampai. Jangan sampai. Jangan sampai!
Hal terburuk yang ia takutkan terjadi. Tapi ... tapi bagaimana mungkin orang itu tahu? Hubungannya dan Akira baru saja berakhir. Baru saja. Mereka bertengkar hanya berdua di dalam kamar hotel. Tidak ada siapa-siapa. Seharusnya si berengsek belum mendapat kabar tentang hal ini, kan?
Arg!
Berlian mematahkan kartu-kartu tidak berguna miliknya. Lalu berusaha mencari-cari di dalam tas dan dompet berharap menemukan uang tunai meski dirinya tahu tak akan ada. Berlian selalu menggunakan debit dan kredit.
Bagaimana, Mbak?
Nggak jadi!
Tanpa memungut kembali kartu-kartu yang sudah ia buang dan bercecer di lantai, Berlian melimbai pergi, keluar dari hotel dan batal memesan kamar baru.
Kalau begini, bukan hanya Nara yang akan pulang ke Jakarta. Juga dirinya. Tapi, Nara sudah pasti Akira belikan tiket pulang. Sedang Berlian?
Berpikir. Berpikir. Berpikir. Berlian menepuk-nepuk kepalanya keras. Dan kesal.
Dia bisa menghubungi Jeremi, pikirnya senang. Jeremi sudah tentu akan memberikan pinjaman, atau bahkan membelikannya tiket pulang secara cuma-cuma.
Dengan harapan besar, Berlian berhenti di samping gerbang masuk hotel. Ia kembali mengaduk-aduk isi tas hanya untuk teringat bahwa kartu nama lelaki tinggi penuh tato sudah ia berikan pada Narendra. Dan kemungkinan besar sudah dibuang.
Ugh! Sekarang bagaimana?
Berlian mengempas dirinya ke kursi panjang yang memang disediakan pihak hotel. Menekuri ponsel dengan kepala pening. Ia baru saja putus cinta. Untuk ukuran manusia normal, ia sedang dalam masa patah hati, tidak seharusnya langsung dihadapkan pada masalah sebesar ini!
Membuka kontak di ponsel, Berlian tahu ia hanya kembali akan menemukan kekecewaan. Hanya ada nomor Akira di sana. Dan Fio. Berlian tidak suka menyimpan nomor lain yang menurutnya tidak terlalu dibutuhkan. Akira, tentu saja butuh, dulu. Sekarang, Berlian memilih memblokir kontak lelaki itu. Sedang Fio, adik Akira yang paling dekat dengannya, mana mungkin Berlian tidak bersikap baik.
Namun sekarang, Berlian tidak mungkin menghubungi dua orang ini. Terutama Akira. Mereka baru saja putus.
Ck, andai saja ia tidak mengembalikan cincin dari mantannya yang sialan, pasti sekarang Berlian punya sesuatu untuk dijual atau paling tidak digadaikan.
Berlian bisa saja menjual separuh atau tasnya. Tapi, barang preloved tidak terjual secepat itu. Butuh waktu. Dan satu-satunya hal yang tidak ia punya saat ini adalah waktu. Dia harus cepat pulang dan menemui si berengsek yang sudah menempatkannya di posisi menyedihkan macam ini.
Menoleh ke arah gerbang hotel, Berlian dapati sosok Naren yang melangkah santai dengan dua tangan yang selalu terkubur dalam saku celana. Sesaat pandangan mereka bertemu. Tapi, lelaki itu kemudian mendengus dan mengalihkan pandangan. Pura-pura tidak melihatnya.
Narendra. Berlian menilai. Menelitinya dari ujung kepala sampai kaki panjang berbalut sniekers abu-abu.
Berlian kenal merek sepatu itu. Merek yang tidak akan pernah dipakai adik-adiknya.
Penampilan Naren bukan tipe Berlian sekali. Terlalu kasual. Tidak pernah dengan setelah Armani. Naren memang bukan orang kaya, kan? Dia hanya anak tiri dari sahabat ayah Akira, begitu sang mantan pernah memberi penjelasan singkat saat ia bertanya kenapa seorang Arundapati merasa sungkan pada Narendra yang bukan siapa-siapa. Tapi kalau hanya membelikan Berlian tiket pulang, pasti mampu, kan?
Oh, Naren punya kafe yang cukup laris di Jakarta. Kafe yang pernah menjadi favoritnya, tapi tak sudi Berlian datangi lagi. Kabar burung yang ia dengar, Naren juga berencana membuka cabang di sini, jadi seharusnya harga tiket Bali-Jakarta cukup murah bagi lelaki itu.
Menarik napas, membuang seluruh rasa malu—kenapa Berlian harus malu pada Narendra saat ia bahkan tidak malu disiram jus jambu di depan banyak pasang mata oleh Nara?—Berlian berdiri tepat saat Naren hendak lewat. Ia menghadang lelaki itu.
Narendra mengangkat satu alis. Menatapnya jengah, lantas mengambil langkah ke samping yang Berlian ikuti.
Satu langkah Naren ke kanan. Berlian ikut ke kanan. Naren ke kiri, Berlian pun demikian. Ia memblok akses Naren mengabaikannya.
Lo apa-apaan sih? Kalo bosen, ajak pacar lo jalan gih. Jangan ganggu gue!
Gue laper! Tadi pagi gue bahkan nggak abisin sarapan gue gara-gara lo!
Narendra mendengus lagi. Kali ini lebih keras. Ternya anak orang kaya kalo laper nyebelin juga ya? Ia menunduk. Selalu harus menunduk setiap kali harus berhadapan dengan Berlian, padahal gadis itu sudah mengenakan heels. Lo ada nggak sih, satu setengah meter? Ngomong sama lo gue berasa mengheningkan cipta mulu, gerutunya sambil memijat leher yang pegal setelah hampir setengah hari ini harus menunduk membaca laporan dari rekan bisnis.
Dihina bentuk fisik, Berlian jelas tak terima. Lo aja yang ketinggian kayak tiang bendera!
Lo ngomong seolah pacar lo lebih pendek dari gue! Minggir! Naren kembali berusaha lewat, Berlian yang kesal akhirnya merentangkan tangan.
Lo maksa lewat, gue peluk!
Ya ampun wanita ini! Narendra menatapnya ngeri. Itu ancaman yang menggoda sebenarnya, tapi dari seseorang yang bukan Syifa, lebih-lebih selingkuhan Akira. Tidak, terima kasih. Mau lo apa?
Makan.
Mau gue suapin?
Berlian menggeram kesal. Bagaimana cara mengatakannya tanpa harus disebut gembel? Kalau Narendra tahu dia tidak punya uang, lelaki ini pasti akan menertawakannya. Tapi, selain Naren, siapa yang bisa ia mintai lagi?
Bingung memilih kalimat, akhirnya Berlian hanya menyodorkan tasnya dengan kepala dipalingkan. Ini tas mahal. Narendra seharusnya sudah tahu dari mereknya. Seharga satu em. Buat lo, gue kasih lima ratus.
Sang lawan bicara tak langsung merespons. Berlian meliriknya, dan mendapati lelaki itu ternganga seperti orang tolol.
Mengira ia mematok harga terlalu tinggi hingga Naren kesulitan menawar, Berlian mengangkat dagu lebih tinggi. Khusus buat lo gue kasih tiga ratus!
Masih tak ada respons.
Dua ratus?
Naren hanya berkedip.
Seratus kalau gitu! putus Berlian setengah hati.
Barulah si bodoh bersuara lagi. Itu juta?
Ya ampun, Naren tidak mungkin menyangkanya seratus ribu, kan? Entah dia yang buta merek atau memang semiskin yang Berlian pikirkan. Kalau bukan juta, mending sekalian gue buang ini tas!
Dan lo pikir gue mau beli?
Lo bisa kasih pacar. Istri. Ibu. Mereka pasti seneng!
Gue nggak minat pacaran dan belum punya istri. Kalaupun ada, ogah gue kasih bekasan lo! Naren berusaha menggeser langkahnya lagi yang langsung ia hentikan sebelum kakinya terangkat saat Berlian membuat gerakan hendak memeluk.
Gue nggak main-main sama ancaman gue.
Ya ampun, kurcaci ini. Naren benar-benar dibuat takjub.
Gue nggak mau beli tas lo, Bimbing! Nggak tertarik! Mau lo nahan gue sampe jadi batu di sini, gue juga nggak bakal sudi beli bekasan lo! Lagian sejak kapan lo jualan tas? Alih profesi sekarang?
Kenapa lelaki ini menyebalkan sekali?! Berlian berusaha menyabarkan diri, sesuatu yang tak ia punya.
Sungguh, kalau bukan karena butuh, ia tak sudi memaksa Narendra. Dia antek-antek Nara, jangan lupa.
Kalau gitu kasih gue pinjeman sepuluh juta secara tunai. Gue bakal langsung ganti begitu sampai di Jakarta. Akhirnya, malu itu Berlian dobrak juga. Meski setelah ini ia tahu, Narendra mungkin akan menggosipkannya di belakang bersama Nara. Lalu dua manusia itu akan menertawakannya.
Tapi, Berlian benar-benar butuh sekarang. Secepatnya.
Lo apa? Narendra menelengkan kepala, menatap sang lawan bicara tak percaya. Lo mau nge-prank gue?
Kesal, Berlian menghentakkan kakinya sekali. Gue serius!
Nggak. Narendra menggeleng, menolak percaya. Anak sultan minjem duit sama rakyat jelata? Ia makin menunduk, menyipit menatap Berlian intens. Sepuluh juta cuma ingus buat lo. Insiden lo nyuci piring di kafe gue cuma kebetulan yang membahagiakan. Tapi, sekarang tas lo ada di sini, nggak kebawa pergi. Pacar lo juga di sini. Apa alasan masuk akal lo nggak ada uang?
Berlian menggigit daging pipi bagian dalam. Bola matanya bergerak liar ke kiri dan ke kanan. Tidak bisakah Naren memberinya pinjaman tanpa banyak tanya? Kenapa dia bahkan lebih cerewet dari Berlian yang perempuan?
Net not! Waktu Anda untuk berpikir habis. Sekarang tolong beri rakyat jelata ini jalan, Putri Sultan, ejeknya yang membuat Berlian merasa tak punya pilihan.
Menurunkan tangannya kembali ke sisi tubuh, ia angkat dagu tinggi-tinggi dengan tatapan lurus ke dahi Narendra, tak berani menatap matanya. Kartu ATM gue diblokir bokap!
Pasti karena boros, tebak Naren sok tahu, tapi meski begitu, lo kan punya penghasilan lain dari laki orang.
Meski kesal dengan sebutan 'laki orang' yang disuarakan Naren dengan nada nyinyir, Berlian tahu saat ini bukan waktu yang tepat untuk mementingkan ego. Kami putus! akunya tanpa menghilangkan sedikit pun gestur angkuh.
Sekali lagi, Naren tak langsung menjawab. Lelaki itu terdiam. Ia menegakkan punggung dengan dua tangan yang masih belum juga keluar dari kantung celana. Lantas meneliti tubuh Berlian dari bawah ke atas, kembali lagi ke bawah dengan tatapan remeh. Bimbing ... Bimbing .... Lo pikir gue percaya?
Gue nggak butuh lo percaya, Bambang! Tapi lo bisa langsung konfirmasi sama yang bersangkutan kalo masih ngeyel.
Jadi kalian beneran putus?
Berlian hanya mengangguk sekali dengan gerakan kaku. Dan gue nggak ada uang buat beli tiket pulang.
Di luar dugaan, Naren langsung melompat girang. Tangannya yang entah sejak kapan keluar dari kantung celana, kini terkepal di udara seolah begitu bahagia mendengar kabar kandasnya hubungan Berlian dengan Akira.
Oh, tentu saja. Naren antek-antek Nara!
Kalau gitu sebagai ucapan selamat atas kehancuran hubungan kalian, gue traktir lo makan dan beliin tiket ke Jakarta dengan senang hati! Dan semua itu gratis! Kapan lagi gue sedekah ke putri sultan, kan?
Sialan memang Narendra ini.
11th Temptation
Narendra lebih dari sekadar menyebalkan.
Berlian menatapnya jengkel. Lelaki itu mengatakan, untuk merayakan kehancuran—kehancuran!—hubungannya dengan Akira, dia akan mentraktirnya makan serta membelikan tiket pulang.
Tapi, bagaimana bisa dikatakan mentraktir saat si sialan ini malah mengajak ia makan di restoran hotel sedang tiap orang yang menginap di sana memang memiliki jatah makan gratis? Dan lagi, tiket pulang yang Naren maksud adalah dengan waktu penerbangan tengah malam agar mendapat harga murah katanya. Pun kelas ekonomi biasa.
Ya ampun ... Berlian ingin mengamuk lagi. Sudah dibuat menunggu lama, dapat kursi standar pula. Tidakkah Naren tahu, Berlian tak pernah melakukan penerbangan dengan kelas ekonomi. dia biasanya selalu berada di kelas bisnis atau kalau memang butuh cepat dan lebih leluasa, Berlian akan menyewa jet pribadi!
Namun, apa yang bisa Berlian lakukan selain hanya menahan segala bentuk protes dengan menggigit lidah keras-keras. Setidaknya ia masih bisa pulang.
Menyandarkan diri ke jok kursi yang sempit, Berlian berusaha memejamkan mata yang tentu sulit dengan Narendra di sisinya sedang penumpang berbadan sangat subur di sisi yang lain, tidur sambil mengorok dengan liur ke mana-mana.
Ya, pada akhirnya, Narendra memutuskan ikut pulang. Katanya, Bali tak lagi menyenangkan setelah Nara pergi. Dia berkata begitu sambil menyeringai licik ke arah Berlian, seolah membenarkan semua tuduhan Berlian padanya selama ini. Bahwa menghancurkan hubungan Akira dan dirinya memang tujuan utama lelaki ini.
Pulang gratis sih, tapi apa memang harus begitu menyiksa?
“Kenapa manyun?” Si tiang bendera di sampingnya bersuara. Berlian bersedekap menahan diri untuk tidak berteriak. Nada meledek itu adalah bukti bahwa si antek-antek Nara senang melihat Berlian merasa tak nyaman. Wanita itu memberi lirikan tajam sebagai jawaban, membuat Narendra berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dasar nggak tahu terima kasih emang lo.”
Terserah! Berlian tetap membuka mata, menatap lurus ke depan. Penerbangan dua jam lebih ini akan terasa amat panjang. Berlian ingin tidur, tapi dengan suasana tak nyaman begini, ia tahu dirinya tidak akan bisa terlelap. Dan memejamkan mata tanpa berkelana ke alam mimpi hanya akan menyuguhkan kegelapan.
Berlian benci gelap.
Setelahnya, dua manusia itu tak lagi saling bicara. Narendra jatuh tertidur dengan begitu mudah. Sedang Berlian yang akhirnya lelah berdiam diri, memainkan ponselnya yang sudah dimode pesawat untuk mengalihkan pikiran serta berusaha meredakan detak jantungnya yang bertalu-talu. Demi apa, dia akan berhadapan dengan Harry sebentar lagi. Manusia nomor satu yang sangat dibencinya.
“Akhirnyaaaa ....”
Langit masih gelap saat mereka sampai di Bumi Jakarta. Bandara Soekarno Hatta cukup sepi kala itu. Narendra menyeret koper kecilnya dengan tangan kanan sedang tangan kiri terkubur dalam saku celana jeans gombrong yang membalut kaki panjangnya. Kamera DSLR tergantung di leher lelaki itu dan sesekali berayun pelan setiap langkah.
“Terima kasih untuk perjalanan yang nggak menyenangkan ini, Bimbing. Gue harap kita nggak pernah ketemu lagi,” kata Naren setengah mendengus sebelum melangkah lebih cepat menjauh dari Berlian yang tidak membawa apa pun dari Bali selain setelan terakhir yang ia kenakan serta tas mahal yang Naren tolak beli kemarin. Baju-baju yang Akira belikan di pulau dewata, memang sengaja Berlian tinggalkan di kamar yang sempat ditinggalinya dengan sang mantan.
“Lo nggak bisa pergi gitu aja!” Berlian yang tak punya ongkos pulang, mengejar Naren dan menarik tas ranselnya agar lelaki itu berhenti melangkah. “Lo harus tanggung jawab sama gue sampe ke rumah!”
Naren berusaha membuat tarikan Berlian pada tasnya terlepas dengan melangkah lebih cepat hingga setengah berlari. Tapi, capitan tangan-tangan kecil itu kuat juga sampai membuat Naren kewalahan. Lebih-lebih, ia malas menjadi pusat perhatian.
“Lo udah gue kasih hati, sekarang minta jantung?!”
“Nggak usah lebai! Gue cuma minta anterin sampai rumah, nggak minta hati lo!”
“Kalau gue nggak mau?” Naren melepas ranselnya, lantas berbalik dan menarik benda itu dengan kasar hingga berhasil lepas dari cengkeraman Berlian.
Wanita itu berkedip sebelum menjilat bibirnya yang tak terpoles lipstik. Naren tidak tahu awal mula pertengkaran Akira dan mantan kekasihnya ini. Yang pasti, Naren memang sudah menemukannya di depan hotel dengan setelan dres kuning dan wajah polos Berlian yang benar-benar polos, pun rambut setengah basah yang kini jelas sudah kering.
Hal yang kemudian membuat Narendra sadar, bahwa kecantikan alami itu jauh lebih baik dari polesan make up. Wajah polos Berlian benar-benar halus dan bersih, seperti kulit bayi. Hanya ada satu bakal jerawat kecil di ujung alisnya. Bulu matanya tak terlalu panjang, tapi lentik. Pipinya agak kemerahan saat ini, barangkali karena udara yang cukup dingin. Juga bibir kecil itu, tampak semerona selai stroberi dan selembut krim.
Fix, Berlian memang secantik itu. Dua kali lebih cantik ketimbang saat ia mengenakan riasan.
“Lo nggak mungkin nyuruh gue jalan kaki sampai rumah, kan?” tanya wanita itu dengan ekspresi ngeri.
“Kenapa nggak kalau diperlukan?”
“Gue perempuan, Bambang!”
“Terus kenapa kalau lo perempuan?” Naren mendesah, punggungnya merosot turun karena lelah. Berlian sungguh merepotkan sekali.
“Gue bisa aja ketemu preman di jalan terus diperkosa!”
Alasan. Naren memutar bola matanya yang mulai berkantung lantaran kurang tidur. Menguap, ia berucap, “Gue laki-laki. Gue juga bisa perkosa lo!”
“Oh iya?” Berlian berkacak setengah pinggang. Ia maju selangkah dan mendongak padanya dengan gestur menyodorkan diri yang spontan membuat Naren mengambil langkah mundur hingga nyaris terjengkang. “Coba kalo emang bisa?”
Sialan wanita ini. Dia takut diperkosa preman tapi menyodorkan diri pada Naren! Betapa murahannya! Oh ingat, dia bekas Akira. Dan jejak seorang lain di tubuhnya mungkin memang tidak masalah untuk Berlian—asal bukan kelas rendahan seperti preman.
Mengerang kesal, Naren memanggul tasnya kembali sebelum berbalik lagi. “Gue anterin lo pulang!” putusnya kemudian hanya agar urusannya dengan Berlian cepat selesai. Setidaknya, wanita ini sudah bersedia mundur, yang berarti meringankan tugas Narendra.
Dua langkah terambil, gerak kaki Naren terhenti sejenak saat mendengar bunyi tawa dari balik punggungnya. Berbalik kembali, Naren tertegun. Di sana Berlian sedang tertawa pelan sambil menatapnya. Dan Naren dapati saat itu waktu seolah berhenti berputar. Segalanya memudar kecuali sosok Berlian. Wanita itu sampai setengah berbungkuk, satu tangan memegangi perut. Matanya yang sipit hanya tinggal segaris. Rona merah di pipinya kian pekat. Pun gigi gingsul itu tampak begitu memikat.
“Lo kenapa takut banget gue sentuh, sih?” Dia bertanya setelah tawa renyah yang memesona itu memudar. Naren mengerjap kembali tersadar. Lantas berdeham dan berbalik dengan langkah-langkah makin lebar.
Sial, apa yang baru saja ia pikirkan? “Karena satu-satunya perempuan lain yang mau gue sentuh dengan suka rela hanya istri,” ujar Naren ketus sambil melangkah lebar, yang disusul Berlian dengan setengah berlari. Jawaban tersebut berhasil membuat wanita itu memelankan gerak kakinya.
“Kenapa?” tanya Berlian lagi sambil menatap punggung lebar Naren yang kian menjauh lantaran perbedaan panjang kaki mereka.
Naren berhenti lagi hanya untuk menoleh pada Berlian dan berkata, “Gue mau dia bangga karena menjadi orang pertama dalam segala hal. Cinta pertama. Ciuman pertama. Malam yang benar-benar pertama.” Dia menatap Berlian tanpa ekspresi. “Istri gue akan mendapat rasa hormat sebesar yang pantas dia dapatkan. Dan satu hal yang gue janjikan untuk siapa pun dia di masa depan gue nanti, bahwa tidak akan pernah ada orang ketiga dalam pernikahan kami.”
Berlian ikut berhenti. Ada jarak hampir lima langkah di antara mereka. Kalimat terakhir Narendra seolah menyindirinya. “Lo nggak bakal ngomong kayak gitu kalau lo menikahi perempuan yang nggak lo cintai. Manusia cuma bisa berencana, tapi hasil akhir tetep nggak bisa lo tentuin sendiri.”
Naren kembali tersenyum penuh ejekan. “Lo belum ngerti juga, ya, Bim? Itu alasan gue nggak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sampai detik ini.”
Kening Berlian berkerut. Apa baru saja Narendra mengatakan belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun? Selama ini? Bagaimana bisa? Berlian enggan mengakui, tapi Naren tidak buruk. Tidak. Dia tampan sebenarnya dengan rambut gondrong setengkuk yang sering ia ikat separuh. Matanya cokelat gelap dan tampak hangat dengan alis setebal ulat bulu dan tulang pipi tinggi serta hidung mancung yang bengkok. Dia juga memiliki kulit sewarna perunggu yang eksotis, entah karena sering beraktivitas di bawah terik atau memang sudah bawaan lahir.
Menelan pujiannya, Berlian berucap skeptis, “Jadi, lo bakal menghadiahkan lamaran pernikahan bagi siapa pun perempuan yang berhasil bikin lo jatuh cinta?”
“Nggak.” Naren menggeleng. “Seseorang itu sudah ada. Dia wanita yang baik. Keturunan bagus. Sifatnya menyenangkan.
Kabalikan darinya. Berlian mencengkeram tali tas selempang yang ia kenakan. Dia bukan manusia yang baik. Garis keturunan sempurna tapi dari riwayat pernikahan yang buruk. Sifatnya jauh dari kata menyenangkan.
Karena menikah bukan cuma tentang cinta, Berlian, Naren melanjutkan. Bukan cuma tentang kesenangan pribadi. Lebih dari itu, memilih istri sama dengan memilih calon ibu dari anak-anak kelak, yang akan menjadi sumber ilmu pertama bagi mereka, dan akan mengayomi mereka serta memberi kasih sayang. Gue mau menyiapkan segala yang terbaik buat anak-anak gue bahkan jauh sebelum mereka dilahirkan. Juga memberi penghormatan yang besar bagi ibunya dengan menjadikan dia satu-satunya sampai maut memisahkan kami.”
Berlian menelan ludah, menatap Narendra yang balas memandangnya tepat di mata. Sejenak. Sejenak yang terasa begitu panjang dan menghipnotis, sebelum Naren mengembalikan pandangannya ke depan dan kembali mulai melangkah. Meninggalkan Berlian yang mendadak merasa ... rapuh.
Penjelasan Narendra di luar dugaan, cukup membuat terguncang. Dan entah dari mana datangnya, Berlian merasa iri pada siapa pun istri lalaki itu kelak. Dia akan sangat beruntung bila benar Narendra merealisasikan janjinya.
“Kalau lo masih mau gue anter, jangan lelet! Gue ngantuk!” teriak Naren yang sudah hampir mencapai pintu keluar.
Berlian mengembuskan napas pelan. Mulai sekarang, dia tahu dirinya tidak akan pernah memandang seorang Narendra dengan cara yang sama lagi.
Dia ... entah kenapa terasa berbeda.
Ayo, cepet ih!
Tapi masih sangat menyebalkan.
***
“Seperti yang lo harapkan. Semoga kita nggak pernah ketemu lagi, Bambang.” Adalah kata perpisahan yang Berlian ucapkan sebelum keluar dari mobil Narendra nyaris satu jam lalu. Bukan terima kasih. Luar biasa memang wanita itu.
Namun, ucapannya Naren amini kencang-kencang sebelum menaikkan kaca mobil seaya menginjak pedal gas tanpa menunggu Berlian masuk ke rumahnya yang mentereng bak istana. Bagunan setinggi tiga lantai yang megah dan gemerlap. Dia benar-benar putri konglomerat yang sayang bermasalah hingga sang ayah pun sampai memblokir akses keuangannya. Kalau Naren di posisi ayah Berlian, mungkin dia bukan hanya memblokir keuangan, tapi juga menghapusnya dari daftar kartu keluarga.
Yah, satu jam sudah berlalu karena kini Naren telah sampai di rumah dengan selamat. Selesai mandi dan siap tidur, tapi matanya justru sulit terpejam. Padahal sepanjang perjalanan tadi kelopak matanya seperti dilemi.
Mengerang, Narendra berbalik, menghadap sisi dinding kamar yang dicat abu-abu, lantas mengerang.
Apa yang terjadi, kenapa ia sampai mengatakan hal panjang lebar dan begitu pribadi pada si Bimbing? Maksudnya ... Narendra tidak pernah mengungkapkan pikirannya tentang pernikahan pada siapa pun. Tidak pada ibu, tidak pada Agung, pun tidak pada Syifa yang sejak awal memang sudah dibidiknya.
Berlian bukan siapa-siapa. Seharusnya Naren tidak mengatakan sebanyak itu. Tidak mengungkap hal sepribadi itu.
Ck, dasar!
Tahu dirinya tidak akan bisa tidur lagi, Naren memutuskan untuk bangkit dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia meraih kamera DSLR yang ia letakkan di meja nakas. Memeriksa semua hasil jepretan berniat menghapus gambar-gambar tidak penting dan menyalin foto Nara untuk ia kirim pada gadis itu sebelum melenyapkannya dari memori perangkat.
Ada berapa gambar Nara di sini? Narendra memeriksa satu per satu. Ia tersenyum melihat pose gadis itu yang nyeleneh dan aneh. Nara memang beda.
Satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh ... ya ampun, nyaris lima puluh! Dan ini wajah Nara semua. Naren berdecak lantas menggeser ke slide selanjutnya yang menyuguhkan pemandangan sawah-sawah berundak di salah satu desa Bali. Naren ingat hari kedua dia memang menyambagi sawah terasiring untuk mencari lokasi strategis yang disarankan temannya. Dan ia nyaris seharian menjelajah lantaran terpesona pada pemandangan pedesaan yang begitu hijau dan asri. Dia Jakarta, ia tak akan menemukan pemandangan macam ini.
Menyamankan posisi tubuh, Naren menggesek ke slide selanjutnya. Selide selanjutnya. Slide selanjutnya. Dan ... lelaki itu mematung dengan napas tertahan.
Yang tampil di layar kecil kameranya sekarang ... Naren memperbesar gambar. Benar. Foto Berlian.
Narendra mengatupkan bibirnya saat teringat.
Kala itu sore hari. Matahari sudah mulai tenggelam, mengukir warna jingga di langit barat. Naren sedang memotret beberapa petani yang sudah hendak kembali pulang. Saat ia mengambil sudut lain di area barat, ia dapati seseorang yang dikenalnya dari jarak yang tak terlalu jauh, namun posisi gubuk istirahat petani menghalangi objek menemukan posisinya.
Dia selingkuhan Akira. Sedang berdiri menyampingi matahari sambil tersenyum ke arah kekasihnya yang sedang mengarahkan kamera ponsel.
Rambut Berlian beterbangan lembut saat itu, pun bagian bawah gaunnya yang lebar berkibar-kibat diterpa angin sore.
Naren ingat, saat itu ia tidak memiliki maksud apa-apa selain menyukai suasa senja dan betapa menyatu sosok Berlian dengan sore yang indah di Bali. Di jalan setapak yang ditumbuhi ilalang-ilalang pendek di sekelilingnya.
Dan tanpa pikir panjang, Narendra mengabadikan pemadangan indah itu. Memerangkap sosok cantik Berlian dalam potret DSLR.
Pun terlalu sayang untuk dilenyapkan.
12th Temptation Pintu ganda utama yang besar, tinggi dan berukir rumit itu perlahan terbuka. Lampu ruang tamu depan yang semula mati pun otomatis hidup. Berlian berkedip, mencengkeram tali tas selempangnya seiring dua papan kayu di depannya yang bergerak, menyiapkan mental untuk menghadapi sang ayah. Harry Abimana, lelaki paruh baya yang masih tampak bugar dan tampan di usianya yang sudah menginjak pertengahan kepala empat, seolah tak pernah bertambah tua sejak ulang tahun ke tiga puluh beberapa belas tahun lalu.
Ini sudah pagi buta, tapi Berlian tahu sang pemimpin jaringan Abimana Properti yang baru-baru ini mulai merambah bisnis hotel dan wisata pasti belum tidur. Pewaris tahta kakeknya yang sombong bahkan terkadang baru pulang rapat pada jam ini dan bersiap istirahat. Karena faktanya menjadi orang kaya tidak semudah itu. Terlalu banyak hal yang hatus dipikirkan. Terlalu banyak hal yang musti ditanggung. Terlalu banyak yang harus direncanakan. Belum lagi urusan beliau dalam dunia politik yang juga cukup menguras waktu.
Berlian sudah hapal mati dengan jadwal Harry, sehapal ia pada denah rumah tempat tinggal mereka.
Ya, di sana, di ruang depan mewah yang didominasi warna emas di setiap sudut—lelaki itu mencintai kemewahan dan segala hal yang menggambarkannya—Hatry duduk bagai raja di atas singgasana. Sofa cokelat dengan sandaran beraksen kayu jati tua dengan ukiran elang yang dicat mencolok itu didatangkan langsung dari Kalimantan. Harganya cukup mencengangkan, tapi tak seberapa bagi kantong Abimana yang bahkan bisa membeli harga diri seseorang.
Seseorang yang ditakdirkan menjadi ayah Berlian duduk angkuh dengan dua tangan menyandar penuh kuasa pada lengan sofa. Wajahnya lurus mengarah pada pintu utama yang terbuka, ke arah si sulung yang berdiri dengan dagu terangkat tinggi.
Bila ada keturunan Harry yang menuruni sifat dan kepercayaan lelaki itu, maka Berlian lah orangnya. Yang lain terlalu lemah. Terlalu penakut. Terlalu menyebalkan. Dan terlalu dimanja.
Ah, selamat datang kembali, Nak. Harry menyapa tanpa mengubah posisi duduk. Dia menatap Berlian dengan mata setengah tertutup, bagai macan kumbang siap menerkam mangsa dengan bahasa tubuhnya yang gesit dan seolah tak berbahaya.
Berlian terlalu mengenal Harry untuk merasa terancam.
Bagaimana liburan kamu? Menyenangkan?
Itu adalah pertanyaan sindiran, karena bahkan Harry sudah mengetahui segalanya. Segalanya. Tangan kanan sang ayah ada di mana-mana. Berlian tahu ia tidak pernah sendirian—dalam arti nyata—karena mata-mata Harry selalu mengamati punggungnya.
Menyenangkan, Berlian menjawab kaku, sangat menyenangkan.
Tentu saja, Harry mengedikkan bahu, pengalaman pertama dalam penerbangan kelas ekonomi. Tanpa uang sepeser pun. Pasti seru.
Berlian makin mengeratkan pegangannya pada tali tas. Menatap sang ayah dengan amarah yang menyala-nyala. Ia malas bertele-tele. Berlian tahu Harry punya maksud dengan sambutan ini. Jadi, memberanikan diri, ia melangkah maju melewati batas ambang pintu utama dengan punggung tegak. Yang langsung mendapat cercaan dari si sombong yang menatap sepasang kaki putrinya dengan alis terangkat.
Siapa yang menyuruh kamu masuk?
Ini rumahku!
Oh ya? Sejak kapan, Sayang?
Sejak aku dilahirkan.
Mendengar jawaban berani Berlian yang mengungkit kelahirannya, geraham Harry mengencang. Terlihat tidak senang. Baginya, Berlian memang sebuah kutukan. Pembawa sial. Atau apa pun istilahnya. Yang pasti, seorang Berlian hanya beban yang harus ditanggung. Harry bahkan tidak sudi memberikan nama belakang keluarga pada si sulung yang sejak awal tidak pernah ia anggap ada.
Karena, Berlian memang seharusnya tidak pernah ada.
Kalau begitu, sayangku, sekarang tidak lagi. Atau, apa kamu sudah melupakan taruhan kita?
Kaki Berlian berkerut dalam sepatu bersol tinggi yang ia kenakan sejak pagi. Bagaimana ia bisa lupa? Gerahamnya mengencang mengingat kejadian tadi pagi. Pertengakaran dengan Akira. Kekalahannya. Pengorbanan selama tiga tahun yang sia-sia. Beri aku tantangan yang lain!
Harry mendengus setengah tertawa. Sudah tentu menertawakan kebodohan si sulung. Keputusan Harry tidak pernah bisa ditawar, kecuali oleh istri dan anak-anaknya yang lain. Untuk Berlian, tak ada kata ampun. Terlambat, Sayangku. Kesempatan hanya satu kali, dan waktu kamu sudah habis. Dia menjentikkan jari tangan kiri hingga menimbulkan bunyi yang keras di tengah hening ruang megah yang sunyi itu.
Bunyi jentikan yang berhasil membuat bulu kuduk Berlian meremang. Ia tahu tak akan ada yang tersisa setelah ini.
Benar saja, detik kemudian, seorang lelaki tinggi bertubuh besar dengan pakaian serba hitam keluar dari balik lemari partisi berpintu jernih yang memamerkan berbagai macam piringan emas, guci-guci langka serta gelas-gelas kristal.
Si tinggi besar menenteng koper kecil yang kemudian diletakkan di samping tubuh mungil Berlian yang mendadak gemetar.
Apakah akan seperti ini akhirnya? Berlian pergi dengan tangan hampa? Sendok emasnya diambil paksa sedang ia terusir masih dengan bekas melepuh di tangan yang lain.
Tidak. Tidak!
Ini akan terlalu mudah bagi Harry, dan terlalu berat untuknya.
Menarik napas, ia tatap pria yang tak sudi ia panggil 'papa' lagi sejak belasan tahun lalu. Beri aku penangguhan waktu. Satu tahun. Aku janji saat itu tangan putri kesayanganmu ini akan mengenakan cincin pernikahan dari keluarga Arundapati.
Harry yang setengah bersandar santai, menelengkan kepala sambil menepuk lengan sofa berlapis kulit yang didudukinya. Terlihat bahkan seolah enggan mempertimbangkan penawaran itu.
Tahu permintaan waktunya mungkin terlalu lama, Berlian meralat. Enam bulan?
Harry mendesah. Lantas menguap. Ia makin memerosotkan tubuh dengan gerakan malas.
Tiga bulan!
Berdecak, raja baru Abimana yang malam ini hanya mengenakan piyama abu-abu mengilap sedang kancing kemejanya dibiarkan terbuka, menggeleng prihatin. Tiga tahun lagi pun akan tetap percuma kan, Sayang? Akira tidak cukup mencintai kamu untuk menghadiahkan pernikahan. Ah, saya lupa ... memang tidak pernah ada yang mencintai kamu, Berli.
Tubuh Berlian kian gemetar. Kelopak matanya membuka lebar. Ia benci kenyataan yang dipaparkan Harry. Kenyataan yang selalu membuatnya merasa begitu menyedihkan.
Memang kenapa kalau tidak pernah dicintai? Toh, tanpa cinta sekali pun ia masih tetap hidup. Sehat dan lebih tangguh dari manusia lain yang sejak bayi dihujani kasih sayang melimpah. Karenanya, ia bisa berdiri di sini saat ini, di depan seseorang yang jahat dan menganggapnya kutukan.
Lebih dari itu, Berlian tidak menyukai cara Harry menyebut namanya. Jangan berani-berani panggil aku dengan sebutan itu!
Harry membuat gerakan seolah terkejut atas tudingan putri sulungnya. Kenapa, Sayang? Ia bertanya sok dramatis, teringat seseorang yang sudah mati?
Mereka tahu tidak seperti itu kenyatannya. Tapi, mendebat Harry sama saja menguras habis tenaga yang tersisa. Lebih-lebih, Berlian tak pernah suka mengungkit masa lalu bersama ayahnya, karena Harry selalu punya cara untuk menekan dan memberi wanita itu mimpi buruk berhari-hari. Penangguhan waktu. Berlian mengulang sekali lagi. Tiga bulan. Cukup singkat, kan?
Seolah lelah membahas topik yang membosankan, Harry berdecak lagi dengan lebih keras. Waktu adalah uang, sayangku. Tapi, waktu juga bisa menjadi pedang yang bisa membunuh dirimu.
Berlian tidak suka bertele-tele. Ekspresi Harry yang sok berkuasa hanya membuatnya muak, dan bertahan dalam waktu lama dengan manusia satu ini bisa-bisa membikin ia muntah. Jadi, iya atau tidak? tandasnya tanpa basa-basi.
Ah, tidak sabaran seperti biasa. Harry menatap Berlian sambil lalu, lantas menoleh pada si pesuruh yang masih berdiri bagai patung di sisi kiri kursi kebesarannya. Jam berapa sekarang, Ben?
Setengah tiga, Pak.
Kalau begitu, waktu habis. Saatnya istirahat. Lelaki tinggi bertubuh atletis yang tidak menurun pada Berlian itu berdiri. Dua tangannya di satukan di balik punggung. Oh, ya. Besok saat bangun, saya tidak mau melihat kamu lagi di sini. Ngomong-ngomong, apa kamu butuh uang jajan? Kamu tidak punya apa-apa kan sekarang? Dia melirik kembali pesuruhnya dan berkata sombong. Coba lihat dompet saya, Ben, kali saja ada receh yang tertinggal untuk sangu Berli kita tersayang. Beri dia satu atau dua juta. Seharusnya itu cukup untuk satu bulan kalau dia bisa berhemat. Lantas berbalik. Melangkah ke arah tangga spiral yang melingkar megah dua tingkat, bermaksud meninggalkan Berlian tak berharga yang masih termangu di ruang depan. Tanpa memberi akses masuk lagi ke rumah ini.
Aku menolak pergi. Namun, Berlian masih tetap ingin melawan, setidaknya sampai ia tak lagi punya alasan bertahan.
Kalimat pendek itu berhasil menghentikan langkah Harry, tapi tak cukup menarik untuk membuatnya menoleh. Tenang saja. Papamu yang baik hati ini bisa mengusir tampa harus kenyeret kamu langsung ke pinggir jalan, Nak.
Saya hanya minta sedikit waktu lagi! Kenapa sesualit itu mengabulkannya? Hanya tiga bulan, Pak tua!
Akhirnya, raja baru kerajaan bisnis Abimana memutar tubuhnya yang sudah berada di anak tangga kedua. Menghadap Berlian masih dengan tangan bertaut di belakang punggung. Kenapa kamu harus sekeras kepala ini? Dia berdecak malas. Baiklah. Satu bulan.
Satu bulan? Berlian ternganga. Tiga bulan saja ia tahu akan mustahil menyeret Akira ke depan penghulu. Akira tidak akan pernah mau menikahinya selama masih ada Nara di antara mereka. Sedang Berlian ingin posisi kukuh sebagai yang utama dan satu-satunya.
Tidak bisa kan, sayangku? sindir si paruh baya berengsek setelah tiga detik berlalu dan sulungnya belum memberi respons. Sudahlah, Nak, kita semua tahu. Satu bulan atau satu tahun akan percuma. Kecuali .... Harry sengaja menggantung kalimatnya, memancing perhatian Berlian yang lansung mendongak hingga tatapan mereka bertemu di garis lurus yang sama.
Kecuali?
Bunuh istrinya.
Tubuh Berlian terhuyung. Tangannya yang mencengkeram tali tas melonggar sebelum terlepas dan jatuh terkulai. Serta-merta tubuhnya disergap rasa dingin membekukan yang membuatnya menggigil.
Dua kata yang lolos dari katup bibir cokelat Harry bagai bongkahan es yang dihantamkan langsung ke kepalanya.
Apa kata si berengsek tadi?
Bunuh istrinya. Bunuh istri Akira. Bunuh Nara.
Bukan, bukan perintah pembunuhan itu yang mengagetkan Berlian. Dia tahu tangan ayahnya sudah begitu kotor dengan banyak darah. Harry manusia licik. Ia bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Yang mengherankan, Harry belum memusnahkan Berlian sampai detik ini mengingat kebenciannya yang sangat besar.
Namun, Nara ....
Pernikahan Akira disembunyikan dari publik. Tidak ada yang tahu kecuali keluarga inti. Akira bahkan menyembunyikan kenyataan tersebut dari Berlian awalnya. Yang membuat hubungan mereka kandas waktu itu. Hubungan yang murni karena rasa sayang dan nyaman. Sebelum akhirnya ia bersedia kembali dengan tujuan yang berbeda.
Dan Harry ....
L-lo tahu? tanyanya dengan suara bergetar. Oh, bukan hanya suara. Karena kini, Berlian bahkan seolah tak sanggup lagi berdiri. Lebih-lebih saat tawa kemenangan Harry yang terdengar mengerikan menggelegar memenuhi ruangan tempat mereka berada.
Apa yang tidak seorang Harry tahu, Nak? Harry bertanya retoris, berhasil membuat Berlian mengambil dua langkah mundur nyaris terhuyung andai ia tak pandai menyeimbangkan diri.
Sejak kapan?
Sedari awal.
Ya Tuhan .... Berlian membekap mulutnya yang gagal untuk dikatup rapat. Jadi lo mengajukan taruhan itu karena—
tahu kamu tidak akan pernah menang, Harry bantu melanjutkan kalimat yang terasa berat terucap dari lidah sang putri. Juga alasan terbaik mengenyakkan kamu dari hidup kami. Karena bila sampai hal ini bocor ke media, bahwa putri sulung Abimana diusir oleh keluarganya, ayahmu yang baik ini punya alasan, mengusir kamu karena moral seorang Berliana Pratista yang bejat. Saya akan membeberkan pernikahan rahasia Arundapati ke media dan mengatakan bahwa selama ini kamu hanya menjadi selingkuhannya.
Licik.
Sekali dayung. Dua pulau terlampaui. Seharusnya Berlian tahu itu. Harry terlalu membencinya untuk memberikan sepuluh persen saham perusahaan Abimana. Pun sejak dulu dia selalu berusaha mengusir Berlian dari rumah, tapi kakek melarang. Sekarang tua bangka itu sudah meninggal, Harry punya cara ampuh mengenyahkan dan menyakitinya tanpa ada penghalang.
Tapi, Harry melanjutkan dengan nada penuh kemenangan yang membuat perut Berlian bergejolak, karena saya terlalu baik hati saya masih bersedia memberikan kamu tambahan waktu selama satu bulan. Siapa tahu kamu bersedia membunuh istri pacar kamu yang menyusahkan itu. Kalau kamu berhasil, kamu bisa mendapat sepuluh persen saham perusahaan Abimana juga Akira sekaligus.
Dan membuat dirinya seperti istri Harry saat ini? Mendapat posisi di atas gelimang darah istri yang lain.
Atas dorongan amarah dan rasa muak, Berlian melangkah dengan kaki-kaki yang goyah mendekati posisi Harry, lantas berhenti tepat di bawah anak tangga pertama. Saat melirik ke atas, ia dapati ibu tirinya berada di puncak tangga dengan tangan mencengkeram birai. Saat Berlian menatapnya tajam, wanita yang sudah melahirkan dua pangeran mahkota kerajaan bisnis Abimana itu memalingkan muka.
Kalau memang harus memebunuh untuk mendapatkan sesuatu yang memang menjadi hakku, maka putrimu ini tidak akan tanggung-tanggung, kata Berlian lambat-lambat, melirik istri Harry sebelum menatap tepat ke mata sang ayah yang sewarna miliknya, membunuh Nara hanya akan membuatku mendapat sepuluh persen, lebih baik membunuh dua putramu untuk mendapat keseluruhannya, kan? tanyanya yang memang dimaksudkan untuk memancing amarah Harry.
Berhasil. Tamparan keras tangan kasar ayahnya praktis dilayangkan bahkan sebelum Berlian mengatup bibirnya. Membuat tubuh wanita yang letih sehabis perjalanan pulang dari Bali itu tersungkur jatuh, pun mulutnya yang serta merta dipenuhi rasa asin.
Ah, robek pasti.
Sebelum kamu menyentuh putra-putraku, Berliana, nyawa kamu sudah pasti lebih dulu sampai ke alam baka.
13th Temptation
“Gimana keadaan kafe selama aku tinggal ke Bali?” tanya Naren pada kepala koki yang sudah menjadi pertnernya sejak awal. Lelaki itu berdiri di samping si manis yang hari ini megenakan jilbab biru yang sedang meniriskan spageti pesanan salah satu pelanggan.
Sang lawan bicara menoleh sekilas dan tersenyum kecil, memamerkan lesung pipi dalam yang seringkali membuat Naren gemas setiap kali melihatnya. “Aman terkendali.” Syifa menjawab kalem. Gadis itu pun bergerak, menyiapkan piring untuk mulai plating, yang terus diikuti Naren seperti anak ayam membuntuti induk, mengabaikan suasana dapur yang mulai tegang lantaran pesanan yang terus-terusan datang.
Narendra tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi ia butuh segera melihat dan berbicara dengan gadis ini. Seminggu meninggalkan Syifa ke Bali terasa begitu lama. Sangat lama, bahkan hampir membuatnya lupa. Hampir.
“Syukurlah kalau begitu. Aku tahu, kamu memang selalu bisa diandalkan, Syif.”
Syifa tak langsung menyahut. Tangan-tangannya yang cekatan mulai menghias piring. Sesekali ia menoleh pada koki lain dan memberikan perintah, atau sekadar menegur tanpa melupakan pesanan yang sedang ditanganinya. Pemandangan tersebut sudah tentu membuat Naren kagum. Syifa nyaris tepat dalam segala hal. Garis keturunannya jelas. Akhlaknya bagus. Wajahnya tidak membosankan dipandang. Meski dia terlahir dalam keluarga sederhana, di mata Naren Syifa tetap tanpa cela. Ia sudah mengenal Syifa sejak remaja, pun tak pernah menemukan kesalahan yang membuat wanita ini cacat di matanya.
Dan ... seperti inilah calon ibu yang Naren harapkan untuk anak-anaknya kelak. Mandiri, kuat, tahan banting. Yang pasti, Syifa bisa diajak hidup dalam hampir semua keadaan.
“Kan memang sudah tugas saya, Bos.” Selesai menata piring dengan hiasan cantik yang mendadak membuat perut Narendra keroncongan, Syifa langsung menyerahkan piring tersebut pada salah seorang pelayan lantas menerima pesanan selanjutnya. Tidak benar-benar memperhatikan Narendra yang jelas menaruh perhatian besar pada si koki. Bahkan mengabaikan sang bos yang memutar bola mata jengah.
Inilah salah satu dari banyak hal yang menarik dari Syifa. Dia bukan jenis perempuan yang mudah didekati dan didapatkan. Menarik perhatiannya pun cukup sulit.
“Apa kita akan kembali ke fase formal lagi?”
Yang ditanya mengangkat pandangan dari kertas kecil di tangannya, lantas meringis. “Sori, Bos—eh, Ren, suka lupa.”
“Lagian Bos ngapain sih di sini? Ini lagi jam sibuk, Bos. Rayu Mbak Syifanya nanti aja lagi! Pesanan kita lagi banyak,” cetus Rahman, salah satu asisten koki yang menatap Naren jengkel dari seberang meja dapur.
Oh, lancang sekali dia!
Ya, ampun ... karyawan siapa itu? Dan siapa bosnya di sini? Kenapa malah Naren, pemilik kafe yang diusir? Tidak takutkah Rahman dipecat?
Naren sudah hendak membuka mulut, bermaksud mengatakan bahwa ia mengajak bicara Syifa juga karena sesuatu yang genting. Tapi sebelum katup bibirnya mambuka, si gadis berhijab biru lebih dulu bicara. “Iya, Ren, ngobrolnya nanti lagi aja, ya. Kerjaan aku lagi banyak.”
Narendra mendesah setengah tidak rela. Namun, kalau sudah Syifa yang meminta pergi, ia bisa apa? Meski Naren sungguh masih ingin di sini, menghapal detail-detail diri calon istrinya yang mulai terkikis dari ingatan seminggu terakhir.
“Baiklah!” Akhirnya ia mengalah, mendelik pada Rahman yang memang tampak sibuk memotong sayur dengan gerakan yang luar biasa lincah. “Tapi tolong terima ini, ya,” tambahnya sambil menyodorkan kantong kertas berukuran sedang yang sejak tadi ditengtengnya pada sang kepala koki yang ragu-ragu menerima.
“Ini apa?”
“Oleh-oleh dari Bali. Semoga kamu suka,” ujarnya sebelum kemudian benar-benar pergi, keluar dari area dapur yang lumayan panas. Naren tersenyum bangga saat Syifa menggumamkan kata terima kasih dalam bisik malu-malu.
Yah, Syifa benar-benar hampir mendekati sempurna. Untuk hal kecil saja dia mengucapkan terima kasih, tidak seperti manusia lain yang meski dibantu banyak malah seringnya mengumpat. Semoga saja Naren tidak pernah bertemu lagi dengan manusia jenis itu.
Menoleh sekali lagi pada Syifa yang sudah kembali sibuk dengan pesanan pelanggan, Naren memutuskan untuk kembali ke ruangannya dan mengerjakan tugas-tugas sendiri, tak lagi mengganggu Syifa. Toh, masih ada jam istirahat nanti. Pun terdapat beberapa hal yang mesti ia putuskan terkait dengan pilihan lokasi yang sudah ia temukan di Bali.
Namun begitu sampai di ruangan yang dituju, alih-alih berkutat dengan laptop, Naren justru menarik ponsel dari saku. Menekan tombol on, mengetik kode, dan membuka aplikasi instagramnya yang hanya mengikuti beberapa akun.
Gambar pertama yang di dapati Naren adalah postingan Nara selama liburan. Lalu unggahan salah satu akun sosial, humor, beberapa portal berita serta gosip kalangan selebritis. Selebihnya adalah postingan beberapa waktu lalu yang sudah pernah Naren lihat. Sedang instastory belum ada kiriman terbaru.
Mengernyit heran, Naren men-scroll layar ponselnya naik turun dengan heran. Tumben, pikirnya. Biasanya, setiap kali membuka instagram, hal pertama yang ia lihat adalah unggahan selingkuhan Akira, pun instastory yang berderet-deret panjang hingga tampak seperti titik-titik kecil.
Apa Berlian memblokirnya? Selintas pikiran tersebut datang, Naren langsung mengetik nama Berlian di kolom pencarian. Dan ketemu.
Naren tidak diblokir, hanya saja Berlian memang belum mengirim postingan terbaru sejak kemarin pagi.
Patah hatikah dia?
Mungkin saja. Berlian baru putus cinta.
Iseng, Naren memeriksa gambar-gambar yang ditandai pada wanit itu. Cukup banyak mengingat pengikut Berlian mencapai puluhan ribu. Rata-rata gambar berupa kata-kata puitis atau pujian. Tidak ada foto kebersamaan dengan kawan-kawan yang ditandai ke akunnya. Hanya, oleh dua remaja laki-laki berwajah sama yang Naren tebak sebagai adik-adik Berlian karena wanita itu pernah mengunggah potret bocah-bocah tersebut dengan keterangan ‘pengganggu’. Di gambar tersebut, dua calon penerus perusahaan Abimana sedang tersenyum ke arah kamera, sedang Berlian bersedekap dengan wajah ditekuk, tanpa senyum. Selain itu, ada juga dua foto yang menarik. Paling atas. Kiriman terbaru yang diposting tadi pagi.
Pertama, gambar tas mahal yang Berlian tawarkan padanya. Kedua, sepatu yang juga Berlian kenakan selama perjalanan pulang dari Bali ke Jakarta.
Dan yang memposting gambar-gambar tersebut rupanya ... akun lelang?
Naren mengerjap. Lantas menelan ludah. Jadi, Berlian benar-benar tidak punya uang sekarang sampai melelang barang-barang mahalnya? Anehnya, hanya benda-benda yang wanita itu kenakan kemarin?
Belum juga Naren mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi otaknya, suara ketukan pintu menarik perhatian. Menutup isntagram, Naren buru-buru menghidupkan laptop sebelum memberi izin masuk.
Ternyata, si pengetuk tak diundang merupakan manajernya. Joni. Yang begitu pintu didorong dari luar, langsung nyegir lebar pada sang bos sebelum kembali menutup daun kayu persegi itu lagi dengan pelan dari dalam.
Melihat gelagat Joni yang tak biasa, Naren menyipit curiga. “Ya?”
“Bos katanya ngasih oleh-oleh sama Mbak Syifa, ya?”
Naren menelengkan kepala. “Kalau benar kenapa?”
“Dapet salam dari karyawan yang lain. Masa oleh-olehnya yang dapet Mbak Syifa aja katanya?”
Ya ampun ... Naren memutar bola mata. Kenapa semua karyawannya tidak ada yang tahu diri? Berdecak, Naren membuka laci, lantas mengambil kantung kertas berukuran cukup besar dan menyodorkannya pada Joni yang langsung bergegas maju untuk menerima dengan senang hati. “Bagi rata buat yang lain.”
“Bos memang yang terbaik,” puji sang manajer seraya membuka kantong kertas, merogohnya dan mengambil satu hanya untuk cemberut kemudian. “Gantungan kunci?” Lelaki kurus tinggi itu menatap Naren sangsi. “Jauh-jauh ke Bali dapetnya cuma ganci?” Joni mengangangkat gantungan kunci berbentuk papan seluncur yang terbuat dari batok kelapa dengan aksen ukiran sederhana itu ke udara hanya untuk untuk memperjelas.
“Yang penting oleh-oleh, kan?”
Joni memberengut. “Ini di sini lima ribu juga dapet kali, Bos.”
Ternyata, manusia yang dikasih hati minta jantung bukan cuma Berlian. Karyawannya sendiri pun begitu. Naren mendengus. Ia bersandar pada kursi kerjanya yang beroda lantas menggoyangkan ke kanan dan ke kiri. “Coba kalo memang di sini ada yang kayak gitu dan beneran dapet lima ribu, saya nitip sekarung.”
“Beli sekarung bisa dapet harga grosir, malah lebih murah lagi, Bos.”
Ya ampun, makhluk satu ini! “Kalau kamu nggak mau, sini balikin?”
Dengan sigap, Joni langsung menyembunyikan kantung kertas ke balik punggungnya. “Ya kali, mana cuma ganci, masih diminta balik.”
“Lumayan kan, bisa saya jual lagi.”
“Nggak adil ih Bos. Mbak Syifa dikasih scarf mahal, lah kita-kita dikasih ganci doang,” Joni menggerutu seraya berbalik hendak keluar. Tanpa mengucap terima kasih. Lantas membuka dan menutup pintu tanpa akhlak.
Ah, sepertinya manusia bermoral di dunia ini mulai langka memang.
Menggelengkan kepala tak paham, Naren sudah akan membuka folder pekerjaannya saat sekali lagi pintu terbuka dan kepala Joni menyembul dari sana.
“Ada apa lagi? Mau protes, saya potong gaji kamu.”
“Kagak,” jawab Joni sewot. “Cuma mau ngasih tahu, ada tamu yang mau ketemu Bos.”
Tamu? Naren mengangkat satu alisnya. “Siapa?”
Mulut Joni terbuka, siap menjawab tepat saat daun pintu menjeblak makin lebar hingga gagangnya yang malang menabrak dinding dengan bunyi keras. Spontan membuat Naren berdiri lantaran kaget, siap memarahi Joni karena mengira karyawannya sudah bersikap di luar batas, namun terinterupsi oleh penampakan sosok lain yang tampak angkuh, berdiri di sisi belakang Joni.
“Gue.”
Tubuh Naren praktis terduduk lagi. Ia mengedip sekali, lalu menatap sosok itu intens dan lama.
Berliana Pratista.
Ah, doa Narendra tidak terkabul. Faktanya, semesta masih mempertemukan ia dengan wanita tak bermoral ini. Padahal belum juga ada dua puluh empat jam mereka berpisah.
“Ngapain lo di sini?”
Berlian tak langsung menjawab. Ia maju beberapa langkah, lantas bersiap menutup pintu. Tapi saat mendapati manajer Naren masih enggan pergi, Berlian menatapnya tajam dan berkata, “Bisa tinggalkan kami? Saya perlu bicara dengan bos kamu. Empat mata.” Yang langsung manajer durhaka itu turuti tanpa bantahan, berbeda sekali bila Naren yang memberi perintah!
Begitu tubuh Joni sudah menghilang dari pandangan, Berlian langsung menutup pintu dengan gerakan anggun yang memuakkan. Naren hanya memerhatikan dan menunggu di balik meja kerja dengan tangan menyangga lengan kursi.
“Gue kira urusan kita sudah selesai.” Narendra memasang tampang bosan dan lelah yang tidak dibuat-buat. Berurusan dengan Berlian, hanya menyedot habis semua energi posistif dalam dirinya. Yah, memang seburuk itu.
Berlian mengangkat dagu sedikit lebih tinggi. Naren kian menyipit menatap penampilan wanita itu yang agak ganjil.
Berlian, setahu Naren, tidak pernah mengenakan tas, sepatu, pakaian, atau aksesori apa pun yang sama dalam dua hari berturut-turut. Tapi, hari ini ... Narendra menatapinya dari ujung kepala sampai kaki.
Tasnya sama. Sepatunya juga. Yang dikenakan kemarin, pun dipajang di akun lelang barang prelove. Hanya bajunya yang berganti, juga wajah polos tanpa make up yang membuat Berlian tampak beberapa tahun lebih muda dari usianya. Plaster kecil tertempel di sudut bibir wanita itu yang ... agak lebam kebiruan seperti bekas pukul.
“Belum.” Bahu berlian menegang. Tenggorokannya naik turun. “Ada satu hal lagi.”
“Apa?”
Wanita itu bergerak menuju meja kerja Naren. Dia menarik kursi di seberang sang lawan bicara, mendudukinya tanpa dipersilakan. “Gue butuh pekerjaan.”
Hah? Apa Naren tidak salah dengar? Selingkuhan Akira butuh pekerjaan dan mendatanginya yang hanya seorang pemilik kafe? Pekerjaan macam apa yang Berlian harap bisa Naren berikan? Direktur? Bagian keuangan? Model?
Bah!
Menarik napas panjang, Naren embuskan karbon dioksida melalui mulutnya. Ia lantas menarik kursinya maju lantas melipat tangan di atas meja. “Pekerjaan apa yang lo mau dari gue?” tanyanya sarkas. “Tukang bersih-bersih? Tukang cuci piring? Emang lo mau?!”
Maksud hati, Naren menawarkan posisi yang dianggap Berlian rendah hanya agar wanita ular ini lekas enyah dari areanya. Namun saat Berlian mengangguk kaku dan mengatakan 'gue mau'dengan nada tegas, Naren yakin telinganya dipenuhi ngengat tanpa sadar.
Berlian tidak mungkin bersedia, kan?
“Lo apa?”
“Gue mau!”
Naren ternganga, tak percaya. Otomatis ia menjauh dari kursi kerjanya. Melangkah ke arah jendela dan mengecek posisi matahari yang hampir berada di puncak langit. Tanpa sadar, ia mendesah lega. Bola api raksasa itu masih terbit dari timur dan bergerak ke barat. Kiamat belum tiba. Tapi ... ini masih sulit dipercaya. Seorang Berlian datang padanya meminta pekerjaan?
“Lo anak sultan,” ujar Narendra kemudian begitu kembali menghadap tamunya. “Lo berpendidikan. Lo bisa dapet pekerjaan di tempat dan posisi yang lo mau. Kenapa malah merendahkan diri di sini?”
Berlian menolak balas menatapnya. Desah napas wanita itu teratur. Dua tanganya terlipat rapi di atas pangkuan. “Gue cuma lulusan SMA,” jawabnya, yang sekali lagi berhasil membuat Naren terkejut. “Posisi tinggi seperti apa yang bisa didapat dengan ijazah yang gue punya?”
“Lo nggak harus kerja. Bokap lo bukan orang biasa.”
“Kami sedang terlibat masalah kecil.”
Naren tidak sebodoh itu. Jawaban Berlian sulit ia terima. Anak konglomerat seperti Berlian sudah tentu memiliki banyak koneksi. Berselisih dengan sang ayah, seharusnya tidak lantas membuat Berlian hidup susah. Pun, tak mungkin Berlian tidak memiliki harta pribadi, kan?
Tapi, memang banyak hal dari Berlian yang masih menjadi misteri. Wanita itu sulit sekali ditebak. Dan kalau Berlian hanya ingin bermain-main dengannya, Naren akan mengikuti alur hanya untuk tahu akhir dari semua kegilaan si pengganggu ini.
“Berapa bayaran yang lo mau?”
“Gaji yang wajar, tempat tinggal dan makan.”
14th Temptation
Baru sekali ini saja Naren jumpai di depan mata kepalanya sendiri jenis manusia yang datang melabrak untuk mendapat pekerjaan!
Dengan apa katanya tadi?
Gaji yang wajar, tempat tinggal serta makan. Uh oh, apa Berlian mengira dirinya calon dokter atau pejabat, yang semua fasilitas sehari-hari dipenuhi? Kenapa tidak sekalian minta uang tunjangan dan kendaraan juga? Biar Naren bisa langsung mendepaknya keluar dengan alasan wanita ini sudah gila. Alih-alih pekerjaan, yang Berlian butuh mungkin dokter jiwa.
Tukang cuci dan bersih-bersih saja melunjak, padahal belum juga diterima.
Bersandar pada punggung kursi, Naren melipat tangan di depan dada. Matanya tak lepas mengamati Berlian yang balas menatap ke arah ... keningnya. Sama seperti yang wanita itu lakukan saat berusaha meminjam sepuluh juta pada Naren di Bali. Dia tidak berani memandang langsung ke mata sang lawan bicara.
Barangkali karena ego. Harga diri Berlian ini setinggi langit, jangan lupa. Sulit untuk diruntuhkan. Lihat saja saat ini, meminta posisi pelayan tapi tingkah bagai ratu. Membuat Naren bimbang. Bila ia menerima Berlian, sudah pasti karyawan lain akan sungkan pada Berlian dan tak berani menyuruhnya melakukan beberapa tugas yang memang sudah menjadi kewajiban si menyebalkan ini. Atau kalau pun ada yang berani memerintahnya, Berlian akan balas menghardik.
Namun, menolak juga bukan pilihan. Karena, Naren sungguh penasaran dengan maksud mantan simpanan Akira mendatanginya demi profesi yang sudah pasti dipandang sebelah mata oleh Berlian sebelum ini.
Pun, ya Tuhan ... Naren ingat saat ia mengerjai Berlian mencuci piring untuk melunasi pembayaran perayaan ulang tahunnya. Dua piring berhasil dia pecahkan. Salah satunya berbahan tembikar mahal yang biasa Naren pakai.
Tapi, mungkin kalau sudah kewajiban, Berlian akan bersikap hati-hati. Tidak ada salahnya mencoba.
“Gaji yang wajar, tempat tinggal dan makan.” Ia mengulang kalimat Berlian dengan nada lambat-lambat sambil memutar kursi rodanya ke kanan dan kiri, bersikap menjengkelkan. Kalau Berlian terganggu dengan tingkahnya, maka wanita itu tidak menunjukkan apa pun. Masih duduk kaku pun punggung setegak papan kayu. “Lo sadar posisi apa yang pantas lo isi?” tanyanya retoris. Berlian cukup pintar untuk tidak menjawab. “Tukang cuci,” tambah Naren, “gaji bulanan di bawah pelayan. Keculi lo bersedia bersih-bersih juga, seluruh kafe ini beserta toilet.”
Berlian berkedip. Bulu matanya agak gemetar saat melakukan itu. Dari wajahnya yang memucat juga gerakan tenggorokannya yang naik turun, Naren yakin si anak sultan mulai gentar. Tapi ternyata, nyali Berlian lumayan bisa diacungi jempol, saat bukan kalimat penolakan yang ia lontarkan, melainkan, “Apa dengan melakukan dua pekerjaan itu, gue bisa dapet tiga hal tadi?”
Naren memutar bola mata. “Gaji lo akan setara dengan pelayan. Pelayan mendapat gaji bulanan, bonus di waktu-waktu tertentu, juga tunjangan hari raya. Selama jam kerja, makan ditanggung. Tidak untuk tempat tinggal.” Ia memberi penekanan yang cukup dalam pada kalimat terakhir.
Diamatinya Berlian yang menarik napas panjang. Dia menunduk sesaat sebelum kembali mendongak dan menatap kening Naren lagi.
“Gue butuh tempat tinggal.”
“Lo kan bisa tinggal di apartemen. Hotel. Penginapan. Atau apalah yang menurut lo pantas.”
Di luar pengawasan Narendra, Berlian mengepalkan tangan-tangannya di atas pangkuan.
Hotel? Dengusnya masam. Bagaimana bisa ia tinggal di hotel saat Harry memiliki koneksi dengan nyaris seluruh bisnis itu di kota ini? Berlian saja baru diseret keluar dari salah satu hotel bintang lima beberapa jam lalu. Salah satu cabang bisnis Abimana, tempat pelariannya setelah diusir dari rumah semalam.
Berlian nyaris tidak punya tempat berlari. Harry tidak tanggung-tanggung memiskinkannya. Barang-barang Berlian yang diperbolehkan untuk ia bawa pun sudah sang ayah tentukan. Hanya beberapa baju yang harganya cukup murah di kantong Harry, yang juga sudah si tua kepak dalam koper kecil yang semalam dilempar keluar dari gerbang istana Abimana. Perhiasan serta barang-barang berharga Berlian yang lain tidak, padahal tak semua yang Berlian punya dibeli dari uang Harry, sebagai pemberian kakek, pun hasil kerja kerasnya sendiri selama menjadi bagian dari perusahaan. Tentu saat ia masih menduduki bagian amal semasa kepemimpinan Abimana sebelumnya. Yang berakhir empat tahun lalu, sehari setelah pemakaman sang kakek. Awal mula hidupnya yang hancur menjadi kian redam.
Namun, Diaz Abimana, kakeknya juga tidak cukup menyayangi Berlian. Beliau pergi tanpa meninggalkan apa pun yang bisa melindungi posisinya dalam keluarga atau perusahaan. Semua ... semuanya jatuh ke tangan Harry secara cuma-cuma. Padahal Diaz tahu betapa Harry membenci si sulung. Si berharga yang tidak pantas menyandang nama keluarga.
Berlian tahu, tidak seharusnya ia memancing amarah Harry dengan mengungkit keselamatan dua putra kembar kesayangannya semalam. Dengan begitu, mungkin saat ini Harry masih akan sedikit berbelas kasih. Hanya saja, dianggap berbeda dengan anak-anak yang lain, padahal ia bagian dari keluarga, rasanya ... sakit saja. Seperti ada besi panas dan panjang yang ditusukkan langsung ke jantungnya.
Ah, tapi bahkan kata sakit masih terlalu ringan ditanggung. Sebab, setelah ini Berlian tahu hidupnya akan makin sulit. Bukan berarti sebelumnya tidak, namun dengan gelimang harta, Berlian bisa mendapat semua benda dan pelayanan yang dimau serta membiayai kebutuhan kelas atas. Kendati demikian, uang tidak pernah bisa membeli kasih kasih dan membasuh luka.
“Apa di sini nggak ada ruangan kosong?” tanyanya angkuh. Kernyitan samar tergambar di keningnya yang tak tertutup poni.
Naren menatapnya lama sebelum menjawab, “Ada ruang kecil di samping gudang.” Seolah ingin menyiksa Berlian dan menakut-nakuti, ia menambah, “Ukuran dua kali tiga meter yang belum pernah dibersihkan sejak tahun lalu. Dan ruangan itu benar-benar kosong. Ah, nggak juga sih kayaknya. Pasti banyak tikus dan kecoa di sana.”
Bunyi tarikan napas tajam Berlian, berhasil membuat Naren kesenangan. Putri sultan jelas tidak akan suka tinggal di tempat seperti yang Naren gambarkan, meski mungkin tidak seburuk itu juga. “Kalau lo mau, lo bisa tinggal. Bakal gue beliin kasur busa ukuran single. Kayaknya ada yang harga lima ratusan ribu. Sama ada lemari kecil yang nggak kepake di gudang. Cuma ... ini nggak gratis, Bimbing. Anggap aja lo nyewa.”
“Berapa?”
“Apanya?”
“Harga sewanya per bulan?”
Narendra yakin, andai bukan ciptaan Tuhan yang Mahakuasa, gerahamnya sudah pasti jatuh menyentuh bumi saat ini, pun sepasang matanya barangkali akan keluar dari rongga dan bergelindingan di lantai marmer berlapis karpet di bawah kakinya begitu mendengar tanggapan Berlian yang di luar akal sehat.
Dia putri Harry Abimana! Yang wajahnya sering wara-wiri di televisi pun tak jarang menjadi sampul majalah bisnis dengan total kekayaan yang selalu meningkat setiap tahun. Dan dia, yang sejak bayi dibedong dengan kain sutra serta tumbuh di lingkungan semewah anak-anak raja, mau tinggal di kamar ... kecil samping gudang, yang bahkan tentu lebih sempit dari kamar mandi di rumahnya yang mentereng. Atau mungkin lebih sempit pula dari wc para pembantu Harry. Pasti disebabkan sesuatu.
“Sebenarnya, lo lagi ada masalah sama bokap lo atau dihapus dari KK karena ketahuan jadi selingkuha apa gimana, sih?”
“Apa lo juga mangajukan pertanyaan semacam ini pada calon pegawai?” balas Berlian dengan tanya, sukses membuat bibir Naren terkatup dengan delikan tajam.
“Ya nggak lah.”
“Berarti gue nggak harus jawab,” katanya, “Jadi, berapa harga sewanya sebulan?”
“Separuh dari gaji pokok bulanan lo.”
“Untuk ukuran kamar seburuk yang lo sebut, separuh dari gaji terlalu mahal. Seper sepuluh.”
Ternyata, pikir Naren, sekaya-kayanya Berlian, dia juga perempuan. Generasi ibu-ibu yang apabila menyangkut masalah tawar-menawar tiada tandingan. “Seperempat. Nett.”
“Seperdelapan.”
“Cari aja kosan di luar kalo dapet!”
Sialnya Berlian, Naren juga sejago ibu-ibu masalah tawar-menawar, karena ia sering menemani Yanti, ibunya ke pasar untuk berbelanja. Ia juga punya kafe yang mengharuskan Naren menerapkan teori ekonomi. Gunakan modal sekecil-kecilnya dan dapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Mendesah, wanita itu mengalah juga. Ia menarik panjang sebelum mengangguk sekali. “Berarti dengan ini gue udah jadi karyawan sini, kan?”
Terpaksa, Naren mengangguk juga.
“Bisa minta beberapa pekerja lo bersihin kamar gue, dan belikan kasur yang lo janjikan? Sehari ini gue mau istirahat dulu dan mulai bekerja besok. Sama ... tolong bayarin tagihan taksi gue. Gue lagi nggak pegang uang sekarang.”
Joni sudah kurang ajar. Rahman juga bukan pegawai teladan. Dan Berlian ... jauh di atas mereka tingkat kekurangajaran dan kelancangannya!
Oh, mau jadi apa kafe ini dengan para pekerja yang minus tata krama dan akhlak terhadap atasan macam mereka?
***
“Bos, kurangi gaji saya seratus ribu nggak apa-apa, asal suruh yang lain ganti awasi karyawan baru nggak tahu diri itu!”
Kekacauan terjadi.
Kekhawatiran Naren terbukti tepat di hari yang sama, tak perlu menunggu besok! The power of Berlian yang semenjak memakai seragam karyawan dengan tampang jijik, memintanya menyembunyikan identitas wanita itu dari siapa pun. Mulai saat ini, katanya, panggil dia Lili.
Bukan hanya nama, Berlian juga mengubah penampilan. Dia mengenakan kacamata bundar bercorak bulu macan. Tompel besar berbulu di pipi kiri. Lipstik mate yang agak gelap serta ban kepala.
Melihat wanita itu pertama kali keluar dari ruangan yang sejak hari ini menjadi kamarnya, Naren sempat berpikir dia orang lain. Saat ditanya kenapa harus ada penyamaran, Berlian menjawab dengan masuk akal.
“Apa kata orang kalau tahu anak Harry Abimana jadi pelayan?”
Jika Berlian takut orang-orang tahu, seharusnya sejak awal dia tidak mendatangi Naren, kan?
Ya, bagus dong. Kali aja bokap lo udahan ngasih hukuman, kan?
Berlian hanya berkedip, menatap Narendra penuh arti dengan mata sekelam malam yang menyembunyikan banyak rahasia sebelum mengedik acuh dan berbalik membelakanginya begitu saja. Tak memberi jawaban apa pun.
Tapi, Berlian memang aneh. Biarkan saja selama tidak merugikan dirinya dan kafe ini.
Selama tidak merugikan. Nyatanya, belum ada dua belas jam, Naren sudah merugi. Dimulai dari keluhan salah satu pelayan yang ia tunjuk untuk mengawasi si karyawan baru.
“Apa lagi ulahnya kali ini?”
Tadi, Naren mendapat laporan hasil pel-pelan Lili tidak becus. Toilet jadi terlalu becek dan hampir membuat terpeleset salah seorang pengunjung. Lalu laporan berikutnya, tentang Lili yang memecahkan gelas.
Kemudian, sekarang?
“Saya tadi cuma menegur dia, eh dia malah lebih galak. Saya marahi, dia nyaris melempar saya pakai tatakan cangkir.”
“Dan?”
“Untungnya saya cepat menghindar, jadi tatapan itu mengenai dinding.”
“Pecah?!” tanya Naren setengah ngeri.
“Iyalah, Bos. Orang dia lempar kok. Kalo kena ke saya, bisa-bisa bukan cuma tatakannya saja yang pecah, kepala saya juga.”
Naren menyisir rambutnya frustrasi dengan memberi penekanan dalam di setiap ujung jemari.
Ber-li-an. Ia menggeram dalam hati, mengutuk wanita itu dengan nama paling buruk. Ini belum sehari. Belum sehari!
Naren seharusnya memang menuruti mau wanita itu yang meminta mulai bekerja dari besok.
Hanya saja, apa beda besok dan hari ini kalau masalahnya bersumber dari Berlian yang memang tidak becus mengerjakan tugas apa pun? Seharusnya, kejadian Berlian memecahkan piring tembikarnya beberapa minggu lalu sudah menjadi tolak ukur. Naren saja yang sinting mau menerima seorang putri sultan yang bahkan mungkin seumur hidup tidak pernah menginjak dapur menjadi karyawannya!
Mendesah berat, Naren tahu ia harus turun tangan langsung mengawasi Berlian. Seorang pelayang tidak akan membuat wanita itu gentar, Naren saja dia lawan. Sialan! Akhirnya ia mengumpat juga kan!
Tiba di dapur belakang, Naren mengelus dada demi meredam kekesalannya.
Tolong. Tolong jangan tebak apa yang terjadi.
Kacau. Kacau!
Lantai becek oleh tempias air dari keran. Tempat sampah nyaris penuh oleh pecahan beling. Di ujung sana, yang kemungkinan hasil karya Berlian yang sedang kesal, serpihan tatakan berserakan. Busa sabun di mana-mana. Sedang pelaku utama masih sibuk membilas di depan bak cuci yang super berantakan.
“Bimbing!” serunya kesal. Oh, amat kesal. Berlian lebih menyebalkan dari Joni, Rahman, Nara sekalipun tak pernah membuatnya nyaris gila seperti ini.
Tahu dirinya dipanggil, meski ia sering protes dengan sebutan jelek itu, Berlian yang saat ini berperan sebagai Lili, menoleh.
Naren ingin marah. Sungguh ia ingin marah. Tapi melihat tampang menyedihkan Berlian, anehnya Narendra harus menahan diri untuk tidak tertawa.
Di depannya, tujuh langkah di ujung sana, separuh pakaian Berlian basah. Rambutnya acak-acakan dengan ban kepala yang miring. Kacamatanya melorot dan tompel yang mungkin dari bahan karet itu pindah tempat nyaris ke dagu.
Ya ampun, sejak kapan tompel bisa jalan-jalan?
Sayang, penampakan kocak itu tak bertahan lama, lantaran Berlian berbalik sambil memegang gelas berkaki yang kemungkinan masih licin.
Dan tepat saat wanita itu menyahut, “Ya?” gelas yang malang itu meluncur jatuh dari pegangan goyahnya. Menimbulkan bunyi cetar yang ... tentu saja membuat Narendra kembali naik pitam.
Berlian berkedip polos, menunduk mengikuti jejak gelas berkaki yang kini menjadi kepingan di bawah kakinya dan berseru. Ups, sori ...!
Sori? Sori? Apa gelas dan piring-piring yang audah hancur akan kembali utuh dengan matra sori?!
Mengepalkan tangan, Naren mengatup gerahamnya erat-erat. Satu lagi benda kamu pecahkan, gaji kamu bulan ini saya gunduli sampai habis!
15th Temptation Narendra sungguh keterlaluan! Berlian bersungut-sungut memperhatikan jari-jari tangannya yang berkerut-kerut lantaran kelamaan berkutat dengan air dan sabun. Hanya karena memecahkan beberapa gelas dan piring, ia harus menjalani hukuman nyaris sampai tengah malam. Katanya sebagai bentuk pelatihan.
Pelatihan macam apa yang memaksa seseorang bekerja sampai larut begini? Ini namanya penyiksaan! Dan Narendra menyebalkan itu tampaknya sangat menikmati ekspresi kelelahan Berlian.
Bayangkan saja, lelaki itu terniat sekali sampai membelikan Berlian peralatan dapur berbahan melamin beberapa set, lantas menyuruh Berlian mencucinya berulang kali sampai ia bisa memegang dengan benar tanpa membuat barang-barang tersebut jatuh. Lengkap dengan instruksi-instruksi yang nyaris membuat telinga Berlian sakit mendengarnya.
Harus begini, harus begitu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.
Huh! Apa menjadi pencuci piring memang begitu menyedihkan? Ah, tidak. Apa menjadi karyawan orang lain sebegini susah? Harus menuruti semua perintah bos tanpa bantahan. Kalau tidak, gaji akan dipotong.
Seumur-umur, Berlian tak pernah melakukan pekerjaan domestik. Jangankan sampai mencuci piring, mengambil air putih saja pembantu yang lakukan. Berlian hanya tinggal ongkang-ongkang kaki. Berbelanja ke sana ke sini. Mempercantik diri. Menghadiri acara-acara sosial. Dan ... tentu saja bertengkar dengan Harry, pun saling tuding dengan ibu tirinya. Juga aktivitas remeh lain yang tak harus membuat ia mengeluarkan setetes keringat.
Namun, hari ini bukan hanya setetes, tapi seluruh tubuh dari ujung kaki sampai kepala terasa lembab oleh cairan asin itu. Rambut Berlian yang biasanya kering dan wangi bahkan terasa lepek dan bau keringat.
Belum selesai dengan masalah cuci piring, Berlian juga diminta menyapu dan mengepel. Berulang kali. Oleh karena ruang kafe dan dapur sedang dipakai selama jam kerja, Berlian terpaksa menggunakan toilet sebagai tempat pelatihan sialannya.
Narendra yang turun langsung sebagai pengawas sampai menggunakan sarung tangan putih berbahan kaus. Setiap kali Berlian selesai menyapu atau mengepel satu ruang toilet, Narendra langsung menyapukan tangannya yang terbungkus kain sewarna kafan itu pada lantai atau dinding kamar mandi.
Jangan tanya, jelas tidak akan pernah ada kata bersih sebersih-bersihnya. Bahkan walau hanya masih kotor sedikit saja, Berlian harus mengulang pembersihan dari awal.
Berlian lelah. Sangat. Ia bahkan hampir menangis lantaran tubuhnya terasa remuk. Tapi, tidak. Dia tidak akan memberikan Narendra kepuasan sebesar itu dengan menjatuhkan air mata di depan si lelaki sialan yang tak punya hati.
Lihat sekarang, jam setengah dua belas malam dan Berlian baru beristirahat. Tentu setelah Narendra menyatakan dirinya lulus uji coba. Menyebalkan.
Berlian menatap tangannya nelangsa. Beberapa kuku panjangnya yang dirawat dengan sangat baik selama ini patah. Yang selamat, bentuk kuteknya pun berantakan. Berlian tidak punya pilihan selain menghapus cat serta memotongnya pendek. Tak ada kata cantik bila bekerja di bagian belakang. Tapi, kenapa beberapa asisten rumah tangga yang masih muda di rumah Harry masih bisa tampil cantik bahkan terkadang dengan make up lengkap? Apa mungkin mereka sudah pro? Yang setiap kali mengepel atau mencuci piring, tak sedikit pun air akan terciprat ke wajah mereka? Bisa jadi, pikirnya muram.
“Nih, lo pasti lapar, kan?”
Sepiring nasi dengan lauk ayam dan sayur, dihidangkan di atas piring melamin yang bentuknya bahkan sudah ia hafal meski dengan mata tertutup saking seringnya ia pegang seharian. Berlian mengerjap, mengalihkan perhatian dari tangan ke arah seseorang yang menyodorkan piring.
Siapa lagi kalau bukan bos tanpa hati yang anehnya justru disukai oleh nyaris seluruh karyawan kafe ini.
Melirik jam yang menggantung di sisi dinding selatan, Berlian dorong piring tersebut menjauh lantas menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Kafe sudah tutup sejak setengah jam lalu, pun sebagian besar karyawan telah kembali pulang. Yang tersisa hanya Berlian, juga beberapa pekerja dapur, pun Narendra yang kini duduk di seberang meja bulat kafe lantai bawah sambil bersedekap menatapnya.
“Gue nggak makan jam segini.”
Mendengar jawabannya, Narendra melengkungkan alis, lantas mendengus kasar. “Wanita dan alasan konyolnya tentang bentuk tubuh, huh?” mendorong piring penuh itu lagi ke arah Berlian, Naren menambahkan, “Dan ingat posisi kamu. Saya bos di sini, jadi jangan coba-coba menggunakan bahasa yang tidak sopan. Karena sekarang, di hadapan saya, kamu bukan lagi Berlian putri konglomerat, melainkan Lily, salah satu karyawan yang melarat. Saking susahnya sampai bersedia tidur di samping gudang.”
Sialan. Berlian menggertakkan gigi kesal. Andai ada pilihan lain, Berlian juga tidak mau datang pada Narendra untuk meminta pekerjaan. Tapi, bagaimana lagi?
Koneksi yang ia punya hanya kolega yang semua berhubungan baik dengan Harry. Kalau Berlian nekat datang ke salah satu dari mereka, tentu saja kabar bahwa Berliana diusir akan menyebar ke mana-mana dan menimbulkan gosip.
Pun kalau sampai berita tersebut bocor ke media, Harry pasti melaksanakan ancamannya untuk membeberkan pernikahan rahasia Akira dan Nara. Dan semua orang akan tahu kalau selama ini hubungannya dan Akira tidak lebih dari status gelap.
Tidak. Berlian tak peduli pada hujatan orang yang akan menyebutnya selingkuhan, simpanan atau perebut suami orang. Karena hujatan tidak akan membuatnya kembali berjaya atau makin memiskinkannya. Cercaan masyarakat juga tidak akan semenyakitkan hinaan Harry. Tapi, lebih dari itu, Berlian sudah berjanji pada keluarga Akira untuk tidak pernah mengatakan kebenaran pernikahan tersebut pada siapa pun.
Berlian memang tidak baik, tapi ia bukan pengkhianat. peduli setan dengan Akira, ia lebih memikirkan perasaan mantan calon ibu mertuanya serta Fio yang selama ini sudah bersikap sangat baik pada Berlian.
Dan, selain Naren ... Berian tidak yakin memiliki kenalan lain yang mau direpotkan. Mungkin Jeremi mau, oh tapi dia di Bali dan Berlian kehilangan kartu namanya.
“Lo—”
Pelototan Narendra menghentikan kalimat Berlian. Wanita itu berdecak kesal, menurunkan tangannya ke atas pangkuan seraya mendesah dan menjauhkan punggung dari sandaran kursi. “Bos nggak pernah baca jurnal kesehatan, ya? Makan tengah malam itu tidak baik.”
“Seolah kamu peduli!”
“Maaf, saya memang peduli dengan kesehatan diri sendiri.” Dia mendorong kursi duduknya ke belakang, lantas bangkit. Hari ini sangat melelahkan. Berlian butuh tidur. Terlebih, besok ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk mulai beraktivitas bila tak ingin Narendra mendobrak pintu kamar hanya untuk membangunkannya. Narendra memang setega itu. “Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya mohon undur diri.” Tepat saat Berlian menyelesaikan kalimatnya, bunyi naga yang cukup nyaring terdengar.
Dari perut Berlian yang memang kelaparan. Oh, sore tadi ia hanya makan sedikit, seperti porsi biasanya.
Dan kini ... Berlian menggigit bibir, menolak menatap Narendra yang memandangkan dengan kepala ditelengkan ke samping. “Makan tengah malam sangat tidak baik untuk kesehatan, kan?” sindir si bos sialan.
Argh! Kenapa Berlian tidak pernah bisa mempertahankan harga dirinya di depan lelaki ini?!
***
Siapa sangka, Berliana ternyata tipe seseorang yang gampang belajar dan disiplin waktu. Hal baik dari karakternya yang buruk.
Narendra dibuat takjub saat ia tiba pagi tadi ke kafe ini, berniat membangunkan sang tuan putri—khawatir dia masih pulas dalam mimpi—tapi yang Naren dapati justru ... Berlian yang sudah siap tempur dengan seragam pelayan dan atribut penyamarannya sebagai Lili. Bukan hanya itu, caranya mencuci piring dan mengepel, tidak lagi sekaku kemarin, meski masih agak berantakan. Maklumi saja, dia masih baru belajar saat sebagian anak sepuluh tahun sudah mahir melakukan pekerjaan yang sama lantaran kebiasaan sehari-hari.
Ini jelas kemajuan yang ... menakjubkan untuk jenis wanita yang terlahir di atas ranjang sutera.
Lihat saja sekarang. Berlian, tanpa memedulikan keadaan sekitar, sedang membilas piring kotor. Tangan-tangan kecilnya memegang setiap benda dengan benar, meski posisi berdirinya masih elegan seperti kontestan putri Indonesia. Tegap, lembut dan halus. Seseorang yang jeli, akan langsung mengetahui bahwa jelas pegawai baru kafe ini, Lili, bukan dari kalangan biasa.
“Ngedip atuh, Bos!” tegur Rahman, yang entah sejak kapan berada di sampingnya. Menjentikkan jari dengan kurang ajar di depan hidung sang atasan yang tengah bersandar di dinding, mengawasi Berlian bekerja. Walau pun, yah ... si pegawai baru sebetulnya sudah bisa ditinggal. Hanya saja, tingkah rajin Berlian ditakutkan hanya kedok untuk mengelabuinya. Bila Naren pergi, bukan tidak mungkin Berlian akan memecahkan piring lagi atau menyusahkan karyawan yang lain dengan sifat bossy-nya yang memang sudah bawaan lahir. Naren pun harus mengakui, aura kepemimpinan Berlian lebih kental dari pada dirinya.
Mengerjap, Naren menggeram. Ia menatap Rahman tajam, tapi malah gagal mengintimidasi. “Sekali mengalihkan pandangan, pecahan piring bisa berhamburan,” jawab Naren dengan nada yang sengaja dikeraskan, agar Berlian mendengar alasannya masih berdiri di sana. Bersandar pada dinding pemisah antara dapur masak dan tempat cuci.
Rahman berdecak. “Alah, alasan.” Asisten koki yang satu ini dengan lancang menaikkan sebelah alis seraya meledek, “Dicuekin Mbak Syifa, sekarang ngincer pegawai baru?” Ia bertanya setengah berbisik seperti ibu-ibu kompleks tukang gosip. “Tapi,” lanjutnya, “Mending Mbak Syifa ke mana-mana lah, Bos. Lili lumayan bening emang, tapi modelannya aneh. Terus tompelnya itu loh, bikin geli. Udah gede, di pipi, ada bulunya lagi!”
Naren menggigit pipi, berusaha untuk tidak menyeringai atau tertawa. Andai saja Rahman tahu. Di balik tampilah seorang Lili yang buruk rupa, terdapat sosok jelita yang tersembunyi. Berlian jelas lebih cantik dari Syi—
Sial. Apa yang Naren pikirkan?
Baiklah. Meski berat, harus diakui. Secara fisik Syifa kalah cantik dari Berlian. Tapi bila masalah hati, jangan ditanya. Bahkan rumput yang bergoyang tahu jawabannya.
“Ngomong-ngomong nih, Bos, perasaan tompel Lili kemarin letaknya di pipi kiri deh, kok sekarang di kanan?”
Mendengar pertanyaan itu, Naren mengernyit. Tanpa sadar, dia menengok ke arah Berlian yang setengah menyamping dari posisi sang bos yang sedang mengawasi dan ... benar juga. Kemarin, tompel Lili tak terlihat dari sisi ini, tapi sekarang justru tampak jelas.
Naren menahan gemas. Sepertinya salah posisi—lagi. “Ngayal kamu! Ya kali tompel bisa pindah-pindah!” semburnya, kembali mengeraskan suara yang spontan membuat Rahman meringis tak enak hati dan refleks menggeplak lengan Naren yang dikira tidak peka dan buta sikon. Padahal Narendra memang sengaja agar Berlian sadar tompelnya suka salah tempel.
Tak ingin Rahman bertahan di sana lebih lama dan mulai meracau macam-macam, Narendra mendorongnya kembali ke dapur, sedang ia yang memang harus memeriksa pengeluaran bulan ini pada akhirnya memutuskan meninggalkan ruang belakang. Meninggalkan Berlian yang setelah tinggal seorang diri langsung mencuci tangan, berlari ke arah cermin kecil di sudut dan memeriksa tompel lepas pasang yang yang ia beli di Bali lantaran merasa benda tersebut lucu, tanpa pernah berpikir untuk memakainya. Siapa sangka, sesuatu yang dibeli lantaran iseng itu kini sangat berguna untuk penyamaran.
“Apa benar kemarin di kiri?” tanyanya pada bayangan di depan sana seraya menekan-nekan tompel berbahan silikon itu, berusaha menghapal tempat. Di bawah tulang pipi. Oke, mulai sekarang letaknya di kanan. Kanan. Semoga saja besok ia tidak lupa dan malah memasang di kiri.
“Lo kira dengan ngaca bisa bikin tompel jelek itu hilang gitu? Jangan ngimpi!” suara keras dari balik punggungnya, berhasil membuat gerak jari Berlian yang sedang menekan tompel terhenti. Lewat cermin, ia tatap salah seorang karyawan yang namanya entah siapa, pun tak ingin Berlian ketahui, dengan tajam. Menurunkan tangan ke sisi tubuh, ia berbalik. “Nih, cuci. Nggak usah kecentilan narik perhatian Bos. Lo nggak ada apa-apanya dibanding Mbak Syifa.” Lalu si perempuan kurang ajar berambut panjang dan bertubuh semok itu pergi setellah meletakkan nampan besar berisi barang-barang kotor dengan kasar di samping bak cuci.
Berlian menahan diri untuk tidak menarik rambut berombak yang diikat mirip buntut kuda itu dan menyudutkannya ke tembok.
Ingat kata bos kemarin.
Jangan cari-cari masalah dengan karyawan lain, atau ia akan dipecat.
Jangan bertingkah seolah masih putri kaya, atau Naren sendiri yang akan menyeretnya keluar dari kafe.
Jangan merusak barang apa pun di sini, atau gajinya akan disunat.
Dan sederet aturan khusus lain yang Berlian yakin tidak diterapkan pada karyawan lain. Hanya dirinya. Narendra memang pilih kasih.
Tapi, apa kata si semok tadi? Jangan goda bos? Seolah Berlian sudi melakukan itu saja. Lagi pula, ia memang jauh lebih cantik dari Syifa, kepala koki yang katanya ... disukai Naren. Oh, bahkan banyak karyawan kafe yang menjodoh-jodohkan mereka.
Setiap kali Naren dan Syifa kedapatan bicara berdua, mereka akan dicie-cie, bahkan disiuli. Tingkah pekerja di sini memang mirip bocah. Berlian tidak habis pikir bagaimana Naren menerapkan sistem kerja pada para pegawainya yang seperti tak menaruh hormat sama sekali pada atasan.
Selain mirip bocah, mereka juga suka sekali menggunjing. Kabar Berlian nyaris memecahkan kepala Rudi dengan tatakan gelas, karyawan yang kemarin sempat ditugasi Naren untuk mengawasinya, langsung tersebar luas, yang kemudian membuat sebagian besar karyawan lain menatapnya sinis.
Dengung lebah yang sering kali Berlian dengar tanpa sengaja menyangkut dirinya, “Masih baru kok belagu?”, “Dia tuh nggak bisa apa-apa. Heran deh, kok bisa Bos nerima pekerja jenis begitu?”, “Tingkahnya itu loh, kayak anak presiden. Tukang cuci piring aja songong!”, “Kok, rasa-rasanya Bos perhatian banget sama dia?” Dan banyak lagi. Dan banyak lagi.
Baru dua hari, Berlian sudah merasa tidak tahan. Bukan hanya tugas yang berat, dia gatal ingin membungkam mulut-mulut sialan itu. Tapi, tidak. Ia bisa bertahan. Biar saja anjing menggonggong, kafilah akan tetap berlalu.
Menarik napas untuk meredakan amarah yang ditimbulkan salah satu tim hore Naren-Syifa, Berlian kembali ke sisi bak cuci. Tangan-tangannya sudah berkerut, pun bahu pegal dan kaki kesemutan lantaran kelamaan berdiri, tapi ia tidak bisa berhenti.
Benar kata Narendra. Saat ini ia bukan Berlian putri konglomerat, melainkan Lili si pegawai melarat.
Tapi, apa hidup Berlian akan selamanya begini? Ke mana takdir akan membawanya ke masa depan? Harry sudah membuangnya, praktis Berlian tidak punya apa-apa sekarang. Kecuali bila ia membunuh. Nara atau Harry beserta istri dan kedua anaknya.
Masih ada satu pilihan lain.
Mencari suami kaya. Atau setidaknya mapan, yang bisa membuat ia hidup nyaman.
Namun, bagaimana cara mendapat kriteria suami semacam itu dengan dirinya yang seharian berkutat dengan piring kotor sebagai Lili yang jelek? Karyawan rendahan macam Rahman saja tidak berminat padanya.
Huh, Andai saja Naren tidak pelit, Berlian mungkin akan mempertimbangkan untuk benar-benar mendekatinya seperti yang dituduhkan pegawai semok tadi.
Namun, masalah terbesar bukan pada sisi pelit Naren sebenarnya, melainkan standar tinggi calon istri lelaki itu. Dan Syifa benar-benar merupakan kandidat paling sempurna.
Dari keluarga baik-baik. Sifat ramah. Tata krama bagus. Murah senyum. Berhijab. Pintar masak.
Dibanding Syifa, Berlian bahkan tak ada seujung kukunya saja.
Tapi, tunggu dulu ... kenapa pula Berlian harus mempertimbangkan Naren sebagai kandidat calon suami potensial? Ah, pasti karena ia mulai lelah dan lapar, jadilah berpikir melantur.
Kalau benar dirinya ingin menikah dengan lelaki mapan, tinggal meminta Fio memperkenalkan Berlian pada teman-teman calon suami adik Akira itu saja. Untuk apa repot-repot mempertimbangkan Narendra!
Ya ampun, lapar benar-benar bisa membuat sistem kerja otak bermasalah.
Sialan. Dia butuh makan untuk kembali menjernihkan pikiran!
16th Temptation
“Oke, Guys, hari ini kita akan tutup kafe lebih awal. Ada pasar malem deket sini yang baru buka. Refreshing kita. Tapi buat kalian yang nggak mau ikut, nggak apa-apa pulang duluan.”
“Ada yang gratisan kok nggak ikut sih, Bos, cetus Joni menanggapi. Gratis kan? Dibelanjain juga, kan? Anggap aja sebagai penebusan dosa karena kemarin ke Bali oleh-olehnya cuma ganci doang!” tambahnya dengan lancang, seolah Naren bukan atasan melainkan hanya teman main.
Mungkin ini salah satu alasan para karyawan K(af)eRen seperti tidak memiliki batas dengan pimpinan, karena Narendra terlalu santai. Pun terlalu memberi kelonggaran. Menutup kafe lebih awal hanya untuk jalan-jalan bersama pegawainya ke pasar malam? Agenda macam apa itu?
Sejauh yang Berlian tahu, saat malam kafe ini lebih ramai dari siang hari. Bila tutup lebih awal hanya untuk hiburan tidak berguna, tentu akan mengurangi keuntungan maksimal yang seharusnya bisa didapatkan. Kalau seperti ini terus, kapan Narendra akan menjadi kaya raya?
Selain itu, strategi bisnisnya juga keliru menurut pandangan Berlian. Dari yang dia dengar sejauh ini, Narendra berniat membuka cabang di Bali. Itu terlalu jauh. Selain lokasi yang tidak bisa setiap hari dijangkau, orang-orang Bali tentu belum mengenal K(af)eRen yang sejak berdiri memang beralokasi di Jakarta. Seharusnya, Naren membuka cabang di tempat yang tidak terlalu memakan jarak. Bekasi atau Bogor misal untuk langkah awal. Selain masih dalam pantauan, K(af)eRen tidak harus merintis dari awal dan memperkenalkan menu lagi, karena kemungkinan di daerah yang lebih dekat kafe ini sudah pernah terdengar gaungannya, dan akan lebih mudah mendapat pelanggan-pelanggan baru.
Namun, pola pikir Narendra memang berbeda. Bayangkan saja, dia memilih menjomlo sejak lahir hanya untuk menyenangkan seseorang yang akan menjadi istrinya kelak. Istri yang sudah ia bidik. Syifa. Dan pemikiran tersebut serta-merta membuat Berlian langsung menoleh pada wanita yang dimaksud. Si kepala koki berhijab yang sedang menikmati santap siangnya sambil bercanda dengan karyawan lain dalam satu meja. Oh, Naren ada bersama mereka. Duduk tepat di seberang Syifa. Para karyawan membentuk kelompok-kelompok di jam istirahat di ruang khusus. Hanya dirinya yang sendirian di pojokan, menikmati jatah makan dalam diam.
“Boleh-boleh,” jawab Naren atas pertanyaan salah satu pegawainya yang tidak tahu diri. Yang tentu disambut sorai gembira, tapi langsung berubah menjadi gertuan saat bos mereka melanjutkan, “Nanti, totalnya dikurangi dari gaji bulanan. Sepakat?”
“Huuu ... kalau gitu sama aja bohong lah, Bos.”
Naren hanya tertawa menanggapi protesan mereka. Dan seperti menyadari sedang diperhatikan, pandangan lelaki itu jatuh ke pojok ruangan. Pada Berlian yang langsung mengalihkan pandangan dengan pipi merona. Entah mengapa tiba-tiba merasa malu.
Namun Naren yang memang mungkin tidak berniat membuat hidupnya yang berantakan tenang barang sejenak, langsung bersuara, sengaja ditujukan kepada karyawan barunya yang malang. “Lili, ikut?” Ia bertanya dengan nada mengejek yang tak kendara. Seringai kecil bagai kibar bendera tanda perang tersemat di ujung bibirnya.
Narendra pasti tahu, atau sudah bisa menebak, seorang Berlian yang selalu lelaki itu ejek dengan sebutan anak Sultan, pasti belum pernah pergi ke pasar malam.
Sial!
Lebih sial lagi, sekarang semua mata para karyawan langsung menoleh padanya secara serempak. Sebagian mengangkat alis, seolah baru menyadari keberadaan Lili si karyawan baru yang jelek tapi sombong berada di ruang yang sama.
Padahal, Berlian memang bermaksud tidak ikut. Malas. Pasar malam pasti ramai, dan mungkin juga ... kumuh? Di sana mereka akan berbaur dengan orang-orang kalangan bawah. Tawar menawar benda murahan dan naik wahana seadanya. Berlian beberapa kali pernah lewat di pinggir pasar malam. Hanya melihat dari jendela mobil saja dia sudah merasa enggan datang ke sana. Lebih baik ke mal sekalian kalau ingin belanja. Atau ke Dufan untuk bermain. Tapi, Berlian tidak pernah mengabaikan tantangan. Maka mengangkat dagu lebih tinggi, ia menjawab, “Ya,” dengan lantang. Membalas tatapan Narendra tepat di matanya yang berwarna cokelat hangat.
Mendengarnya, seringai Narendra melebar. Membuat Berlian merasa dirinya sudah jatuh dalam perangkap sang atasan yang menyebalkan.
Memalingkan pandangan, Berlian hendak melanjutkan suapan, bermaksud menghabiskan jatah makan siangnya yang lumayan banyak. Sejak mulai bekerja sebagai tukang cuci dan bersih-bersih, Berlian merasa porsi makannya melonjak tiga kali lipat. Yang mengherankan, ia justru merasa makin kurus. Tulang selangka dan pergelangan tangannya kian menonjol. Seolah nasi sebakul yang ia makan hanya membuat kenyang, lalu terbuang menjadi keringat dan anus. Tak ada nutrisi yang tertinggal.
Yah, mungkin begini nasib pekerja rendah. Selain dipandang sebelah mata, hidup juga sengsara. Berlian yang biasa mendapat fasilitas lengkap, jelas kagok. Tulang-tulangnya terasa rontok. Kulit tangannya tidak lagi halus dan lembut lantaran terlalu sering bersentuhan dengan sabun.
Mendesah, Berlian mengangkat sendok yang sudah ia isi dengan nasi dan sepotong daging berbentuk dadu, siap lanjut menyantap saat ponsel yang ia letakkan di samping piringnya berdering.
Dari nomor yang tidak tersimpan di kontak. Kendati demikian, tiga digit terakhir sudah ia hapal mati di luar kepala.
Berlian menelan ludah. Saat nomor ini menghubungi, pasti ada sesuatu yang buruk. Hal terakhir yang ia inginkan sekarang. Ketika dunianya jungkir balik.
Menurunkan kembali sendok ke atas piring yang isinya baru habis separuh, Berlian bangkit berdiri. Ia menggeser icon hijau ke atas, lantas menempelkan ponsel ke telinga kanan seraya menyapa seseorang di seberang saluran. Kakinya melangkah menjauh. Tak ingin ada seorang pun mendengar percakapan itu. Tidak menyadari, atasannya masih mengawasi.
“Lili manis, ya!” suara halus di seberangnya, berhasil mengalihkan perhatian Narendra dari sosok mungil Berlian yang keluar dari ruang istirahat setelah menerima panggilan telepon. Menoleh, ia dapati Syifa yang menatapnya dengan kerling jail yang spontan membuat sang bos berdeham salah tingkah.
Tak tahu harus bagaimana memberi tanggapan, lelaki itu hanya mengedikkan bahu kemudian. “Aku cuma heran aja, kenapa dia sulit sekali berbaur dengan yang lain. Terkesan menjauhkan diri.”
“Dia masih dua hari di sini, Ren. Jelas butuh waktu buat adaptasi.”
“Mungkin,” jawab Naren sekenanya seraya menyesap kopi hitam tanpa gula yang memang menjadi minuman favoritnya setiap siang agar tidak mengantuk saat jam kerja. Dari balik gelas, ia masih melirik ke arah pintu yang menghubungkan ruang istirahat dengan halaman belakang, seolah berharap bisa menemukan Berlian di sana. Hanya untuk memejamkan mata kemudian saat menyadari, ia tidak seharusnya penasaran dengan siapa Berlian melakukan panggilan telepon.
Tapi tetap saja, bisikan setan yang terkutuk menggaung di telinga. Dari Akira kah?
Benar, mereka sudah putus. Tapi, saat ini kondisi berbeda. Berlian sedang berseteru dengan ayahnya hingga diusir pergi—kesimpulan yang berhasil Narendra tarik dari kejadian yang menimpa wanita itu, meski sampai sekarang Naren masih belum mengetahui alasannya—dengan kembali pada Akira, Berlian tidak harus bekerja terlalu keras di sini.
Hanya saja kalau memang demikian, seharusnya Akira yang lebih dulu Berlian datangi. Bukan dirinya. Kecuali kalau usaha tersebut memang sudah dilakukan, dan Akira menolak. Tapi, sepertinya tidak mungkin. Jelas Akira memuja mantan selingkuhannya itu. Berlian cukup mengibaskan rambut, Naren yakin suami Nara yang bodoh akan langsung kembali bertekuk lutut. Dengan catatan, dia datang sebagai Berlian, bukan Lili yang tompelan.
Menghabiskan sisa kopinya dalam beberapa kali teguk, Naren kembalikan cangkir ke atas meja dengan gerakan kasar, setengah membanting. Sebagai upaya menyadarkan diri, bahwa apa pun yang Berlian lakukan bukan urusannya.
Oh, tapi memang urusannya. Kalau Akira sampai kembali dengan wanita murahan itu, Naren terpaksa harus mengenakan kembali jubah mak comblang tak kasatmatanya dan merancang strategi untuk memisahkan mereka—lagi. Pekerjaan yang sungguh sama sekali tak bisa ia nikmati.
Ya Tuhan, Naren mendesah. Sejak mendengar nama Berliana Pratista dari ayahnya, hidup Narendra menjadi tidak tenang. Seolah nama itu merupakan mantra kutukan yang berhasil mengubah ketenangan Narendra menjadi kekacauan yang menghancurkan.
Bangkit berdiri dengan gerak serampangan, ia memaksakan diri tersenyum. “Saya duluan ya, mau salat dulu,” ujarnya pada yang lain, yang menatapnya penuh tanya sejak ia nyaris membanting gelas kopi yang kosong.
Barang kali mereka heran, Naren tidak biasanya bersikap kasar.
Keluar dari ruang istirahat, Narendra dapati Berlian yang mondar mandir di lorong belakang, tepat di samping musala kafe yang siang itu masih sepi, sambil mencengkeram ponsel di tangannya. Dia langsung berhenti bergerak saat nyaris menubruk tubuh Naren yang memang otomatis langsung menghentikan langkah begitu menemukan seorang Lili yang tampak gelisah. Naren bersedekap, menunduk menatap sosok wanita yang hanya setinggi bahunya.
Berlian mendongak. Mata sipit itu melebar mendapati sosok Naren. Tubuhnya langsung berubah kaku. Gestur yang jelas mencurigakan.
“Bos,” katanya dengan suara tercekat.
Benak Naren mengulang. Bos. Berlian tidak pernah memanggilnya begitu. Biasanya dia langsung bertanya tanpa menyebut nama atau hanya memakai sebutan Bambang saat kesal pada Naren.
Lalu ... entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja Naren ingin tahu. Bagaimana namanya terdengar bila bibir tipis sewarna ceri milik Berlian yang menyebutnya.
Oh, sial. Apa yang ia pikirkan!
“Kenapa?”
“Boleh saya izin siang ini,” ujar Lili. Hari ini tompelnya tertempel dengan benar, tak lagi pindah ke dagu seperti kemarin. Hanya kaca mata noraknya yang agak melorot ke tulang hidung Berlian yang kecil.
Oh, dengar yang tadi dia katakan? Sopan sekali. Ini jelas bukan Berlian. Kecurigaan Narendra membengkak. Izin?
Saya ada keperluan penting di luar.
“Berlian ... atau Lili, tolong sadar diri,” geram Narendra kasar. Ia bisa menebak untuk apa wanita ini meminta izin. Sudah tentu menemui Akira. Barangkali ia sudah tidak tahan hidup susah. Padahal belum juga ada tiga hari di sini!
Huh. Memang apa yang Naren harapkan dari Berlian? Wanita yang sejak lahir memang dimanja, akan sangat susah hidup mandiri. Naren membatin sewot. Entah mengapa merasa marah. Dan lebih emosi lagi membayangkan Berlian mendatangi Akira, merayunya untuk mendapatkan kehidupan yang mapan, tak peduli sekalipun hanya dijadikan simpanan tanpa janji pernikahan. Menyerahkan tubuh dan merelakan harga diri demi hidup nyaman.
Ah, ya. Wanita macam Berlian memang cocoknya jadi simpanan saja. Narendra tidak bisa membayangkan, bagaimana jika Berlian menjadi seorang istri. Lalu ibu. Hal baik apa yang bisa Berlian ajarkan pada anak-anaknya nanti? Seni merayu suami orang?!
“Kamu baru dua hari bekerja di sini dan sudah banyak sekali meminta sesuatu, yang sialnya saya turuti,” lanjutnya. “Kamu memang berasal dari starata sosial yang jauh lebih tinggi dari karyawan lain di sini, tapi maaf, Lili,” sengaja Naren memberikan penekanan penuh saat menyebut nama samaran wanita itu, hanya agar Berlian sadar posisinya saat ini, “kamu bukan karyawan yang diistimewakan.”
Geraham Berlian berkedut. Ia mencengkeram ponselnya makin erat. “Kalau saya memaksa?” Dia mendongak makin tinggi, memerangkap tatapan Naren pada matanya di balik lensa, kolam bening sehitam malam yang menyimpan banyak rahasia. Rahasia yang ingin sekali Naren ungkap.
“Silakan. Tapi, sekalian bawa semua barang kamu dan jangan kembali lagi ke sini.”
Berlian terkejut, tampak sekali dari pupilnya yang membesar dan mulut kecilnya yang spontan menganga mendengar ultimatum tegas Narendra. Satu tangannya yang tidak memegang ponsel terkepal erat di sisi tubuh, lalu terbuka, dan mengepal lagi, seolah berusaha menahan diri untuk melakukan sesuatu. Menampar Naren mungkin.
Narendra mendengus. Ia sudah yakin, kesombongan Berlian akan membuat wanita itu langsung berbalik dan mengemasi semua pakaiannya. Saat ini juga.
Namun ... ternyata sekali lagi, ia keliru.
Berlian hanya menunduk, menarik napas dalam sebelum mendongak lagi dan tersenyum kaku. “Kalau begitu, setelah jam kerja selesai, saya boleh pergi?”
Dia masih bertahan? Kenapa? Sebagai cadangan agar nanti bila benar Akira menolaknya, si licik ini masih punya tempat bernaung?
“Kamu sudah berjanji ikut kami ke pasar malam kan? Kamu butuh berbaur dengan karyawan yang lain jika memang berniat serius bekerja di sini. Kamu tidak bisa selamanya hanya berada di depan bak cuci, berdiam sendirian di pojokan seperti hantu.”
Narendra berusaha membungkam suara menyebalkan yang berasal jauh dari dalam kepalanya, mengejek. Yah, Naren tahu setiap kalimatnya hanya alasan upaya untuk menunda Berlian menemui Akira—kalau tebakannya memang benar. Dia tidak ingin menjadi mak comblang lagi, tekannya pada diri sendiri.
“Saya bukan orang yang suka ingkar janji kok, Bos,” balas Berlian detik kemudian, menatap jauh ke balik punggung Narendra, seolah tak sudi memandang mata sang lawan biara seperti sebelumnya. Sirat kecewa yang terbayang dalam telaga bening Berlian entah kenapa membuat Naren ingin menendang diri sendiri.
Tapi, tidak. Narendra memang harus tegas. Sebagai atasan, ia tak boleh pilih kasih antar karyawan. Terutama pada karyawan nakal macam Berlian yang hanya tahu membuat kekacauan.
Kalau begitu, tambah Berlian beberapa detik kemudian, saya permisi. Wanita bertubuh mungil yang hari ini tampak luar biasa itu menyerongkan tubuhnya. Barangkali hendak berbalik. Tapi gerak tubuhnya terhenti saat Naren kembali bersuara.
Mau ke mana kamu?
Salat, jawabnya pendek. Bukan cuma Bos kok yang punya Tuhan. Saya juga, meski bukan orang suci. Setelahnya, dia benar-benar berbalik pergi. Melangkah ke arah musala yang masih sepi, menghilang di tikungan menuju tempat wudhu. Meninggalkan Naren yang mematung mendengarnya.
Apa dia memang sudah keterlaluan dengan menyindir kasar Berlian perihal kepercayaan saat di Bali?
Benar, Berlian bukan orang suci. Dosanya mungkin lebih banyak dari sebagian orang. Tapi, siapa bisa memastikan bahwa amal wanita itu juga tidak lebih besar dari dirinya yang merasa suci?
Manusia hanya bisa menilai. Tapi, Tuhan hakim yang sesungguhnya. Bahkan seorang pelacur masih bisa masuk surga, pun yang taat beribadah tak lepas dari ancaman neraka.
Namun, tetap saja Naren kesal mengingat hubungan terlarang Berlian dan Akira!
17th Temptation
Seperti yang sudah Berlian duga. Alih-alih membuat senang, Pasar malam justru membikin ia tak nyaman. Terlalu banyak pengunjung. Terlalu ramai. Terlalu kumuh. Barangkali karena pasar ini baru buka, jadilah banyak orang yang datang berbondong-bondong, bahkan Berlian sempat terdorong saat mengantre membeli tiket menaiki bianglala.
Tidak. Berlian tidak mau. Hanya saja, semua karyawan yang ikut diharuskan menaiki wahana ini oleh bos mereka yang memiliki pemikiran luar biasa aneh. Bahkan Syifa yang takut ketinggian, dipaksa oleh Naren, katanya anggap saja tantangan. Kalau Syifa berani dan berhasil turun tanpa gemetaran, Naren akan membelikan apa pun yang Syifa mau di pasar malam ini.
Ya, hanya Syifa. Kentara sekali Naren menaruh perhatian lebih pada si kepala koki yang cantik itu.
Entah karena tergiur dengan hadiahnya, atau lantaran didesak kawan-kawan, Syifa akhirnya mengangguk. Dia naik lebih dulu, berpasangan dengan ... Narendra tentu saja. Diikuti karyawan lain di keranjang selanjutnya, dan Berlian di bagian akhir—beruntung tidak kebagian pasangan.
Lalu setelah semua keranjang terisi, bianglala mulai diputar. Tak ada yang istimewa. Berlian juga tidak tahu bagian mana yang menyenangkan dari wahana ini hingga membuat sebagian yang menaikinya berteriak histeris lantaran kesenangan. Sedang Berlian hanya duduk diam, mengeratkan genggaman pada terali besi saat posisinya mulai menanjak. Ia melihat ke samping, pada para pengunjung di bawah yang terlihat mulai mengecil. Semakin tinggi, pandangannya makin meluas. Tempat-tempat di bawahnya jadi kerdil. Seluruh area pasar malam yang ramai tampak keseluruhan, pun kerlap-kerlip lampu yang terlihat seperti bintang.
Mengalihkan perhatian dari pemandangan di bawah, Berlian menatap lurus ke depan, yang langsung tertuju pada keranjang yang ditempati Syifa dan bos mereka. Dua manusia itu tertawa bersama. Barangkali Narendra berupaya membuat Syifa rileks hingga melupakan ketakutannya.
Berlian menelan ludah. Melihat petapa peduli Naren pada sang calon istri, entah mengapa ia menginginkan kepedulian yang sama. Oh bukan dari Narendra, tentu saja, melainkan orang lain.
Selama ini hanya Akira, yang jelas-jelas tak bisa diharapkan. Berlian tidak mungkin selamanya hanya menjadi pacar tanpa kepastian. Dia juga menginginkan keluarga. Anak-anak sendiri, yang membutuhkan dan akan mencintainya tanpa syarat. Pun tak akan pernah meninggalkannya.
Hubungan bisa putus. Pernikahan memiliki kata cerai. Tapi ikatan darah tak pernah bisa terelakkan.
Ah, Syifa terlalu beruntung memiliki lelaki macam Naren yang menginginkannya. Berlian menatap lelaki itu yang tengah menertawakan sesuatu dengan si kepala koki.
Lalu, seolah sadar dirinya diperhatikan, Naren menoleh. Dan ... padangan mereka bertemu di garis lurus yang sama seiring dengan tawanya yang memudar perlahan. Kemudian terpaku, seolah ada matra ajaib yang menyihir mereka tetap dalam posisi itu selama sejenak yang terasa seperti selamanya. Berlian merasakan darahnya berdesir pelan.
Ia tahu ada sesuatu ... di antara mereka. Sesuatu yang membuat ia sadar setiap kali Narendra berada di sekitarnya. Punggungnya selalu terasa panas kerap kali Naren melihatnya dari belakang. Tatapan selalu ingin lari pada lelaki itu bila berada di ruang yang sama.
Dan sesuatu seperti ini terasa begitu baru, pun mengejutkan.
Seperti sekarang. Seharusnya ia memutus kontak mata mereka. Seharusnya.
Kemudian, seolah semesta mengabulkan, mantra yang sempat menyelubungi mereka langsung lenyap begitu Syifa menepuk pundak Naren. Si kepala koki menunjukkan sesuatu di bawah sana. Ingin Naren ikut melihat objek yang sama, mungkin.
Seketika, Berlian bertanya ... kenapa ia merasa malu sekaligus kehilangan setelah Naren mengalihkan pandangan darinya?
Ah, mungkin ini hanya sekadar rasa terima kasih atas segala bentuk bantuan Narendr sejak mereka di Bali. Kecuali tentang kenyataan Naren yang lancang ikut campur hubungannya dengan Akira.
Tak ingin perasaan apa pun itu membuatnya bingung, Berlian kembali mengedarkan tatapannya, menjauh dari Narendra.
Turun dari bianglala, beberapa pegawai mulai berpencar untuk membeli barang-barang yang mereka mau, janjian tiga puluh menit lagi berkumpul di warung bakso depan pasar malam. Sang bos dipalak untuk mentraktir oleh para pekerjanya yang tidak tahu diri.
“Kenapa kamu masih di sini? Tidak mau membeli sesuatu?” mengalihkan perhatian dari sosok Syifa yang diseret Salma ke arah stan perabot rumah tangga, Narendra menunduk menatap Berlian—satu-satunya karyawan yang tertinggal di sisinya.
Yang ditanya mengeratkan sweater oranye yang malam ini membungkus tubuh mungilnya. Lantas menggeleng.
“Oh, saya lupa,” Narendra mulai menyebalkan lagi, “anak sultan mana sudi berbelanja di pasar malam.” Dia mendengus di akhir kalimat seraya memasukkan tangan-tangannya ke dalam saku celana. Kepalanya meneleng memperhatikan tubuh Berlian yang sedikit menegang. Wanita itu bahkan tidak repot-repot mendongak membalas tatapan sang atasan.
“Kecuali Bos mau beliin, saya nggak ada uang.”
Satu alis Narendra melengkung, tak menyangka akan mendapat jawaban di luar dugaan. Seharusnya Berlian menyombong seperti biasa. Toh, seorang putri Harry memang tidak akan mau mengenakan sandal jepit sepuluh ribuan.
Mempertahankan raut wajah tetap datar, Naren memperhatikan Berlian lamat-lamat. Wanita itu berusaha menghindar dari bidikannya sejak mereka turun dari bianglala. “Saya bisa minjamin kamu uang, nanti bisa dipotong dari gaji bulanan kamu.”
Berlian mengerjap. Akhirnya, ia mendongak juga. Ada binar menyenangkan di matanya, berpendar indah saat tertimpa cahaya lampu dari lapak di sebelah mereka. Poni pagarnya yang diikat di puncak kepala seperti bocah, mepertegas hal itu. Malam ini Berlian tidak mengenakan bandana. Hanya kacamata, tompel besar berbulu, dan syal yang melingkari leher serta menutup bagian bawah wajahnya hingga nyaris menyentuh hidung. Padahal suasana di pasar malam cukup panas dan sesak, tapi Berlian mengenakan pakaian seolah ia berada di negara bersalju-hanya kurang penutup telinga dan sarung tangan. Ah ya, Berlian juga memakai jins, membuatnya terlihat lebih pendek dari biasanya kendati ditopang sneakers bersol tinggi. Sepatu yang membungkus kaki kecilnya sejak pulang dari Bali. Tanpa tas. Tasnya yang mahal dan berlogo kata yang hampir mirip cendol memang akan tampak terlalu mencolok untuk seorang tukang cuci piring.
“Boleh?” tanyanya penuh harap, agak ragu. Yang Naren balas hanya dengan anggukan. Sesuatu dalam diri Naren seperti diremas menatap Berlian saat ini. Entah kenapa, Berlian kini terlihat begitu menyedihkan. Begitu polos. Beda jauh dengan Berlian yang ditemuinya bulan lalu, dan yang di Bali.
Ah, ya. Sekarang wanita ini hanya seorang Lili.
“Mmm ...” Dia menunduk lagi sejenak sebelum mengembalikan arah pandangnya pada Naren dengan mata meliar, tak benar-benar membalas tatapan sang atasan. “Seperempat dari gaji?” tambahnya dengan suara lebih pelan. Menawar.
“Sebanyak itu? Apa yang mau kamu beli? Ini pasar malam, Bimbing. Bukan mal. Barang-barang murah. Baju saja kamu bisa dapat dengan cuma harga dua puluh lima ribu.”
Karena memang Berlian tidak ingin membeli baju. Apalagi yang seharga dua puluh lima ribu. Sudah tentu kualitasnya buruk. Kain kasar, jahitan serampangan, dan pasti tidak bermerek. Tapi, Berlian menahan diri untuk tak membantah. Dirinya memang sedang tidak memegang uang sepeser pun saat ini. Bersikap sombong hanya akan membuat ia tak mendapatkan apa pun. “Jadi, tidak boleh, Pak Bambang?” Alih-alih menjawab, ia justru balik bertanya. Pun membalas panggilan menyebalkan Naren yang selalu membuatnya kesal. Bersikap keras kepala seperti biasa.
Bimbing. Entah kenapa terdengar seperti Belimbing, buah yang tidak ia suka. Atau kambing. Seolah bagai umpatan terselubung.
“Boleh, asal jangan protes saat gajian. Seperempat gaji kamu akan dipotong untuk biaya sewa kamar. Dan seperempat lagi kamu ambil di muka. Berarti bulan depan kamu hanya akan dapat gaji separuh. Dan—” Narena menatap penuh arti, “kalau kamu terima seperempatnya malam ini, berarti kamu punya kewajiban kerja selama dua minggu, tidak boleh berhenti sebelum itu. Paham?”
Berlian merenung sejenak sebelum mengangguk mantap. Dia tidak punya pilihan kan?
Sang lawan bicara mendesah sebelum membuka dompet dan memberikan beberapa lembar ratus ribu yang belum pernah Berlian syukuri selama ini. Beberapa ratus ribu hanya uang receh untuk Berlian yang dulu. Sedang sekarang sudah seperti hidup dan mati baginya.
“Jadi, saya sudah boleh pergi buat beli-beli?” Berlian mendekap lembaran uang di tangannya erat-erat. Ekpresi senang di wajahnya tak bisa ditutup-tutupi, yang tanpa disadari sudah membuat Naren takjub. Lebih takjub lagi, tidak ada kata terima kasih!
Luar biasa memang karyawannya yang satu ini.
Tapi, apa mau dikata? Berlian memang sepertinya tidak pernah mendapat pelajaran tata krama dan sopan santun.
“Silakan.”
Lalu, tanpa ba-bi-bu lagi, Berlian langsung berbalik dan melimbai begitu saja. Meninggalkan Naren yang sejenak mematung menatapnya sebelum ... ah, Naren tidak percaya pada wanita itu. Benda apa yang menarik bagi Berlian di pasar? Tidak mungkin pakaian, apalagi perabot. Jadilah ia mengikuti si wanita bertompel besar diam-diam.
Kurang lebih selama lima belas menit, wanita itu tampak berputar-putar. Seperti kebingungan. Sebelum akhirnya bertanya pada seorang bapak-bapak tentang ... arah gerbang luar.
Berlian memang tidak dapat dipercaya. Naren mengetatkan rahang saat objeknya melangkah lebih cepat, berhenti sejenak di samping penjual mainan hanya untuk memencet boneka dasbor bertubuh kerut yang ditempelkan di atas meja stan untuk membuatnya bergoyang-goyang.
Murah, Neng, kalau mau. Cuma dua puluh ribu, ujar bapak-bapak bertopi kupluk, yang Naren tebak sebagai si penjual.
Dua puluh? Berlian membuka kepalan tangannya, menatap lembaran yang terlipat di sana. Lalu menggeleng. Nggak. Lalu kembali melangkah setelah menggoyang bonek dasbor berwarna kuning itu sekali lagi, setengah berlari ke arah luar.
Saat Berlian mendekati pangkal ojek, Naren sadar wanita itu ingin pulang lebih dulu, meninggalkan yang lain. Tidak, bukan pulang. Lebih tepatnya ... pergi ke suatu tempat.
Ke mana? Ke tempat yang membuatnya memiliki alasan yang sama hingga izin pada Naren siang tadi kah? Bertemu Akira?
Ya ampun, Naren menyugar rambut dengan kasar. Rasa ingin tahunya benar-benar tak tertahankan. Karena itulah, saat ojek yang Berlian tumpangi bergerak pergi, dengan bodohnya Naren mengikuti menggunakan ojek lain. Bahkan saat Joni menelepon untuk mengabarkan bahwa para karyawan sudah berkumpul di warung bakso, Naren meminta mereka melanjutkan makan tanpanya dan berjanji untuk mengganti uang makan mereka dengan bonus bulanan saja.
Iya, Naren memang hampir gila. Gila karena tingkah karyawan barunya.
Ini sudah malam. Hampir isya. Mau ke mana Berlian? Pikirnya selama perjalanan sambil merangkai berbagai skenario di kepala. Awas saja kalau sampai Belian benar menyambangi tempat Akira, Naren akan ... dia akan ... akan apa?
Ugh!
Lagi berantem ya, Bang? tanya Kang ojek ingin tahu, tak paham suasana hati Naren yang sedang kacau dan ingin menonjok sesuatu saat ini.
Dengan kesal ia menyahut, Siapa yang berantem?
Abang sama pacarnya, kan? Mbak di depan yang lagi kita kejar?
Menderngar tebakan Kang ojek yang sok tahu, Naren berjenggit di boncengan belakang. Apa tadi katanya? Berlian ... pacar Naren? Yang benar saja!
Saya? Pacaran sama dia? Ogah!
Nggak boleh gitulah, Bang. Mentang-mentang mbaknya nggak cakep, nggak diakui. Lagian sekarang zaman udah canggih. Timbang ngilangin tompel gampang atuh. Bawa aja ke klinik kecantikan. Dijamin wajah mbaknya bakal langsung mulus.
Ya ampun, Naren menggeram rendah di belakang Kang ojek yang luar biasa sok tahu ini. Malas, ia tak lagi menanggapi. Sudah dibilang bukan pacar, malah maksa.
Di pertigaan yang entah ke berapa, motor yang membawa Berlian berbelok ke kanan. Naren menyentuh bahu Kang ojeknya, memastikan si pengemudi mengikuti dengan benar, jangan sampai kelewat.
Begitu ojek Berlian berhenti, segala kecamuk dalam benak Naren buyar, terburai bagai debu diempas badai begitu mengetahui motor yang diikutinya berhenti di depan sebuah bangunan.
Tempat yang tak pernah Naren sangka. Tubuh lelaki itu mendingin seketika, seolah ada yang menyiraminya dengan air es dari puncak kepala.
Merasa tak yakin dengan penglihatannya, ia mendongak kembali. Memastikan sekali lagi dengan membaca papan nama.
Rumah sakit jiwa.
18th Temptation
“Tadi siang Ibu sempat kumat, Mbak. Teriak-teriak terus. Mulai tenang setelah disuntik. Mungkin Ibu kangen. Tidak biasanya Mbak Berlian absen sampai dua minggu,” tutur salah seorang perawat yang menangani Salma sebelum Berlian memintanya keluar dan membiarkan ia sendirian.
Salma, merindukannya? Lucu sekali. Menyadari keberadaan Berlian saja jarang sekali. Tapi, ya sudahlah. Tidak penting juga.
Terlalu banyak hal yang membuat Berlian syok akhir-akhir ini, seolah dunianya yang dipaksakan damai selama bertahun-tahun langsung menjungkirkannya dalam satu waktu. Dan Berlian merasakan kewarasannya mulai sungsang.
Oh, bahkan mungkin sebentar lagi dia juga akan menyusul Salma. Berdiam di tempat ini dan tertawa sendiri. Menertawakan kisah hidup yang luar biasa tidak menyenangkan.
Menghadap jendela di depannya, Berlian tatap wajah paruh baya lain yang terpantul di kaca dengan tatapan kosong. Jari-jemarinya yang panjang dan tampak lebih kurus dari bulan lalu, mencengkeram sisir kuning yang ia naikturunkan di rambut sang lawan bicara. Lawan bicara yang tidak pernah menanggapi sapaannya.
Salma seolah selalu memiliki dunia sendiri. Dunia yang berbeda dengan Berlian. Bahkan sejak dulu, sebelum petaka ini terjadi. Sebelum guncangan pertama menggemparkan hidup Berlian. Wanita itu berusaha tidak melirik ke samping, pada meja nakas dekat ranjang yang menyuguhkan pemandangan lain.
Selembar kertas putih berlogo rumah sakit jiwa tempat Salma dirawat terhampar di sana. Pun dengan sederet angka-angka yang membikin hati dan otaknya mendidih.
Surat pemberitahuan atau tagihan. Entahlah. Yang pasti, jumlahnya tidak sedikit. Salma menempati ruang kelas VIP yang hanya dihuni satu orang dengan fasilitas lengkap. Gaji Berlian satu bulan dari kafe Naren tidak akan cukup, terlebih separuhnya sudah ia minta di muka.
Harry sialan!
Berlian rutin datang ke rumah sakit ini hampir setiap minggu. Dia tidak pernah menunggak pembayaran. Semua kebutuhan Salma memang sudah menjadi tanggung jawabnya sejak sang kakek meninggal. Hanya bulan ini saja ia kelimpungan harus membayar tagihan rumah sakit dengan apa. Ia tidak memiliki uang sebanyak ini. Hanya ada 400 ribu dalam genggaman sekarang, itu pun sebagai pegangan. Sedang tagihan rumah sakit berkali-kali lipat lebih besar.
Kalau seperti ini, Berlian tidak punya pilihan selain memindahkan Salma ke kelas paling bawah, tapi tetap saja biayanya masih terlalu besar untuk kondisi Berlian saat ini.
Andai saja tas dan sepatu yang dilelang sudah terjual, semua akan lebih mudah. Apa ia terlalu tinggi mematok harga?
Tapi, demi Tuhan ... tas itu hampir satu miliar dan baru dipakai beberapa kali. Masih mulus. Berbeda dengan sepatunya yang nyaris ia kenakan setiap hari sejak pulang dari Bali. Yah, secepatnya ia harus membeli sepatu murahan, yang ini disimpan kalau-kalau sudah terjual, bentukannya masih bagus dan layak pakai.
Menarik napas, Berlian mengikat rambut Salma yang sudah memiliki banyak uban. Wajah wanita itu juga penuh kerutan. Beliau tampak jauh lebih tua dari usianya, berbanding terbalik dengan Harry.
“Gue harus bayar biaya rumah sakit lo pake apa?” tanyanya pada pantulan wajah Salma di kaca jendela. “Gue nggak punya apa-apa sekarang. Suami lo yang sialan udah ngambil segalanya dari gue! Segalanya.” Yang Salma jawab hanya dengan mengedip bagai manusia tidak berdosa seraya menelengkan kepala.
Lo tahu kerjaan gue sekarang, ini pernyataan, bukan pertanyaan. Karena Salma tidak akan pernah bisa menjawab setiap tanya darinya. Dari siapa pun. Seorang Berlian jadi tukang cuci piring. Lucu sekali kan. Lihat tangan gue sekarang, ia memyodorkan tangan kirinya yang bertekstur kasar ke depan wajah Salma, bahkan lebih kasar dati tangan pembantu rumah Harry. Wajah gue juga. Kusam!
Seolah mengerti keluhan Berlian, Salma menepuk-nepuk kaca, tepat pada bagian yang memantulkan wajah Berlian, lalu berucap lirih, “Berli. Berli.” Tapi, detik kemudian, “Hermanku di mana?”
Tepukan lembutnya pada pantulan wajah Berlian bukanlah bentuk peduli Salma padanya. Oh, kapan Salma mau peduli? Janganlan setelah gila, bahkan saat waras pun tidak.
Yang Salma pedulikan hanya ... Herman.
Berlian mengetatkan rahang begitu mendengar nama itu—lagi. Nama pembawa malapetaka dalam hidupnya. Berlian benci. Terlalu benci, hingga mendengarnya disebut saja sudah membuat ia naik pitam.
Berli, Hermanku mana? tanyanya lagi, dengan nada polos yang membikin amarah Berlian kian membubung.
Tak bisa menahan diri, ia lempar sisir yang dipegangnya serampangan, jatuh dengan bunyi pelan di ujung ruangan.
Tidak tahukah Salma, saat ini gerigi dalam kepala Berlian sedang berputar cepat, sangat cepat, mencari cara melunasi tunggakan rumah sakit jiwa tempatnya dirawat hingga merasa luar biasa pusing? Haruskah ia menambah penat Berlian dengan menanyakan orang lain? Tidak cukupkah Berlian saja?
Sialan!
“Seharusnya gue nggak pernah peduliin lo sejak awal, kan? Sama kayak lo yang nggak pernah peduli sama gue! Terus, bedanya lo sama Harry apa? Kalian sama-sama manusia yang nggak punya hati!” jerit Berlian kesal. Amat kesal. Otaknya panas. Hatinya panas.
Oh, ia ingin menangis saat ini. Tapi saat cairan hangat itu terasa di pipi, ia berjenggit kaget. Dengan tangan gemetar, dirabanya pipi yang tak sehalus dulu, mulai kering lantaran keseringan di ruang ber-ac tanpa pelembab wajah.
Air mata.
Berlian tertawa kering. Ia benci cairan asin ini sejak kecil.
Air mata hanya bukti kelemahan, yang selama ini ia gunakan sebagai memanipulasi untuk mempertegas kodratnya sebagai wanita lemah yang butuh perlindungan. Tidak pernah seperti ini. Terakhir kali ia benar-benar menangis adalah saat sang ibu meninggalkannya sendirian di gudang kosong yang gelap demi bisa pergi dengan kekasih yang berengsek.
Ah, tidak. Air mata ini bukan karena sedih, bisa jadi karena letih. Dua puluh empat tahun hidup bagai putri Raja, lalu dalam semalam ia menjelma menjadi rakyat jelata, tentu saja melelahkan. Pun kepayahan. Kenyamanannya direnggut. Jam tidurpun berkurang drastis.
Berlian menarik napas tajam. Ia memejamkan mata, berusaha menghalau ingatan masa lalu yang hanya akan membuatnya mengamuk dan membanting semua barang di ruang ini. Sudah cukup biaya rumah sakit Salma membebaninya, jangan ditambah lagi. Saat ini saja ia sudah tak keruan memikirkan nominal tagihan.
“Gue juga nggak punya hati kan,” gumam Berlian pada diri sendiri, “tapi, kenapa sakit rasanya?” ia tatap tangan kanannya yang basah oleh air mata dengan pandangan nanar.
Lelah. Penat. Pusing. Juga perasaan lain yang seolah menyerbunya sekaligus.
“Andai lo nggak serakah, gue nggak perlu lahir, Salma,” Ia mendesis, membalas tatapan sang lawan bicara melalui kaca.
Salma masih diam, memandangnya dengan wajah yang selalu sendu dan memuakkan. Yah, beliau cantik. Kecantikan yang menurun sempurna pada Berlian hingga tampak bagai pinang dibelah dua. Melihat Salma, Berlian tahu seperti apa rupanya empat puluh tahun ke depan. Hanya mata mereka yang berbeda. Pupil sewarna langit malam ini milik Harry. Juga sikap keras kepala dan pemberang. Perpaduan yang sangat sempurna untuk menjadi kutukan bagi lelaki itu.
Namun, sekarang Salma tidak secantik dulu. Kecelakaan tragis berhasil merusak separuh wajah jelita itu. Meninggalkan parut menakutkan yang dulu membuat Berlian menjerit ngeri saat pertama kali melihatnya.
“Herman,” gumam Salma dengan suara lirih. Mata cokelat terang wanita itu berkaca-kaca. “Herman ....”
Berlian berbalik. Enggan mendengar dengungan nama sialan itu. Seseorang yang karenanya membuat Salma bahkan rela meninggalkan harta yang ia puja, pun Berlian kecil yang saat itu memohon agak tak ditinggal sendiri. “Herman lo udah mati,” ujarnya dengan nada kejam. Dua tangannya meremas bagian bawah sweter yang malam ini membungkus tubuh kecilnya dalam rasa hangat yang sangat ia butuhkan.
“Laki-laki berengsek itu mati, ninggalin lo. Sakit, kan, rasanya?” Ia menarik napas panjang setelahnya. Berusaha mengisi paru-paru yang terasa menyempit dengan banyak oksigen. Berharap tali-tali tak kasat mata yang membelit dadanya mengendur, lalu putus, meninggalkan rasa lega. Yang sayang gagal.
Mendongak, pandangan Berlian jatuh pada jam bundar yang menempel beberapa senti di atas pintu kamar rawat. Jam besuk akan segera habis. Ah, kebetulan yang menyenangkan. Tidak ada alasan ia lebih lama di sini. Berlian sudah sangat muak dan ingin pergi.
Melangkah ke arah pintu, kaki-kaki Berlian mendadak terhenti saat ia ingat sesuatu. “Mulai besok lo bakal pindah ke kelas tiga.” Meski tahu percuma menginformasikan ini pada pasien sakit jiwa yang tidak masalah ditempatkan di mana saja, entah kenapa Berlian merasa perlu menegaskan hal tersebut—lebih pada dirinya sendiri, untuk menyiapkan mental membesuk Salma di ruang lain yang dihuni banyak pasien dan banyak pembesuk. Ia tak akan lagi punya privasi. Pun tak lagi bisa menjenguk Salma sebagai Berliana Pratista bila tidak ingin membongkar kenyataan yang sudah Harry tutupi bertahun lalu.
Bahwa, Salma sudah lama mati.
“Jangan rewel. Jangan manja. Jangan sering-sering ngamuk. Karena mulai sekarang gue bakal jarang datang. Berlian yang ini bahkan harus mengemis pada orang lain untuk pekerjaan kecil. Jadi, jangan bikin gue tambah susah kalau masih mau diurusin. Kecuali lo mau gue telantarin ke jalanan.”
Dan dengan itu, Berlian melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Salma yang masih duduk di kursi roda dan kepala miring, menatap ke luar jendela, pada gelap malam.
Setelah pintu ruang rawatnya ditutup keras, satu tetes bening jatuh dari ujung mata wanita paruh baya itu.
***
Sudah satu jam, tapi Berlian belum juga muncul. Sebenarnya, apa yang dia lakukan di dalam? menjenguk salah satu pasien? Atau konsul pada psikiater karena merasa mentalnya mulai bermasalah setelah diusir Harry hingga terpaksa menjadi tukang cuci piring?
Ah, sepertinya opsi kedua lebih mendekati kebenaran. Narendra tidak bisa membayangkan seorang Berlian paduli pada seseorang, lebih-lebih pada orang yang memiliki masalah kejiwaan!
Memutuskan bila lima menit lagi Berlian belum juga muncul ia akan pulang, bunyi gesekan sepatu dengan lantai yang sudah lumayan ia kenali terdengar. Naren mendongak, dan benar saja. Berlian. Wanita itu melangkah keluar dari pintu depan rumah sakit dengan punggung tegak dan cara jalan mirip kucing.
Spontan, Naren menegakkan punggung menjauh dari tembok yang semula disandarinya dan mengeluarkan tangan-tangannya dari saku celana. Lantas mengikuti langkah Berlian yang masih belum menyadari keberadaannya. Tepat di belakang punggung wanita berambut pendek itu.
Barangkali menyadari tengah diikuti, Berlian praktis berbalik dan ... membeku dengan wajah pasi. “Lo?”
Naren mengedikkan bahu tanpa dosa, dia mengangkat tangan dan berkata santai, “Halo?”
“Lo ngikutin gue, kan?” tudingnya kasar, tak lagi menggunakan bahasa formal.
Menanggapi tuduhan yang seratus persen benar itu, Naren mendengus. “Rumah sakit jiwa, Bimbing?” dengan pengalihan topik yang berhasil membuat wajah Berlian kian pasi. Satu alis Naren melengkung. “Jadi lo minta seperempat gaji bulan ini buat ... konsultasi sama psikiater?” tebaknya asal-asalan, juga untuk mengejek si putri sultan.
Berlian menatapnya lurus-lurus dengan bibir yang menipis dan geraham mengeras. Uh, oh, sepertinya dia marah.
Mengepalkan tangan bagai tentara siap perang, Berlian mendongakkan kepala lebih tinggi. Namun alih-alih mengkronfontasi, wanita itu justru berbalik. Melanjutkan langkah yang sempat terhenti. “Apa pun yang gue lakuin di sini bukan urusan lo.”
“Oh, jelas!” Naren belum ingin menyerah. Ia mensejajari langkah Berlian yang dengan mudah bisa terkejar dengan tungkai-tungkai panjangnya. “Gue nggak mau berurusan sama orang stres.”
“Kalau-kalau ini bisa bikin lo tenang, maka nggak. Gue nggak stres dan nggak butuh konsul ke dokter,” jawabnya masih dengan nada angkuh tanpa merasa sudi memandang ke arah sang lawan bicara yang berjalan di sampingnya.
“Jadi, lo jenguk seseorang?”
Sejenak, Naren melihat tubuh langsing yang beberapa hari ini tampak lebih kurus, menegang. Namun ia langsung bisa menguasai diri dengan sikap luwes yang dibuat-buat. “Nggak usah sok tahu. Bisa jadi gue ke sini buat datengin temen gue yang berprofesi sebagai dokter jiwa yang lagi ulang tahun.” Di depan gerbang, Berlian berhenti. Ia mengambil ponsel dari saku celananya dan mulai mengutak-atik aplikasi ojek daring. Hendak melakukan pemesanan. Namun gerak jarinya otomatis terhenti mendengar kalimat pendek Naren selanjutnya.
“Lo nggak punya temen, Bimbing.” Tajam. Menusuk. Penuh tuduhan. Bagai anak panah beracun yang melesat langsung ke tengah sasaran. Tetap mengenai sisi sensistifnya.
Mengeratkan genggaman pada ponsel, Berlian berbalik. Menghadap langung pada Narendra yang menantangnya dengan ekspresi pongah itu, seolah menunggu jawaban, atau bantahan. “Nggak usah bersikap seolah lo kenal gue!”
“Kontak lo isinya cuma nomor Akira dan Fio.” Tapi seperti tak ingin kalah, Naren mengeluarkan satu serangan susulan yang berhasil memancing amarah sang lawan bicara.
“Lo periksa-periksa hp gue?!” Berlian mendesis, tak terima privasinya dilanggar.
“Nggak usah kepedean, deh. Gue pegang hape lo cuma sekali, pas kita kejebak di lift. Gue nggak simpen nomor Akira, makanya gue pake ponsel lo.”
Napas Berlian menderu. Ia melirik ponselnya yang berlambang apel tergigit yang dikunci dengan sidik jari. Saat terjebak di lift, Berlian nyaris tidak sadarkan diri. Ia bahkan tidak ingat apa pun tentang kejadian saat itu. Naren pasti memanfaatkan kondisinya untuk membuka kunci layar.
Sial!
“Sekalipun isi kontak gue cuma dua,” dan sekarang sudah kosong karena nomor Akira dan Fio sudah ia hapus dan blokir, “bukan berarti gue nggak punya temen!”
“Kalau gitu, menyedihkan banget hidup lo.” Narendra menyeringai. Ia bersandar ke sisi gerbang rumah sakit dengan sikap santai, satu kakinya ditumpukan pada dinding. “Punya banyak temen, tapi masih harus ngemis ke gue buat dapet kerjaan.”
Berlian memalingkan pandangan. Mati kutu. Amarah meluap-meluap dalam dirinya, yang hanya bisa ia tahan meski keinginan untuk menampar Narendra begitu tak tertahankan. Lancang sekali dia! Lancang sekali!
“Dan gue salut sama temen-temen lo. Mereka pasti bermental baja banget, ya, kuat ngadepin lo yang angin-anginan.”
Tahan. Tahan!
Berlian memasukkan ponsel kembali ke saku celana. Tak lagi merasa butuh ojek untuk pulang—kembali ke kafe Naren tepatnya, karena itu ia terpaksa menahan diri dan menjaga sikap. Menelan ludah keras, ia berbalik. Kembali melangkah, dengan cepat menggunakan kaki-kaki pendeknya, menyusuri trotoar. Meninggalkan Naren yang langsung bergegas mengejar, mendahuluinya hanya untuk berbalik dan melangkah mundur agar bisa menatap wajah Berlian yang kala itu tampak menyimpan dendam. Dendam pada sang atasan, tentu saja.
“Tebakan gue bener, kan?”
Berlian tak menjawab. Masih melangkah berusaha melewati tubuh jangkung Naren yang sayang gagal. “Lo konsul ke dokter karena ngerasa nyaris gila,” tuduhnya, meski tahu tebakan ini salah, terlihat jelas dari ekspresi Berlian yang tampak kukuh. Seolah berusaha menutupi sesuatu. Atau seseorang. “kalau memang itu kenyataannya, maaf, Bimbing. Gue nggak bisa mempekerjakan lo lagi. Gue nggak mau punya karyawan yang bermasalah!”
Dan ... Naren berusaha untuk tidak tersenyum penuh kemenangan.
Pancingannya berhasil. Berlian langsung menghentikan langkah begitu mendengar vonis itu. Dia menatap Naren dengan mata sipitnya yang dipaksa melebar. Pun napas memburu. Ekspresi terkejutnya sama sekali tak ditutup-tutupi.
Melihat itu, Naren tahu pekerjaan ini cukup penting untuk Berlian. Dia benar-benar sedang tidak punya uang.
“Lo beneran mau tahu siapa yang gue jenguk?” tanyanya setelah hening yang cukup lama. Jarak dua langkah di antara mereka terasa begitu dekat. Sangat dekat hingga embusan angin pelan berhasil membawa wangi Berlian padanya. Bukan harum parfum, melainkan aroma tubuh yang khas dan feminim.
Lalu, entah mengapa Naren mendapati diri tidak siap mendapati kenyataan tentang seseorang yang dimaksud sang lawan bicara. Jantungnya berdetak lambat dan tidak menyenangkan. Tapi, Narendra mengangguk. Dia harus tahu. Kalau bisa semuanya. Semua tentang Berliana Pratista. Agar dirinya bisa mengambil sikap dan berhenti terus memerhatikan wanita itu.
Menahan napas, Berlian merogoh saku belakang celana jinsnya. Mengeluarkan sesuatu dari sana. Gumpalan kertas kusut, lalu menyerahkannya pada Narendra. “Ini,” katanya dengan senyum keji. Yang Naren terima dengan menatap langsung ke mata nanar Berlian yang berhasil membuat bulu kudu Naren meremang.
19th Temptation
Berlian menarik napas panjang saat turun dari taksi daring begitu sampai di depan gerpang kediaman keluarga Akira yang dulu sudah ia anggap seperti rumah sendiri. Oh, bahkan lebih dari rumah sendiri saking seringnya ia datang ke sini, tak jarang Berlian menginap. Ia pun sudah memiliki kamar pribadi dalam bangunan megah dua lantai di hadapannya, yang kini ramai oleh tamu undangan.
Acara pertunangan Fio, adik Akira. Berlian diundang, tentu saja. Fio sudah menganggapnya saudara sejak Berlian menjalin hubungan dengan sang kakak. Entah sekarang, setelah kisah asmara Berlian kandas dengan Akira. Akankah keluarga lelaki itu masih akan berlaku sama?
Mengeratkan genggaman pada satu-satunya tas mahal yang kini ia punya—syukur belum terjual sehingga masih bisa dikenakan—Berlian mengangkat dagu lebih tinggi, lantas mulai melimbai seanggun merak, menaiki anak-anak tangga yang dibalut karpet merah untuk menyambut para tamu menuju pintu ganda berukir rumit yang dibuka lebar-lebar. Denting orkestra yang berpadu dengan riuh undangan samar-samar mulai terdengar di setiap langkah yang kian mendekat dengan tempat acara yang diadakan di aula pribadi kediaman Arundapati.
Lalu, entah dari mana datangnya perasaan itu, Berlian merasa kerdil saat berdiri di ambang pintu. Seperti ia tak lagi pantas berada di sini, bersama mereka para kaum jetset yang tampil memukau mengenakan pakaian rancangan desainer ternama. Sedang dirinya?
Oh, gaun Berlian dari merek luar kenamaan, tapi ini jelas koleksi lama. Satu-satunya gaun malam yang terselip dalam koper kecil yang disiapkan Harry. Gaun panjang semata kaki tanpa belahan yang dulu tampak mewah membalut tubuh langsingnya, kini agak kebesaran. Kain mengilap warna biru gelap berkerah sabrina itu pun membungkus lengannya dengan sempurna, memamerkan sedikit bahu dan tulang selangka si pemakai yang polos tanpa aksesori. Berlian hanya memakai anting berjumbai panjang dengan manik-manik etnik yang dibelinya secara online. Tolong jangan tanya harga. Yang pasti di bawah lima puluh ribu. Berlian harus irit-irit sekarang. Tapi, menjadi irit kenapa susah sekali? Uang pemberian Naren sudah tinggal 172 ribu setelah ia gunakan untuk ojek ke RSJ tempat Salma dirawat, membeli anting, membeli sepatu harian yang ternyata solnya kasar dan bagian bawahnya licin—sesuai harga, Berlian nyaris selalu terpeleset mengenakannya—alat make up sekenanya hanya agar ia tak tampil pucat di acara pertunangan Fio—semoga wajahnya tidak iritasi setelah ini, pun ongkos taksi daring yang ternyata lumayan mahal.
Setidaknya, semua pengeluaran itu kini membuat Berlian bisa tampil cukup pantas. Minus sneakers bersol tinggi yang bersembunyi di balik gaun panjang berbentuk A-line yang membungkus kakinya. Untung tidak kelihatan, karena gaun itu menjuntai sampai ke lantai.
Mengedarkan pandangan, Berlian menemukan banyak wajah yang cukup dikenal. Beberapa artis tanah air, pejabat, dan pengusaha. Dulu, Berlian ada di dunia yang sama dengan mereka. Basa-basi setiap kali bertemu untuk membentuk hubungan demi memperbanyak pundi-pundi rupiah atau sekadar upaya menaikkan status sosial.
Namun, tetap saja berlian kaget saat ada yang menyapa. Claudia, mantan duta merk perusahaan ayahnya yang datang dengan pasangan baru, menepuk pundak Berlian, berhasil membuat putri sultan yang terusir itu terlonjak kaget.
“Sendiri? Akira mana?” tanyanya sok akrab.
Tidak, mereka memang tidak dekat. Ini hanya salah satu bentuk basa basi busuk, yang tak terlalu Berlian sukai. Tapi, harus ia jalani dulu demi menunjang kehidupan ala kalangan atasnya. Dan ya, semua tahu Berlian kekasih Akira. Putri Harry Abimana. Cantik. Otak cerdik. Begitulah sosok yang mereka ketahui dari seorang Berlian. Berhasil membuat kaum Hawa merasa tersaing, pun iri.
Berlian yang beruntung, kata mereka. Oh, andai saja yang lain tahu. Akira yang nyaris sempurna itu sudah punya istri, Berlian hanya kekasih gelap tanpa kepastian. Mantan. Dan Harry si kaya raya tidak menginginkannya sebagai putri, kini berhasil mengusirnya tanpa memberi kesempatan kembali. Kecuali ... membunuh Nara.
“Saya baru tiba, belum bertemu Akira,” jawabnya, dengan senyum kaku sebagai bentuk formalitas. Lengkung bibir yang sudah ia latih sejak kecil. “Saya juga sedang mencarinya. Boleh saya permisi dulu?” tambahnya dengan tanya, semata untuk menghindar.
“Nggak mau gabung dulu sama yang lain?” Ada harap dalam kerling mata Claudia yang malam ini memakai lensa cokelat terang. Model setinggi 175 centi dan masih ditunjang heels paku menjulang satu kepala dari Berlian, membuatnya harus mendongak. Sneakers sialan. Kendati sol tebal, sepatu yang dikenakan wanita itu kini jelas membuatnya masih tampak mungil.
Apa tadi kata Claudia? Bergabung dengan yang lain? Bergabung dalam artian membicarakan gosip terbaru. Tentang si A yang menjalin hubungan dengan si C, padahal belum putus dari B. Atau aib-aib orang lain. Atau sehubungan dengan tas keluaran terbaru, mode pakaian terkini, dan hal-hal tak penting lain yang tak lagi menarik minat Berlian.
Oh, tidak. Terima kasih. Jadilah Berlian menggeleng sebagai jawaban, segera mencari alasan untuk kabur yang untungnya Claudia mengerti. Setelah itu, ia mencari Fio untuk mengucapkan selamat dan setor muka agar bisa lekas pergi dari sini. Alih-alih mencari Akira, Berlian benar-benar ingin menghindarinya.
Memilih menyingkir ke sudut ruangan, Berlian menerima limun dari pelayan laki-laki yang tampil rapi mengenakan kemeja putih berompi hitam dipadu dengan dasi kupu-kupu. Tepat saat ia hendak mulai meneguk, matanya menangkap sosok Narendra dan Nara yang baru tiba. Dua manusia sok suci itu terlihat serasi. Nara yang konsisten dengan merah—kali ini Berlian akui dia cukup memukau—melingkari lengan Naren yang ... sulung Abimana menahan napas.
Narendra berbeda sekali malam ini. Rambut gondrongnya diikat rapi ke belakang, membuat garis-garis wajahnya yang keras dan jantan lebih terekspos tanpa anak-anak rambut yang biasa dibiarkan berantakan. Dia juga tak lagi berpenampilan kasual, melainkan memesona dengan setelan jas abu-abu gelap yang memeluk bahu lebar dan lengan kencang itu dengan sempurna, seolah dijahit khusus untuknya. Atau memang jahitan khusus.
Berlian menatap lama pada tangan Nara yang melingkari lengan Naren. Dua manusia itu berjalan menyusuri karpet merah dengan gerak luwes dan percaya diri, berhasil menarik perhatian sebagian besar tamu undangan yang hadir. Entah terpesona atau merasa asing. Ini kali pertama keduanya muncul di acara yang sama dengan Berlian.
Lalu, mereka disapa oleh Akira.
Akira! Berlian meringis dan segera berbalik badan membelakangi. Melanjutkan langkah mencari kursi yang berjejer di sisi tembok untuk duduk dan minum. Ia haus sekali. Peduli setan dengan Nara. Peduli setan dengan Akira. Peduli iblis dengan Bambang sialan yang membiarkan tangannya digandeng istri orang, tepat di depan suaminya.
Oh, selama ini dia mengatai Berlian. Dirinya sendiri sama saja!
Menghabiskan limun dalam gelas bertangkai dalam beberapa kali teguk, Berlian letakkan gelas kosong itu ke atas meja terdekat.
Di mana Fio? Kapan acara akan dimulai? Ini sudah jam delapan! Andai tidak harus menyeberangi aula luas yang akan membuatnya harus melakukan banyak basa-basi dengan undangan lain—terutama berpapasan dengan Akira, Berlian sudah tentu akan memilih menyambangi kamar Fio di lantai atas. Kemungkinan Adik mantan kekasihnya itu belum selesai berdandan.
Merasa tenggrokannya masih kering, Berlian kembali menerima minuman dari pelayan. Lantas langsung meneguknya bagai manusia kehausan tanpa menyadari sosok tinggi ramping melangkah ke arahnya dengan tatapan menyipit tajam.
“Keluar di jam kerja tanpa izin, Lili?”
Kaget, Berlian terlonjak. Praktis membuat sebagian cairan yang yang diminumnya masuk ke saluran napas. Ia pun terbatuk keras merasakan perih di sepanjang tulang hidung dan paru-paru.
Melihat penderitaan Berlian yang disebabkannya, Narendra dengan sigap mengambil gelas yang hampir dijatuhkan dari tangan wanita itu, lalu menepuk-nepuk pelan punggung ringkih Berlian untuk membantu mengurangi batuknya.
Namun bukan terima kasih, Naren justru mendapat umpatan. “Sialan lo!”
Bila sudah bisa mengumpat, berarti karyawannya yang lancang sudah baik-baik saja. Naren segera menjauh, meletakkan gelas yang isinya masih tersisa separuh ke meja terdekat lantas bersedekap. Menatap sang lawan bicara, berusaha mengintimidasi tapi gagal. “Bukan saya yang sial, Lili. Tapi, kamu!”
“Sssttt ...!” Berlian mendesis sambil melirik kiri dan kanan seolah berusaha memastikan sesuatu. “Jangan panggil gue Lili di sini!”
“Oh, kenapa? Takut orang-orang tahu kalau sekarang kamu—”
“Narendra!”
Berhasil. Naren langsung diam begitu Berlian menegur dengan ... menyebut namanya.
Narendra. Menggunakan nada rendah, tajam, geraman, sedikit getar kesal, agak mengayun di ujung.
Tanpa sadar, Narendra menahan napas sejenak begitu namanya lolos dari katup bibir tipis yang malam ini dipoles dengan lipstik sewarna darah Naren yang langsung berdesir cepat hingga seluruh isi otaknya langsung ambyar.
Narendra Narespati memang nama yang bagus, tapi tidak spesial. Sudah ribuan kali disebut oleh bibir berbeda, tapi baru kali ini terasa lain. Seperti ... menimbulkan efek. Efek yang sama sekali tidak Naren suka. Seolah mengandung nikotin yang membuatnya candu. Ingin mendengar lagi. Dan lagi. Dan ... ini gila.
“Apa yang salah? Kecuali kamu sudah bosan menjadi karyawan saya dan ingin—”
“Gue Cuma butuh ketemu Fio dan ngucapin selamat. Setelah itu pulang!”
“Kamu bisa mengucapkan itu melalui media?”
“Dan membuat Fio curiga?”
Naren mendengus. Berlian selalu punya argumen untuk menantangnya. Satu larangan Naren ucap, seribu alasan Berlian dapat. Dasar wanita!
Merasa percuma melarang, Naren berucap, “Satu jam Berlian. Dalam satu jam ini kamu belum pulang, saya seret kamu!”
“Iya, bawel!”
“Dan ingat, jaga sopan santun kamu. Saya masih bos di Kaferen.”
“Di kafe lo emang bos gue, di luar nggak!” jawab si karyawan lancang sambil memutar bola mata, dengan posisi yang masih duduk di kursi hingga membuat Naren harus menunduk kian dalam saat bicara padanya. Pada Berlian yang kini kembali mengenakan riasan, anehnya ... Narendra tidak suka pada sapuan blush on di pipi, dempul bedak di seluruh wajah dan kontur tebal di alis Berlian. Lebih-lebih lipstik yang menyala itu. Membuat Berlian kelihatan lebih dewasa.
Naren lebih suka Berlian dalam sosok Lili. Yang pendiam dan tak menarik. Bukan yang kini berpenampilan glamor dan menantangnya terang-terangan.
“Mau saya pecat?”
Yang diancam cemberut. Bibir merahnya maju, membuat Naren gemas ingin menguncirnya dengan karet gelang cadangan di saku celana bahannya. “Siap pak, Bambang! Saya akan bersikap sopan. Puas?”
Tidak. Naren sama sekali tidak puas. Kenapa harus Bambang lagi?
Oh, sial! Ini pasti efek lapar!
Tak sanggup berada di dekat Berlian lebih lama, Naren memutuskan berbalik dan pergi tanpa menjawab pertanyaan retoris sang lawan bicara, khawatir Berlian bisa mendengar gemuruh perut—bukan jantung!—yang menggila sejak ... sejak kapan perut bisa kehilangan kendali hanya karena mendengar sebuah nama disebut?
Ah, mungkin sedikit camilan bisa meredakannya. Meredakan perutnya yang meronta-ronta. Bukan jantung! ¤¤¤ Liiii ... gue kangen!
Bukan Berlian, melainkan Fio, ratu malam ini yang menyambanginya begitu melihat sosok mantan kekasih sang kakak berjalan mendekati ia yang baru turun dari lantai dua.
Berlian yang bingung harus bagaimana bersikap, hanya tersenyum kaku. Membalas pelukan erat Fio, nyaris membuat sesak napas. Adik Akira yang jelita, makin memesona dalam balutan gaun sewaran samudera. Dan masih seramah dulu, seolah tak ada yang berubah kendati kenyataan berkata lain.
Melepas pelukan, Fio menatap Berlian dari ujung kepala sampai kaki dengan pandangan khawatir yang sulit disembunyikan. Lo baik-baik aja? tanyanya. Lo beneran kurusan sekarang.
Mendapat komentar demikian, Berlian meringis. Ia mengambil satu langkah menjauh tanpa melepas tangan dari genggaman erat Fio yang sarat ketulusan, lalu melebarkan senyum untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Gue oke.
Beneran? Gue khawatir banget pas tahu lo nggak tinggal bareng bokap lo lagi, Li.
Gue ada sedikit perselisihan sama bokap. Biasa lah. Lo tahu sendiri kan?
Fio tidak tahu. Dia juga tampak tak terlalu yakin dengan jawaban Berlian, tapi tetap memangguk, barangkali tak ingin memaksa Berlian mengatakan yang sebenarnya. Karena sebesar apa pun Fio berusaha, ia memang tidak akan mengatakan apa-apa. Mantan Akira itu memang agak tertutup pwrihal kehidupan pribadinya.
Ngomong-ngomong, selamat atas pertunangan lo, lanjutnya, membalas remasan tangan Fio sebelum menarik diri saat melihat tunangan gadis itu datang menghampiri posisi mereka yang masih berada di dekat tangga.
Fio mengangguk. Makasih udah mau dateng dan, putri tertua Arundapati menatapnya sendu, gue ikut sedih. Lo sama Abang—
Masih belum jodoh, Fio. Toh, Akira memang sudah punya istri.
Ada bayang kemarahan dalam bola mata Fio mendengar kata terakhirnya, tapi Fio tidak memgatakan apa pun selain, Walau begitu, lo masih temen gue. Lo bebas dateng ke gue kalo ada masalah. Gue selalu siap bantu selagi mampu.
Teman. Berlian melafal kata tersebut dalam hati hanya untuk mendengus tak kentara. Berlian tak pernah percaya pada konsep teman. Kata itu terlalu intim. Dan setiap yang intim, menyimpan luka yang terlalu dalam.
Tapi Berlian tak mungkin mengungkap pemikiran sinisnya tentang teman pada seorang sebaik Fio yang jelas-jelas tulus menawarkan uluran tangan. Jadilah Berlian hanya mengangguk kecil, lantas segera undur diri begitu sosok tunangan Fio sudah berdiri di sisi mereka. Acara tukar cincin akan segera dimulai. Untunglah, Berlian sudah bisa langsung pulang. Waktu satu jam yang diberikan Naren akan segera berakhir.
Namun sebelum tubuhnya berbalik sempurna untuk kabur dari acara ini, suara dalam seorang pria yang nyaris ia hapal mati terdengar. Menyerukan namanya. Berhasil membuat tubuh Berlian langsung membeku seketika.
Berlian!
Menelan ludah, sang pemilik nama berbalik setengah cemas. Mulutnya mendadak kering begitu mendapati tubuh nenjulan dengan aroma familier dan tatapan intens menyambutnya.
Ya ampun, tak bisakah malam ini ia lolos dari Akira? Demi apa pun, Berlian masih kesal padanya. Cukup Naren yang membuat naik darah, jangan ada tambahan lagi.
Lebih-lebih, Berlian harus segera kembali ke kafe kalau ingin selamat dari ceramah bosnya!
20th Temptation
Narendra bukan seorang introvert. Dia suka berkumpul dengan banyak orang, mengobrol dan saling membagi cerita. Jalan-jalan, apalagi memotret. Hanya saja syarat dan ketentuan berlaku.
Berada di tengah keramaian bukan lagi hal asing baginya. Tapi, entah mengapa ia tidak pernah bisa betah berada di antara para manusia berstelan rapi. Jas dan dasi merupakan belenggu yang selalu berusaha ia hindari.
Namun, malam ini pengecualian. Ayahnya memaksa ia datang, demi kata persahabatan katanya. Padahal, siapa yang bersahabat dengan siapa? Hanya Agung dan mertua Nara. Itu pun, ayah Akira sudah lama pergi meninggalkan dunia. Agung tidak terlalu dekat dengan istri-istri sahabatnya, tapi kesetiaan beliau yang terlalu besar memang terkadang menjengkelkan. Ujung-ujungnya Naren yang jadi korban.
Lantas, harus apa ia sekarang? Berdiri bagai kambing congek di antara domba pesolek?
Oh, maafkan kata-katanya yang kasar. Mengenal Berlian dan berurusan dengan suami istri gila membuat benaknya dengan mudah bisa mengabsen nama-nema binatang. Tapi, memang ... ia tidak betah di sini. Kapan dirinya bisa menyelinap pulang?
Meletakkan nyaris membanting gelas berkaki yang sudah kosong ke atas meja tempat banyak camilan dan hidangan ringan berada, ia menatap laki-laki bersetelan jas mahal menjauh. Seseorang yang tadi coba Naren sapa, tapi hanya menatapnya sekilas lalu mengangguk sebelum pergi.
Oh, sombong sekali.
Inilah salah satu alasan Naren tidak suka datang ke acara-acara macam ini. Kebanyakan—tidak semua—menilai yang lain dari status sosial, jumlah kekayaan dan pekerjaan. Jenis hubungan yang terjalin di antara mereka kemungkinan besar ialah simbiosis mutualiasme.
Lihat saja sekelilingnya. Yang paling sering disapa adalah orang-orang yang menempati hierarki tertinggi. Apalah Naren yang hanya pemilik kafe. Oh, dia cuma remah-remah rempeyek di sini. Tak kasat mata.
Topik pembicaraan para tamu undangan tidak jauh-jauh dari bisnis dan sesuatu yang bisa dipamerkan tentunya. Sejauh ini, Naren belum mendengar ada yang membicarakan hal-hal remeh menyenangkan yang biasa ia bahas dengan para karyawannya. Seperti, goyang hp demi mendapat tambahan koin beberapa ratus perak di salah satu marketplace, keberuntungan mendapat barang flash sale, atau apa yang ingin dibeli saat 11.11 nanti.
Ya, ya. Hal-hal remeh semacam itu yang bisa membuat tertawa terbahak tanpa beban dunia. Sesuatu yang entah mengapa terasa mendamaikan sekaligus seru.
Apakah manusia-manusia dalam aula ini tahu bagaimana bahagianya saat bisa mendapat printer dengan diskon 50% pada detik pertama setelah flash sale dibuka dan harus rebutan dengan ratusan orang yang sudah mengaktifkan pengingat?
Kemungkinan besar, tidak.
Naren, jangan tanya. Dua printer di kafenya didapat dari hasil berburu diskon. Juga beberapa barang lain. Untuk apa membeli yang mahal bila yang murah bisa didapatkan dengan spesifikasi sama? Teori ekonomi ada untuk diterapkan, bukan cuma dihapal.
Pelit? Tidak. Hanya pengiritan. Masa depan membentang, dia harus mengendutkan tabungan, juga membahagiakan orang-orang sekitar.
Ah, lupakan dulu teori ekonomi dan flash sale 11.11 nanti, saat ini Naren hanya butuh udara segar. Berada di aula keluarga Arundapati cukup membuat sesak oleh aroma-aroma parfum yang membuat pusing.
Memutuskan pergi ke halaman belakang, niat Naren terhenti saat netra cokelatnya menemukan sosok Berlian yang menyendiri di dekat tangga. Wanita yang tak seglamor dulu itu mendongak ke atas, pada adik Akira yang turun perlahan didampingi seseorang yang tak Naren kenal.
Dua perempuan itu berpelukan setelahnya, lantas berbicara sesaat sebelum acara dimulai.
Naren menyipitkan mata begitu tunangan Fio membawa adik Akira itu pergi beberapa saat kemudian. Seringai Narendra tercipta tanpa bisa dicegah. Berlian berjanji akan kembali setelah menemui adik mantan kekasihnya. Dan sudah. Berarti, sekarang saatnya pulang.
Merasa berhak menyeret Berlian pergi, Naren mengangkat tumit, hendak mendekat. Namun gerakannya langsung terhenti begitu mendapati sosok Akira yang sampai lebih dulu di sisi wanita itu, berhasil membuat tubuh kecil Berlian menjadi kaku.
Kaku. Naren menelan ludah kelat. Masih sebesar itukah arti Akira bagi Berliana? Lupakah dia bahwa Akira sudah punya istri?
Ya, tentu saja. Ingat apa kata Berlian malam kemarin? Berlian masih punya waktu mendekati Akira lagi. Entah apa maksudnya. Mungkinkah dia masih belum ingin menyerah dan mengejar Akira lagi seolah tak ada lelaki lain di dunia?
Berlian boleh punya banyak tanggungan, tapi ... tapi, benarkan demi seorang Salma Berlian mau merendahkan diri lagi?
Siapa sebenarnya si gila itu? Kenapa Berlian begitu peduli sampai merasa perlu membiayai perawatannya?
Salma Delisha? Naren bergumam seraya menatap Berlian yang masih berdiri penuh nyali dengan dua tangan terkepal tanpa takut, seolah ada ribuan pasukan bersamanya di belakang, siap menghadapi serangan Narendra yang kemungkinan besar akan membabi buta. Empat puluh lima tahun, tambah lelaki itu. Siapa Salma? Kenapa lo yang harus menanggung biaya rumah sakitnya?
Nyokap gue, jawab Berlian enteng, seenteng saat ia meminta Narendra membayarkan tagihan taksi karena tidak punya uang. Kendati demikian, geraham yang mengeras dan kepalan ketat tangannya adalah bukti, bahwa banyak hal yang berusaha wanita ini tahan. Emosinya mungkin. Atau kenyataan sesungguhnya.
Narendra mendengus. Menolak percaya. Berlian memang jelas berdusta. Nyokap lo ada di rumah besar kalian, Bimbing. Masih hidup dan sehat.
Nyokap kandung. Berlian belum ingin menyerah rupanya.
Narendra memutar bola mata. Ia menurunkan kertas tagihan itu lantas berkacak setengah pinggang dengan memasang tampang bosan. Gue nggak sebego itu. Setiap karyawan yang kerja sama gue, selalu diperiksa dengan terperinci latar belakangnya. Termasuk lo. Nyokap kandung lo udah lama meninggal.
Berlian tak langsung menjawab. Ia berkedip. Tenggorokannya bergerak naik turun seiring tatapannya yang kian menggelap di bawah sorot lampu jalan yang berdiri angkuh di sisi trotoar, membuat rambut hitam wanita itu tampak kebiruan. Dia lalu mengedik acuh. Gue jujur. Terserah lo percaya apa nggak.
Dengan tegas, Naren menggeleng. Walau jernih telaga bening Berlian sempat membuat bimbang. Untuk ukuran seorang yang berdusta, bahasa tubuh Berlian terlalu tenang, kecuali bila ia memang sudah terbiasa berbohong.
Gue nggak butuh lo percaya juga sih. Tapi, karena lo udah liat surat tagihan itu, lo harus tanggung jawab.
Apa maksud lo?
Kasih gue pinjaman.
Wanita ini gila! pikir Naren kesal. Ia menatap Berlian dari ujung kaki sampai kepala hanya untuk memastikan kesintingan Berlian. Ciri-ciri sudah pas. Dia memakai setelan musim bersalju di tengah kemarau Jakarta. Datang ke rumah sakit jiwa. Bermaksud pulang jalan kaki dengan jarak tempuh cukup jauh ke kafe.
Dan ... mengatakan ibunya yang sudah lama mati dirawat di rumah sakit jiwa.
Kalau gue nolak?
Gue masih bisa diketin Akira lagi. Bagai gadis nakal, Berlian mengedipkan satu mata dengan gerakan centil. Senyum separo di bibirnya berhasil membuat Naren berang.
Dia sudah beristri, Berlian. Apa lo nggak ada harga diri?! Bentak Naren kesal, entah kenapa mendadak naik pitam. Segala hal yang berkaitan dengan wanita ini, selalu berhasil membuat tensi darahnya naik drastis. Kalau begini terus, Naren bisa mati sepuluh tahun lebih cepat!
Tapi, lihatlah Berlian. Alih-alih berjenggit atau takut terhadap bentakannya, dia justru berdecak jengkel. Kalau lo nolak kasih gue pinjaman, gue dapet uang dari mana? Harga diri nggak bakal bikin gue kaya, Bambang.
Naren menggeram, kehilangan kata-kata. Entah Berlian yang terlalu pintar membolak-balik kata, atau ia yang terlalu dungu hingga bisa dibodohi oleh si licik ini.
Namun, lebih dari segalanya, Naren penasaran. Ia ingin tahu siapa pasien rumah sakit jiwa yang menjadi tanggungan seorang Berlian. Wanita ini tidak punya hati, kalau pun ada sudah pasti lebih keras dari batu kali. Bila mau, Berlian tidak harus bertanggung jawab. Tapi, kenapa ia harus?
Kecuali ini hanya akal-akalan saja. Bisa jadi Berlian hanya menemukan surat tagihan ini di tempat sampah, lantas memungutnya untuk dimanfaatkan. Seperti saat ini, digunakan demi menipu Naren.
Seorang seperti Berlian bukan tipe manusia yang mudah membongkar rahasia, terlebih rahasia sendiri. Apalagi sesuatu yang sesensitif ini. Bila benar keluarganya di rumah sakit jiwa, si angkuh Berlian akan coba menyembunyikan kenyataan itu dari dunia, bukan mengatakan kebenarannya. Bawa gue ketemu Salma, baru gue bisa ambil keputusan.
Bunyi tarikan napas Berlian terdengar tajam di akhir kalimat sang lawan bicara. Ia mundur selangkah, nyaris terhuyung mendengar permintaan Naren. Satu tangannya terangkat, mencengkeram bagian depan syal yang tadi digunakan untuk menutup sebagian wajah saat berada di tengah keramaian. Kalau gue nolak? tanyanya dengan nada tercekat. Melihat gelagat itu, Naren menahan diri untuk tidak tersenyum puas. Jika Berlian menolak, berarti memang benar dia bohong. Dan entah apa yang dilakukannya di rumah sakit jiwa.
Maka nggak ada pinjaman, Lili.
Binar di mata Berlian meredup, tapi seringai liciknya justru terbit. Masih ada waktu mendekati Akira lagi, katanya sembari merampas kembali kertas tagihan yang sudah lecek dari tangan Naren dengan gerakan kasar hingga kertas itu sedikit robek. Dia lantas berbalik, lalu melangkah cepat meninggalkan Naren tanpa menoleh lagi ke belakang.
Narendra semula menganggap itu hanya gertak sambal, karena esok harinya Berlian kembali bekerja seperti biasa, meski hitam di bawah matanya menjelaskan banyak hal. Salah satunya kenyataan bahwa wanita itu tidak tidur semalaman.
Namun, kini ... dia bertemu Akira. Mereka tampak sempat berdebat kecil sesaat sebelum akhirnya ... Berlian mengikuti si berengsek itu melangkah keluar dari aula.
Berlian, Naren menggeram dalam hati, tak akan ia biarkan berusaha merusak rumah tangga Nara lagi!
Naren kapok menjadi mak comlang! ¤¤¤
Simbiosis mutualisme. Jadi, begitu ya?
Berlian menahan diri untuk tidak tertawa. Menerrawakan kisah bualan yang ia dan Akira ciptakan sendiri.
Benar, selama ini lelaki itu hanya menjadikannya pelampiasan dari kekecewaan terhadap keputusan sang ayah sekaligus pelarian lantaran perkawinannya yang tak bahagia.
Syukurlah, Berlian tak harus merasa bersalah lantaran memanfaatkannya demi kepentingan pribadi, karena toh selama ini hubungan mereka memang sepalsu itu. Namun bagaimana pun, ia tetap bersyukur atas kehadiran lelaki ini. Yang selalu menawarkan rumah saat ia tidak tahu ke mana harus pulang. Yang menyediakan bahu ketika ia merasa sendirian. Yang menjadi kawan kala ia merasa seluruh dunia seolah melawan.
Lalu sekarang, lagi-lagi Akira menawarkan perlindungan. Tawaran menggiurkan, tentu saja. Tapi, tidak. Percuma bersembunyi di balik bahu Akira saat ia tahu dirinya tak akan mendapatkan apa-apa, hanya menyia-nyiakan hidupnya lebih lama.
“Aku memanfaatkanmu, dan kamu memanfaatkanku. Semenyedihkan itu kita, ya?”
Akira terkekeh pelan mendengar komentar sinisnya tentang hubungan mereka yang memang ... miris sekali. Dua manusia yang merasa dunia sangat tidak adil, berusaha mencari keadilan lain dalam bentuk mendustai diri. Entah dengan Akira, tapi Berlian jelas membodohi hatinya dengan meyakinkan bahwa ia akan mampu mengalahkan Harry. Akira adalah senjata andalan, yang pada akhirnya tetap kalah hanya dalam satu tembakan dari rudal sang ayah. Karena sejak awal, Harry sudah mengetahui titik buta Berlian dan membidik tepat dari sisi itu. Memastikan Berlian tidak pernah menang.
Berdiri, Akira meraih tangannya tanpa tadeng aling-aling. Membuat Berlian sedikit berjenggit karena tak menyangka akan mendapat sentuhan itu. Ia berusaha menarik diri tepat saat kelebat bayangan bergerak samar tak jauh di samping mereka.
Kecurigaannya terbukti benar. Memang ada yang memerhatikan mereka sejak tadi. Berlian mengedip pelan, batal menjauh dari sang mantan. Ia menahan diri untuk tak menampakkan seringai. Bayang-bayang di balik palem itu jelas merupakan siluet seseorang, bukan pelepah yang melambai. Laki-laki. Bulu roman Berlian meremang saat suara dalam benak meneriakkan nama Narendra keras-keras. Pria itu yang paling berkeras memisahkannya dan Akira demi melindungi Nara.
Melindungi Nara.
Berlian menarik napas panjang tanpa suara sebagai upaya menekan perasaan menyedihkan yang mulai timbul ke permukaan. Rasa tidak suka yang ... membuatnya bertanya-tanya. Kenapa?
Lalu seolah mengerti kecamuk dalam benaknya, genggaman Akira pada tangan Berlian mengerat, lantas menarik tubuh wanita itu dalam rengkuhan familier. Dan Berlian mendapati diri tidak menolak, ia justru membalas pelukan itu tanpa mengalihkan ekor matanya dari sudut tempat bayang-bayang tadi berkelebat.
Narendra harus tahu, dia tidak punya hak atas Berlian di luar kafe. Pun lebih dari itu, sesuatu yang ada di antara mereka tak boleh lebih dari batas yang bisa ditanggungnya.
Ya, ada sesuatu. Yang asing dan mendebarkan setiap kali ia bersama Narendra. Setiap kali tatapan mereka bertemu. Setiap kali saling berselisih. Berat diakui, Berlian menikmati momen-momen itu.
Mungkin karena belum pernah ada yang memperlakukannya seperti Naren. Yang terang-terangan menghardik, tapi juga datang untuk membantu saat ia butuh uluran tangan. Yang menyikapinya dengan manusiawi, sama sekali tidak memandang status tinggi rendah strata sosial. Dan hal itu, tanpa disadari membuat Berlian merasa dihargai. Dihargai sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai putri Harry Abimana yang selalu dihormat dan disegani. Bukan pula sebagai si cantik yang memikat hati. Melainkan hanya sebagai seorang Berlian.
Namun bila rasa penghargaan ini dibiarkan, Berlian tahu itu akan menjadi bumerang untuknya di kemudian hari.
Karena sekali lagi, ia tidak akan dipilih. Sebab bila diibaratkan tim dalam sebuah permainan bocah, ia hanyalah pengikut bawang. Yang tak pernah dianggap penting. Baik dalam hidup Akira, atau Narendra.
Dan, seolah kembali bisa membaca kecamuk dalam benaknya, Akira meminta maaf. Dengan maaf itu, Berlian tahu hubungan mereka resmi berakhir. Sampai di sini. Tanpa dendam dan sakit hati. Karena pada dasarnya, ia dan Akira sama-sama keliru. Sejak awal.
Merasa segalanya sudah tuntas, Berlian pamit pergi. Ia harus segera kembali sebelum denting jam sembilan memanggilnya paksa. Ia tidak ingin menjadi Ella yang lupa waktu hingga harus pontang-panting lari sampai salah satu sepatunya lepas. Karena ia tahu, sang pangeran tidak akan mengejar.
Jangankan mengejar, menawarkan diri untuk mengantar pulang pun tidak. Bukan berarti Berlian berharap, hanya menyayangkan uang di dompet yang harus berkurang demi ongkos transportasi. Ingat, ia rakyat jelata sekarang.
Dengan punggung tegak dan langkah mantap, Berlian menjauh. Pun Akira yang berbalik pergi tanpa menunggu sosoknya menghilang. Yah, setidak berati itulah Berliana bagi Akira atau dunia. Tapi, tak apa. Begini lebih baik.
Melirik sekali lagi ke arah palem rendah tak jauh dari tempatnya dan Akira berbicara, Berlian berjalan ke sana yang kebetulan searah dengan pintu keluar.
“Sandiwaranya udah kelar, Bambang. Sekarang lo udah bisa keluar,” katanya dengan nada yang ia usahakan terdengar santai.
Sebelum sosoknya muncul, Naren mendesis. Entah kesal karena ketahuan mengintip, atau marah padanya yang sudah lancang kembali menemui Akira.
Berlian menampakkan senyum cemooh padanya. “Masih belum jam sembilan, Pak. Saya tidak melanggar batas waktu. Kenapa masih diawasi juga?”
Ekspresi Naren menggelap. Rahangnya mengeras. Tatapan remehnya seolah memang disengaja untuk membuat sang lawan bicara terluka. “Bukan demi kamu!” balasnya dengan nada kasar. “Jadi, berhasil menjaring suami orang lagi, Berlian? Bagaimana sekarang? Akira sudah bersedia menikahi kamu? Atau kamu tetap hanya menjadi penghangat ranjangnya saja dengan imbalan kemewahan?” tambahnya dengan serbuan pertanyaan menyakitkan. Sangat menyakitkan.
Berlian mengepalkan tangan-tangannya erat, gatal ingin menampar. Tapi, ia tahan. Ini yang dirinya butuhkan. Kebencian Narendra, karena kebaikannya sudah lebih dari cukup.
Jadi, mendongak makin tinggi, Berlian tatap kelereng cokelat hangat yang malam ini tampak dingin dan gelap. Bibirnya yang kebas dan terasa kaku, ia tarik paksa membantuk lengkung senyum manis. “Belum dapat pernikahan, Pak. Sabar. Tapi, saya sudah dijanjikan rumah. Hanya dengan rayuan kecil, saya sudah dapat sesuatu sebesar itu. Tapi, sampai rumah itu benar-benar bisa saya kuasai, saya harap Anda masih bersedia menampung saya. Sebentar lagi. Hanya sebentar.”
Bukan hanya lidah Naren yang mengandung bisa, lidah Berlian juga, meski mungkin memang tidak semematikan tuduhan lelaki itu.
“Lo!”
“Apa?” Berlian mengangkat satu alisnya, menampilkan ekspresi tak berdosa. Dalam hati harap-harap cemas, takut Naren akan langsung memecat. Karenanya ia buru-buru berkata, “Sudah hampir jam sembilan, saya harus segera pulang sebelum kena marah bos.” Seolah seseorang yang diajak bicara bukanlah bosnya.
Tanpa menunggu balasan Narendra, Berlian cepat-cepat pergi. Membawa hatinya yang tak lagi berbentuk dengan penuh harga diri sebelum Naren sempat menghentikannya dengan kata keramat yang sangat ia hindari. Pecat.
Meski kalau mau, Naren bisa melakukannya sekarang juga. Tapi, tidak. Dia hanya menatap Berlian penuh benci. Ah, ya. Naren sudah membayar separuh dari gajinya sedang Berlian baru bekerja beberapa hari. Lelaki itu mana mau merugi. Minimal, Berlian masih harus bekerja selama setengah bulan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan