
Deskripsi
1,818 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Padma
Selanjutnya
Seindah Rasa
105
31
PROLOG
“Untuk apa kamu datang lagi ke sini?”“Kamu tidak pernah mengangkat teleponku dan selalu menghindar setiap kali kita tidak sengaja bertemu.”“Untuk apa? Ingat, Wan, kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun.”“Aku tahu. Tapi, apa salah kalau aku merasa ... rindu.”“Tidak. Tidak lagi setelah semua yang terjadi.”Hhh ... Wandi mendesah. Lelah. Matanya otomatis terpejam saat kejadian beberapa jam lalu kembali terulang dalam benak. Tentang pertemuannya dengan Resti di kediaman wanita itu. Ibu dari dua anaknya.Yah, mereka sudah bercerai nyaris empat tahun lalu. Tentu saja karena Wandi yang tak becus menjadi suami. Tiga puluh empat tahun membina rumah tangga, yang bisa ia berikan pada Resti hanya ... luka.Wandi mencintai perempuan lain. Rista namanya. Ya. Nama yang hampir sama dengan wanita yang telah memberi ia penerus. Tidak, bukan hanya nama, karena wajah mereka pun sama. Nama blakang pun demikian. Bahkan darah mereka juga sama.Wandi memang berengsek. Dia mencintai Rista, tapi menikahi adiknya hanya karena mencari sesuatu bernama ... sempurna. Keputusan gila yang menjadi awal mula petaka dalam hidup lelaki 55 tahun itu.Anggap saja karma, meski ia sendiri tak percaya dengan hal itu. Namun, hukum tabur tuai sepertinya memang ada. Hidup Wandi kini berantakan. Sejak bercerai dengan Resti, ia tinggal sendiri. Ketiga anaknya hanya datang setiap dua minggu—kalau sempat. Gustav, si sulung akhir-akhir ini kian sibuk. Dia paling sering absen. Cinta pun demikian. Semenjak menikah enam bulan lalu, kegiatannya terbatas karena harus menyesuaikan dengan jadwal suami. Sedang Lumi, ah ... Lumi. Gadisnya yang malang. Anak tak berdosa yang harus menanggung segala keegoisannya di masa lalu itu tengah hamil muda. Riwayat kesehatannya membuat ia tak leluasa beraktifitas, harus lebih banyak beristirahat lantaran kondisi kandungan yang lemah. Jadilah hampir dua bulan ini ia sama sekali belum bertemu dengan mereka.Dan Wandi makin merasa kesepian.Tak sengaja melirik Rolex hitam yang melingkar di pergelagan tangan, senyum mirisnya terbit. Sudah hampir tengah malam. Jam dua belas kurang lima. Ah, siapa pula peduli. yang akan menyambut di rumah hanya ... hampa.Mengembuskan desah berat melalui mulut yang dibulatkan, Wandi menginjak gas makin dalam. Dulu saat masih menikah, Resti melarangnya bekerja di atas jam sembilan. Kini, tak ada lagi yang memberi larangan. Ia bebas mengerjakan apa pun sampai pagi. Dan malam ini, Wandi baru selesai melakukan pertemuan dengan salah satu kliennya yang bertempat tinggal di daerah pinggiran Jakarta.Jalan sepi membikin Wandi leluasa. Mencengkeram roda kemudi, diinjaknya gas makin dalam. Audi hitam itu melaju kian kencang. Membelah malam dan mengusik sunyi dengan deru halusnya.Wandi butuh sesuatu. Sesuatu yang bisa sedikit membuat tenang.Di mana rokok? Wandi merogoh saku jas. Rata. kosong. Tangannya pindah ke kantong celana.Tidak ada. Demi Tuhan, di mana rokok sialan itu ia letakkan terakhir kali?Mengumpat, Wandi melirik dasbor. Membukanya dengan gerakan serampangan. Tak lagi memerhatikan jalanan.Ketemu. Kotak kecil itu terselip di sana. Napas Wandi terembus lega. Ia mengambilnya. Lelaki paruh baya itu mengeluarkan satu linting dengan sebelah tangan. Lalu menyelipkan ke celah bibir sebelum mendongak dan—Tarikan napasnya terdengar tajam. Kelebat bayangan melintas di tengah jalan. Lintingan rokok Wandi jatuh. Rem! Rem!Terlambat.Tubuh tak berdaya itu tertabrak. teriakan kagetnya sama sekali tak bisa Wandi tangkap. Karena yang terdengar di telinga yang mendadak disfungsi hanya suara desingan asing serta detak jantung terakhirnya yang menyakitkan. Mata Wandi nyalang menatap seonggok daging yang terpelenting. Jauh. Jauh sekali. Satu meter. Dua meter. Tiga meter. Ah, tidak. Persetan dengan jarak.Sungguh ... Wandi telah ... menabrak seseorang.*** Dampak Masa Lalu Kenapa Ayah belum pulang?Pita mondar mandir di depan rumah kontrakannya yang bahkan tak layak disebut tempat tinggal. Hanya sebuah bangunan yang terbuat dari lembar triplek berukuran empat kali dua setengah meter. Berdempet dengan kontrakan lain yang sama tak layak ditinggali.Sudah jam satu. Pagi. Tak biasanya ayah Pita belum pulang selarut ini. Beliau memang terbiasa lembur, tapi paling larut, jam sebelas sudah di rumah. Menekan lama angka satu pada tombol ponsel gendutnya dengan sedikit memberi kekuatan lebih karena tombol itu sudah mulai eror, Pita mendekatkan si mungil ke telinga kanan dengan layar kekuningan menampilkan kontak atas nama 'Ayah'.Bunyi tut ... tut ... tut ... terdengar meyakitkan. Pita menelan ludah kelat seiring dengan nada tunggu yang kian lama terdengar memekak telinga.Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tak ada jawaban. Pita tambah resah. Meremas ponsel makin erat, ia memutuskan mencari. Entah ke mana. Terserah. Ia tak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian sepeti ini. Pak Risman, tetangga di ujung gang yang bekerja di pabrik rokok yang sama dengan ayahnya bahkan sudah pulang sejak isya. Saat Pita bertanya, beliau hanya menjawab kalau ayahnya menitipkan pesan agar Pita tidur duluan. Durham memilih lembur seperti biasa. Bukan tanpa alasan. Keluarga mereka memiliki hutang cukup besar pada pemilik rumah kontrak tempat mereka tinggal. Bukan, bukan biaya bulanan yang menunggak. Melainkan hutang untuk membiayai ibu Pita yang sakit keras. Tiga tahun lalu. Meski percuma. Karena Tuhan lebih menyayanginya. Ibu Pita meninggal. Menyisakan hutang puluhan juta yang bahkan sampai saat ini belum bisa mereka lunasi.Dan kalau sampai akhir tahun masih tersisa, maka .... Pita menggeleng kuat-kuat. menolak berpikiran jelek. Sisa sembilan juta lagi. Mereka pasti bisa dengan bekerja lebih giat dan lebih keras.Tiba di ujung gang, Pita menggigit bibir tapa bisa melakukan apa pun. Matanya nyalang menatap pintu triplek rumah Pak Risman. Ragu. Keluarga kecil Pak Risman yang hidup bahagia meski dengan kondisi perekonomian yang mencekik, pasti tengah pulas dalam tidur. Egois sekali kalau Pita berkeras membangunkan seluruh penghuni di dalam sana dengan bunyi ketukan jemarinya yang kasar.Tapi, Ayah belum pulang. Satu suara dari ujung terjauh dalam kepalanya menjerit. Makin membuat Pita khawatir. Mengangkat satu tangan tak yakin, ia membuat keputusan.Namun belum juga kulitnya bersentuhan dengan daun triplek yang terkelupas di banyak sisi itu, pintu rumah Pak Risman lebih dulu bergerak mundur. Memberi celah cukup lebar sampai sosok yang akrab ia panggil paman muncul. Lelaki seusia ayahnya terkesiap kasar. Barangkali kaget, tak menyangka akan menjumpai Pita berdiri di muka pintu rumahnya di pagi buta.“Pita,” gumamnya sarat ... ketakutan. Pupil Pak Risman bahkan tampak mengecil. “Kamu—”“Iya, ini Pita, Paman.” Pita memaksakan senyum yang berakhir gagal. Bibirnya sulit diajak bekerja sama untuk membuat lengkungan. “Ayah belum pulang,” ujarnya kemudian tanpa basa-basi. Kerongkongannya perih sekali saat berucap. Dan ... entah mengapa telaga bening gadis itu terasa panas. “Apa pabrik rokoknya memang biasa buka dua puluh empat jam? Ayah nggak mungkin lembur semalaman sampai nggak pulang kan, Paman?”Sudut-sudut bibir Pak Risman turun, pun kerutan bibir hitamnya yang terlihat tak menyenangkan. “Pita,” beliau menatap gadis muda di depannya tak tega, “barusan Paman dapat telepon.”Mendengarnya, bola mata bulat Pita membundar penuh harap. Genangan samar di kedua iris cokelat madu itu bertambah lantaran haru. Akhirnya ia mendapat kabar. Tanpa harus merasa terpaksa, bibir tipisya membentuk senyum simpul. “Dari Ayah, kan?”Kepala Pak Risman tampak berat sekali saat menggeleng. Senyum Pita lenyap secepat datangnya. “Lalu dari siapa?” tanyanya setengah tercekat.“Suara asing.”Bahu Pita melorot seiring dengan kepalanya yang tertuduk lesu. “Bukan kabar dari Ayah.”“Dia bilang,” Pak Risman melanjutkan dengan tatapan mengasihani, “Ayah kamu ... kecelakaan. Di rumah sakit. Kritis.”Pita pingsan.***“Kamu pulang?”Gustav Elkavi Hutama menghentikan langkahnya tepat di undakan tangga terbawah begitu mendengar suara lembut milik sang ibu mengudara di ruang luas nan sunyi itu. Suana temaran lantaran nyaris semua lampu telah dimatikan, membuat Gustav harus memicing untuk bisa menemukan sosok tambun Resti yang menjulang di ambang pintu kamar beliau di ujung lorong.Dalam balutan daster rumahan, wanita yang Gustav panggil dengan sebutan mama itu melangkah. Mendekati putra semata wayangnya yang nyaris selalu pulang pagi buta. Tiba di depan Gustav yang sudah berbalik badan, Resti mengulurkan tangan, yang Gustav sambut dengan senyum kecil sebelum mencium takzim seperti kebiasaannya sejak kecil. Lalu menarik tangan yang sudah keriput itu hingga berakhir dalam pelukan.“Baru selesai meeting, Ma,” ujarnya sebelum menjauhkan diri dengan sorot mata yang begitu lembut. “Maaf.”“Mama bahkan sudah lelah menerima permintaan maaf dari kamu.” Gustav tinggi. Sangat. Hampir 180 senti, menuruni sang ayah. Membuat Resti yang bertubuh mungil harus selalu mendongak setiap kali mereka berbicara dalam posisi berdiri. “Sudah makan?” tanya beliau penuh perhatian.Sejak perceraian dengan Wandi, Gustav memang lebih memilih tinggal dengannya. Berbeda dengan si bungsu Cinta yang amat sangat kecewa degan keputusan kedua orangtuanya yang memilih mengakhiri hubungan di meja hijau hingga memutuskan tinggal di apartemen sendirian selama masih lajang. Rasa sayang Cinta yang imbang terhadap ayah dan ibunya membuat ia tak bisa memilih. Dan Resti bisa memaklumi itu.Gustav mendesah. Sudah. Ia sudah makan. Tak smpai satu jam lalu. Bersama kliennya dari Malaysia yang memesan mobil listrik keluaran terbaru. Salah satu super car andalan showroom-nya saat ini mengingat harga yang cukup terjangkau dengan fitur canggih. Minggu ini Gustav memang sangat sibuk. Peminat mobil jenis ini banyak, terutama kalangan artis dan pejabat. Restorannya bahkan sampai terbengkalai saking tak sempatnya ia tengok. Pulang ke rumah pun hanya karena Resti. Gustav tak ingin membuat ibunya khawatir.“Mama masak?” Alih-alih menjawab, ia justru balik bertanya. Semoga tidak, batinnya. Karena sungguh, ia masih kenyang.“Iya. Makanan kesukaan kamu.” Oh, tidak! Gustav nyaris mengerang. “Mama nunggu kamu dari tadi. Kangen pengen makan bareng. Akhir-akhir ini kita sudah jarang ketemu meski tinggal si satu rumah. Kamu sibuk terus,” ujar Resti dengan sdikit gerutuan di akhir kalimat.Mendengar sang ibu belum makan karena menunggunya, Gustav tak tega menolak. Mendekap Resti erat, ia berkata setengah hati, “Aku juga mau makan sama Mama.”“Kalau begitu Mama hangatkan dulu makanannya, ya.” Melepaskan diri dari dekapan Gustav, Resti melangkah ringan menuju dapur. Meninggalkan putranya yang hanya bisa mendesah sambil memukul perut ringan sebelum menghidupkan lampu ruang tengah dan menyusul wanita paruh baya itu.Gustav sadar ibunya kesepian. Tinggal hanya berdua dengan Gustav dan beberapa pembantu, rumah tak seramai dulu. Meski berat diakui, keadaan seperti ini kadang membuat ia merindukan Lumi. Adik tirinya. Biang dari segala kerusuhan dan masalah yang terjadi di keluarga mereka.Menarik salah satu kursi makan, ia menjatuhkan bokong. Menatap Resti yang bergerak ke sana-kemari di dapur. Menghangatkan berbagai macam makanan yang alih-alih membikin Gustav berselera, yang ada lelaki itu ingin muntah begitu menghidu aromanya. Tentu saja karena dia sudah kenyang.“Tadi papa kamu ke sini,” ujar Resti sambil lalu. Seolah hal yang ia ceritakan sama sekali tak berarti.Punggung Gustav sontak menegang mendengarnya. “Papa ke sini? Untuk apa?” Menyipit, Gustav perhatikan bahasa tubuh Resti betul-betul. Berusaha mencari sesuatu, secercah rindu misalnya. Karena ia tahu, ibunya masih sangat mencinyai Wandi. Dan yah, hal itu Gustav temukan di nada suara ibunya yang sedikit ... bergetar.“Nggak ada.” Beliau mengedik sok tak acuh sambil mengaduk sop jagung. Membuat pangan yang dipanaskan makin menguarkan aroma—yang seharusnya—nikmat. “Cuma mau ketemu katanya.”“Hanya itu?” Gustav menolak percaya. Terakhir kedua orangtuanya bertemu enam bulan lalu. Di acara pernikahan Cinta. Wandi selalu berusaha mengajak Resti bicara, tapi wanita itu sebisa mungkin selalu berusaha menjauh. Menjaga jarak dari seseorang yang—Gustav yakin—masih sangat Resti cintai. Hanya saja hantu masa lalu tak mengizinkan mereka terus bersama. Bayang-bayang wanita lain di hati Wandi tak bisa selamanya Resti toleransi.Yah, penghianatan dalam bentuk apa pun memang tak seharusnya diberi toleransi.“Apa yang kalian bicarakan selama Papa di sini?”Resti tak langsung menjawab. Beliau mengangkat sop jagung dari atas kompor. Menuang ke dalam mangkuk lalu beralih pada microwave. “Nggak banyak. Nggak penting juga.”Dua tangan Gustav terlipat di depan dada. “Dia ngajak Mama balikan?”Resti yang hendak membuka mesin penghangat makanan itu sejenak terhenti hanya untuk tertawa kering kemudian. “Jangan ngaco,” katanya setengah bergumam.Gustav mendengus. Bisa dipastikan benar. Wandi termasuk lelaki plinplan. Siapa pemilik hatinya saja tak bisa dipastikan. Entah Resti atau Rista. Gustav juga tak ingin peduli. Memang dia masih berhubungan baik dengan Wandi, semata sebagai bentuk bakti. Namun sikap Wandi yang pernah menyakiti hati ibunya tak bisa Gustav benarkan. “Jangan mau, Ma. Aku nggak masalah kok punya orangtua divorce. Jangan mau Mama kembali makan hati cuma karena kasian lihat hidup Papa sekarang.”“Dari pada ngomongin papa kamu terus, mending kita makan.” Selesai dengan urusan menghangatkan makanannya, beliau menata di atas meja sebelum mengambilkan piring untuk si sulung. mengisi dengan cukup banyak nasi, sayur dan lauk mengingat porsi makan Gustav sebakul. Barulah mengambil untuk diri sendiri. Sama sekali tak peka dengan ekspresi Gustav yang menatap gunung makanan di piringnya dengan ngeri. Tak yakin bisa habis.Cukup lama dalam hening yang terasa nyaman, Gustav pasrah menyantap nasi dan lauk dengan cepat, semata agar kenyangnya tak terlalu terasa.“Mama kesepian, Gus.”Gustav yang kembali hendak menyuapkan sesendok nasi entah yang ke berapa kali, menghentikan gerak tangannya di udara begitu mendengar keluhan Resti.Resti perempuan kuat. Setidaknya itu yang Gustav tahu. Beliau masih bisa berdiri mendampingi Wandi meski sudah pernah disakiti. Beliau bahkan bisa menerima Aluminia, anak hasil hubungan terlarang Wandi dengan saudara kembar Resti sendiri meski setengah hati. Dan kini, ibunya mangadu. Mengeluh. Kesepian. Gustav yang sejak awal tak berselera makan, makin enggan. Meletakkan kembali sendoknya ke atas piring dengan keadaan masih penuh, ia berkata, “Gustav minta maaf karena nggak bisa berbuat apa pun untuk kesepian Mama. Mama kan tahu, Gus harus kerja. Untuk hidup kita juga.”Resti menyuapkan pangan untuk dirinya sendiri. Ia tak langsung menyahut. Lebih dulu mengunyah pelan dan menelan, lantas menanggapi. “Kamu bisa. Uang bukan segalanya,” kata beliau tenang. menatap Gustav lurus-lurus. Mendapati kerutan ketidakpahaman dari sang lawan bicara, Resti melanjukan, “Menikah, Gus.”Pembahasan ini lagi. Asam lambung Gustav serasa naik, membuat perutnya yang kekenyangan makin mual. Ia benci pembahasan pernikahan mengingat nasib perkawinannya yang kandas gara-gara perselingkuhan perempuan sialan itu. Gustav bahkan tak sudi menyebut namanya. “Tolong, aku males ngomongin hal-hal semacam itu, Ma.”“Kenapa? Karena Rency pernah menghianati kamu? Nggak semua perempuan begitu, Nak.”“Tidak!” Gustav tak menyangkal. Dia menurunkan kedua tangannya dari meja makan. Bersandar pada punggung kursi. Menatap Resti skeptis. “Cinta tidak begitu. Aku tahu.”Mendesah, Resti ikut menyandarkan tubuhnya yang sudah mulai cepat lelah karena usia. “Lalu, apa kamu akan terus hidup sendirian?”“Aku nggak sendiri. Ada Mama.” Gustav keras kepala.“Lalu setelah Mama mati?”“Aku punya banyak uang. Aku nggak akan kesepian.”“Mama punya banyak uang. Punya dua anak. Tapi, Mama kesepian.”“Ma, tolong!” Gustas kesal. Dia lelah. Kekenyangan. Dan mengantuk. Besok pagi-pagi dia harus sudah berada di showroom untuk mendiskusikan pengimporan mobil pesanan pelanggan, lalu mengecek restoran siangnya. Gustav butuh banyak tenaga. Satu-satunya hal yang ia inginkan saat ini hanya istirahat. Tidur. Bukan makan atau kembali mendebatkan hal tak berguna seperti pernikahan.“Gus, Mama mohon!” Tapi, sepertinya Resti memiliki pemikiran lain. “Sekali ini saja. Mama nggak pernah minta apa pun sama kamu. Cuma ini. Kalau kamu memang berat melakukan untuk diri kamu sendiri, makan lakukan demi Mama.”“Dan kalau aku tetep nggak mau?”Resti terdiam. Barangkali tak menyangka Gustav akan menanggapi demikian mengingat anak lelakinya tak sekali pun pernah mengecewakan. Membuang muka, beliau kembali bersuara. “Mama punya kandidat yang cocok buat kamu. Dia cantik. Baik. Dari keluarga terpandang. Berpendidikan—”“Jenis perempuan macam itu banyak, Ma. Tapi, nggak ada jaminan mereka bisa setia dan menghargai perasaan kaum kami,” sela Gustav tajam. Sakit hatinya lantaran dikhianati dua tahun silam tak akan pernah bisa ia lupakan. Tak akan. Ia percaya di dunia ini masih banyak yang baik dan setia, sama banyak dengan jumlah betina yang mengerikan dan suka menghianati kepercayaan. Mantan istrinya salah satu contoh. Dan contoh lain, kakak Resti sendiri. Ibu Aluminia. Bukan hanya menghinati kepercayaan Resti, si jahanam itu bahkan tega menelantarkan putrinya sendiri.Gustav tak ingin bertemu manusia seperti mereka. Resti juga tidak bisa dikatakan sebaik itu. Karena meski berat diakui, Resti salah satu pemain utama yang memulai petaka dalam keluarga ini yang sudah buruk sejak awal. Demi Tuhan, beliau yang merebut Wandi dari Rista. Tapi sebagai anak, Gustav tak bisa menyalahkan sang mama sepenuhnya.Cukup Gustav terluka dengan masa lalu kedua orangtua dan kisah perkawinannya dua tahun lalu, jangan lagi hal tersebut terulang di masa depan. Jangankan mengalami, membayangkan saja ia tak sanggup. Sakitnya luar biasa.Namun Resti yang keras kepala seolah tak mendengar kalimat tajam Gustav, beliau tetap melanjutkan, “Lusa Mama akan membawanya ke sini. Saat makan malam. Kalau kamu tidak pulang tepat waktu, maka saat kamu tiba, Mama pastikan kamu nggak akan menemukan Mama di rumah ini lagi.”Gustav bungkam. Gerahamnya mengetat. Lelaki itu menatap ibunya yang masih memandang entah apa di kejauhkan sana dengan api kemarahan. Bukan. Bukan kemarahan pada Resti, tapi lebih pada keadaan mereka dan takdir yang menyebalkan ini.Lantas, apa sekarang Gustav punya pilihan?*** Tentang Masa Depan “Kami sudah berusaha, tapi Tuhan punya kehendak lain. Nyawa Pak Durham tidak bisa diselamatkan.”Pita langsung jatuh terduduk begitu mendengar tiga kalimat paling mengerikan setelah berita kematian ibunya. Sang ayah meninggal. menyusul mendiang ibu Pita yang lebih dulu berpulang. Sedang dirinya, lagi-lagi ditinggalkan. Sendirian.Pipi Pita basah. Air mata jatuh tak terbendung. Terus turun tanpa suara. Jangankan berteriak, terisak pun ia tak kuasa. Suaranya mendadak hilang entah ke mana.Pak Risman yang berdiri di sampingnya ikut berjongkok. Menepuk pelan pundak Pita sebagai bentuk dukungan. Berharap gadis muda itu bisa menghadapi cobaan ini.“Setiap yang hidup pasti akan kembali pada-Nya, Nak. Kamu yang tabah, ya.” Pak Risman berujar dengan suaranya yang mendadak serak. Barangkali juga ikut kehilangan. Atau tak tega melihat kondisi Pita yang mengenaskan.Namanya Pita. Tanpa nama tengah dan nama belakang. Dua orangtuanya adalah sepasang anak panti asuhan yang berusaha berjuang di tengah kerasnya Ibukota yang kejam. Tanpa bekal. Tanpa saudara. Dan dengan kepergian Durham, Pita praktis sebatang kara. Gadis malang.“Kami akan segera mengurus jenazah Almarhum. Administrasinya tolong diurus dulu,” ujar si dokter lagi sebelum berlalu pergi. Meninggalkan Pita yang masih menangis serta Pak Risman yang berusaha menenangkannya. Juga, seorang lelaki seumuran ayah Pita yang berdiri tak jauh dari posisi mereka. Termangu. Tanpa sepatah kata terucap sejak Pita dan Pak Risman tiba. Mungkin beliau yang mengantarkan Durham ke sini, atau dia ... yang menabraknya?Pemikiran tersebut sontak membuat Pita mendongak. Menatap lurus-lurus laki-laki paruh baya itu dengan tatapan menuntut. Mengusap kasar air matanya yang enggan berhenti mengalir, ia bangkit. Melangkah terseok hingga berada persis tiga jengkal di hadapan lelaki berjas mengilap itu.Dia, Wandi, menelan ludah saat matanya bersirobok dengan iris sewarna madu, siapa tadi namanya? Ah, Pita. yang kalau tak salah tangkap merupakan putri korban yang tak sengaja ia ... tabrak dan ... mati.Wandi telah membunuh seseorang. Keringat dingin sebesar biji jagung jatuh dari pelipisnya yang mulai keriput.“Bapak,” Suara Pita serak lantaran terlalu lama menangis. Kelopaknya bengkak, serta ujung hidung semerah tomat. Dilihat dari wajah dan postur tubuhnya, dia tampak masih begitu muda. Bahkan jauh lebih muda dari Cinta. “Bapak yang menyelamatkan ayah saya?” Pertanyaan itu tak terdengar seperti pertanyaan, lebih seperti tuduhan. Tatapan Pita turun, terarah pada kemeja putih dibalik jas hitam pekat Wandi yang dilumuri darah setengah kering.Dan Wandi tak dapat berbohong. Bahunya makin turun seiring dengan arah matanya yang teralih pada lantai. “Saya yang telah menabraknya.”Sudah bisa Pita duga. Gadis itu menutup mulut dengan tangan yang gemetar. Pak Riswan di belakang sana yang masih bisa mendengar percakapan mereka sontak berdiri. Melangkah cepat menghampiri posisi Wandi dan tanpa aba-aba langsung mendaratkan bogem mentah sekuat tenaga. Membuat Wandi jatuh tersungkur. Bibirnya robek dan terluka. Seakan tak ingin memberi waktu Wandi bernapas, Pak Risman kembali menyerang dengan menarik kemeja mahal yang ia kenakan. Suasan di depan ruang UGD yang sepi seolah mendukung kemarahannya. Satpam berada jauh di ujung lorong. Dan tiga suster yang bertugas masih di dalam ruangan bersama jasad sahabatnya.“Anda tahu apa yang sudah Anda lakukan?!”Wandi kembali bungkam. Dia tahu. Tentu saja. Membunuh. Meski tak sengaja, tetap saja namanya membunuh. Dia salah. Mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata tanpa benar-benar memerhatikan jalanan.Satu pukulan nyaris kembali Wandi terima. tangan Pak Risman sudah terangkat ke udara. Tapi suara lirih yang lolos dari kerongkongan Pita berhasil menarik perhatian. “Apa tuntutan orang kecil seperti kami bisa didengar?”Oh. Jantung Wandi terasa ditinju. Menelan ludah sekali lagi, ia perhatikan sosok Pita dibalik punggung lawan pukulnya. Menelisik penampilan gadis itu yang berantakan dan tampak kumal.Orang kecil.Wandi harus menjawab apa? Bahwa dia salah seorang pengacara kondang yang punya koneksi dengan kepolisian dan kejaksaan? Bahwa pihak berwajib akan melepaskannya dengan mudah sekali pun Pita melapor sampai menangis darah.Wandi punya kuasa. Namanya cukup dikenal karena sering memenangkan banyak kasus.Wandi harus menjawab apa?“Tentu tidak, Nak,” alih-alih Wandi, yang menjawab justru Pak Risman. Cengkeramannya melemah pada kerah sang lawan sebelum lepas sepenuhya. Wandi yang mendadak lemas, langsung jatuh terduduk. Dua kakinya serasa tak lagi punya kekuatan. “Siapalah kita bagi orang besar? Mereka punya banyak uang. Mereka bisa membeli segalanya. Termasuk harga diri seseorang.”Berusaha tegar, Pita berbalik badan. Punggungnya makin terguncang. Gadis muda itu mejatuhkan diri pada bangku panjang di depan ruang UGD sambil memeluk diri sendiri. Terlihat begitu lemah dan menyedihkan. “Kalau begitu, Bapak pulang saja. Toh, Bapak tidak ada gunanya di sini. Tapi tolong, lunasi biaya rumah sakit. Karena ... karena kami tidak sanggup.” Saat mengatakannya, Pita bahkan tak sudi menatap Wandi.Dan rasa bersalah itu kian mencengkeram makin erat. Wandi ingin melakukan sesuatu. Apa pun sebagai penebusan dosa. “Sa-saya akan memberikan santunan,” ujarnya terbata.Pita yang masih terguncang, sontak marah mendengar penuturan itu. Ia menghunus Wandi dengan tatapan matanya yang tajam. “Apa Bapak kira semua bisa selesai dengan uang? Kalau uang memang bisa membeli segalanya, apa Bapak bisa gunakan seluruh harta Bapak untuk kembali menghidupkan ayah saya?!”“Pita!” Pak Risman menegur. Dia juga marah dengan Wandi yang dengan ceroboh menabrak sahabatnya. Tapi mendengar kata 'uang santunan' terucap dari si manusia kaya, Risman mulai melunak. Pita jelas butuh uang. Banyak uang untuk kelanjutan hidup. Gadis malang itu hanya bekerja sebagai palayan rumah makan kecil. Gajinya tiga puluh ribu perhari tanpa makan siang. “Ingat, kamu punya hutang sama Juragan Basir. Kalau orang kaya ini bersedia memberikan santunan sebanyak yang kita minta, hutang kamu bisa—”“Setelah hutang lunas, lalu apa, Paman?” potong Pita cepat. Air matanya menetes makin deras. Ya, hutang itu. Oh Tuhan! “Apa setelah hutangnya lunas,” ujarnya disela isak, “adakah jaminan Juragan Basir akan lepasin Pita?” Pita tercekat. Tenggorokannya makin sakit. Dadanya sesak. Menyiksa sekali.Pak Risman terdiam. Satu tetes air matanya lolos, namun sebelum meluncur, segera ia hapus. Pita benar. Tanpa Durham, gadis itu tak lagi punya tempat berlindung. Juragan Basir, pemilik rumah kontrakan mereka akan makin semena-mena padanya. Terlebih, sejak awal lelaki beristri tiga itu sudah menaruh perhatian lebih pada putri sahabatnya yang memang cantik. Bahkan sejak Pita menginjak usia empat belas tahun. Dia ingin menjadikan Pita istri kesekian.“Maaf, Ta. Paman tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kamu.”Pita menggeleng pelan. Punggung tangannya ia gunakan untuk mengelap ingus. “Bukan salah Paman. Mungkin sudah takdir.” Mengangkat pandangan, ia menatap Pak Risman dengan senyum dipaksakan. “Menjadi istri keempat Juragan Basir mungkin nggak akan seburuk yang Pita bayangkan.”Yah, tidak seburuk. Melainkan lebih buruk. Sangat Buruk. Juragan Basir merupakan laki-laki berusia 45 tahun dengan perangai jelek serta ringan tangan. Dan mata keranjang.Pita sesegukan. Dirinya kehilangan, tapi seolah tak diberi waktu untuk berduka, karena kenyataan masa depan yang mengkhawatirkan menyita separuh pikirannya. Membuat kesedihan itu kian terasa dalam. Hidup seperti sebuah beban berat yang ditimpakan di atas kedua pundaknya yang lemah.Wandi yang sejak tadi diam-diam memerhatikan obrolan pelan dua manusia itu, berusaha bangkit di atas kedua kakinya yang masih terasa lemas. Diperhatikannya sosok Pita sekali lagi. Yah, dia sangat muda. Cantik. Sebatang kara dan butuh perlindungan. Dunia seolah musuh yang nyata baginya.Sedang Wandi, duda. Sama-sama hidup sendiri meski dalam konteks berbeda. Dia bisa memberi Pita perlindungan. Terlebih, ia juga butuh teman.Wandi bisa menjadikan Pita anak angkat, ah ... tapi, tidak. Dia laki-laki normal yang dewasa. Masih cukup prima di usianya yang ke 55 tahun. Satu-satunya wanita yang terbayang sebagai istri hanya sosok Resti. Tapi, Resti menolak kembali. Tidak salah kan, kalau ia menikah lagi.Dengan gadis belia yang bahkan jauh lebih muda dari putri bungsunya. Tentu saja tidak.Menarik napas, Wandi bersuara, “Saya duda. Saya bisa menjamin keamanan hidup kamu. Kalau menjadi istri saya, apa kamu mau, Pita?”Satu detik selepas kalimat itu terlontar, detik itu pula tubuh Wandi kembali terjungkal.Risman memukulnya lagi lantaran mulut Wandi yang begitu lancang.***“Kalau mobil listrik tipe ini bagus nggak sih, Bang?” tanya pemuda itu sambil menunjuk gambar salah satu mobil mewah dalam katalog supercar di showroom milik kakak iparnya.Gustav mengembuskan asap rokoknya yang berbentuk donat ke udara sebelum meletakkan nikotin yang hampir habis itu ke pinggiran asbak. Menurunkan kaki kanan yang ditimpakan ke atas kaki kiri, ia mengubah posisi duduk. Mencondongkan tubuh ke arah meja. Menatap gambar dalam katalog yang ditunjuk adik iparnya.“Oh, itu,” tanggapnya enteng. “Bagus. Tapi kalo buat lo, gue saranin yang tipe X aja. Lebih gede.”“Yang tipe X lebih mahal, ya?”“Selisihnya dikit, kok.”“Berapa?”“Cuma dua ratusan ribu doang.”“Gila! Dua ratusan ribu dollar lo bilang cuma!”“Jangan sok susah deh! Lagian, emang lo serius mau beli?“Pengennya sih, nggak. Tapi, adik lo tuh. Ngidamnya beginian gara-gara liat lo ngiklan,” ujarnya setengah menggerutu.Gustav yang mendengarnya spontan tertawa, “Hahaha ... kalo dia gue percaya. Beda jauh sama Cinta. Nikmati ajalah.”“Nikmati! Gue harap lo juga bakal menikmati masa-masa kelimpungan kayak gue.”Gustav tersenyum setengah mendengus. Malas menanggapi kalimat terakhir Iron yang mengingatkannya pada percakapan dengan Resti malam tadi. Gustav tak ingin menikah, otomatis ia tak pernah berharap bisa memiliki keturunan. Kalau pun menginginkan seorang anak, ia bisa merawat bayi Lumi atau Cinta nanti. Dia tidak akan kesepian seperti kata ibunya. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan hanya dengan memikirkan tentang masa depan suram.“Emang Lumi pengen banget mobil kayak gitu? Kalo menurut lo nggak terlalu butuh, ya jangan.” Gustav mencoba mengembalikan pembicaraan pada topik semula. Tak ingin percakapan mereka melebar ke mana-mana.Yang ditanya mendesah dramatis setengah meringis. “Nggak sih,” katanya sambil menggaruk kepala. “Dia malah nggak ada bilang apa-apa sama gue.”“Lah,” Gustav mengubah tumpuan kaki sembari menjentikkan ujung rokok ke asbak di tengah meja, “bukannya tadi lo bilang dia ngidam?”“Lo tuh, racun banget!” tuding Iron. “Pas liat postingan lo yang sok keren di instagram bareng mobil ini dia kayak mupeng gitu. Diliat berulang-ulang. Kayak pengen banget tapi berusaha nahan diri. Lo tahu sendiri kan, belakangan dia udah nggak pernah minta apa pun lagi sama gue kecuali emang beneran butuh. Kadang gue kesel sendiri.”Gustav tersenyum separuh mendengar gerutuan Iron yang ... terdengar manis. Ah, laki-laki dan manis bukan perpaduan yang sempurna. Terlebih bila manusia itu Iron yang ... dulu pernah mengikrarkan kebencian setengah mati pada Lumi. Tapi, lihat sekarang. Dia tampak benar-benar sudah diperbudak oleh cinta. Menyesap putung rokok pelan, Gustav embuskan asap putih mengepul itu ke udara sambil menatap langit-langit.“Kalian udah ada dua mobil di rumah. Emang Lumi nggak bakal marah kalo lo nambah lagi?”“Gue ada rencana jual yang Audi sih.”“Jadi fix beli?”“Kalo liat-liat dulu boleh nggak?”“Bisa. Tapi adanya cuma yang S. Seri X ada tiga, tapi udah punya orang.”“Tapi sama aja kan, Bang.”Gustav mengembuskan sesapan terakhirnya sebelum mematikan putung rokok dan membuang ke asbak seraya berdiri. Jasnya yang sedikit kotor lantaran rokoknya tadi ia bersihkan pelan dengan tangan. Lantas melangkah dari ruang khusus nikotin itu. Membimbing Iron melihat contoh salah satu koleksi showroom-nya berada.Showroom Gustav terbilang besar. Berdiri tiga lantai di daerah Jakarta Selatan. Mobil-mobil mewah berderet di sana. Bantley, Lamborghini, McLaren, Aston Martin, Tesla. Yang terahir adalah jenis yang Lumi taksir. Dan semua kereta besi itu bernilai milyaran rupiah.Iron melambatkan langkah saat melewati satu ruangan yang berbeda. Terdapat dua mobil di sana. Koenigsegg dan Bugatti. Dua jenis mobil yang dijuluki hypercare. Iron tidak begitu tahu perbedaan mobil itu dengan mobil mewah lainnya. Yang Iron tahu hanya harganya yang selangit. Buggati 90 miliar, sedang Koenigsegg 64 miliar. Dan Iron sama sekali tak tertarik memilikinya. Uang sebesar itu lebih baik ia investasikan pada properti yang selalu naik setiap tahun. Bukan pada otomotif yang biasanya suka turun.*** Awal dari Segalanya “Ini sih keren, Bang!” Iron tak berhenti berdecak kagum sejak menyentuh mobil yang istrinya taksir. Ia menatap Gustav yang duduk di bangku kemudi dengan mata membulat tak percaya. Dua tangannya terangkat ke udara. Membiarkan mobil pintar itu melaju sendiri. Sesekali melambat saat mendeteksi kendaraan lain di sekitar. “Cocok kayaknya buat bini gue pake kalo beneran bisa nyetir sendiri nih mobil.”“Kayak lo rela aja Lumi nyetir sendiri.” Gustav mencibir. Iron hanya tergelak pelan dengan sindiran halus abang iparnya. Tentu saja tidak. Iron tidak akan pernah mengizinkan Lumi menyetir sediri. “Tapi ini setirnya nggak bisa dibiarkan lebih dari tiga puluh detik,” lanjut Gustav sembari menyentuh roda kemudi sekilas, “Pegang aja kayak gini, lepas lagi nggak apa-apa. Asal jangan bener-bener dilepas.” Melihatnya, Iron kembali menurunkan tangan. Kembali mengendalikan laju kereta besi itu.“Kenapa kalau dibiarin lebih tiga puluh detik?”“Mobilnya bakal berhenti otomatis. Jadi nggak bisa tidur pas nyetir. Bahaya, kan. Lo juga bisa ngatur ac dari monitor.” Gustav kemudian menarikan jari telunjuk tangan kirinya yang kidal di layar. “Bisa diarahkan ke atas atau ke bawah kayak gini,” jelasnya bersamaan dengan hawa dingin yang mulai terasa seiring dengan gerak jari Gustav. Iron manggut-manggut berdengarnya. Terpesona. Terlebih, mobil itu sangat hening. Tanpa bunyi mesin dan ramah lingkungan. Kapasitas bagasi yang lega juga menjadi salah satu kelebihan yang dengan serius Iron perhitungkan. “Kalau mau menghidupkan radio atau musik, lo tinggal pilih mana yang lo mau di sini. Bisa main game sekalian. Ya, tapi jangan main sambil nyetirlah.”“Gue nggak suka main game, sih. Tapi bolehlah.” Iron manggut-maggut menatap layar lebar itu dengan bibir setengah mencebik penuh perhitungan. “Tapi, by the way ini kan mobil listrik, berapa lama waktu yang dibutuhin buat isi ulang batrenya?”“Bisa dilakukan enam sampai delapan jam untuk tarikan listrik dua ribu sampai dua ribu lima ratus Watt. Dan mampu dijalankan hingga lima ratus tiga puluh sembilan kilo meter sekali pengisian.”“Kalau tentang perawatannya gimana? Sama nggak sama mobil biasa gitu?”“Bedalah.” Gustav menyamankan posisi duduk dengan menyandarkan punggung pada jok kursi. Membiarkan Iron menambah kecepatan. “Ini kan udah nggak pake mesin, jadi perawatannya lebih ringan dong. Cuma tinggal cek kondisi fisiknya aja secara rutin. Dan kalau pun ada kerusakan, nih mobil bakal ngasih sinyal dan informasi ke sistem online yang mana bisa mengetahui kerusakan serta melakukan kalibrasi secara otomatis dengan software yang dimiliki. Ajib, kan?”“Okelah sesuai harga.”“Gimana? Jadi ngambil?”“Boleh, deh. Tapi yang gedean kayaknya. Dapet diskon nggak nih gue?”“Sorry, Bro. Business is business,” ujar Gustav sok jemawa.“Parah sih lo. Sama adik sendiri juga.”“Yang beli kan bukan si Lumi, tapi lakinya. Beda dong.”“Sama aja kali.”“Ya, nggaklah.”“Buat calon ponakan lo, gitu? Anggap aja hadiah.”“No. Nanti kalau anak kalian lahir, gua kasih hadiah lain.”“Pelit sih lo!”Gustav tergelak, sama sekali tak merasa tersinggung atas tudingan iparnya yang terlalu jujur. Dan yah, bisnis adalah bisnis. Dia tak akan mengingat siapa teman atau keluargan jika berhubungan dengan harga. Pelanggan tetap pelanggan. Harus diperlakukan sebagaimana pelanggan. Bukan karena pelit, tapi karena jikalau ada harga teman atau harga saudara, bisnisnya sulit berjalan. Terlebih mengingat modal yang dikeluarkan untuk membangun usahanya cukup besar dengan biaya perawatan yang tidak sedikit. Dan untuk sampai di posisi ini, jalannya tidak mudah. Terlebih, Gustav sama sekali tak mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, mengingat Wandi dulu berkeras agar si sulung menjadi pengacara. Bisnis yang ia geluti saat ini ia mulai sendiri dari nol. Dengan hanya bermodal uang hasil menjual motor besarnya semasa kuliah, lalu diputar lagi untuk membali kendaraan lain dengan harga miring dan didagangkan kembali dengan keuntungan yang lumayan. Terus begitu sampai akhirnya ia cukup punya modal untuk membangun bengkel, berlanjut ke showroom hingga kuliahnya terbengkalai. Merasa sama sekali tak memiliki minat di dunia hukum, ia memilih berhenti. Wandi dan Resti tentu sempat marah. Marah besar hingga Gustav sempat terusir dari rumah.Namun, lihat sekarang. Usaha Gustav membuahkan hasil. Kerja kerasnya berbuah manis meski tanpa campur tangan atau bantuan orang lain.Mengambil bungkus rokok dari saku kemeja birunya, gerakan tangan Gustav terhenti sebelum bisa benar-benar mengeluarkan kotak tipis kertas itu saat merasakan getaran di saku jas.Pesan WhatsApp dari Cinta yang mengajaknya berkunjung ke rumah Wandi siang nanti untuk makan bersama. Kebetulan ayah mereka sedang berada di rumah, tidak bekerja sejak kemarin. Katanya tidak enak badan. Cinta yang khawatir berencana akan memasakkan makanan kesukaan ayah mereka, sekalian berkumpul bersama mengingat akhir-akhir ini semuanya seolah sibuk dengan urusan masing-masing.Mendesah, Gustav mengiyakan chat adik bungsunya itu setengah hati. Mengingat acara makan, serta merta ia ingat ultimatum Resti kemarin lusa.Nanti malam, ya?Gustav tidak ingin menikah. Kalau pun iya, maka seseorang yang akan ia nikahi adalah wanita buruk dengan seribu kekurangan agar ia tak harus jatuh cinta.Sial!“Lumi masih bed rest total?” tanyanya kemudian tanpa menoleh pada Iron. Ponselnya ia letakkan sembarangan di dasbor. Pun lupa mengambil rokok, meski kebutuhan akan nikotin itu kian mendesak.“Iya. Dokter masih ngelarang dia terlalu banyak gerak sampai kendungannya cukup kuat. Kenapa?”“Nggak sih. Barusan Cinta whatsapp gue, ngajak ke rumah bokap buat makan siang.” Melirik jarum jam pada arloji di pergelangan tangan kiri, ia mendesah. “Jadi Lumi nggak bisa ikut, ya?”“Untuk sekarang dan beberapa minggu ke depan masih belum. Salamin aja deh, buat Papa sama Cinta.”Gustav hanya bergumam pelan sebagai jawaban. Selanjutnya, ia lebih banyak diam. Membiarkan Iron berbicara ngalor ngidul tentang istrinya yang begini dan begitu dengan nada menggerutu serta bangga yang menjadi satu.Iron jelas tampak amat bahagia dengan pernikahannya. Tidak seperti Gustav.***Sejak bercerai dari Resti, Wandi pindah ke sebuah unit apartemen di daerah Sudirman mengingat dirinya hanya sendirian. Rumah keluarga besar mereka dijual karena dianggap terlalu banyak menyimpan kenangan buruk—menurut mantan istrinya. Tidak dengan Wandi yang selama ini merasa semua baik-baik saja.Mengetukkan cardlock pada kotak sensor, bunyi pip samar terdengar. Wandi menarik gagang pintu apartemennya ke bawah hingga daun pintu di depan mereka terbuka. Menoleh ke belakang, ia dapati sosok gadis muda yang menatap pintu apartemennya dengan tatapan kagum yang tak ditutup-tutupi. Melihat ekspresi menggemaskannya, Wandi tersenyum. “Ayo masuk,” ajaknya seraya melebarkan celah agar mereka bisa menyelinap ke dalam.Alih-alih menurut, Pita justru meringis sambil melirik Wandi takut-takut. Bagaimana pun baiknya seorang Wandi Hutama, beliau tetap orang asing. Pita baru mengenal beliau kemarin. Dan harus masuk ke sana hanya berdua, entah mengapa terasa begitu salah. Menelan saliva pelan, ia bertanya dengan nada mencicit. “Di dalam, ada orang lain lagi nggak, Pak?” Dua tangannya mencengkeram tali tas berukuran cukup besar yang ia tenteng. Berisi seluruh barang-barangnya yang diboyong dari kontrakan usai menyelesaikan seluruh urusan dengan Juragan Basir beberapa saat lalu.Ah, Juragan Basir, mengingatnya, pita praktis bergidik. Bagaimana tidak, laki-laki mata keranjang itu sempat mencengkeram tangannya kasar hingga menyisakan bekas kemerahan di pergelangan kanan. Alih-alih merasa berduka, pemilik kontrakan yang sombong itu justru menyeringai begitu mendengar berita kematian Durham. Katanya, “Jangan sedih, Sayang. Masih ada Abang yang akan selalu berada di samping kamu.”Sumpah mati bulu roman Pita berdiri mendengar kalimat menjijikkan itu. Terlebih bau alkohol yang bercampur aroma rokok busuk menguar di udara setiap kali Juragan Basir bersuara. Pita yang tak berdaya hanya bisa mencari perlindungan ke balik punggung Pak Risman. Mereka baru pulang usai menguburkan Durham di pemakaman umum tak jauh dari perkampungan kumuh ini. Pita bahkan belum berganti pakaian dengan setelah hijau lumut yang merupakan baju terbaiknya sejak dua tahun lalu. Acara pemakaman memang sempat tertunda satu hari karena pihak rumah sakit melarang mereka membawa jasad korban sebelum administrasi dilunasi. Wandi yang seharusnya bertanggung jawab, jatuh pingsan lantaran pukulan bertubi-tubi dari Pak Risman bahkan harus mendapat penanganan cukup serius.“Pita, jangan takut sama Abang.” Juragan Basir tak menyerah. Ia berusaha mendekati Pita yang makin mengkerut ketakutan dibalik punggung Pak Risman. Sahabat ayahnya yang tak tega melihat wajah pucat Pita, berusaha menghalangi“Juragan, tolong. Pita baru kehilagan ayahnya.”“Dan gue nggak peduli. Justru bagus, dong. Pernikahan kami bisa dipercepat. Bukan begitu, Pita?” Tubuh tinggi besar Juragan Basir melongok ke belakang punggung Pak Risman yang ringkih. “Toh, hidup pun ayah kamu juga tidak ada gunanya. Pada akhirnya, sekeras apa pun dia bekerja untuk melunasi hutang kalian, percuma saja. Karena kamu tetap akan menjadi milikku. Hahaha ....”Tubuh Pita gemetar. Sama sekali tak bisa menyangkal. Mendongak saat merasa hawa panas di atas kepalanya, ia nyaris terjengkang mendapati sosok Juragan Basir yang entah sejak kapan sudah berada tepat di hadapannya. Sedang Pak Risman tersungkur tak berdaya di tanah berlumpur sisa hujan tadi pagi. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu tak ada satu pun yang bersedia membantu. Semua hanya diam. Berbisik-bisik prihatin. Pita paham posisi mereka, karena melawan Juragan Basir sama dengan terusir.“Jangan takut, Sayang. Cep ... cep ... cep.” Dicengkeramnya tangan Pita saat Gadis itu hendak menjauh. “Abang nggak bakal nyakitin kamu, kok. ASAL DIAM!” bentaknya kemudian. Yang sontak membuat Pita berjenggit kaget. Tangisnya yang semula reda, kembali berderai. “Apa susahnya sih, nurut?!” Cengkeramannya makin menguat. Pita menggigit bibir menahan tangis. Cegukannya ia telan kembali. Hanya membiarkan tetes bening yang terus jatuh. Melirik ke samping, dilihatnya Pak Risman yang hanya bisa menatap iba. “Lihat tuh istri-istri Abang yang lain? Sikapnya manis-manis, kan? Kamu juga harus meniru mereka. Abang nggak suka perempuan pembangkang!” Melepas lengan Pita, Juragan Basir ganti mencengkeram dagu gadis itu. Mengarahkan paksa tatapan Pita pada kumpulan kecil perempuan-perempuan malang yang tersenyum sedih seolah mengerti perasaannya.Tangis Pita makin menjadi saat memikirkan, akankah dirinya menjadi bagian dari mereka kelak?Sepertinya tidak, karena detik berikutnya, pahlawan yang Pita harapkan datang.Bukan. Dia bukan pangeran berkuda putih seperti dalam kisah-kisah dongeng yang dulu sering ibunya ceritakan saat Pita kecil. Bukan pula pemuda tampan nan gagah. Dia hanyalah seorang Wandi Hutama. Duda yang tak sengaja membunuh ayahnya. Laki-laki paruh baya yang kemarin malam menawarkan pernikahan.Wandi yang berwajah babak belur lantaran dipukul habis-habisan datang dengan dua orang pria bertubuh lebih besar dari Juragan Basir, menolong Pita dari cengkeraman lelaki jahat itu.“Siapa lo? Berani ikut campur urusan gue! Harus lo tahu, ini daerah kekuasaan gue, jadi—”“Saya Wandi,” jawab si paruh baya tanpa merasa takut sama sekali. memotong kalimat sombong Juragan Basir dengan berani. Barang kali beliau tak tahan menghidu aroma busuk yang menguar dari mulut juragan gila itu. “Dan saya,” lanjutnya sambil melirik Pita, meminta bantuan untuk menjawab. Karena rasanya terlalu angkuh bila ia mengaku sebagai seorang pengacara yang cukup berpengaruh dan memiliki kekusaaan jauh lebih besar dari si juragan. Juga malu mengaku diri sebagai penabrak ayah Pita.Mengerti arti tatapan itu, Pita mengepalkan kedua tangannya yang masih gemetar. “Dia,” katanya pelan. Nyaris tak terdengar. Di saat-saat geting dan terjepit begini, otaknya dipaksa berpikir keras. Dan Pita sudah membuat keputusan bulat. Setidaknya, ia yakin, keputusan kali ini tidak akan membuatnya lebih menyesal daripada harus menikah dengan Juragan Basir. “Dia calon suami saya.”“Kalau kamu tidak nyaman hanya berdua dengan saya, tidak masalah. Saya akan memanggil asisten rumah tangga segera. Tapi, untuk sekarang kita masuk saja dulu. Saya janji tidak akan macam-macam sampai kita menikah,” ujar Wandi ramah, berhasil mebangunkan Pita dari lamunannya tentang kejadian beberapa saat lalu.Dan mendengar kata menikah, hatinya mendadak gamang. Tapi, inilah pilihannya. Setidaknya dia akan menjadi satu-satunya istri. Bukan yang keempat. Selama perjalanan ke sini, Wandi juga sudah menunjukkan bukti-bukti bahwa dirinya benar duda. Memiliki tiga anak. Dua perempuan yang sudah menikah, dan satu laki-laki yang juga menduda sejak dua tahun silam.Pita tak bisa berbohong, dia senang Wandi tinggal terpisah dari anak-anaknya. Karena membayangkan berada di bawah atap dengan anak tiri yang jauh lebih tua pasti rasanya menyiksa sekali.Menarik napas panjang, Pita berusaha menerima segalanya. Sudah terlambat berubah pikiran sekarang. Dia tak akan bisa pergi ke mana-mana dengan kondisi mengenaskan begini. Tanpa uang sepeser pun. Terlebih, Wandi sudah membantu melunaskan seluruh hutang pada Juragan Basir serta menyelamatkannya dari cengkeraman monster mata keranjang itu.“Kamu percaya saya, kan?” Wandi kembali bersuara saat kalimat sebelumnya tak mendapat tanggapan.Pita akhirnya mengangguk pelan. Ia percaya pada Wandi. Lelaki tua ini kemungkinan orang baik. Terbukti, dia tidak lari setelah menabrak ayahnya. Beliau justru bertanggung jawab dan dengan lantang mengakui kesalahan. Padahal dia bisa kabur sejauh mungkin, tak ada saksi mata dalam kecelakaan itu.“Kalau begitu, ayo.”Wandi mendorong pintu makin ke depan hingga terbuka sepenuhnya. Pita hanya bisa mengekor tanpa bantahan. Namun belum juga selangkah masuk ke ruangan besar nan mewah itu, gerak kaki Pita terhenti begitu mendengar suara bariton yang bertanya tanpa keramahan sama sekali dari balik punggung mereka.“Siapa gembel yang berani Papa bawa ke sini?”*** Berlian dan Batu Kali Jakarta luar biasa panas hari ini. Sang raja siang tampak tersenyum angkuh di langit sana. Memamerkan kekuatannya dalam bentuk terik tak terkira. Cinta, salah satu penghuni kolong langit Ibukota tidak bermaksud mengeluh, tapi, oh Tuhan ... rasanya seperti terpanggang begitu keluar dari taksi online di depan gedung apartemen tempat Wandi tinggal. Ia pun bergegas. Melangkah cepat menuju lobi. Satpam yang cukup mengenalnya tersenyum ramah begitu berpapasan.“Mau jenguk Pak Wandi ya, Mbak?” tanya pertugas berseragam dongker itu basa-basi.“Iya, Pak. Beliau ada, kan?” Cinta balik bertanya, sekadar balasan kesopanan. Dan meski tanpa dijawab pun, ia tahu Wandi tidak akan ke mana-mana. Ayahnya sedang tidak enak badan. Toh, penghuni apartemen ini bukan Wandi seorang. Petugas keamanan pasti tidak sejeli itu sampai harus tahu siapa-siapa saja yang keluar dan siapa saja yang tetap tinggal.“Kebetulan baru saja balik, Mbak.”Hah? Spontan langkah Cinta yang sudah hendak melewati tempat jaga si petugas keamanan, terhenti. Jawaban satpam itu jauh berbeda dari perkiraannya. Menoleh, kening Cinta berkerut dalam saat menatap sekuriti itu penuh tanya. “Balik dari mana?”“Belum tahu juga, Mbak.”Oh. Apa mungkin Wandi ke dokter? Pikirnya. Tersenyum sekali lagi, Cinta mengucap terima kasih sebelum melanjutkan ayunan kakinya menuju lift. Ingin cepat menemui Wandi untuk tahu jawabannya.“Cinta?”Namun saat hendak menekan tombol panel, gerak tangannya praktis tertahan di udara mendegar namanya dipanggil oleh suara familier. Senyum wanita itu praktis terbit. Mendongak, tatapannya langsung bertemu dengan iris hitam pekat sang kakak. “Kak Gus,” sapanya.Gustav balas tersenyum hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit. Sulung Hutama itu berlari pelan memasuki lift yang sama dengan adiknya. Lantas membiarkan Cinta menekan tombol panel menuju lantai tempat unit Wandi berada.“Kakak kangen banget sama kamu!” Begitu pintu aluminium itu tertutup, Gustav langsung mendekap tubuh mungil Cinta erat. Sangat erat lantaran terlalu gemas pada tubuh sang adik yang mengembang semenjak hamil. Ya, dua adik Gustav tengah mengandung. Gustav akan punya dua keponakan sekaligus. Masa tuanya tak akan kesepian seperti ketakutan Resti sekalipun ia tidak menikah. Tergantung siapa yang memiliki anak paling banyak. Gustav akan minta satu.Ah, ya. Sudah berapa lama ia dan Cinta tidak bertemu? Sebulan? Dua bulan? Tapi, sepertinya kemarin-kemarin tubuh Cinta tidak seberisi ini. “Kamu makan apa, hah? Sampe badannya jadi kayak bola bekel gini?” ejeknya sembari mengeratkan pelukan untuk mencari tahu perbedaan tubuh Cinta dengan kemarin-kemarin. “Tapi, baguslah. Itu tandanya kamu bahagia. Karena kalau nggak, Kakak cincang suami kamu buat jadi makanan hiu.”“Ish, ish, lepas. Apaan sih, Kak Gus. Aku nggak bisa napas tahu.” Cinta memberontak, berusaha mengurai belitan tangan kokoh kakaknya yang terasa membelenggu. “Dan jangan pernah lagi nyinggung-nyinggung bentuk badan aku kalau masih mau ketemu!”Gutav mengalah. Ia membebaskan tubuh berisi adiknya sembari tertawa keras. Menjaili Cinta memang selalu menjadi kesenangannya setiap saat. Dan melihat gadis itu tersenyum seolah sudah merupakan tugasnya sejak Cinta bernapas pertama kali.Cinta Givana. Si bungsu yang lahir prematur karena kebrengsekan ayah mereka. Jangan tanya, mengapa. Gustav malas menjelaskan. Ia sudah mulai berusaha berdamai dengan masa lalu. Tapi, rasa ingin melindungi dan membahagiakan Cinta tak pernah padam. Cinta bagai pelita dalam hidupnya yang suram sejak mengetahui bahwa kebahagiaan masa kecilnya ternyata hanya sandiwara.“Sori, Sayang. Permintaan kamu tertolak. Gimana Kakak bisa nggak nyinggung bentuk tubuh kamu, kalau ini aja—hahaha ... coba lihat ini!” Gustav menjawil pipi Cinta yang begitu gembil. “Bikin gemes banget, sih!” Tak bisa menahan diri, ia pun mencubit keras-keras hingga Cinta mengaduh.“Sakit, ih!” sungut Cinta dongkol. Ia mengelus pipinya yang kemerahan lantaran cubitan Gustav dan memelototi sang kakak yang luar biasa meyebalkan. “Makanya nikah dong, biar ada yang bisa diisengin. Jangan aku aja!”Tawa lepas Gustav praktis terhenti. Lagi, pembahasan ini. Tidak Resti, tidak juga Iron. Lalu sekarang Cinta. Jangan bilang, Wandi pun begitu. Karena kalau iya, dengan senang hati Gustav akan langsung hengkang. Tak adakah seorang saja yang bisa mengerti perasaan Gustav? Bagaimana dia bisa membuka hati kembali saat cintanya dikhianati oleh manusia sialan yang paling ia percaya?“Kalau ada satu yang kayak kamu,” katanya serius, “aku mau.”Lalu sebelum Cinta sempat menyahut, pintu lift terbuka. Gustav membiarkan adiknya keluar lebih dulu dari kotak aluminium itu. Sedang dirinya mengekor di belakang.“Perempuan kayak aku banyak kali, Kak. Kakak aja yang males nyari. Entah males entah emang nggak mau, aku mana tahu,” ujar Cinta sambil menyusuri lorong apartemen yang sepi. Hanya tampak beberapa pertugas kebersihan yang sesekali ditemuinya. Tentu saja. Sekarang jam makan siang.Di belakang Cinta, Gustav hanya tersenyum kecil. Tak menanggapi. Yang pasti, menurut lelaki itu, adiknya salah. Tidak banyak perempuan seperti Cinta. Yang memiliki pemikiran dewasa, melihat satu hal dari banyak sisi, serta pemaaf. Ah, dia juga tulus. Suka mengalah. Tidak senang berbantah-bantah. Yang pasti, Gustav bisa menjamin dengan hidupnya bahwa Cinta amat setia.Membuka mulut untuk membahas topik lain—apa pun selain pernikahan dan perempuan—mulut Gustav yang sudah terbuka, siap melontarkan kalimat pertama, terpaksa kembali menutup saat matanya menemukan sosok Wandi di depan unit apartmen yang mereka tuju.Beliau tidak sendiri. Ada seseorang bersamanya. Seseorang yang ....Gustav menarik napas. Langkahnya terhenti. Pun dengan Cinta. Tepat tiga meter di belakang punggung dua orang itu. Mata Gustav bergerilya tak sopan. Meneliti tubuh ringkih yang Wandi persilakan masuk ke unitnya.Dia ... cih. Lihat tampilannya. Baju hijau lumut yang warnanya mulai luntur dan tampak kusut. Roknya entah model tahun berapa. Rok bunga-bunga yang megar di bagian bawah, berkerut-kerut seolah tak pernah menyentuh setrikaan. Lalu ... jilbabnya yang ... ah! Gustav melirik Cinta.Jauh. Bagai berlian dan batu kali. Tentu saja berlian itu Cinta.Dari tampilan belakang saja, Gustav tahu, yang ayahnya bawa bukan calon asisten rumah tangga, karena Wandi tidak pernah mencari pekerja sembarangan. Dan hal pertama yang selalu Wandi nilai adalah ... penampilan. Persis seperti Gustav. Bedanya, Wandi memiliki hati yang lebih lemah. Terutama terhadap kaum hawa.Menggeram pelan, pertahanan diri Gustav runtuh begitu melihat sosok asing itu hendak melangkahkan kakinya yang berbalut sandal jepit lusuh—Gustav jamin, pasti sangat kotor dan penuh kuman—ke dalam rumah sang ayah.“Siapa gembel yang Papa bawa?”Entah sejak kapan Gustav lupa di depannya ada Cinta sampai suara tarikan tajam napas sang adik terdengar di telinga. Sial.“Kak Gus!” tegur wanita hamil itu pelan.Namun, persetan. Gustav penasaran. Selama ini, sejauh yang ia tahu, Wandi tak pernah membawa orang asing ke dalam unitnya. Hanya Gustav, Cinta, dan Lumi. Oh, serta petugas kebersihan yang biasa dipanggil setiap minggu. Bila pun ada janji temu dengan klien atau kenalan, selalu Wandi lakukan di luar rumah. Semata karena beliau malas ditanya kenapa tinggal sendirian, terlebih jika ditanya tentang keluarga.Bersamaan dengan teguran Cinta, Wandi memutar kepalan ke belakang. Ia terbelalak begitu menemukan dua anaknya berdiri di sana. Sudah pasti kaget sampai tak terlalu memperhatikan kalimat pedas Gustav sebelumnya.“Gustav? Cinta?” seru Wandi seakan tak percaya. Keningnya mengerut samar. Berusaha mengingat. Bukan. Ini bukan Sabtu. Hari biasa anak-anak berkunjung. Lantas, dalam rangka apa gerangan mereka datang?Menelan ludah, beliau melirik si gadis muda yang detik kemudian berbalik badan.Dan ...Gustav ingin mengumpat sekaligus tegelak. Keras. Sangat keras. Lebih keras dari tawanya beberapa menit lalu bersama Cinta.Sial. Sial!Gadis itu Cantik. Matanya begitu jernih dengan iris sewarna madu. Bulat, mengingatkan Gustav pada mata kucing Lumi. Wajah berbentuk oval. Hidung mungil menggemaskan. Kulit kuning langsat khas wanita jawa. Tampak begitu halus seperti milik bayi. Pipi kemerahan. Entah karena malu kedapatan bersama om-om atau lantaran Jakarta yang begitu panas—Gustav lupa tempat ini ber-ac. Bibir penuh dan berwarna merah jambunya sedikit terbuka saat tak sengaja beradu pandang dengan Gustav yang nyaris melotot. Mengedip sekali, gadis itu langsung mengalihkan pandangan rikuh.Sialan. Kedua tangan Gustav terkepal. “Papa benar-benar sakit,” desisnya. Gustav makin yakin. Si gembel bukan calon asisten rumah tangga. Asisten rumah tangga tidak mungkin selusuh, secatik dan sebelia ini. “Sagat sakit sampai-sampai asal comot. Gembel di pinggir jalan pun dia bawa.”“Kak Gus!” Cinta menegur keras, tak lagi sepelan sebelumnya.“Jaga mulut kamu, Gustav!” Pun Wandi yang tampak jelas sekali tak terima gadis yang dibawanya dihina.Gustav enggan mengalihkan pandangan. Mencoba menghunus si manusia asing dengan tatapan yang setajam katana. Dan sepertinya berhasil, karena gadis yang berniat kembali melihatnya itu langsung menunduk dalam. Genggamannya pada tali tas jinjing berukuran sedang terlihat gemetar.Akting yang bagus. Pantas Wandi bisa begitu mudah luluh.“Bagaimana aku bisa menjaga mulut saat Papa bahkan tidak bisa menjaga kemaluan!” Balas Gustav tambah pedas.Secepat kata-kata kasar itu terlontar, secepat itu pula Wandi mengambil beberapa langkah dan menampar pipi putra sulungnya yang begitu lancang hingga kepala Gustav terlempar ke samping kanan. Bibirnya robek. “Yang sopan kalau bicara dengan orang tua!”“Pa!” Cainta langsung menangkap tangan ayahnya, tak ingin pukulan lain menyerang sang kakak. “Kita di lorong. Tolong, tidak baik kalau sampai ada yang melihat.” Di akhir kalimat, matanya meliar untuk memastikan keadaan. Tidak ada siapa-siapa di lorong itu selain mereka. Tapi tetap saja, terdapat cctv yang tertanam di beberapa sisi yang merekam setiap kejadian, termasuk pertengkarang keluarga ini. “Kita bisa bicara baik-baik di dalam, kan?”Gustav menyentuh ujung bibirnya yang berdarah dengan ibu jari tangan kiri. Kemudian berdecih.“Jadi, dia benar pelacur Papa?”“Gustav!” Wandi nyaris meraung. Ia hendak menerjang Gustav jika saja tubuhnya tak dihalau cinta yang mendekap dari belakang. “Jangan lancang kamu! Minta maaf sekarang!”“Papa sampai semarah ini. Berarti dugaanku benar, kan?”“Kak, jangan bikin Papa tambah marah, plis. Kita bicara di dalam aja ya,” bujuk Cinta masih dengan membelit tubuh ayahya, yang kalau dilihat sedekat ini, Cinta baru sadar ada beberapa lebam di wajah yang mulai banyak keriput itu. Entah apa yang terjadi dengan Wandi, yang Cinta tahu, ini bukan saat yang tepat untuk bertanya.“Dia tidak serendah itu!” balas Wandi mengabaikan ajakan damai putri bungsunya. “Dan kamu harus minta maaf padanya sekarang.”“Kenapa aku harus minta maaf? Dan kalau dia memang tidak serendah itu, tidak seharusnya dia mau masuk ke tempat Papa hanya berdua, kan?”“Dia bahkan mengenakan hijab seperti adik kamu, tapi kamu tega menghinanya sekejam itu?”“Tentu saja karena tidak semua pelacur harus telanjang kan, Pa!”“Gustav!”“Bang Gus!”Cinta dan Wandi sama-sama menggeram keras. Gustav sadar kata-katanya sudah keterlaluan. Tapi, benar, kan? Jilbab adalah kewajiban. Tapi, sifat dan tingkah laku siapa yang tahu?Oh, ayolah. Ini zaman gila. Sebagian laki-lali saja bercadar! Apalagi perempuan berhijab hanya untuk kedok penipuan. Banyak! Gustav tak ingin sebodoh dulu hingga bisa dengan begitu mudah tertipu.“Apa? Aku nggak sudi minta maaf sama gembel itu!”“Tapi gembel itu calon ibu tiri kamu!”Detik kemudian ... lorong itu benar-benar hening.*** Bumi dan Langit “Ini gila!” Gutav melempar kompres es batu yang beberapa detik lalu menempel di ujung bibirnya begitu mendengar penjelasan Wandi yang panjang lebar. Terlalu panjang. Dan terlalu lebar. Luka di sudut bibir Gustav sudah mulai mengering. Tak lagi mengeluarkan darah. Hanya menyisakan warna lebam yang mulai memerah. Serta rasa marah yang makin berkobar di balik dada.Es batu malang itu nyaris mengenai Pita yang berdiri rikuh di sudut ruangan. Beruntung gadis itu lekas bergeser ke samping hingga lemparan Gustav hanya mengenai dinding sebelum jatuh berguling di lantai.Cinta sama sekali tak bersuara. Duduk diam di ujung sofa panjang ruang tengah ayahnya. Usai mendengar berita mengejutkan itu di lorong apartemen beberapa saat lalu, baik ia dan Gustav bagai kerbau dicucuk hidungnya. Terdiam linglung. Dan hanya menurut saat Wandi mengajak berbicara baik-baik di dalam.Kini, di sinilah mereka berada. Wandi di ujung meja, sedang Gustav duduk di sofa yang sama dengan adiknya.“Dia bahkan jauh lebih muda dari Cinta! Demi Tuhan, delapan belas tahun, Pa!” tunjuknya pada Pita yang sejak tadi menunduk dalam. Sesekali mengusap pipinya pelan. Barang kali menangis. Atau pura-pura menangis. Gustav tak mau ambil peduli. Tasnya yang jelek dan ditambal di beberapa sisi, teronggok menyedihkan di sampingnya. Sama menyedihkan dengan sang empunya.“Keaadaannya tidak sesederhana itu, Gus! Tolong mengerti.”“Sederhana saja. Papa yang membuatnya rumit.”Wandi sudah menceritakan segalanya. Segalanya. Tentang kecelakaan sialan yang menewaskan ayah ... siapa tadi nama gadis sialan itu? Vina? Vita? Peduli setan.“Seharusnya cukup Papa beri dia uang kompensasi. Sudah, kan? Berapa yang dia butuh untuk pemakaman? Biaya hidup sampai menikah? Seratus juta? Lima ratus juta?”“Yang dia butuhkan bukan cuma uang!” Wandi menyugar rambut ke belakang dengan memberi penekanan di setiap ujung jari. Hampir habis kesabaran memberi penjelasan pada Gustav yang menolak mengerti. “Dia masih begitu muda. Butuh perlindungan.”“Tapi, itu bukan urusan Papa!”“Jelas urusan Papa! Papa yang sudah menyebabkan ayahnya meninggal.”“Hidup dan mati sudah ditentukan, Pa.”“Gustav—”“Dan aku tidak habis pikir, bagaimana bisa gadis semuda itu bersedia menikah dengan Papa yang bahkan sudah hampir enam puluh tahun?” potong Gustav. Enggan mendengar seribu alasan Wandi yang masih tak masuk akal menurutnya. Terlalu klise. Menyebabkan seseorang ayah mati, lalu sok menjadi pahlawan dengan menikahi putrinya yang malang. Bah, drama sekali.Berdiri, Gustav melangkah pelan penuh keangkuhan. Mendekati posisi Pita dengan aura gelapnya. Gadis malang itu makin beringsut ke belakang hingga punggungnya menempel ketat dengan dinding ruang tengah apartemen Wandi. Tepat tiga langkah darinya, Gustav berhenti. Berdiri menjulang dengan satu tangan berkacak pinggang.“Ah, dia punya banyak modal,” gumam Gustav penuh kebencian. “Cantik,” ia nyaris menggigit ujung lidahnya sendiri saat mengakui fakta sialan itu, “tubuhnya juga bagus. Sangat muda. Dan sepertinya dia tahu semua yang dimilikinya sangat menguntungkan.” Satu tangan yang lain mengelus dagu yang dihiasi jambang tipis. Menyorot tubuh Pita yang makin tremor dari ujung kaki hingga kepala. Gigi Gustav bergemelutuk. “Delapan belas, ya. bersedia menikah dengan laki-laki nyaris enam puluh tahun. Tentu saja. Apalagi yang dia cari selain uang?”“Gustav!” Tak tahan dengan tingkah putranya yang kian menjadi, Wandi ikut berdiri. Berusaha menegur dengan bentakan. Tak ingin kembali adu hantam. Terlebih, Wandi memang sudah tidak muda lagi. Salah-salah, dia bisa spot jantung mendadak menghadapi situasi ini.Namun Gustav yang menuruni sifat keras kepala ibunya, mana mungkin mau mendengar. “Sepuluh atau lima belas tahun lagi, kemungkinan Papa sudah punya penyakit strok atau mati. Sedang dia masih begitu muda. Janda muda yang kaya raya. Jika bisa mendapat uang semudah itu, kenapa tidak. Iya, kan?”“Kamu sudah keterlaluan, Gus!” Wandi beranjak, hendak kembali menghajar wajah Gustav yang memiliki ketampanannya sewaktu muda. Namun belum juga dua langkah terambil, tangan kiri Gustav lebih dulu terangkat ke atas. Isyarat agar Wandi berhenti. Menoleh ke belakang, sorot matanya menggelap.“Aku tidak akan membiarkan Papa memukulku dua kali hanya karena perempuan sialan ini.”“Papa tidak akan memukul kamu jika saja kamu mau bersikap lebih sopan dengan gadis pilihan Papa.”Mengibaskan bagian bawah jasnya, Gustav berbalik ke belakang. Menghadap Wandi yang tamak dengan tatapan murka. “Aku, Cinta, Lumi, tidak pernah melarang Papa menikah. Dengan siapa pun. Tapi, tolong. Carilah perempuan yang sepadan dengan keluarga kita. Dan sepantaran dengan usia Papa! Gadis menyedihkan seperti dia tidak pantas masuk dalam keluarga kita!”“Papa sudah menceritakan alasan Papa melakukan ini. Kamu sudah dewasa. Papa hargai pendapat kamu, tapi maaf, Keputusan Papa sudah bulat. Papa akan tetap menikahinya meski tanpa persetujuan kamu.”Tangan-tangan Gustav terkepal di sisi tubuh. Bibirnya menipis. Aura lelaki itu makin pekat. Ia melirik Pita di balik punggungnya dengan sinis sebelum mendengus. Mengangguk sekali, ia berkata, “Baik. Papa nggak butuh pendapat, kan? Kalau begitu aku pulang!” Gustav kembali melangkah. Melewati tubuh tua Wandi dan dengan sengaja menyenggol kasar bahu beliau. “Ayo, Cinta!”Yang diajak mendongak. Cinta yang sejak tadi hanya diam, menatap Gustav penuh arti. Membuat bulu kuduk sang kakak sedikit meremang. Tanpa sadar Gustav menelan ludah. Terakhir kali Cinta menatapnya begitu adalah saat ia memutuskan merelakan Iron untuk Lumi di malam pertunangannya sendiri.Nanar dan penuh perhitungan.“Cinta,” Ragu, Gustav kembali memanggil. Dia bahkan mengulurkan tangan. Berharap sekali Cinta akan menyambut.“Kak Gus benar. Dia terlalu muda buat Papa,” ujarnya, mengabaikan tangan Gustav yang terulur. Mendengar penuturan kalem Cinta, Gustav praktis tersenyum. Wandi sama sekali tidak mendapat dukungan dari siapa pun terkait keputusan gilanya. Bila Cinta saja menolak, apa kabar Lumi saat mendengar berita ini? Gustav yakin dia akan mencak-mencak. Tapi, tidak. Kondisi kesehatan Lumi tidak memungkinkan untuk mendengar kabar kegilaan ayah mereka. Lumi tidak boleh stress.“Papa tahu ini akan sulit bagi kalian, tapi—”“Tapi, tidak semuda itu untuk Bang Gustav. Iya, kan, Pa?” sela Cinta, tak memberi kesempatan Wandi menyelesaikan kalimatnya. Meski terkesan berbicara dengan sang ayah, namun tatapan Cinta sama sekali tak lepas dari si sulung.Kening Gustav berkerut. Dalam. Detik kemudian, seiring dengan kerutannya yang memudar, mata lelaki 33 tahun itu melebar. Spontan dia mengumpat. “Sinting!”Cinta sama sekali tak tersinggung dengan kata kasarnya. Alih-alih, dia tersenyum. Senyum simpul yang demi Tuhan terlihat begitu menjengkelkan.“Jangan gila kamu, Cinta!”“Papa benar. Papa harus bertanggungjawab atas kematian ayah Pita. Terlepas dari kematian yang memang sudah ditakdirkan, Papa memang bersalah. Dan kalau Kakak tidak setuju Papa menikahinya, maka Kak Gus, selaku anak laki-laki Papa yang harus melakukan itu,” jelas Cinta penjang lebar. Mengabaikan protes Gustav, dan Pita yang nyaris pingsan mendengar saran Cinta yang juga gila.“Kalau aku menolak?” Gustav menantang. Tak ingin menyerah dan kalah. Menikahi gadis kecil yang gembel itu? Cinta pasti bercanda. Mereka berasal dari kasta yang berbeda. Usia selisih lima belas tahun. Juga penampilan yang sudah bagai bumi dan langit. Gustav dengan setelah rapi dari berbagai merk dunia, sedangkan dia? Baju pembantu di rumah Gustav bahkan jauh lebih bagus. Baiklah, dia cantik. Tapi, cantik saja tidak cukup untuk menjadi istri Gustav. Harus sepadan. Jelas bebet, bibit, bobot. Bukan yatim piatu yang entah berasal dari keturunan mana. Mantan istri Gustav saja anak pejabat dan berprofesi sebagai dokter spesialis anak—sialan yang berselingkuh dengan ayah pasiennya. Terlebih, Gustav tak ingin menikah lagi. Jadi jika terpaksa harus kembali terikat, minimal harus lebih segala-galanya dari sang mantan.“Maka biarkan Papa yang menikahinya,” jawab Cinta mantab.“Cinta,” Gustav menggeram tak habis pikir. Sadarkah Cinta dengan apa yang baru saja dirinya katakan? Membiarkan Wandi menikah dengan gadis muda yang berpotensi mata duitan itu, sama saja membiarkan nama keluarga mereka dipermalukan. Dan yang jauh lebih penting dari itu adalah perasaan Resti yang pasti terluka.Resti, di balik rasa sakit hati dan penolakannya terhadap Wandi, Gustav tahu betul ibunya masih sangat mencintai ayah mereka. Dan Cinta, dengan mudahnya melontarkan kata setuju seolah sama sekali tak peduli terhadap perasaan beliau. Benar Gustav tak setuju keduanya kembali, tapi bukan begini juga caranya. Bagaimana dengan Resti nanti kalau sampai tahu Wandi akan menikahi anak kecil selepas ajakan rujuknya beliau tolak? Selain terluka, Resti pasti akan merasa sangat terhina. Posisinya sebagai Nyonya Wandi Hutama digantikan oleh ... si batu kali. Oh, Tuhan! Ini penghinaan besar.“Cinta, tolong hargai perasaan Mama.”“Justru karena aku menghargai perasaan Mama, aku ngasih usul ini. Yang patut dipertanyakan di sini tuh, Kakak. Kalau Kak Gus memang benar takut Mama terluka, gantiin Papa. Toh, Papa nggak akan keberatan. Iya, kan, Pa?”Wandi tak langsung menjawab. Ia tampak berpikir selama kurang lebih seperempat menit sebelum kemudian mengangguk dengan berat hati demi menghargai pendapat putrinya.Wandi tidak main-main mengajak Pita menikah. Dirinya benar-benar kesepian dan butuh teman di hari-hari tua. Yang akan menyambut saat diriya pulang kerja. Dan kalau beruntung, Wandi juga ingin punya anak lagi.Berat diakui. Selain karena sebagai bentuk tanggungjawab, alasan Wandi ingin menikahi Pita adalah ... karena gadis itu memiliki mata yang mengingatkan Wandi dengan seseorang.“Papa setuju.”Di sudut lain, Pita, yang jalan hidupnya sedang dirundingkan oleh tiga manusia itu sontak berkeringat dingin. Tidak, gumamnya pelan. Sama sekali tak terdengar. Dia tidak mau menikah dengan Gustav. Pita seribu kali lebih suka menikahi Wandi meski jarak usia mereka sangat jauh daripada dengan laki-laki berlidah setajam silet itu.Menarik napas panjang, Pita memberanikan diri mendongak. menatap Gustav yang tampak menggeram frustrasi hanya karena diminta menikahinya. Membuat perasaan Pita serasa dipilin. Apa ia memang seburuk itu? pikirnya muram. Pita tidak menyukai Gustav. Sama sekali. Tapi melihat seseorang yang begitu tertekan hanya karena diminta menikahinya, tentu saja Pita sedih dan merasa tersinggung. Tak ingin terjebak dengan kegilaan ini lebih lama, ia pun berkata, “Tidak.” Pita berharap suaranya bisa keluar lebih keras dari ini. Bukan sekadar bunyi lirih yang bahkan lebih mirip cicitan tikus.Wandi yang seperti menyadari sesuatu, menoleh padanya dan bertanya, “Kamu bicara sesuatu?” Sontak menarik perhatian yang lain. Dua anaknya kini juga ikut menoleh. Cinta dengan tatapan ingin tahu dan Gustav yang ... sudah seperti ingin menguliti hidup-hidup.Mencoba tak melirik Gustav sama sekali, Pita memaksakan diri mengangguk. Yang berakhir dengan gerakan kepala naik turun kaku. Sumpah mati, dia merasa sangat-sangat terintimidasi. Produksi keringat dingin di tangan dan sepanjang tulang punggungnya makin banyak. Pita yakin baju bagian belakangnya pasti sudah basah.“Apa yang kamu katakan tadi? Bisa diulang?” tanya Wandi penuh perhatian.“Sa-saya,” suara Pita tercekat. Berdeham pelan, dia mencoba mengulang. Mengumpulkan keberanian lebih banyak. “Saya tidak mau menikah dengan ... dengan anak Bapak.”Sorot mata Gustav menajam seiring dengan kelopaknya yang menyipit begitu mendengar kalimat si gembel yang terpatah-patah. Mendengus, ia kembali berkata kejam. “Lihat?! Dia menolakku! Si gembel itu—”“Pita, Kak, namanya,” potong Cinta spontan. Mulai kesal mendengar kata-kata penghinaan Gustav yang tiada habis untuk gadis malang itu.“Terserah!” Gustav memutar bola mata. “Kakak juga nggak sudi nikah sama dia. Dia juga lebih senang sama Papa yang sudah tua, kan? Coba jelaskan apa alasannya selain karena Papa duda kaya yang akan mewariskannya banyak harta kelak? Bukan denganku yang masih muda, kuat, bugar, dan kemungkinan tidak akan mati dalam waktu dekat!”Pita menggeleng keras. menolak tudingan jahat itu. “Bu-bukan begitu.” tangannya yang sudah sangat licin ia usapkan ke ujung baju hijaunya yang lusuh. “Sa-saya takut sama A-abang itu. Dia ... dia suka marah-marah dan matanya melotot terus. Seperti Juragan Basir.”Cinta spontan tertawa mendengar penuturan Pita yang terlalu jujur dan begitu polos. Ekspresinya benar-benar seperti bocah yang ketakutan. Ah, Cinta lupa. Pita memang masih bocah.Wandi berusaha tidak tertawa dengan pura-pura mengeluarkan batuk.Sedangkan Gustav, rahangnya nyaris jatuh menyentuh lantai begitu mendengar kalimat panjang gadis gembel itu pertama kali. Tentu saja bukan terpeson pada suaranya yang ... well, cukup empuk. Tapi, apa katanya tadi? Gustav, si duda yang diincar banyak wanita, tampan dan sukses di usianya yang masih terbilang muda disamakan dengan Juragan Basir? yang kata Wandi merupakan pemilik kontrakan kecil di salah satu perkampungan kumuh dan hobi menikahi gadis muda?Lancang sekali dia!Mulut Gustav terbuka. Siap mendebatnya. Namun sebelum satu silabel lolos, Cinta lebih dulu bersuara.“Dia baik, kok ....” Di akhir kalimat, ucapannya menggantung di udara. Bingung harus memanggil Pita dengan sebutan apa. Mereka belum berkenalan secara baik. Dan Wandi sempat mencetuskan Pita sebagai calon istri? “... M-mbak.” Ragu, Cinta melanjutkan dengan memilih sebutan paling aman.Pita yang barangkali risih dipanggil 'Mbak' oleh Cinta yang sepuluh tahun lebih tua, mengoreksi. “Pita saja.”“Oke, Pita. Aku Cinta. Anak bungsu Pak Wandi. Kamu ... mmm, bisa duduk saja di sini?” Cinta menepuk tempat tepat di sampingnya yang kosong. Bekas duduk Gustav, begitu sadar bahwa sejak tadi gadis itu hanya berdiri. “Kamu pasti capek, kan?”Sebelum menjawab, Pita melirik ke arah Gustav dan menemukan laki-laki itu masih melotot dengan satu alis terangkat. Spontan, Pita langsung menggeleng keras. “Sa-saya kotor. Tidak pantas duduk di kursi mahal,” tolak Pita mengingat tudingan-tudingan kejam Gustav padanya sebelum ini. Dan ya, dirinya memang tidak pantas.Pita tidak apa ditolak oleh Gustav. Dia juga tidak peduli sekali pun Gustav tidak menyetujui pernikan Wandi dengannya. Yang pasti, Wandi sudah berjanji, dan Pita sudah terlanjur pergi dari kontrakan tempatnya tumbuh besar sejak lahir. Pita akan berusaha bermuka tebal setiap kali bertemu Gustav. Pernikahannya dengan Wandi harus tetap dilanjutkan. Karena sungguh, Pita tidak tahu harus pergi ke mana kalau Wandi mengikuti keinginan Gustav. Tidak mungkin ia kembali ke kontrakan mengingat kekacauan yang sudah terlanjur terjadi sebelum dirinya angkat kaki.Sekalipun Pita dilepaskan dengan uang saku yang sangat banyak, untuk apa kalau ia bahkan tidak tahu harus menggunakan untuk apa dan pergi ke mana. Seumur hidup tinggal di tempat kumuh dalam keadaan miskin, Pita hanya bisa bersekolah sampai tamat SMP. Setelahnya bekerja di warung bakso dekat rumah untuk membantu perekonomian orangtuanya dan selalu pulang sebelum magrib. Membantu ibu memasak makan malam sembari menunggu ayah pulang. Lantas tidur. Kalaupun penat dan butuh hiburan, Pita hanya akan diajak jalan-jalan ke pasar atau mencicipi makanan kaki lima. Sudah. Dia tak pernah jauh dari rumah. Lalu keadaan mendadak sangat sulit saat ibunya sakit. Masa-masa bahagia dalam kehidupan yang begitu sederhana seolah sirna. Keluarga mereka terlilit hutang dengan Pita sebagai jaminan.Lantas sekarang harus terjebak di sini.Pita yang nyaris seumur hidup selalu berada di lingkungan kumuh, terjebak di sebuah bangunan mewah, tinggi nan asing yang dulu hanya bisa ia lihat dari kejauhan, rasanya aneh.Lelu terancam terbuang ... Pita tentu merasa bingung. Usianya baru menginjak 18 tahun dua minggu lalu. Belum banyak asam garam yang ia cecap. Membayangkan di luaran sana bisa jadi ia bertemu dengan juragan-juragan Basir lain, Pita tak sanggup. Lebih baik ia berada di bawah perlindungan Pak Wandi saja yang menjanjikan rasa aman dan nyaman. Tak peduli meski harus mendapat tatapan mencemooh putranya. Toh, meraka akan jarang bertemu nanti. Pikir Pita sempit.“Kamu nggak kotor, kok. Sini duduk. Jangan dengerin omongan Kak Gus. Dia emang gitu orangnya.”Pita mengerjap. Membalas senyum Cinta dengan lengkungan kaku bibirnya yang kering.Gustav memang begitu orangnya, kata Cinta tadi. Maksudnya, dia memang biasa marah-marah dan melotot seperti itu? Seram sekali. Pita bergidik makin ngeri. Dalam hati berdoa ribuan kali supaya Gustav berkeras menolak menikahinya agar Wandi tak memiliki pilihan lain. “Tapi, saya tidak akan dinikahkan sama dia, kan? Sama Pak Wandi aja, kan?” tanyanya memastikan.Cinta meringis. Wandi menatapnya iba. Gadis itu masih begitu putih. Begitu polos. Dipelototi Gustav saja dia sudah setakut itu.Gustav tentu makin tersinggung. Dan ketersinggungan itu membuat bibirnya asal bicara yang detik kemudian langsung ia sesali. “Tentu saja kamu akan menikah dengan saya!”*** Calon Istri Gustav Apa yang harus ia katakan pada ibunya malam ini?Gustav mondar-mandir di depan pintu ganda rumahnya yang setengah terbuka. Sesekali ia mendesah panjang. Sesekali mengumpat tak jelas. Kali yang lain ia menggerutu. Pun tangannya yang tak bisa diam. Mengacak rambut. Menggaruk tengkuk. Meninju udara hampa.Dasar mulut sialan! Gustav mengumpat lagi. Mungkin untuk yang ketiga, empat, ... tujuh kali. Kenapa pula dirinya harus tersulut emosi sampai salah bicara hanya karena tak ingin kalah dari si gembel?! Eught! Baiklah, Gustav tidak terima ditolak terang-terangan tepat di depan hidungnya sendiri. Dikalahkan Wandi yang ... jauh lebih tua. Ayolah, Gustav tampan. Semua orang mengakui itu. Dalam masa paling prima. Sukses. Dikenal banyak kalangan. Sama kaya dengan Wandi. Puluhan wanita berharap menjadi pasangannya. Tapi, si gembel? Oh, tentu saja. Dia kan hanya mengincar harta Wandi! Dasar wanita. Mata duitan. Penghianat dan tak bisa dipercaya. Kecuali Cinta. Gustav tak akan tertipu dengan wajah polosnya.Getar ponsel di saku kemaja abu-abu Gustav yang sudah berantakan, berhasil menghentikan kegelisahan lelaki itu. Merogoh serampangan, dilihatnya nama si pemanggil di layar yang menyala terang lantaran kontrasnya belum sempat dikurangi sejak berada di luar ruangan siang tadi.Panggilan dari Mama.Mati!Gustav tak punya pilihan lain. Ia terpaksa menggeser ikon hijau dengan gerakan malas lantas Mendekatkan benda pipih berlogo apel tergigit itu ke telinga kiri. Lalu diam. Mendengarkan Resti menyapa.“Halo, Gus. kamu jadi pulang, kan? Ingat kata-kata Mama kemarin. Kalau malam—”“Hmm, aku pulang.” Setelahnya, klik. Gustav memutus sambungan sepihak. Bukan. Bukan karena enggan, lebih pada ... aaahhh, Gustav takut pembicaraan mereka melebar ke mana-mana mengingat emosinya yang sedang tidak stabil.Malam ini jodoh pilihan Resti akan datang. Oh, bahkan dia sudah datang dilihat dari Fortuner dengan plat nomor tak dikenal yang nangkring manis di halaman. Bahkan sejak Gustav tiba nyaris setengah jam lalu.Mengecek Rolex hitam di pergelangan tangan kiri, napas lelah terembus dari mulut Gustav yang dibulatkan. Ia harus siap kembali memulai pertengkaran. Tadi dengan Wandi. Lalu sebentar lagi Resti yang akan menabuh genderang perang.Memutar badan 180 derajat, ekspresi galaknya refleks terpasang. Entah mengapa tensi darah selalu naik setiap kali memandang sosok itu. Si gembel yang sesuai hasil kesepakatan—kesepatan Cinta seorang—akhirnya ikut Gustav. Tidak mungkin dia bersama Wandi mengingat beliau hanya tinggal sendiri, sedang Cinta sudah bersuami. Jadilah Gustav yang lagi-lagi jadi tumbal. Selain karena Gustav punya beberapa pembantu di rumah, ada Resti juga yang akan mengawasi mereka.Gustav, tak bisa menolak setelah mulut sialannya lancang asal ceplos bersedia menikah dengan ... siapa tadi namanya? Vita, bukan?“Baiklah, Vita. Kamu ikut saya masuk. Jangan banyak tanya dan jangan berbicara apa pun. Mengerti?”Yang diajak bicara masih menunduk dalam. Hanya mengintip Gustav dari balik bulu matanya yang lurus dan pendek. “Pi-pita, Bang,” koreksinya pelan. Sangat pelan hingga nyaris tidak terdengar. Dan Gustav memang tak bisa menangkap gelombang bunyi dari mulutnya yang mirip cicitan tikus terjepit pintu lemari.Mengangkat satu alis, Gustav bertanya, “Kamu ngomong sesuatu?” Berbeda dengan cara bicara Wandi yang pelan dan penuh perhatian, nada Gustav justru terdengar seperti gertakan. Praktis membuat Pita berjengit hingga refleks mengambil satu langkah mudur.Tak mendapat jawaban, Gustav bertanya lagi. Kali ini lebih kasar. “Kamu ngomong sesuatu?!”Pita sudah membuka mulut, siap menanggapi. Namun Gustav yang tidak sabaran malah kembali marah. “Kalau orang nanya tuh, jawab! Kamu tuli, ya?!”Pundak Pita sekali lagi tersentak. Air matanya bahkan sudah menetes. Pita memang sangat cengeng. Barangkali karena sejak kecil selalu dididik penuh kasih sayang di tengah kerasnya kehidupan mereka yang serba susah. Orang-orang di sekitarnya biasa memperlakukan Pita dengan sangat baik, sebab siapa yang berani berbuat kurang menyenangkan padanya, maka dia harus berurusan dengan Juragan Basir. Satu-satunya manusia yang suka membentak hanya Juragan Basir sendiri, itu pun jarang. Lelaki itu justru lebih sering merayu meski selalu berhasil Pita tampik. Sedang Gustav, dia mengamuk hampir tiap detik. Selalu membentak. Selalu membuat kaget. Pita khawatir tak sanggup bertahan lebih dari dua jam bersamanya. Karena sungguh, setiap kali lelaki itu mengeluarkan suara, jantung Pita langsung menghentak, berhenti sejenak untuk kemudian berpacu dua kali lebih cepat. Mengedor-ngedor tulang dada hinga terasa sakit. Maka daripada tambah dimarahi, Pita akhirnya memilih menggeleng. Dimaksudkan sebagai jawaban untuk Gustav atas pertanyaan sebelumnya.“Oh, jadi kamu nggak mau jawab saya?” Dan Gustav yang salah paham, kian naik pitam. Sukses membuat tangis Pita makin menjadi. Gadis itu bahkan sudah terisak sekarang.“Nangis lagi. nangis lagi! Oh, Tuhan! Kamu ujian banget, sih!” Gustav menjambak rambut sendiri lantaran terlalu geram. Dia paling benci air mata. Lebih-lebih air mata buaya. “Mau kamu sebenarnya apa, sih? Ditanya nggak jawab! Dinasihatin geleng-geleng. Kamu gagu? Tapi, tadi ngomong lancar banget di depan Papa.” Tepat di kalimat terakhir, nada Gustav terdengar nyinyir disertai dengusan jengah.Pita makin menunduk. Isak yang mati-matian ia tahan lolos juga dari katup bibir.“Kalau ditanya tuh jawab!”Pita harus menjawab apa? Gustav selalu marah-marah padanya. Padahal apa salah Pita? Tak sanggup berdiri, gadis malang itu akhirnya membiarkan tubuh merosot ke lantai keramik di teras minimalis rumah mewah yang diduga milik sang lawan bicara yang galak. Wajahnya ia tutup dengan tangan. Setengah malu dan sepenuhnya merasa sial.Dengan suara yang masih terbata, ia berusaha berucap, “Aku mau pu-pulang.” Lalu terisak makin kencang. “Ma-mau pulang.”Gustav memutar bola mata melihat tingkah si gembel yang terlalu drama. Menggeram, ia berusaha berpikir dan meredakan sedikit emosi. Menarik napas panjang, ia embuskan karbon dioksida itu melalui mulut dengan kasar. Dua tangannya naik ke pinggan. Kepalanya mendongak pada plafon. Menatap fokus pada lampu LED yang menyala terang.Berpikir. Berpikir. Berpikir, Gus! Perintahya pada mahluk-mahluk kerdil penghuni batok kepala.Argh!Kenapa otaknya mendadak kosong? Ke mana perginya semua ide sialan yang biasa wara-wiri bahkan di saat tak dibutuhkan?Sial! Sial! Sial!Gembel pembawa sial!Kalau sudah begini, Gustav bisa apa? Dia sudah terlanjur bersedia. Wandi bahkan mengancamnya. Kalau dalam satu bulan ini Gustav tak juga menikahi si gadis menyedihkan, maka Wandi yang akan mengambil alih kembali.Gustav bisa saja membuangnya di tengah jalan seperti onggokan sampah, tapi ... oh ya ampun, mana mungkin bisa ia lakukan saat dua pesuruh Wandi mengekori mobilnya dan kini terparkir manis di bahu jalan komplek perumahan ini. Mengawasi.Iya, sesayang itu Wandi pada si gembel.Ah, siapa tadi namanya?Vita, ya.Menunduk, Gustav mengerjap lantaran matanya berkunang-kunang kebiruan begitu melepas tatapan dari lampu LED demi mengalihkan fokus pada bocah cengeng dengan pandangan lelah. Nadanya tak sekasar tadi. Takut tangisnya kian menjadi. “Tolong diam. Kamu bikin kepala saya tambah pusing.”Alih-alih menurut, dia malah menggeleng lagi. “Aku mau pulang.”“Pulang ke mana? Kamu bahkan nggak punya rumah!”Terisak beberapa kali, dia menjawab, “Ke rumah Pak Wandi. Aku nggak mau nikah sama Abang.”“Kamu pikir saya mau nikah sama kamu?” balas Gustav tersinggung.“Kalau begitu,” gembel itu menurunkan tangannya yang basah oleh air mata. Mendongak membalas tatapan Gustav dengan iris cokelat madu beningnya yang berkaca-kaca. “Kalau begitu, tolong,” mengelap tangan-tangannya ke ujung baju, ia tangkup di depan dada penuh permohonan, “tolong kembalikan saya ke Pak Wandi.” Dengan bibir mencebik dan pucuk hidung semerah jambu monyet. “Saya juga nggak mau nikah sama Abang.”Gustav membuang pandangan ke arah pintu masuk rumahnya. Dan kembali teringat. Ia harus segera masuk kalau tidak ingin Resti mengamuk. Tapi, bagaimana dengan si gem—ah, siapa tadi sih, namanya?Vita!Kenapa Gustav selalu lupa?!Malas berdebat lebih panjang, ia mengalah. “Berdiri!” perintahnya.Pita yang tak mengerti, melongo dengan wajah polos. Sesekali masih terisak.“Berdiri, Vita! Kamu tuh beneran budeg, ya!” Dan sumbu Gustav yang kelewat pendek hangus tersulut melihat reaksi bodoh gadis itu. “Gembel. Nggak tahu diri. Nyusahin. Hidup pula!” hinanya tanpa ampun.Pita sudah akan menangis lagi, tapi batal karena Gustav yang kembali membentak. “Berani kamu keluarkan air mata buaya dan isakan berisik itu, saya cakik kamu!”Spontan, Pita mengedip-ngedip demi menahan air mata. Bibirnya yang sedikit gemetar ia tutup rapat agar tak lagi mengeluarkan isak. Takut benar-benar kena cekik Gustav.“Bagus. Sekarang berdiri!”Pita menurut. Dia bangkit dengan gerakan takut-takut. Tangannya yang tremor agak kesusah meraih tali tas jinjingnya yang teronggok tak berdaya di lantai. Lalu ia genggam tali-tali itu erat. Sangat erat seolah benda tersebut merupakan satu-satunya pegangan hidup. Kepalanya tak berani ia tegakkan. lehernya bahkan sudah terasa sakit. Matanya yang merah ia arahkan pada keramik halus di bawah kaki.“Oke, dengar!” Gustav bersuara, Pita tak berani menyela. “Kita akan masuk, dan ingat kata-kata saya sebelumnya. jangan bicara apa pun. Cukup melangkah di belakang saya. Mengerti?”Sebagai jawaban, Pita mengangguk sekali. Tak ingin Gustav kembali murka.“Bagus!” komentar Gustav sebelum berbalik. Lantas membuka pintu rumahnya makin lebar. Masuk ke sana dengan gerakan tak nyaman.Pita, seperti instruksi sebelumnya, hanya mengekor seperti anak ayam. Tak berani bertanya. Tak berani bersuara. Bahkan napasnya pun ia atur sedemikian rupa takut terdengar sampai ke telinga Gustav. Hanya kaki Gustav yang ia perhatikan. Dia hanya menunduk sepanjang langkah membawa.“Assalamualaikum, Ma.” Gutav berhenti menggerakkan kaki. Pita pun ikut berhenti. Bunyi obrolan pelan yang tadi sempat meramaikan ruang tamu langsung terhenti begitu salamnya mengudara.Resti yang duduk di salah satu sofa panjang bersama seorang wanita asing menoleh. Senyumnya melebar begitu mendapati sosok sang putra yang sudah tiba tepat waktu.“Akhirnya kamu pulang!” Beliau bangkit berdiri. Menghampiri Gustav lalu mengulurkan tangan. Membiarkan si sulung menciumnya seperti biasa. “Mama tahu kamu nggak akan pernah bikin Mama kecewa.”Senyum Gustav kaku dan tampak sangat aneh.“Ayo, sini mama kenalkan sama tamu Mama.” Wanita paruh baya itu sudah hendak menarik tangan Gustav mendekati wanita cantik yang masih duduk manis di sofa saat tanpa sengaja matanya melirik ke belakang tubuh lelaki itu, yang spontan membuat gerakannya terhenti. Menatap Gustav dengan kening berkerut samar, beliau bertanya, “Siapa yang kamu bawa, Gus?” Hidung Resti mengernyit mana kala menilik penampilan gadis itu dengan seksama. Wajahnya tak tampak terlalu jelas karena ia menunduk dalam dan sedikit terhalang bagian atas jilbabnya. “Jangan bilang pembantu baru? Rumah ini sudah cukup punya banyak pembantu, Sayang. Lagian kamu ambil dari mana, sih? Kok dekil gitu?”Gustav meringis. Bingung harus menjawab apa? Dan ... ugh, wanita pilihan Resti benar sudah ada di sini. Dia ... cantik. Sangat. Bebet, bibit dan bobotnya, Gustav yakin tak perlu dipertanyakan. Pilihan Resti sudah tentu bagus. Entah dengan sikap dan karakter. Gustav malas menebak-nebak. Toh, siapa pun yang nanti akan menjadi istrinya, maaf saja, dia hanya akan punya status. Tidak dengan hati Gustav yang pintunya sudah tergembok rapat dan berkarat.Menarik dasinya lebih longgar, Gustav berdeham pelan. Sesaat tatapannya tak sengaja beradu dengan pandangan wanita pilihan Resti. Perempuan itu langsung tersenyum dengan dua belah pipi merona.Sayang sekali pilihan Resti jauh lebih cantik dari Vita. Sangat cantik. jenis kecantikan yang akan membuat orang-orang yang menglihatnya terpesona hingga enggan mengalihkan pandangan. Berbeda dengan Vita yang cantik saja. Cukup membuat orang lain puas hanya dengan menoleh padanya dua kali.“Ma, bisa kita ngobrol berdua aja dulu. Ada yang ... mmm, harus Gustav katakan,” ujar Gustav setengah meringis.“Ada apa?”“Plis.” Gustav memohon dengan ekspresi mengiba. Dia tidak mungkin mengutarakan semuanya di sini. Di depan tamu kehormatan Resti. Gustav masih cukup punya tata krama. Lebih-lebih, pembicaraannya nanti masih berkaitan dengan si tamu.Resti sejenak ragu. Ia melirik Pita sekali lagi sebelum menatap lekat anaknya yang sedikit aneh malam ini. Ada sedikit lebam di ujung bibirnya. Pasti telah terjadi sesuatu. Berkedip, ia mengangguk kecil. “Tania,” katanya, Gustav tebak, pada wanita di sofa itu. “Tante tinggal sebentar boleh?”“Boleh kok, Tante.” Bukan hanya cantik, suaranya juga enak didengar dan menyejukkan. Sikapnya pun sopan sejauh pengamatan Gustav. Terlihat dari gestur tubuh dan cara berpakaiannya yang tidak terlalu terbuka dan elegan.Ah, untunglah Gustav tak harus menikahinya. Karena Gadis cantik, sopan dan berpendidikan cenderung membuat setiap kaum adam tertarik. Setidaknya, pilihan Wandi tak memiliki potensi itu.“Apa yang ingin kamu bicarakan?” Resti berbelok ke arah dapur dan berhenti. Berdiri satu langkah tepat di hadapan Gustav yang menjulang tinggi. “Siapa gadis aneh yang kamu bawa itu, Gus?”Menarik saliva kelat, Gustav merasa kehausan. Alih-alih menjawab, ia melewati tubuh mungil nan gempal ibunya menuju dipenser di sudut dapur. Mengisi gelas kosong dengan air mineral hingga penuh, lalu membawanya ke kursi terdekat. Mendudukkan diri di sana lantas meneguk habis seluruh isinya.“Ma,” ucap Gustav kemudian bersamaan dengan bunyi benturan gelas yang beradu dengan meja aluminium saat meletakkan benda itu dengan sedikit kasar ke atas kitchen island, “maaf.”“Jadi kamu beneran bawa pembantu baru ke rumah ini? Buat apa sih, Gus?” Resti melipat kedua tangan di depan dada. Bersandar pada pintu dapur yang terbuka.“Sayangnya,” Gustav tak berani balas menatap mata ibunya, “dia bukan pembantu.”“Lantas?”“Dia ... dia calon istri Gustav.”*** Rencana Pernikahan Bunyi detak jam dinding di atas lemari dapur terdegar. Menggantikan suara obrolan ibu dan anak itu yang semula mengudara.Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Sepuluh detik.Resti masih tak bereaksi. Beliau tetap bergeming. Menyandarkan punggung pada daun pintu dengan tangan terlipat. Bibir terkatup rapat. Wajah datar tanpa ekspresi. Namun tidak dengan sorot matanya yang ... menilik Gustav penuh spekulasi.Tak tahan didiamkan, Gustav akhirnya menoleh. balas memandang Resti dengan lumuran rasa bersalah yang terpancar dari telaga beningnya yang sewarna jelaga. “Ma,” panggilnya.Resti mengangkat satu tangan. Meminta Gustav menghentikan apa pun yang hendak ia katakan. Dan yah, lelaki itu menurut.Resti tampak menarik napas pelan sebelum melangkah mendekati jendela dapur yang terbuka. Menatap jauh ke halaman belakang yang temaran karena salah satu lampu taman di sana mati dan belum sempat diganti.“Kamu sampai bertindak sejauh ini hanya karena tidak ingin menikah lagi.” Itu bukan jenis pertanyaan, dan Gustav cukup pintar untuk diam. Tahu betul sang ibu belum selesai, meski penjelasan panjang lebar sudah mengantre di ujung lidah. Siap ia muntahkan. “Membawa gadis lusuh ke rumah ini untuk mengolok pilihan Mama. Kamu keterlaluan, Gus!”“Ma—”“Kamu tahu Mama tidak akan pernah mau menerima orang semacam itu. Tidak dengan siapa pun saat Mama sudah punya pilihan. Tapi, kamu tidak akan menyerah, kan?”“Ma—” Suara Gustav naik satu desibel. Berharap sekali Resti memberinya kesempatan bicara dan menjelaskan. Namun, tidak.“Sekalipun kamu pulang terlambat malam ini, Mama tidak akan ke mana-mana. Kamu tahu itu. Mama hanya menggertak. Mama tidak tahu harus ke mana kalau pergi dari rumah ini. Mama benci tinggal sendirian. Dan kamu masih ....” Suara Resti tercekat. Dua tangannya terangkat. Mencengkeram erat teralis jendela penuh emosi. “Terserah. Mama akan meminta Tania pulang. Terima kasih karena sudah mempermalukan Mama malam ini. Mulai sekarang semua terserah kamu.”“Mama tolong dengar Gustav dulu!” Gustav berdiri. Memukul kitchen island dengan kepalan tangan kiri. Tak lagi mampu bersabar. Cukup seharian ini urat-uratnya dibuat tegang oleh tingkah Wandi dan usulan gila Cinta, jangan Resti. Gustav tak pernah kuasa melawannya.Namun Resti yang keras kepala dan suka bespekulasi sendiri, menolak mendengar apa pun lagi. “Kamu mau menikah atau tidak, bukan urusan Mama. Entah dengan gembel, pengemis atau siapa pun! Tapi jangan pernah berharap Mama akan menerimanya.” Cengkeraman Resti pada teralis terlepas. Ia memutar badan ke arah pintu tanpa menoleh sedikit pun pada Gustav. Lalu melangkah, hendak keluar dari sana. Menebalkan muka dan berpikir bagaimana cara meminta Tania pulang dan batal mengenalkan dengan putra sulungnya. Tapi baru dua langkah terambil, Gustav buru-buru menarik lengannya. Memegang erat hingga Resti terpaksa berhenti.“Tolong denger Gustav dulu. Plis ....”Resti bungkam. Masih enggan menoleh. Terlanjur kecewa pada anak kebanggaannya yang selama ini selalu bersikap manis dan penurut. Gustavnya berubah, pikir Resti muram, sejak penghianatan Rency dua tahun lalu.“Mama akan dengar kamu kalau kamu juga mau dengar Mama. Bisa?”Gustav mengangguk pelan. “Apa pun, selain ... menikahi pilihan Mama. Aku—”“Jangan bilang karena gembel itu, Mama nggak akan percaya,”Memang bukan! Dua kata itu sudah nyaris Gustav lontarkan. Tapi, ah ... bagaimana membuat Resti mengerti tanpa harus menceritakan segalanya?“Waktu kamu hanya dua menit, Gustav. Dua menit kamu tetap tidak bicara, Mama akan keluar!”Baiklah. Gustav memicing kalah. Perlahan genggamannya pada lengan Resti mengendur sebelum terlepas sepenuhnya.“Namanya Vita.” Ia memulai. Menatap sosok Resti dari samping dengan kening mengernyit tak nyaman. “Kemarin lusa Papa nggak sengaja nabrak ayahnya dan ... meninggal.” Resti spontan menoleh begitu kata terakhir Gustav terucap. Ada keterkejutan yang nyata dalam ekspresi ibunya. Gutav berdeham salah tingkah. Pura-pura tak paham dengan tuntutan yang tersirat dalam sorot mata cokelat itu. Kendati demikian, ia tetap harus melanjutkan. “Vita nggak punya siapa-siapa lagi. Kebebasannya terancam terenggut karena dia nggak lagi punya pelindung. Lalu ... lalu Papa ....” Gustav mulai terbata. Tak tega, ia menunduk. Menatap titik hitam kecil di atas keramik putih dapur ini. “Papa minta aku menikahinya karena rasa tanggungjawab sekaligus penebusan dosa.”Gustav tidak sepenuhnya bohong. Tidak. Dia hanya memotong sebagian. Baiklah, dia terlalu menyayangi Resti hingga tak sampai hati melukai perasaannya.Tebak bagaimana reaksi sang ibu. Beliau mendengus. Keras. Membuat Gustav spontan mendongak demi mendapati ekspresi marah wanita paruh baya itu. Tentu saja Resti tak akan senang mendengar ini.“Dan kamu menerimanya?” sergah beliau kasar. Gustav tak menanggapi, yakin Resti sudah tahu jawaban pertanyaan tersebut dengan keberadaan Pita di rumah mereka. “Ini konyol, Gus!”Memang konyol, kata Gustav yang sayang hanya bisa ia teriakkan dalam hati. “Anggap aja ini sebagai bentuk baktiku sama Papa,” ujarnya sambil tersenyum paksa.Satu kebohongan lagi. Gustav meringis dalam hati. Ia bukan orang yang suka berdusta, tapi berbeda cerita saat dalam keadaan terkjepit.“Mama tetap nggak setuju! Balikin gadis itu ke jalan. Mama nggak mau liat mukanya lagi! Lalu nikahi Tania!”“Nggak semudah itu, Ma!”“Kenapa nggak bisa semudah itu?”“Karena kalau aku melakukannya, mmm ... kalau aku melakukannya ....” kebohongan apa lagi yang harus Gustav karang?Berpikir! Berpikir!Ah ....“Karena kalau aku melakunnya,” Gustav menarik napas panjang, “Papa akan mengangkat Vita sebagai anak dan ... dan menyerahkan seluruh kekayaan Papa sama gadis itu.”Gustav memang cerdas!***Pita memeluk dirinya sendiri. Tak nyaman. Sesekali melirik takut-takut pada perempuan berambut sebahu dengan model lama—megar seperti rambut singa—yang berputar-putar di sekitarnya. Menilik Pita dari depan, belakang, samping kanan dan kiri. Lalu berhenti tepat di hadapan gadis itu. Ganti memerhatikan dari ujung kaki hingga kepala. Terus begitu berulang kali hingga Pita risih sendiri. Kemudian ... berdecih sinis.“Mama nggak tahu apa isi kepala papamu sampai—” hidungnya mengernyit jijik, “—menyuruh kamu menikahi manusia macam ini!” Beliau lalu mencondongkan kepalanya sedikit, mendekati Pita hanya untuk menutup hidung seolah kebauan.Pita menggigit bibir keras hingga terasa anyir mendapat penghinaan sekejam itu. Bakan jauh lebih kejam dari penghinaan Gustav.Gustav sendiri, tolong jangan ditanya. Dia malah duduk manis di salah satu sofa tunggal sambil bertopang dagu. Sama sekali tak membela Pita. Malah seringkali ikut mendukung hinaan ibunya. “Baiklah, kamu boleh menikahinya. Asal jangan sampai ada keluarga besar atau kenalan kita yang tahu. Kalian bisa menikah siri,” katanya sebelum menjauh.Pita diam-diam mengendus aroma tubuhnya sendiri. Tidak. Ia tidak bau. Memang tidak sewangi Gutav dan ibunya, tapi aroma lemon dari sabun yang dipakai tadi pagi masih samar-samar tercium.“Nggak bisa gitulah, Ma,” Gutav bersandar pada punggung sofa yang terlihat empuk. Sedang Pita masih berdiri di tengah ruangan. Seperti barang langka yang dipamerkan. Kaki Pita bahkan sudah kesemutan. Tapi, tak ada yang peduli. Barangkali mereka lupa bahwa Pita juga manusia.“Kenapa nggak bisa?” Resti ikut duduk di sofa lain. Masih dengan menatap Pita tak suka.“Papa nggak akan setuju.”“Mama ngggak mau ya, ngeluarin banyak biaya cuma buat pernikahan kamu sama dia!”Gustav menggeleng setuju. “Aku juga nggak mau. Dan juga nggak mau ada yang tahu. Pernikahan kami hanya akan berlangsung sederhana aja kok, Ma. Tapi, harus resmi secara hukum dan agama. Begitu kesepakatannya.”Satu tetes air mata Pita jatuh tanpa seorang pun tahu. Cepat-cepat ia seka sebelum mendapat omel lagi.Apa yang ia harapkan? Menikah dengan Wandi dan hidup damai. Mimpi sajalah. Hidup tidak semudah dan sesederhana itu. Sungguh, andai ia tahu akan sesulit ini, Pita jauh memilih bersama Juragan Basir meski harus menjadi yang keempat. Setidaknya, dia tak akan dihina. Pita hanya harus menjadi istri yang manis dan akur dengan madu yang lain.Mengerutkan jari-jari kaki yang basah lantaran tak terbiasa dengan ac, Pita mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. Berusaha menutup telinga dengan apa pun yang tengah Gustav dan ibunya perbincangkan demi tak makin merasa sakit hati dengan mencoba memikirkan banyak hal seperti ... seperti apa? Pita bahkan tak bisa berpikir selain tentang kemalangan yang menimpa. Lolos dari kejaran macan dan terjebak di kandang singa. Ujung-ujungnya Pita mati juga.Entah berapa lama ia berdiri, akhirnya semua siksaan itu berakhir. Gustav memutuskan untuk tidur lebih awal lantaran hari ini terlalu melelahkan. Ibunya, Resti memilih menonton televisi. Pita diserahkan pada salah seorang pembantu untuk diurus. Ia kemudian ditempatkan di salah satu kamar dekat dapur berukuran 3x4 meter dengan satu rajang dan sebuah lemari.Kamar itu bagus. Nyaris sebesar rumah kontrakannya dulu. Tapi, Pita justru merasa tak nyaman dan merindukan kehidupan sebelumnya. Menatap ranjang di sudut ruangan, air matanya tumpah lagi. Bahunya bahkan terguncang-guncang. Tak peduli dengan asisten rumah tangga Gustav yang tidak Pita tahu namanya tengah memerhatikan.“Mbak,” ragu, perempuan kurus yang kira-kira berusia tiga puluhan itu menyentuh lengan kanan Pita untuk menarik perhatiannya, “tadi Mas Gustav berpesan sama saya buat buang Tas Mbak dan mengganti semua barang-barang Mbak dengan yang lebih layak. Boleh saya ambil tasnya?”Alih-alih menjawab, Pita justru memeluk tasnya makin erat. Ia menggeleng sebagai jawaban.“Tapi, Mbak—”“Tolong,” bibir Pita bergetar hingga ia kesulitan bicara, “apa pun selain ini,”Wanita kurus berdaster kebesaran itu menatap iba. Tak tega, ia pun mengangguk, “Asal jangan sampai Mas Gustav dan Ibu tahu ya, Mbak. Saya takut kena marah.”Pita mengangguk berulang kali dan cepat hingga tulang leherya tambah ngilu saking senangnya dengan kebaikan hati wanita itu.“Kalau begitu saya permisi. Jangan lupa, besok pagi kita harus pergi belanja kebutuhan Mbak, ya.”Pita mengangguk lagi. Ia tentu ingat. Tadi dirinya juga sempat mendengar perbincangan Gustav dan Resti yang membahas tentang segala kebutuhan Pita dan ... Pita yang akan tinggal di kamar pembantu. Meski nanti sudah berstatus sebagai istri Gustav. Mereka akan berada di kamar terpisah. Resti juga mewanti-wanti agar Gustav menceraikan Pita satu atau dua tahun lagi.Jadi ini kamar pembantu? Pikir Pita sembari menarik ingus dan mengelap pipi-pipinya yang basah. Tatapannya meliar. Memerhatikan ruangan itu yang bersih dan sangat layak. Ranjang untuk satu orang berukuran 120 centi. Lemari pendek di sampingnya serta cermin panjang menempel di sisi dinding yang lain. Cat dinding berwarna krem. Jam dinding bulat menempel manis dua meter di atas kepala ranjang.Ada kipas angin pula di langit-langit.Pantas Gustav sombong sekali. Kamar pembantu saja bagus, apalagi kamar majikan.Memikirkan dirinya mungkin akan tinggal di kamar ini dalam waktu yang lama dan sendirian ... perasaan Pita sedikit tenang. Setidaknya, dia akan memiliki ruang terpisah dengan Gustav.Ah, Gustav dan Resti juga tidak suka melihatnya lama-lama, bukan? Berarti tak masalah Pita mengurung diri selama yang ia inginkan di sini.Ya, begitu lebih baik. meski mungkin dirinya nanti akan mati bosan, asal jangan mati jantungan.Meletakkan tasnya di sudut kamar, Pita melangkah ke atas ranjang. Duduk di tepinya dan terkejut. Empuk sekali. Pun seprainya ... Pita meraba perlahan. Sangat halus. Pasti harganya mahal. Tidak seperti kasur di rumah kontrakan dulu yang menggunakan kain spanduk sisa.Perlahan senyum Pita terbit. Ia mencoba melompat kecil tanpa mengubah posisi, lalu tubuhnya terlonjak. Spontan, Pita tergelak. Berdiri kembali, ia naik ke atas kasur empuk itu dan melompat-lompat seperti anak kecil. Lantas tertawa kesenangan sampai terpekik. Melupakan kesedihan beberapa saat lalu hanya karena terpukau pada seonggok kasur. Sampai tak sadar pintu kamarnya dibuka separuh. Menampakkan sosok Gustav yang sontak terpaku. Menatapnya penuh arti.“Dasar bocah!” dengus lelaki itu sembari menutup pintu kembali pelan-pelan. Membiarkan Pita dengan kebahagiaan kecilnya. Lupa hendak mengatakan sesuatu pada gadis itu.*** Debar Pertama “Saya terima nikah dan kawinnya, Pita binti Durham Sujono dengan mas kawin tersebut, tunai!”“Bagaimana para saksi? Sah?”“Saaahhh ....”“Alhamdulillah.”Jam sepuluh pagi itu, bersamaan dengan jatuhnya tetes hujan pertama di atas bumi Jakarta setelah kemarau panjang, Pita resmi dipersunting oleh seorang Gustav Hutama. Yang kini sah menjadi suaminya.Suami. Batin Pita berteriak ngeri. Membayangkan apa yang akan terjadi setelah hari ini sukses membuat seluruh bulu kuduk berdiri. Gustav pasti akan semena-mena. Melarang ini itu dan menyuruh begini begitu.Meremas ujung kebaya putihnya, ia dapati punggung tangan besar tepat di depan hidung. Tanpa harus menoleh, Pita tahu siapa pemilik tangan itu. Gustav.Menelan ludah susah payah, Pita menyambut. Tangan Gustav hangat. Berpadu dengan telapaknya yang sangat dingin. Tak ingin lama-lama mengalami kontak fisik dengan lelaki itu, Buru-buru Pita menunduk dan membawa punggung tangan kecokelatan Gustav menyentuh keningnya.Lalu, ia kira sudah. Nyatanya, belum. Alih-alih menjauh, laki-laki itu malah makin dekat. Pita menarik napas terlalu dalam saat Gustav meraih belakang kepalanya. Mendekatkan posisi mereka dan ... cup!Pita lupa cara mengembuskan karbon dioksida. Detak jantungnya juga ikut berhenti bekerja. Oh Tuhan ... Pita ... Pita nyaris kehilangan ingatan siapa dirinya tepat saat bibir Gustav yang juga hangat menyentuh kening.Tadi, tadi itu apa?Pita tak pernah berlari marathon berkilo-kilo meter sampai kehabisan napas, tapi sepertinya ia tahu bagiamana rasa kehilangan napas sekarang. Karena ia mengalami itu.Begitu tubuh Gustav menjauh, barulah sedikit demi sedikit udara mulai kembali keluar dari lubang hidung serta organ pemompa darahnya yang kembali normal. Bukan, bukan normal, melainkan jauh melebihi batas normal.Seumur-seumur Pita tak pernah disentuh orang lain kecuali ayahnya. Pun Durham berhenti mencium Pita sejak sang putri masuk bangku SMP. Dan ini ... pertama kali. Menurutnya, wajar kalau ia sekaget itu.Ya, Pita hanya kaget. Tidak lebih.Berusaha bersikap biasa, Pita menangkup kedua tangan di atas pangkuan saat penghulu mulai memanjatkan doa keberkahan pernikahan. Mulut Pita bergerak, tapi bukan untuk mengamini, melainkan demi menghirup pasokan oksingen yang tak lagi cukup dengan hanya menggunakan dua lubang hidung. Sumpah mati jantung Pita berdebar-debar. Seperti kata Gustav dua minggu lalu. Pernikahan ini dilakukan dengan sederhana. Sangat sederhana. Hanya dengan wali hakim, penghulu, dua orang saksi, mempelai berdua, serta pihak keluarga inti. Wandi dan dua anakya yang lain beserta suami mereka. Cinta yang memang sudah Pita kenal. Yang satu lagi masih asing. Wajahnya hampir mirip dengan Cinta, hanya saja terlihat lebih judes. Eskpresinya Gustav sekali, Pita jadi agak takut. Sepertinya yang benar-benar ramah di keluarga ini hanya Wandi dan si bungsu.Resti, Pita bersyukur wanita itu tidak ada di rumah sejak kemarin. Dengar-dengar beliau pergi berlibur dengan keponakannya yang di Bandung. Syukurlah. Pita sudah lelah mendapat pelototannya yang menyeramkan.Usai menandatangani berkas-berkas dari petugas KUA, Pita kira semua sudah selesai. Nyatanya belum. Menantu Wandi yang kalau tidak salah dengar dipanggil Airen ternyata datang membawa kemera dan meminta mereka melakukan sesi foto.Ah, Pita lelah. Semalam ia nyaris tidak bisa tidur. Hal pertama yang ia inginkan saat ini hanya ke kamar dan mengurung diri. Menjaga jarak sejauh-jauhnya dari Gustav kalau bisa. Syukur-syukur bisa terlelap. Tapi, ia tak punya pilihan, kan? masa depannya saja mereka yang tentukan. Pita hanya bisa berdoa, semoga semua acara hari ini secepatnya usai.“Senyum dong, Mbak. Masa foto pengantin kaku gitu. Lo juga, Bang. Yaelah. Kalian kayak korban perjodohan aja, sih!” Iron sudah nyaris membidik, tapi hasil di kameranya yang tidak terlihat bangus kontan membuat ia protes.Cinta yang duduk di sebelah Lumi, terbatuk demi menyembunyikan tawa begitu mendengar omelan suami kakaknya. “Sekali lagi, yak! jangan lupa senyum.”Pita melirik ekspresi wajah Gustav satu setengah kepala di atasnya. Laki-laki itu tampak sama lelah, tapi berusaha tersenyum. Pita mencoba meniru. Ia berdiri rikuh. Dua tangan jatuh terkulai di sisi tubuh. Sudut-sudut bibir ia tarik ke samping. Berharap si pemegang kamera tak lagi mengajukan protes.“Satu ... dua—”“Pose kalian kok kayak orang musuhan sih?”Kali ini bukan Iron, tapi istrinya. Pita nyaris megerang. Seumur-umur ia berfoto rapor, ijazah, KTP sampai kartu nikah, rasanya tidak pernah ada yang seribet ini.“Yaudah sih, foto doang ini, kan?” Dan Gustav si sumbu pendek sudah menunjukkan tanda-tanda akan meledak.“Dipeluk dong, Kak, istrinya.” Cinta yang entah sejak kapan menjadi usil, menyeletuk sambil lalu. Yang langsung diangguki kembarannya.“Kayak gini!” Istri Iron yang duduk tak jauh dari sang suami, memeluk erat pinggng Iron yang praktis membalas rankulannya dan spontan mendaratkan ciuman di kening wanita hamil itu. “Biar keliatan mesra.” Melihat mereka, pipi Pita langsung merona.Ia tidak munngkin harus memeluk Gustav seperti itu kan? pikirnya malu setengah ngeri. Ciuman sekilas tadi saja sudah hampir membuatnya pingsan, bagaimana kalau benar sampai harus—“Lumi, jangan aneh-aneh!” tolak Gustav tanpa pikir panjang. “Foto ya foto aja, sih!”“No ... no!” Wanita yang Gustav panggil Lumi menggeleng sambil menggoyangkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri. Ia melepaskan diri dari belitan Iron. Menghampiri dua pengantin baru yang kini berdiri kaku di depan dinding ruang keluarga yang disulap menjadi ruang pesta sederhana.Gustav memang tidak menyiapkan dekor, jadilah Cinta mengeret sofa berukuran tanggung ke sisi dinding, lalu menambahkan hiasan bunga-bunga rambat dan kelambu jaring-jaring yang ditempel di dinding yang sama sebagai tempat pelaminan. Adik bungsunya itu memang luar biasa kreatif akhir-akhir ini. Terlalu kreatif hingga Gustav kesal.“Gini, nih!” Lumi maju. mendorong tubuh besar Gustav hingga menubruk pelan tubuh mungil istri kecilnya. Jantung Pita yang sudah tenang sejak beberapa saat lalu, tentu kembali berulah. “Tangan Abang taruh di sini.” Lumi memposisikan dua telapak Gutav menempel di pinggan Pita, sedang Pita dibuat setengah bersandar pada dada bidang si lelaki pemarah.Pita mengerjap beberapa kali, nyaris kehilangan kesadaran. Lebih-lebih gedoran di rongga dada yang bertalu senada dengan tabuhan jantung Gustav di balik punggunya membuat ia makin ... makin ... ah, sangat gugup.Demi apa pun. Pita menelan ludah kaku, jangan bilang Gustav juga sama degdegan?“Nah, begini baru bagus!” Iron mengangkat satu jempol sebelum membungkuk, siap mengambil gambar. “Oke, senyum, ya! Satu, dua ....”Klik!***“Hei, Kakak Ipar!”Tubuh Pita langsung membeku. Ia yang semula sudah mengendap-endap untuk kabur dari perkumpulan keluarga kecil suaminya, tenyata ketahuan juga. Padahal Pita sudah melangkah pelan, sambil membungkuk dan menempel di dinding. Tapi, kenapa adik Gustav ini jeli sekali? Menyapa dengan suara keras pula.Pita yang semula sudah hendak berbelok ke lorong dapur, praktis menegakkan tubuh pelan. Dua tangannya yang menyingsingkan rok kebaya yang menyusahkan itu langsung terlepas. Menarik napas, ia berbalik.Ugh, petaka!Pita kira yang memanggilnya adalah Cinta, ternyata putri Wandi yang lain. Lumi kalau tidak salah. Istri Iron yang tadi membantunya berpose di hadapan kemera.“Kakak ipar mau ke mana?” tanya wanita itu dengan mata menyipit. Ekspresi menyelidiknya persis sekali dengan Resti saat mencurigai Pita hendak mencuri lusa kemarin hanya karena ia sedang mencari mie istan di kabinet dapur pada tengah malam demi mengisi perutnya yang keroncongan.Mendapat pertanyaan seperti itu, Pita sukses salah tingkah. Lebih-lebih, semua mata yang kini memenuhi sofa-sofa ruang keluarga tengah memperhatikan mereka. Pasti karena suara Lumi yang cukup nyaring.Hhh ... Pita gagal kabur.“Eee ... anu ....” Ia menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Sesekali melirik Gustav yang ... melolot lagi. Dia pasti marah. “Saya ... saya,” bibirnya ia gigit, tidak tahu harus menjawab apa. Pita tak pernah bisa berbohong. Orangtuanya selalu mengajarkan untuk selalu berkata jujur. Tapi, oh Tuhan ... Pita tak mungkin mengatakan dirinya merasa tak nyaman berada di tengah-tegah keluarga Gustav yang sejak tadi membicarakan topik yang tidak Pita mengerti. Tentang bisnis, kenaikan harga saham, ekonomi dan segala hal yang membuat Pita merasa terasing. Seolah menampakkan sejelas mungkin betapa jauh perbedaan hidup mereka dengannya.Lantas, ia harus menjawab apa?Melirik ke balik punggung Lumi, pandangan Pita langsung bersirobok dengan sepasang iris sehitam jelaga milik suaminya. Gustav mendengus pelan. Anehnya, Pita merasa ia bahkan bisa mendengar bunyi dengusan itu.“Emm, saya ....”Wandi yang seolah mengerti perasaan gadis itu, menyahut, “Mungkin dia lelah dan butuh istirahat.”“Begitu?” Wanita—jiplakan Resti sekali—itu menaikkan satu alis tak yakin. Pita makin keras menggigit bibir. Tak mengangguk atau menggeleng. Membiarkan Lumi berspekulasi sendiri. Seharusnya, cukup dengan melihat interaksinya dan Gustav, mereka sudah tahu bahwa pernikahan ini sangat aneh. Bahkan sejak selesai ijab kabul, tak sekalipun Gustav berbicara padanya. Interaksi terintim keduanya hanya saat sesi foto tadi. Itu pun karena Lumi yang memaksa menjadi peraga. Gustav sempat menolak, tapi Lumi bersikeras.“Tapi, kan nggak sopan kalau pergi gitu aja tanpa pamit.” Lumi yang ceplas-ceplos, memang kesusahan menjaga mulut untuk tak mengeluarkan protes atau kritik. Pita yang sejak awal melihatnya seperti sosok Resti junior, tak berani membela diri. Terlebih dirinya memang salah. Jadilah gadis muda itu hanya menunduk.“Maaf,” katanya.“Udahlah, Al, mungkin dia kecapekan banget.” Iron menimpali. Tahu betul sifat istrinya yang masih sedikit menyebalkan, terlebih bagi orang yang tak terlalu mengenalnya. “Apalagi kan dia masih baru di sini. Pasti butuh penyesuaian, Sayang. Kamu ngerti, dong.”“Dulu waktu masih baru di keluarga kamu, aku nggak butuh penyesuaian!” Lumi yang keras kepala, menoleh ke belakang dengan mata menyipit ke arah suaminya yang membalas dengan memutar bola mata jengah.“Kamu kan beda.”“Apa bedanya?”“Dulu kamu nggak punya malu!”Skak mat! Lumi langsung cemberut. Lebih-lebih saat mendengar cekikian Cinta. Wandi hanya geleng-geleng kepala. Sedang Suami Cinta pamit lebih dulu karena masih ada meeting dengan klien. Gustav pura-pura tuli dengan memfokuskan diri pada ponsel. Seolah yang dipermasalahkan adalah orang lain dan bukan istrinya.“Yaudah, deh. Istirahat sana. Tapi, lain kali tolong jangan diulangi, ya. Kita di sini keluarga. Apalagi kamu istri Bang Gus, yang berati kamu kakak kami juga. Harus ngasih contoh yang baik sekali pun menurut segi usia kamu jauh lebih muda.” Lumi menasihati.Pita hanya sanggup mengangguk. Cukup malu mendapat teguran di depan orang banyak atas keteledorannya. Dan yang lebih menyakitkan, Gustav sama sekali tak membantu. “Maaf,” katanya sekali lagi.“Nggak masalah. Semua orang pernah berbuat salah. Yang terpenting kita mau berubah.”Gustav yang diam-diam memperhatikan interaksi dua perempuan itu mencolek pundak Iron yang sejak tadi tak lepas memandangi Lumi lekat. “Dia berubah bayak gitu, lo yang ngajarin?” tanyanya agak sangsi. Karena yang Gustav tahu, Lumi tidak sebijak itu. Yang biasa keluar dari mulutnya rata-rata kalimat profokatif dan kata-kata tidak sopan. Gustav salah satu lawan adu mulut dan adu sindirnya dulu.Yang ditanya hanya mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum bangga. Ada banyak cinta yang tampak di matanya, padahal dulu Gustav tahu sekali betapa benci Iron pada Lumi. Siapa sangka hati bisa berubah begitu drastis. Gustav memang pernah mendengar kebencian sangat berpotensi menjadi cinta. Dan seketika Gustav bersyukur karena merasa tak membenci Vita, jadi potensi itu tidak akan pernah ada.Oh ya, namanya bukan Vita, tapi Pita. Gustav baru tahu tadi pagi saat mendapat teks yang harus dihapal dari adik bungsunya. Pita. Tanpa nama tengah dan nama belakang. Kampungan sekali.Bermaksud Menoleh pada Lumi, mata Gustav tanpa sengaja melirik istrinya yang tampak tak berdaya. Lalu tatapannya terkunci. Tak bisa ke mana-mana. Menatap Pita dari ujung kepala hingga kaki. Dan baru meyadari sesuatu. Pita lebih cantik dari biasanya dengan setelan kebaya dan riasan wajah sederhana.“Oh iya, kita belum kenalan, kan?” Lumi kembali bersuara. Gustav mengerjap sembari mengembalikan perhatiannya pada ponsel. “Namaku Aluminia. Panggil aja Lumi.” Wanita hamil itu mendekatkan bibirnya pada telinga Pita dan lanjut berbisik, “Jangan panggil Al, karena itu panggilan sayang suami. Oke!”Pita cepat-cepat mengangguk. Lumi yang puas mendapatkan respon sang lawan bicara lantas berbalik badan dan kembali ke sisi suaminya yang kelihatan menggerutu. Entah apa, yang sekilas dapat Pita tangkap sebelum melanjutkan setengah perjalan ke arah kamar di dekat dapur, hanya ekspresi Gustav yang memberengut.“Eh, tapi kalau Pita butuh istirahat, kenapa ke arah situ? Kan kamar Kak Gus di lanati atas?” Cinta yang seolah menyadari kejanggalan itu tiba-tiba menyeletuk.Pita dan Gustav langsung membeku. Mati kutu.***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan